Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
Kejang bukan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa penyakit,
yang merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang berlebihan di selsel neuron otak oleh karena terganggu fungsinya. Kejang demam pada anak
merupakan kelainan neurologik yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak.
Kejang demam adalah tipe kejang yang paling sering terjadi pada anak. Walaupun
telah dijelaskan oleh bangsa Yunani , baru pada abad ini kejang demam dibedakan
dengan epilepsy. 1,2
Kejang merupakan salah satu darurat medik yang harus segera diatasi. 2
Kejang didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak paroksismal yang dapat dilihat
sebagai kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku,
gangguan sensoris, atau disfungsi autonom.1,2
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu
badan yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial (ekstrakranial :
ekstra = di luar, kranium : rongga tengkorak. Ekstrakranial : di luar rongga
tengkorak).1
Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidak sama,
tergantung dari nilai ambang kejang masing-masing. Setiap serangan kejang pada
anak harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat apalagi pada kasus kejang
yang berlangsung lama dan berulang. Karena keterlambatan dan kesalahan
prosedur akan mengakibatkan gejala sisa pada anak atau bahkan menyebabkan
kematian.2
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2-4% dari jumlah
penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan
penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami
kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis
kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki.
Penderita pada umumnya mempunyai riwayat keluarga (orang tua atau saudara
kandung) penderita kejang demam.

BAB II
STATUS PEDIATRIK
I.

IDENTIFIKASI

II.

Nama

: An.P

Umur

: 3 tahun, 6 bulan

Jenis Kelamin

: Perempuan

Bangsa

: Indonesia

Agama

: Kristen

Alamat

: Perum Beliung Indah

MRS tanggal

: 8 Desember 2014

ANAMNESA

A.

Diberikan oleh

: Ibu pasien

Tanggal

: 9 Desember 2014
Riwayat Penyakit Sekarang

1. Keluhan utama MRS

: Kejang 1 kali

2. Keluhan tambahan

: Demam tinggi dan muntah

3. Riwayat Perjalanan Penyakit :


Anak mengalami demam tinggi, demam dirasakan terus menerus dan
tidak turun setelah diberi obat penurun panas. Menggigil disangkal,
berkeringat disangkal, mimisan disangkal, gusi berdarah disangkal, bintikbibtik merah tidak ada. Anak mengeluh sakit kepala.
Anak mengalami muntah lebih dari tiga kali, muntah berisi air dan sisa
makanan yang dimakan. Darah tidak ada. Anak memuntahkan apa yang
dimakan.
Anak mengalami kejang satu kali dengan jangka waktu 10 menit. Anak
dibawa orang tua ke IGD RS Abd. Manaf. Setelah kejang anak terlihat
lemas dan terjadi penurunan kesadaran.
Diare tidak ada, batuk ada, pilek ada, buang air kecil biasa.

Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan

: Aterm

Partus

: Pervaginam

Tempat

: Klinik

Ditolong oleh

: Bidan

Tanggal

: 27 Mei 2011

BBL

: 3300 gram

PB

: 47 centimeter

2. Riwayat Makanan
ASI

:-

Susu Botol/kaleng

: + ( 0 - sekarang )

Bubur Nasi

: + ( mulai dari usia 8 bulan )

Nasi TIM/lembek

: + ( mulai dari usia 10 bulan )

Nasi Biasa

: + ( mulai dari usia 12 bulan )

Daging, Ikan dan telur

: + ( mulai dari usia 12 bulan )

Tempe dan Tahu

: + ( mulai dari usia 12 bulan )

Sayur

: + ( mulai dari usia 12 bulan )

Buah

: + ( mulai dari usia 12 bulan )

Kesan

: kualitas dan kuatitas gizi cukup

3. Riwayat Imunisasi
BCG : + (usia 3 bulan )

Polio : + (usia 0 bulan )

DPT : +

Hepatitis : + (usia 0 bulan )

Campak : +

Kesan

: Imunisasi dasar
lengkap

4. Riwayat Keluarga :
Perkawinan

:-

Umur

:-

Pendidikan

: Belum sekolah

Saudara

:-

5. Riwayat Perkembangan Fisik


Gigi Pertama

: + ( usia 5 bulan )

Berbalik

: + ( ibu lupa umurnya)

Tengkurap

: + (ibu lupa umurnya)

Merangkak

: + ( ibu lupa umurnya)

Duduk

: + ( umur 6 bulan)

Berdiri

: + (umur 6 bulan)

Berjalan

: + (umur 15 bulan)

Berbicara

: + (umur 9 bulan)

Kesan

: perkembangan sesuai

6. Riwayat Perkembangan Mental


Isap Jempol

:-

Ngompol

:+

Sering mimpi

:+

Aktifitas

: Cukup Aktif

Membangkang

:-

Ketakutan

:+

7. Status gizi
BB/U ( 13kg / 3 tahun )

: gizi baik (-2 sd - +2 sd )

TB/U (95 cm/ 3 tahun)

: tinggi (-2 sd - +2 sd)

BB/TB (13 kg / 95 cm )

: normal (-2 sd - +2 sd)

8. Riwayat Penyakit yang pernah di derita


Parotitis

:-

Muntah berak : +

Pertusis

:-

Asma

:-

Difteri

:-

Cacingan

:-

Tetanus

:-

Patah tulang

:-

Campak

:-

Jantung

:-

Varicella

:-

Sendi bengkak: -

Thypoid

:-

Kecelakaan

:-

Malaria

:-

Operasi

:-

DBD

:-

Keracunan

:-

Demam menahun

:-

Sakit kencing : -

Radang paru

:-

Sakit ginjal

:-

TBC

:-

Kejang

:-

Perut Kembung

:-

Lumpuh

:-

Alergi

:-

Otitis Media : -

Batuk/pilek

:+

III. PEMERIKSAAN FISIK


A.

PEMERIKSAAN UMUM (9 Desember 2014 )

Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis

Posisi

: berbaring

BB

: 13 kg

PB

: 95 cm

Gizi

: baik

Edema

:-

Sianosis

:-

Dyspnoe

:-

Ikterus

:-

Anemia

:-

Suhu

: 38,4 C

Respirasi

: 28 x/ menit

Tipe pernapasan

: thorakoabdominal

Turgor

: baik

Tekanan darah

:-

Nadi

: 120x/i

Frekuensi

: 120x/ i

Regularitas

: teratur

Equalitas

: sama

Pulsus defisit

:-

Pulsus Alternan

:-

Pulsus tardus

:-

Pulsus paradox

:-

Pulsus celler

:6

Pulsus trigeminus

:-

Pulsus parvus

:-

Pulsus magnus

:-

Pulsus bigerminus

:-

Kulit
Warna

: sawo matang

Vesikula

:-

Hipopigmentasi : -

Pustula

:-

Hiperpigmentasi: -

Sikatriks

:-

Ikterus

:-

Edema

:-

Bersisik

:-

Eritema

:-

Makula

:-

Haemangiom

:-

Papula

:-

Ptechiae

:-

B. PEMERIKSAAN KHUSUS (9 Desember 2014)


KEPALA
Bentuk

: normocepali

Rambut

: lurus

Warna

: hitam

Lingkar kepala

: 50 centimeter

Mudah Rontok

:-

Kehalusan

: halus

Alopesia

:-

Sutura

: menetap

Fontanella mayor

:-

Fontanella minor

:-

Cracked pot sign

:-

Cranio tabes

:-

MUKA

ALIS

Roman muka

: dbn

Kerapatan

: dbn

Bentuk muka

: dbn

Mudah rontok

:-

Sembab

:-

Alopesi

:-

Simetris

:+

MATA

KELOPAK MATA

Sorot mata: biasa

: dbn

Cekung

:-

Hipertelorisme

:-

Edema

:-

Sekret

:-

Ptosis

:-

Epifora

:-

Lagoftalmus

:-

Pernanahan

:-

Kalazion

:-

Endophthalmus

:-

Ektropion

:-

Exophthalmus

:-

Enteropion

:-

Nistagmus

:-

Haemangioma

:-

Starbismus

:-

Hordeolum

:-

KONJUNGTIVA
Pelebaran Vena

:-

Refleks

:-

PerdarahanSubkonjungtiva

:-

SKLERA

Infeksi

:-

Ikterus

Bitot Spot

:-

Xerosis

:-

IRIS

Ulkus

:-

Bentuk

: bulat

Warna

: hitam

:-

PUPIL
Bentuk

: simetris

Ukuran

: cukup

Isokor

:+

Refleks Cahaya Menurun

:-

Refleks cahaya tdk langsung : +/+


TELINGA

Katarak : Nyeri tarik Daun telinga : -

Bentuk

: simetris

HIDUNG

Kebersihan

: cukup

Bentuk

Sekret

:-

Saddle Nose : -

Tophi

:-

Gangren

:-

Membran tympani : sulit dinilai

Coryza

:-

Nyeri tekan mastoid : -

Mukosa Edem : -

: simetris

Epistaksis

:-

Deviasi Septum : -

MULUT
BIBIR
Bentuk

: dbn

Warna

: dbn

Ukuran

: dbn

Ulkus

:-

Cheitosis

:-

Sianosis

:-

Labioschiziz

:-

Bengkak

:-

Vesikel

:-

Oral trush

:-

Trismus

:-

Bercak koplik

:-

FARING-TONSIL

Palatoschizis

:-

Warna

: dbn

hiperemis

:+

Edema

:-

GIGI
Kebersihan

: cukup

Selaput

Karies

:+

Pembesaran tonsil

:: T3-T3

10

Hutchinson

:-

Ukuran

: dbn

Gusi

: dbn

Simetris

:+

LIDAH
Bentuk

: dbn

Gerakan

: dbn

Tremor

:-

Warna

: normal

Selaput
Hiperemis

: dbn

Makroglosia : Atrofi papil

:-

:-

LEHER

11

INSPEKSI
Struma

:-

Bendungan vena

:-

Pulsasi

:-

Limphadenopati

:-

Tortikolis

:-

Bullneck

:-

Parotitis

:-

PALPASI
Kaku kuduk

:-

Pergerakan

:-

Struma

:-

THORAK DEPAN DAN PARU


Inspeksi Statis

Bentuk

: simetris

Sternum

: dbn

Simetris

: (+)

Bendungan vena

: dbn

Vousure cardiac : (-)

Tumor

: (-)

Clavikula

Sela iga

: (-)

: dbn

Inspeksi Dinamis
Bentuk pernapasan

: torakalabdomino

Retraksi

: (-)

Palpasi
Nyeri tekan

: (-)

Fraktur iga

: (-)

Krepitasi

: (-)

12

Perkusi
Bunyi ketuk

: sonor

Batas paru-hati

: dbn

Nyeri ketuk

: (-)

Peranjakan

: dbn

Auskultasi
Bunyi napas pokok

: vesikuler Bunyi napas tambahan (-)

Jantung
Inspeksi
Vousure cardiac

: (-)

Ictus cordis

: tidak tampak

Pulsasi jantung

: tidak tampak

Palpasi
Ictus cordis

: dbn

Aktivitas jantung ka

: dbn

Thrill

: (-)

Aktivitas jantung ki

: dbn

Defek pulmonum

: (-)

Perkusi
Batas kiri

: dbn

Batas atas

: dbn

Batas kanan

: dbn

Batas bawah

: dbn

Auskultasi
Bunyi jantung I

: regular

Bunyi jantung II

: regular

Bising jantung

: (-)

THORAK BELAKANG
Inspeksi Statis
Bentuk

: simetris

Khiposis

: (-)

Proc. Spinosus : dbn

Lordosis

: (-)

Scapula

: dbn

Gibus

: (-)

Skoliosis

: (-)

Palpasi

: tidak dilakukan

Perkusi

: tidak dilakukan

Auskultasi

: tidak dilakukan

13

ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk

: simetris

Gambaran usus

Spider nevi

: (-)

Gamb. peristaltik usus : (-)

Bendungan vena: (-)

: (-)

Turgor

: baik

Palpasi
Nyeri tekan

: (-)

Defans muskular

: (-)

Nyeri lepas

: (-)
: (+)

Shifting dullness

: (-)

: (+) N

Ascites

: (-)

: (-)

Nyeri tekan

: (-)

: (-)

Nyeri tekan

: (-)

: (-)

Nyeri tekan

: (-)

Perkusi
Timpani
Auskultasi
Bising usus
HEPAR
Pembesaran
LIEN
Pembesaran
GINJAL
Pembesaran

LIPAT PAHA DAN GENITAL


Kulit

: dbn

Desensus testikulorum

: dbn

Kel. Getah bening

: dbn

Genitalia

: dbn

Edema

: (-)

Anus

: dbn

Sikatrik

: (-)

EKSTREMITAS
Bentuk

: simetris

Edema

: (-)

Deformitas

: (-)

Tropi

: (-)

14

Pergerakan

: bebas

Chorea

: (-)

Tremor

: (-)

Lain-lain

: (-)

15

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Rutin (8 Desember 2014)
WBC : 11,7 103/mm3
(3,5-10,0 103/mm3)
RBC : 4,26 106/mm3 (3,80-5,80 106/mm3)
HGB : 10,6 g/dl
(11,0-16,5 g/dl)
HCT : 33,6 %
(35,0-50%)
3
3
PLT
: 276 10 /mm
(150-390 103/mm3)
PCT
: 0.201%
(0,100-0,500 %)
3
MCV : 79 m
(80-97 m3)
MCH : 24,8 pg
(26,5-33,5 pg)
MCHC : 31,5 g/dl
(31,5-35,0 g/dl)
RDW : 15,2 %
(10,0-15,0 %)
3
MPV : 7,3 m
(6,5-11,0 m3)
PDW : 15,3%
(10,0-18,0 %)
Diff:

% LYM : 52,0 %
(17,0-48,0 %)
% MON : 12,3 %
(4,0-10,0 %)
% GRA : 35,7 %
(43,0-76,0 %)
# LYM : 6,0 103/mm3 (1,2-3,2 103/mm3)
# MON : 1,4 103/mm3
(0,3-0,8 103/mm3)
# GRA : 4,3 103/mm3
(1,2-6,8 103/mm3)

V.

PEMERIKSAAN ANJURAN
- Elektrolit

VI.

DIAGNOSIS BANDING
- Kejang demam simpleks ec ISPA
- Gangguan elekrolit

VII.

DIAGNOSIS KERJA
- Kejang demam simpleks ec ISPA

VIII. PENATALAKSANAAN
A. Suportif
- Bebaskan jalan nafas
- Berikan oksigen
- Tirah baring
B. Medikamentosa
- IVFD Dex 5% NS 15 tts/i
- Inj. Ampicilin 2x 625 mg
- Diazepam rektal 10 mg
- Parasetamol syrup 3x150 mg

IX.

Prognosis
Ad vitam

: bonam

Ad fungsionam

: dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang disebabkan oleh demam diatas
suhu rektal > 38oC tanpa disertai infeksi pada sistem saraf pusatatau gangguan
keseimbangan elektrolit akut pada anak usia 1 bulan, tanpa ada riwayat kejang
tanpa demam sebelumnya.3
2. Etiologi Kejang Demam

Penentuan faktor penyebab kejang sangat menentukan untuk tatalaksana


selanjutnya, karena kejang dapat diakibatkan berbagai macam etiologi. Adapun
etiologi kejang yang tersering pada anak adalah sebagai berikut:4
-

Kejang demam
Infeksi: meningitis, ensefalitis
Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia,
hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal,
gagal hati, gangguan metabolik bawaan
Trauma kepala
Keracunan: alkohol, teofilin
Penghentian obat anti epilepsi
Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial,
Idiopatik

Sedangkan pada kejang demam etiologinya berasal dari semua jenis infeksi
yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat
menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang
demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia,
gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih.5

3. Faktor Resiko Kejang Demam


Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam,
yaitu: demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil,
riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan
toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan,
partus lama, cara lahir) dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma
kepala).5
a. Faktor Demam
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,8 oC aksila atau
di atas 38,3oC rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi
yang tersering pada anak disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus
merupakan penyebab terbanyak. Demam merupakan faktor utama
timbulnya bangkitan kejang. 5,6
Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang
dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada

kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan
suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat
sebesar 10-15%, sehingga meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen.5
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan
otak. Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga
menggangu fungsi normal pompa Na+. Permeabilitas membran sel terhadap
ion Na+ meningkat, sehingga menurunkan nilai ambang kejang dan
memudahkan timbulnya bangkitan kejang. Demam juga dapat merusak
neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. 5,6
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh
berkisar 38,9C-39,9C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu
tubuh 37C-38,9C sebanyak 11% dan sebanyak 20% kejang demam terjadi
pada suhu tubuh di atas 40oC. 5,6

b. Faktor Usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu 5:
1. Neurulasi
2. Perkembangan prosensefali
3. Proliferasi neuron
4. Migrasi neural
5. Organisasi
6. Mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai
migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih
berlanjut sampai tahun-tahun pertama paskanatal. Kejang demam terjadi
pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase
perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami
bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi.5
Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor
untuk asam glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya
reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang
eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. 5

Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid


eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar
CRH di hipokampus tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang
apabila terpicu oleh demam. 5
Anak

pada

masa

developmental

window

merupakan

masa

perkembangan otak fase organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2
tahun. Pada masa ini, apabila anak mengalami stimulasi berupa demam,
maka akan mudah terjadi bangkitan kejang. 5
Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus
terjadi pada anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan
kejadian paling sering pada anak usia 18 sampai dengan 24 bulan.5

c. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan
kejang demam. Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
ditemukan sekitar 60-80%.
Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka
anaknya beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai
riwayat pernah menderita kejang demam maka resikonya meningkat
menjadi 59-64%. Sebaliknya apabila kedua orangtuanya tidak mempunyai
riwayat

kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%.

Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu
27% berbanding 7%.5
d. Faktor Prenatal dan Perinatal
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat
mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi
kehamilan diantaranya hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada
persalinan diantaranya trauma persalinan. Hipertensi

pada

menyebabkan

aliran darah ke plasenta berkurang sehingga

keterlambatan

pertumbuhan

intrauterin,

prematuritas

dan

ibu dapat
berakibat
BBLR.

Komplikasi persalinan diantaranya partus lama. Keadaan tersebut dapat


mengakibatkan janin dengan asfiksia sehingga akan terjadi hipoksia dan

iskemia. Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah hipokampus, rusaknya


faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai seperti demam. 5
e. Faktor Paskanatal
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila
serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf
pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi
lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang.
Di negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah virus Herpes
simplex (tipe l) yang menyerang lobus temporalis.5
Selain infeksi, ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian
kejang demam pada anak sebesar 20,6%.
4. Patofisiologi Kejang Demam
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan
batang otak umumnya tidak menimbulkan kejang.7
Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial
intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial
membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap
sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan.3
Ditingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
boikimiawi, termasuk yang berikut: 7,8

Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami

pengaktifan.
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan

menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.


Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).

Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau


elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik. 7,8
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu : 3
- Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
-

kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.


Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan

hipomagnesemia.
Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat
akan menimbulkan kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa


pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian
reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat
habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP
terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan
menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat.3
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung,
otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan
kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang
yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia
sekunder akibat aktifitas motorik dan

hiperglikemia. Semua hal ini akan

mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak.3


Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:3
- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
-

matang/immatur.
Timbul dehidrasi

sehingga

terjadi

gangguan

menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel.

elektrolit

yang

Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan

CO2 yang akan merusak neuron.


Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran
ion-ion keluar masuk sel.

Kejang demam yang berlangsung singkat biasanya tidak menimbulkan gejala


sisa. Pada kejang yang lama biasanya akan diikuti dengan apnue, hipoksemia,
asidosis laktat, hiperkamnea, hipoksia arterial, sehingga metabolisme otak
meningkat.3
Gambar 1. Mekanisme terjadinya kejang demam

5. Klasifikasi Kejang Demam


Saat

ini

klasifikasi

yang

dipakai

adalah

klasifikasi

berdasarkan

kesepakatanUKK Neurologi IDAI, Saraf Anak PERDOSSI, yang membagi kejang


demam menjadi 2 yaitu Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure) dan
Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure).9
Kriteria kejang demam sederhana :9,10
- Usia antara 6 bulan sampai 5 tahun
- Kejang berlangsung singkat umumnya serangan akan berhenti sendiri
-

dalam waktu kurang dari 15 menit.


Bangkitan kejang tonik atau tonik- klonik tanpa gerakan fokal.
Tidak ada gangguan metabolik berat
Tidak ada diagnosis neurologis sebelum kejang demam terjadi

Tidak berulang dalam waktu 24 jam

Kriteria kejang demam kompleks: 3,9


-

Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit.


Kejang fokal atau partial satu sisi atau kejang umum didahului kejang partial.
Kejang berulang dalam 24 jam

6. Manifestasi Klinik Kejang Demam


Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak terkait dengan kenaikan
suhu yangcepat dan biasanya terjadi jika suhu tubuh (rectal) mencapai 380C atau
lebih.Manifestasi klinik yang sering dijumpai adalah:
-

Didahului oleh kenaikan suhu yang cepat, biasanya terjadi bila suhu

diatas390 C
Kehilangan kesadaran
Kejang menyeluruh
Serangan berupa kejang klonik atau tonik- klonik bilateral
Mata mendelik ke atas
Anak dapat menahan napasnya tanpa sadar
Dapat mengeluarkan suara seperti teriakan melengking atau menangis
Mungkin mengompol
Selanjutnya diikuti gerakan ritmis berulang seluruh tubuh yang

involunter yang tidak dapat dihentikan


Setelah kejang pasien mengalami periode mengantuk singkat
Setelah beberapa detik atau menit anak akan bangun dan sadar

kembalitanpa adanya defisit neurologis


Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis Tood)
yang berlangsung beberapa jam atau beberapa hari

7. Diagnosis Kejang Demam


Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, sangat penting membedakan apakah serangan yang
terjadi adalah kejang atau serangan yang menyerupai kejang. Perbedaan diantara
keduanya adalah pada tabel 1: 4

Anamnesis dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya


kejang, kemudian mencari kemungkinan adanya faktor pencetus atau penyebab
kejang. Ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan,
obat-obatan, trauma, gejala-gejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera
akibat kejang.4
Pemeriksaan fisis dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari tanda-tanda
trauma akut kepala dan adanya kelainan sistemik, terpapar zat toksik, infeksi, atau
adanya kelainan neurologis fokal. Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan
pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor penyebab.4
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak,
diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu: laboratorium, pungsi lumbal,
elektroensefalografi, dan neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang
disesuaikan dengan kebutuhan. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan
kejang pertama adalah kadar glukosa darah, elektrolit, dan hitung jenis.4

Hal hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis yaitu 11 :


- Adanya kejang, jenis kejang , kesadaran, lama kejang
- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
-

pasca kejang
Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran
napas akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK. Otitis media akut/OMA, dll)

Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam

keluarga
Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang
mengakibatkan

gangguan

elektrolit,

sesak

yang

mengakibatkan

hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)


Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain 11:
-

Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran


Suhu tubuh: apakah terdapat demam
Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique,

Lasuque dan pemeriksaan nervus cranial


Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB)

membonjol, papil edema


Tanda infeksi di luar susunan saraf pusat seperti infeksi saluran
pernapasan, faringitis, otitis media, infeksi saluran kemih dan lain

sebagainya yang merupakan penyebab demam


Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis11

Pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin tidak begitu bermanfaat untuk


dilakukan pada pasien dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan darah rutin
hanya untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau keadaan lain
yang menyebabkan kejang kecuali jika terdapat komplikasi atau penyakit lain
yang mendasari seperti gangguan keseimbangan elektrolit yang berkaitan dengan
dehidrasi akibat infeksi saluran gastrointestinal. Pemeriksaan laboratorium
sebaiknya dilakukan untuk mencari penyebab demam diantaranya pemeriksaan
kultur urin untuk melihat ada tidaknya infeksi saluran kemih jika ternyata tidak
ditemukan fokus infeksi dari pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan kadar elektrolit
seperti kalsium, fosfor, magnesium dan glukosa yang biasa dilakukan pada pasien
kejang tanpa demam juga kurang memberikan arti yang bermakna jika dilakukan
pada pasien kejang demam sederhana.3,11
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EEG
(elektroensefalogram). EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah
belakang yang bilateral, sering asimetris kadang-kadang unilateral. Perlambatan
ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan
pada 33% pasien bila EEG dilakukan 3 sampai 7 hari setelah serangan kejang.
Namun, perlambatan EEG ini kurang mempunyai nilai prognostik dan kejadian

kejang berulang dikemudian hari atau perkembangan ke arah epilepsi. Saat ini
sudah tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan EEG pada pasien kejang
demam sederhana karena hasil pemeriksaan yang kurang bermakna.1
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada
bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas, oleh karena itu pemeriksaan pungsi lumbal harus
dilakukan pada bayi berumur < 6-12 bulan, sangat dianjurkan pada bayi berumur
12-18 bulan dan tidak rutin dilakukan pada bayi berumur >18 tahun jika tidak
disertai riwayat dan gejala klinis yang mengarah ke meningitis.1,2,6,9
Pemeriksaan radiologi tidak begitu memberikan manfaat dalam

evaluasi

kejang demam sederhana dan masih kontroversial untuk dilakukan pada kejang
demam kompleks sekalipun. Pemeriksaan radiologi misalnya Magnetic resonance
imaging (MRI) dapat dilakukan untuk mengevaluasi ada tidaknya kerusakan di
otak misalnya di daerah hipokampus jika penyebab kejang masih belum
diketahui.3,5
8. Diagnosa Banding
Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis
dan cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang
diikuti hemiperesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses
intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan
dengan kejang demam. Anak dengan kejang demam tinggi dapat mengalami
delirium, menggigil, pucat, dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam.5
9. Penatalaksanaan Kejang Demam
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu 1:
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pada waktu pasien datang dalam keadaan kejang maka hal yang harus
dilakukan ialah membuka pakaian yang ketat dan posisi pasien dimiringkan
apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi
terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur, diberikan terapi oksigen dan
jika perlu dilakukan intubasi. 1

Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan
fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan
pemberian antipiretik. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik
mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan ketika anak demam (> 38,5 oC).
Dosis parasetamol yang digunakan ialah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali
sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali diberikan 34 kali sehari.2
Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah
akan tercapai dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan secara intravena
dan dalam waktu 5 menit apabila diberikan secara intrarektal. Dosis diazepam
intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 20 mg. Untuk
memudahkan orangtua di rumah dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis 1,2:
- 5 mg pada anak dengan berat badan < 10 kg
- 10 mg untuk berat badan anak > 10 kg
Buccal midazolam (0.5 mg/kg; dosis maximal 10 mg) dikatakan lebih efektif
daripada diazepam per rektal pada anak.10
Tabel 3. Dosis obat anti konvulsi untuk kejang demam10

Tatalaksana kejang demam dan kejang secara umum yaitu tampak pada
bagan berikut ini 12:

Gambar 2. Tatalaksana kejang demam12


Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena sering
berulang dan menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada 2 cara profilaksis
yaitu proflaksis intermiten pada waktu demam dan profilaksis terus-menerus
dengan antikonvulsan setiap hari. 1
Untuk profilaksis intermiten, antikonvulsan hanya diberikan pada waktu
pasien demam. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke
jaringan otak. Diazepam intermiten memberikan hasil lebih baik karena
penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam pada
kenaikan suhu mencapai 38,5oC atau lebih yaitu dengan dosis 1:
- 5 mg untuk pasien dengan berat badan < 10 kg
- 10 mg untuk pasien dengan berat badan > 10 kg

Diazepam dapat pula diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam ialah
ataksia, mengantuk dan hipotonia.1
Untuk profilaksis terus-menerus dilakukan dengan pemberian fenobarbital 45mg/kgBB/hari dengan kadar obat dalam darah sebesar 16g/ml menunjukkan
hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping
fenobarbital berupa kelainan watak yaitu iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif
ditemukan pada 30-50% pasien. Efek samping dapat dikurangi dengan
menurunkan dosis fenobarbital.
Obat lain yang dapat digunakan yaitu asam valproat dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari. Fenitoin dan carbamazepin tidak efektif untuk pencegahan kejang
demam. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun
setelah kejang terakhir kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. 1
Adapun indikasi profilaksis terus-menerus yaitu sebagai berikut 1:
-

Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis

atau perkembangan
Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara

kandung
Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan

neurologis sementara dan menetap


Kejang demam terjadi pada bayi berumur < 12 bulan atau terjadi
kejang multipel dalam satu episode demam.

10. Komplikasi Kejang Demam


Komplikasi jarang terjadi pada kejang demam sederhana, sedang kejang
demam kompleks dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang mungkin
dapat terjadi, yaitu:13
1.

Kerusakan sel otak


Pada kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai

terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan O2 dan energi untuk kebutuhan otot


skelet yang akhirnya hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat oleh karena
metabolisme anaerob, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhutubuh meninggi disebabkan meningkatnya aktivitas dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian di atas

adalah penyebab terjadinya kerusakan neuron otak. Faktor terpenting adalah


gangguan

peredaran

meningkatkan

darah

permeabilitas

yang

mengakibatkan

kapiler

dan

timbul

hipoksia
edema

sehingga

otak

yang

mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.


2.

Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat

serangan kejang yang berlangsung lama. Dapat menjadi matang dikemudian


hari, sehingga sering terjadi serangan epilepsi spontan dikemudian hari.
3.

Penurunan IQ
Ganguan intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam

sederhana. Ellenberg dan Nelson melaporkan bahwa IQ pada 42 pasien


kejangdemam tidak berbeda bila dibandingkan dengan saudara kandungnya
yang tidak menderita kejang demam. IQ lebih rendah ditemukan pada pasien
kejangdemam yang berlangsung lama dan sebelumnya telah terdapat
gangguan perkembangan atau kelainan neurologis. Selain itu resiko retardasi
mental pada pasien dengan kejang demam yang berulang menjadi 5x lebih
besar. 4,9,11
4.

Kelumpuhan
Hemiperesis biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang

lama(berlangsung lebih dari setengah jam) baik bersifat umum atau fokal.
Mula mula kelumpuhan bersifat flasid tetapi setelah 2 minggu spastisitas.
11. Prognosis Kejang Demam
Risiko cacat akibat komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kematian akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan. Perkembangan
mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang memang
sebelumnya normal. 3
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang yaitu riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat kejang
pertama < 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang (<40C) dan timbulnya
kejang yang cepat setelah demam. Bila semua faktor tersebut terpenuhi maka

resiko berulangnya kejang demam 80 % sedangkan bila tidak terdapat faktor


tersebut resikonya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang paling besar pada
tahun pertama.3
Faktor risiko terjadinya epilepsi adalah jika ada kelainan neurologis atau
perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, kejang demam
kompleks, riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung. Masing-masing
faktor risiko meningkatkan risiko epilepsi sampai 4-6% dan kombinasi faktor
resiko tersebut meningkatkan faktor risiko epilepsi enjadi 10-49%. Risiko ini
tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan/profilaksis pada kejang
demam.3
12. Edukasi Pada Orang Tua
Orang tua sering panik menghadapi kejang karena merupakan peristiwa yang
menakutkan. Kecemasan ini dapat dikurangi dengan edukasi antara lain:3
-

Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik


memberitahukan cara penanganan kejang
memberi informasi tentang risiko kejang berulang
pemberian obat pencegahan memang efektif tapi harus diingat risiko efek
samping obat.

Jika anak kejang, lakukan hal berikut:


-

tetap tenang dan tidak panik


kendorkan pakaian yang ketatterutama sekitar leher
jika tidak sadar posisikan anak telentang dengan kepala miring
jika ada muntahna atau lendir dimulut dan hidung harus dibersihkan
jangan memasukkan benda apapun kedalam mulut, walaupun ada risiko

lidah tergigit
ukur suhu tubuh
catat lama dan bentuk kejang
tetap bersama anak selama anak kejang, brikan diazepam per rektal
jangan berikan diazepam per rektal apa bila kejang telah berhenti
bawa ke dokter atau kerumah sakit apabila kejang lebih dari 15 menit.

BAB IV
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini diagnosis pasien adalah kejang demam simpleks ec ISPA.
Untuk menegakkan diagnosis kejang demam simpleks ec ISPA dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis, Pemeriksaan Fisik-Penunjang, DD, Treatment
Gejala yang ditemukan pada pasien ini adalah pada anak mengalami demam
tinggi, tapi tidak diukur oleh ibunya. Setelah demam tinggi baru diikuti muntah
dan kejang lebih dari 10 menit langsung dibawa oleh orang tua anak ke rumah
sakit. Ketika di IGD suhu tubuh diukur oleh ibunya 39,0 oC, setelah kejang anak
terlihat lemah dan dan kesadaran anak menurun.
Dari anamnesis menunjukan gejala dari kejang demam simpleks dimana lama
kejang kurang dari 15 menit, berlangsung satu kali atau tidak berulang dalam 24
jam dan kejang tanpa gerakan fokal.
Pada pemeriksaan fisik yang mencolok adalah demam disertai batuk. Pada
kejang demamnya tidak meninggalkan gejala sisa.
Untuk pemeriksaan penunjang menunjukan adanya peningkatan leukosit yaitu
11.000 yang menunjukan adanya infeksi pada anak dan dicurigai penyakit infeksi

yang lain agar dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya. Untuk itu perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya. Misalnya urin rutin dan kultur urin

Adapun hal yang dapat menjadi diagnosa banding pada pasien ini adalah :
a. Gangguan elektrolit
dimana jika adanya gangguan elektrolit dapat mengakibatkan terjadinya
kejang. Jika terdapat gangguan elektrolit maka diganosis kejang deman
disingkirkan.
b. Infeksi saluran kemih
Adanya infeksi pada anak perlu dicurigai adanya ISK, apalagi pada anak
ISK terkadang Asimtomatis, maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
lain untuk menyingkirkan DD ini.
Pengobatan Kejang demam bersifat suportif. Pasien disarankan untuk
melakukan tirah baring, untuk mengobservasi demam dan kejangnya. Kemudian
dapat diberikan edukasi kepada orang tua anak agar ketika badannya panas segara
diberikan penurun panas agar dapat menghindari kejang. Atau jika telah terjadi
kejang perlu diberikan obat pemutus kejang secepat mungkin atau dibawa ke
pusat pelayanan kesehatan terdekat.
Pada anak ini pengobatan yang diberikan sesuai dengan gejala dan klinis yang
ada diberikan paracetamol untuk penurun panas (anti piretik) dengan dosis 10-15
mg/kg BB/x. BB anak 13 kg, butuh 10 x 7,5 = 130 mg, bulatkan menjadi 150 mg
karena range dosis sampai 15 mg. kemudian diberikan antibiotik ampisilin 2x 625
mg perhari dikarenakan adanya infeksi dengan dosis 5mg/kg BB intravena. BB
anak 13 kg, butuh 5 x 13 = 65 mg. diberikan satu kali satu hari. Diberikan
diazepam rektal dengan , diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg
bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg
bila terjadi kejang untuk memutus kejang.

BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus seorang anak perempuan, 3 tahun 6 bulan, yang
didiagnosis dengan kejang demam simpleks. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis terdapat kejang 1 kali kurang dari 15 menit. Pemeriksaan fisik
didapatkan penderita demam dan dengan pemeriksaan penunjang laboratorium
leukositosis. Namun, pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan urin rutin dan
pemeriksaan kultur urin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson.2000. Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
2. Faizi M. kejang demam. www.pediatrik.com. 2009. Diakses tanggal 5 Juli
2013
3. Dadyanto DW, Muryawan MH, S Anindita. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP. 2011
4. Kania Nia. Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital. Bandung.
Diakses

pada

13

Juli

2013.

Diakses

dari

URL:

pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/02/kejang_pada_anak.pdf
5. Fuadi, F., (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak,
(Tesis), Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Diakses pada 5
Juli

2013.

Diunduh

dari

URL:

http://eprints.undip.ac.id/29064/2/Bab_2.pdf
6. anonihttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21445/4/Chapter
%20II.pdf
7. Price AS. Wilson ML. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Edisi 6. EGC. Jakarta.2003.p 1158
8. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press; 2008. P 119-123.
9. Paduan Pelayanan Kesehatan Medis, Kejang Demam, Departemen
IlmuKesehatan Anak, Jakarta:EGC 2005. hal 151- 154.
10. Jewell Jennifer. Simple Febrile Seizure Clinical Practice Guidelines.
http://bbch.org/clinicians/Documents/Febrile_Seizure_Guideline.pdf
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter anak Indonesia Jilid 1.
12. Srinivasan, J., Wallace, K.A., Scheffer, I.E., (2005), Febrile Seizures,
Australian Family Physician, Vol. 34, No. 12: 1021-1025.

13. Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Buku kuliah 2 ilmu kesehatan anak.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, 1985 hal 847-855.

Anda mungkin juga menyukai