Anda di halaman 1dari 32

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA OTORITER


DENGAN PERILAKU COPING PADA REMAJA

Oleh:
Mirdasari Maulida
03320064

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2008

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA OTORITER DENGAN


PERILAKU COPING PADA REMAJA

Mirdasari Maulida
Rina Mulyati

INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pola asuh
orangtua otoriter dengan perilaku coping pada remaja. Hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah ada hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku
coping pada remaja.
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan yang berusia antara
15-18 tahun yang masih duduk di kelas XI di tiga MAN sekitar Yogyakarta. Skala yang
digunakan dalam penelitian ini dibuat sendiri oleh peneliti. Adapun skala yang digunakan
adalah skala pola asuh orangtua otoriter yang mengacu pada ciri-ciri pola asuh orangtua
otoriter yang dikemukakan oleh Baldwin dalam Mahfuzh (2004), Hurlock dan Lewin dkk
dalam Walgito (1991 ), dan skala perilaku coping yang mengacu pada aspek-aspek perilaku
coping yang efektif yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman ( Aldwin dan Revenson,
1987 ).
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tekhnik
spearmens rho dan dibantu dengan fasilitas program SPSS 12.0 for Windows untuk
menguji apakah terdapat hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku
coping pada remaja. Korelasi Spearmen Rho menunjukkan sebesar r = -0.065 dengan taraf
signifikansi sebesar p = 0.210. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku coping pada remaja.
hipotesis penelitian ini ditolak.

Kata Kunci : Pola asuh orangtua otoriter, perilaku coping, remaja.

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA OTORITER DENGAN


PERILAKU COPING PADA REMAJA

Pengantar
Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa
Latin adolescere yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan.
Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak
termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk
masuk ke golongan orang dewasa. Remaja seringkali dikenal dengan fase mencari
jati diri atau fase topan dan badai. Remaja belum mampu menguasai dan
memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya ( Monks dkk dalam Ali
dan Asrori, 2005 ). Remaja, salah satu ciri remaja yang menunjukkan belum mampu
menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya
adalah apabila remaja sedang mengalami konflik, baik konflik dengan diri sendiri
maupun dengan konflik dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Konflik yang
sering terjadi pada masa remaja, salah satunya adalah konflik dengan orangtua.
Lima puluh persen (50%) remaja bunuh diri karena memiliki masalah dengan
orangtuanya (suarantb.com). Contoh lain dari dampak tersebut yang menjadi
fenomena perilaku remaja saat ini adalah perilaku yang beresiko tinggi, yang
termasuk dalam kategori kenakalan remaja, yaitu kebut-kebutan di jalan, membolos,
perilaku seks bebas, meminum-minuman keras, hingga tindak kriminalitas yang
merugikan orang lain. Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindakan
tersebut, antara lain karena adanya konflik batin sendiri, dan kemudian

menggunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional (


Kartono, 2003 ).
Dilihat dari beberapa gambaran perilaku remaja tersebut, dapat disimpulkan
bahwa remaja belum efektif dalam menyelesaikan masalah yang mereka alami,
disebut juga coping yang digunakan belum efektif. Reaksi terhadap masalah,
mengacu pada coping behavior yang ditampilkan yaitu bagaimana seseorang
mengatasi tuntutan yang menekan ( Pramadi dan Lasmono, 2003 ). Lazarus dan
Folkman ( Taylor, 1995 ) membedakan dua fungsi coping, yaitu melakukan sesuatu
untuk mengubah masalah yang menyebabkan tekanan menjadi lebih baik, atau
disebut juga problem focused coping dan yang kedua untuk mengatur emosi yang
menekan, atau disebut juga emotional focused coping. Strategi dalam problem
focused coping itu sendiri adalah kehati-hatian (exercised caution), tindakan
instrumen (instrumental action) dan negosiasi ( negotiation). Strategi dalam
emotional focused coping adalah pelarian dari masalah (escapism), pengurangan
beban masalah (minimization), penyalahan diri sendiri ( self blame ), dan pencarian
makna (seeking meaning). Menurut Pervin dan John (Mei K, 2001), individu yang
mengatasi masalah dengan menggunakan Problem Focused Coping akan lebih
efektif, karena individu tersebut akan memikirkan dan mempertimbangkan secara
matang alternatif pemecahan masalah dengan mencari informasi dan hal lainnya
mengenai masalah tersebut dan Emotional Focused Coping biasanya bersifat
sementara karena individu hanya meredakan emosi yang ditimbulkan oleh stressor.
Coping yang paling efektif bagi individu adalah yang sesuai dengan jenis stress dan
situasi yang dihadapi oleh individu yang bersangkutan ( Khoirun Nisa, 2006 ).

Faktor-faktor yang mempengaruhi coping adalah kesehatan fisik, keyakinan


atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial,
dukungan sosial, dan materi ( Mutadin, 2002 ). Salah satu faktor yang
mempengaruhi coping diatas adalah dukungan sosial, yaitu dukungan ini meliputi
pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan
oleh orangtua, anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan masyarakat
sekitarnya.
Dukungan sosial yang pertama adalah yang diberikan oleh keluarga, yaitu
keluarga sebagai tempat pertama dan utama dimana anak lahir, dibesarkan,
berkembang, dan mengalami proses menjadi, pada dasarnya memikul beragam
fungsi keluarga yang berdampak pada penyesuaian terhadap perkembangan dan
kebutuhan-kebutuhan anak. Dalam hubungannya dengan itu, remaja mengharapkan
orangtuanya menaruh perhatian dan menolong, memberikan kebutuhan-kebutuhan
akan berkomunikasi, cinta kasih, dukungan, penerimaan, kepercayaan, kemandirian,
bimbingan dan keteladanan. Dalam memenuhi kebutuhan remaja diatas, orangtua
adalah aktor utama yang memainkan peran penting melalui pola pengasuhan
orangtua ( Barus, 2003 ). Pola asuh itu sendiri diartikan sebagai sikap orangtua
dalam hubungannya dengan anaknya. Sikap ini dapat dilihat dari beberapa segi
antara lain dengan cara orangtua memberikan peraturan dan disiplin, hadiah dan
hukuman, juga cara orangtua menunjukkan kekuasaannya dan cara orangtua
memberikan perhatian kepada anak ( Kohn dalam Astuti, 2005 ).
Baumrind dalam Santrock ( 2003 ) yang meyakini bahwa orangtua
seharusnya tidak bersifat menghukum maupun menjauhi remaja, tetapi sebaiknya

membuat peraturan dan menyayangi mereka. Baumrind membagi tiga jenis


pengasuhan yang berbeda yaitu autoritarian, autoritatif dan permisif.
Pola

asuh

autoritarian

adalah

gaya

yang

membatasi

dan

bersifat

menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orangtua dan untuk
menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua yang bersifat autoritarian membuat
batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit
komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial remaja
yang tidak cakap. Barus ( 2003 ) menjelaskan bahwa pengasuhan authoritarian
sangat potensial bagi munculnya pemberontakan atau perlawanan remaja dan
ketergantungan remaja terhadap orangtua, membuat remaja menjadi cemas tentang
perbandingan sosial, gagal dalam aktivitas-aktivitas kreatif, dan tidak efektif dalam
interaksi sosial, menumbuhkan rasa amarah besar, menyuburkan rasa permusuhan,
kehilangan kemampuan bereksploras, remaja mengucilkan diri, frustasi, tidak berani
menghadapi tantangan tugas, dan tidak bahagia. Remaja, karena terbiasa
menghadapi hukuman, maka remaja mudah sekali menjadi agresif, garang,
menunjukkan gangguan emosional, dirundung banyak masalah, dan banyak yang
meninggalkan rumah segera setelah mereka mampu. Anehnya, remaja yang tidak
mampu melepaskan diri dari keterkurungan otoritas orangtuanya seringkali
menunjukkan kepatuhan dan menyesuaikan diri dengan standard-standard perilaku
yang diatur oleh orangtuanya, namun mereka itu sesungguhnya menderita
kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan serta menderita
somatis daripada kelompok sebaya mereka.

Pola asuh autoritatif mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan
batasan dan mengendalikan tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa
berlangsung dengan bebas dan orangtua bersifat hangat serta membesarkan hati
remaja. Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang
kompeten. Barus (2003 ) memaparkan kualitas-kualitas pengasuhan authoritative ini
diyakini dapat lebih menstimulir keberanian, motivasi, dan kemandirian remaja
dalam melakukan eksplorasi dan memantapkan komitmen vokasionalnya. Pola ini
membuat remaja memiliki kemandirian yang tinggi dan terdorong untuk menguasai
tugas-tugas

baru,

mampu

menggalang

persahabatan

dan

kerjasama,

menumbuhkan harga diri yang tinggi, memiliki kematangan sosial dan moral, tekun
dalam belajar di sekolah, dan mencapai prestasi belajar yang tinggi.
Pola asuh permisif adalah suatu pola di mana orangtua

sangat terlibat

dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka.


Pengasuhan permisif- memanjakan berkaitan dengan ketidakcakapan sosial remaja,
terutama kurangnya pengendalian diri. Baumrind ( Barus, 2003 ) menemukan bahwa
remaja yang menerima pengasuhan permissive sangat tidak matang dalam berbagai
aspek psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati ( impulsive), tidak
patuh, dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang
bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaat mereka. Mereka juga terlalu
menuntut, sangat tergantung pada orang lain, dan kurang gigih dalam mengerjakan
tugas-tugasnya, tidak tekun dalam belajar di sekolah, dan lebih sering menggunakan
minuman keras daripada remaja yang orangtuanya mengkomunikasikan standard
perilaku yang jelas.

Terkait dengan beberapa kasus yang telah dipaparkan sebelumnya,


menggambarkan tentang hubungan remaja dengan orangtuanya dan dari kasuskasus tersebut dapat dilihat bahwa, terdapat gambaran perilaku orangtua yang
otoriter, yaitu sikap menekan, mengatur maupun aturan yang ketat. Remaja, dari
kasus-kasus tersebut memiliki reaksi tersendiri dari sikap orangtuanya, yaitu
menggunakan

obat

terlarang

dan

melakukan

tindak

kekerasan

terhadap

orangtuanya. Hal tersebut, menggambarkan dampak dari pola asuh orangtua


otoriter.
Beberapa hal yang menunjukkan perilaku orangtua yang otoriter, dimana
orangtua

hanya bersikap menurut sudut pandang mereka, antara lain orangtua

menentukan apa yang seharusnya dipilih oleh anak remajanya, tanpa berkompromi
dahulu dengan anak remajanya, misalnya dalam menentukan pilihan sekolah,
organisasi, atau kegiatan lainnya, anak remajanya tidak diberi kesempatan untuk
memberikan pendapat tentang apa yang sebenarnya diinginkan, seolah-olah anak
remaja tersebut belum dapat menentukan mana hal yang baik bagi dirinya dan
orangtua

lah yang mengetahui mana yang baik untuk kehidupan anak remaja

mereka. Sikap lain orangtua, adalah melakukan tindakan kepada anak tanpa adanya
komunikasi dua arah terhadap anak remaja, contohnya orangtua menuduh anak
telah melakukan kesalahan sehingga tanpa mendengarkan penjelasan dari anak
remajanya, orangtua langsung mengambil tindakan atau memberi hukuman kepada
si anak remaja tersebut.
Pola asuh orangtua otoriter, yang lebih menimbulkan dampak yang tidak baik
bagi perkembangan diri remaja sehingga berpengaruh pula pada pola perilaku

coping remaja tersebut, yaitu belum mampu nya remaja menyelesaikan masalah
yang dihadapinya, tetapi remaja lebih ingin melarikan diri dari masalah yang dapat
berakibat buruk pada diri.
Berdasarkan fenomena remaja yang terkait dengan coping dan pola asuh
orangtua, yang dalam hal ini adalah pola asuh orangtua otoriter, maka penulis ingin
menggali lebih dalam lagi tentang Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua Otoriter
dengan Perilaku Coping pada Remaja.

Tinjauan Pustaka
Perilaku Coping
Coping adalah proses yang digunakan oleh seseorang yang
menangani tuntutan yang menimbulkan stress ( Atkinson, dkk, 2001 ).
Chaplin ( 2004 ) mendefinisikan coping behavior sebagai sembarang
perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan
sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan sesuatu ( tugas, masalah ). Baron
dan Byrne dalam Saptoto ( 2002 ) menyatakan bahwa coping adalah reaksi
yang ditunjukkan terhadap stressor, baik itu berupa sikap, perasaan atau
pikiran individu dalam usaha untuk mengatasi, menahan, atau pikiran
individu dalam usaha untuk mengatasi, menahan, atau menurunkan efek
negatif dari situasi yang mengancam. Shinta dalam Effendi dan Tjahjono (
1999 ) menyimpulkan perilaku coping adalah upaya individu untuk mengatasi
keadaan atau situasi yang menekan, menantang, atau mengancam, yang

berupa pikiran atau tindakan dengan menggunakan sumber dalam dirinya


maupun lingkungannya, yang dilakukan secara sadar untuk meningkatkan
perkembangan individu.
Lazarus dan Folkman dalam Taylor ( 1995 ) menjelaskan definisi
coping sebagai suatu proses mengatur hal-hal yang menuntut ( baik dari
dalam diri ataupun dari luar diri seseorang ) yang dinilai sebagai beban atau
hal-hal yang melampaui batas kemampuan seseorang.
Lazarus ( 1966,1990,1993 ), menyatakan bahwa penanganan stres
atau coping terdiri dari dua bentuk yaitu:
a. Coping yang berfokus pada masalah ( Problem-focused coping ),
merupakan strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang
digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha
menyelesaikannya. Strategi coping yang bersifat terfokus pada masalah
dinilai lebih efektif. Aspek-aspek yang termasuk ke dalam coping yang
berfokus

pada

masalah

Problem-focused

coping

menurut

Lazarus&Folkman ( Aldwin dan revenson, 1987 ) antara lain :


1. Kehati-hatian ( exercised caution )
Yaitu individu bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan
tidak terburu-buru dalam menyelasikan masalah, melainkan dengan
memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif
pemecahan masalah yang mungkin meminta pendapat orang lain dan
mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan.
2. Aksi instrumental ( intrumental action )

Yaitu individu melakukan tindakan yang mengarah pada penyelesaian


secara langsung, serta menyusun rencana mengenai langkah-langkah yang
akan dilakukan.
2. Negoisasi ( negotiation )
Yaitu individu menghadapi masalah dengan cara negoisasi dan
berkompromi dengan situasi yang dianggap mempunyai sisi positif terhadap
pemecahan masalah atau mendekati orang lain yang terlibat atau merupakan
penyebab masalah yang sedang dihadapi untuk ikut serta memikirkan dan
menyelesaikan masalah.
b. Coping yang berfokus pada emosi ( emotion-focused coping ),
merupakan strategi penanganan stres di mana individu memberikan
respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan
menggunakan penilaian defensif. Aspek-aspek yang termasuk ke dalam
coping yang berfokus pada emosi ( emotion-focused coping ) menurut
Lazarus&Folkman ( Aldwin dan revenson, 1987 ) antara lain:
1. Pelarian diri dari masalah ( Escapism )
Yaitu individu tidak menghadapi masalah secara langsung, melainkan
menghindari masalah yang ada dengan melakukan pelarian emosi,
berfantasi, membayangkan situasi yang lebih menyenangkan atau makan,
tidur, merokok, scara berlebihan.
2. Pengurangan beban masalah ( minimization )
Yaitu individu menganggap seakan-akan masalah yang dihadapi jauh
lebih ringan atau sengaja mengacuhkan dan mendiamkan masalah atau

bahkan menganggap seolah-olah tidak ada masalah, bersikap pasrah dan


tidak memperdulikan lingkungan sekitar.
3. Penyalahan diri sendiri ( self blame )
Yaitu

individu,

menghadapi

masalah

dengan

menyalahkan

dan

menghukum diri sendiri serta menyesali apa yang sudah terjadi.


Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan yang menjadi
termasuk ke dalam aspek-aspek strategi coping yang efektif terdiri dari
kehati-hatian ( exercised caution ), aksi instrumental ( instrumental caution ),
dan negoisasi ( negotiation ).
Pola Asuh Orangtua Otoriter
Atkinson ( 2001 ) menyebutkan pola asuh otoriter sebagai orangtua
yang menuntut dan mengendalikan yang semata-mata menunjukkan
kekuasaan mereka tanpa kehangatan, pengasuhan, atau komunikasi dua
arah. Mereka berupaya mengendalikan dan menilai perilaku dan sikap anakanak mereka mengikuti standar yang mutlak, mereka juga menghargai
kepatuhan, rasa hormat terhadap kekuasaan mereka, tradisi, kerja, dan
mempertahankan urutan. Baumrind dalam Santrock ( 2003 ) menyebutkan
pola asuh autoritarian adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum
yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orangtua
menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua

dan untuk

yang bersifat autoritarian

membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya
melakukan sedikit komunikasi verbal.

Chaplin ( 2004 ) mendefinisikan authoritarian character ( watak


otoriter ) adalah seseorang yang selalu menuntut kepatuhan dan ketundukan
total tanpa perlu bertanya. Watak otoriter ini membenci tanda-tanda atau
sifat-sifat kelemahan, selalu kaku dan tidak bisa mentoleransi kedwiartian
atau ambiguitas.
Pola asuh otoriter, dari beberapa pengertian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan dimana peran
orangtua selalu mendominasi dan menguasai anak dalam segala hal tanpa
adanya komunikasi dua arah yang baik, tanpa adanya sikap kerjasama,
tanpa adanya dukungan, dan lebih menekankan pada

aturan-aturan yang

ketat yang harus selalu dipatuhi anak.


Baldwin dalam Mahfuzh ( 2004 ) membagi dua bentuk pola asuh
otoriter, yaitu :
a. Otoriter permanen, yaitu bentuk otoriter yang mungkin memang sudah
ada sejak awal. Orangtua seperti ini ia tidak punya rasa cinta kepada
anak-anaknya.
b.

Otoriter yang tidak mau kompromi dengan keinginan-keinginan anak,


dan tidak memperdulikan dan tidak mau bekerja sama sedikitpun dengan
anak-anaknya.
Hurlock dalam Walgito ( 1991 ) menjelaskan ciri-ciri orangtua otoriter,

sebagai berikut :
a. Orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak-anak, tanpa
memberikan penjelasan tentang alasannya.

b. Apabila anak-anak telah melanggar ketentuan yang telah digariskan,


anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan alasan sebelum
hukuman diterima anak.
c. Pada umumnya hukuman berbentuk hukuman badan.
d. Orangtua tidak atau jarang memberikan hadiah baik berbentuk kata-kata
atau bentuk lain, apabila anak berbuat sesuai dengan harapan orangtua .
Lewin dkk ( dalam Walgito,1991 ) pola asuh otoriter memiliki ciri-ciri,
diantaranya :
a. Kebijaksanaan

ditentukan

oleh

orangtua.

Segala

sesuatu

yang

berkenaan dengan kebutuhan anak, baik dari hal yang sekecil-kecilnya


sampai pada permasalahan yang besar, semuanya ditentukan oleh
orangtua . Apa yang harus dikerjakan dan langkah-langkah aktifitas anak
ditentukan atau didikte oleh orangtua .
b. Kritik dan penghargaan yang diberikan bersifat personal dan satu arah.
Orangtua selalu memberikan kontrol dan kritik yang kuat serta keras
kepada anak-anaknya, tapi hanya berlaku satu arah yaitu dari orangtua
ke anak.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa yang menjadi ciri-ciri pola asuh orangtua otoriter adalah :
a. Orangtua tidak mau kompromi
Orangtua tidak mau kompromi dengan keinginan-keinginan anak, dan
tidak memperdulikan dan tidak mau bekerja sama sedikitpun dengan anakanaknya.

b. Orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat


Orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak-anak, tanpa
memberikan penjelasan tentang alasannya.
c. Orangtua tidak atau jarang memberikan hadiah
Orangtua tidak atau jarang memberikan hadiah baik berbentuk kata-kata
atau bentuk lain, apabila anak berbuat sesuai dengan harapan orangtua .
d. Kebijaksanaan ditentukan oleh orangtua .
Segala sesuatu yang berkenaan dengan kebutuhan anak, baik dari hal
yang sekecil-kecilnya sampai pada permasalahan yang besar, semuanya
ditentukan oleh orangtua. Apa yang harus dikerjakan dan langkah-langkah
aktifitas anak ditentukan atau didikte oleh orangtua .
e. Orangtua selalu memberikan kontrol dan kritik
Orangtua selalu memberikan kontrol dan kritik yang kuat serta keras
kepada anak-anaknya, tapi hanya berlaku satu arah yaitu dari orangtua ke
anak.

Metode Penelitian
Subyek Penelitian
Subyek pada penelitian ini adalah remaja berumur 15-18 tahun dan masih
tinggal bersama dengan kedua orangtuanya dan pelajar MAN Yogyakarta II, MAN
Yogyakarta III dan MAN Maguwoharjo Sleman dan yang masih duduk di kelas XI (
Sebelas ).

Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode angket, yaitu dengan menyebar skala yang berisi
pernyataan-pernyataan untuk diisi oleh subyek penelitian.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua buah skala yaitu
skala perilaku coping dan skala pola asuh orangtua otoriter.
1. Skala Perilaku Coping
Skala ini digunakan untuk mengetahui tingkat perilaku coping pada
remaja. Skala ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang
dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman ( Aldwin dan Revenson,

1987 ),

dimana aspek-aspek perilaku coping yang digunakan dalam skala ini hanya
terdiri dari kehati-hatian ( exercised caution ), aksi instrumental

instrumental caution ), negoisasi ( negotiation ).


2. Skala Pola Asuh Orangtua Otoriter
Skala ini digunakan untuk mengatahui tingkat keotoriteran orangtua
terhadap anak remaja. Skala ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan
ciri-ciri yang dikemukakan oleh beberapa tokoh tentang

ciri-ciri pola asuh

orangtua otoririter, dimana ciri-cirinya adalah :


a. Orangtua tidak mau kompromi ( Baldwin dalam Mahfuzh, 2004 ).
b. Orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak-anak (
Hurlock dalam Walgito, 1991 ).
c. Orangtua tidak atau jarang memberikan hadiah ( Hurlock dalam
Walgito, 1991 ).

d. Kebijaksanaan ditentukan oleh orangtua.

( Lewin dkk dalam

Walgito, 1991 ).
e. Orangtua selalu memberikan kontrol dan kritik ( Lewin dkk dalam
Walgito, 1991 ).
Metode Analisis Data
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, diuji dengan menggunakan
analisis statistik. Analisis ini digunakan dengan alasan bahwa analisis statistik dapat
mewujudkan kesimpulan penelitian dalam memperhitungkan faktor kesalahan
sehingga yang diajukan dapat diperoleh secara meyakinkan ( Hadi, 2002 ).
Statistik yang bekerja dengan angka bersifat obyektif dan universal dalam arti
dapat digunakan pada semua bentuk penelitian ( Hadi, 2002 ). Metode analisis
statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah korelasi product-moment
dari Pearson yang dilakukan dengan program komputer SPSS

( Statistical

Programme for Social Science ) 12.0 for Windows.


Hasil Penelitian

Gambaran umum mengenai subjek penelitian berdasarkan data-data yang


diperoleh dari skala yang disebarkan dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1
Deskripsi Subyek Penelitian
No
Faktor
1
Jenis Kelamin

a.
b.

Kategori
Laki-laki
Perempuan

Jumlah
142
228

Pekerjaan Ayah

a.
b.
c.
d.

PNS
Swasta
TNI POLRI
Lain-lain

80
82
11
197

Pekerjaan Ibu

a.
b.
c.
d.

Ibu Rumah Tangga


PNS
Swasta
Lain-lain

157
35
35
143

Pendidikan Ayah

a.
b.
c.
d.
e.

Diploma/ Sarjana
SMA/ Sederajat
SMP/ Sederajat
SD
Lain-lain

83
139
40
32
76

Pendidikan Ibu

a.
b.
c.
d.
e.

Diploma /Sarjana
SMA / Sederajat
SMP/ Sederajat
SD
Lain-lain

65
133
47
50
75

Kegiatan diluar sekolah

a.
b.
c.
d.

Ekskul
Organisasi Pemuda
Les / kursus
Lain-lain

38
30
17
285

Jumlah adik

a. 0-1 orang
b.2-3 orang
c. 4-5 orang
d. = 6 orang

281
80
8
1

Jumlah kakak

a. 0-1 orang
b.2-3 orang
c. 4-5 orang
d. = 6 orang

242
101
21
6

Berdasarkan analisis data yang ada, maka diperoleh gambaran atau


deskripsi data penelitian yang berisi fungsi-fungsi dasar statistik. Hal ini dapat dilihat
pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2
Deskripsi Data Penelitian

Variabel
Min

Hipotetik
Max Mean

SD

Min

Max

Empirik
Mean

SD

Pola Asuh
Orangtua
Otoriter

12

48

30

5,99

47

81

65.4243

5.93880

Perilaku
Coping

19

76

47,5

9,49

49

98

75.8730

8.72386

Deskripsi data penelitian di atas selanjutnya akan digunakan untuk


mengetahui kriteria kategorisasi kelompok subjek pada variabel-variabel yang diteliti.
Kategorisasi ini dimaksudkan untuk menempatkan individu ke dalam kelompokkelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut
yang diukur, dimana kontinum jenjang ini seperti contohnya dari rendah ke tinggi
(Azwar, 2005). Azwar (2005) pun menyatakan, karena kategorisasi ini bersifat relatif,
maka peneliti boleh menetapkan secara subjektif luasnya interval yang mencakup
setiap kategori yang diinginkan, selama penetapan tersebut masih berada dalam
batas kewajaran dan dapat diterima akal. Dalam hal ini, penulis menggunakan
rumus kategorisasi yang dibuat oleh Azwar (2005), dimana terdapat lima kategori.
Rumus tersebut dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini :
Tabel 3
Norma Kategorisasi
Norma Kategorisasi
X < ( - 1,8s )
( - 1,8s ) = X < ( - 0,6s )
( - 0,6s) = X < ( + 0,6s )
( + 0,6s ) = X = ( + 1,8s )
X > ( + 1,8s )

Kategori
Kategori Sangat Rendah
Kategori Rendah
Kategori Sedang
Kategori Tinggi
Kategori Sangat Tinggi

Ket :

: Mean Hipotetik
s : Standar Deviasi

Berdasarkan norma kategorisasi yang telah disebutkan sebelumnya, maka


subjek penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori pada masingmasing variabel, yang dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini.
Tabel 4
Kategorisasi Subjek Pada Variabel Pola Asuh Orangtua Otoriter
Kategori
Rentang Skor
Jumlah

Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi

X < 60,17
60,17< 70,638
70,638= X < 81,107
81,107 = X = 91,575
X > 91,575

52
216
95
7
-

Prosentase

14,05%
58,37%
25,67%
1,89%
-

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar subyek


berada pada kategori rendah (58,37%).. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
orangtua

subjek penelitian memiliki kecenderungan tingkat

keotoriteran yang

rendah.
Tabel 5
Kategorisasi Subjek Pada Varibabel Perilaku Coping

Kategori
Sangat tidak efektif
Tidak efektif
Agak efektif
efektif
Sangat efektif

Rentang Skor
X < 30,418
30,418= X < 41,806
41,806 = X < 53,194
53,194= X = 64,582
X > 64,582

Jumlah
3
32
335

Prosentase
0,81%
8,64%
90,54%

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek berada
pada kategori sangat efektif (90,54%).Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
subjek penelitian memiliki kecenderungan tingkat perilaku coping sangat efektif.
Uji hipotesis dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik korelasi
Product moment dari Spearmens rho. Hasil analisa menunjukkan kofisien korelasi r

sebesar -0.065 dengan p=0.210 pada uji dua sisi (two-tailed). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara pola asuh
orangtua otoriter dengan perilaku coping. Dengan demikian, hipotesis penelitian
yang diajukan sebelumnya ditolak.

Pembahasan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari hubungan antara pola asuh
orangtua otoriter dan perilaku coping pada remaja. Berdasarkan hasil dari penelitian
ini, diperoleh bahwa ternyata tidak ada hubungan antara pola asuh orangtua otoriter
dengan perilaku coping pada remaja. Pada subyek penelitian, pola asuh orangtua
otoriter berada pada tingkat keotoriteran yang rendah, dan tidak mempengaruhi
perilaku coping pada remaja yang berada pada tingkat sangat

efektif. Perilaku

coping, lebih dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain pola asuh orangtua
otoriter, antara lain lingkungan pergaulan remaja dengan teman sebaya.
Remaja, sebagai individu yang sedang menjalani proses pendidikan pada
sekolah menengah atas, sehingga proses pendidikan tersebut dapat mempengaruhi
pola coping pada remaja. Hal ini sesuai dengan yang terdapat pada faktor-faktor
yang mempengaruhi coping, beberapa faktor diantaranya yang dijelaskan oleh
Pramadi dan Lasmono ( 2003) yaitu tingkat pendidikan, seseorang dengan tingkat
pendidikan yang semakin tinggi akan semakin tinggi pula kompleksitas kognitifnya,
demikian pula sebaliknya. Keyakinan diri, pemikiran rasional, dan penilaian terhadap
suatu masalah merupakan hasil dari kognisi yang diperoleh selama seseorang

mengikuti proses pendidikan. Subyek penelitian, dalam mengikuti proses pendidikan


telah mendapatkan perkembangan ilmu pengetahuan maupun informasi-informasi
sehingga akan lebih realistis dan aktif memecahkan masalah.pemikiran rasional dan
penilaian terhadap sesuatu yang baru dapat mempengaruhi remaja dalam perilaku
coping.
Faktor lain yang cukup mempengaruhi perilaku coping adalah menurut
Mutadin (2002) yaitu dukungan sosial, dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan
kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orangtua,
anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan

masyarakat sekitarnya.

Dukungan sosial terbesar, tidak hanya berasal dari keluarga maupun orangtua.
Subyek penelitian, mengingat gambaran subyek tentang pekerjaan orangtua
maupun kegiatan lain diluar sekolah, telah menunjukkan bahwa subyek telah
memiliki kegiatan-kegiatan lain selain hanya dirumah ataupun bersama dengan
orangtua mereka, mengingat orangtua juga memiliki pekerjaan masing-masing
sehingga dukungan sosial dari lingkungan lainpun dapat berpengaruh pada perilaku
coping pada remaja. Remaja yang sedang mengikuti proses pendidikan juga akan
mendapat juga dukungan dari orang-orang yang disekitarnya, antara lain temanteman sepantar maupun guru.
Remaja, selain dari itu juga mendapatkan keterampilan sosial dari lingkungan
keluarga maupun dari lingkungan selain sekolah. Keterampilan sosial tersebut, juga
dapat mempengaruhi perilaku coping, seperti yang diungkap oleh Mutadin (2002).
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku
dengan cara-cara sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

Remaja yang mendapatkan proses pendidikan disekolah maupun dari kegiatan lain
diluar sekolah, akan mendapatkan kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah
laku dengan cara-cara sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat,
sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi remaja dalam coping yang digunakan.
Keterampilan sosial juga dapat menghasilkan keterampilan memecahkan masalah,
yang

meliputi

kemampuan

untuk

mencari

informasi,

menganalisa

situasi,

mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan,


kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang
ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu
tindakan yang tepat.
Pengalaman seseorang juga dapat berpengaruh terhadap perilaku coping
yang digunakan. Menurut Rahayu ( 1997 ) pengalaman merupakan bahan acauan
atau perbandingan indvidu dalam menghadapi suatu kejadian yang hampir sama.
Apabila pengalaman itu mengesankan atau sesuai dengan individu, maka individu
tersebut akan menggunakan pengalaman di saat mengadapi situasi yang hampir
sama. Tetapi, apabila pengalaman itu kurang atau tidak mengesankan, maka
individu akan mencari bentuk baru lagi apabila menghadapi situasi yang sama, atau
membuang pengalaman tersebut. Subyek penelitian, yang merupakan sebagai
remaja aktif yang telah mendapatkan pengalaman-pengalaman lain diluar
lingkungan rumah dan keluarga, sehingga pengalaman-pengalaman yang didapat,
menjadikan remaja lebih mengerti akan banyak hal dan lebih dapat belajar tentang
alternatif coping yang efektif dari pengalaman yang didapat.

Berdasarkan faktor-faktor coping, yaitu tingkat pendidikan, dukungan sosial,


keterampilan menyelesaikan masalah maupun pengalaman yang didapat pada saat
menghadapi masalah, maka hal tersebut menggambarkan bahwa subyek telah
dapat bersikap hati-hati, dapat bertindak langsung, dan memiliki kemampuan
bernegosiasi. Berdasarkan aspek-aspek perilaku coping yang efektif antara lain
sikap kehati-hatian ( exercised caution ), yaitu individu bersikap hati-hati sebelum
memutuskan sesuatu dan tidak terburu-dalam menyelesaikan masalah, melainkan
dengan memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif
pemecahan masalah yang mungkin dengan meminta pendapat orang lain dan
mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan ( Lazarus dan Folkman,dalam Aldwin
dan Revenson,1987 ). Hal tersebut, sesuai dengan faktor-faktor lain selain pola asuh
orangtua

otoriter,yaitu

dukungan

sosial

dari

lingkungan

selain

keluarga,

keterampilan sosial yang didapat remaja dari pergaulan dengan lingkungan sekitar
maupun pengalaman-pengalaman yang didapat.
Pada aspek

aksi instrumental ( instrumental action ) dimana individu

melakukan tindakan yang mengarah pada penyelesaian secara langsung, serta


menyusun rencana mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan. Remaja yang
dapat mengambil tindakan yang mengarah pada penyelesain masalah berarti
memiliki keterampilan memecahkan masalah yang baik, Mutadin ( 2002)
menjabarkan keterampilan memecahkan masalah, yang meliputi kemampuan untuk
mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan
untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif

tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya
melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.
Pada aspek negosiasi ( negotiation ), dimana individu menghadapi masalah
dengan cara negosiasi dan berkompromi dengan situasi yang dianggap mempunyai
sisi positif terhadap pemecahan masalah. Subyek, telah dapat bernegosiasi, hal
tersebut ditunjukkan dengan subyek yang memiliki kegiatan diluar sekolah yang
bermaca-macam, seperti berorganisasi yang berarti selalu berinteraksi dengan
orang banyak dan memiliki keterampilan sosial yang baik.
Pada akhirnya, tidak ada sesuatu yang sempurna. Demikian pula dengan
penelitian ini, dimana masih banyak sekali kelemahan-kelemahan dalam prosesnya.
Kelemahan penelitian ini antara lain dalam proses penentuan subyek, yang dirasa
kurangnya observasi dalam menentukan subyek penelitian, yaitu tidak fokus kepada
subyek penelitian yang memiliki masalah yang terfokus pada masalah penelitian.
Kelemahan lainnya adalah dalam proses penyusunan aitem-aitem pada skala
penelitian, yaitu kurang mendalamnya pernyataan yang disajikan, sehingga maksud
yang sebenarnya tidak cukup mewakil ciri-ciri maupun aspek-aspek yang ada.

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Berdasarkan hasil penelitian, tingkat keotoriteran orangtua pada subyek berada


pada tingkat yang rendah dan perilaku coping pada remaja berada pada tingkat
yang sangat efektif.

2.

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua otoriter
dengan perilaku coping pada remaja.

3.

Perilaku coping pada remaja lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor selain pola
asuh orangtua otoriter, antara lain tingkat pendidikan, dukungan sosial,
keterampilan sosial, keterampilan memecahkan masalah maupun pengalaman.

Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil yang diperoleh, maka
dengan ini penulis memiliki beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi subyek
Dari hasil penelitian ini, di dapat bahwa faktor-faktor yang lebih dapat
mempengaruhi perilaku coping adalah antara lain tingkat pendidikan, dukungan
sosial,

keterampilan

sosial,

keterampilan

memecahkan

masalah

maupun

pengalaman.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk menggali lebih lanjut mengenai
perilaku coping disarankan untuk lebih memperluas tema dari sudut pandang yang
berbeda. Disarankan juga untuk menggunakan metode pengumpulan data yang lain

seperti wawancara dan observasi agar memperoleh data yang lebih mendalam
sehingga dapat mengatasi kelemahan metode pengumpulan data dengan skala
pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Afrimaryanti., Mukhlis., Widiningsih, Y. Hubungan Antara Gaya Pengasuhan


Orangtua dengan Kreativitas pada Remaja Madya ( Studi Pada Siswa SMUN
4 Pekanbaru ). Jurnal Psikologika. Vol.1, No.1,23-32.
Aldwin, M.C., Revenson, A.T. 1987. Does Coping Help? A Reexamination of the
Relation Between Coping and Mental Health. Journal of Personality and
Social Psychology. Vol.53, No.2,337-348.
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Smith, E.E., Bem, D.J. 2001. Pengantar Psikologi.
Edisi ke sebelas: Jilid 2. Batam Center: Interaksara.
Ali, M. & Asrori, M 2004. Psikologi Remaja : Perkembangan Peserta Didik. Jakarta :
Bumi Aksara .
Astuti, Afri. 2005. Resiliensi pada Remaja ditinjau dari Pola Asuh Demokratis Orang
Tua dan Status Sosial Ekonomi Orang Tua. Skripsi ( Tidak Diterbitkan )
Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam
Indonesia
Azwar, Saifuddin. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka
Pelajar.
Balson, Maurice. 1993. Menjadi Orang Tua Yang Baik. Jakarta : Bumi Aksara.
Barus, Gendon. 2003. Memaknai Pola Pengasuhan Orangtua pada Remaja.Jurnal
Intelektual. Vol.1, No.2, 151-164.
Chaplin, J.P. 2004. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Cobb, J.N. 2004. Adolescence : Continuity, Change and Diversity. Sixth Edition. Mc
Graw Hill International Edition.
Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan remaja. Bogor : Ghalia Indonesia.
Dwiyani, V. 2002. Ayahku, Harimauku. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Effendi, R. W., Tjahjono, E. 1999. Hubungan Antara Perilaku Coping dan Dukungan
Sosial Dengan Kecemasan Pada Ibu Hamil Anak Pertama. Anima.Vol.14,
No.54,214- 227.
Hadi, Sutrisno. 2001. Statistik Jilid 2. Yogyakarta : Andi Offset.
_______________. 2002. Metodologi Research Jilid 2. Yogyakarta : Andi Offset.

Harisoh, S. 2007. Proses Coping pada Remaja Pelaku Aborsi. Skripsi ( Tidak
Diterbitkan) Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas
Islam Indonesia.
Heaven, Patrick, C, L. 1996. Adolescent Health : The Role of Individual Differences.
London : International Thomsom Publishing company.
Hurlock, Elizabeth B. 1993. Perkembangan Anak Jilid 2 Edisi Keenam. Jakarta :
Penerbit Erlangga.
Idrus, M. 2003. Pengaruh Pola Pengasuhan Orang Tua terhadap Kematangan
Idemtitas diri Remaja Etnis Jawa ( Studi di FIAI UII Yogyakarta ). Fenomena.
Vol.1, No. 1, 28-38.
Kartono, K. 1985. Peranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta : CV. Rajawali.
_________. 2003. Patologi Sosial 2 ; Kenakalan Remaja. Jakarta : CV. Rajawali.
Lestari, I. 2007. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Otoriter dengan Penyesuaian Diri
pada Mahasiswa. Skripsi ( Tidak Diterbitkan ) Yogyakarta : Fakultas Psikologi
dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
Mahfuzh, M. J. 2004. Psikologi Anak dan Remaja Muslim. Jakarta : Pustaka AlKautsar.
Mutadin, Zainudin. 2002. Strategi Coping.
http://www.epsikologi.com/remaja/050602.html.

Pramadi, A., Lasmono, H, K. 2003. Koping Stress Pada Etnis Bali, Jawa, dan
Sunda. Anima, Indonesian Psychological Journal . Vol.18, No.4 326 -340.
Rahayu, Pudji hartuti. 1997. Hubungan Tingkat Religiusitas dengan Perilaku Coping
Stress. Psikologika. No. 4 tahun II.
Rohmawati. 2007. Hubungan Antara Persepsi Negatif Orangtua pada Lingkungan
Tempat Tinggal dengan Pola Asuh Otoriter. Skripsi ( Tidak Diterbitkan )
Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam
Indonesia.
Santrock, J. W. 2003. Adolesence Perkembangan Remaja (Terjemahan oleh
Adelar,B Shinto., Saragih, Sherly ). Jakarta : Erlangga.
Saptoto, R. 2002. Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Coping
Adaptif. Skripsi ( Tidak Diterbitkan ) Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada.
Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Shochib, M. 2000. Pola Asuh Orang Tua : Dalam Membantu Mengembangkan
Disiplin Diri. Jakarta : Rineka Cipta.
Tanumidjojo, Y., Basoeki S, L., Yudiarso, A. 2004. Stress dan Perilaku Koping Pada
Remaja Penyandang Diabetes Mellitus Tipe 1. Anima, Indonesian
Psychological Journal. Vol.19, No. 4, 399 -406.
Tarmudji, T. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Agresivitas Remaja.
http://www.google.com
Taylor, S, E. 1995. Health Psychology. McGraw- Hill International Editions.
Walgito, Bimo. 1991. Hubungan Persepsi Mengenai Sikap Orangtua dengan Harga
diri Para siswa Sekolah Menengah Atas di Provinsi Jawa. Disertasi ( Tidak
diterbitkan ). Yogyakarta : Program Doktoral Universitas Gadjah Mada.
Widayanti, S, Y, M., Iryani, S, W. 2005. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap
Kenakalan Anak. Jurnal PKS Vol IV, No.13, 30 -41.
Widyastuti., Prawitasari, J, E. 2003. Peran Status Perkawinan Poligami dan
Monogami Orangtua Terhadap Harga Diri, Koping, dan Depresi. Jurnal
Intelektual. Vol.1, No. 1, 8-20.

www.balipost.com
www.depsos.go.id/balatbang/puslitbang
www.indolead.com
www.eramuslim.com
www.kmnu.org
www.suarantb.com

DATA DIRI PENELITI

Nama

Mirdasari Maulida

Alamat Asal

Jalan Dr. Wahidin S. Komp. Sepakat Damai B -16


Pontianak Kalimantan Barat

Nomor Telepon

085650823222

Email

cleobelix@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai