Kelompok A9
Rafi Amanda Rezkia A.
G0012171
G0012091
G0012129
Basofi Ashari M.
G0012041
Yurike Rizkhika
G0012245
Prathita Nityasewaka
G0012161
Lichte Christian P.
G0012115
Salicha Oktamila A.
G0012201
G0012051
G0012001
Elsa C Rafsyanjani
G0012067
Cahyanita Dyah P.
G0012045
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rongga mulut, rongga hidung, tenggorokan, dan sinus paranasales
merupakan ruangan dalam tengkorak yang saling terhubung satu sama lain
sehingga keadaan patologis pada salah satu ruangan pun bisa berhubungan dengan
ruangan yang lainnya serta menimbulkan gejala yang saling berhubungan satu
sama lain, seperti pada skenario berikut :
Ada apa dengan hidungku?
Seorang laki-laki 35 tahun, datang dengan keluhan sering pilek dengan
ingus berbau busuk. Pasien juga mengeluh gangguan menghidu dengan nyeri
kepala separuh. Sejak lama, istrinya juga sering mendengar suaminya mengeluh
sakit gigi, tetapi tidak pernah dibawa ke dokter gigi, hanya berkumur air garam
dan rendaman daun sirih, dan jika bengkak menggunakan koyo yang ditempel
pada pipinya. Karena keluhan dirasakan makin berat maka ia mengantarkan
suaminya ke Poli THT.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapat mukosa kavum nasi kanan
hiperemis, konkha hipertrofi, massa bening dengan permukaan licin, sekret
kental, kuning kecoklatan. Pada pemeriksaan orofaring didapatkan post nasal
drip, dan gigi gangren pada M1, M2 kanan atas.
Kemudian dokter merencanakan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah anatomi, fisiologi, dan histologi dari hidung dan sinus
2.
3.
4.
5.
paranasales?
Mengapa pasien mengeluh sering pilek dengan ingus berbau busuk?
Apa penyebab gangguan penghidu dan nyeri kepala separuh?
Bagaimana hubungan sakit gigi dengan keluhan sekarang?
Apa pengaruh pasien mengobati sakit gigi dengan kumur air garam,
rendaman daun sirih, koyo? Apakah pengobatan ini EBM?
C. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mengetahui anatomi, fisiologi, dan histologi hidung dan sinus
paranasales.
2. Mahasiswa mengetahui faktor resiko dan patofisiologi dari Sinusitis
(khususnya sinusitis maxillaris), gejala, pemeriksaan penunjang, dan
penatalaksanaannya.
3. Mahasiswa mengetahui faktor risiko dan patofisiologi dari Rhinitis Akut dan
Kronis. Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
4. Mahasiswa mengetahui faktor risiko dan patofisiologi dari Rhinosinusitis.
Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
5. Mahasiswa mengetahui bagaimana hubungan antara riwayat penyakit
dahulu dengan penyakit sekarang.
6. Mahasiswa mengetahui patofisiologi gejala-gejala yang timbul pada
skenario.
7. Mahasiswa mengetahui apa kaitan dari keluhan gigi (adanya karies gigi)
dengan keluhan yang dirasakan oleh pasien seputar daerah hidung dan
sekitarnya (termasuk peradangan di sinus).
8. Mahasiswa mengetahui apakah keluhan yang dialami pasien terkait dengan
hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior (polip, hipertrofi konkha, adanya
sinusitis ataupun rhinitis) terjadi bersamaan atau memiliki keterkaitan satu
dengan yang lain.
9. Mahasiswa mengetahui khasiat dari daun sirih maupun air garam terhadap
berkurangnya keluhan pasien.
10. Mahasiswa mengetahui macam-macam penyebab berkurangnya sistem
penghidu.
D. Hipotesis
Pasien pada skenario menderita sinusitis maxillaris odontogen dengan polip
nasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasales
1. Anatomi Hidung
a. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di
antara pipi dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas
tiga bagian : yang paling atas berupa kubah tulang yang tak dapat
digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Berikut bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
i. pangkal hidung (bridge)
ii. dorsum nasi
iii. puncak hidung
iv. ala nasi
v. kolumela
vi. lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Sedangan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
dibagian bawah hidung, yaitu :
hiatus
semilunaris,
dan
infundibulum
etmoid.
Hiatus
sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada
lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia (Higler 1989; Ballenger
1996; Weir 1997).
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm
dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan.
Lebih ke belakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi
(Ballenger 1996; Higler 1997; Weir 1997).
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel.
Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile.
Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6
m dengan diameter 0,3 m. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus
sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar.
Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan
elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada
badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel (Higler 1989;
Ballenger 1996; Weir 1997).
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu
arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga
menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat
dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan
durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah
menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak
secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical
waves) pada satu area arahnya sama (Ballenger 1996)
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama
lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP
berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein
yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan
antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan
Sinusitis akut:
Cephalosporin,sulfamethoxazole-trimethoprim,
azithromycin,clarithromycin, golongan penicillin ditambah
asamklavulanat, yang diberikan selama 7 14 hari.
Sinusitis kronik:
kuinolone
(ciprofloxacin,
ofloxasin,
levofloxasin)
ii. Dekongestan
Pentingpadaterapiawalbersama antibiotic
iii. Antihistamin
c. Hanya berfungsi pada manifestasi alergi
d. Tidak termasuk dalam protokol pengobatan
iv. Kortikosteroid
minggu)
tetapi
cukup
efektif
untuk
4. Komplikasi
Komplikasi sinusitis maksilaris adalah selulitis orbita, osteomielitis dan fistula
oroantral. Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada
sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau
intrakranial.
a. Kelainan orbita: selulitis orbita dan periorbita, abses orbita dan
subperiosteal.
b. Kelainan intrakranial: meningitis, abses epidural-subdural-otak, trombosis
sinus kavernosus, dan sinus sagitalis superior.
c. Osteomielitis dan abses subperiosteal: paling sering pada sinus frontalis.
d. Mukosil (kista): sering pada sinus frontal, sering perlu tindakan operasi.
e. Kelainan paru : bronkitis kronik bronkiektasis.
E. Rhinosinusitis
1. Patofisiologi
Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang
merupakan perluasan infeksi dari hidung. Patogenesis dari rinosinusitis kronis
berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya
mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit,
imune complek, lipolisaccharide dan lain-lain (Sakakura, 1997; Katsuhisa,
2001). Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan
akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi
mukus dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan
infeksi inflamasi akan kembali terjadi. Bakteri dapat berkembang menjadi
kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus
akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan
berkembang baik. Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak
silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid
atau terbentuk polip dan kista (Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2007).
Kuman di dalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum
ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal di dalam rongga sinus.
Virus dan bakteri yang masuk ke dalam mukosa akan menembus submukosa,
yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast, dan limfosit,
kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan
prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler,
sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di
submukosa. Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi, peradangan
rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik.
Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udema/hipertrofi konka,
rinitis alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan
sebagainya. Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah:
infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah,
malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar.
Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan
pada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus.
Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah
sempit dan letaknya tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium.
Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler submukosa
sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah di dalam rongga
sinus. Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler di
submukosa, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah proses
transudasi. Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa
sehingga akan menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan
terperangkap didalam rongga sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan
mengganggu fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah
timbunan transudat di dalam rongga sinus. Transudat yang tertimbun, kadar
oksigen yang terendah, gerak silia yang berkurang dan sempitnya ostium
merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan kuman.
keluhan
sumbatan
hidung,
meningkatkan
diameter
ostium
dan
utama
pengobatan
pada
kasus
polip
nasi
ialah
dilakukan
tindakan
BSEF
(Bedah
Sinus
Ethmoid
Fungsional).
(Mangunkusumo, 2007)
G. Khasiat Daun Sirih, Berkumur Air Garam, dan Koyo
1. Khasiat Daun Sirih
Daun sirih memiliki aroma yang khas yaitu rasa pedas, sengak, dan
tajam. Rasa dan aroma yang khas tersebut disebabkan oleh kavikol dan
bethelphenol yang terkandung dalam minyak atsiri. Di samping itu, faktor
lain yang menentukan aroma dan rasa daun sirih adalah jenis sirih itu
sendiri, umur sirih, jumlah sinar matahari yang sampai ke bagian daun, dan
kondisi dedaunan bagian atas tumbuhan.
Daun sirih mengandung minyak atsiri di mana komponen utamanya
terdiri atas fenol dan senyawa turunannya seperti kavikol, cavibetol,
carvacrol, eugenol, dan allilpyrocatechol. Selain minyak atsiri, daun sirih
juga mengandung karoten, tiamin, riboflavin, asam nikotinat, vitamin C,
tannin, gula, pati, dan asam amino. Daun sirih yang sudah dikenal sejak
tahun 600 SM ini mengandung zat antiseptik yang dapat membunuh
bakteri sehingga banyak
digunakan
sebagai antibakteri
dan
antijamur. Hal ini disebabkan oleh turunan fenol yaitu kavikol dalam sifat
antiseptiknya lima kali lebih efektif dibandingkan fenol biasa. Selain hasil
metabolisme gula, glukan juga merupakan salah satu komponen dari
jamur. Dengan sifat antiseptiknya, sirih sering digunakan untuk
menyembuhkan kaki yang luka dan mengobati pendarahan hidung /
mimisan.
Pada pengobatan tradisional India, daun sirih dikenal sebagai zat
aromatik
yang
menghangatkan,
bersifat
antiseptik,
dan
bahkan
yang
mengandung
salisilat
yang
bermanfaat
untuk
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Polip
a. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskopi (teleskop) akan membantu diagnosis
kasus polip yang baru. Stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral)
dapat memperlihatkan penebala mukosa dan adanya batas udara cairan di
dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan
tomografi komputer (TK, CT- scan) sangat bermanfaat untuk melihat
dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Gejala dan Interpretasi Hasil Pemeriksaan
Pada skenario, pasien mengalami sering pilek dan ingus berbau
busuk. Pilek sendiri (rinorhe) bisa sebagai akibat adanya infeksi, alergi,
atau
inflamasi
dimana
mediator
inflamasi
akan
mengakibatkan
hipersekresi mukus dari sel goblet. Ingus berbau busuk merupakan tanda
adanya infeksi pada pasien, dalam skenario ini sebagai ciri khas adanya
sinusitis.
Pasien juga mengeluh adanya gangguan menghidu yang dapat
disebabkan karena adanya obstruksi pada hidung, dalam hal ini adanya
masa putih. Nyeri kepala separuh bisa diakibatkan sebagai ciri khas
adanya sinusitis, dimana sekret yang mengisi sinus menekan persarafan
disekitarnya, yang mungkin hanya terjadi di salah satu sisi.
Epistaksis dapat terjadi saat membuang ingus dengan kuat, bersin,
mengorek hidung maupun trauma. Aktivitas-aktivitas tersebut memberikan
tekanan pada mukosa rongga hidung yang didalamnya terdapat plexus
pembuluh darah dimana ditutupi oleh lapisan mukosa yang tipis dan
lemah. Selain itu, jika perdarahan berasal dari bagian anterior dimana
terdapat plexus Kiesselbach berada, merupakan area yang sering terjadi
pengeringan mukosa sehingga hanya terdapat sedikit mukus yang
melindungi mukosa. Semua hal tersebut dapat menjadi penyebab
pembuluh darah pecah dan terjadi perdarahan atau epistaksis. Namun di
dalam skenario tidak dijelaskan cara ingus dikeluarkan, hanya dikatakan
bahwa perdarahan terjadi saat ingus dikeluarkan.
Mukosa rongga hidung yang hiperemi dan konka hipertrofi
merupakan bagian dari proses inflamasi mukosa hidung atau yang biasa
disebut Rhinitis. Rhinitis bisa disebabkan karena alergi, non-alergi, infeksi,
hormonal, maupun sebab lain.
Inflamasi
yang
berhubungan
dengan
rhinitis
alergi
dan
skenario,
pasien
mengalami
alergi
sehingga
terjadi
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dalam kasus skenario, ditemukan bahwa pasien memiliki keluhan sering
pilek dan ingus berbau busuk, yang kemudian diikuti dengan gangguan
menghidu serta nyeri kepala separuh. Berdasarkan pembahasan ditemukan
bahwa keluhan gangguan menghidu terjadi oleh karena berbagai faktor,
dapat terjadi karena kerusakan dari sel-sel olfaktori nya, ataupun adanya
obstruksi sehingga menghambat jalannya odoran ke reseptor di sel olfaktori.
Selain itu, melihat riwayat pasien memiliki sakit gigi dan penanganan tidak
adekuat, sehingga dapat terjadi kemungkinan adanya peradangan di gigi
(terutama keluhan di M1,M2 atas) yang kemudian dapat menyebar ke sinus
khususnya maxillaris.
Dengan meradangnya sinus, akan menyebabkan penumpukan cairan di sinus
maxillaris, sedangkan muara sinus maxillaris lebih tinggi dari sinus
maxillaris itu sendiri sehingga cairan terakumulasi di sinus ini, hal ini yang
menyebabkan manifestasi nyeri kepala separuh bahkan rasa seperti ditekan
pada daerah muka.
2. Pengobatan tradisional yang dilakukan oleh pasien seperti air garam dan
daun sirih secara penelitian lebih lanjut belum memiliki bukti yang cukup
kuat dan efektif untuk mengatasi gejala yang dialami pasien, namun telah
ada penelitian yang membuktikan bahwa air garam dan daun sirih berfungsi
sebagai anti bakteri sehingga menghambat pertumbuhan kuman yang
menginvasi daerah yang dikeluhkan.
3. Setelah melihat dan mencoba membahas skenario ini, dapat diperoleh
bahwa kemungkinan pasien mengalami sinusitis dan juga rhinitis, hal ini
dapat terjadi bersamaan maupun saling berkaitan satu dengan yang lain.
4. Setelah mengetahui keluhan yang dialami pasien, dapat diperoleh
penatalaksanaan pada pasien dalam bentuk obat maupun edukasi. Obat yang
diberikan adalah antibiotik dapat juga diberi tambahan dekongestan dan
juga antihistamin apabila pasien memiliki riwayat alergi. Apabila terdapat
polip(massa bening licin curiga polip) harus dilakukan tindakan operatif.
B. Saran
1. Dalam diskusi tutorial ini, mahasiswa sudah cukup aktif. Namun masih
kurang dalam penelusuran literature yang valid.
2. Tutor sudah baik dalam menjaga situasi diskusi dan juga mengarahkan
mahasiswa. Sehingga tujuan pembelajaran yang ada dapat tercapai.
3. Suasana tutorial dimana satu mahasiswa dan mahasiswa lain saling
bertanya dan menanggapi sangat membangun keefektifan dari diskusi.
DAFTAR PUSTAKA
Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Boies,
Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119.
Berger G, Kattan A, Bernheim J, Ophir D, Finkelstein Y. Acute sinusitis: a
histopathological
and
immunohistochemical
study.
Laryngoscope.
2000;110(12):20892094.
Djaafar, Z.A., Helmi Restuti R.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Keenam. Jakarta: FKUI.
Djaafar, Z.A.. 2003. Otittis Media Supuratif Kronik, dalam Soepardi, S.A., dkk,
(ed), Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok,
Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Helmi. 2002. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis, dalam
Soepardi, E.A., dkk, (ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf
https://www.nmff.org/documents/OtolaryngologyHeadandNeckSurgery/Otolaryng
ology.Voice.PostNasalDrip.pdf. diakses pada tanggal 10 September 2014
Itzhak Brook, Burke AC. Chronic Sinusitis. Medscape reference. Feb 2012.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/232791-overview
(diakses tanggal 7 September 2014)
Itzhak Brook, Burke AC. Acute Sinusitis. Medscape reference. Jul 2013. Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview
(diakses