Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
Seorang bayi laki-laki bernama By. Ny. IR dengan usia 4 hari dibawa
ke RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 02 Mei 2015 di rawat di
Perinatologi dengan keluhan utama Bayi lahir tidak memiliki lobang anus.
Dari hasil pemeriksaan ditegakkan diagnosis Atresia Ani Letak Rendah
dengan fistula perineal.
Operasi dilakukan pada tanggal 05 Mei 2015 pukul 10.00 WIB oleh
ahli bedah dr. Willy, Sp.BA dan ahli anastesi dr.Ade Susanti, Sp.An dengan
jenis/tindakan general anestesi.

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: By. Ny. IR
Umur
: 4 hari
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Desa Logan Tengah RT 06 Tanjab Timur
Ruangan
: Perinatalogi
Diagnosis
: Atresia Ani Letak Rendah dengan fistula perineal
Tindakan
: Anoplasty (Anterosagital Anorectoplasty)
BB/TB
: 2 kg / 41 cm
Gol. Darah
:A

II.

ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Bayi lahir tidak memiliki lobang anus.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Bayi datang via IGD rujukan dari RS Nurdin Hamzah Sabak
dengan diagnosis Atresia Ani + Fistel Perineal dan distensi
abdomen. Bayi lahir 2 hari yang lalu ditolong oleh bidan, bayi
lahir spontan dan segera menangis.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat batuk (-)
D. Riwayat Kebiasaan (-)
E. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda Vital
Kesadaran : Compos Mentis
TD
:Nadi
: 134 x/menit

- Riwayat Operasi (-)


- Riwayat Alergi Obat (-)
- Riwayat Penyakit Lain (-)

Suhu : 37,0 C
RR : 42 x/menit

2. Kepala
a. Mata : Ca -/-, SI -/-, Reflex cahaya +/+, Pupil isokor +/+
b. THT : Telinga : tidak tampak kelainan
Hidung : sekret -, hiperemis -/Tenggorokkan : Mallampati sulit dinilai

c. Leher : Pembesaran KGB (-)


3. Thoraks
Inspeksi : Datar, retraksi (-)
Palpasi : Krepitasi (-), Vocal fremitus tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi: Pulmo : Vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Cor
: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
4. Abdomen
Inspeksi : Cembung (+), sikatriks (-)
Palpasi : Distensi (+)
Perkusi : hipertimpani
Auskultasi: BU (+) normal
5. Genitalia : Tidak ada kelainan
6. Ektremitas: Akral hangat (+/+) , edema (-/-)

III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG (02 Mei 2013)


1. Darah Rutin
Pemeriksaan
WBC
RBC
Hb
Ht
Trombosit
CT
BT

Nilai
10,4
3,47
16,5
37,2
259
4
2

Satuan
103
/
mm3
106/
mm3
g/dl
%
103/

Nilai Normal
3,5-10
3,8-5,8
11 16,5
35-50
150 - 390

mm3
Detik
Detik
2. X- Ray (Tidak dilakukan pemeriksaan)
3. CT- Scan (Tidak dilakukan pemeriksaan)
4. Pemeriksaan Penunjang Lain (-)
IV.
V.

STATUS FISIK ASA : 1 2 3 4 5 E


RENCANA TINDAKAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah : Atresia Ani Letak Rendah dengan fistula
perineal

2. Tindakan Bedah
3. Status Fisik ASA
4. Metode Anestesi
- Premedikasi
- Induksi
-

Relaksasi
Pemeliharaan

: Anoplasty (Anterosagital Anorectoplasty)


::1 2 3 4 5 E
: Anestesi General
:: Sulfas Atropin 0,05 mg
Pethidin 2 mg
Sevoflurane 4 vol %
: Atracurium 1 mg
: Sevoflurane 2 vol %

KEADAAN PENDERITA SELAMA OPERASI :


1. Posisi Penderita : Lithotomi
2. Intubasi
: Oral
No. Tube : 2,5 (tanpa balon)
- Penyulit intubasi
: Tidak ada
- Penyulit waktu Anestesi : Tidak ada
3. Lama Anestesi
: 60 menit
4. Jumlah Cairan
:
Input
: WIDA D10 50 cc
Output
: Urin
30 cc
Jumlah Pendarahan
: 10 cc
5. Monitoring Peri Operatif
Ja

Infus

Nadi

m
10.

(x/menit
WIDA

D10

50cc + Ca

0
10.

glukonas 2
amp

)
140
145
145
135
145

1
5
10.
3
0
10.
4

5
11.
0
0
6. Instruksi Anestesi
Bayi dipuasakan selama 24 jam
Beri oksigen
Terapi disesuaikan dengan terapi dr. Willy, Sp.BA

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ANESTESIA PEDIATRIK
DASAR ANATOMI DAN FISIOLOGI
a. Jalan Nafas1,2

Bayi mempunyai kepala lebih besar (terutama oksiput) dibandingkan


dengan tubuhnya, sehingga lebih sukar untuk menempatkan dalam
posisi sniffing. Beri ganjalan bahu untuk mendapatkan posisi yang

lebih baik.
Jalan nafas sempit memerlukan usaha jalan nafas yang cukup besar
untuk dapat melampaui resistensinya, sehingga sumbatan jalan nafas
oleh atresia koanal atau secret dapat menyebabkan sumbatan jalan
nafas total. Demikian juga dengan pemasangan pipa nasogastrik,
sehingga pilihan terbaik adalah pipa nasogastrik.

Bayi mempunyai lidah yang relatif besar sehingga dapat menyulitkan


pada saat melakukan ventilasi sungkup dan laringoskopi.
Posisi pita suara pada bayi dan anak lebih sefalad (C3 pada preterm,
C4 pada bayi, C5 pada dewasa) dan mempunyai epiglotis yang
panjang, menyempit, dan bersudut, sehingga menyebabkan visualisasi
pita suara pada saat laringoskopi menjadi lebih sulit. Pita suara akan
terlihat lebih anterior sehingga untuk memvisualisasinya seringkali
diperlukan penekanan krikoid pada waktu laringoskopi.

b. Fisiologi Respirasi2,3
Fisiologi yang menyebabkan bayi dan neonatus mudah terjadi desaturasi :

Neonatus mempunyai kebutuhan metabolik yang tinggi dengan


konsumsi O2 mendekati 7-9 ml/KgBB/menit dibandingkan dengan

dewasa yang hanya 3ml/KgBB/menit.


Bayi mempunyai ventilasi semenit yang lebih tinggi dari FRC yang

rendah perkilogram berat badan dibandingkan dewasa.


Paru-paru neonatus mempunyai closing volume yang tinggi,
melampaui batas terendah volume tidalnya.

c. Fisiologi Ventilasi

Otot pernafasan utama pada bayi adalah diafragma, diafragma bayi


lebih mudah fatigue daripada dewasa karena neonatus hanya
mempunyai setengah dari jumlah serat otot oksidatif kontraksi lambat
tipe I pada dewasa untuk bertahan terhadap peningkatan usaha

respirasi.
Ventilasi semenit yang tinggi, terutama dalam kondisi stress
membatasi kemampuan untuk meningkatkan usaha ventilasi secara

efektif.
Terjadinya henti nafas dan ketidakstabilan kardiovaskuler akibat
anestesia umum meningkat pada bayi prematur dan usia kurang dari
60 minggu pascakonsepsi seperti juga bayi yang sepsis atau

mengalami infeksi sistemik. Pasien seperti ini harus dimonitor 24 jam

pascabedah.
Bayi aterm, usia gestasi kurang dari 46 minggu dan bayi eksprematur
usia getasi kurang dari 52 minggu harus dirawat dan di monitor
sepanjang malam.

d. Sistem kardiovaskular

Cardiac outout neonatus 180-240 ml/KgBB/menit, dua sampai tiga

kali lipat dibanding dewasa.


Ventrikel nonkomplians dan mempunyai masa otot yang relative lebih
kecil pada neonatus dan bayi, sehingga hanya memiliki sedikit
cadangan kompensasi. Karena terdapat keterbatasan kemampuan
untuk meningkatkan kontraktilitas, maka peningkatan kardiak output

tergantung pada laju jantung


Laju jantung dan tekanan darah bervariasi sesuai dengan usia.
Umur

HR

Tekanan

Tekanan

Sistolik
Preterm

45

25

60-75

27

Newborn

95

45

6 bulan

95

50

2 tahun

110-

98

57

4 tahun

112

60

8 tahun

1000gr

130-

Diastolik

0
801
5
0
851

2
5
751
1
5
601
1
0
e. Cairan dan Elektrolit

Pada waktu lahir, laju filtrasi glomerulus 15-30% dari nilai normal

pasien dewasa dan mencapai nilai dewasa pada usia 1 tahun.


Tolerasni neonatus terhadap pemberian air dan garam sangat rendah
karena laju filtrasi glomerulus yang rendah dan penurunan

kemampuan untuk memekatkan urin.


Hipokalsemia sering terjadi pada bayi premature, kecil pada masa
kehamilan, asfiksia, ibu dengan DM, atau mendapat transfusi PRC dan
FFP.

f. Sistem Hematologi
Volume darah pada bayi aterm 80 ml/KgBB dan akan mencapai nilai

dewasa (70 ml/Kg) pada tahun pertama.


Nilai hematokrit normal berubah secara bermakna pada bulan pertama
kehidupan, keadaan anemia fisiologi terjadi pada usia 3 bulan dan
dapat mencapai kadar yang lebih rendah dari 28% pada bayi yang

sehat.
Pada saat lahir, HbF lebih dominan tetapi akan segera diganti dengan
HbA dalam 3-4 bulan. Pada bulan ke 6 tercapai rasio HbF/HbA yang
sama dengan dewasa. Pada bayi prematur penurunan kadar
hemoglobin lebih cepat dan lebih besar dan dapat mencapai 7-8gr%
pada bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1500gr (karena umur

eritrosit lebih pendek, pertumbuhan yang cepat, kadar epogen yang


diproduksi sedikit)
g. Sistem Hepatobilier
Enzim hati yang penting dalam metabolisme obat belum berkembang
pada bayi, terutama yang berperan pada fase reaksi konjugasi.
h. Endokrin
Faktor resiko lain terjadinya hipoglikemia pada neonatus diantaranya
prematur, stress perinatal, sepsis, dan neonatus kecil sesuai masa

kehamilan.
Bayi baru lahir, terutama prematur dan bayo kecil sesuai masa
kehamilan mempunyai hanya sediki cadangan glikogen (hanya dihati

dan myokard) dan dangat mudah mengalami hipoglikemia.


Kadar gula darah normal pada saat lahir adalah 40 mg/dl.

i. Pengaturan suhu Tubuh


Dibandingkan dengan dewasa, bayi dan anak mempunyai permukaan
tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan berat badannya, sehingga
dapat menyebabkan kehilangan panas yang besar melalui radiasi,

evaporasi, konveksi dan konduksi.


Bayi berumur kurang dari 3 bulan tidak dapat mengkompensasi dingin

dengan menggigil.
Bayi merespon stress dingin dengan meningkatkan produksi
norepinefrin, yang meningkatkan metabolisme lemak coklat. Selain
menungkatkan produksi panas, norepinefrin juga meningkatkan
vasokontriksi paru dan perifer. Jika berlanjut, bisa menyebabkan
pintasan dari kanan ke kiri, hipoksia dan asidosis metabolik. Bayi
sakit dan premature mempunyai cadangan lemak coklat yang terbatas
sehingga lebih tidak tahan terhadap dingin.

3.2 PENERAPAN ANESTESIA4,5,6,7


a. Masa Pra-anestesia
Kunjungan pra-anestesia dilakukan sekurang-kurangnya dalam waktu 24
jma sebelum dilakukan tindakan anestesia. Perkenalan dengan orang tua

penderita sangat penting untuk memberikan penjelanan mengenai masalah


pembedahan dan anestesia yang akan dilakukan. Pada kunjungan tersebut
kita melakukan penilaian keadaan umum, pemeriksaan fisik dan mental
pasien.
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama puasa
pre operasi neonatus dan bayi 1-6 bulan selama 4 jam sedangkan anak
lebih dari 6 bulan-3tahun 6jam. Lebih dari 3 tahun 8 jam.
b. Pengaruh pada Farmakologi
Metabolisme Obat :
Hati adalah tempat utama metaboisme obat. Obat yang mengalami
metabolisme hati mempunyai koefisien ekstraksi hepar yang tinggi atau
rendah. Obat dengan koefisien ekstraksi (e.g fentanyl, morphine)
tergantung dari aliran darah hati dan tidak bergantug dari ikatan protein
untuk bersihan obat. Sedangkan obat dengan koefisien ekstraksi hati yang
rendah (alfentil) tergantung dari fraksi obat bebas dan kinetik enzim dalam
membatasi laju eliminasi obat.
Eliminasi obat:
Proses nefrogenesis dimulai pada usia kehamilan 8 minggu dan menjadi
sempurna pada usia 36 minggu pasca kelahiran. Perkembangan fungsi
ginjal dapat merubah bersihan plasma terhadap komponen obat secara
dramatis melalui ginjal, sehingga akan mempengaruhi pemilihan dosis
yang sesuai umur.

Obat anestesia intravena:

Secara umum neonatus membutuhkan dosis yang lebih rendah,


sedangkan bayi membutuhkan dosis yang lebih besar.

10

Propolol belum direkomendasikan penggunaanya untuk anak dibawah


usia 3 tahun walaupun sudah banyak digunakan, bahkan pada

neonatus.
Proporsi curah jantung yang mencapai otak lebih besar pada neonatus
dibandingkan pada anak yang lebih besar sehingga dosis untuk

induksi intravena pada neonatus menjadi lebih kecil.


Fungsi ginjal dan hati yang belum sempurna menyebabkan ekskresi
obat lebih lambat sehingga interval dosis yang diberikan harus lebih
lambat untuk menghindari toksis.

Obat anestesia inhalasi

MAC obat anestesia inhalasi lebih besar pada anak yang lebih muda
dan menurun sejalan dengan meningkatnya usia, namun neonatus
membutuhkan konsentrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan
bayi. Obat anestesia inhalasi yang dibutuhkan pada bayi 30% lebih
besar dari normal, namun batas keamanan antara efek anestesia yang
adekuat dan depresi sistem kardiovaskuler dan respirasi lebih sempit

dibandingkan pada dewasa.


Obat anestesia inhalasi lebih cepat mencapai otak sehingga lebih
mudah untuk melakukan induksi anestesia. Waktu pulih juga lebih

cepat.
Ambilan obat anestesia inhalasi lebih cepat daripada dewasa atau
anak besar karena :
- raiso antara ventilasi alveolar dan kapasitas cadangan
-

fungsional lebih tinggi (4:1 vs 1,4 : 1)


kelarutan gas dalam darah lebih kecil

11

aliran darah ke otak lebih besar


curah jantung lebih tinggi

Obat Pelumpuh otot

Bayi prematur mempunyai masa otot lebih sedikit


Reseptor asetil kolin mempunyai subtipe (fetal) yang berbeda
Bayi prematur menunjukkan terjadi kelelahan pascatetanik dalam 15-

20 menit
Reseptor EMG berkurang pada neonatus aterm sampai 12 minggu

PCA
Reseptor pada NMJ belum matang dan jumlahnya masih sedikit pada

neonatus dan bayi


Dosis obat pelumpuh otot tergantung dari volume cairan ekstra sel.
Volume cairan ekstraselular relatif konstan (6-8 L/m2)

Obat Analgetik Opioid

Neonatus lebih sensitif terhadap analgetik opioid karena pusat


pernapasan yang belum matur, sehingga dapat meningkatkan resiko
terjadinya sleep apnue. Bersihan morfin pada anak lebih panjang 4
kali lipat dibandingkan dewasa.

12

c. Premedikasi
Tujuan utama melakukan premedikasi pada anak adalah untuk
memfasilitasi perpisahan dengan orang tua agar lebih nyaman, sehingga
kecemasan pada saat induksi anestesi berkurang. Bayi berusia kurang dari
6 bulan dapat dipisahkan dengan mudah dari orang tuanya, hanya dengan
membuat lingkungannya senyaman mungkin, seperti diberi selimut atau
boneka yang lembut, atau dibiarkan memakai empeng. Bayi diatas 6 bulan
sampai usia toddler membutuhkan premedikasi untuk memudahkan
pemisahan dengan orang tua, begitu juga dengan anak yang sudah berkalikali masuk RS atau anak dengan gangguan komunikasi.
-

Atropin, hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan


suksinilkolin halotan, prostigmin atau eter. Dosisnya ialah 0,01-

0,02 mg/kgbb.
Penenang, Diazepam diberikan 0,2-0,4 mg/kgbb dapat diberikan
baik secara oral atau rektal. Suntikan i.m atau i.v kurang disukai
karena sering menimbulkan nyeri. Droperidol 0,15 mg/kg kadang
diberikan pada anak secara i.m atau i.v. Midazolam (0,07-0,2

mg/kgBB)
Premedikasi i.m diberikan 30-60 menit sebelum induksi anestesia,
sedangkan secara i.v 5 menit sebelum induksi.

d. Masa Anestesia

13

Induksi Intravena
- Thiopental (3mg/kg neonate, 5-6 mg/kg untuk infant dan anak)
- Ketamin 1-2 mg/kgBB
Induksi Inhalasi
-

Sevoflurane dan Halotan dengan O2 atau campuran N2O dalam

oksigen 50%.
Konsentrasi halotan berawal 1 volume % kemudian dinaikan setiap
beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur.

e. Intubasi
Laringoskopi pada bayi dan anak tidak membutuhkan bantal
kepala. Kepala bayi terutama neonatus oksiputnya menonjol. Perbedaan
anatomi, lebih mudah menggunakan laringoskop dengan bilah lurus pada
bayi. Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa
kaf. Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh pakai kaf pada kasus laparatomi
atau jika takut terjadi aspirasi.
Bayi prematur biasa menggunakan pipa bergaris tengah 2-2,5mm,
bayi cukup bulan 2,5-3,5mm. Sampai 6 bulan 3-4mm dan sampai 1 tahun
3,5-4,5mm. Usia diatas 1 tahun gunakan rumus : umur (tahun) / 4 + 4mm.
Intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan trauma
perdarahan adenoid dan infeksi.
f. Pemeliharaan Anestesia
Dianjurkan dengan intubasi dan pernafasan kendali. Pada umunya
menggunakan anestesi N2O/O2 dengan kombinasi halotan, isofluran,
ataupun sevoflurane. Pelumpuh otot golongan non depolarisasisangat
sensitive sehingga harus diencerkan dan pemberiannya secara sedikit demi
sedikit.

g. Cairan perioperatif dan transfusi darah pada pediatri


Terapi cairan perioperatif digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu
penggantian kekurangan cairan yang terjadi sebelum operasi, pemberian

14

cairan rumatan dan pengganti kehilangan selama operasi (mencukupi


volume cairan untuk mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat).
Kebutuhan cairan pengganti defisit sebelum operasi
Pada dehidrasi ringan, tanda/gejala klinis yang berguna adalah rasa
haus dan mukosa yang kering. Pada dehidrasu sedang tanda tambahan
yang lain adalah takipnue, kulit dingin, akral pucat dengan waktu
pengisian kapiler (CRT) yang memanjang, turgor kulit yang menurun dan
mata sayu. Pada dehidrasi berat tanda/gejala tambahan lain adalah iritabel,
letargi nafas cepat dan dalam (kusmaul) dan ubun-ubun cekung.
Pada anak yag melakukan puasa perioperatif seperti yang
dianjurkan oleh ASA, kehilangan cairan karena puasa sangat sedikit,
sehingga tidak diperhitungkan dalam perhitungan cairan intraoperatif.
Hipovolemia harus dikoreksi dengan pemberian cairan inisial
sebanyak 10-20 ml/kg berupa cairan isotonis atau koloid, dan bisa diulangi
sesuai dengan kebutuhan.
Puasa Perioperatif

Jika terjadi kehilangan darah yang masif, harus dilakukan transfusi darah
Koreksi kehilangan cairan sebanyak 1 % akibat dehidrasi
membutuhkan cairan sebanyak 10 cc/kgBB. Kecepatan pemberian cairan

15

tergantung dari seberapa berat kekurangan cairan yang terjadi. Kehilangan


darah diganti dengan perbandingan 1:1 jika diberikan produk darah atau
koloid, dan 3:1 jika diberikan cairan pengganti kristaloid.
Kebutuhan cairan rumatan
Kebutuhan cairan rumatan dihitung berdasarkan rekomendasi dari
Holliday dan Segar (rumurs 4:2:1) untuk anak dan bayi berusia lebih dari 4
minggu menggunakan berat badannya. Neonatus aterm (>36 minggu usia
kehamilan) kebutuhan cairan hingga 10-15% BB pada masa ini.
Kebutuhan cairan rumatan harus ditambah pada anak dengan
demam, keringat yang banyak, status hipermetabolik seperti luka bakar
atau pada penggunaan penghangat dan fototerapi.
Holliday dan Segar

100c/kg/24jam

(untuk 24 jam)

+ 50 cc/kg/24 jam

BB 10-2- kg

+ 20 cc/kg/24jam

BB >20 kg

Rumus 4-2-1

10 kg pertama

4 cc/kg/jam

(kebutuhan per jam)

10 20 kg

2 cc/kg/jam

> 20 kg

1 cc/kg/jam

Kebutuhan elektrolit

Na

: 3 mmol/kg

: 2 mmol/kg

BB < 10kg

dihitung dari jumlah lektrolit yang


terkandung dalam setiap cc ASI
Anestesia umum akan menurunkan kebutuhan kalori hingga
mendekati laju metabolisme basal. Selama operasi, hampir semua anak
tidak membutuhka cairan yang mengandung dekstrose kecuali pada
keadaan:
Neonatus berusia sampai 48 jam

16

Bayi prematur dan matur yang sudah diberikan cairan yang


mengandung dekstrosa atau dalam terapi nutrisi parenteral sebelum
operasi, harus dilanjutkan pemberian dekstrosa atau nutrisi selama
operasi atau diperiksa kadar gula darahnya secara berkala sepanjang
operasi.
Pada bayi dan anak yang lebih muda, daoat diberikan cairan yang
mengandung dekstrose 1 % atau 2 % dalam larutan ringer.
Anak dengan berat badan rendah atau menjalani operasi yang panjang
harus menerima cairan rumatan yang mengandung dekstrose (1-2,5 %
dekstrose) atau diperiksa kadar gula darahnya secara berkala
sepanjang operasi.
Anak yang mendapatkan analgesia regional dengan respon stress yang
berkurang harus menerima cairan rumatan yang mengandung
dekstrose (1-2,5 % dekstrose) atau diperiksa kadar gula darahnya
secara berkala sepanjang operasi.
Penggantian kehilangan cairan intraoperatif
Semua kehilangan cairan selama operasi harus diganti dengan
cairan isotonik kristaloid, koloid atau produk darah, bergantung kadar
hematokrit anak. Pada keadaan normal, pemberian 15-20 cc/kgBB cairan
kristaloid dalam 15-20 menit cukup untuk mengembalikan kestabilan
kardiovaskuler. Setelah pemberian total 30 50 cc/kgBB cairan kristaloid
dapat diberikan cairan koloid (albumin atau koloid sintetik) untuk
mempertahankan tekanan osmotik intravaskuler.
Perhitungan jumlah darah yang akan ditransfusikan berdasarkan
persamaan : berat badan (kg) x peningkatan Hb (gr/dl) x 3 / (kadar
hematokrit). Persamaan ini memprediksi bahwa dengan standar
hematokrit 0,6, 10 cc/kg darah akan meningkatkan kadar hemoglobin
sebesar 2 g/dl.
Pemantauan Anestesi

17

Pernapasan : Stetoskop prekordial. Pada nafas spontan, gerak dada

dan bagian resrvoir, warna ektremitas.


Sirkulasi : Stetoskop prekordial, perabaan nadi EKG dan CVP.
Suhu: Rektal, esofagus, nasofaring
Perdarahan: Isi dalam botol suction. Perikasa Hb dan Ht secara

serial.
Air kemih: Isi dalam kantong kemih

h. Pengakhiran Anestesi
Pembersihan lendir dalam rongga hidung dan mulut secara hatihati. Pemberian O2 100% selama 5-15 menit setelah agent dihentikan. Bila
ada pengaruh obat non-depol dapat dlakukan penetralan dengan nostigmin
(0,04mg/kg) bersama atropin (0,02mg/kg) kemudian lakukan ekstubasi.
Untuk memindahkan penderita ke ruangan biasa dihitung dulu, skornya
menurut Steward.
Pergeraka

Gerak bertujuan
2
Gerak tak bertujuan
1
n
Tidak bergerak
0
Pernafasan
Batuk, menangis
2
Pertahankan jalan nafas
1
Perlu bantuan
0
Kesadaran
Menangis
2
Bereaksi terhadap rangsangan
1
Tidak bereaksi
0
Jika jumlah 5 penderita bisa dipindahkan keruangan.

3.3 ATRESIA ANI


a. Definisi
Atresia berasal dari bahasa yunani, a berarti tidak dan trepsis berarti
nutrisi dan makanan. Dalam istilah kedokteran yaitu suatu keadaan tidak
adanya atau tertutupnya lubang yang normal.8
b. Etiologi

18

Penyebab atresia ani sampai saat ini masih belum jelas, diduga genetik
juga berperan dalam munculnya kelainan ini. Namun ada sumber yang
mengatakan bahwa kelainan bawaan anus disebabkan oleh :8,9

Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena


gangguan pertumbuhan fusi, atau pembentukan abus dari tonjolan

embriogenik.
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir

tanpa lubang anus.


Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena
ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12

minggu atau 3 bulan.


Kelaianan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum sfingter

dan otot dasar panggul.


Berkaitan dengan sindrom down.

c. Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi menjadi 2
golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin, yaitu :8,9
1. Laki-laki
Kelompok I
Kelainan : fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak
ada, invertogram (udara > 1cm dari kulit)
Tindakan : kolostomi neonatus; operasi definitif pada usia 4-6
bulan
Kelompok II
Kelainan : fistel perineum, membrana anal, stenosis anus, fistel
tidak ada, invertogram (udara < 1 cm dari kulit)
Tindakan : operasi langsung pada neonatus
2. Perempuan
Kelompok I
Kelainan : kloaka, vistel vagina, fistel anovestibuler atau
retrovestibuler, atresia rektum, fistel tidak ada, invertogram
(uadar > 1 cm dari kulit)
Tindakan : kolostomi neonatus
Kelompok II

19

Kelainan : fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada,


invertogram (udara < 1 cm dari kulit)
Klasifikasi lain menurut Ladd dan Gross pada tahun 1934 mengajukan
klasifikasi terdiri atas 4 tipe, yaitu :

Tipe I: Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam

berbagai derajat.
Tipe II: Terdapat suatu membran tipis yang menutupi anus karena

menetapnya membran anus.


Tipe III: Anus tidak terbentuk dan rektum berakhir sebagai suatu kantung
yang buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus seharusnya

terbentuk (lekukan anus). Merupakan jenis yang paling sering ditemukan


Tipe IV: Saluran anus dan rektum bagian bawah membentuk suatu
kantung buntu yang terpisah, pada jarak tertentu dari ujung rektum yang
berakhir sebagai suatu kantung buntu. Merupakan bentuk yang paling
jarang dijumpai.

Gambar 1. Atresia ani tanpa fistula

Gambar 2. Atresia ani dengan fistula

20

Kelainan bentuk anorektum juga dapat dikelompokkan berdasarkan


hubungan antara bagian terbawah rektum yang normal dengan otot
puborektalis yang memiliki fungsi sangat penting dalam proses defekasi
berdasarkan letak ujung atresia terhadap otot dasar panggul, yakni
supralevator dan translevator, dikenal sebagai klasifikasi Melboume.
Kelainan bentuk anorektum dikelompokkan menjadi:
1. Kelainan letak rendah (infralevator)
Pada kelainan letak rendah, rektum telah menembus levator

sling

sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm, muskulus
sfingter ani interna dalam keadaan utuh, kelainan letak rendah lebih
sering dijumpai pada bayi perempuan. Bentuk yang dapat ditemukan
berupa stenosis anus, tertutupnya anus oleh suatu membran tipis yang
seringkali disertai fistula anokutaneus, dan anus ektopik yang selalu
terletak di anterior lokasi anus yang normal.

Gambar 3.Fistul anokutaneus (bucket handle)

anus ektopik

2. Kelainan letak tinggi (supralevator)


Pada kelainan letak tinggi, rektum yang buntu terletak di atas levator
sling dan juga dikenal dengan istilah agenesis rektum. Kelainan letak
tinggi lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki. Pada kelainan letak
tinggi sering kali terdapat fistula, yang menghubungkan antara rektum
dengan perineum, saluran kemih atau vagina.

21

Gambar 4. Atresia ani letak rendah dan letak tinggi


Jenis fistula yang dapat ditemukan pada perempuan adalah fistula
anokutaneus,

fistula

rektoperineum

dan

fistula

rektovagina.

Fistula

anokutaneus mencakup bentuk kelainan yang sebelumnya dikenal sebagai


anus ektopik anterior atau fistula anoperineum. Pada fistula rektoperineum,
fistula bermuara di sepanjang perineum mulai dari lekukan anus sampai pada
batas vestibulum vagina. Sementara pada fistula rektovagina, lubang fistula
bermuara pada fosa navikularis, vestibulum vagina, atau bahkan pada dinding
posterior vagina.
Pada laki-laki dapat dijumpai dua bentuk fistula, yaitu fistula
rektourinaria dan fistula rektoperineum; jenis yang pertama lebih banyak
ditemukan. Sebagian besar fistula rektourinaria berupa fistula rektouretra,
muara fistula terdapat di uretra pars prostatika tepat di bawah verumontagum
berdekatan dengan duktus ejakulatorius. Fistula rektourinaria juga dapat
dijumpai dalam bentuk fistula rektovesika, fistula ini menghubungkan rektum
dengan kandung kemih pada daerah trigonum vesika. Jenis fistula ini sangat
jarang ditemukan. Pada fistula rektoperineum, muara fistula terdapat di
perineum di sepanjang daerah antara lekukan anus sampai batas
perineoskrotum.
Fistula dapat berukuran sedemikian kecil sehingga sukar ditemukan dan
tidak dapat dilalui mekoneum atau berukuran cukup besar sehingga
memungkinkan pengeluaran mekoneum dari rektum yang buntu. Pada kasus
kelainan bentuk anorektum disertai fistula dengan ukuran cukup besar,

22

manifestasi obstruksi usus akibat buntunya rektum tidak terjadi, karena


mekoneum dapat keluar melalui fistula.
Fistula dapat ditemukan pada sekitar tiga perempat kasus dan sebagian
besar di antaranya terdapat pada kasus tipe III berdasarkan klasikfikasi ladd
and gross.

Gambar 5. fistule yang muncul pada atresia ani


d. Patofisiologi10
Kelainan terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus
dari tonjilan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjaadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur
kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi
dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada
uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus
sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal
mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah
dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.

23

Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada


kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan
adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi
cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel
menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk
fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 990%
dengan vistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada
laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat
(rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah menuju
ke uretra (rektouretralis).9
e. Diagnosis
Anamnesis9
Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir
Tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula
Bila ada fistula pada perineum (mekkonium +) kemungkinan letak
rendah
Kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau
stenosis kanal rektal, adanya membran anal
bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan
intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulit abdomen
akan kelihatan menonjol
bayi muntah-muntah pada usia 24-48 jam setelah lahir
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada semua bayi baru lahir harus dilakukan
pemasukan thermometer melalui anusnya, tidak hanya untuk mengetahui
suhu tubuh, tetapi juga untuk mengetahui apakah terdapat anus imperforate
atau tidak. Pada inspeksi tidak adanya lubang anus, mekonium tidak
keluar, atau keluar lewat fistula perineal/vaginal/vestibular/uretra, atau
adanya tonjolan di perineum. Pada palpasi dengan jari kelingking meraba

24

membrane untuk mengetahui sfingter ani yang kontraksi atau mekonium


dengan ujung thermometer.8
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan foto rontgen menurut metode Wangensteen dan Rice
bermanfaat dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu. Foto
diambil setelah 24 jam setelah lahir, jangan sampai kurang karena jika
kurang usus bayi belum cukup berisi udara sehingga diagnosisnya nanti
bisa kabur. Setelah berumur sekurang-kurangnya 24 jam, bayi kemudian
diletakkan dalam posisi terbalik selama sekitar 3 menit, sendi panggul
dalam keadaan sedikit ekstensi, dan kemudian dibuat foto pandangan
anteroposterior dan lateral, setelah suatu petanda diletakkan pada daerah
lekukan anus. Penilaian foto rontgen dilakukan terhadap letak udara di
dalam rektum dalam hubungannya dengan garis pubokoksigeus dan
jaraknya terhadap lekukan anus. Udara di dalam rektum yang terlihat di
sebelah proksimal garis pubokoksigeus menunjukkan adanya kelainan
letak tinggi. Sebaliknya, udara di dalam rektum yang tampak di bawah
bayangan tulang iskium dan amat dekat dengan petanda pada lekukan anus
memberi kesan ke arah kelainan letak rendah. Pada kelainan letak tengah,
ujung rektum yang buntu berada pada garis yang melalui bagian paling
bawah tulang iskium sejajar dengan garis pubokoksigeus.8,9,11

Gambar 6. gambaran radiologis atresia ani


Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan, antara lain :11

25

a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di


daerah tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir
dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil / anus
imperforata, pada bayi dengan anus imperforata. Udara berhenti tiba-tiba
di daerah sigmoid, kolon / rektum.
c. Dibuat foto anteroposterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan
kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda radio-opak, sehingga
pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara
tertinggi dapat diukur.
Dengan pemeriksaan voiding cystogram, dapat menentukan letak fistula
rektouretra. Gambaran udara di dalam kandung kemih menunjukkan adanya
fistula. Tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan primer anak-anak
kelainan anorectal karena kepekaannya lebih lemah dibandingkan dengan
distal colostography
Distal colostography, Ini menjadi satu-satunya test diagnostik paling
utama yang digunakan untuk memperjelas anatomi pada semua anak-anak
dengan kelainan yang memerlukan colostomy. Kateter dimasukkan kedalam
tubuh ditempatkan ke distal stoma, dan balon dipompa. Kateter ditekan, dan
kontras yang larut dalam air disuntik dengan tangan. Tekanan ini diperlukan
untuk memperlemah tekanan dari

levator otot dan untuk memasukkan

kontras sehingga mengalir ke bagian paling rendah kolon dan mengetahui


letak fistule.
Semua bayi yang mengalami kelainan bentuk anorektum perlu
menjalani pemeriksaan foto rontgen seluruh bagian kolumna vertebralis dan
urogram intravena untuk menemukan kelainan bawaan lainnya di daerah
tersebut. Apabila belum sempat dilakukan pada masa prabedah, maka kedua
pemeriksaan tersebut sebaiknya dikerjakan setelah dilakukan kolostomi
Sacral Radiograpi. Dilakukan Untuk melihat sakrum, posteroanterior
dan lateral. Dilakukan untuk memastikan rasio sakral dan untuk melihat ada

26

tidaknya defek pada sakral, hemivertebra dan massa presacral. Ini dilakukan
sebelum operasi.
USG abdomen, Spesifik Untuk memeriksa saluran kemih dan untuk
melihat ada tidaknya massa lain. Dilakukan sebelum operasi dan harus
diulang setelah 72 jam karena USG yang lebih awal menemukan sebab awal
ultrasonography

mungkin

tidak

cukup

untuk

mengesampingkan

hydronephrosis akibat vesicoureteral reflux.


USG spinal atau MRI, CT scan Banyak anak dengan atresia ani juga
memiliki kelainan tethered spinal cord.

f. Diagnosis Banding8

Hirschsprungs disease
Pada pemeriksaan barium enema memperlihatkan penyempitan
segmen kolon aganglionik, biasanya di daerah rektosigmoid dan proksimal
daerah patologis terdapat pelebaran usus. Tampak daerah transisi antara
kolon proksimal yang melebar dan kolon distal yang sempit, dimana
daerah transisi ini dapat berupa perubahan kaliber yang mendadak, bentuk

corong atau bentuk terowongan.


Meconium plug syndrom
Gambaran radiologik berupa gambaran usus yang melebar disertai
gambaran udara air dan kadang-kadang disertai gumpalan mekonium.
g. Tatalaksana8,10,12
Penanganan awal pasien dengan atresia ani yaitu harus dihentikan
masukan makanan unuk mencegah mual, muntah dan dehidrasi lebih lanjut.
Dekompresi dilakukan dengan Pemasangan NGT Sebelum dilakukan
tindakan operatif diberikan antibiotik sebagai profilaksi terhadap infeksi
sebelum dilakukan tindakan operatif.

27

Penanganan lanjut

Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang yang dibuat oleh dokter bedah pada
dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya
sementara atau permanen dari usus besar atau kolon iliaka. Untuk anomali

tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir.


PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumya ditunda 9 sampai 12
bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk
membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga
memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah
baik status nutrisinya.
Prosedur dilakukannya operasi yakni pemotongan muskulus levator
ani dan m, sfingter eksternus pada garis tengah sehingga memudahkan
mobilisasi kantong rectum proksimal dan pemotongan fistul apapun.

Gambar 7. teknik operasi PSARP

Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah
operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering
tetapi seminggu setelah operasi BAB akan berkurang frekuensinya dan
agak padat.

h. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada penderita atresia ani, yaitu :8
1. Konstipasi

28

Feses mengeras dan tidak bisa keluar karena tidak ada lubang, atau
ada lubang tetapi letaknya salah dan ukurannya kecil.
2. Kematian
Biasanya diakibatkan oleh kelainan sistem organ lain yang
menyertai atresia ani, sebagian besar akibat kelianan jantung dan
sistem syaraf pusat.
3. Ileus obstruksi
Pada atresia ani tanpa fistula, karena gangguan pasase usus, maka
akan terjadi ileus dimana bayi akan muntah, perut distende.
4. Infeksi traktus urinarius yang rekuren
Akibat pasase feses lewat traktus urinarius.
i. Prognosis8
Prognosis tergantung pada fungsi klinis. Dengan dinilai pengendalian
defekasi, pencemaran pakaian dalam, sensibilitas rektum dan kekuatan
kontraksi otot sfingter pada colok dubur. Fungsi kontinensia tidak hanya
tergantung pada kekuatan sfingter atau sensibilitasnya, tetapi juga bergantung
pada usia serta kooperasi dan keadaan mental penderita.
Pada atresia letak tinggi, banyak anak-anak memiliki masalah dalam
mengontrol fungsi saluran cerna atau pengendalian defekasi. Sebagian besar
mengalami konstipasi. Pada anak-anak dengan atresia letak rendah secara
garis besar mempunyai kontrol pencernaan yang baik, tetapi dapat pula
mengalami konstipasi.

29

BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang bayi laki-laki bernama By. Ny. IR dengan usia 4 hari dibawa ke
RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 02 Mei 2015 di rawat di
Perinatologi dengan keluhan utama Bayi lahir tidak memiliki lobang anus.
Dari hasil pemeriksaan ditegakkan diagnosis Atresia Ani Letak Rendah
dengan fistula perineal.
Operasi dilakukan pada tanggal 05 Mei 2015 pukul 10.00 WIB oleh ahli
bedah dr. Willy, Sp.BA dan ahli anastesi dr.Ade Susanti, Sp.An dengan
jenis/tindakan general anestesi.
Dalam persiapan operasi, bayi dipuasakan, tidak boleh diberi ASI dan diit.
Dilakukan premedikasi dengan memberikan sulfas atropin yang diencerkan
sebanyak (0,01-0,02)mg x 2 kg = 0,02 sampai 0,08 mg (diambil interval yaitu
0,05mg) sebagai golongan antikolenergik sehingga meningkatkan sistem
saraf simpatis dan juga bekerja memblok asetilkolin endogen maupun
eksogen. Pada saluran nafas efeknya adalah untuk mengurangi sekret hidung,
mulut, faring dan bronkus. Pada saluran pencernaan sebagai antispasmodik
(menghambat peristaltik lambung dan usus). Phetidin (1 2 mg/kgBB) x 2 kg

30

= 2 4 mg bertujuan untuk mengurangi rangsang nyeri pada saaat operasi.


Dan induksi dilakukan dengan menggunakan sevoflurane 4 vol %. Medikasi
muscle relaxan Atracuriun (0,5 0,6 mg/kgBB) x 2 kg = 1 1,2 mg yang
memiliki kerja lebih cepat, keuntungan adalah tidak mengganggu fungsi
ginjal dan aliran darah otak, sedangkan kerugiannya adalah tejadinya
gangguan fungsi hati dan efek kerjanya lebih lama. Lalu dilakukan intubasi
dengan ETT No. 2,5. Pemeliharaan anestesi menggunakan O2 : N2O = 1:1
ditambah sevoflurane 2 vol %. Pengakhiran anestesi dengan pembersihan
lendir dalam rongga hidung dan mulut. Pemberian

O 2 100% selama 5-

15menit setelah agent dihentikan dan dilakukan ekstubasi. Setelah selesai


anestesia dan keadaan umum baik penderita dipindahkan keruang pulih.
Untuk memindahkan penderita ke ruangan perinatologi dihitung dulu skornya
menurut Steward, skor 5 penderita bisa dipindahkan keruangan perinatologi.
Terapi maintenance cairan pasien dihitung dengan rumus 100 ml x
kgBB/24jam sehingga didapatkan 100 ml x 2 kg = 200 ml/24 jam.
Kecepatan tetesan infus bisa dihitung :
Jumlah tetes/menit (mikrodrip) = (jumlah cairan x 60) / (lama infus x 60) jadi
kecepatannya didapatkan (200 ml x 60) / (24 x 60) = 12000 / 1440 = 8,33 = 8
tetes/menit

31

BAB V
KESIMPULAN
Anestesia pada anak memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dari
pada anestesia pada pasien dewasa. Dikarenakan dengan kesulitan hubungan
anatomi dan fisiologi terutama karena perkembangannya sesuai usia pasien.
Dari manajemen anestesia anak juga melibatkan banyak hal lain
yang ditujukan bagi keamanan pasien; misalnya suhu tubuh dan suhu kamar
operasi, pemilihan peralatan yang digunakan dan pemilihan pemantuahan
selama anestesia.
Dalam kasus By. Ny. IR ini selama operasi berlangsung tidak ada
penyulit yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penangan anestesi berlangsung dengan
baik.

32

DAFTAR PUSTAKA
1. Snell RS. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2007
2. Sunarto RF, Susilo C. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI/RSCM. 2012. Hal: 375-396.
3. Latief s, Suryadi KA, Dahlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
kedua. Jakarta: Penerbit Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Indonesia. 2001. Hal 30-45.
4. Sadikin, Z.D. & Elysabeth. Anestetik Umum. Dalam: Farmakologi dan
Terapi. G.G, Sulistia. Ed. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009. Hal:
122-160.
5. S.M, Darto. & Thaib, R. Obat Anestetik Intravena. Dalam: Anestesiologi.
Muhiman, M. Thaib, . Eds.Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI. Jakarta: FKUI. 1989. Hal: 65-71.
6. A.L, Said & Suntoro, A. Anestesia Pediatrik. Dalam: Anestesiologi.
Muhiman, M. Thaib, . Eds.Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI. Jakarta: FKUI. 1989. Hal: 115-122.
7. Keat S, Bate ST, Bown A, dan Lanham S. Anaesthesia On The Move.
Matthews P, editor. Jakarta: Indeks. 2013.
8. Jong, Wime De, Sjamsuhidayat, R, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi Revisi,
EGC, Jakarta, 1998, Hal : 664-670
9. FK USU. Atresia Ani. Fakultas Kedokteran Universitas Utara. 2006
10. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah Kesehatan Anak I, FKUI, Jakarta, 1985, Hal : 204-5

33

11. Bedah UGM. Atresia Ani. http://www.bedahugm.net


12. Sabiston D.C, Fr, Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1992, Hal : 262

34

Anda mungkin juga menyukai