Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN TUTORIAL

BLOK THT SKENARIO 2 - SEMESTER 5


ADA APA DENGAN HIDUNGKU?

Kelompok A9
Rafi Amanda Rezkia A.

G0012171

Henda Ageng Rasena

G0012091

Matius Dimas Reza

G0012129

Basofi Ashari M.

G0012041

Yurike Rizkhika

G0012245

Prathita Nityasewaka

G0012161

Lichte Christian P.

G0012115

Salicha Oktamila A.

G0012201

Darma Aulia Hanafi

G0012051

Ade Puspa Sari

G0012001

Elsa C Rafsyanjani

G0012067

Cahyanita Dyah P.

G0012045

Tutor : E. Listyaningsih S. dr.,M.Kes


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rongga mulut, rongga hidung, tenggorokan, dan sinus paranasales
merupakan ruangan dalam tengkorak yang saling terhubung satu sama lain
sehingga keadaan patologis pada salah satu ruangan pun bisa berhubungan dengan
ruangan yang lainnya serta menimbulkan gejala yang saling berhubungan satu
sama lain, seperti pada skenario berikut :
Ada apa dengan hidungku?
Seorang laki-laki 35 tahun, datang dengan keluhan sering pilek dengan
ingus berbau busuk. Pasien juga mengeluh gangguan menghidu dengan nyeri
kepala separuh. Sejak lama, istrinya juga sering mendengar suaminya mengeluh
sakit gigi, tetapi tidak pernah dibawa ke dokter gigi, hanya berkumur air garam
dan rendaman daun sirih, dan jika bengkak menggunakan koyo yang ditempel
pada pipinya. Karena keluhan dirasakan makin berat maka ia mengantarkan
suaminya ke Poli THT.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapat mukosa kavum nasi kanan
hiperemis, konkha hipertrofi, massa bening dengan permukaan licin, sekret
kental, kuning kecoklatan. Pada pemeriksaan orofaring didapatkan post nasal
drip, dan gigi gangren pada M1, M2 kanan atas.
Kemudian dokter merencanakan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah anatomi, fisiologi, dan histologi dari hidung dan sinus
2.
3.
4.
5.

paranasales?
Mengapa pasien mengeluh sering pilek dengan ingus berbau busuk?
Apa penyebab gangguan penghidu dan nyeri kepala separuh?
Bagaimana hubungan sakit gigi dengan keluhan sekarang?
Apa pengaruh pasien mengobati sakit gigi dengan kumur air garam,
rendaman daun sirih, koyo? Apakah pengobatan ini EBM?

6. Bagaimana interpretasi pemeriksaan rhinsokopi anterior dan orofaring?


Apakah normal?
7. Bagaimana bisa terbentuk masa bening dengan permukaan licin, sekret
kental, kuning kecoklatan?
8. Bagian apa yang mengalami bengkak? Mengapa bisa terjadi?
9. Apa diagnosis banding untuk keluhan yang dialami pasien?
10. Bagaimana tatalaksana untuk keluhan pasien?
11. Apa komplikasi yang dapat dialami pasien?
12. Adakah hubungan antara usia dan jenis kelamin terhadap keluhannya?

C. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mengetahui anatomi, fisiologi, dan histologi hidung dan sinus
paranasales.
2. Mahasiswa mengetahui faktor resiko dan patofisiologi dari Sinusitis
(khususnya sinusitis maxillaris), gejala, pemeriksaan penunjang, dan
penatalaksanaannya.
3. Mahasiswa mengetahui faktor risiko dan patofisiologi dari Rhinitis Akut dan
Kronis. Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
4. Mahasiswa mengetahui faktor risiko dan patofisiologi dari Rhinosinusitis.
Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
5. Mahasiswa mengetahui bagaimana hubungan antara riwayat penyakit
dahulu dengan penyakit sekarang.
6. Mahasiswa mengetahui patofisiologi gejala-gejala yang timbul pada
skenario.
7. Mahasiswa mengetahui apa kaitan dari keluhan gigi (adanya karies gigi)
dengan keluhan yang dirasakan oleh pasien seputar daerah hidung dan
sekitarnya (termasuk peradangan di sinus).
8. Mahasiswa mengetahui apakah keluhan yang dialami pasien terkait dengan
hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior (polip, hipertrofi konkha, adanya
sinusitis ataupun rhinitis) terjadi bersamaan atau memiliki keterkaitan satu
dengan yang lain.
9. Mahasiswa mengetahui khasiat dari daun sirih maupun air garam terhadap
berkurangnya keluhan pasien.
10. Mahasiswa mengetahui macam-macam penyebab berkurangnya sistem
penghidu.

D. Hipotesis
Pasien pada skenario menderita sinusitis maxillaris odontogen dengan polip
nasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasales
1. Anatomi Hidung

a. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di
antara pipi dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas
tiga bagian : yang paling atas berupa kubah tulang yang tak dapat
digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Berikut bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
i. pangkal hidung (bridge)
ii. dorsum nasi
iii. puncak hidung
iv. ala nasi
v. kolumela
vi. lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Sedangan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
dibagian bawah hidung, yaitu :

i. sepasang kartilago nasalis lateralis superior


ii. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor
iii. beberapa pasang kartilago alar minor
iv. tepi anterior kartilago septum.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding,
yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah:
i. lamina perpendikularis os etmoid
ii. vomer
iii. krista nasalis os maksila
iv. krista nasalis os palatina.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh
mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut
ager nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian
besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Diantara konka-konka
dan dinding lateral hidung terdapt rongga sempit yang disebut meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medianus dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral


rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus,

hiatus

semilunaris,

dan

infundibulum

etmoid.

Hiatus

semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat


muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior.
b. Hidung Dalam
Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior
hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung. Septum nasi
merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ
menjadi dua hidung. Selanjutnya, pada dinding lateral hidung terdapat
pula konka dengan rongga udara yang tak teratur diantaranya meatus
superior, media dan inferior. Sementara kerangka tulang tampaknya
menentukan diameter yang pasti dari rongga gubah resistensi, dan
akibatnya tekanan dan volume aliran udara inspirasi dan eksprasi.
Diameter yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti
mukosa, perubahan badan vaskular yang dapat mengembang pada konka
dan septum atas, dan dari krusta dan deposit atau sekret mukosa. Hiatus
semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontalis,
etmoidalis dan sinus maksilaris. Sel-sel sinus etmoidalis posterior
bermuara pada resesus sfenoetmoidalis.
2. Sinus Paranasales
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan
bagian lateral rongga udara hidung dengan jumlah, bentuk, ukuran, dan
simetri bervariasi. Sinus-sesuai yaitu sinus maksilaris, sfenoidalis,
frontalis, dan atmoidalis. Yang terakhir biasanya berupa kelompokkelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling berhubungan,
masing-masing kelompok bermuara ke dalam hidung. Seluruh sinus
dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi dan

mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam


rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
Sinus maksilaris rudimenter atau antrum umumnya telah
ditemukan pada saat lahir. Sinus paranasalis lainnya timbul pada anakanak dalam tulang wajah. Tulang-tulang ini bertumbuh melebihi kranium
yang menyangganya. Dengan teresorpsinya bagian tengah yang keras,
maka membran mukosa hidung menjadi tersedot ke dalam rongga yang
baru terbentuk.
B. Histologi Sel-Sel Penyusun Mukosa Hidung dan Nasofaring
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total
volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa
respiratorius. xxvii
Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous
blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina
propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan
kelenjar profunda (Mygind 1981).
1. Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel
skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di
belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada
sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki
silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar
berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber
energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan
kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal
merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel
goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal,
menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air.
Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior
sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700

sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada
lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia (Higler 1989; Ballenger
1996; Weir 1997).
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm
dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan.
Lebih ke belakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi
(Ballenger 1996; Higler 1997; Weir 1997).
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel.
Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile.
Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6
m dengan diameter 0,3 m. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus
sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar.
Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan
elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada
badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel (Higler 1989;
Ballenger 1996; Weir 1997).
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu
arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga
menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat
dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan
durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah
menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak
secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical
waves) pada satu area arahnya sama (Ballenger 1996)
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama
lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP
berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein
yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan
antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan

elastis yang diduga neksin (Mygind 1981; Waguespack 1995; Ballenger


1996).
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 m
dan diameternya 0,1 m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak
seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki
mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap
sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia.
Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas
permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit
dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan
permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding
dengan sel epitel gepeng ( Waguespack 1995; Ballenger 1996 ).
2. Palut Lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat,
merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus
dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang
menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan
perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan
superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia
bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan
gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada
cairan perisiliar dibawahnya (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Weir
1997; Lindberg 1997).
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum,
protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat
berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia
berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan
ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus.
Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan
dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga

berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah,


gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang
terperangkap (Ballenger 1996; Weir 1997).
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur
interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan
transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan
superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya
pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai
lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia
terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura 1994).
3. Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap
dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih
tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril retikulin (Mygind 1981).
4. Lamina Propia
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis.
Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya
akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid
kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari
sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh
darah dan saraf (Mygind 1981; Ballenger 1996).
C. Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasales
1. Fungsi Hidung
a. Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun
ke bawah arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi
oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,

sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir,


sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum, Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan
kuat.
c. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika
berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi
berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung
membantu pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup
dan hidung terbuka dan palatum molle turun untuk aliran udara.
d. Fungsi Statik
Hidung memiliki fungsi statik dan mekanik untuk meringankan
beban kepala, proteksi terhadap trauma, dan perlindungan terhadap panas.
e. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa
hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang
bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas.
2. Fungsi Sinus Paranasales
a. Pengatur Kondisi Suara (Air Conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruangan tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara respirasi. Keberatan karena teori ini ialah
karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus
dan rongga hidung.
b. Sebagai Penahan Suhu

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,


melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubahubah. Akan tetapi kenyataanya sinus- sinus yang besar tidak terletak
diantara hidung dan organ- organ yang dilindungi.
c. Pembantu Keseimbangan Kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang,
hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
d. Pembantu Resonansi Suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai
resonator yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara
dan besarnya sinus pada hewan- hewan tingkat rendah.
e. Peredam Perubahan Tekanan Udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Produksi Mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya
kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif
untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
3. Sistem Pertahanan Transport Mukosilier
System transport mukosilier merupakan system pertahanan aktif
rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain
yang terhirup bersama udara. Bisa juga diartikan sebagai suatu mekanisme
mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikelpartikel asing yang terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring

(Weir, 1997). Efektivitas system transport mukosilier dipengaruhi oleh


kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir dihasilkan oleh sel-sel goblet
pada epitel dan kelenjar seruminosa submukosa. Bagian permukaan palut
lendir terdiri dari cairan mucus elastic yang mengandung protein plasma
seperti albumin, IgG, IgM, dan factor komplemen. Sedangkan bagian
bawahnya terdiri dari cairan serosa yang mengandung laktoferin, lisozim,
inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (Damayanti, 2007).
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mucus penting untuk
pertahanan local yang bersifat antimicrobial. IgA berfungsi untuk
mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen
tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam
mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen
bakteri (Retno, 2007).
Terdapat dua rute besar transport mukosilier. Rute pertama
merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan ethmoid anterior.
Sekret ini biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya
berjalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding
medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian anteroinferior
orifisium tuba Eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia
dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu
dengan gaya gravitasi dan proses menelan (Damayanti, 2007).
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus ethmoid posterior
dan sphenoid yang bertemu di resessus sphenoethmoid dan menuju
nasofaring pada bagian posterosuperior orifisium tuba Eustachius (Retno,
2007). Secret yang berasal dari meatus superior dan septum akan
bergabung dengan secret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba
Eustachius. Secret pada septum akan berjalan vertical ke arah bawah
terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba
Eustachius.

D. Sinusitis Dentogen dan Sinusitis Rhinogen


1. Tanda dan Gejala
Gejala sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise, nyeri
kepala, wajah terasa bengkak dan penuh, gigi terasa nyeri pada gerakan
kepala mendadak (sewaktu naik atau turun tangga), nyeri pipi khas yang
tumpul dan menusuk, sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
berbau busuk.
Gambaran klinis yang sering dijumpai pada sinusitis maksilaris
kronik berupa hidung tersumbat, sekret kental, cairan mengalir di belakang
hidung, hidung berbau, indra pembau berkurang, dan batuk.
Menurut kriteria Saphiro dan Rachelefsky:
a. Gejala Mayor:
i. Rhinorea purulen
ii. Drainase Post Nasal (Post Nasal Drip)
iii. Batuk
b. Gejala Minor:
i. Demam
ii. Nyeri Kepala
iii. Foeter ex oral
Dikatakan sinusitis maksilaris jika ditemukan 2 gejala
mayor atau 1 gejala mayor dan 2 atau lebih gejala minor.
2. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) didalam kompleks
osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa
yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous
superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel
epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta

mengandungi zat- zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh


terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus
secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya
berlebihan.
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis
terjadinya sinusitis yaitu terjadinya obstruksi dari ostium. Jika terjadi
obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi yang
menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan
mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan
menyebabkan retensi mukus di dalam sinus.
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi
karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda
sehingga jaringan lunak gigi (pulpa) dan sekitarnya rusak. Pada pulpa
yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada
pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan
mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi
akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini
kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses
alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga
memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus
serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam
sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila.
3. Penatalaksanaan
a. Medik
i. Antibiotik

Sinusitis akut:
Cephalosporin,sulfamethoxazole-trimethoprim,
azithromycin,clarithromycin, golongan penicillin ditambah
asamklavulanat, yang diberikan selama 7 14 hari.

Sinusitis kronik:

Kuman jenis gram negatif dan anaerob clindamycin,


cephalosporin,

kuinolone

(ciprofloxacin,

ofloxasin,

levofloxasin)
ii. Dekongestan

Pentingpadaterapiawalbersama antibiotic

Mekanisme kerjanya adalah sebagai berikut:


Vasokonstriksi mukosa & konka sumbatan hidung kurang
ostiomeatal terbuka drainase dan ventilasi membaik
terjadi hambatan pertumbuhan bakteri

Diberikan secara oral dan topikal

iii. Antihistamin
c. Hanya berfungsi pada manifestasi alergi
d. Tidak termasuk dalam protokol pengobatan
iv. Kortikosteroid

Topikal: terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung,


dan penyembuhan anosmia

Oral: dapat mencapai rongga sinus, terapi singkat (hanya


selama

minggu)

tetapi

cukup

efektif

untuk

menghilangkan beberapa keluhan, dan dapat digunakan


bersama topikal.
b. Operatif
i. Antrostomi meatus inferior
ii. Caldwel-Luc
iii. Etmiodektomi intra &ekstranasal
iv. Trepanasi sinus frontal
v. Bedah sinus endoskopifungsional (FESS)

4. Komplikasi
Komplikasi sinusitis maksilaris adalah selulitis orbita, osteomielitis dan fistula
oroantral. Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada
sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau
intrakranial.
a. Kelainan orbita: selulitis orbita dan periorbita, abses orbita dan
subperiosteal.
b. Kelainan intrakranial: meningitis, abses epidural-subdural-otak, trombosis
sinus kavernosus, dan sinus sagitalis superior.
c. Osteomielitis dan abses subperiosteal: paling sering pada sinus frontalis.
d. Mukosil (kista): sering pada sinus frontal, sering perlu tindakan operasi.
e. Kelainan paru : bronkitis kronik bronkiektasis.

E. Rhinosinusitis
1. Patofisiologi
Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang
merupakan perluasan infeksi dari hidung. Patogenesis dari rinosinusitis kronis
berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya
mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit,
imune complek, lipolisaccharide dan lain-lain (Sakakura, 1997; Katsuhisa,
2001). Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan
akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi
mukus dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan
infeksi inflamasi akan kembali terjadi. Bakteri dapat berkembang menjadi
kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus
akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan

berkembang baik. Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak
silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid
atau terbentuk polip dan kista (Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2007).
Kuman di dalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum
ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal di dalam rongga sinus.
Virus dan bakteri yang masuk ke dalam mukosa akan menembus submukosa,
yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast, dan limfosit,
kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan
prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler,
sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di
submukosa. Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi, peradangan
rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik.
Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udema/hipertrofi konka,
rinitis alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan
sebagainya. Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah:
infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah,
malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar.
Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan
pada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus.
Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah
sempit dan letaknya tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium.
Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler submukosa
sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah di dalam rongga
sinus. Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler di
submukosa, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah proses
transudasi. Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa
sehingga akan menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan
terperangkap didalam rongga sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan
mengganggu fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah
timbunan transudat di dalam rongga sinus. Transudat yang tertimbun, kadar

oksigen yang terendah, gerak silia yang berkurang dan sempitnya ostium
merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan kuman.

2. Tanda dan Gejala Klinis


a. Gejala Subjektif
i. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin
tidak.
ii. Sakit kepala
Nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan
udema di
ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus
akan
meningkat jika membungkukkan badan ke depan dan jika badan
tiba-tiba
digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat
istirahat
ataupun saat berada dikamar gelap (Ballenger, 1997).
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari,
dan akan

berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya

belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam


hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta
adanya statis vena (Mangunkusumo dan Rifki, 2007).
iii. Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi
pada penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan
wajah (Ballenger, 1997).

iv. Gangguan penghindu


Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau
yang tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering
adalah hilangnya penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya
sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah konka media. Oleh
karena itu ventilasi pada meatus superior hidung terhalang,
sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu. Pada kasus
kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal
nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra
penghindu dapat kembali normal setelah infeksi hilang (Ballenger,
1997).
b. Gejala Objektif
i. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat
terjadi pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis
(Ballenger, 1997).
ii. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan
supuratif, sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan
semacam ini. Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah
menimbulkan kecurigaan adanya suatu peradangan dalam sinus.
Pus di meatus medius biasanya merupakan tanda terkenanya sinus
maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus
ini bermuara ke dalam meatus medius (Ballenger, 1997).
3. Penatalaksanaan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti
deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada
anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan
penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan. Jika tidak
ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang

memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya (Soetjipto,


2007). Terapi medikamentosa :
a. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan
sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup -laktamase seperti
pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau
ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang
tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine,cetirizine,
fexofenadinedan loratadine.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan
kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap
bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penggunaannya
kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi. Meskipun
obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien
berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang.
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi
singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan.
Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat
membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot
merata.
Siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika
diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol (Soetjipto, 2007).
c. Terapi Medik Tambahan
i. Dekongestan
Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi
antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor -adrenergik di
mukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang

keluhan

sumbatan

hidung,

meningkatkan

diameter

ostium

dan

meningkatkan ventilasi. Preparat yang umum adalah pseudoefedrinedan


phenyl-propanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi
dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati. Dekongestan
topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan hidung,
namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka
lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa
(Soetjipto, 2007)..
ii. Antihistamin
Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih dari
50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru Penatalaksanaan
Operatif Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik
adekuat dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan
indikasi tindakan bedah (Nizar, 2007; Soetjipto, 2007).
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus
inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan. Bedah sinus
konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan
ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun dengan berkembangnya
pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula modifikasi
bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya
mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar
tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga
drainase dapat sembuh kembali (Nizar, 2007; Soetjipto, 2007).
4. Komplikasi
a. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya
ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul
fistula oroantral.
b. Kelainan Orbita

Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata


(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis
frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis
orbita, abses subperiostal, abses orbitadan selanjutnya dapat terjadi
trombosis sinus kavernosus.
c. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan
trombosis sinus kavernosus.
d. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu
dapat juga timbul asma bronkial (Mangunkusumo,2007).
F. Polip Nasi
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di
dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. (Mangunkusumo, 2007)
1. Tanda dan Gejala
Sumbatan hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat
dan rinorea. Dapat terjadi hiposmia atau anosmia. Bila menyumbat ostium,
dapat terjadi sinusitis dengan ingus purulen.
Karena disebabkan alergi, gejala utama adalah bersin dan iritasi di hidung.
Pada pemeriksaan klinis tampak massa putih keabu-abuan atau
kuning kemerahan dalam cavum nasi. Polip bertangkai sehingga mudah
digerakkan, konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah
berdarah, dan tidak mengecil pada pemakaian vasokonstriktor. (Mansjoer.
et. al., 2009)
2. Patofisiologi

Pembentukan polip sering diasosiakandengan inflamasi kronik,


disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein,
terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang
bertubulensi, terutam di daerah kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps
submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru.
Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel
yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular
yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan
menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip.
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar
menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan
membentuk tangkai.(Mangunkusumo, 2007)
3. Penatalaksanaan
Tujuan

utama

pengobatan

pada

kasus

polip

nasi

ialah

menghilangkan keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekuransi


polip.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut
polipektomimedikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Polip
tipe eosinofilik memberikan respon yang lebih baik terhadap pengobatan
kostikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe neutrofilik.
Kasus polip tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau
polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat
dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau
cunam dengan analgesi lokal, etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi
ekstranasal untuk polip ethmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus
maxilla. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat

dilakukan

tindakan

BSEF

(Bedah

Sinus

Ethmoid

Fungsional).

(Mangunkusumo, 2007)
G. Khasiat Daun Sirih, Berkumur Air Garam, dan Koyo
1. Khasiat Daun Sirih
Daun sirih memiliki aroma yang khas yaitu rasa pedas, sengak, dan
tajam. Rasa dan aroma yang khas tersebut disebabkan oleh kavikol dan
bethelphenol yang terkandung dalam minyak atsiri. Di samping itu, faktor
lain yang menentukan aroma dan rasa daun sirih adalah jenis sirih itu
sendiri, umur sirih, jumlah sinar matahari yang sampai ke bagian daun, dan
kondisi dedaunan bagian atas tumbuhan.
Daun sirih mengandung minyak atsiri di mana komponen utamanya
terdiri atas fenol dan senyawa turunannya seperti kavikol, cavibetol,
carvacrol, eugenol, dan allilpyrocatechol. Selain minyak atsiri, daun sirih
juga mengandung karoten, tiamin, riboflavin, asam nikotinat, vitamin C,
tannin, gula, pati, dan asam amino. Daun sirih yang sudah dikenal sejak
tahun 600 SM ini mengandung zat antiseptik yang dapat membunuh
bakteri sehingga banyak

digunakan

sebagai antibakteri

dan

antijamur. Hal ini disebabkan oleh turunan fenol yaitu kavikol dalam sifat
antiseptiknya lima kali lebih efektif dibandingkan fenol biasa. Selain hasil
metabolisme gula, glukan juga merupakan salah satu komponen dari
jamur. Dengan sifat antiseptiknya, sirih sering digunakan untuk
menyembuhkan kaki yang luka dan mengobati pendarahan hidung /
mimisan.
Pada pengobatan tradisional India, daun sirih dikenal sebagai zat
aromatik

yang

menghangatkan,

bersifat

antiseptik,

dan

bahkan

meningkatkan gairah seksual. Kandungan tannin pada daun sirih dipercaya


memiliki khasiat mengurangi sekresi cairan pada vagina, melindungi
fungsi hati, dan mencegah diare. Sirih juga mengandung arecoline di
seluruh bagian tanaman yang bermanfaat untuk merangsang saraf pusat
dan daya pikir, meningkatkan gerakan peristaltik, dan meredakan

dengkuran. Kandungan eugenol pada daun sirih mampu membunuh jamur


Candida albicans, mencegah ejakulasi dini, dan bersifat analgesik. Daun
sirih juga sering digunakan oleh masyarakat untuk menghilang kan bau
mulut , mengobati luka , menghentikan gusi berdarah, sariawan, dan
menghilangkan bau badan.
Daun sirih memiliki efek antibakteri terhadap Streptococcus mutans,
Streptococcus sanguis, Streptococcus viridans, Actinomyces viscosus, dan
Staphylococcus aureus.
2. Dampak berkumur dengan air garam
Menurut American Academy of Family Physicians, berkumur
dengan menggunakan air asin atau air garam mungkin akan membantu
untuk meringankan sakit gigi. Air garam mempunyai efek mengurangi
tegangan permukaan sehingga bila gigi atau gusi dalam keadaan infeksi,
karena tegangan berkurang setelah berkumur dengan air garam, tentu akan
mengurangi rasa sakit. Akan tetapi, hal ini tidak menghilangkan sumber
penyakitnya. Jadi, berkumur dengan air garam hanyalah penanganan yang
bersifat sementara.
3. Dampak Menggunakan Koyo
Koyo dalam kehidupan sehari-hari banyak digunakan dalam bidang
medis untuk menghilangkan rasa nyeri pada otot ataupun persendian. Rasa
nyeri pada persendian ditandai dengan sensasi tidak nyaman, ada
peradangan pada sendi, terjadi sewaktu-waktu, dan dapat disebabkan
karena terlalu lama dalam posisi duduk, berdiri, atau cedera jatuh. Koyo
masih dipercaya disisi masyarakat karena dinilai ampuh dalam
menyembuhkan rasa nyeri. Selain menghilangkan nyeri, koyo juga dapat
meredakan sakit kepala, sakit gigi, memar, terkilir, pegal, mual, bahkan
pada perkembangannya koyo juga dapat melangsingkan tubuh khususnya
wanita.
Penggunaan obat secara oral dapat menyebabkan banyak efek
samping, seperti ketergantungan obat, hipersensitif, gangguan ginjal, alergi

obat, mengantuk, pandangan kabur, maupun gangguan-gangguan lainnya.


Hal inilah yang membuat koyo masih diterima di masyarakat luas.
Koyo atau obat krim lebih efektif menghilangkan rasa nyeri
dibandingkan diobati dengan minum obat. Nyeri saraf dan tendinitis
(peradangan urat) lebih sulit diobati melalui mulut (minum pil). Koyo atau
obat krim dapat menghilangkan rasa nyeri sebab memiliki beberapa
kandungan diantaranya biofreeze dan icyHot yang memilki sifat panas
atau dingin yang dibuat dengan mentol berbasis alkohol, Bengay dan
Aspercreme

yang

mengandung

salisilat

yang

bermanfaat

untuk

mengurangi peradangan sendi, Capzasin dan Zostrix yang termasuk


didalamnya krim berbahan Capsaicin dari cabai yang bisa digosokkan di
daerah nyeri dan bisa mengurangi sakit dan bekerja dengan cara
mengurangi saraf tubuh dari pemancar kimia P yang mengirimkan
sinyal sakit ke tubuh. Metal salisilat merupakan kandungan dalam
koyo yang dapat mengurangi rasa nyeri. Metil salisilat diperoleh dari
proses sintesis asam salisilat.

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Polip
a. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskopi (teleskop) akan membantu diagnosis
kasus polip yang baru. Stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral)
dapat memperlihatkan penebala mukosa dan adanya batas udara cairan di
dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan
tomografi komputer (TK, CT- scan) sangat bermanfaat untuk melihat
dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses

radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal.


TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan
terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.
2. Sinusitis
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan.
Foto polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan fronta. Kelainan akan
terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) atau penebalan
mukosa.
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan
sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik
dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan
opersai sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus mesius/superior, untuk mendapat antibiotik yang
tepat guna.Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus
maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi
sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk
terapi.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Gejala dan Interpretasi Hasil Pemeriksaan
Pada skenario, pasien mengalami sering pilek dan ingus berbau
busuk. Pilek sendiri (rinorhe) bisa sebagai akibat adanya infeksi, alergi,
atau

inflamasi

dimana

mediator

inflamasi

akan

mengakibatkan

hipersekresi mukus dari sel goblet. Ingus berbau busuk merupakan tanda
adanya infeksi pada pasien, dalam skenario ini sebagai ciri khas adanya
sinusitis.
Pasien juga mengeluh adanya gangguan menghidu yang dapat
disebabkan karena adanya obstruksi pada hidung, dalam hal ini adanya
masa putih. Nyeri kepala separuh bisa diakibatkan sebagai ciri khas
adanya sinusitis, dimana sekret yang mengisi sinus menekan persarafan
disekitarnya, yang mungkin hanya terjadi di salah satu sisi.
Epistaksis dapat terjadi saat membuang ingus dengan kuat, bersin,
mengorek hidung maupun trauma. Aktivitas-aktivitas tersebut memberikan
tekanan pada mukosa rongga hidung yang didalamnya terdapat plexus
pembuluh darah dimana ditutupi oleh lapisan mukosa yang tipis dan

lemah. Selain itu, jika perdarahan berasal dari bagian anterior dimana
terdapat plexus Kiesselbach berada, merupakan area yang sering terjadi
pengeringan mukosa sehingga hanya terdapat sedikit mukus yang
melindungi mukosa. Semua hal tersebut dapat menjadi penyebab
pembuluh darah pecah dan terjadi perdarahan atau epistaksis. Namun di
dalam skenario tidak dijelaskan cara ingus dikeluarkan, hanya dikatakan
bahwa perdarahan terjadi saat ingus dikeluarkan.
Mukosa rongga hidung yang hiperemi dan konka hipertrofi
merupakan bagian dari proses inflamasi mukosa hidung atau yang biasa
disebut Rhinitis. Rhinitis bisa disebabkan karena alergi, non-alergi, infeksi,
hormonal, maupun sebab lain.
Inflamasi

yang

berhubungan

dengan

rhinitis

alergi

dan

rhinosinusitis dapat mengurangi ruang aliran udara di dalam rongga


hidung dengan cara dilatasi pembuluh darah serta meningkatnya aliran
darah dan permeabilitas vascular. Hasil dari aktivitas ini adalah
melebarnya sinusoid vena nasalis, membengkaknya konka anterior dan
inferior, dan akhirnya menghasilkan sumbatan.
Di dalam skenario, tidak dijelaskan tentang deskripsi massa putih
tersebut lebih lanjut. Penulis memperkirakan dari semua kejadian
inflamasi dengan massa putih, massa tersebut merupakan polip nasal yang
sudah dijelaskan yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Meskipun
kejadian polip pada inflamasi masih sedikit, namun sebagian besar hasil
pemeriksaan massa putih terdiagnosa secara patologi sebagai polip nasi.
Secara fisiologis, mukosa hidung dan sinus mengeluarkan
discharge yang bersifat mukus (kental) dari berwarna kekuningan, namun
dengan jumlah terbatas hanya sebagai pelindung mukus serta dalam fungsi
respirasi. Jika sekret keluar secara berlebihan dan sampai keluar dari
cavum nasi atau yang biasa disebut Rhinorrhea, maka terdapat zat/benda
yang mempengaruhi mukosa nasal maupun sinus dalam memproduksi
sekret yang berlebihan. Hal tersebut bisa diakibatkan oleh kotoran debu

sampai mikroorganisme dan virus. Perubahan warna pada dirscharge bisa


menjadi penanda penyebab rhinorrhea. Warna kecoklatan pada discharge
pasien di skenario bisa disebabkan oleh sekret dari sinus yang terlalu lama
terkumpul di dalam sinus dan semakin lama akan ditumbuhi oleh
bakteri/mikroorganisme.
Discharge post-nasal, juga disebut post-nasal drip (PND),
menggambarkan sensasi akumulasi lendir di tenggorokan atau perasaan
bahwa lendir menetes ke bawah dari belakang hidung. PND dapat
disebabkan oleh sekresi mucous yang berlebihan.
Biasanya, kelenjar yang melapisi hidung dan sinus menghasilkan
satu hingga dua liter lendir sehari. Pada permukaan ini lapisan selaput
lendir, dengan irama silia dorong mundur lendir . Kemudian ditelan sadar.
lendir ini melumasi dan membersihkan membran hidung, melembabkan
udara, perangkap dan membersihkan terhirup benda asing ,dan melawan
infeksi. Produksi lendir dan clearance diatur oleh interaksi yang kompleks
saraf, pembuluh darah, kelenjar, otot, hormon, dan silia seperti yang telah
dijelaskan pada mekanisme transport mukosilier.
Pada

skenario,

pasien

mengalami

alergi

sehingga

terjadi

hipersekresi mucous sebagai respon tubuh terhadap allergen yang masuk.


Mukous yang terdapat dalam sinus tadinya bersifat serosa, tapi seiring
dengan berjalannya penyakit dan timbulnya infeksi, mucous berubah
menjadi kental. Sama dengan fisiologis system transport mukosilier,
mucous purulen tersebut dibawa masuk ke dalam nasofaring sebagai
reaksi pertahanan tubuh, tapi karena sifatnya yang kental, pasien bisa
merasakan sensasi lendir yang jatuh di tenggorokannya.
Pada pasien juga terjadi karies gigi. Karies gigi adalah kerusakan
jaringan keras gigi yang disebabkan oleh asam yang ada dalamkarbohidrat
melalui perantara mikroorganisme yang ada dalam saliva. Terdapat 4
faktor utama dalam pembentukan karies gigi, yaitu gigi, mikroorganisme

di dalam plak, substrat, dan waktu sejak dimulainya pembentukan karies


gigi.
Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan larutnya mineral dalam
email, dentin, dan sementum, sebagai akibat dari terganggunya
keseimbangan mineral antara gigi dan sekelilingnya yang disebabkan oleh
pembentukan asam mikrobial dari substrat sehingga timbul destruksi
komponen-komponen organik yang akhirnya terbentuk kavitas (lubang).
Karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa akan berlanjut
menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis
pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas secara
cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus
masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa
tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi
tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat
dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut.
Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui
kontinuitas jaringan dan spasia jaringan. Pus akan terbentuk di tulang
cancellous dan tersebar ke berbagai arah yang memiliki resistensi jaringan
paling buruk. Penyebaran pus dapat ke arah bukal, submukosa,
mandibular, dan sinus maxillaris, tergantung pada posisi gigi dalam
lengkung gigi, ketebalan tulang, dan jarak perjalanan pus. Demikian
infeksi pada gigi mudah menjalar ke sinus maksillaris.
B. Diagnosis Kerja
Dari rangkaian gejala dan tanda yang dialami pasien pada skenario,
dan mengacu pada pengetahuan dasar tentang hidung dan sinus
paranasales serta perbandingan beberapa diagnosis diferensial maka
didapati diagnosis kerja pasien adalah sinusitis maksillaris odontogen
dengan polip nasi.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dalam kasus skenario, ditemukan bahwa pasien memiliki keluhan sering
pilek dan ingus berbau busuk, yang kemudian diikuti dengan gangguan
menghidu serta nyeri kepala separuh. Berdasarkan pembahasan ditemukan
bahwa keluhan gangguan menghidu terjadi oleh karena berbagai faktor,
dapat terjadi karena kerusakan dari sel-sel olfaktori nya, ataupun adanya
obstruksi sehingga menghambat jalannya odoran ke reseptor di sel olfaktori.
Selain itu, melihat riwayat pasien memiliki sakit gigi dan penanganan tidak
adekuat, sehingga dapat terjadi kemungkinan adanya peradangan di gigi
(terutama keluhan di M1,M2 atas) yang kemudian dapat menyebar ke sinus
khususnya maxillaris.
Dengan meradangnya sinus, akan menyebabkan penumpukan cairan di sinus
maxillaris, sedangkan muara sinus maxillaris lebih tinggi dari sinus

maxillaris itu sendiri sehingga cairan terakumulasi di sinus ini, hal ini yang
menyebabkan manifestasi nyeri kepala separuh bahkan rasa seperti ditekan
pada daerah muka.
2. Pengobatan tradisional yang dilakukan oleh pasien seperti air garam dan
daun sirih secara penelitian lebih lanjut belum memiliki bukti yang cukup
kuat dan efektif untuk mengatasi gejala yang dialami pasien, namun telah
ada penelitian yang membuktikan bahwa air garam dan daun sirih berfungsi
sebagai anti bakteri sehingga menghambat pertumbuhan kuman yang
menginvasi daerah yang dikeluhkan.
3. Setelah melihat dan mencoba membahas skenario ini, dapat diperoleh
bahwa kemungkinan pasien mengalami sinusitis dan juga rhinitis, hal ini
dapat terjadi bersamaan maupun saling berkaitan satu dengan yang lain.
4. Setelah mengetahui keluhan yang dialami pasien, dapat diperoleh
penatalaksanaan pada pasien dalam bentuk obat maupun edukasi. Obat yang
diberikan adalah antibiotik dapat juga diberi tambahan dekongestan dan
juga antihistamin apabila pasien memiliki riwayat alergi. Apabila terdapat
polip(massa bening licin curiga polip) harus dilakukan tindakan operatif.
B. Saran
1. Dalam diskusi tutorial ini, mahasiswa sudah cukup aktif. Namun masih
kurang dalam penelusuran literature yang valid.
2. Tutor sudah baik dalam menjaga situasi diskusi dan juga mengarahkan
mahasiswa. Sehingga tujuan pembelajaran yang ada dapat tercapai.
3. Suasana tutorial dimana satu mahasiswa dan mahasiswa lain saling
bertanya dan menanggapi sangat membangun keefektifan dari diskusi.

DAFTAR PUSTAKA
Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Boies,
Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119.
Berger G, Kattan A, Bernheim J, Ophir D, Finkelstein Y. Acute sinusitis: a
histopathological

and

immunohistochemical

study.

Laryngoscope.

2000;110(12):20892094.
Djaafar, Z.A., Helmi Restuti R.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Keenam. Jakarta: FKUI.
Djaafar, Z.A.. 2003. Otittis Media Supuratif Kronik, dalam Soepardi, S.A., dkk,
(ed), Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok,
Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Helmi. 2002. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis, dalam
Soepardi, E.A., dkk, (ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf
https://www.nmff.org/documents/OtolaryngologyHeadandNeckSurgery/Otolaryng
ology.Voice.PostNasalDrip.pdf. diakses pada tanggal 10 September 2014

Itzhak Brook, Burke AC. Chronic Sinusitis. Medscape reference. Feb 2012.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/232791-overview
(diakses tanggal 7 September 2014)
Itzhak Brook, Burke AC. Acute Sinusitis. Medscape reference. Jul 2013. Available
from:

http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview

(diakses

tanggal 7 September 2014)


Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Jakarta : FK UI, hal : 118-122.
Mescher, Anthony L. 2011. Histologi Dasar Junquiera: Teks & Atlas. Jakarta :
EGC. Page: 415-429.
Nizar NW. 2007. Anatomik Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofiologi
Sinusitis. Dalam : Kumpulan Naskah Lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo
BSEF. Makassar: 1-11.
Syartika, Lisa. 2013. Tinnitus. Dalam Clinic Corner SMF THT Santosa Bandung
International Hospital (SBIH).
Putu Wijaya Kandhi. 2013. Sinusitis. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret
Pushkar M, Haitham M. Maxillary sinus disease of odontogenic origin.
Otolaryngol Clin N Am. 2004;37:347-364

Anda mungkin juga menyukai