Anda di halaman 1dari 5

Bagian dari Barisan Kehidupan Dunia

Oleh: Dwi Astuti

Ketika peristiwa dalam hidupku terjadi begitu nyata biarlah pena warna
berkata sesuka hatinya seindah warna hidupku. Semua bermula dari sini yaitu
peristiwa kelahiran seorang bayi. Nama saya Dwi Astuti, saya adalah anak kedua
dari kedua orangtua buruh yang pekerjaannya lebih dari satu macam, sebut saja
buruh serabutan yang tidak tetap. Saya dilahirkan 20 tahun silam. Terlahir dari
seorang ibu yang luar biasa menyayangi putrinya. Saya hanya memiliki seorang
saudara kandung perempuan yaitu kakakku yang bernama Supriyatin. Jarak usia
kami lumayan jauh katakan tepat 10 tahun. Bapak saya bekerja sebagai buruh
graji kayu dengan mesin sinso yang hanya menunggu panggilan atau orderan.
Mamak saya bekerja sebagai buruh batik tulis yang setiap minggu bekerja selama
enam hari kerja. Pernah sekali waktu terjadi kecelakaan kerja pada bapak saya
waktu itu sepulang kerja kaki bapak berdarah karena terluka oleh mesin gergaji.
Pernah juga sekali waktu bapak pulang dengan gigi ompong dan berdarah yang
juga terluka karena gergaji mesin. Dan inilah saya dari keluarga yang biasa saja,
sederhana, cukup dalam arti selalu bersyukur, dan semoga selalu rukun.
Bolehlah berkaca pada setiap jengkal hidup yang telah saya lewati hingga
sekarang menemui nikmat yang teramat nikmat. Bukanlah harta benda. Rezeki,
harta, dan benda adalah bentuk lain dari kenikmatan yang derajatnya terendah.
Dan saya mendapatkan kenikmatan yang lebih tinggi derajatnya yaitu kesehatan
hingga mencapai usia berkepala dua. Dan sungguh syukur yang menjadi syukur
terindah atas kenikmatan yang menduduki derajat tertinggi, lebih tinggi dari
nikmat kesehatan yaitu menikmati pendidikan yang tinggi. Lalu apalah arti
bersyukur ketika saya artikan bahwa nikmatnya hidup adalah kembali ke alam,
berdamai dengannya alam, dan bersyukur padaNya. Dalam hal ini saya
mendapatkan cerminan bahwa di setiap bagian alam inilah terdapat kuasa Allah.
Kehidupan yang telah terlewati, saya yang dulu bersekolah di desa. Masa SD
adalah masa dimana saya menjadi seorang anak yang penuntut dan harus ada
apapun kemauan saya. Waktu itu saya belum peduli betapa orangtua susah payah
mencari uang untuk kedua putrinya. Teringat sebuah peristiwa yang membekas,
sungguh membekas dengan warnanya yang biru. Waktu itu kelas 5 SD ketika

semua teman saya telah memeiliki sepeda baru saya masih memakai sepeda lama
milik kakak yang berkarat dan berisik. Suatu ketika saya dijanjikan oleh bapak
kelak akan dibelikan sepeda jika saya bisa mendapatkan juara kelas. Entah
mungkin seperti itulah motivasi besar saya hingga akhirnya kenaikan ke kelas 6
saya bisa menjawab tantangan bapak. Dan dengan watak sebagai anak yang
menuntut seketika itu saya langsung menagih janji bapak akan dibelikan sepeda.
Entah apa juga yang menjadikan bapak saya tidak pernah bohong atas janjinya.
Waktu itu saya menangis ketika teman dekat saya bisa beli sepeda dan saya tidak
padahal saya sudah mendapatkan target yang diberikan bapak. Suatu siang
sepulang sekolah di bulan ramadhan suasana panas, puasa, dan terik bapak
berpeluh dan bersepeda memboncengkan saya menuju bank dan langsung ke
sebuah toko sepeda. Dulu saya berpikir di bank untuk mengambil tabungan,
ternyata uang itu adalah pijaman dan bapak mamak saya mencicilnya per bulan.
Dan sepeda itu telah mengantarkan saya menempuh pendidikan selama 8 tahunan
sampai lulus SMA.
Melewati masa pendidikan dasar dengan lancar berlanjut menempuh
pendidikan menengah pertama yang terwujud sesuai target di sekolah idaman
sejak kecil. Dengan jarak tempuh sekitar 8 Km dari rumah saya lakoni dengan
bersepeda. Waktu itu bapak saya menentang ketika saya mau masuk ke sekolah
impian saya. Bagi beliau yang penting sekolah dan dekat dari rumah saja. Hal itu
berseberangan dengan apa yang saya mau karena ketika batas maksimal saya bisa
mencapai sekolah yang terbagus jarak tidak menjadi masalah. Disitulah bapak
saya mulai berpikiran menyerahkan semuanya pada saya dalam artian saya di
pihak anak yang melawan orang tua. Dalam hal ini mamak saya adalah
pendukung setia dalam setiap hal yang saya putuskan. Meniti perjalanan yang
berbaris terjadi peristiwa yang runtut dan saling domino satu sama lain hingga
akhirnya waktu itu berlalu begitu cepat akhirnya saya SMA juga. Dan mulai dari
memilih sekolah di jenjang menengah ataslah saya merasa target-target saya tidak
dapat optimal terpenuhi. Satu bukti terjadi dan menjadi bagian dari rangkaian
yang domino tadi, waktu itu saya menuliskan target melanjutkan SMA di sekolah
nomer 1 di Yogyakarta namun tidak terpenuhi, SMA 1 di kabupaten Bantul juga
tidak tercapai. Runtutan peristiwa bermula dari tes tulis seleksi masuk sebuah

sekolah menengah atas ternama di Bantul dan pada waktu itu saya berhasil
melewati tesnya. Hal yang menghentikan proses seleksi ternyata adalah
wawancara orangtua yang pembahasannya berapa uang yang berani anda
bayarkan untuk SMA tersebut dan tentu saja mamak menyanggupi nominal
terendah. Dan yang terngiang dalam kenangan adalah waktu itu kami, aku dan
mamak berangkat wawancara orangtua dengan mengendarai sepeda. Mamak
mengendarai sepeda tuanya dan saya dengan sepeda biruku yang tersayang.
Sejarah berkata mungkin itulah satu-satunya pasangan ibu dan anak yang
berangkat ke sekolah ternama dengan mengendarai sepeda karena memang pada
waktu itu kamilah satu-satunya.
Plan

A tidak berjalan maka Plan B saya terapkan yaitu berangkat

mendaftarkan NEM pas-pasan saya ke sekolah di propinsi yang juga menjadi


target saya. Pada akhirnya posisi saya hanya menempati kursi cadangan dan
seketika itu juga berkas-berkas saya cabut dengan merelakan uang pendaftaran
tujuh puluh lima ribu rupiah. Hari terakhir pendaftaran serentak sekolah
menengah dan saya bahkan belum mendapat sekolah. Di benak saya hanya ada
satu nama SMK di Bantul. Nama sekolah yang terngiang di telinga keras sekali,
berulang-ulang suara bapak saya yang berharap saya masuk SMK saja toh katanya
itu SMK terbaik di Bantul. Tapi di hati saya berat menyerahkan berkas nilaiku ke
Sekolah Menengah Kejuruan. Sudah menjadi cita-cita saya untuk melanjutkan
kuliah. Pandangan saya masih berpikir kalau saya menceburkan diri ke SMK
maka nantinya saya akan kerja dan cita-cita kuliah entah bagaimana. Di satu sisi
itu satu-satunya nama sekolah yang direstui bapak saya, namun di sisi lain itu
bukan menjadi keinginanku. Tanpa berpikir panjang saya mendaftarkan diri di
SMA N 2 Bantul yang bukan jadi targetku sama sekali. Di situlah tempat belajar
dan menempa diri saya. Setiap hari berangkat dan pulang bersepeda sejauh 12
Km. Pernah sekali waktu saya merasakan jengkel, benci, iri dengan teman-teman
yang manja antar jemput, mereka yang pemborosan selalu naik bus pulang dan
pergi sekolah. Pernah sekali menangis di jalan karena ngos-ngosan mengejar
waktu pukul 07:00. Namun, selama tiga tahun terlewati dengan segala perjuangan
itu semua tuntas dengan segala kenangan masa SMA yang indah.

Peristiwa yang bisa dipanggil tragedi pun tiba dan impian tak kunjung
datang terwujud. Zaman dimana siswi SMA memperjuangkan mimpinya
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi memperjuangkan kenikmatan berderajat
tinggi yaitu menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SBMPTN), Seleksi Mandiri Universitas Negeri Yogyakarta (SM UNY),
Ujian Seleksi Masuk Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (USM STIS) semua terjadi di
tahun 2013 yang menjadi sebuah tragedi yang saya maksudkan tadi. Betapa
malangnya saya harus menunda mimpi untuk kuliah. Masih memiliki
kepercayaandiri dengan kata menunda kuliah. Mungkin kata menunda adalah
hiburan yang melegakan di saat semua kesempatan telah berlalu. Jawaban yang
ampuh mengobati rasa sakit hati ketika semua orang bertanya,Jadi, kamu kuliah
dimana, wik? hanya sederhana saya jawab,Tahun depan, sekarang menunda
kuliah dulu. Menunda. Memang gagal itu mengecewakan, tetapi bukan berarti
pergi meninggalkan kegagalanku sekarang, aku memiliki seribu rencana untuk
keberhasilanku, percayalah pada diri sendiri karena ada banyak orang yang
mendukung,

melebihi

orang

yang

mencibir

dan

menjatuhkan.

