Oleh:
Mirdasari Maulida
03320064
Mirdasari Maulida
Rina Mulyati
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pola asuh
orangtua otoriter dengan perilaku coping pada remaja. Hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah ada hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku
coping pada remaja.
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan yang berusia antara
15-18 tahun yang masih duduk di kelas XI di tiga MAN sekitar Yogyakarta. Skala yang
digunakan dalam penelitian ini dibuat sendiri oleh peneliti. Adapun skala yang digunakan
adalah skala pola asuh orangtua otoriter yang mengacu pada ciri-ciri pola asuh orangtua
otoriter yang dikemukakan oleh Baldwin dalam Mahfuzh (2004), Hurlock dan Lewin dkk
dalam Walgito (1991 ), dan skala perilaku coping yang mengacu pada aspek-aspek perilaku
coping yang efektif yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman ( Aldwin dan Revenson,
1987 ).
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tekhnik
spearmens rho dan dibantu dengan fasilitas program SPSS 12.0 for Windows untuk
menguji apakah terdapat hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku
coping pada remaja. Korelasi Spearmen Rho menunjukkan sebesar r = -0.065 dengan taraf
signifikansi sebesar p = 0.210. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku coping pada remaja.
hipotesis penelitian ini ditolak.
Pengantar
Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa
Latin adolescere yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan.
Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak
termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk
masuk ke golongan orang dewasa. Remaja seringkali dikenal dengan fase mencari
jati diri atau fase topan dan badai. Remaja belum mampu menguasai dan
memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya ( Monks dkk dalam Ali
dan Asrori, 2005 ). Remaja, salah satu ciri remaja yang menunjukkan belum mampu
menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya
adalah apabila remaja sedang mengalami konflik, baik konflik dengan diri sendiri
maupun dengan konflik dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Konflik yang
sering terjadi pada masa remaja, salah satunya adalah konflik dengan orangtua.
Lima puluh persen (50%) remaja bunuh diri karena memiliki masalah dengan
orangtuanya (suarantb.com). Contoh lain dari dampak tersebut yang menjadi
fenomena perilaku remaja saat ini adalah perilaku yang beresiko tinggi, yang
termasuk dalam kategori kenakalan remaja, yaitu kebut-kebutan di jalan, membolos,
perilaku seks bebas, meminum-minuman keras, hingga tindak kriminalitas yang
merugikan orang lain. Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindakan
tersebut, antara lain karena adanya konflik batin sendiri, dan kemudian
asuh
autoritarian
adalah
gaya
yang
membatasi
dan
bersifat
menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orangtua dan untuk
menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua yang bersifat autoritarian membuat
batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit
komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial remaja
yang tidak cakap. Barus ( 2003 ) menjelaskan bahwa pengasuhan authoritarian
sangat potensial bagi munculnya pemberontakan atau perlawanan remaja dan
ketergantungan remaja terhadap orangtua, membuat remaja menjadi cemas tentang
perbandingan sosial, gagal dalam aktivitas-aktivitas kreatif, dan tidak efektif dalam
interaksi sosial, menumbuhkan rasa amarah besar, menyuburkan rasa permusuhan,
kehilangan kemampuan bereksploras, remaja mengucilkan diri, frustasi, tidak berani
menghadapi tantangan tugas, dan tidak bahagia. Remaja, karena terbiasa
menghadapi hukuman, maka remaja mudah sekali menjadi agresif, garang,
menunjukkan gangguan emosional, dirundung banyak masalah, dan banyak yang
meninggalkan rumah segera setelah mereka mampu. Anehnya, remaja yang tidak
mampu melepaskan diri dari keterkurungan otoritas orangtuanya seringkali
menunjukkan kepatuhan dan menyesuaikan diri dengan standard-standard perilaku
yang diatur oleh orangtuanya, namun mereka itu sesungguhnya menderita
kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan serta menderita
somatis daripada kelompok sebaya mereka.
Pola asuh autoritatif mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan
batasan dan mengendalikan tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa
berlangsung dengan bebas dan orangtua bersifat hangat serta membesarkan hati
remaja. Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang
kompeten. Barus (2003 ) memaparkan kualitas-kualitas pengasuhan authoritative ini
diyakini dapat lebih menstimulir keberanian, motivasi, dan kemandirian remaja
dalam melakukan eksplorasi dan memantapkan komitmen vokasionalnya. Pola ini
membuat remaja memiliki kemandirian yang tinggi dan terdorong untuk menguasai
tugas-tugas
baru,
mampu
menggalang
persahabatan
dan
kerjasama,
menumbuhkan harga diri yang tinggi, memiliki kematangan sosial dan moral, tekun
dalam belajar di sekolah, dan mencapai prestasi belajar yang tinggi.
Pola asuh permisif adalah suatu pola di mana orangtua
sangat terlibat
obat
terlarang
dan
melakukan
tindak
kekerasan
terhadap
menentukan apa yang seharusnya dipilih oleh anak remajanya, tanpa berkompromi
dahulu dengan anak remajanya, misalnya dalam menentukan pilihan sekolah,
organisasi, atau kegiatan lainnya, anak remajanya tidak diberi kesempatan untuk
memberikan pendapat tentang apa yang sebenarnya diinginkan, seolah-olah anak
remaja tersebut belum dapat menentukan mana hal yang baik bagi dirinya dan
orangtua
lah yang mengetahui mana yang baik untuk kehidupan anak remaja
mereka. Sikap lain orangtua, adalah melakukan tindakan kepada anak tanpa adanya
komunikasi dua arah terhadap anak remaja, contohnya orangtua menuduh anak
telah melakukan kesalahan sehingga tanpa mendengarkan penjelasan dari anak
remajanya, orangtua langsung mengambil tindakan atau memberi hukuman kepada
si anak remaja tersebut.
Pola asuh orangtua otoriter, yang lebih menimbulkan dampak yang tidak baik
bagi perkembangan diri remaja sehingga berpengaruh pula pada pola perilaku
coping remaja tersebut, yaitu belum mampu nya remaja menyelesaikan masalah
yang dihadapinya, tetapi remaja lebih ingin melarikan diri dari masalah yang dapat
berakibat buruk pada diri.
Berdasarkan fenomena remaja yang terkait dengan coping dan pola asuh
orangtua, yang dalam hal ini adalah pola asuh orangtua otoriter, maka penulis ingin
menggali lebih dalam lagi tentang Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua Otoriter
dengan Perilaku Coping pada Remaja.
Tinjauan Pustaka
Perilaku Coping
Coping adalah proses yang digunakan oleh seseorang yang
menangani tuntutan yang menimbulkan stress ( Atkinson, dkk, 2001 ).
Chaplin ( 2004 ) mendefinisikan coping behavior sebagai sembarang
perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan
sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan sesuatu ( tugas, masalah ). Baron
dan Byrne dalam Saptoto ( 2002 ) menyatakan bahwa coping adalah reaksi
yang ditunjukkan terhadap stressor, baik itu berupa sikap, perasaan atau
pikiran individu dalam usaha untuk mengatasi, menahan, atau pikiran
individu dalam usaha untuk mengatasi, menahan, atau menurunkan efek
negatif dari situasi yang mengancam. Shinta dalam Effendi dan Tjahjono (
1999 ) menyimpulkan perilaku coping adalah upaya individu untuk mengatasi
keadaan atau situasi yang menekan, menantang, atau mengancam, yang
pada
masalah
Problem-focused
coping
menurut
individu,
menghadapi
masalah
dengan
menyalahkan
dan
dan untuk
membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya
melakukan sedikit komunikasi verbal.
aturan-aturan yang
sebagai berikut :
a. Orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak-anak, tanpa
memberikan penjelasan tentang alasannya.
ditentukan
oleh
orangtua.
Segala
sesuatu
yang
Metode Penelitian
Subyek Penelitian
Subyek pada penelitian ini adalah remaja berumur 15-18 tahun dan masih
tinggal bersama dengan kedua orangtuanya dan pelajar MAN Yogyakarta II, MAN
Yogyakarta III dan MAN Maguwoharjo Sleman dan yang masih duduk di kelas XI (
Sebelas ).
1987 ),
dimana aspek-aspek perilaku coping yang digunakan dalam skala ini hanya
terdiri dari kehati-hatian ( exercised caution ), aksi instrumental
Walgito, 1991 ).
e. Orangtua selalu memberikan kontrol dan kritik ( Lewin dkk dalam
Walgito, 1991 ).
Metode Analisis Data
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, diuji dengan menggunakan
analisis statistik. Analisis ini digunakan dengan alasan bahwa analisis statistik dapat
mewujudkan kesimpulan penelitian dalam memperhitungkan faktor kesalahan
sehingga yang diajukan dapat diperoleh secara meyakinkan ( Hadi, 2002 ).
Statistik yang bekerja dengan angka bersifat obyektif dan universal dalam arti
dapat digunakan pada semua bentuk penelitian ( Hadi, 2002 ). Metode analisis
statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah korelasi product-moment
dari Pearson yang dilakukan dengan program komputer SPSS
( Statistical
Tabel 1
Deskripsi Subyek Penelitian
No
Faktor
1
Jenis Kelamin
a.
b.
Kategori
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
142
228
Pekerjaan Ayah
a.
b.
c.
d.
PNS
Swasta
TNI POLRI
Lain-lain
80
82
11
197
Pekerjaan Ibu
a.
b.
c.
d.
157
35
35
143
Pendidikan Ayah
a.
b.
c.
d.
e.
Diploma/ Sarjana
SMA/ Sederajat
SMP/ Sederajat
SD
Lain-lain
83
139
40
32
76
Pendidikan Ibu
a.
b.
c.
d.
e.
Diploma /Sarjana
SMA / Sederajat
SMP/ Sederajat
SD
Lain-lain
65
133
47
50
75
a.
b.
c.
d.
Ekskul
Organisasi Pemuda
Les / kursus
Lain-lain
38
30
17
285
Jumlah adik
a. 0-1 orang
b.2-3 orang
c. 4-5 orang
d. = 6 orang
281
80
8
1
Jumlah kakak
a. 0-1 orang
b.2-3 orang
c. 4-5 orang
d. = 6 orang
242
101
21
6
Variabel
Min
Hipotetik
Max Mean
SD
Min
Max
Empirik
Mean
SD
Pola Asuh
Orangtua
Otoriter
12
48
30
5,99
47
81
65.4243
5.93880
Perilaku
Coping
19
76
47,5
9,49
49
98
75.8730
8.72386
Kategori
Kategori Sangat Rendah
Kategori Rendah
Kategori Sedang
Kategori Tinggi
Kategori Sangat Tinggi
Ket :
: Mean Hipotetik
s : Standar Deviasi
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
X < 60,17
60,17< 70,638
70,638= X < 81,107
81,107 = X = 91,575
X > 91,575
52
216
95
7
-
Prosentase
14,05%
58,37%
25,67%
1,89%
-
keotoriteran yang
rendah.
Tabel 5
Kategorisasi Subjek Pada Varibabel Perilaku Coping
Kategori
Sangat tidak efektif
Tidak efektif
Agak efektif
efektif
Sangat efektif
Rentang Skor
X < 30,418
30,418= X < 41,806
41,806 = X < 53,194
53,194= X = 64,582
X > 64,582
Jumlah
3
32
335
Prosentase
0,81%
8,64%
90,54%
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek berada
pada kategori sangat efektif (90,54%).Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
subjek penelitian memiliki kecenderungan tingkat perilaku coping sangat efektif.
Uji hipotesis dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik korelasi
Product moment dari Spearmens rho. Hasil analisa menunjukkan kofisien korelasi r
sebesar -0.065 dengan p=0.210 pada uji dua sisi (two-tailed). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara pola asuh
orangtua otoriter dengan perilaku coping. Dengan demikian, hipotesis penelitian
yang diajukan sebelumnya ditolak.
Pembahasan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari hubungan antara pola asuh
orangtua otoriter dan perilaku coping pada remaja. Berdasarkan hasil dari penelitian
ini, diperoleh bahwa ternyata tidak ada hubungan antara pola asuh orangtua otoriter
dengan perilaku coping pada remaja. Pada subyek penelitian, pola asuh orangtua
otoriter berada pada tingkat keotoriteran yang rendah, dan tidak mempengaruhi
perilaku coping pada remaja yang berada pada tingkat sangat
efektif. Perilaku
coping, lebih dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain pola asuh orangtua
otoriter, antara lain lingkungan pergaulan remaja dengan teman sebaya.
Remaja, sebagai individu yang sedang menjalani proses pendidikan pada
sekolah menengah atas, sehingga proses pendidikan tersebut dapat mempengaruhi
pola coping pada remaja. Hal ini sesuai dengan yang terdapat pada faktor-faktor
yang mempengaruhi coping, beberapa faktor diantaranya yang dijelaskan oleh
Pramadi dan Lasmono ( 2003) yaitu tingkat pendidikan, seseorang dengan tingkat
pendidikan yang semakin tinggi akan semakin tinggi pula kompleksitas kognitifnya,
demikian pula sebaliknya. Keyakinan diri, pemikiran rasional, dan penilaian terhadap
suatu masalah merupakan hasil dari kognisi yang diperoleh selama seseorang
masyarakat sekitarnya.
Dukungan sosial terbesar, tidak hanya berasal dari keluarga maupun orangtua.
Subyek penelitian, mengingat gambaran subyek tentang pekerjaan orangtua
maupun kegiatan lain diluar sekolah, telah menunjukkan bahwa subyek telah
memiliki kegiatan-kegiatan lain selain hanya dirumah ataupun bersama dengan
orangtua mereka, mengingat orangtua juga memiliki pekerjaan masing-masing
sehingga dukungan sosial dari lingkungan lainpun dapat berpengaruh pada perilaku
coping pada remaja. Remaja yang sedang mengikuti proses pendidikan juga akan
mendapat juga dukungan dari orang-orang yang disekitarnya, antara lain temanteman sepantar maupun guru.
Remaja, selain dari itu juga mendapatkan keterampilan sosial dari lingkungan
keluarga maupun dari lingkungan selain sekolah. Keterampilan sosial tersebut, juga
dapat mempengaruhi perilaku coping, seperti yang diungkap oleh Mutadin (2002).
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku
dengan cara-cara sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
Remaja yang mendapatkan proses pendidikan disekolah maupun dari kegiatan lain
diluar sekolah, akan mendapatkan kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah
laku dengan cara-cara sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat,
sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi remaja dalam coping yang digunakan.
Keterampilan sosial juga dapat menghasilkan keterampilan memecahkan masalah,
yang
meliputi
kemampuan
untuk
mencari
informasi,
menganalisa
situasi,
otoriter,yaitu
dukungan
sosial
dari
lingkungan
selain
keluarga,
keterampilan sosial yang didapat remaja dari pergaulan dengan lingkungan sekitar
maupun pengalaman-pengalaman yang didapat.
Pada aspek
tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya
melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.
Pada aspek negosiasi ( negotiation ), dimana individu menghadapi masalah
dengan cara negosiasi dan berkompromi dengan situasi yang dianggap mempunyai
sisi positif terhadap pemecahan masalah. Subyek, telah dapat bernegosiasi, hal
tersebut ditunjukkan dengan subyek yang memiliki kegiatan diluar sekolah yang
bermaca-macam, seperti berorganisasi yang berarti selalu berinteraksi dengan
orang banyak dan memiliki keterampilan sosial yang baik.
Pada akhirnya, tidak ada sesuatu yang sempurna. Demikian pula dengan
penelitian ini, dimana masih banyak sekali kelemahan-kelemahan dalam prosesnya.
Kelemahan penelitian ini antara lain dalam proses penentuan subyek, yang dirasa
kurangnya observasi dalam menentukan subyek penelitian, yaitu tidak fokus kepada
subyek penelitian yang memiliki masalah yang terfokus pada masalah penelitian.
Kelemahan lainnya adalah dalam proses penyusunan aitem-aitem pada skala
penelitian, yaitu kurang mendalamnya pernyataan yang disajikan, sehingga maksud
yang sebenarnya tidak cukup mewakil ciri-ciri maupun aspek-aspek yang ada.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
2.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua otoriter
dengan perilaku coping pada remaja.
3.
Perilaku coping pada remaja lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor selain pola
asuh orangtua otoriter, antara lain tingkat pendidikan, dukungan sosial,
keterampilan sosial, keterampilan memecahkan masalah maupun pengalaman.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil yang diperoleh, maka
dengan ini penulis memiliki beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi subyek
Dari hasil penelitian ini, di dapat bahwa faktor-faktor yang lebih dapat
mempengaruhi perilaku coping adalah antara lain tingkat pendidikan, dukungan
sosial,
keterampilan
sosial,
keterampilan
memecahkan
masalah
maupun
pengalaman.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk menggali lebih lanjut mengenai
perilaku coping disarankan untuk lebih memperluas tema dari sudut pandang yang
berbeda. Disarankan juga untuk menggunakan metode pengumpulan data yang lain
seperti wawancara dan observasi agar memperoleh data yang lebih mendalam
sehingga dapat mengatasi kelemahan metode pengumpulan data dengan skala
pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, R. W., Tjahjono, E. 1999. Hubungan Antara Perilaku Coping dan Dukungan
Sosial Dengan Kecemasan Pada Ibu Hamil Anak Pertama. Anima.Vol.14,
No.54,214- 227.
Hadi, Sutrisno. 2001. Statistik Jilid 2. Yogyakarta : Andi Offset.
_______________. 2002. Metodologi Research Jilid 2. Yogyakarta : Andi Offset.
Harisoh, S. 2007. Proses Coping pada Remaja Pelaku Aborsi. Skripsi ( Tidak
Diterbitkan) Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas
Islam Indonesia.
Heaven, Patrick, C, L. 1996. Adolescent Health : The Role of Individual Differences.
London : International Thomsom Publishing company.
Hurlock, Elizabeth B. 1993. Perkembangan Anak Jilid 2 Edisi Keenam. Jakarta :
Penerbit Erlangga.
Idrus, M. 2003. Pengaruh Pola Pengasuhan Orang Tua terhadap Kematangan
Idemtitas diri Remaja Etnis Jawa ( Studi di FIAI UII Yogyakarta ). Fenomena.
Vol.1, No. 1, 28-38.
Kartono, K. 1985. Peranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta : CV. Rajawali.
_________. 2003. Patologi Sosial 2 ; Kenakalan Remaja. Jakarta : CV. Rajawali.
Lestari, I. 2007. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Otoriter dengan Penyesuaian Diri
pada Mahasiswa. Skripsi ( Tidak Diterbitkan ) Yogyakarta : Fakultas Psikologi
dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
Mahfuzh, M. J. 2004. Psikologi Anak dan Remaja Muslim. Jakarta : Pustaka AlKautsar.
Mutadin, Zainudin. 2002. Strategi Coping.
http://www.epsikologi.com/remaja/050602.html.
Pramadi, A., Lasmono, H, K. 2003. Koping Stress Pada Etnis Bali, Jawa, dan
Sunda. Anima, Indonesian Psychological Journal . Vol.18, No.4 326 -340.
Rahayu, Pudji hartuti. 1997. Hubungan Tingkat Religiusitas dengan Perilaku Coping
Stress. Psikologika. No. 4 tahun II.
Rohmawati. 2007. Hubungan Antara Persepsi Negatif Orangtua pada Lingkungan
Tempat Tinggal dengan Pola Asuh Otoriter. Skripsi ( Tidak Diterbitkan )
Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam
Indonesia.
Santrock, J. W. 2003. Adolesence Perkembangan Remaja (Terjemahan oleh
Adelar,B Shinto., Saragih, Sherly ). Jakarta : Erlangga.
Saptoto, R. 2002. Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Coping
Adaptif. Skripsi ( Tidak Diterbitkan ) Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada.
Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Shochib, M. 2000. Pola Asuh Orang Tua : Dalam Membantu Mengembangkan
Disiplin Diri. Jakarta : Rineka Cipta.
Tanumidjojo, Y., Basoeki S, L., Yudiarso, A. 2004. Stress dan Perilaku Koping Pada
Remaja Penyandang Diabetes Mellitus Tipe 1. Anima, Indonesian
Psychological Journal. Vol.19, No. 4, 399 -406.
Tarmudji, T. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Agresivitas Remaja.
http://www.google.com
Taylor, S, E. 1995. Health Psychology. McGraw- Hill International Editions.
Walgito, Bimo. 1991. Hubungan Persepsi Mengenai Sikap Orangtua dengan Harga
diri Para siswa Sekolah Menengah Atas di Provinsi Jawa. Disertasi ( Tidak
diterbitkan ). Yogyakarta : Program Doktoral Universitas Gadjah Mada.
Widayanti, S, Y, M., Iryani, S, W. 2005. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap
Kenakalan Anak. Jurnal PKS Vol IV, No.13, 30 -41.
Widyastuti., Prawitasari, J, E. 2003. Peran Status Perkawinan Poligami dan
Monogami Orangtua Terhadap Harga Diri, Koping, dan Depresi. Jurnal
Intelektual. Vol.1, No. 1, 8-20.
www.balipost.com
www.depsos.go.id/balatbang/puslitbang
www.indolead.com
www.eramuslim.com
www.kmnu.org
www.suarantb.com
Nama
Mirdasari Maulida
Alamat Asal
Nomor Telepon
085650823222
cleobelix@yahoo.com