Abstrak
Pentingnya Kompetensi Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kota
Kabupaten Bangkalan Dalam Melaksanakan Prosedur Pengadaan Barang/Jasa Menurut
Perpres 54 Tahun 2010. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui
pengimplementasian perpres 54 tahun 2010 dan kesesuaian kompetensi pejabat pengadaan
barang/jasa menurut perpres 54 tahun 2010. Informan dalam penelitian ini adalah Pejabat
pengadaan barang/jasa di Kabupaten Bangkalan. Data dikumpulkan dari wawancara langsung
dengan para informan dan dianalisa dengan fenomenologi. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa pejabat pengadaan di Pemerintahan Kabupaten Bangkalan sudah
mengimplementasikan Perpres 54 tahun 2010, namun belum secara keseluruhan. dikarenakan
keterbatasan dana, kelengkapan administrasi yang masih kurang, dan belum tersedianya
kantor khusus pengadaan barang/jasa. Berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki oleh pejabat
pengadaan menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki Pejabat Pengadaan/ULP di
Kabupaten Bangkalan masih tergolong rendah. Hal ini dibuktikan dari pengangkatan pejabat
pengadaan ditunjuk langsung oleh kepala daerah tanpa melihat kualifikasi dari pejabat
pengadaan itu sendiri dan hasil realisasi pengadaan barang dan jasa pemerintah Kabupaten
Bangkalan baik fisik maupun non fisik.
Kata Kunci: Pengadaan barang/jasa; Perpres 54/2010; pejabat pengadaan; Implementasi dan
Kompetensi
ABSTRACT
The importance of the competency for thr government officer of goods/sevices
procurements in the Bangkalan Regency to perform the procurement procedures in the Perpres
54/ 2010. The purpose of this research is to discuss the implementation of the Perpres 54/2010
and compatibility of its procurement government officers competency according to Perpres 54/
2010. The informant used was the procurement government officer in the Bangkalan Regency.
The data collection method was direct interview with the informants and the analysys method
was phenomenology. The result of the discussion showed that the implementation of Perpres
54/2010 is still not fully implemented. Moreover, the level of the procurement government
officers are still in the low level which is shown by the pointment of procurement government
officers by the Mayor without considering their qualification and the realisation of the
procurement in the Regency of Bangkalan both goods and services which are still
disappointing.
Keyword: Procurement; Perpres 54/2010, Procurement Government Officers; Implementation;
and Competency
1. PENDAHULUAN
Pengadaan merupakan fungsi yang sangat penting dalam sebuah organisasi. Baik
dilihat dari besaran porsi anggaran atau dari banyaknya kasus pengadaan yang terjadi. Akibat
dari pengadaan yang tidak diatur dengan baik, maka bermunculan banyak kasus di bidang
pengadaan. Mengetahui dan Mengingat alokasi dana yang cukup besar untuk pengadaan
barang/ jasa, maka sudah sepantasnya hasil yang didapat juga harus maksimal, namun
kenyataan di lapangan menunjukkan hasil pengadaan barang/jasa pemerintah Kabupaten
Bangkalan tidak sesuai dengan harapan, hal ini dapat dilihat dari 1) hasil temuan BPK tahun
2004, 2008 dan 2009 atas ketidaksesuaian pengadaan barang/jasa 2) realisasi aggaran untuk
pengadaan barang/jasa yang tidak relevan 3) hasil observasi peneliti terhadap beberapa sarana
dan prasarana umum terhadap pengadaan barang/jasa pemerintah Kabupaten Bangkalan.
Selain itu, karena adanya fenomena bahwa kompetensi yang dimiliki oleh pejabat pengadaan
tidak sesuai dengan kompetensi kerja yang dipersyaratkan dalam perpres 54.
Melihat fenomena yang terjadi seperti dijelaskan diatas yang juga merupakan kondisi
real lapangan memberikan gambaran kepada kita semua betapa rapuhnya pengadaan
barang/jasa dipemerintahan kususnya barang/jasa untuk fasilitas umum terutama sarana
infrastruktur jalan dan konstruksi bangunan yang dalam hal ini dianggarkan dana cukup besar.
Untuk itu dibutuhkan kompetensi khusus dalam hal pengadaan barang/jasa. Pengertian
kompetensi menurut SK3-PBJ (Standart Kompetensi Kerja Khusus Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah) dalam LKPP RI No.3 Tahun 2011 adalah uraian kemampuan yang mencakup
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja minimal yang harus dimiliki seorang ahli
pengadaan barang/jasa yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan
Sumber Daya Manusia Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/Jasa pemerintah.
Kompetensi menurut Perpres 54 tahun 2010 adalah kemampuan pejabat dalam
mengelola pekerjaannya dengan berprinsipkan pada efisien; efektif; transparan; terbuka;
bersaing; adil/tidak diskriminatif; dan akuntabel dengan jaminan sertifikat sebagai bukti
pengakuan dari pemerintah atas kompetensi dan kemampuan profesi dibidang Pengadaan
Barang/Jasa.
Maksud dari pengertian di atas adalah sikap profesionalisme seseorang akan muncul
ketika, seseorang itu berada pada bidangnya. Seperti halnya kompetensi yang harus dimiliki
pejabat pengadaan barang/jasa di Pemerintahan Kabupaten Bangkalan. Kompetensi ini sangat
dibutuhkan untuk menghindari ketergantungan informasi dan data teknis dari rekanan
(imbalance information). Pasalnya, Penentuan kerjasama spesifikasi teknis ini merupakan
salah satu titik krusial terjadinya tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa di
Pemerintahan sekaligus memberikan nilai minus akan kompetensi yang dimiliki pejabat
pengadaan barang/ jasa.
Minusnya akan kompetensi yang dimiliki pejabat pengadaan barang /jasa pemerintah
berdampak pada Harga Perhitungan sendiri (HPS)/ Owner Estimate (EO) seperti apa yang
disampaikan Larto Untoro, Kepala Bagian Pengadaan ULP Komisi Pemberantasan Korupsi
(PK) yang dikutip dari sebuah majalah Integrito, Sebuah majalah internal terbitan KPK Vol.
14/Januari. Pasalnya, untuk mendapatkan hasil pengadaan barang/jasa yang menguntungkan
negara dengan kualitas barang yang dapat dipertanggungjawabkan, perhitungan HPS harus
dilakukan secara relevan, dan benar sesuai dengan informasi harga pasar yang bersaing,
perhitungan pajak yang tepat dan biaya-biaya lainnya yang terkait langsung dengan pengadaan
barang.
Pentingnya kredibilitas dan independensi Pengguna Anggaran dalam penentuan
spesifikasi teknis dan HPS/ OE merupakan syarat mutlak terselenggaranya pengadaan
barang/jasa pemerintah dan perbekalan pengadaan yang akuntabel. Kedua aspek ini
mempunyai peran strategis sebagai alat kontrol kualitas barang serta kewajaran harga yang
ditawarkan rekanan.
Berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Suharno (2011: 116) dengan
judul penelitian Pentingnya keahlian pengadaan Barang/jasa UPT Pemasyarakatan di
Nusakambangan adalah bahwa UPT pemasyarakatan di Nusakambangan kurang memenuhi
Qolbi, Djasuli, Harwida/ Pentingnya Kompetensi Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kota Kabupaten Bangkalan Dalam
Melaksanakan Prosedur Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Perpres 54 Tahun 2010
syarat menjadi anggota ULP, sehingga terpaksa diambilkan dari instansi lain, dengan resiko
pengadaan barang/jasa kurang berjalan secara optimal.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan replikasi ektended yaitu pengembangan
penelitian
dengan menggunakan metode yang sama yakni metode kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi, namun objek dan permasalahan dalam penelitian ini berbeda
dengan penelitian sebelumnya. Orientasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kesesuaian kompetensi pejabat pengadaan di Kabupaten Bangkalan dengan tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pejabat pengadaan.
2. METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bertujuan
untuk membangun suatu proposisi dan menjelaskan makna dibalik realita sosial yang terjadi.
Penelitian ini juga berupaya memandang apa yang terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan
temuan-temuan yang diperoleh di dalamnya dimana peneliti berpijak pada realita atau peristiwa
yang berlangsung dilapangan dengan latar belakang lingkungan yang alamiah. (Bungin,
2007:44)
Pendekatan fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkapkan fakta yang
terjadi dengan lebih menekankan pada pola pikir yang berfokus pada pengalaman-pengalaman
subjektif dan interpretasi pejabat dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai
public service.
Dengan membangun sebuah paradigma interpretatif yang berfokus pada pola pikir,
etika, pengalaman, sikap profesionalisme kerja dan tanggungjawab terhadap tugas yang
dipikulnya, penelitian ini nantinya diharapkan mampu memberikan kajian yang sesuai.
Sehingga kajian fenomena yang diambil sebagai dasar penelitian ini menjadi lebih relevan dan
akurat (Bungin, 2007:46).
Desain penelitian yang berpedoman pada tujuan penelitian digunakan untuk menjawab
pertanyaan penelitian tentang Apakah Pejabat pengadaan sudah mengimplementasikan
perpres 54 dan apakah pejabat pengadaan memiliki kompetensi yang sesuai dengan
kebutuhan pengadaan serta bagaimana seorang pejabat pengadaan melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pejabat pengadaan ditengah-tengah tugas dan tanggugjawabnya di
instansi-nya masing-masing antara lain : (a)Pemilihan metode penelitian; (b) Memilih informan
kunci yang terkait dengan penelitian; (c)Pengumpulan data;(d) Analisis data
2.1 Implementasi Perpres 54 tahun 2010 oleh Pejabat Pengadaan dan Kesesuaian
Kompetensi Pejabat Pengadaan dengan Kebutuhan Pengadaan.
Informan kunci yang pertama adalah Ketua ULP (Unit Layanan Pengadaan). Pemilihan
informan ini dikarenakan ketua ULP merupakan orang yang memiliki pengetahuan lebih
dibandingkan dengan pejabat lainnya. Atas dasar pertimbangan ini-lah peneliti mengambil
langkah untuk menjadikan ketua ULP sebagai informan utama, kemudian menjadikan pejabat
pengadaan lainnya sebagai informan kedua. Hasil yang diperoleh akan menjadi perbandingan
untuk mempertimbangan kesimpulan dalam penelitian ini.
2.2 Unit analisis kompetensi pejabat pengadaan yang dipersyaratkan oleh SK3-PBJ
(Standar Kompetensi Kerja Khusus Pengadaan Barang/Jasa) adalah sebagai berikut:
(a) informan memenuhi persyaratan menjadi pejabat pengadaan;(b) informan mengerti
akan tugas dan tanggungjawab kerja serta mampu memecahkan persoalan-persoalan yang
akan terjadi selanjutnya.; (c) Informan memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih dalam
melaksanakan tugas menjadi pejabat pengadaan
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi: (a) Survei pendahuluan yaitu
untuk menggali informasi-informasi up-to date baik melalui artikel, media cetak, internet, serta
lainnya untuk memperoleh gambaran akan kinerja pejabat dan memahami permasalahan yang
akan diteliti dan dibahas dalam penelitian ini; (b) Survei kepustakaan yaitu mengumpulkan dan
mempelajari data jadi yang diperoleh baik dari buku-buku, jurnal maupun aturan perundangundangan yang disesuaikan dengan teori-teori yang mendukung (c) Pengumpulan data
lapangan dilakukan dengan yaitu dengan melakukan observasi, wawancara, rekaman dan
dokumentasi. Dalam melakukan observasi peneliti melakukan wawancara secara mendalam
untuk memperoleh informasi terkait dengan tujuan penelitian. Proses pengumpulan data
3
dilakukan dengan melakukan observasi lapangan, melihat pemberitaan melalui media cetak
dan elektronik guna memperoleh informasi yang terkait dengan tujuan penelitian.
Proses analisis kesesuaian kompetensi pejabat dengan tugas dan tanggungjawab
sebagai pejabat pengadaan dilakukan dengan membandingkan gelar, jabatan serta
pengetahuan dan pengalaman yang dimilki pejabat pengadaan dengan tugas yang dipikulnya
yaitu (pengadaan barang/jasa).
Langkah-langkah analisis data pada pendekatan fenomenologi (Creswel, 2007 dalam
Mutiah 2011: 48), yaitu: (1) Peneliti memulai mengorganisasikan semua data yang diperoleh
tentang fenomena pengalaman yang dikumpulkan;(2) Membaca data secara keseluruhan dan
membuat catatan mengenai data yang dianggap penting;(3) Menemukan dan mengelompokkan
makna pernyataan dengan melakukan horizonatiling yaitu setiap pernyataan pada awalnya
diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya pernyataan yang tidak relevan dengan topik
pertanyaan yang bersifat repititif dihilangkan sehingga yang tersisa hanya horizons (arti
tekstural dan unsur pembentuk atau pembentuk dari fenomena yang tidak mengalami
penyimpangan); (4) Pernyataan tersebut kemudian dikumpulkan kedalam unit makna lalu ditulis
gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi;(5) Selanjutnya peneliti
mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena sehingga menemukan esensi dari
fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang
terjadi pada informan) dan structural description (yang menjelaskan bagaiman fenomena itu
terjadi);(6) Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari
fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman informan mengenai fenomena
tersebut.
3.
Qolbi, Djasuli, Harwida/ Pentingnya Kompetensi Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kota Kabupaten Bangkalan Dalam
Melaksanakan Prosedur Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Perpres 54 Tahun 2010
pengadaan barang/jasa. Ditambah lagi personilnya atau PNS yang bersertifikat itu sedikit
jumlahnya. Jadi mulai tahun 2009-2012 semua pejabat pengadaan harus sudah memiliki
sertifikat. Kalau dulu masih L1/L2/L3, kalau sekarang sudah berubah. Saya kurang paham
untuk soal ini.
Nah, kalau untuk dokumen, saya tidak megang. Jangankan saya, ketuanya saja belum
tentu punya. Karena memang dokumen itu memang ada di skpd masing-masing. Selain karena
masalah dana, kami juga tidak punya kantor tetap. Jadi tidak ada tempat penyimpanan
dokumen. Daripada hilang, lebih baik dipegang tiap skpd masing-masing. Kalau nanti kita
butuh, tinggal kita pinjam saja.
Menarik apa yang disampaikan oleh informan B dan informan C mengenai Selain
kendala dana, administrasinya kan perlu dilengkapi. Kalau peneliti analisa dana yang
dianggarkan untuk pengadaan itu jumlahnya cukup besar. Untuk melakukan pengadaan
barang/jasa yang nilai kontraknya jutaan sampai milyaran rupiah bisa, kenapa membangun
atau memperbaiki tata kelola dalam organisasi pengadaan itu sulit. Hal ini jelas tidak masuk
akal. Kalau saja fokus kerja pemerintahan tidak hanya pada hasil akhir yang ingin didapat tapi
lebih kepada perbaikan internal badan keorganisasian itu sendiri. Maka secara tidak langsung
pemerintah telah mengusahakan pencapaian output yang maksimal atau sesuai dengan yang
diharapkan.
Melihat pernyataan diatas yang juga merupakan gambaran kondisi di Kabupaten
Bangkalan, peneliti ingin mengetahui sejauh mana implementasi perpres 54 dilaksanakan.
Untuk itu peneliti mengajukan pertanyaan lebih dalam lagi kepada informan tentang
Sejauhmana E-procurement dilaksanakan?
Informan A:
Untuk e-procnya, kita sudah menjalankannya kurang lebih 40%. Nah kalau untuk
sepenuhnya dilaksanakan e-proc itu masih belum. Karena memang alatnya belum ada dan kita
masih dalam masa adaptasi.
Pernyataan informan A menjelaskan bahwa e-procurement atau yang kita sebut
dengan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik di Kabupaten Bangkalan masih
dalam proses pengerjaan. Hal ini memperkuat dugaan bahwa implementasi perpres 54 tahun
2010 belum sepenuhnya dilaksanakan. Dimungkinkan karena masih dalam masa transisi yakni
perubahan peraturan dari kepres 80 tahun 2003 menjadi perpres 54 tahun 2010. Penjelasan
diatas senada dengan apa yang disampaikan informan B yakni :
Untuk e-proc sendiri kita masih dalam proses. Kita sudah ada websitenya. Bahkan
sudah ada pelatihan untuk ini. Kita cuman menunggu panggilan saja. Kan memang tahun 2012
ini semua pengadaan harus sudah berbasis elektronik. Jadi semua administrasi, mulai dari
pengumuman, proses lelang, sampai penentuan pemenang diumumkan lewat web. Jadi sudah
terkomputerisasi.
Berbeda dengan informan C yang kurang paham akan pelaksanaan e-proc itu sendiri.
Berikut penuturan informan C :
Kalau e-proc sepertinya belum, lebih baik tanya langsung pada ketuanya saja. Tapi
memang semua masih dalam proses. Untuk kesiapan penggunaan saya kurang paham. Dan
kalau untuk pelatihan e-proc itu sendiri saya juga kurang paham. Soalnya belum ada undangan
untuk pelatihan.
Disini informan C, terlihat kurang paham akan perubahan tekhnis kerja pengadaan.
Terlihat bagaimana dia menjawab kalau e-proc sepertinya belum, lebih baik Tanya langsung
pada ketuanya saja.
Menanggapi ulasan dari penjelasan diatas, dimungkinkan disebabkan beberapa faktor
keadaan yang tidak mendukung. Seperti tanggungjawab kerja disetiap instansi, komisis yang
tidak sesuai, dan wadah sebagai suatu kelembagaan organisasi pengadaan. Beberapa faktor
ini sangat mempengaruhi kinerja pejabat pengadaan yang kemudian berdampak pada hasil
akhir atau output.
Sejauh perpres belum bisa dilaksanakan secara keseluruhan, apakah kompetensi
pejabat pengadaan sudah sesuai dan bagaimana implikasinya. Untuk mengetahui hal tersebut,
maka peneliti langsung melakukan wawancara dengan beberapa informan yang sudah peneliti
pilih dan tetapkan guna mendapatkan jawaban atau referensi yang dapat diulas sebagai
bahasan untuk menjawab permasalahan yang diangkat.
Qolbi, Djasuli, Harwida/ Pentingnya Kompetensi Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kota Kabupaten Bangkalan Dalam
Melaksanakan Prosedur Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Perpres 54 Tahun 2010
pengadaan, ya..harus diambilkan dari instansi lain. Apalagi kan memang untuk mendapatkan
sertifikat pengadaan itu susah. yang memiliki sertifikat pengadaan di Kabupaten Bangkalan ini
sedikit jumlahnya, sekitar 32 orang dan memang tidak mudah mendapatkan sertifikat
pengadaan. Karena hanya LKPP lah yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikat
pengadaan. Seandainya ditiap Kabupaten atau provinsi saja ada LKPP, kan lebih mudah. Ini
malah kantor Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang banyak. Kan tidak begitu
penting. Ya begitulah di Bangkalan ini.
Untuk tugasnya, hanya menjalankan prosedur pengadaan. Mulai dari pengumuman
sampai proses pengadaan. Didalam proses itu sendiri terdapat banyak metode pemilihan,
tergantung dari besaran anggaran untuk proyek itu.
Kesan yang disampaikan oleh informan A terlihat bahwa kompetensi yang sesuai
dengan kebutuhan pengadaan dapat digantikan dengan sertifikat pengadaan. Namun jawaban
kedua mengenai tugas menjadi pejabat pengadaan sudah sesuai dengan perpres 54.
Pernyataan ini terlihat alami. Hal ini diperkuat dengan fakta dilapangan. Minimnya pejabat
pengadaan di Kabupaten Bangkalan membuat pelaksanaan pengadaan harus diambilkan dari
instansi lain, dengan resiko yang mungkin akan terjadi.
Mungkin yang dimaksud oleh informan A adalah kerjasama LKPP dengan beberapa
kelembagaan disetiap daerah. Sehingga untuk mendapatkan sertifikat pengadaan secara
independen dapat dengan mudah dilaksanakan.
Pernyataan informan A diatas selaras dengan pernyataan yang dilontarkan oleh
informan B. berikut pernyataan dari informan B:
syarat diangkatnya menjadi pejabat pengadaan adalah kita harus memiliki sertifikat
pengadaan
Sedangkan informan C juga menjawab hal yang sama yakni
syarat diangkatya menjadi pejabat pengadaan ya,.. sertifikat pengadaan. Tapi untuk
mendapatkan sertifikat pengadaan itu tidak mudah. Sangat susah dan bahkan hanya sedikit
yang lulus sertifikat
Pada intinya, sertifikat pengadaan merupakan syarat utama diangkatnya Pegawai
Negri Sipil (PNS) menjadi pejabat pengadaan. Hal ini menjadi penting karena ketika ditengahtengah pengadaan nantinya ada permasalahan, dan BPK menyelidiki kasus tersebut, yakni
salah satunya tentang apakah pejabat pengadaan di instansi tersebut sudah memenuhi syarat
diangkatnya menjadi pejabat pengadaan sesuai perpres 54 tahun 2010. Hal ini bisa langsung
dibuktikan dengan sertifikat pengadaan. Fenomena inilah yang kemudian mengubah paradigma
seseorang bahwa sertifikat pengadaan merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh
seseorang untuk diangkat menjadi pejabat pengadaan, tanpa melihat kualifikasi lainnya sesuai
dengan ketentuan perpres 54 tahun 2010
Melihat pernyataan diatas yang juga merupakan gambaran kondisi di Kabupaten
Bangkalan, peneliti ingin membuktikan dugaan yang merupakan hasil proses berfikir peneliti
dalam tanggapan mengenai efek yang terjadi dilapangan. Yaitu, langkah apa yang dilakukan
pejabat pengadaan/ULP jika dalam proses mendapatan barang/jasa terdapat permasalahan ?.
Pertanyaan ini diajukan, untuk melihat tanggungjawab pejabat pengadaan terhadap persoalan
yang mungkin akan terjadi dalam proses pengadaan barang/jasa yang ditanganinya. Berikut
adalah sepenggal pernyataan dari informan A:
Kalau untuk pemasalahan-permasalahan. Kita lihat dulu, siapa yang berbuat curang
disini. Apakah dari penyedia barang atau memang dari kita. Tapi untuk masalah ini, kita kan
cuma menyeleksi penyedia barang/jasa. Untuk urusan selanjutnya-kan tergantung dari instansi
tesebut mau melakukan kontrak dengan penyedia barang yang kami tawarkan atau tidak.
Istilahnya kan kita hanya mencarikan tukang untuk mereka. Untuk urusan ditindak lanjuti atau
dilakukan kontrak kan urusan mereka, bukan urusan kita lagi. Begitu!! lagi pula ada bagian
tersendiri, untuk urusan kesesuaian barang itu tanggungjawab PPK. Jadi kalau ada ketidak
sesuaian, ya..PPK yang kena.
Misalkan kita kan mengadaan kontrak dengan penyedia, nah biasanya penyedia itu kita
mintai rekening untuk memasukkan dana 100 juta sebagai jaminan, yang jaminan itu kita
pegang. Begitu pihak penyedia melakukan kecurangan, kita ambil jaminan itu atau bahkan kita
mintai kerugian, dengan alasan melanggar kontrak perjanjian. Tapi kalau misalkan hasil
pengadaan itu sudah sesuai, baru kita bayarkan.
Atau seperti ini, misalkan terjadi keadaan darurat. Ini biasanya dirumah sakit. dalam hal
ini, kita bisa langsung mengadakan pengadaan barang/jasa saat itu juga tapi tetap mengarah
pada aturan. Nah, nantinya kita masukkan dalam rencana pembangunan jangka panjang
(RPJM). Untuk urusan keuangan, nanti kita bayarkan setelah dana itu turun. Jadi santai saja
Pernyataan informan A ini terlihat seperti menghindari tanggungjawabnya sebagai
salah satu bagian dari organisasi pengadaan. Kalau kita analisa, pernyataan ini justru tidak
sesuai dengan perpres 54 tahun 2010 mengenai alur proses pengadaan sampai didapatkannya
hasil pengadaan yang sesuai. Untuk mendapatkan hasil pengadaan yang sesuai, maka perlu
pengaturan yang baik mengenai tata cara pengadaan barang/jasa yang sederhana, jelas dan
komprehensif sesuai alur prosedur yang dijelaskan dalam perpres 54 tahun 2010 mengenai
pengadaan barang/jasa pemerintah. Oleh karena itu, mau tidak mau instansi tersebut haruslah
melakukan tindak lanjut kontrak yang ditentukan oleh hasil penentuan pemenang yang dipilih
pejabat pengadaan/ULP sesuai aturan perpres 54. Jadi jelas pejabat pengadaan masih
memiliki tanggungjawab sebagai penentu pemenang penyedia barang.
Selain itu pernyataan yang dilontarkan informan A dipicu oleh batas akhir
tanggungjawab menjadi pejabat pengadaan. Hal ini berdasarkan pernyataan dari informan A
yaitu:
setiap tahunnya pejabat pengadaan itu dipindah tugaskan, jadi tidak menetap menjadi
pejabat pengadaan untuk bidang yang sama sesuai SK Bupati
Artinya jika dalam proses pengadaan terdapat kendala yang memicu adanya
keterlambatan pengadaan barang/jasa pemerintah terutama yang bersifat konstruksi, maka
tanggungjawab inilah menjadi kabur dan menjadi tugas PPK selaku pemeriksa barang/jasa
pemerintah. Jadi tidak salah kalau informan A memberikan pernyataan tugas pejabat
pengadaan hanya sampai pada penentuan pemenang. Karena memang PPK diangkat dari
KTU dalam instansi tersebut. Jadi tidak mungkin ada putus kerja
Berbeda dengan informan A, informan B menjawab lebih realistis yaitu:
Jika nantinya terdapat kesalahan ditengah-tengah kontrak, maka yang harus kita
lakukan adalah melihat letak dari permasalahan yang ada. Didalam kontrak dan dokumen
pengadaan kan sudah jelas. Barang siapa yang melanggar dari ketentuan kontrak ini, maka
akan dikenakan sangsi yang sesuai. Entah mulai dari denda atau perbaikan hasil pengadaan.
Pernyataan yang dilontarkan informan B, merupakan pernyataan standar sehigga
peneliti membutuhkan informan tambahan.
Berikut pernyataan dari informan C:
Biasanya dek, kesalahan itu terletak pada CV nya. Kan tidak semua CV itu jujur. Jadi
ya, CV nya yang harus mengganti kerugian yang ada. Kalau misalkan ada permasalahan saat
selesainya pekerjaan, ya itu salahnya Pejabat penerima Hasil.
Pernyataan dari Ketiga informan diatas tidak sesuai dengan aturan yang tertuang
dalam perpres 54. Seperti halnya informan A dan C yang justru malah melimpahkan kesalahan
pada orang lain dengan menyebutkan fungsi dan tanggungjawab dari setiap lini organisasi
pengadaan. Sementara pernyataan dari informan B terlihat standart yang peneliti tidak bisa
simpulkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada dasarnya tanggungjawab akan hasil
pengadaan merupakan tanggungjawab keseluruhan organisasi pengadaan, tidak dibagikan
kepada setiap lini pengadaan seperti yang dinyatakan oleh informan A dan C.
Namun hal ini menjadi berbeda ketika kesalahan tersebut memang terbukti dilakukan
dengan sengaja atau tidak sengaja oleh salah satu dari lini organisasi pengadaan dengan
tujuan tertentu yang merupakan tindakan melanggar hukum.
Pernyataan pengantar diatas, membuktikan pada kita bahwa pejabat pengadaan
barang/jasa pemerintah di kabupaten Bangkalan masih kurang memenuhi kriteria menjadi
seorang pejabat pengadaan baik dilihat dari kualifikasi persyaratan menjadi pejabat pengadaan
atau cara mereka memecahkan permasalahan. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui lebih
jauh lagi mengenai Kompetensi Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Kabupaten
Bangkalan seperti yang dijelaskan dalam perpres 54, bahwa pejabat dikatakan profesionalisme
apabila telah menerapkan prinsip-prinsip dasar pengadaan.
3.3. Pemahaman Pejabat Pengadaan terhadap Prinsip Dasar Pengadaaan yang
Merupakan Tolak Ukur Kompetensi Pejabat Pengadaan.
Prinsip dasar ini merupakan hal-hal mendasar yang harus menjadi acuan atau
pedoman yang harus dijalankan pejabat pengadaan untuk mendapatkan barang/jasa
pemerintah. Dalam prinsip dasar juga terkandung filosofi pengadaan barang/jasa yakni
upaya untuk mendapatkan barang/jasa yang diinginkan, dengan menggunakan pemikiran
8
Qolbi, Djasuli, Harwida/ Pentingnya Kompetensi Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kota Kabupaten Bangkalan Dalam
Melaksanakan Prosedur Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Perpres 54 Tahun 2010
yang logis dan sistematis, mengikuti norma dan etika yang berlaku berdasarkan
prinsip dasar pengadaan (Perpres 54 tahun 2010)
Namun seringkali penjelasan dalam tiap komponen prinsip dasar pengadaan sering
disalah artikan. Artinya, prinsip dasar pengadaan hanyalah sebuah teori yang sifatnya tidak
dipaksakan manfaatnya, namun yang terpenting memperoleh barang yang sesuai dengan
kebutuhan adalah hal yang paling utama.
Dari sinilah terlihat bagaimana seorang pejabat pengadaan dalam menjalankan tugas
dan tanggungjawabnya. Mengenai prinsip dasar pengadaan merupakan salah satu tolak ukur
dalam menilai kompetensi pejabat pengadaan, maka pejabat pengadaan dituntut secara aktif
menerapkan prinsip dasar pengadaan sebagai sebuah pedoman bahkan sebuah sistem kerja
dalam memperoleh barang/jasa pemerintah bidang pengadaan.
Untuk mengetahui apakah dalam menjalankan tugasnya pejabat pengadaan
menggunakan prinsip dasar pengadaan, maka peneliti mencoba menggali informasi dari
beberapa informan dengan latar belakang yang berbeda tentang pemahamannya terhadap
definisi dan komponen prinsip dasar pengadaan. Dari informan yang sudah peneliti
wawancarai, mereka menjelaskan prinsip dasar pengadaan sebagai berikut:
Menurut informan A:
prinsip dasar pengadaan itukan acuan untuk dapat barang/jasa ,dimana didalamnya terdapat
banyak komponen antara lain efektif, efisien, adil, terbuka, transparan, bersaing sehat. Kalau
yang dimaksud efisien itu ya kita mendapatkan barang dengan harga yang sesuai dengan
harga pasar, yang terpenting tidak melebihi pagu anggaran yang telah ditentukan atau sesuai
dengan anggaran. Kalau efektif, pelaksanaan pengadaannya tidak molor alias tepat waktu.
Mulai dari pengumuman,pelelangan sampai terpilihnya pemenang tender. Untuk
transparansi,sekarang kita sudah ada E-procurement atau LPSE, jadi kita umumkan bahwa
akan ada pelelangan mengenai pengadaan ini misalkan Nantinya semua penyedia langsung
memberikan penawarannya lewat situ. Jadi tinggal kita seleksi aja. Ini juga termasuk kategori
persaingan sehat karena penyedia dengan mudahnya mendapatkan informasi dari kita. Kan
begitu saja
Dari pernyataan informan A diatas, definisi dari komponen prinsip dasar pengadaan
sudah sesuai yaitu acuan untuk mendapatkan barang/jasa namun pengertian dari tiap
komponen yang dilontarkan informan A kurang benar yaitu yang terpenting tidak melebihi pagu
anggaran yang telah ditentukan . Pernyataan ini seolah-olah hanya terpaku pada anggaran
bukan pada pemerolehan barang itu sendiri. Jelas, persepsi ini salah dan tidak dibenarkan
dalam pengadaan barang/jasa pemerintah seperti apa yang dijelaskan dalam modul Diklat
Teknis Subtantif Spesialisasi (DTSS) yang merupakan salah satu pelajaran dalam uji
mendapatkan sertifikat pengadaan.
Bahwa yang dimaksud dengan efisien adalah menggunakan dana dan daya yang
terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan
dapat dipertanggungjawabkan. Dengan istilah lain, efisien artinya dengan menggunakan
sumber daya yang optimal dapat diperoleh barang dan jasa dalam jumlah , kualitas, waktu
sebagaimana yang direncanakan.
Dalam prinsip WTO, efisien tersebut dinyatakan sebagai kebijakan value for money.
Kebijakan efisienvalue for money tidak selalu diwujudkan dengan harga barang termurah,
karena disamping harga murah ada elemen lain yang perlu dipertimbangkan, diantaranya:
ketersediaan suku cadang, panjang umur rencana dari barang yang dibeli, besarnya biaya
operasional dan pemeliharaan, dan sebagaimana ,yang apabila digabungkan dengan harga
akan menghasilkan nilai yang optimal.
Berbeda dengan pernyataan dari informan A, informan B yang merupakan Anggota
ULP menjelaskan prinsip dasar pengadaan sebagai berikut:
prinsip dasar pengadaan itu terdiri dari beberapa komponen yang saya kurang hafal,
seperti efektif dan efisien. Nah, dalam mendapatkan barang, misalkan untuk pengadaan mobil
dinas atau sepeda motor, itu semua sudah ada dalam SHB (Standart Harga Barang). Jadi tidak
bisa sembarangan. Kalau mau menjualkan kepada kita, harganya ya harus ikut penawaran
pemerintah sesuai dengan SHB itu sendiri.
Pernyataan dari informan B, kurang benar. Standar Harga Barang (SHB) merupakan
buku pedoman namun bukan harga paten dalam menentukan HPS. Jika dalam perhitungan
HPS, pejabat hanya berpatokan dalam SHB dan bukan harga pasar maka akan mempengaruhi
9
hasil akhir atau output yang didapat. Hal ini dikarenakan standart harga barang sangatlah
berfluktuasi mengikuti tren perekonomian. Jadi untuk mendapatkan barang/jasa dengan
kualitas yang bagus dengan harga murah namun bukan murahan, pejabat harus mengikuti
kaidah yang benar untuk tetap mewujudkan nilai efisien suatu barang seperti yang dijelaskan
dalam prinsip dasar pengadaan.
Sama halnya dengan informan A dan B yang terpaku pada efektif dan efisien. Informan
C juga memberikan pernyataan yang sama yaitu
kita menggunakan prinsip dasar pengadaan itu dalam memperoleh barang/jasa
pemerintah. Ini merupakan hal utama. Antara lain dalam prinsip dasar pengadaan yaitu efektif
dan efisien. Ya kalau efisien itu kan berkaitan dengan uang. Jadi bagaimana kita memproses
barang itu sesuai dengan anggaran dan lagipula untuk barang itu sendiri ada patokan harganya
yang ada dalam buku pedoman harga Standar Harga Barang. Kalau efektif itu kan berkaitan
dengan waktu jadi kalau menurut saya efektif itu tepat waktu, sesuai dengan RAPBD. Jadi
kalau ada pengadaan yang tidak sesuai baik disebabkan oleh molornya pengumuman
pengadaan sampai pada proses dilaksanakan tender itu bisa jadi masalah untuk kami. Sejauh
ini biasanya keterlambatan itu dikarenakan pencairan dana dari atasan. Untuk transparan,
sekarang kita kan sudah ada LPSE. Jadi infomasinya bisa diupdate oleh masyarakat luas, dan
memang pengumuman hingga ditetapkannya pemenang sudah diumumkan ke publik. Jadi
publik juga bisa menilai. Apalagi sekarang kan sudah ada E-Procurement. Jadi bisa langsung
dilihat dari website. Kalau dulu, kita masih menggunakan manual yaitu menggunakan
pengumuman baik Koran atau media lainnya. jadi rada susah.
Pernyataan ini sesuai dengan prinsip pengadaan, namun berbeda dalam praktek
lapangan. Seperti hasil survey yang peneliti lakukan. Kebanyakan pengadaan barang/jasa
terutama bersifat konstruksi itu telah melampaui dari batas waktu penelitian. Salah satu
contohnya yang terjadi dilapangan adalah pembangunan mall Bangkalan yang melibihi batas
akhir ketentuan kontrak. Selain itu, rusaknya ruas jalan di Bangkalan yang rusak, hanya selang
beberapa bulan dari perbaikannya, dll
Fenomena diatas jelas memberikan kesan, bahwa organisasi pengadaan barang/jasa di
pemerintahan kabupaten Bangkalan masih tergolong rendah. Baik dilihat dari pengetahuan
pejabat dalam menjalankan tugas sampai pada kesadaran dalam memberikan tanggungjawab
publik pejabat pengadaan. Kalau penataan disetiap sektor pembangunan yang dibiayai dengan
APBD/APBN dikerjakan asal-asalan seperti ini, maka prinsip pengadaan yang tertera dalam
buku panduan perpres 54 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah hanya sebatas aturan
yang dibukukan, bukan aturan yang digunakan untuk dipraktekkan.
Prinsip dasar pengadaan merupakan gambaran pencapaian pengadaan yang sesuai
undang-undang hanya merupakan pedoman yang harus diterapkan oleh pejabat pengadaan.
Namun secara keseluruhan kompetensi pejabatlah yang menentukan. Jadi jelas kompetensi
pejabat mempengaruhi secara keseluruhan proses pengadaan sampai didapatkannya barang
tersebut.
Dalam aspek teknis, penentuan spesifikasi teknis yang seharusnya menjadi
kewenangan mutlak Pengguna Anggaran, bisa saja beralih menjadi kewenangan penyedia
barang. Hal ini dikarenakan adanya imbalanced information dan terbatasnya pengetahuan
teknis pelaksana proyek terhadap produk atau barang/jasa pengadaan. Sehingga
menyebabkan ketergantungan pada informasi dan data teknis dari rekanan menjadi sangat
tinggi. Adanya kerjasama dalam penentuan pesifikasi teknis ini merupakan salah satu titik
krusial terjadinya kesalahan pengadaan sampai ranah kasus tindak pidana korupsi (Tipikor)
Kondisi diatas menjelaskan pada kita bahwa kompetensi pejabat pengadaan masih
kurang diperhatikan atau dengan kata lain kompetensi kerja yang dimiliki oleh pejabat
pengadaan tidak sesuai dengan kebutuhan pengadaan. Sehingga dalam prosesnya terdapat
kendala-kendala tekhnis yang tanpa disadari hal ini juga termasuk merugikan pemerintah.
Kurangnya perhatian dari kepala daerah akan penempatan kerja yang sesuai dengan bidang
yang dimiliki pejabat pengadaa, menjadikan kinerja pejabat menurun, hal ini terbukti dari hasil
kerja baik dilihat dari bentuk fisik maupun nilai anggaran yang membengkak (Realisasi
Anggaran).
Untuk itu dibutuhkan kredibilitas dan independensi Pengguna Anggaran dalam
penentuan spesifikasi teknis dan penentuan HPS yang benar-benar dilakukan oleh pejabat
pengadaan yang kompeten. Hal ini menjadi penting sebagai alat kontrol kualitas barang serta
kewajaran harga yang ditawarkan rekanan, sehigga nantinya diharapkan nilai anggaran dapat
diefisienkan sesuai kebutuhan.
10
Qolbi, Djasuli, Harwida/ Pentingnya Kompetensi Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kota Kabupaten Bangkalan Dalam
Melaksanakan Prosedur Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Perpres 54 Tahun 2010
11
12
Qolbi, Djasuli, Harwida/ Pentingnya Kompetensi Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kota Kabupaten Bangkalan Dalam
Melaksanakan Prosedur Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Perpres 54 Tahun 2010
5. DAFTAR RUJUKAN
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 2004 http://www.BPK.co.id diunduh tanggal 21 september
2011
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 2008 http://www.BPK.co.id diunduh tanggal 21 september
2011
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 2009 http://www.BPK.co.id diunduh tanggal 21 september
2011
Bungin,Burhan. 2007. Analisis Data Kualitatif: pemahaman Filosofis dan Metodologis kea rah
Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Craswel dalam Mutiah, 2011 skripsi Interpretasi Pajak dan Implementasinya,Perspektif wajib
Pajak Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Lembaga
Kebijakan
Pengadaan
http://www.LKPP.go.id/Files/informasi Kebijakan
diunduh tanggal 27 agustus 2011
Barang/jasa
Pemerintah.
2010
Pengadaan Barang/jasa Pemerintah.pdf
(SK3-PBJP),
13