Namun, itulah titik balik saya dimana saya segera merancang strategi untuk tahun
2014. Gagal, ah ya inilah gagal di tahun 2013-ku, lalu harus kemana aku?berlarutlarut di atas bantal dan kasur yang keras dan hanya bisa merenung bersama
keduanya? Terpuruk? Tidak. Hanya perlu sedikit membereskan perasaan dan
tatanan kehidupan selanjutnya. Memasang target di tahun 2014 saya telah menjadi
seorang mahasiswa, kuliah di UGM beastudinya Bidikmisi dan ETOS. Yah,
disitulah saya memulai tahap-tahap untuk mencapainya. Pertama yang saya
lakukan adalah membantu keuangan keluarga yaitu bekerja di sebuah toserba dan
swalayan terbesar di Bantul. Saya menjadi seorang wiraniaga dengan pekerjaan
yang lumayan kasar walau dibilang hanya penjaga konter obat kosmetik. Kerjanya
dari pagi jam 08:15 sampai jam 21:30 itu jatah lembur. Selebihnya jatah masuk
kerja biasa dengan 8 jam kerja dan dengan shift kerja pagi, siang, dan pagi-sore
(PS). Dalam sebulan lembur dijatah 6 kali, libur 4 kali bukan hari sabtu minggu,
dan selebihnya jadwal shift reguler. Dari awal niat saya bekerja adalah mengisi
waktu satu tahun saya dengan hal yang bermanfaat yaitu belajar menjadi pencari

nafkah yang ternyata susah sekali sekaligus ditujukan untuk mencari biaya untuk
les di sebuah bimbingan belajar ternama di Indonesia untuk modal saya tes seleksi
perguruan tinggi negeri di tahun targetan saya. 2014. Sehingga, seberapa pun uang
yang saya terima dengan nama gaji tidak pernah saya permasalahkan. Bagi saya
selama saya bisa menabung itu sudah cukup. Pulang malam dengan jalanan yang
gelap dan lumayan jauh hanya mengendarai sepeda biru tersayangku pun
menyentuh hati mamakku. Beliau akhirnya mencari pinjaman uang untuk
membelikan saya sepeda motor bekas. Dalam hal ini saya berperan sebagai
pembayar hutang tersebut dengan sisihan gaji saya sendiri.
Tiba saatnya detik-detik menjelang pendaftaran Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negeri. Saya pamit keluar bekerja karena kontraknya sudah usai
dan beralih mendaftarkan diri ke bimbingan belajar. Mengikuti program
bimbingan belajar dengan biaya jutaan rupiah hanya selama dua bulanan sebagai
persiapan tes seleksi. Hasil pun menunjukkan bahwa sampailah saya di posisi
yang sekarang. Memang bukan pilihan pertama yang saya raih, Fakultas
Peternakan UGM. Yah, aku mendapatkan target UGM-nya dengan begitu
beasiswa impian mengikuti dapat tercapai. Bidikmisi. Beasiswa yang saya
perjuangkan dua kali yaitu di tahun 2013 dan 2014. Mengurus ulang semuanya di
tahun 2014. Bolak-balik ke sekolah hanya demi daftar Bidikmisi 2014, minta
direkomendasikan ulang. Datang ke sekolah bukan sebagai alumni berprestasi,
tapi sebagai alumni gagal yang memohon bantuan untuk direkomendasikan ulang
bidikmisi. Memalukan. Bahkan ETOS pun terwujud sebagai beastudi saya yang
kemudian saya dinamai mahasiswi ETOS-Bidikmisi karena kedua beasiswa
tersebut telah bekerja sama. Dari Etos saya menargetkan akan pembinaan dan
asramanya yang tidak saya dapatkan jika hanya bidikmisi saja. Dengan mendaftar
keduanya, saya rasa lengkap sudah perjuanganku melalui kegagalan demi
kegagalan tadi. Dan demikianlah barisan dari kehidupan saya mengarungi
berbagai rintangan untuk menuju pada titik ini. Semoga kisah ini abadi karena
telah saya tuliskan, dan semoga kisah ini bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai