Anda di halaman 1dari 140

i

KARYA TULIS ILMIAH

EFEKTIFITAS DANCE/MOVEMENT THERAPY DENGAN LAGU


DOLANAN JAWA TERHADAP SKOR INSOMNIA LANSIA PASCA
BENCANA
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh
MONIKA TATYANA YUSUF
20100310057

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014

ii

HALAMAN PENGESAHAN KTI

EFEKTIFITAS DANCE/MOVEMENT THERAPY DENGAN LAGU DOLANAN


JAWA TERHADAP SKOR INSOMNIA LANSIA PASCA BENCANA
Disusun oleh:
MONIKA TATYANA YUSUF
20100310057
Telah disetujui pada tanggal 30 Januari 2014

Dosen pembimbing

Dosen penguji

dr.Warih Andan Puspitosari,M.Sc, Sp.KJ


NIK. 173 042

dr. H. Kusbaryanto, M.Kes.


NIK. 173 022

Mengetahui
Kaprodi Pendidikan Dokter FKIK
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

dr. Alfaina Wahyuni,M.Kes. Sp.OG


NIK. 173027

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN


Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama

: Monika Tatyana Yusuf

NIM

: 20100310057

Program Studi

: Pendidikan Dokter

Fakultas

: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar
benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah
ini.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan karya tulis ilmiah ini hasil
jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, Januari 2014


Yang membuat pernyataan,

Monika Tatyana Yusuf

iv

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabilalamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat Nya sehingga penulis mampu menyusun dan
menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul Efektifitas Dance/Movement
Therapy dengan Lagu Dolanan Jawa Terhadap Skor Insomnia Lansia Pasca
Bencana. Penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1.

Allah AWT, atas segala kemudahan, kelancaran dalam dapat menyelesaikan

2.

karya tulis ini.


dr. H. Ardi Pramono Sp.An selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu

3.

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


Dr. Alfaina Wahyuni,Sp.OG.,M.Kes selaku Kaprodi Pendidikan Dokter FKIK
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4.

dr.Warih Andan Puspitosari,M.Sc,SpKj yang telah mengajarkan ilmu yang


bermanfaat dengan penuh dedikasi dan keikhlasannya.

5.

dr. H. Kusbaryanto, M.Kes., selaku dosen penguji seminar KTI. Terimakasih atas
saran dan masukan yang bermanfaat bagi KTI penulis.

6.
7.

Kedua orangtua serta keluarga yang senantiasa mendukung dan mendoakan.


Bapak/Ibu warga Dukuh Petung dan Jambu yang telah menjadi responden
penelitian serta kader lansia Dukuh Petung dan Jambu yang memberikan izin dan

8.

membantu terselenggaranya intervensi.


Sahabat dan rekan penelitian seperjuangan terbaik Nitami Oktavia Indiarti yang
senantiasa selalu menyemangati dan membantu saat mengerjakan penelitian ini.

9.

Adik angkatan 2011 Dika Rizki Ardiana yang senantiasa membantu penelitian

dalam pembuatan modul CD dan pelaksaan intervensi penelitian.


10. Sahabat-sahabat tersayang: Rina Wulandari, Sonia Pramesti, Patria Emantika,
Tantari Rahmawati, Marita Puspitasari, Fanny Susanti yang senantiasa
memberikan dukungan dan doa sehingga KTI ini dapat selesai dengan baik.
11. Kakak angkatan 2009 mas Herlingga dan mas Habibi yang bersedia membantu
memberikan referensi dalam pembuatan KTI ini.
12. Rekan penelitian, Lusi, Arif, Dea, Mira, Zulfa dan Anggita atas kerjasamanya
yang baik dan kompak.
Penulis sadar bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna, kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan dari pembaca. Penulis berharap karya
tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah ilmu pengetahuan
dalam bidang ilmu kesehatan jiwa.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Yogyakarta, Januari 2014

Penulis

vi

vii

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Dusun Petung dan Dusun


Jambu, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta..............................70
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Derajat Insomnia Pre-test dan Post-test pada
Responden Lansia Kelompok Perlakuan....................................................73
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Derajat Insomnia Pre-test dan Post-test pada
Responden Lansia Kelompok Kontrol.......................................................74
Tabel 4. Hasil Analisa Independent Sample T Test Skor Pre-test Insomnia
Responden Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol.........................75
Tabel 5. Hasil Analisa Mann Whitney Test Skor Post-test Insomnia Responden
Lansia Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol................................76
Tabel 6. Hasil Analisa Perbedaan Rerata Skor Pre-test dan Post-test Insomnia
Responden Lansia Kelompok Perlakuan..........................................77
Tabel 7. Hasil Uji Beda Independent Sample T-Test Selisih Skor Insomnia Pre-test
dan Post-test pada Responden Lansia Kelompok Perlakuan dan Kelompok
Kontrol.......................................................................................78

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lamp. 1. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden (Informed Consent).............106


Lamp. 2. Formulir Identitas Diri Responden Penelitian..................................107
Lamp. 3. Kuesioner Skor Insomnia..............................................................108
Lamp. 4. Modul/Panduan Pelaksanaan Dance/Movement Therapy...................110
Lamp. 5. Hasil Analisa Data SPSS..............................................................117

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah


Keberhasilan pemerintah dalam hal pembangunan di segala bidang,
telah mewujudkan hasil yang positif, yaitu adanya kemajuan ekonomi,
perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama di bidang kesehatan. Peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi ini berpengaruh terhadap meningkatnya kualitas kesehatan
penduduk serta usia harapan hidup manusia. Usia harapan hidup yang
meningkat ini pun akan diikuti meningkatnya jumlah populasi penduduk yang
berusia lanjut.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2012) di dunia jumlah lanjut
usia (lansia) diperkirakan berjumlah 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun
dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Di Indonesia
proporsi penduduk lansia tahun 2010 meningkat sekitar 9,77 persen,
sedangkan tahun 2020 diperkirakan proporsi lanjut usia dari total penduduk
Indonesa dapat mencapai 11,34 persen dari total keseluruhan penduduk
(Komnas Lansia, 2010). Berdasarkan data dari Kementrian Kesejahteraan
Rakyat (Kesra,2008) di Indonesia diperkirakan Usia Harapan Hidup (UHH)
pada tahun 2020 akan mencapai usia sekitar 71,1 tahun.
Daerah Istimewa Yogyakarta tercatat memiliki Usia Harapan Hidup
(UHH) tertinggi di Indonesia yaitu 74 tahun dengan angka tertinggi ada di

Kabupaten Sleman yaitu 75,6 tahun melebihi usia harapan hidup nasional
yaitu 71 tahun (Kesra,2012).Menurut data Badan Pusat Statistik RI SUSENAS 2009 jumlah penduduk lansia di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) adalah yang tertinggi dengan persentase 14,02% diikuti Jawa Tengah
10,99%, Jawa Timur 10,92%, dan Bali 10,79%.
Menurut Undang-Undang tentang Kesejahteraan Lansia Nomor 13
Tahun 1998 pasal 1, lanjut usia (lansia) adalah seorang yang telah mencapai
usia 60 tahun ke atas. Proses menua merupakan suatu proses fisiologi yang
akan terjadi pada setiap manusia. Menurut Setiati, dkk., (2010) proses menua
adalah proses yang mengubah seseorang dewasa sehat menjadi seseorang
yang frail (lemah, rentan) dengan berkurangnya sebagian besar cadangan
sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit
dan kematian secara eksposensial.
Beberapa perubahan baik fisik dan psikologis terjadi pada lansia
diantaranya terjadi perubahan secara fisiologis pada sistem kardiovaskular,
gastrointestinal, hormonal, dan lain-lain yang memengaruhi terjadinya
penurunan kondisi fungsi organ, aktifitas fisik, dan hubungan sosial. Faktorfaktor tersebut dapat membawa lansia rentan terhadap beberapa masalah
penuaan (aging problem) terutama gangguan jiwa yaitu penurunan fungsi
kognitif, depresi, kecemasan dan insomnia (Deary, et al., 2009).
Salah satu yang banyak ditemukan pada lansia adalah insomnia.
Walaupun insomnia dapat dialami oleh kategori semua umur, namun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa masalah tersebut sangat rawan terjadi pada

lansia. Hal ini dibuktikan bahwa pada lansia terjadi peningkatan prevalensi
terhadap insomnia, khususnya insomnia primer (Roepke, et al., 2010).
Insomnia adalah keluhan tidur yang sering dialami oleh kebanyakan
lansia dicirikan dengan kesulitan untuk memulai dan mempertahankan tidur
diikuti dengan berkurangnya fungsi seseorang itu dalam melakukan kegiatan
sehari-hari. Insomnia memiliki beberapa subtipe diantaranya sulit untuk
memulai tidur, mempertahankan tidur sepanjang malam, terbangun tiba-tiba
pada dini hari lalu sulit untuk kembali tidur, dan sulit tidur karena kondisi
maladaptif dari seseorang terhadap lingkungannya (Israel, et al., 2009).
Berdasarkan sebuah studi pada tahun 2010 dengan partisipan sebanyak
lebih dari 9000 lansia yang berumur lebih dari 65 tahun, 42% diantaranya
mengalami kesulitan untuk memulai dan mempertahankan tidur. Setelah
dilakukan penilaian lebih lanjut 3 tahun kemudian, sebanyak 15% lansia yang
sebelumnya tidak mengeluhkan adanya gangguan tidur menjadi mengalami
gangguan tidur. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan
kejadian gangguan tidur pada lansia sekitar 5% per tahunnya. Hal ini tentunya
akan mengurangi kualitas hidup lansia (Roepke, et al., 2010). Menurut Amir
(2011) setiap tahun diperkirakan sekitar 20-50% orang dewasa melaporkan
adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang
serius, prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%.
Terkadang insomnia ini berkaitan dengan penyakit penyerta (organik)
dan gangguan mental. Banyak lansia dengan penyakit organik seperti arthritis,
kanker, nokturia, gagal jantung kongestif, obstruksi paru-paru kronik

mengeluhkan adanya sulit tidur (Foley, et al., 2004). Seseorang dengan


gangguan mental seperti depresi sangat berkaitan juga dengan insomnia.
Insomnia yang tidak disembuhkan dapat menjadikan depresi dan begitu
sebaliknya insomnia juga dapat menjadi salah satu gejala dari depresi dengan
karakteristik insomnia yang persisten atau berkepanjangan (Cole, et al., 2003).
Menurut World Health Organization (2002) bencana adalah peristiwa
yang dapat terjadi di suatu daerah yang dapat mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan
pelayanan kesehatan. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(2012) bencana dapat mengubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan
masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa
manusia, merusak struktur dalam sosial masyarakat dan menimbulkan
lonjakan kebutuhan dasar setiap individu. Seperti firman Allah SWT dalam
surat Al Baqarah : 155-157 berikut

Arti :
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan

berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang


yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,Inna lillahi wa inna
ilaihi rajiun. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna
dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk (QS. Al Baqarah (2) : 155-157).
Kejadian bencana erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta pada tahun
2010 banyak menyisakan dampak-dampak yang cukup serius di Yogyakarta.
Salah satu daerah yang terkena dampak dari erupsi tersebut adalah Dusun
Petung dan Dusun Jambu, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta. Berkaitan dengan hal tersebut, lansia pasca bencana pastilah
memiliki kerentanan lebih besar daripada lansia yang tidak mengalami
bencana untuk mengalami masalah seperti gangguan fisik, terutama gangguan
jiwa seperti trauma, kecemasan, gejala depresi dan tanpa terkecuali insomnia
karena banyaknya stressor yang dihadapi saat pasca bencana.
Faktor
psikososial
juga
sangat
berperan
memengaruhi kualitas

hidup lansia, misalnya kehilangan

dalam
pasangan

hidup, kehilangan sistem pendukung dari keluarga, teman dan tetangga,


perubahan status dan perannya dalam kelompok sosial (Williams, et al.,
2008). Sama halnya dengan lansia pasca bencana erupsi Merapi di DIY,
mereka mengalami trauma pasca bencana, kehilangan tempat tinggal, harta
benda, keluarga, dan pekerjaan. Sementara sekarang lansia tersebut harus
tinggal di tempat yang berbeda dari tempat tinggal terdahulu.
Mereka sulit untuk melakukan pekerjaan mereka sebelum erupsi
Merapi seperti beternak, mencari rumput, bertani, karena tempat, situasi, dan
kondisi yang tidak memungkinkan sehingga menyebabkan lansia-lansia

tersebut tidak memiliki kegiatan. Hal ini membuat kualitas hidup lansia pasca
bencana menjadi tidak baik dengan berbagai macam masalah yang dialami.
Untuk meningkatkan kualitas hidup lansia pasca bencana, maka dapat
dilakukan upaya preventif yang dapat mencegah gangguan jiwa pada lansia.
Menurut Roepke, et al., (2010) salah satu gangguan jiwa pada lansia yang
banyak prevalensinya adalah insomnia. Jika pada uraian di atas disebutkan
bahwa lansia yang tidak mengalami bencana saja mempunyai persentase
sekitar 42% -50% untuk mengalami insomnia maka lansia pasca bencana
dapat mempunyai kerentanan yang lebih besar untuk mengalami insomnia.
Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai terapi yang efektif
untuk insomnia baik secara farmakologik dan non-farmakologik. Secara
farmakologik, dapat dilakukan terapi dengan benzodiazepine (Flurazepam,
Quazepam, Midazolam, Triazolam dll) atau benzodiazepine receptor agonist
seperti (Zaleplon, Zopiclone, dan Zolpidem) (Montgomery, et al., 2006).
Sedangkan non-farmakologik telah dilakukan penelitian mengenai
intervensi aktivitas fisik mulai dari yang berintensitas sedang (moderate)
hingga aerobik, edukasi higiene tidur, terapi relaksasi untuk meningkatkan
kualitas tidur lansia. Dalam beberapa penelitian tersebut menunjukkan hasil
bahwa terapi non farmakologik mempunyai efikasi yang sama dengan terapi
farmakologik dan lebih memberikan manfaat bagi kesehatan sehingga banyak
direkomendasikan bagi pasien insomnia. Terlebih lagi terapi farmakologik
banyak mempunyai efek samping yang merugikan apalagi bagi lansia bila

digunakan dalam jangka waktu yang lama atau adanya diskontinuitas secara
tiba-tiba dari obat tersebut (Ramakhrisnan, et al., 2007).
Terapi non farmakologik bagi pasien insomnia yang paling sering
digunakan adalah edukasi hygiene tidur dan aktifitas fisik sedang
(Ramakhrisnan, et al., 2007). Salah satu aktifitas fisik sedang yang dapat
dilakukan sebagai alternatif adalah menari atau yang dikenal dengan
Dance/Movement Therapy.
Menurut American Dance Therapy Association, Dance/Movement
Therapy adalah suatu psikoterapeutik yang menggunakan gerakan sebagai
integrasi fisik dan emosional dan merupakan salah satu aktifitas fisik sedang
yang bersifat holistik. Dance/Movement Therapy dipilih karena selain
memberikan kontribusi terhadap kesehatan secara fisik, juga dapat
menggabungkan dengan aspek kombinasi emosi, stimulasi sensori, koordinasi
motorik dan musik, juga menciptakan keakraban dalam hubungan sosial
sesama individu (Harris, et al., 2007;Bremer Zoe, 2007;Williams et al., 2008).
Dance/Movement Therapy dihipotesiskan dapat meningkatkan kualitas
tidur lansia dengan berdasarkan kepada teori bahwa aktivitas fisik sedang
seperti berjalan, bersepeda dapat memberikan efek termogenik, meningkatkan
serotonin dan imunitas, serta mengurangi kecemasan dan depresi (Giselle, et
al., 2012). Aktifitas fisik dengan intensitas sedang yang dilakukan seperti
berjalan, bersepeda dapat dianalogikan pada kegiatan menari (dancing).
Kattenstroth, et al., (2010) menyebutkan bahwa menari termasuk salah satu
aktifitas fisik (exercise) yang mengkombinasikan emosi, koordinasi antara

motorik dan musik, stimulasi sensorik, dan dapat memperkaya interaksi sosial
dan interaksi seorang individu dengan lingkungan sekitarnya.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, kegiatan menari bagi lansia
ini dilakukan secara teratur dengan jadwal yang telah ditentukan. Sedangkan
untuk memudahkan lansia beradaptasi dengan tarian yang baru dipelajarinya,
maka digunakan iringan musik lagu daerah setempat dengan maksud
menyesuaikan latar belakang budaya lansia pasca bencana tersebut.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan lagu dolanan jawa seperti
Gundul-Gundul Pacul, Suwe Ora Jamu, Menthok-Menthok, Padhang Bulan,
Tul Jaenak, dll. Sedangkan gerakan yang ditarikan adalah gerakan-gerakan
sederhana meliputi pemanasan (warming up), latihan kaki dan tangan (hand
and foot exercise), gerakan untuk koordinasi tangan dan kaki, menari
berkelompok (group dance) yang mudah diikuti oleh lansia serta tidak
membahayakan (Heiberger, et al., 2011).
Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui efektifitas
Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa terhadap penurunan
skor insomnia yang dialami oleh lansia pasca bencana sebagai salah satu
alternatif intervensi preventif maupun terapi non farmakologik insomnia bagi
B.

lansia pasca bencana.


Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Apakah Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa efektif terhadap


penurunan skor insomnia lansia pasca bencana di Dukuh Petung dan Dukuh
Jambu, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?

10

C.

Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis efektifitas Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan
jawa terhadap penurunan skor insomnia pada lansia di Dukuh Petung dan
Dukuh Jambu, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis skor insomnia lansia pasca bencana sebelum dan sesudah
dilakukan kegiatan Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan
jawa pada responden kelompok perlakuan.
b. Menganalisis skor insomnia awal dan akhir lansia pasca bencana pada
responden kelompok kontrol.
c. Menganalisis perbedaan skor insomnia awal dan akhir lansia pasca

bencana yang diberikan kegiatan Dance/Movement Therapy dengan


lagu dolanan jawa pada responden kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol di Dukuh Petung dan Dukuh Jambu, Desa Kepuharjo,
Cangkringan Sleman Yogyakarta.

11

D.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Teoritis
a. Bagi Ilmu Kedokteran Jiwa
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dokter
dalam melaksanakan intervensi di masyarakat khususnya dalam hal
penanganan kepada lansia dengan insomnia baik yang mengalami
pasca bencana atau tidak.
b. Bagi Institusi Kesehatan
Penelitian ini dapat memberikan masukan dan pertimbangan dalam hal
terapi non-farmakologi bagi lansia yang mengalami insomnia.
2. Praktis
a. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan sehingga dapat memberikan
pelayanan dan perawatan kepada lansia pasca bencana.
b. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk melakukan
penelitian-penelitian selanjutnya terkait insomnia.
c. Bagi Lanjut Usia Pasca Bencana
Penelitian ini diharapkan dapat dilakukan secara mandiri oleh lansia
pasca bencana atau oleh care givers lansia, sehingga diharapkan
memberikan

hiburan

kepada

lansia,

meningkatkan

hubungan

interpersonal antar lansia, menurunkan skor insomnia yang dialami


dan memiliki kualitas hidup di masa tua yang lebih baik.
d. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan menjadi informasi serta
masukan yang dapat membantu lansia mengatasi insomnia sehingga
diharapkan kualitas hidup lansia menjadi lebih baik.
e. Bagi Tenaga Kesehatan dan Kader Lansia

12

Dapat memberikan informasi dalam memberikan terapi pada lansia


yang

mengalami

insomnia

dengan

menyediakan

modul

Dance/Movement Therapy baik secara tertulis maupun audiovisual


sebagai terapi non farmakologi yang lain untuk mengatasi masalah
insomnia pada lansia.
E.

Keaslian Penelitian
Berikut telah dilakukan beberapa penelitian mengenai terapi non farmakologi
bagi insomnia dan mengenai Dance/Movement Therapy :
1. Giselle S. Passos et al., (2010) dengan judul Effect of Acute Physical
Exercise on Patient with Chronic Primary Insomnia. Tujuan dari
penelitian ini adalah menilai efek dari latihan fisik akut dari intensitas
sedang hingga intensitas yang tinggi terhadap insomnia kronik primer dan
kecemasan sebelum tidur. Subyek dalam penelitian ini adalah 48 pasien
insomnia berusia antara 36-48 tahun. Skor insomnia dinilai dari
polysomnograph, sedangkan skor kecemasan sebelum tidur dinilai dengan
STAI

Questionnaire-State

Scale

(State

Trait

Anxiety

Inventory).

Didapatkan hasil dari polysomnogram bahwa dengan latihan fisik akut


pada intensitas sedang dapat menurunkan Sleep Onset Latency 50% dan
total waktu terbangun (Total Wake Time) sebesar 30%, meningkatkan total
waktu tidur (Total Sleep Time) 18%, efisiensi tidur (Sleep Eficiency)13%,
dan dari hasil STAI didapatkan latihan fisik dengan intensitas sedang
dapat menurunkan kecemasan (Anxiety) 15%.

13

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu


sama-sama

terapi

perbedaannya

non

adalah

farmakologi
pada

bagi

intervensi,

insomnia.

instrumen,

Sedangkan
dan

subyek

penelitiannya. Pada penelitian yang akan dilaksanakan, intervensi yang


dilakukan adalah Dance/Movement Therapy dimana aktifitas fisik dengan
intensitas sedang seperti berjalan, bersepeda statis dan treadmill yang juga
termasuk

dalam

aerobic

exercise,

penulis

analogkan

dengan

Dance/Movement Therapy karena mempunyai mekanisme yang sama


untuk menurunkan skor insomnia. Sedangkan instrumen yang digunakan
pada penelitian yang akan dilaksanakan adalah Insomnia Rating Scale dari
Kelompok Studi Psikologi Biologi Jakarta dan untuk subyek penelitian
adalah lansia pasca bencana berusia >65 tahun.
2. Reid J. Kathryn et al., (2010) dengan judul Aerobic Exercise Improves
Self-Reported Sleep and Quality of Life in Older Adults with Insomnia.
Pada penelitian ini bertujuan untuk menilai efikasi latihan fisik aerobic
dan edukasi hygiene tidur untuk menurunkan skor insomnia, depresi dan
meningkatkan kualitas hidup pada penderita insomnia. Subjek penelitian
adalah pasien dewasa lanjut berusia 55 tahun. Skor insomnia pada
penelitian ini menggunakan PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index), ESS
(Epworh Sleepiness Scale), sedangkan kualitas hidup dinilai dengan SF-36
(Short Form-36) dan untuk depresi dinilai dengan CES-D (Centre for
Epidemiological Studies Depression Scale). Didapatkan hasil bahwa

14

latihan fisik aerobik ditambah terapi edukasi sleep hygiene dapat


meningkatkan kualitas tidur, perasaan senang (mood), dan kualitas hidup
pasien insomnia pada kelompok perlakuan sedangkan pada kelompok
kontrol tidak didapatkan adanya peningkatan kualitas tidur.
Perbedaannya adalah pada intervensi yang dilakukan pada penelitian yang
akan dilaksanakan adalah Dance/Movement Therapy. Instrumen penelitian
yang akan digunakan adalah Insomnia Rating Scale dari Kelompok Studi
Psikologi Biologi Jakarta.
3. Kattenstroth, J.C., et al., (2010) dengan judul Superior Sensory, Motor
and Cognitive Performances in Elderly Individuals with Multi Year
Dancing Activities. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan fungsi
kognitif, sensorik dan motorik antara lansia berumur 65-84 tahun yang
pada masa mudanya memiliki riwayat aktivitas menari dan berolahraga
kira-kira selama 16,5 tahun terakhir dibandingkan dengan lansia yang
pada masa mudanya tidak memiliki riwayat tersebut. Subyek penelitian
adalah lansia yang berusia 65-84 tahun. Fungsi kognitif diukur dengan
menggunakan RSPM (Raven Standard Progressive Matrices), Geriatric
Concentration Test, sedangkan pada fungsi keseimbangan diukur dengan
Roomberg Test, fungsi motorik diukur dengan cara Tapping dan HandArm Steadiness, fungsi sensorik diukur dengan Touch Treshold.
Didapatkan hasil bahwa pada lansia yang mempunyai riwayat menari dan

15

berolahraga pada masa mudanya memiliki nilai yang lebih tinggi dalam
test di segala aspek yaitu fungsi kognitif, sensorik, dan motorik.
Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan
adalah sama-sama bertujuan untuk menilai efektifitas dance therapy bagi
lansia. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel tergantung
mengenai efek yang diukur pada lansia yaitu fungsi kognitif, sensorik, dan
motorik sedangkan pada penelitian yang akan dilaksanakan adalah skor
insomnia.
4.

Jeong, YJ et al., (2005) dengan judul Dance/Movement Therapy Improves


Emotional Responses and Modulates Neurohormones in Adolescent with
Mild Depression. Penelitian ini bertujuan untuk menilai profil kesehatan
psikologikal dan perubahan neurohormon pada remaja dengan depresi
ringan. Subyek penelitian ini adalah remaja berusia rata-rata 16 tahun dan
dipilih secara acak dan sukarela (volunteer) dari remaja-remaja tersebut
dengan jumlah masing-masing kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
adalah 20 orang. Dance/Movement Therapy dilakukan selama 12 minggu.
Instrumen yang digunakan adalah Scores for Psychological Distress (SCL
90-R) yang terdiri dari Dimension of Somatization (SOM), ObsessiveCompulsive (O-C), Interpersonal Sensitivity (I-S), Depression (DEP),
Anxiety (ANX), Hostility (HOS), Phobic Anxiety (PHOB), Paranoid
Ideation (PAR), Pshycoticism (PSY). Hasil yang didapatkan adalah

16

adanya penurunan pada Scores for Psychological Distress (SCL 90-R) dan
terdapat kenaikan dari serotonin dan dopamine serta stabilisasi dari sistem
saraf simpatis. Persamaan yang terdapat pada penelitian ini adalah samasama menggunakan intervensi Dance/Movement Therapy. Sedangkan
perbedaannya terletak pada subjek penelitian tersebut adalah remaja
sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan adalah lansia pasca bencana
dan perbedaan variabel dependent (tergantung) pada penelitian tersebut
adalah depresi sedangkan pada penelitian yang akan dilaksanakan adalah
insomnia. Penulis memiliki asumsi bahwa antara depresi dan insomnia
dapat saling berhubungan karena insomnia termasuk dalam salah satu
gejala dari depresi.

17

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Landasan Teori
1.

Lanjut Usia
a. Pengertian Lansia
Menurut UU Kesehatan No.23 Tahun 1992, manusia lanjut usia
adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan
biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Kejadian ini pasti akan dialami
oleh setiap manusia yang berusia panjang dan tidak dapat dihindari.
Sedangkan menurut BAB I pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.13
Tahun 1998 tentang Kesejahteraaan Lanjut Usia, bahwa lansia adalah
seseorang yang telah berusia 60 tahun ke atas atau lebih (Maryam,
2008).
b. Batasan Lanjut Usia
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) meliputi :
a) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 59 tahun.
b) Lanjut usia (elderly) yaitu seseorang yang berusia antara 60-74
tahun.
c) Lanjut usia tua (old) yaitu seseorang yang berusia antara 75-90
tahun.
d) Usia sangat tua (very old) yaitu seseorang yang berusia di atas 90

tahun atau lebih.


2. Proses Menua
a.
Definisi Proses Menua
Menurut Darmojo (2010) proses menua adalah proses
sepanjang hidup, alamiah terjadi terus-menerus dan telah melalui tiga

18

fase dalam kehidupan yakni anak, dewasa, dan tua. Menua adalah
suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti diri dan mempertahankan
struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologis
ketika membicarakan proses menua :
a) Aging (bertambahnya umur) yaitu menunjukkan efek waktu;suatu
proses perubahan; biasanya bertahap dan spontan;
b) Senescence (menjadi tua) yaitu hilangnya kemampuan sel untuk
membelah dan berkembang (dan seiring waktu akan menyebabkan
kematian);
c) Homeostenosis yaitu penyempitan / berkurangnya cadangan
homeostatis yang terjadi selama penuaan pada setiap sistem organ.
(Setiati, dkk., 2010)
Saat terjadi proses menua, manusia secara progresif akan
kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk makin
banyak distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai penyakit
degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes mellitus, dan
kanker) yang akan menyebabkan lansia menghadapi akhir hidup
dengan episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark miokard,
b.

koma asidotik, metastasis kanker, dsb. (Darmojo, 2010).


Teori Penuaan
Menurut Setiati (2010), setelah dilakukan penelitian eksperimental
di bidang gerontologi dasar, dihasilkan beberapa teori tentang proses
menua yang dapat diterima saat ini, antara lain :

19

(1) Teori Radikal Bebas (Free Radical Theory of Aging)


Teori ini diperkenalkan oleh Denham Harman pada tahun
1956 yang menyatakan bahwa proses menua normal merupakan
akibat kerusakan jaringan akibat radikal bebas. Radikal bebas
adalah senyawa kimia yang berisi elektron tidak berpasangan yang
terbentuk sebagai hasil sampingan berbagai proses selular atau
metabolisme normal yang melibatkan oksigen. Contohnya adalah
reactive nitrogen species dan reactive oxygen species. Karena
elektronnya tidak berpasangan, maka secara kimiawi, radikal
bebas akan mencari pasangan elektron lain dengan bereaksi
dengan substansi lain misalnya protein dan lemak tidak jenuh.
Membran sel dengan mengandung sejumlah lemak dapat
bereaksi dengan radikal bebas dan mengalami perubahan struktur.
Akibat perubahan struktur tersebut, membran sel menjadi lebih
permeabel terhadap berbagai substansi. Tidak hanya membran sel
namun stuktur di dalam sel seperti lisosom dan mitokondria juga
diselimuti membran yang mengandung lemak dan mudah
diganggu oleh radikal bebas.
Kejadian ini semakin lama akan merusak membran dan
fungsi sel. Teori ini mengatakan bahwa sejalan dengan waktu telah
terdapat akumulasi radikal bebas secara bertahap dan jika telah
melewati ambang batasnya maka akan timbul suatu perubahanperubahan yang disebut penuaan. Sebenarnya setiap individu telah

20

diberi kemampuan untuk menghasilkan antioksidan sebagai


penangkal, tetapi pada tingkat tertentu antioksidan tidak dapat
melindungi tubuh dari radikal bebas yang berlebihan.
(2) Teori Glikosilasi
Seiring bertambahnya usia terdapat proses glikosilasi
nonenzimatik yang menghasilkan pertautan antara glukosa dan
protein yang disebut advanced glycation end products (AGEs).
Pada saat manusia menua, AGEs berakumulasi bersama kolagen
di berbagai jaringan.
Muatan kolagen yang tinggi menyebabkan jaringan ikat
menjadi kurang elastis dan lebih kaku. Kondisi ini juga dapat
memengaruhi elastisitas dinding pembuluh darah. AGEs juga
diduga berinteraksi dengan DNA sehingga mungkin dapat
menganggu kemampuan sel untuk memperbaiki perubahan pada
DNA.
(3) Teori DNA Repair
Teori DNA Repair atau mitochondrial DNA repair ini
terkait erat dengan teori radikal bebas karena sebagian besar
radikal bebas (terutama ROS) dihasilkan melalui fosforilasi
oksidatif yang terjadi di mitokondria. Mutasi DNA mitokondria
(mtDNA)

dan

pembentukan

ROS

di

mitokondria

saling

memengaruhi satu sama lain membentuk vicious cycle yang dapat


memperbanyak kerusakan oksidatif dan disfungsi selular, yang
pada akhirnya menyebabkan kematian sel.

21

Mutasi mtDNA pada manusia terjadi setelah pertengahan


usia 30 an dan terakumulasi seiring dengan pertambahan usia,
namun jarang melebihi 1%. Rendahnya jumlah akumulasi mutasi
mtDNA ini karena sebenarnya mutasi mtDNA ini dapat dicegah
oleh proses repair yang terjadi di tingkat mitokondria, namun
apabila terdapat gangguan repair pada kerusakan oksidatif ini
maka dapat menyebabkan percepatan proses penuaan (accelerated
aging). Selain itu, mutasi mtDNA akibat gangguan repair ini juga
dikaitkan dengan munculnya keganasan, diabetes mellitus dan
c.

penyakit neurodegeneratif.
Perubahan Fisiologi pada Lansia
Proses menua diiringi oleh beberapa perubahan fisiologis pada
lansia yang mencakup beberapa sistem dalam tubuh manusia. Menurut
Nugroho (2008), perubahan akibat proses menua terdiri dari ;
1) Perubahan Fisik atau Fisiologi
a) Sel
Jumlah sel menurun, ukuran sel besar, cairan tubuh berkurang,
perbaikan sel terganggu, berat otak berkurang.
b) Sistem Persarafan
Sel saraf otak lambat dalam bereaksi, hubungan persarafan,
memori dan ketahanan terhadap suhu menurun.
c) Sistem Pendengaran
Penurunan pendengaran, membran timpani atrofi, terjadi
penggumpalan serumen, tinnitus serta mengalami vertigo.
d) Sistem Penglihatan

22

Spinchter pupil timbul sklerosis, respon sinar menghilang dan


kornea berbentuk sferis. Lensa mata buram, penurunan daya
akomodasi, lapang pandang dan membedakan warna.
e) Sistem Kardiovaskular
Katup jantung tebal dan kaku, elastisitas dinding aorta
menurun. Penurunan curah jantung, efektifitas pembuluh darah
perifer dan elastisitas pembuluh darah hilang.
f) Sistem Suhu
Temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek menggigil dan
penurunan aktifitas otot.
g) Sistem Pernafasan
Atrofi otot pernafasan, aktifitas silia menurun, penurunan
elastisitas paru, alveoli melebar, reflek batuk berkurang,
penurunan sensitifitas terhadap hiperkarbia dan hipoksia.
h) Sistem Pencernaan
Kehilangan gigi, penurunan pengecapan, rangsang lapar,
peristaltik, absorpsi, hepar mengecil, aliran darah berkurang.
i) Sistem Reproduksi
Pada lansia wanita terjadi atrofi pada vagina, ovarium, uterus,
payudara, selaput lender vagina berkurang, berubah warna, dan
sifat. Sedangkan pada lansia pria fungsi seksual dan reproduksi
spermatozoa tetap.
j) Sistem Genitourinaria
Atrofi ginjal, penurunan aliran darah, keseimbangan elektrolit
dan asam terganggu, otot vesika urinaria lemah, kapasitas
menurun. Pada lansia pria, vesika urinaria sulit dikosongkan
sehingga terjadi retensi urin dan juga meningkatnya resiko
pembesaran prostat.

23

k) Sistem Endokrin
Penurunan hormone

estrogen,

progesterone,

testoteron,

kelenjar pancreas, kelenjar adrenal, ACTH, TSH, FSH, LH,


aktivitas tiroid, aldosteron, dan sekresi hormon kelamin.
l) Sistem Integumen
Kulit berkerut, kusam, respon trauma menurun, rambut tipis
dan putih. Pertumbuhan kuku lambat dan keringat berkurang.
m) Sistem Muskuloskeletal
Densitas tulang dan kartilago turun, demineralisasi, gerakan
terbatas, gangguan gaya berjalan, jaringan penghubung
melemah, persendian membesar, kaku otot dan tendon atrofi.
2) Perubahan Psikososial
Perubahan peran dalam keluarga, kehilangan jabatan, penghasilan
dan menjadi pensiun membuat lansia merasa sepi dan tidak
dihargai dalam hidupnya karena mempunyai kesempatan lebih
sedikit daripada saat berusia muda.

24

3) Perubahan Psikologi pada Lansia


Komponen yang berperan di sini adalah kapasitas penyesuaian
diri yang terdiri atas pembelajaran, memori (daya ingat), perasaan,
kecerdasan, dan motivasi.
Proses penuaan pada usia lanjut terjadi secara alamiah seiring
dengan penambahan usia. Adanya penurunan intelektualitas yang
meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori dan belajar pada usia
lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi
(Rosidawati, et al., 2008). Perubahan psikologis yang terjadi bisa
karena dampak perubahan fisik dan psikososial. Perubahan tersebut
meliputi short term memory, frustasi, kesepian, ketakutan kehilangan
kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi,
dan kecemasan (Maryam, 2008).
3. Bencana dan Pasca Bencana
a. Pengertian Bencana
Menurut WHO (World Health Organization) (2002) bencana
(disaster) adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan,
gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya skor
kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu memerlukan
respons dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007, bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,

25

baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia


sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (BNPB,
2012).
b. Dampak Psikologis Pasca Bencana
Terdapat berbagai macam masalah yang timbul setelah
terjadinya bencana, diantaranya adalah masalah kesehatan, sosial, dan
psikologis. Salah satunya yang berdampak panjang adalah masalah
psikologis. Respon psikologis dan perilaku pasca bencana dibagi
menjadi empat fase:
1) Fase pertama terjadi beberapa jam setelah bencana sampai beberapa
hari: emosi yang

kuat, tidak percaya dengan apa yang terjadi,

perasaan tumpul, takut dan kebingungan. Respon tersebut merupakan


respon normal setelah mengalami kejadian yang luar biasa.
Gangguan yang dapat terjadi adalah gangguan stres akut.
2) Fase kedua ini biasanya berdatangan bantuan dari luar daerah
tersebut. Gejala - gejala intrusif (flashback atau mimpi buruk),
ketegangan berlebihan, keluhan fisik (kelemahan, terasa melayang,
sakit kepala dan mual), mudah marah, iritabilitas dan menarik diri
dari pergaulan. Gangguan jiwa yang dapat terjadi adalah gangguan
stres pasca trauma, gangguan depresi, gangguan cemas, gangguan
penyesuaian, gangguan penyalahgunaan zat.

26

3) Fase ketiga terjadi beberapa bulan sampai satu tahun pasca bencana.
Fase ini ditandai dengan rasa tidak puas dan kemarahan ketika
harapan untuk mendapatkan pertolongan dan pemulihan secara
emosional maupun lingkungan tidak terpenuhi. Rasa kebersamaan
menurun dan masing-masing anggota masyarakat fokus pada
kebutuhan sendiri. Gangguan jiwa yang dapat dialami

adalah

gangguan stres pasca trauma kompleks, gangguan depresi, gangguan


cemas, gangguan penyesuaian, gangguan penyalahgunaan zat.
4) Fase keempat (rekontruksi) terjadi lebih dari satu tahun atau lebih.
Survivor mulai mencoba membangun kembali kehidupannya dengan
kembali ke pekerjaan semula atau mencari pekerjaan baru,
membangun kembali rumahnya dan membuat jaringan sosial serta
dukungan sosial baru. Pada fase ini sebagian besar survivor mampu
pulih pada fungsi psikososial yang optimal, sebagian kecil (kurang
dari 1 %) berkembang menjadi gangguan mental yang kompleks dan
menetap. Gangguan jiwa yang dapat dialami adalah gangguan stres
pasca trauma kompleks, gangguan kepribadian pasca peristiwa
katastropik (Benedek et al., 2005 cit Suyanto, 2011 ).
c. Kelompok Rentan

Kerentanan adalah keadaan atau sifat perilaku manusia atau


masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya
atau ancaman potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai
kesiapan,dan menanggulangi dampak bahaya tertentu (Efendi, 2009).

27

Menurut Undang-Undang Penanggulangan Bencana Pasal 55


dan penjelasan Pasal 26 Ayat 1 disebutkan bahwa masyarakat rentan
bencana adalah anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan karena
keadaan yang disandangnya diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu
hamil, ibu menyusui, penyandang cacat, dan lanjut usia (Efendi, 2009).
4. Tidur
a. Pengertian Tidur
Menurut Kaplan (2010) tidur merupakan suatu keadaan
berulang, teratur, mudah reversible yang ditandai dengan keadaan relatif
tidak bergerak dan tingginya peningkatan ambang respons terhadap
stimulus eksternal dibandingkan dengan keadaan terjaga. Tidur yang
sebenarnya bermakna sebagai keadaan dimana otak dan pikiran serta
tubuh diberi kesempatan untuk dapat beristirahat.
Tidur dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana individu
tersebut berada di dalam keadaan bawah sadar dan seseorang tersebut
dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik (Guyton,
2008).
b. Proses Tidur
Untuk mendapatkan proses tidur tidak ada satu pusat
pengendali tidur sederhana, melainkan terdapat sejumlah kecil sistem
atau pusat yang terletak di batang otak dan saling mengaktifkan serta
menghambat satu sama lain (Kaplan, 2010).

Perangsangan pada

beberapa daerah spesifik otak dapat menimbulkan keadaan tidur dengan

28

sifat-sifat keadaan tidur alami. Kemungkinan perangsangan tersebut


dilakukan oleh neurotransmitter serotonin (Guyton, 2008).
Daerah perangsangan yang paling mencolok

dapat

menimbulkan keadaan tidur alami adalah nuclei rafe yang terletak di


separuh bagian bawah pons dan di medulla. Serabut saraf dari nuklei ini
menyebar setempat di formatio reticularis batang otak dan juga ke atas
menuju thalamus, hipothalamus, sebagian besar daerah sistem limbik,
dan neokorteks serebri. Selain itu serabut-serabut ini juga menyebar ke
bawah menuju medulla spinalis dan berakhir di radiks posterior. Telah
diketahui bahwa banyak ujung serabut nuclei rafe ini menyekresikan
serotonin (Guyton, 2008).
Selain itu, daerah perangsangan yang lain adalah beberapa area
di nucleus traktus solitarius yang merupakan daerah terminal di medulla
dan pons serta beberapa regio pada diensefalon meliputi bagian rostral
hipotalamus terutama area suprachiasma (Guyton, 2008).
c. Siklus Tidur
Terdapat 2 status primer pada siklus tidur yaitu rapie eye
movement (REM) dan non- rapid eye movement (non REM). Status non
REM (NREM) dibagi menjadi 4 stadium antara lain :
Stadium 1 : Saat transisi antara bangun penuh dan tidur, durasinya
sekitar 30 detik sampai dengan 7 menit dan mudah sekali untuk
dibangunkan. Dengan karakteristik gelombang otak low-voltage,
terdapat campuran gelombang alfa, beta, dan kadang teta pada
pemeriksaan electroencephalografi (EEG), tidak terdapat gelombang

29

sleep spindles , kompleks K dan gelombang delta. Tonus otot lebih


menurun daripada saat terjaga. Tidak terdapat gerakan mata yang cepat.
Stadium 2 : Semakin dalam tidur dibandingkan stadium 1, pada stadium
ini sudah mulai sulit untuk dibangunkan walaupun dengan panggilan
berulang-ulang. Ditandai dengan gelombang otak low voltage pada
EEG. Terdapat campuran gelombang alfa, beta, dan teta. Perbedaan
dengan stadium 1 adalah adanya gelombang high voltage yang disebut
sleep spindles dan K complexes. Pada tonus otot terkadang
terdapat peningkatan secara tiba-tiba menandakan otot belum rileks
secara sepenuhnya.
Stadium 3 : Kira-kira 10 menit setelah stadium 2, seseorang akan
memasuki stadium 3. Bersama stadium 4, sering disebut tidur yang
dalam atau delta sleep. EEG menunjukkan gelombang yang lambat
dengan amplitudo tinggi. Terdapat gelombang delta 20-50% dan sleep
spindles. Pada stadium ini dikeluarkan growth hormone untuk
pertumbuhan dan perbaikan untuk mempertahankan keutuhan dan
kemudaan jaringan tubuh. Tidak terdapat gerakan bola mata yang cepat
Stadium 4 : Pada stadium ini sama seperti stadium 3 yaitu tidur dalam.
Dengan gelombang delta lebih dari 50% dan terdapat gelombang sleep
spindles. Tonus otot menurun daripada stadium sebelumnya. Tidak
terdapat gerakan bola mata yang cepat.
REM : Ditandai oleh periode autonom yang bervariasi, seperti
perubahan detak jantung, tekanan darah, laju pernafasan, dan
berkeringat. Terdapat campuran gelombang alfa,beta, dan teta pada

30

pemeriksaan EEG. Pada stadium inilah mimpi saat tidur terjadi


(Prayitno, 2002 ; Rahayu, 2009).
Dua puluh lima persen waktu tidur dihabiskan pada status
REM dan tujuh puluh lima persen pada status non REM. Pada orang
muda sehat waktu yang dibutuhkan dari stadium 1 sampai 3 adalah 45
menit. Sedangkan stadium 4 berlangsung sekitar 70-120 menit dan
berulang sebanyak 6 kali. Waktu tidur pada orang dewasa normal adalah
8 jam. Empat jam pertama tidur terjadi pengulangan status non REM
terutama pada stadium 3 dan 4, sedangkan empat jam kedua lebih
banyak terjadi pengulangan pada stadium 1 dan 2 serta status REM
(Rahayu, 2009).
d. Pola Tidur
Pada tidur orang normal terdapat pola tidur yang dinamakan
pola siklus tidur dan bangun (irama sirkadian). Pola siklus tidur dan
bangun (irama sirkadian) adalah bangun sepanjang hari saat cahaya
terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Irama sirkadian ini
dipengaruhi oleh stimulus cahaya. Stimulasi cahaya terang masuk
melalui mata dan menstimulasi nucleus supra-chi asmatic (NSC) di
hipotalamus. NSC akan mengeluarkan suatu neurotransmitter yang
memengaruhi pengeluaran berbagai hormone pengatur suhu tubuh,
kortisol, growth hormone (GH) dan lain lain yang meregulasi siklus
untuk bangun dan tidur (Rahayu, 2009).
Jika pagi hari cahaya terang

masuk,

NSC

segera

mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperature

31

badan, kortisol, dan GH sehingga orang terbangun. Jika malam tiba, NSC
merangsang pengeluaran hormone melatonin sehingga orang mengantuk
dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal
(bagian kecil di otak tengah). Saat hari mulai gelap, melatonin
dikeluarkan dalam darah dan akan memengaruhi terjadinya relaksasi
serta penurunan temperature badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam
darah mulai meningkat pada jam 9 malam dan terus meningkat sepanjang
malam lalu menghilang pada jam 9 pagi (Rahayu, 2009).
e. Perubahan Pola Tidur pada Lansia
Seiring dengan bertambahnya usia terdapat berbagai keluhan
mengenai sulit untuk memulai tidur dan mempertahankan tidur.
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan lansia mengalami
perubahan tidur diantaranya adalah karena proses menua secara
fisiologik, perubahan irama sirkadian, kondisi medis dengan penyakit
tertentu, peningkatan konsumsi suatu obat-obatan, gangguan psikiatri
seperti depresi, insomnia, kecemasan, serta perubahan lingkungan dan
gaya hidup (Roepke et al.,2010).
Secara fisiologik memang terdapat perubahan jam kebutuhan
tidur pada usia lanjut dibandingkan dengan usia muda. Pada usia 12
tahun kebutuhan tidur adalah sembilan jam, usia 20 tahun kebutuhan
tidur berkurang menjadi delapan jam, usia 40 tahun menjadi tujuh jam,
dan bertambahnya usia menjadi 60 dan 80 tahun masing-masing
kebutuhan tidur menjadi enam setengah jam (Prayitno, 2002).

32

Terdapat perubahan durasi dan pola tidur pada lansia, pada lansia
terjadi peningkatan durasi pada stadium 1 yaitu stadium transisi antara
keadaan terjaga menuju keadaan tidur, normalnya waktu yang
dibutuhkan adalah 3 -5 menit pada stadium 1 namun pada lansia dapat
memanjang dari waktu normal. Dengan adanya disrupsi pada stadium 1
ini, maka akan berakibat pada disrupsi stadium-stadium tidur yang
lainnya, seperti terjadinya penurunan pada stadium 3 dan 4, dimana
stadium ini merupakan stadium tidur yang dalam (Roepke et al., 2010).
Selain itu fase REM dapat terjadi lebih awal dan juga terjadi
peningkatan durasi. Fase REM adalah fase dimana seseorang mengalami
mimpi. Sehingga pada lansia yang mengalami peningkatan durasi REM
biasanya akan sering bermimpi di setiap tidurnya dan terkadang
bermimpi buruk (Prayitno, 2002 ; Roepke et al 2010).
Berikut adalah tabel perubahan pola tidur pada lanjut usia yang
diambil dari laporan subjektif lansia yang tinggal di rumah atau panti
wreda. 15-75 % dari mereka mengeluhkan ketidakpuasan dari segi
kualitas dan lamanya waktu tidur.
Perubahan Pola Tidur Lansia (Prayitno, 2002)
Pola Tidur
Lamanya di tempat tidur
Total waktu tidur
Ancang-ancang tidur (sleep latency)
Terjaga setelah dimulai waktu tidur
Tidur singkat pada siang hari
Efisiensi Tidur

Laporan Subjektif
Meningkat
Menurun
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Menurun

33

Perubahan Dalam Struktur Tidur Pada Lansia (Prayitno, 2002)


Fase Tidur

Hasil Polisomnografik

Stadium 1
Stadium 2
Stadium 3
Stadium 4

Meningkat
Bervariasi (umumnya menurun)
Menurun
Menurun

Kualitas

Menurun

NREM

REM

5. Insomnia Pada Lansia


a. Pengertian Insomnia
Insomnia adalah kesulitan memulai atau mempertahankan
tidur. Insomnia adalah keluhan tidur yang paling sering ditemui dan
dapat bersifat sementara atau menetap. Biasanya insomnia dengan
periode singkat disebabkan oleh kecemasan, kesedihan yang mendalam.
Pasien dengan insomnia biasanya memiliki satu atau lebih dari beberapa
gejala yaitu sulit untuk memulai tidur, sering terbangun pada malam hari
dan sulit untuk kembali tidur, sering terbangun pada pagi-pagi buta, dan
mengeluh lesu atau merasa tidak segar pada saat bangun tidur (Kaplan,
2010;Roy, 2012).
b.

Jenis - Jenis Insomnia


Menurut Stanley & Beare (2006) insomnia berdasarkan
waktunya dibagi menjadi 3 :
1. Jangka Pendek
Insomnia ini terjadi selama beberapa minggu (< 3 minggu). Keadaan
ini cenderung tidak berat. Biasanya disebabkan karena stressor,
seperti kehilangan orang yang dicintai, pekerjaan, dll. Insomnia ini

34

akan menghilang ketika orang tersebut telah berhasil untuk


beradaptasi dengan stressornya sehingga biasanya tidak memerlukan
intervensi medis.
2. Sementara
Gangguan tidur yang bersifat sementara ini biasanya disebabkan
karena perubahan lingkungan seperti kebisingan, berbedanya tempat
tidur dari tempat yang biasanya, dan pengalaman yang menimbulkan
ansietas.
3. Jangka panjang (kronis) atau menetap
Gangguan tidur ini berlangsung selama lebih dari 3 minggu bahkan
seumur hidup. Biasanya disebabkan karena kebiasaan tidur yang
buruk, konsumsi alkohol, masalah psikologis yang berat, dan
penggunaaan obat tidur yang berlebihan. 40% dari orang dengan
insomnia kronis ini memiliki keluhan gangguan tidur lain seperti
gangguan tidur karena kaki gelisah, nyeri kronis, apnea tidur, dan
memiliki underlying disease seperti arthritis, diabetes mellitus, dan
kanker.
Sedangkan menurut Hidayat (2008) insomnia juga dapat dibagi
menjadi 3, yaitu :
1. Insomnia initial
Insomnia yang terjadi dengan gejala kesulitan untuk jatuh tertidur
atau mengawali tidur.
2. Insomnia intermiten
Insomnia yang terjadi dengan gejala atau keluhan sulit untuk
mempertahankan tidur sehingga sering terbangun beberapa kali pada
malam hari.
3. Insomnia terminal

35

Insomnia yang terjadi dengan keluhan sering terbangun pada malam


c.

hari setelah itu kesulitan untuk memulai tidur kembali.


Faktor Penyebab Insomnia pada Lansia
Terdapat beberapa faktor penyebab insomnia yang banyak
dialami oleh lansia diantaranya ;
1. Faktor Fisiologik / Proses Menua
Sebuah studi mengatakan bahwa seiring bertambahnya usia
maka semakin turun hormone melatonin yang diproduksi dan
berakibat terhadap menurunnya efisiensi tidur dan meningkatnya
kejadian gangguan tidur irama sirkadian (Roepke, et al., 2010).
Hal ini didasari dari semakin bertambahnya usia juga diikuti
dengan menurunnya fungsi nucleus suprachiasmatic yang mengatur
pengeluaran hormon siklus bangun-tidur. Sehingga menyebabkan
berkurangnya sinkronisasi antara siklus bangun dan tidur serta
seringnya terbangun pada malam hari (Roepke, et al., 2010).
2. Faktor Hormonal
Biasanya yang mengalami gangguan tidur dengan faktor
hormonal adalah wanita lanjut usia karena faktor menopause yang
dialami. 25-50% wanita menopause mengeluh sulit untuk memulai
dan mempertahankan tidur. Pada menopause terjadi perubahan
hormone berupa penurunan hormon estrogen. Sebuah studi
mengatakan bahwa estrogen mempunyai peran dalam siklus tidur
dengan menaikkan waktu tidur, menurunkan sleep latency atau
waktu untuk memulai tidur dan frekuensi bangun di malam hari
(Roepke, et al., 2010)
3. Faktor Penyakit

36

Penyakit yang diderita oleh individu dapat menimbulkan nyeri


atau distress fisik yang dapat mengganggu siklus tidur. Nyeri yang
ditimbulkan ini dapat meningkatkan frekuensi terbangun di malam
hari atau rasa tidak nyaman sehingga sulit untuk memulai tidur.
Penyakit yang biasanya menyebabkan gangguan tidur dan banyak
dialami oleh lansia diantaranya penyakit kardiovaskular seperti
infark miokard,gagal jantung kongestif, kemudian diabetes mellitus,
penyakit gangguan pernafasan, nyeri kronis seperti arthritis, kanker
juga memberikan dampak gangguan tidur (Foley, et al., 2004).
4. Faktor Psikologis
Faktor psikologis seperti depresi, kecemasan, kesedihan dapat
memberikan kontribusi terhadap insomnia pada lansia. Faktor
psikologis ini biasa dialami oleh lansia di atas 65 tahun (Wolkove, et
al., 2007).
Sebuah studi mengatakan bahwa depresi dan insomnia saling
berkaitan, insomnia yang tidak tertangani dengan baik atau individu
yang mengalami insomnia persisten, terutama wanita dapat
menaikkan faktor resiko untuk berkembang menuju depresi,
sedangkan depresi juga dapat menyebabkan insomnia. Pada individu
dengan depresi terjadi penurunan serotonin yang berakibat terhadap
gangguan tidur (Cole, et al., 2003;Israel, et al., 2009).
Menurut studi yang dilakukan oleh Ohayon dan Roth, 65%
orang dengan depresi, 61% orang dengan gangguan panik, dan 44%

37

orang dengan gangguan ansietas umum mengalami insomnia (Israel,


et al., 2009).

38

5. Faktor Medikasi
Penggunaan obat pada lansia semakin meningkat seiring
bertambahnya usia karena bertambahnya sakit yang diderita.
Terkadang ketidakwaspadaan seorang dokter dalam memberikan
obat kepada lansia juga memberikan kontribusi gangguan tidur atau
insomnia terhadap lansia (Wolkove, et al., 2007).
Obat-obatan seperti penyakit kronis dan gangguan jiwa sering
memberikan dampak insomnia diantaranya adalah stimulant sistem
saraf pusat (modafinil, methylphenidate), antihipertensi (-blockers,
-blockers), obat gangguan pernafasan seperti bronchodilator
(theophyline, albuterol, dekongestan (pseudoephedrines), diuretik,
hormone (corticosteroids, hormone tyroid), obat psikotropik (SSRIs,
MAO inhibitors), sehingga perlu disarankan untuk penggunaan obat
yang bersifat stimulan atau diuretik sebaiknya digunakan saat siang
hari, sedangkan obat yang bersifat sedative dikonsumsi sebelum
waktu tidur (Wolkove, et al., 2007;Israel, et al., 2009).
d. Dampak Insomnia
Terdapat berbagai dampak yang tidak baik bagi individu yang
menderita insomnia. Individu yang sering terbangun pada malam hari
atau sulit untuk memulai tidur dapat mengalami EDS (excessive day
sleep) pada saat melakukan aktivitas sehari-hari (Neikurg, et al., 2009).
Individu dengan EDS dapat secara tiba-tiba tertidur pada saat sedang
menonton televisi, saat berbicara, menyetir, bahkan saat mengerjakan

39

pekerjaan rumah atau kantor mereka sehingga semakin lama


kewaspadaan individu tersebut terhadap lingkungan sosial dan pekerjaan
pun menurun (Neikurg, et al., 2009;Roepke, et al., 2010).
Tidur yang kurang atau inadekuat dapat menyebabkan naiknya
morbiditas dan mortalitas pada lanjut usia. Serta menurunkan kualitas
hidup lansia tersebut. Dalam sebuah studi individu dengan tidur yang
kurang atau tidak adekuat mempunyai waktu reaksi yang lebih rendah
serta mengalami disfungsi kognitif seperti gangguan memori (Neikurg,
e.

et al., 2009).
Penatalaksanaan Insomnia
Tujuan yang diharapkan dari terapi untuk insomnia adalah
meningkatkan kuantitas dan kualitas tidur, kewaspadaan dan konsentrasi
individu dalam kegiatan sehari-hari, serta meminimalkan efek buruk
dari obat (Ramakhrisnan, et al., 2007). Pada dasarnya terdapat 2 macam
penatalaksanaan untuk insomnia, yaitu terapi farmakologik dan non
farmakologik. Beberapa studi terbaru mengatakan bahwa terapi non
farmakologi

sebaiknya

dipakai

sebagai

lini

pertama

dari

penatalaksanaan insomnia karena memiliki efektifitas yang sama seperti


terapi farmakologi, misalnya benzodiazepines (Neikrug, et al., 2009)
Berikut adalah terapi non farmakologi bagi insomnia (Ramakhrisnan, et
al., 2007) ;
1.Cognitive Behavior Therapy
Terapi ini berusaha untuk mengubah anggapan yang salah dari
tidur itu sendiri misalnya seperti tidur harus 8 jam atau lebih. Selain
itu Selama terapi ini pasien diberikan tips mengenai hygiene tidur

40

yaitu menghindari terlalu banyak membuang waktu berada di tempat


tidur, mempertahankan konsistensi waktu tidur dan waktu terjaga,
berolahraga secara teratur, minum susu dan konsumsi roti sebelum
tidur, menghindari menonton televisi dan membaca sebelum tidur,
jangan terlalu banyak minum sebelum tidur, dan tidur dengan cahaya
yang redup.
2.Olahraga
Berolahraga yang dimaksud adalah olahraga dengan intensitas
sedang seperti bersepeda, berenang, berjalan. Dan sebaiknya
berolahraga ini dilakukan secara teratur. Akan tetapi jangan
melakukan olahraga sesaat sebelum tidur.
3.Terapi Relaksasi
Terapi relaksasi dilakukan dengan

cara

menegangkan

kemudian merilekskan otot tubuh. Biasanya terapi ini dilakukan


terutama bagi gangguan tidur seperti sindrom kaki gelisah (restless
legs syndrome).
4.Terapi Kontrol Stimulus
Terapi dengan cara

menghindari

hal-hal

yang

dapat

menstimulus individu untuk terjaga seperti cahaya baik dari lampu


atau televisi, temperatur ruangan yang ekstrim, kebisingan, alkohol,
cafein, konsumsi makan dalam jumlah besar sesaat sebelum tidur,
merokok, minimalkan minum terlalu banyak sebelum tidur. Jika
gagal untuk tidur setelah 20 menit di tempat tidur, sebaiknya segera
melakukan hal yang lain dan kembali tidur jika benar-benar sudah
merasa mengantuk.

41

5.Temporal Control Measures


Terapi dengan mencoba mempertahankan waktu terjaga dan
terbangun secara konsisten dan meminimalkan tidur pada siang hari.
Terapi farmakologik dapat digunakan berbagai macam obat
diantaranya adalah benzodiazepines (triazolam, estazolam, temazepam,
flurazepam, midazolam), non benzodiazepines (zolpidem, zaleplone,
eszopiclone), melatonin receptor agonist (ramelteon), antihistamines
(diphenhydramine,

doxylamine)

2007;Montgomery, et al., 2006).

(Ramakhrisnan,

et

al.,

Benzodiazepines bekerja dengan

mengikat reseptor GABA dan GABAA, meningkatkan waktu tidur dan


kualitas tidur dengan mengurangi latensi tidur dan frekuensi bangun di
malam hari. Benzodiazepine dengan kerja cepat dan waktu paruh yang
pendek lebih dipilih, seperti estazolam, triazolam, temazepam.
Pada penggunaan jangka panjang atau > 4
benzodiazepine

sering

menimbulkan

toleransi,

minggu

ketergantungan,

fenomena withdrawal sehingga obat ini lebih bermanfaat pada terapi


jangka pendek insomnia.

Fenomena withdrawal menyebabkan

kecemasan, depresi, nausea, insomnia berulang, sering bermimpi, mimpi


buruk, dan gangguan ingatan. Gejala withdrawal dapat terjadi beberapa
jam setelah putus obat benzodiazepine short acting atau lebih dari 3
minggu putus obat benzodiazepine long acting (Ramakhrisnan, et al.,
2007). Efek samping benzodiazepine adalah penurunan fungsi kognitif,

42

psikomotor, gangguan memori, meningkatkan resiko untuk jatuh dan


kehilangan kewaspadaan (Montgomery, et al., 2006).
Saat ini beberapa studi membuktikan bahwa terapi dengan
menggunakan generasi obat hipnotik baru non benzodiazepine
(zaleplon, zolpidem, eszopiclone) mempunyai efektifitas yang tidak
berbeda secara signifikan dengan benzodiazepine, namun lebih aman
daripada benzodiazepine untuk terapi insomnia terutama untuk lansia
(Neikrug, et al., 2009). Zaleplon dapat menurunkan latensi tidur tetapi
tidak terlalu efektif untuk mengatasi frekuensi terbangun di malam hari.
Zolpidem dapat menurunkan latensi tidur, meningkatkan durasi dan
kualitas tidur, serta menurunkan frekuensi terbangun di malam hari
(Montgomery, et al., 2006).
Eszopiclone sama seperti zolpidem yaitu menurunkan l,atensi
tidur dan menurunkan frekuensi terbangun di malam hari. Eszopiclone
adalah satu-satunya obat non benzodiazepines yang diijinkan oleh FDA
dapat digunakan selama lebih dari 35 hari. Obat-obat ini mempunyai
efek samping yang lebih ringan daripada benzodiazepines yaitu tidak
menimbulkan insomnia berulang, tetapi obat ini juga mempunyai efek
samping berupa gangguan memori dan psikomotor (Ramakhrisnan, et
f.

al., 2007).
Pengukuran Skor Insomnia
Pengukuran skor insomnia

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan kuesioner KSPBJ (Kelompok Studi Psikiatri Biologik


Jakarta) Insomnia Rating Scale yang memiliki 8 jenis pertanyaan

43

dengan uraian yang spesifik dan berkaitan dengan gejala insomnia.


Penilaian hasil kuesioner dilakukan dengan menggunakan skor yang
telah ditentukan, skor yang dimiliki adalah 3 untuk gejala berat, skor 2
untuk gejala sedang, skor 1 untuk gejala ringan, serta skor 0 untuk tanpa
gejala.
Hasil skor dijumlahkan sehingga akan didapatkan skor untuk
melihat derajat insomnia. Apabila skor 0-8 berarti normal, jumlah skor
9-12 dikatakan insomnia ringan, jumlah skor 12-18 berarti insomnia
sedang, jumlah skor >18 berarti insomnia berat.
6. Dance/Movement Therapy
a. Pengertian Dance/Movement Therapy
Menurut American Dance Therapy Association (ADTA),
Dance/Movement

Therapy

adalah

suatu

psikoterapeutik

yang

menggunakan gerakan sebagai proses integrasi fisik dan emosional


seorang individu. Psikoterapeutik yang dimaksud adalah suatu terapi yang
lebih mengedepankan sisi psikologikal daripada sisi intervensi medikasi
untuk menyembuhkan suatu kelainan psikis seperti depresi, ansietas yang
mana seperti telah diuraikan pada sub bab sebelumnya bahwa depresi,
panik, dan ansietas bila tidak ditangani dengan baik maka dapat
menyebabkan insomnia (Pericleous, 2011;Israel, et al., 2009).
Dance/Movement Therapy adalah suatu aktifitas fisik yang
menyeluruh karena memasukkan musik, exercise (olahraga), stimulus
sensori ke dalam satu kesatuan yang sangat efektif untuk mengurangi
gangguan psikologikal. Menari berbeda dengan olahraga pada umumnya

44

karena saat menari seseorang dapat mengekspresikan perasaannya melalui


gerakan dan membuat individu tersebut menjadi lebih mengerti akan
perasaan yang sebenarnya dirasakan (Pinniger, et al., 2012).

45

b. Unsur Dance/Movement Therapy


Terdapat 3 unsur yang menjadi dasar dalam Dance/Movement
Therapy, yaitu ;
1.
Gerakan
Menurut teori Rudolf Laban tentang interaksi gerakan dan
pikiran, gerakan merupakan sarana untuk menyampaikan segala apa
yang ada dalam pikiran manusia. Gesture tubuh seorang individu dapat
memperlihatkan ekspresi, emosi, dan semangat yang ada dalam
dirinya. Melalui gerakan saat menari seseorang dapat menemukan
sesuatu yang baru dalam kehidupannya dan stimulus untuk
menyalurkan kreativitasnya (Pericleous, 2011).
2. Musik dan Ritme
Musik dan ritme adalah dua unsur yang saling berhubungan
karena musik akan menghasilkan ritme atau irama. Melalui musik
seseorang akan secara spontan dan termotivasi menggerakan tubuhnya
mengikuti ritme yang ada mengangguk-anggukan kepala, menepuknepuk tangan dan telapak kaki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
musik dan ritme secara bersamaan dapat memberikan stimulus
seseorang untuk melakukan gerakan yang ritmis (Pericleous, 2011).

46

c.

Manfaat Dance/Movement Therapy


1. Sebagai Sarana Berekspresi
Dancing (menari) adalah suatu aktifitas fisik yang ekspresif
dimana semua pesertanya mendapatkan kebebasan untuk berekspresi
melalui gerakan tari baik dengan meniru atau dari gerakan yang
diciptakan sendiri berdasarkan kreatifitas masing-masing dengan
mengikuti irama musik (Harris et al., 2007). Dengan adanya irama
(rhytm) akan membuat seorang individu untuk menggerakkan
tubuhnya dan membuat suatu kesatuan gerakan (Pericleous, 2011).
Pada saat menari, seorang individu diharapkan dapat
mengekspresikan perasaan yang sedang dirasakan baik senang, sedih,
marah secara spontan, meningkatkan kemampuan kreatifitas melalui
menciptakan gerakan, serta dapat mengurangi ketegangan yang
sedang dirasakan (Pericleous, 2011).
2. Sebagai Sarana Membangun Hubungan Interpersonal dan Rekreasi
Menari juga dapat menguatkan solidaritas dan meningkatkan
hubungan interpersonal (Harris, 2007). Pada jaman dahulu untuk
membangun semangat sebelum berperang atau berburu dan untuk
merayakan suatu keberhasilan dilakukan dengan menari bersama
(Pericleous, 2011). Menari dalam Dance/Movement Therapy sebaiknya
dilakukan secara berkelompok (group dance) sehingga individu
tersebut dapat merasakan kebersamaan, seperti tertawa bersama
sebagai bagian dari rekreasi, melestarikan sosial budaya dan
menambah hubungan pertemanan (Harris, et al., 2007;Pericleous,

47

2011). Tidak jarang terapis Dance/Movement Therapy banyak


mendapatkan riwayat terjadinya penyakit baik fisik maupun mental
dari individu tersebut karena hubungan interpersonal yang terjalin
3.

diantara mereka (Pericleous, 2011).


Sebagai Bentuk Alternatif Olahraga
Dancing (menari) dapat menjadi bentuk alternatif olahraga.
Bahkan sebuah studi oleh Earhart (2009) menyebutkan bahwa dance
therapy dapat menjadi bentuk alternatif bagi seseorang dengan
Parkinson. Dance therapy dapat menjadi salah satu bentuk olahraga
aerobik seperti berjalan di atas treadmill, bersepeda, dll. Dengan irama
yang bersemangat, seseorang dapat menggerakkan dan mengangkat
kaki dan tangan secara ritmis dan bergantian, melatih keseimbangan,
kekuatan kaki dan tangan, serta fleksibilitas, selain itu menari juga
dapat memberikan efek yang baik bagi fungsi kardiovaskular (Earhart,
2009).

4.

Sebagai

Sarana

Meningkatkan

Fungsi

Kognitif
Sebuah studi oleh Kattenstroth, et al., (2010) pernah dilakukan
terhadap lansia berusia 65-84 tahun, bahwa lansia yang pada masa
mudanya memiliki riwayat berolahraga dan rutin menari memiliki skor
fungsi kognitif yang lebih tinggi dibandingkan yang jarang berolahraga
dan menari pada masa mudanya. Menari dapat menjadi sarana untuk
meningkatkan fungsi kognitif karena menari menjadi suatu aktifitas
fisik yang holistik. Pada saat menari seorang individu melakukan

48

aktifitas fisik, koordinasi antara motorik dan sensorik, keseimbangan,


melatih memori gerakan bersama dengan musik, ekspresi, emosi dll.
yang dapat melatih seseorang untuk melakukan koordinasi hal-hal
tersebut dalam otaknya, sehingga dapat meningkatkan fungsi kognitif
(Kattenstroth, et al., 2010).
d. Dance/Movement Therapy Bagi Insomnia
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa
Dance/Movement Therapy dapat menjadi bentuk alternatif olahraga
bahkan sebagai olahraga aerobik karena melatih gerakan kaki dan tangan
secara ritmis (Earhart, 2009). Hal inilah yang dimanfaatkan dari
Dance/Movement Therapy sebagai bentuk aktifitas fisik atau olahraga
bagi penderita insomnia.
Dalam sebuah studi tentang terapi non farmakologi bagi
insomnia, disebutkan bahwa aktifitas fisik seperti latihan aerobik dengan
intensitas sedang dapat menjadi intervensi yang efektif bagi penderita
insomnia (Giselle, et al., 2012). Menurut Giselle et al., (2012), latihan
akut akan memberikan efek termogenik, penurunan ansietas, dan
peningkatan kadar serotonin. Sedangkan pada latihan yang lama akan
memberikan efek antidepressant, penurunan ansietas, dan peningkatan
imunitas.
1.

Efek Termogenik
Salah satu penyebab insomnia pada seseorang adalah

kegagalan tubuh untuk menurunkan suhu tubuh sesaat sebelum tidur.


Untuk dapat memasuki tidur dan mempertahankan tidur secara normal,

49

sesaat sebelum tidur hormon melatonin diproduksi untuk menurunkan


suhu tubuh secara sedikit demi sedikit dengan cara menaikkan aliran
darah menuju kulit atau perifer kemudian panas dihantarkan menuju
lingkungkan sekitar(Guyton, 2008;Rahayu, 2009;Giselle, et al., 2012).
Regulasi suhu tubuh ini diatur oleh nucleus suprachiasmatic
yang mengatur stimulasi dan inhibisi hormon pengatur suhu tubuh
seperti kortisol, growth hormon, dan hormon melatonin. Sedangkan
pada lansia telah didapatkan menurunnya produksi hormon melatonin
sehingga sering terjadi insomnia (Guyton, 2008;Rahayu, 2009;Giselle,
et al., 2012).
Untuk mengatasi kegagalan tubuh meregulasi suhu tubuh
sesaat sebelum tidur, latihan aerobik dengan intensitas sedang seperti
dancing therapy dapat menjadi alternatif terapi. Latihan aerobik akan
meningkatkan
hipotalamus

suhu
untuk

tubuh

pusat

melakukan

sehingga
pendinginan

akan

merangsang

sebagai

bentuk

homeostasis tubuh dengan menaikkan aliran darah menuju kulit atau


perifer seperti tangan, kaki, wajah dan menghantarkan panas tersebut
2.

ke lingkungan sekitar (Giselle, et al., 2012).


Penurunan Ansietas
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Giselle pada 2010
dikatakan bahwa latihan fisik akut selain dapat meningkatkan kualitas
tidur pada orang dengan insomnia kronik juga dapat menurunkan
kecemasan sebelum tidur (anxiety pre-sleep). Akan tetapi mekanisme
bagaimana latihan fisik ini dapat menurunkan ansietas belum diketahui

50

secara jelas sehingga memerlukan penelitian yang lebih jauh lagi


(Giselle, et al., 2010).
3.

Peningkatan Kadar Serotonin


Serotonin adalah salah satu neurotransmitter yang diproduksi
oleh ujung serabut nuclei rafe untuk merangsang daerah otak tertentu
untuk menimbulkan keadaan tidur (Guyton, 2008). Insomnia terjadi
karena adanya defisit produksi serotonin. Menurut Chauloff (1997 cit
Giselle et al., 2012) dengan studinya berjudul Effect of Acute Physical
Exercise in Serotonergic System latihan fisik akut dapat meningkatkan
konsentrasi serotonin otak melalui dua cara, yang pertama adalah
lipolisis.
Pada saat lipolisis, terjadi pelepasan asam lemak bebas (free
fatty acid) di dalam darah yang akan menggantikan ikatan antara asam
amino esensial triptofan dengan albumin. Sehingga terjadilah
peningkatan konsentrasi triptofan bebas dalam darah. Yang kedua,
triptofan bebas ini memasuki sawar darah otak dengan cara
berkompetisi dengan asam amino esensial yang lain. Dan selanjutnya
triptofan ini akan mengalami proses biosintesis dan menjadi serotonin

4.

(5HT).
Memberikan Efek Antidepresan
Obat antidepresan selain bekerja pada sistem saraf pusat juga
bekerja sebagai muscle relaxant sehingga memberi efek penurunan
pada fase REM. Dan latihan akut juga telah dibuktikan dapat
mengurangi fase REM sehingga dapat memberikan efek antidepresan.

51

(Giselle, et al., 2012). Namun mekanisme latihan akut menyebabkan


efek antidepresan masih membutuhkan penelitian yang lebih jauh,
kesimpulan yang mungkin dapat diambil, latihan fisik seperti dance
therapy, bersepeda, berjalan adalah sebuah bentuk olahraga sehingga
meningkatkan efek relaksasi otot. Efek antidepresan semakin
meningkat baik apabila dilakukan latihan fisik jangka panjang.
e. Durasi dan Intensitas Dance/Movement Therapy
Beberapa studi menyebutkan bermacam-macam untuk durasi
Dance/Movement Therapy. Namun banyak studi menyebutkan kegiatan
ini dapat dilakukan dengan kisaran 30-60 menit atau 60-90 menit di setiap
kegiatannya (Earhart, 2009;Pinniger, et al., 2012)

52

f. Gerakan Dance/Movement Therapy


Terdapat beberapa analisa dalam pembuatan

gerakan

Dance/Movement Therapy menurut Laban, yang disebut Laban


Movement Analysis. Setiap gerakan dianalisa berdasarkan kategorik yang
terdiri dari 3 elemen : berat ringan, langsung tidak langsung,
mendadak tidak mendadak.
1)

Gerakan mengapung terdiri dari elemen ringan, tidak langsung,

2)

bertahap, contoh : gerakan mengapung seperti bulu.


Gerakan mendorong terdiri dari elemen berat, langsung, mendadak,

contoh : gerakan mendorong seperti permainan sepak bola.


3)
Gerakan meremas terdiri dari elemen berat, tidak langsung,
4)

bertahap, contoh : gerakan seperti menggiling adonan.


Gerakan menekan terdiri atas elemen berat, langsung, bertahap,

contoh : gerakan menekan tombol (Siahaan, 2011).


Selain itu gerakan dan musik juga bisa disesuaikan dengan sosial budaya
setempat agar peserta lebih mudah beradaptasi dengan gerakan dalam
pelaksanaannya (Harris, et al., 2007).
7. Lagu Dolanan Jawa
a. Pengertian Lagu Dolanan Jawa
Lagu dolanan jawa adalah bentuk seni sastra tradisional atau
nyanyian rakyat dengan suatu irama tertentu yang dinyanyikan oleh
sekelompok anak-anak. Lagu dolanan ini biasa dinyanyikan dengan
bermain-main atau pada suatu permainan daerah tertentu. Setiap lagu

53

dolanan memiliki maksud tertentu atau memiliki lirik-lirik atau syair


indah yang memiliki makna (Fuadhiyah, 2011).
Menurut Rahardjo, lagu dolanan adalah lagu yang biasanya
dinyanyikan oleh anak-anak Jawa baik dengan gerak maupun tidak.
Sering diiringi musik atau gerakan sehingga akan lebih menyenangkan
(Ardiyanti, 2003).
b. Macam Lagu Dolanan Jawa
Setiap daerah di Indonesia memiliki berbagai macam lagu
dolanan, contohnya di Jawa Tengah yang memiliki hampir seratus lebih
judul lagu dolanan jawa. Macam lagu dolanan Jawa diantaranya adalah
Cublak-Cublak Suweng, Gundhul-Gundhul Pacul, Menthok-Menthok,
Sluku-Sluku Bathok, Jamuran, Padhang Bulan, Jaranan dll. (Fuadhiyah,
2011).

54

B.

Kerangka Konsep

Dukungan Keluarga
Dance/Movement
Therapy dengan Lagu
Dolanan Jawa

Efek termogenik
Menurunkan ansietas

Skor insomnia
lansia pasca bencana

Menaikkan serotonin
Efek antidepressan

Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel antara
: Variabel pengganggu
: Arah hubungan
C.

Hipotesis
Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa efektif dalam
menurunkan skor insomnia pada lansia pasca bencana.

55

BAB III
METODE PENELITIAN

A.

Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasy Experiment
dengan rancangan pretest-posttest with control group design, yaitu rancangan
untuk mencari hubungan sebab akibat dengan melibatkan 2 kelompok, yaitu
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (Nursalam, 2008).
Kelompok

Pre-test

Intervensi

Post-test

R1

O1

O2

R2

O3

O4

Keterangan :
R1
= kelompok perlakuan.
R2
= kelompok kontrol.
X
= diberikan perlakuan.
= tidak diberikan perlakuan.
O1
= skor insomnia lansia kelompok perlakuan sebelum dilakukan
O2

D.
1.

intervensi Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa.


= skor insomnia lansia kelompok perlakuan setelah dilakukan

intervensi Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa.


O3
= skor insomnia lansia kelompok kontrol.
O4
= skor insomnia lansia kelompok kontrol tanpa diberikan perlakuan.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah lansia pasca
bencana erupsi merapi yang tinggal di huntap (hunian tetap) Desa Kepuharjo,

2.

Cangkringan, Sleman, Yogyakarta sebanyak 408 lansia.


Sampel

56

Sampel dalam penelitian ini adalah lansia pasca bencana di Dusun


Petung sebagai kelompok perlakuan dan lansia pasca bencana di Dusun
Jambu sebagai kelompok kontrol. Perkiraan besar sampel merujuk pada uji
hipotesis beda rata-rata berpasangan (rumus analitis numerik berpasangan)
menurut Dahlan (2010).

N=
Keterangan :
Z

= deviat baku alfa.

= deviat baku beta.

= simpang baku dari selisih nilai antar kelompok.

X1-X2 = selisih minimal rerata yang dianggap bermakn


Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis satu arah, sehingga Z =
1,64. Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10%, maka Z = 1,28.
Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa ;
X1-X2 = 3,00
S (Simpangan baku) = 3,26

N=

57

N=

N=

N = 10,06 orang = 10 orang


Menurut Dempsey (2002) sampel sebesar 30 atau lebih sudah
dianggap mewakili keakuratan populasi atau dengan kata lain representatif
untuk dianalisis. Besar sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 67 orang
lansia, yaitu 36 orang lansia sebagai kelompok perlakuan dari Dusun Petung
dan 31 orang lansia sebagai kelompok kontrol dari Dusun Jambu.
Teknik sampling yang peneliti gunakan adalah teknik purposive
sampling. Dimana suatu penetapan sampel dipilih dengan cara memilih
sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti atau
memenuhi kriteria inklusi, sehingga sampel tersebut dapat mewakili
karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008).
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi subjek penlitian dalam
kriteria-kriteria berikut :
Kriteria inklusi :
1) Lansia pria dan wanita (usia 60 tahun).
2) Bersedia menjadi responden dalam penelitian.
3) Komunikasi verbal baik supaya mempermudah peneliti untuk bertanya
atau berkomunikasi

58

4) Lansia yang menetap di Dusun Petung dan Dusun Jambu, Desa

E.

Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.


Kriteria eksklusi :
1) Gangguan jiwa berat.
2) Penyakit fisik berat atau terminal.
3) Menggunakan obat penenang atau obat tidur.
Kriteria drop out :
Tidak mengikuti kegiatan / intervensi lebih dari sekali.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di hunian tetap Dusun Petung dan Dusun Jambu,
Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

F.

Penelitian ini dilakukan pada bulan April Agustus 2013.


Variabel dan Definisi Operasional
3. Variabel Penelitian
a) Variabel Bebas
: Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa.
b)
Variabel Antara
: Efek termogenik,
menurunkan ansietas, meningkatnya

level

serotonin, efek antidepresan.


c) Variabel Terikat
: Skor insomnia lansia pasca bencana.
d) Variabel Pengganggu : Dukungan keluarga.
4. Definisi Operasional
a) Lansia menurut UU No.13 Tahun 1998 adalah seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih. Dalam hal ini lansia yang dimaksud adalah lansia pasca
bencana berusia 60 tahun atau lebih yang tinggal di Desa Kepuharjo,
Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Skala yang digunakan adalah skala
nominal (lansia dengan diberi intervensi dan lansia tanpa diberi intervensi).
b) Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa adalah suatu kegiatan
menari dengan diiringi lagu dolanan jawa. Gerakan menari untuk kegiatan
ini dibuat oleh peneliti berdasarkan referensi dan jurnal ilmiah. Terapi ini
dimaksudkan sebagai salah satu bentuk olahraga atau aktifitas fisik yang

59

menyeluruh (tidak hanya mengambil unsur aktifitas fisik namun juga sebagai
sarana rekreasi dan membangun hubungan interpersonal). Terapi ini
dilakukan dengan durasi selama 60 menit dilakukan sekali dalam seminggu
dengan 4 sesi pertemuan. Dance/Movement Therapy ini menggunakan
iringan lagu dolanan jawa dengan maksud disesuaikan dengan latar belakang
budaya lansia setempat sehingga mudah beradaptasi dan lebih menyatu
dengan lagu iringan tersebut saat menari. Lagu dolanan jawa yang
digunakan iringan adalah Cublak-Cublak Suweng, Dondong Opo Salak,
c)

Gundhul-Gundul Pacul, Kodok Ngorek, Sluku-Sluku Bathok, dll.


Insomnia adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan
memulai

atau

mempertahankan

tidur

atau

ketidakmampuan

untuk

mendapatkan tidur yang adekuat baik secara kuantitas maupun kualitas


(Kaplan, 2010). Pengukuran skor insomnia diukur dengan menggunakan
kuesioner KSPBJ (Kelompok Studi Psikologi Biologi Jakarta) Insomnia
Rating Scale dengan interpretasi skor 3 untuk gejala berat, skor 2 untuk
gejala sedang, skor 1 untuk gejala ringan dan skor nol untuk tanpa gejala.
Pengukuran dilakukan dua kali yaitu saat pre-test dan post-test pada
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Skala yang digunakan adalah
skala numerik (skor insomnia).
G.

Instrumen Penelitian
5. Kuesioner Data Diri Responden
Kuesioner data diri responden sebagai data dasar atau data primer
mengenai keadaan responden meliputi ; nama, alamat, jenis kelamin, usia,

60

agama, pendidikan, pekerjaan (sebelum dan sesudah bencana), aktivitas saat


ini, kehilangan apa saja saat bencana (harta, keluarga,ternak), riwayat
penyakit dahulu, penyakit yang diderita saat ini, obat yang diminum saat ini.
6. Alat Pengukuran Skor Insomnia
Pengukuran skor insomnia diukur dengan menggunakan KSPBJ
(Kelompok Studi Psikologi Biologi Jakarta) Insomnia

Rating Scale.

Kuesioner ini terdiri dari delapan pertanyaan, dimana masing-masing


kelompok pertanyaan dirinci kembali menjadi pilihan untuk gejala-gejala
yang lebih spesifik yang dapat digunakan sebagai skoring setiap gejala
insomnia.
Masing-masing pertanyaan diberi penilaian angka atau skor 0-3 yaitu
skor 0 untuk tanpa gejala, skor 1 untuk gejala ringan, skor 2 untuk gejala
sedang, dan skor 3 untuk gejala berat. Jika semua skor dari delapan
pertanyaan tersebut dijumlahkan maka akan menjadi total skor sebuah

7.

interpretasi derajat insomnia yaitu sebagai berikut :


0-8
= Normal
9-12
= insomnia ringan
13-18
= insomnia sedang
>18
= insomnia berat
Media
a) Modul tertulis dan video Dance/Movement Therapy yang dibuat oleh
peneliti sebagai panduan bagi kader lansia.
b) Sound system dan laptop untuk memutar lagu dolanan jawa.

61

H.

Cara Pengambilan Data

Lansia Desa Kepuharjo


sebanyak 408 lansia
Lansia Dusun Jambu sesuai
Lansia Dusun Petung sesuai
kriteria inklusi 31 orang
kriteria inklusi 36 orang
Kelompok Kontrol
Kelompok Perlakuan
Informed consent dan Penilaian skor insomnia sebelum
intervensi dengan KSPBJ IRS
Dilakukan intervensi
Dance/Movement Therapy sekali
dalam seminggu selama 1 bulan
Penilaian
skor insomnia
setelah
pada kelompok
perlakuan
intervensi dengan KSPBJ IRS

( Pre-Test)

Tidak dilakukan
intervensi pada kelompok
kontrol
Penilaian skor insomnia
dengan KSPBJ IRS

( Post-Test)
( Post-Test)
Analisis data skor insomnia pre dan post test
(HASIL)
G. Uji Validitas dan Reabilitas
Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dari KSPBJ (Kelompok
Studi Psikologi Jakarta) Insomnia Rating Scale yang telah baku. Kuesioner ini
telah diuji validitas dan reabilitas dengan hasil yang tinggi, baik antar psikiater
dengan psikiater (r = 0,95) maupun antar psikiater dengn dokter non psikiater (r =
0,94) sehingga kuesioner ini dapat menilai insomnia secara subyektif dengan hasil
penilaian yang objektif (Suryo, 2003 cit Noviani, 2009).
Uji validitas modul tertulis dan video CD Dance/Movement Therapy
dengan lagu dolanan jawa telah divalidasi oleh pakar. Modul tertulis dan video CD

62

berisi langkah-langkah gerakan yang terdiri dari tiga tahap gerakan yaitu Step I, II,
dan III (modul terlampir).
H. Metode Analisa Data
Data yang diperoleh dari penilaian skor insomnia dengan menggunakan
KSPBJ Insomnia Rating Scale dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi Dance/Movement Therapy diuji dengan
analisis univarat dan bivariat
a) Analisis Univarat
Uji distribusi normalitas data dengan menggunakan uji SaphiroWilk untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak. Dipilih uji
Shapiro-Wilk karena sampel berjumlah 50. Data terdistribusi normal apabila
p>0,05. Analisis data karakteristik responden dinyatakan dengan frekuensi
dan

persentase

karakteristik

demografi

subjek,

sehingga

gambaran

karakteristik responden dinyatakan dalam mean, modus, dan median.


b) Analisis Bivarat
Analisis ini digunakan untuk menganalisis data pre-test dan post-test
skor insomnia pada kelompok kontrol dan perlakuan. Apabila data
terdistribusi normal maka perbedaan skor insomnia pada masing-masing
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol akan diuji dengan Paired Sample
T-test, apabila data terdistribusi tidak normal maka akan dilakukan uji statistik
non parametrik Wilcoxon test. Kemudian untuk membandingkan skor

63

insomnia pre-test dan post-test antara kelompok perlakuan dan kelompok


kontrol akan diuji dengan Independent Sample T-test bila data terdistribusi
normal dan diuji dengan Mann-Whitney Test bila data tidak terdistribusi
normal. Pada hasil akhir akan didapatkan nilai signifikansi. Bila sig < 0,05
maka Ho ditolak dan H1 diterima, bila sig > 0,05 maka Ho diterima dan H1
ditolak.
I. Etika Penelitian

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan beberapa prinsip pertimbangan


etik menurut Nursalam (2008) yaitu :
1. Penelitian ini melindungi hak responden dengan cara merahasiakan identitas
responden agar tidak diketahui oleh orang lain dan hanya diketahui peneliti
saja (confidentially).
2. Responden mengisi

lembar

persetujuan

(informed

consent)

untuk

membuktikan kepada responden bahwa peneliti akan melindungi hak-hak


responden dan tidak akan menimbulkan hal atau efek negatif terhadap
responden (respect human dignity).
3. Pada penelitian ini, peneliti tidak hanya memberikan terapi kepada kelompok
perlakuan saja, tetapi kelompok kontrol juga diberikan terapi yang sama
dengan cara yang sama setelah penelitian selesai dilakukan agar mendapatkan
manfaat yang sama bagi penanganan insomnianya.

64

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
8. Gambaran Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di hunian tetap Dusun Petung dan Dusun
Jambu, Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta. Hunian tetap merupakan bangunan tetap bantuan dari pemerintah
bagi warga di lereng Gunung Merapi yang tempat tinggalnya terkena bencana
erupsi. Hunian tetap ini telah dihuni oleh warga sejak Agustus 2012.
Kelurahan atau Desa Kepuharjo terdiri dari 8 dusun yaitu Dusun
Kaliadem, Jambu, Petung, Kopeng, Batur, Pagerjurang, Kepuh, dan Manggong.
Keseluruhan jumlah penduduk Kelurahan Kepuharjo adalah 2817 jiwa dengan
902 kepala keluarga, 1384 pria, 1433 wanita dan 408 diantaranya adalah lansia.
Dari 8 dusun tersebut, yang menjadi tempat penelitian kami adalah Dusun
Petung dan Dusun Jambu. Dusun Petung berjumlah 102 kepala keluarga
dengan 36 lansia. Dusun Jambu berjumlah 102 kepala keluarga dengan 31
lansia.
Desa Kepuharjo dilalui Sungai Gendol di sebelah timur. Setiap musim
penghujan pasir dan batu dari puncak Merapi terbawa oleh banjir menuju ke
sungai ini. Dengan kondisi demikian pemerintah Desa Kepuharjo bekerja sama
dengan relawan sekitar untuk memberikan peringatan dini ketika datang banjir
terutama kepada penambang dan warga yang beraktifitas di sekitar Sungai
Gendol.

65

Hunian tetap Dusun Petung dan Jambu, Desa Kepuharjo berlokasi 11


km dari Gunung Merapi. Dilihat dari lokasi dusun tersebut yang cukup dekat
dengan Gunung Merapi, maka daerah ini merupakan daerah rawan bencana
terutama erupsi Gunung Merapi. Selain daerah rawan bencana, daerah tersebut
juga merupakan salah satu daerah yang cukup parah pasca bencana erupsi
Gunung Merapi 26 November 2010.
Beberapa permasalahan timbul pada daerah rawan bencana maupun
pasca bencana erupsi Gunung Merapi tersebut diantaranya adalah masalah
ekonomi berupa kerugian materiil seperti kehilangan harta benda, ternak,
pekerjaan. Selain itu, masalah kesehatan seperti penyakit fisik yang berkaitan
dengan erupsi yaitu ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan psikologis
diantaranya meningkatnya kecemasan, depresi, insomnia, menurunnya fungsi
kognitif, kepercayaan diri, dan harga diri juga memberikan dampak yang buruk
bagi warga di daerah tersebut.
9. Gambaran Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini berjumlah 52 lansia yang berasal dari
dua dusun yaitu 27 lansia sebagai kelompok perlakuan dari Dusun Petung dan
25 lansia sebagai kelompok kontrol dari Dusun Jambu, Kelurahan Kepuharjo,
Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta. Lansia di Dusun Petung sebagai
kelompok perlakuan yang memenuhi kriteria adalah 36 lansia. Lansia yang
mengalami drop out sebanyak 9 lansia sehingga menjadi 27 lansia karena
ketidakhadiran pada saat intervensi lebih dari satu kali pertemuan dan posttest
yang diadakan.

66

Sedangkan jumlah lansia di Dusun Jambu sebagai kelompok kontrol


yang memenuhi kriteria adalah 31 lansia. Lansia yang mengalami drop out
sebanyak 6 lansia sehingga menjadi 25 lansia karena ketidakhadiran pada saat
posttest diadakan.
Hasil karakteristik responden dalam penelitian ini digunakan untuk
mengetahui gambaran karakteristik responden penelitian berdasarkan usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, status tinggal
bersama keluarga atau sendiri, dan status riwayat adanya penyakit fisik yang
menyertai atau tidak. Adapun karakteristik responden dari kedua kelompok
sebagai berikut ;
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Dusun Petung (n=27)
dan Dusun Jambu (n=25), Kepuharjo, Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta (Maret, 2013)

Karakteristik
1. Usia
60-74 tahun
75-90 tahun
2. Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
3. Pendidikan
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMEA

Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol

P value

17
10

63,0
37,0

19
6

76,0
24,0

0
27

0
100,0

5
20

20,0
80,0

0,05

17
9
0
1

63,0
33,3
0
37

17
8
0
0

68,0
32,0
0
0

0,612

0,309

67

4. Pekerjaan
Tidak bekerja
Petani
Pedagang
5. Status
Pernikahan
Menikah
Cerai meninggal
6. Tinggal
Bersama
Keluarga
Sendiri
7. Status Penyakit
Sehat
Punya Sakit

11
15
1

40,7
55,6
3,7

1
22
2

4,0
88,0
8,0

10
17

37,0
63,0

10
15

40,0
60,0

20
7

74,1
25,9

16
9

64,0
36,0

0,432

18
9

66,7
33,3

15
10

60
40

0,618

0,007

0,826

Sumber : Data Primer yang diolah


Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa responden pada
kelompok perlakuan dan kontrol sebagian besar berusia 60-74 tahun yaitu 17
orang (63%) pada kelompok intervensi dan 19 orang (76%) pada kelompok
kontrol. Karakteristik jenis kelamin didominasi oleh lansia perempuan, pada
kelompok perlakuan adalah 27 orang (100%) dan 20 orang (80%) pada
kelompok kontrol. Sedangkan untuk karakteristik pendidikan, kedua kelompok
responden mayoritas tidak bersekolah dengan persentase rata-rata kedua
kelompok adalah 65,5%.
Untuk karakteristik pekerjaan, responden kedua kelompok sebagian
besar bekerja sebagai petani dengan persentase rata-rata kedua kelompok

68

adalah 71,8% dan yang kedua adalah tidak bekerja dengan persentase rata-rata
kedua kelompok 22,35%. Status pernikahan kedua kelompok responden
sebagian besar adalah cerai meninggal dengan rata-rata persentase kedua
kelompok 61,5%.
Mengenai status tinggal bersama, kedua kelompok responden sebagian
besar tinggal bersama keluarga dengan rata-rata persentase kedua kelompok
sebesar 69,05%. Berdasarkan status sakit kedua kelompok responden sebagian
besar memiliki status sehat dengan persentase rata-rata kedua kelompok adalah
63,35%. Sedangkan untuk status sakit persentase rata-rata kedua kelompok
adalah 36,65%.
Uji homogenitas pada tabel diatas menunjukan bahwa karakteristik
responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol didapatkan nilai p>0,05.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa karakteristik responden pada kedua
kelompok tidak ada perbedaan yang bermakna atau homogen pada semua poin
karakteristik responden kecuali pada karakteristik pekerjaan didapatkan nilai
p=0,007 yang berarti terdapat perbedaan atau tidak homogen.

69

10. Gambaran Derajat Insomnia Pada Lansia


Berikut adalah gambaran derajat insomnia pada lansia berdasarkan
hasil dari pengisian kuesioner KSPBJ (Kelompok Studi Psikologi Biologi
Jakarta) Insomnia Rating Scale dari 52 responden yang berisi delapan
pertanyaan terkait dengan gejala dan derajat insomnia baik sebelum dan setelah
dilakukan intervensi pada kelompok perlakuan dan hasil pengisian kuesioner
pada kelompok kontrol dengan tidak diberikan perlakuan.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Derajat Insomnia Pre-test dan Post-test pada
Responden Lansia Kelompok Perlakuan (n=27, Maret-Mei, 2013)
Derajat Insomnia

Normal
Ringan
Sedang

Pre test
N

13

48,1

27

100,0

25,9
7

Berat
Total

Post-test

27

25,9

100,0

27

100,0

Sumber : Data Primer


Tabel 2 menunjukkan bahwa responden kelompok perlakuan saat
dilakukan pengukuran awal sebelum intervensi didapatkan jumlah terbanyak
pada derajat insomnia normal yaitu 13 lansia (48%), kemudian ringan dan
sedang masing-masing (25,9%). Setelah dilakukan intervensi Dance
Movement Therapy selama 1 bulan dengan 4 kali pertemuan dan dilakukan
pengukuran kembali didapatkan peningkatan jumlah responden pada derajat

70

insomnia normal menjadi 27 lansia (100%), dengan demikian derajat


insomnia ringan dan sedang yang dialami lansia menunjukkan penurunan
menjadi 0%.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Derajat Insomnia Pre-test dan Post-test pada
Responden Lansia Kelompok Kontrol (n=25, Maret-Mei, 2013)
Derajat Insomnia

Normal
Ringan

Pre test

Post-test

36,0

24,0

14

56,0

20,0

25

100,0

10

Sedang

Berat

Total

25

40,0
24,0
100,0

Sumber : Data Primer


Tabel 3 menunjukkan bahwa responden kelompok kontrol saat
dilakukan pengukuran awal (pre-test) menunjukkan jumlah dan persentase
tertinggi pada derajat insomnia ringan yaitu berjumlah 10 lansia (40%). Pada
kelompok kontrol tidak dilakukan intervensi kemudian dilakukan pengukuran
kembali 1 bulan berikutnya didapatkan hasil yaitu jumlah dan persentase
tertinggi juga pada derajat insomnia ringan yaitu berjumlah 14 lansia (56%).
Hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah dan persentase derajat
insomnia ringan yang dialami lansia. Jumlah dan persentase responden normal
mengalami penurunan karena yang tadinya memiliki derajat insomnia normal
menjadi meningkat menuju derajat insomnia ringan.

71

11. Pengaruh Pemberian Dance Movement Therapy Terhadap Skor Insomnia


Pada Lansia Dusun Petung dan Dusun Jambu, Kelurahan Kepuharjo,
Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Hasil penelitian ini menggambarkan perbandingan antara terapi
insomnia pre-test dan post-test pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol yang ditunjukkan dalam tabel berikut;
Tabel 4. Hasil Analisa Independent Sample T Test Skor Pre-test Insomnia
Responden Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
( n=52, Maret-Mei, 2013)
SKOR
Mean
F
Pre-test
Pre-test
Perlakuan
8,85
1,324
Kontrol
9,92
Sumber : Data primer diolah

Sig

P Value

0,255

-0,896

0,375

Uji beda skor insomnia pre-test antara kelompok perlakuan dan


kelompok kontrol dilakukan untuk melihat perbedaan dari skor insomnia pretest antara kelompok perlakuan yang sebelum diberikan intervensi Dance
Movement Therapy selama 1 bulan dengan 4 kali pertemuan dengan skor
insomnia kelompok kontrol. Dari hasil uji beda Independent Sample T-Test
didapatkan mean skor pre-test insomnia tertinggi adalah pada kelompok
kontrol. Nilai signifikansi yaitu 0,375 (p>0,05) menunjukkan tidak ada
perbedaan bermakna antara skor pre-test insomnia kelompok perlakuan
sebelum diintervensi dengan kelompok kontrol.
Tabel 5.Hasil Analisa Mann Whitney Test Skor Post-test Insomnia Responden
Lansia Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
( n=52, Maret-Mei, 2013)
SKOR

Mean

Sig.

72

Post-test

Posttest

(2-tailed)

Perlakuan
3,85
0,000
Kontrol
9,60
Sumber : Data primer diolah
Uji beda skor post-test insomnia antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol dilakukan untuk melihat perbedaan dari skor post-test
insomnia antara kelompok perlakuan yang setelah diberikan intervensi Dance
Movement Therapy selama 1 bulan dengan 4 kali pertemuan dengan skor
insomnia kelompok kontrol. Dari hasil uji beda Mann Whitney Test
didapatkan mean skor post-test insomnia tertinggi adalah pada kelompok
kontrol sedangkan pada kelompok perlakuan mengalami penurunan. Nilai
signifikansi yaitu 0,000 (p<0,05). menunjukkan perbedaan bermakna antara
skor post-test insomnia kelompok perlakuan setelah diberikan intervensi
Dance/Movement Therapy dengan kelompok kontrol.

73

Tabel 6. Hasil Analisa Perbedaan Rerata Skor Pre-test dan Post-test Insomnia
Responden Lansia Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Hasil Analisis Wilcoxon Signed Rank Test
Kelompok

Keterangan

MeanSD

Perlakuan

Pre test
Post test

27
27

8,854,8
3,851,4

Kontrol

Pre test
Post test

25
25

9,923,8
9,603,1

Sig.
(2tailed)
0,000

0,657

Sumber : Data primer diolah


Uji beda skor insomnia pre-test dan post-test pada kelompok
perlakuan dilakukan untuk melihat perubahan skor insomnia sebagai efek dari
pemberian perlakuan Dance/Movement Therapy selama 1 bulan dengan 4 kali
pertemuan berturut-turut. Dari hasil uji beda Wilcoxon Signed Rank Test
didapatkan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). Nilai tersebut menunjukkan
perbedaan yang bermakna pada skor insomnia sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi pada kelompok perlakuan. Sehingga dapat disimpulkan terjadi
penurunan skor insomnia sebelum dan sesudah dilakukan Dance/Movement
Therapy pada kelompok perlakuan.
Sedangkan pada kelompok kontrol, dari hasil uji beda Wilcoxon
Signed Rank Test didapatkan nilai signifikansi 0,657 (p>0,05). Nilai tersebut
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor insomnia

74

awal dan akhir pada kelompok kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak terjadi penurunan skor insomnia pada responden kelompok kontrol.
Tabel 7. Hasil Uji Beda Independent Sample T-Test Selisih Skor Insomnia
Pre-test dan Post-test pada Responden Lansia Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol ( n=52, Maret-Mei, 2013)
Selisih Skor
Mean
F
Sig
T
P Value
Pretest &
Selisih
Posttest
skor
Perlakuan
4,92
0,001
0,970
3,386
0,001
Kontrol
0,80
Sumber : Data primer diolah
Uji beda selisih skor insomnia pre-test dan post-test antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol dilakukan untuk melihat apakah terdapat
perbedaan dari selisih skor insomnia antara kelompok perlakuan yang setelah
diberikan intervensi Dance Movement Therapy selama 1 bulan dengan 4 kali
pertemuan dengan skor insomnia kelompok kontrol.
Tabel 7 menunjukkan bahwa dari uji beda menggunakan Independent
Sample T-Test didapatkan mean selisih skor pre-test dan post-test insomnia
tertinggi adalah pada kelompok perlakuan yang menunjukkan bahwa terdapat
penurunan sekitar 5 skor insomnia pada kelompok perlakuan. Nilai signifikansi
yaitu 0,001 (p<0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna pada selisih skor pre-test dan post-test antara kelompok perlakuan
setelah diberikan intervensi Dance/Movement Therapy dengan kelompok
kontrol.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden

75

Dalam penelitian ini terdapat beberapa karakteristik responden yang


kami ambil datanya diantaranya adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pekerjaan, status pernikahan, status tinggal bersama keluarga atau sendiri, dan
status sehat atau sedang menderita sakit. Karakteristik-karakteristik tersebut
dapat memengaruhi ada atau tidaknya faktor resiko bagi setiap individu lansia
terhadap gangguan psikologis seperti depresi, insomnia, kecemasan, dan
penurunan fungsi kognitif.
Lansia mengalami perubahan pola tidur dibandingkan dengan orang
yang lebih muda karena proses menua secara fisiologik, perubahan irama
sirkadian, kondisi medis dengan penyakit tertentu, peningkatan konsumsi suatu
obat-obatan, gangguan psikiatri seperti depresi, kecemasan, serta perubahan
lingkungan dan gaya hidup (Roepke et al.,2010). Berdasarkan penelitian ini
dari 52 responden yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol, hasil penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa
sebagian besar responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berusia
60-74 tahun dengan rata-rata persentase 69,5%-70% responden.
Berdasarkan studi pada tahun 2010 menunjukkan bahwa lansia yang
berusia lebih dari 65 tahun mengalami gangguan tidur sebesar 42% bahkan
setelah tiga tahun kemudian diamati, lansia-lansia yang sebelumnya tidak
mengalami gangguan tidur menjadi mengalami gangguan tidur (Roepke, et al.,
2010). Hasil yang sama juga terdapat pada studi prevalensi insomnia di Yunani
pada tahun 2010, dimana lansia yang berusia lebih dari 65 tahun mempunyai
persentase mengalami insomnia sebesar 55% (Paparrigopoulos, et al., 2010).

76

Faktor usia menua yang memasuki proses degeneratif memengaruhi


faktor hormonal berkurangnya produksi hormon melatonin yang dihasilkan
oleh glandula pineal dan berkurangnya produksi estrogen terutama pada wanita
menopause. Hal ini dapat menurunkan efisiensi tidur dan kejadian gangguan
tidur irama sirkadian (Roepke, et al., 2010).
Sementara untuk jenis kelamin, berdasarkan penelitian ini dari
kelompok perlakuan dan kontrol mayoritas yang mengalami insomnia baik
ringan, sedang, dan berat adalah wanita dengan rata-rata persentase 90%. Hal
ini serupa dengan studi prevalensi insomnia di Yunani yaitu insomnia lebih
banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan persentase 30,9% vs 19,5%
(Paparrigopoulos, et al., 2010). Menurut Tjepkema (2005) insomnia lebih
banyak dialami oleh wanita karena adanya perubahan hormonal yang
berhubungan dengan saat menstruasi, kehamilan, saat menopause, dan secara
umum gangguan jiwa atau psikiatrik lebih banyak dialami oleh wanita.
Karakteristik mengenai tingkat pendidikan mayoritas responden
adalah tidak sekolah dengan rata-rata persentase 65,5%. Menurut Tao Xiang
(2008) pada studi mengenai faktor sosiodemografi terkait dengan insomnia di
China, seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah seperti
tidak pernah bersekolah atau hanya setara sekolah dasar mempunyai faktor
resiko untuk mengalami gangguan tidur terutama DIS (Difficulty Initiating
Sleep). Hal ini dapat dikaitkan dengan keterampilan seseorang dalam
menghadapi masalahnya.

77

Menurut Tamher dan Noorkasiani (2009) semakin tinggi tingkat


pendidikan seseorang maka semakin mudah dalam menghadapi masalah yang
terjadi. Sehingga dapat dipahami, apabila seseorang dengan pendidikan yang
rendah maka kemungkinan akan merasa sulit untuk menghadapi masalahnya
sehingga masalah tersebut dapat menjadikan sumber stress yang bisa
menimbulkan insomnia.
Selain mengenai kemampuan dalam menyelesaikan masalah,korelasi
tingkat pendidikan dengan penghasilan juga memengaruhi terjadinya sumber
masalah. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang rendah biasanya
mempunyai pekerjaan dengan penghasilan yang lebih sedikit dibandingkan
dengan seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi, sehingga
permasalahan finansial tersebut yang biasanya sering menjadikan sumber
masalah

atau

stress

(Tjepkema,2005).
Karakteristik

yang

responden

akhirnya
selanjutnya

berdampak

pada

adalah

pekerjaan.

insomnia
Dalam

penelitian ini mayoritas responden mempunyai pekerjaan sebagai petani


dengan rata-rata persentase 71,8% walaupun tidak sedikit juga yang tidak
bekerja dengan rata-rata persentase 22,4%. Menurut Tao Xiang (2008) selain
pendidikan yang rendah, orang yang tidak mempunyai pekerjaan juga
mempunyai faktor resiko mengalami DIS (Difficulty Iniating Sleep).
Berdasarkan studi mengenai faktor sosiodemografi dan stress terkait
insomnia di Kanada didapatkan bahwa kondisi tidak memiliki pekerjaan
mempunyai persentase sebesar 14,6% untuk menjadi sumber masalah dalam

78

hidup dan menyebabkan insomnia. Keadaan ini dapat dipahami berkaitan


dengan keadaan keuangan individu yang harus dipenuhi setiap waktu serta
eksistensi diri dalam hubungan sosial (Tjepkema, 2005). Bahkan menurut
Williams (2008) tidak mempunyai pekerjaan atau aktivitas akan menyebabkan
penurunan fungsi kognitif, menurunnya kepercayaan diri, dan kualitas hidup.
Karakteristik status pernikahan responden pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol memiliki persentase tertinggi pada status janda dengan
rata-rata persentase 61,5%. Status pernikahan dan sosioekonomi menjadi
salah satu faktor sosiodemografi yang penting untuk terjadinya insomnia.
Status janda karena meninggal dan karena perceraian mempunyai persentase
insomnia lebih tinggi daripada seseorang yang masih mempunyai pasangan
hidup (Paparrigopoulos, et al., 2010). Menurut Tjepkema (2005) dalam
sebuah survey di Kanada 22% janda dan 19% orang yang mengalami
perceraian memiliki masalah pada tidurnya dibandingkan pada orang yang
masih memiliki pasangan hidup yaitu 13%.
Sedangkan pada orang yang tidak atau belum menikah prevalensi
insomnia adalah 11%. Status pernikahan ini juga dapat dikaitkan dengan
kehilangan orang yang dicintai baik dengan kematian atau perpisahan dan hal
ini tidak hanya terjadi pada status pernikahan, kehilangan sanak saudara, anak,
orang tua juga dapat menjadi sumber stress yang menyebabkan insomnia.
Kehilangan orang yang dicintai mempunyai persentase prevalensi sebesar
24,6% mengalami insomnia (Tjepkema, 2005).

79

Karakteristik responden mengenai status tinggal bersama keluarga


atau sendiri, mayoritas responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
tinggal bersama keluarga dengan rata-rata persentase 69% sedangkan yang
tinggal sendiri adalah 31%. Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh lansia
secara umum dan terutama lansia pasca bencana untuk membantu menghadapi
masalah yang dihadapi dari segi kesehatan, kebutuhan keuangan, keamanan
diri, hubungan sosial dll.
Menurut Nugroho (2008) faktor sosial seperti kurangnya dukungan
sosial dari masyarakat sekitar dan keluarga dapat menyebabkan menurunnya
kualitas hidup dan gangguan tidur. Jika dilihat dari gambaran karakteristik
responden yang mayoritas

tinggal bersama dengan keluarga maka

menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga amat baik. Mayoritas lansia di


kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tinggal bersama dengan anak,
cucu, atau pasangannya.
Namun, tinggal bersama keluarga juga belum menjadi jaminan penuh
seorang lansia mendapat dukungan dari keluarga. Keluarga lansia tersebut
harus mampu menjalankan perannya sebagai seorang yang memotivasi dan
menjadi seorang teman bagi lansia tersebut. Selain keluarga, dukungan dari
masyarakat sekitar juga memengaruhi. Di Dusun Petung sebagai kelompok
perlakuan dan Dusun Jambu sebagai kelompok kontrol dukungan masyarakat
cukup baik karena mereka saling membantu dan saling mengunjungi satu
sama lain.

80

Karakteristik responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol


mengenai status kesehatan adalah mayoritas responden memiliki status sehat
dengan rata-rata persentase 63%, walaupun ada yang mempunyai status sakit
yaitu sebanyak 36,7%. Mayoritas penyakit yang diderita oleh lansia di
kelompok perlakuan dan kontrol ini adalah hipertensi, osteoarthritis, dan
rheumatoid arthritis yang merupakan penyakit degeneratif atau penyakit
karena proses menua secara fisiologis.
Penyakit yang diderita seperti infark miokard,gagal jantung kongestif,
diabetes mellitus, penyakit gangguan pernafasan, nyeri kronis seperti arthritis,
kanker seringkali dapat menimbulkan nyeri atau distress fisik yang dapat
mengganggu siklus tidur. Nyeri yang ditimbulkan ini dapat meningkatkan
frekuensi terbangun di malam hari atau rasa tidak nyaman sehingga sulit
untuk memulai tidur (Foley, et al., 2004).

Menurut Tjepkema (2005)

permasalahan kesehatan atau menderita sakit memiliki persentase prevalensi


insomnia sebesar 31,2%.
Insomnia tidak hanya terjadi pada seseorang yang mempunyai penyakit
tertentu, akan tetapi dapat dialami oleh care givers karena adanya rasa
kekhawatiran dan kewaspadaan setiap waktu untuk merawat anggota
keluarganya yang sakit. Hal ini memberikan kontribusi persentase prevalensi
2.

insomnia sebesar 14,4% (Tjepkema,2005).


Perbedaan Derajat Insomnia Pretest dan Posttest Pada Lansia Dusun
Petung dan Dusun Jambu, Kelurahan Kepuharjo, Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta.

81

Hasil penelitian dari responden Dusun Petung sebagai kelompok


perlakuan dan responden Dusun Jambu sebagai kelompok kontrol untuk
mengetahui derajat insomnia saat pre-test atau sebelum diberikan terapi DMT
(Dance Movement Therapy) diperoleh hasil bahwa pada kelompok perlakuan
derajat insomnia yang paling banyak adalah normal. Sedangkan pada
kelompok kontrol derajat insomnia yang paling banyak adalah derajat
insomnia normal dan ringan.
Mayoritas derajat insomnia normal dan ringan dari kedua kelompok
responden dapat dipengaruhi berbagai faktor diantaranya sebagian lansia yang
sehat di Dusun Petung dan Dusun Jambu sudah mulai beraktifitas dan bertani
walaupun dengan tempat yang lebih jauh dari sebelumnya. Dari segi tempat
tinggal, mulai Bulan Agustus 2012 warga di dusun-dusun tersebut sudah dapat
menempati hunian tetap dan hidup bersama dengan keluarga disertai desain
tempat tinggal yang lebih nyaman dan saling berdampingan dengan para
tetangga sehingga membuat dukungan sosial dari masyarakat dan keluarga
yang merasa senasib sepenanggungan membuat keadaan menjadi lebih baik
dari sebelumnya.
Selain itu di Kelurahan Kepuharjo tersebut telah rutin diadakan
puskesmas keliling yang meliputi posyandu lansia dan balita terdiri dari
pemeriksaan kesehatan seperti pengukuran tekanan darah, berat badan, dan
pemeriksaan dokter jika diperlukan. Selain pemeriksaan kesehatan fisik,
pembinaan psikologis juga dilakukan sejak pasca bencana oleh relawan dan

82

kader-kader lansia yang terdiri dari warga dusun tersebut, sehingga kesehatan
secara fisik dan psikologis lansia dapat meningkat dan menjadi lebih baik.
Walaupun mayoritas responden kelompok perlakuan dan kontrol
memiliki derajat insomnia normal dan ringan, namun ada juga sebagian lansia
dari kedua kelompok ini yang memiliki derajat insomnia sedang dengan skor
13 dan 14. Insomnia yang diderita oleh lansia ini dapat terjadi karena
beberapa faktor diantaranya adalah faktor usia atau degeneratif, seperti terlihat
dalam gambaran karakteristik bahwa seluruh responden berusia >65 tahun
dan berkorelasi dengan penurunan produksi hormone melatonin, estrogen
sehingga menyebabkan gangguan irama sirkadian tidur (Roepke, et al., 2010).
Kemudian karena usia yang sudah lanjut maka rawan untuk memiliki
berbagai penyakit seperti pada tabel karakteristik responden yaitu hipertensi,
osteoarthritis, rheumatoid arthritis. Penyakit yang diderita seperti penyakit
kardiovaskular,

penyakit-penyakit

yang

menimbulkan

nyeri

kronis

mengakibatkan ketidaknyamanan, sulit untuk memulai dan mempertahankan


tidur (Foley, et al., 2004).
Faktor sosiodemografi lain dari responden kedua kelompok yang dapat
menyebabkan insomnia diantaranya adalah jenis kelamin yang mayoritas
adalah wanita, janda, pendidikan yang rendah, dan sebagian ada yang tinggal
sendiri. Faktor lain yaitu sumber stress seperti anggota keluarga yang sakit,
dan kebutuhan finansial yang tidak baik seperti yang telah dibahas
sebelumnya

pada

pembahasan

karakteristik

menimbulkan insomnia (Tjepkema, 2005).

responden

juga

dapat

83

Karena derajat insomnia saat pre-test pada kedua kelompok responden


mayoritas adalah derajat insomnia normal dan ringan maka dapat disimpulkan
bahwa derajat insomnia lansia tersebut sudah cukup baik. Maka dari itu yang
peneliti ingin lakukan pada responden kelompok perlakuan adalah
memberikan terapi DMT dengan hipotesis dapat menurunkan skor insomnia
sehingga didapatkan derajat insomnia yang paling baik.
Hasil penelitian post-test dari responden Dusun Petung sebagai
kelompok perlakuan dan Dusun Jambu sebagai kelompok kontrol untuk
mengetahui derajat insomnia setelah diberikan terapi DMT (Dance Movement
Therapy) selama 1 bulan berturut-turut dengan 4x pertemuan diperoleh hasil
bahwa pada kelompok perlakuan terdapat peningkatan pada derajat insomnia
normal. Sedangkan pada kelompok kontrol derajat insomnia yang paling
banyak adalah derajat insomnia ringan.
Walaupun skor post-test pada responden kelompok perlakuan mayoritas
adalah normal sama seperti saat pre-test akan tetapi terdapat penurunan skor
insomnia dari responden tersebut mencapai 0% untuk derajat insomnia ringan
dan sedang, sehingga setelah dilakukan intervensi DMT (post-test) persentase
untuk derajat insomnia normal pada kelompok perlakuan mencapai 100%
dengan kisaran skor (<8), dibandingkan dengan saat pre-test yaitu 48,1%.
Sedangkan untuk responden kelompok kontrol didapatkan hasil
peningkatan skor insomnia pada derajat insomnia normal menuju ringan dan
didapatkan penurunan skor insomnia pada derajat insomnia sedang menuju

84

ringan. Sehingga didapatkan mayoritas persentase derajat insomnia yang


diderita adalah derajat insomnia ringan (56%).
Perbedaan hasil akhir post-test pada kedua kelompok responden dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah
terapi DMT yang diberikan pada kelompok perlakuan dapat memberikan efek
termogenik,
menimbulkan

meningkatkan
kegembiraan

serotonin,
seperti

menurunkan

yang

diharapkan

kecemasan,
peneliti

dan
untuk

menurunkan gejala insomnia (Giselle, et al., 2012).


Faktor yang lain adalah ketaatan lansia kelompok perlakuan untuk
mengikuti terapi, dukungan keluarga, kader lansia, dan sesama lansia yang
baik di dusun tersebut dapat meningkatkan efek terapi. Sedangkan pada
kelompok kontrol tidak diberikan intervensi apapun sehingga peningkatan dan
sedikit penurunan skor insomnia yang dialami oleh responden tersebut
kemungkinan karena tidak adanya terapi atau intervensi yang mengontrol
gejala insomnia responden tersebut.
3. Pembahasan Pengaruh Pemberian Dance Movement Therapy Terhadap
Skor Insomnia Pada Lansia Dusun Petung dan Dusun Jambu, Kelurahan
Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Hasil uji beda Wilcoxon Signed Rank Test tabel 6 menunjukkan selisih
mean skor pre-test dan post-test kelompok perlakuan adalah 5,00 dengan nilai
signifikansi 0,000. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan atau bermakna antara skor pre-test dan post-test
kelompok perlakuan setelah dilakukan intervensi DMT.

85

Seperti yang telah disinggung pada sub bab sebelumnya bahwa


penurunan skor insomnia pre-test dan post-test kelompok perlakuan
menunjukkan bahwa intervensi DMT yang telah diberikan memberikan efek
sesuai yang diharapkan oleh peneliti pada hipotesis. DMT (Dance Movement
Therapy) adalah suatu aktifitas fisik yang menyeluruh karena memasukkan
musik, exercise (olahraga), stimulus sensori ke dalam satu kesatuan yang
sangat efektif untuk mengurangi gangguan psikologikal (Pinniger, et al.,
2012). DMT dapat menjadi bentuk alternatif olahraga bahkan sebagai
olahraga aerobik karena melatih gerakan kaki dan tangan secara ritmis
(Earhart, 2009).
DMT dihipotesiskan dapat menjadi salah satu terapi insomnia karena
berbagai efek dan manfaat yang dihasilkan dari DMT. Diantaranya adalah
karena DMT dapat menjadi alternatif latihan aerobik maka dapat memberikan
efek termogenik. Latihan aerobic maupun latihan fisik sedang akan
meningkatkan suhu tubuh pusat (Giselle, et al., 2012).
Peningkatan suhu tubuh pusat ini akan merangsang hipotalamus untuk
melakukan pendinginan sebagai bentuk homeostasis tubuh dengan menaikkan
aliran darah menuju kulit atau perifer seperti tangan, kaki, wajah dan
menghantarkan panas tersebut ke lingkungan sekitar (Giselle, et al., 2012).
Mekanisme tersebut dapat mengatasi kegagalan regulasi suhu tubuh saat akan
menjelang tidur dikarenakan berkurangnya hormon melatonin pada saat usia
lanjut (Giselle, et al., 2012).

86

Insomnia dapat juga disebabkan karena defisit serotonin. Selain efek


termogenik, DMT juga dapat meningkatkan kadar serotonin melalui lipolisis
sehingga meningkatkan konsentrasi triptofan bebas dalam darah kemudian
triptofan bebas akan memasuki sawar darah otak dan terjadi biosintesis
serotonin (Giselle, et al., 2012).
DMT berbeda dengan senam aerobik pada umumnya karena lansia
dapat berkreasi dalam gerakan (Pericleous, 2011). Walaupun dalam
pelaksanaan intervensi ini, peneliti selaku instruktur memberikan contoh
gerakan kepada lansia dalam upaya untuk mengajak lansia menari dan
menghilangkan rasa sungkan antara lansia dan peneliti.
Dalam pelaksanaannya, gerakan DMT tidak hanya berupa gerakan
secara individual tetapi juga disertai gerakan pair (berpasangan) dan group
(berkelompok) sehingga tercipta suasana yang akrab dan menyenangkan
antara sesama lansia dan instruktur (Pericleous, 2011). Diharapkan dengan
adanya suasana yang menyenangkan tersebut, lansia dapat merasa nyaman,
gembira, terbangun hubungan interpersonal antar sesama lansia sehingga
dapat berbagi cerita dan melepaskan masalah yang mungkin ada dalam hidup
mereka sehingga dapat menurunkan gejala insomnia (Harris, et al.,
2007;Pericleous, 2011).
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, diperlukan kepatuhan dari
responden kelompok perlakuan untuk mengikuti terapi DMT ini. Terapi DMT
yang peneliti lakukan menggunakan gerakan yang relatif mudah diikuti oleh
lansia dan musik yang digunakan adalah iringan lagu dolanan jawa. Harapan

87

peneliti dengan gerakan yang relatif mudah diikuti dan iringan lagu dolanan
jawa dapat memberikan unsur humor sembari mengingat masa lampau saat
para lansia masih kanak-kanak. Upaya tersebut selain memberikan hubungan
interpersonal yang akrab antar sesama lansia dan instruktur, juga
meningkatkan kepatuhan lansia untuk mengikuti terapi DMT yang diberikan.
Penurunan skor insomnia lansia yang signifikan pada kelompok
perlakuan ini tidak hanya semata-mata dihasilkan dari terapi DMT yang
diberikan. Posyandu lansia yang rutin diadakan, dukungan sosial dari warga
sekitar, kader lansia, dan keluarga yang baik di Dusun Petung ini seperti yang
telah dibahas pada pembahasan karakteristik responden juga memberikan
kontribusi terhadap penurunan skor insomnia lansia.
Selanjutnya hasil uji beda Wilcoxon Signed Rank Test pada tabel 6
menunjukkan selisih mean skor pre-test dan post-test kelompok kontrol
adalah 0,32 dengan nilai signifikansi 0,657. Dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan atau tidak
bermakna antara skor pre-test dan post-test kelompok kontrol.
Penurunan skor insomnia yang tidak bermakna dari pre-test menuju
post-test pada kelompok kontrol karena memang pada kelompok kontrol ini
tidak diberikan intervensi apapun. Hasil skor insomnia dari para lansia
responden kelompok kontrol ini murni bergantung dari adanya perubahan dan
baik atau tidaknya faktor-faktor yang dapat menimbulkan dan menurunkan
gejala insomnia.
Faktor-faktor yang dimaksud seperti yang telah dibahas pada
pembahasan karakteristik responden adalah faktor sosiodemografi diantaranya

88

jenis kelamin, usia, status pernikahan, status pendidikan, pekerjaan.


Sedangkan faktor yang lain adalah sumber masalah yang berkaitan dengan
status kesehatan yang dimiliki lansia tersebut dan keluarganya, keadaan
keuangan keluarga, dukungan sosial dari masyarakat dan keluarga (Tjepkema,
2005;Paparrigopoulos, et al., 2010).
Jika dalam suatu keadaan faktor-faktor tersebut baik dan tidak ada
suatu masalah apapun maka skor insomnia lansia mungkin akan menurun atau
tidak mengalami gejala insomnia, namun jika faktor-faktor tersebut tidak baik
atau mengalami perubahan menuju yang lebih buruk dari sebelumnya lalu
didukung lansia tersebut tidak memiliki adaptasi diri yang baik terhadap suatu
masalah maka lansia yang mungkin sebelumnya tidak memiliki gejala
insomnia maka dapat mengalami gejala insomnia atau lansia yang sebelumnya
memiliki gejala insomnia yang ringan dapat meningkat menjadi sedang atau
berat (Tjepkema, 2005).
Mengenai hubungannya dengan intervensi adalah dimaksudkan bahwa
dengan adanya suatu intervensi yang diberikan pada lansia yang memiliki
gejala insomnia maka intervensi tersebut diharapkan dapat menjadi suatu hal
yang

dapat

menyeimbangkan

atau

mengontrol

faktor-faktor

yang

menimbulkan insomnia tersebut. Namun jika tidak ada intervensi yang


dilakukan maka peningkatan dan penurunan skor insomnia pada lansia
kelompok kontrol bergantung pada sistem adaptasi diri lansia dalam
menghadapi masalah yang terjadi dan faktor-faktor yang dapat menimbulkan
atau menurunkan insomnia.

89

Hasil uji beda Independent Sample T-Test pada tabel 4 menunjukkan


hubungan skor pre-test insomnia antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol dengan nilai t hitung adalah -0,896 dan P value 0,375 yang berarti
nilai ini lebih besar dari 0,05. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan atau tidak bermakna pada skor pretest insomnia kelompok perlakuan dan kontrol.
Pada hasil uji beda ini menunjukkan bahwa terdapat keadaan skor
insomnia yang hampir sama antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
karena tidak diberikan intervensi yang terkait dengan penurunan gangguan
tidur lansia. Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa hasil skor insomnia dari
kedua kelompok yang belum diberikan intervensi ini masih bergantung
terhadap faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan skor
insomnia dan kemampuan adaptasi diri lansia terhadap masalahnya yang
dapat menyebabkan gejala insomnia seperti yang telah disebutkan pada
pembahasan sebelumnya (Tjepkema, 2005).
Hasil uji beda Mann Whitney Test pada tabel 5 menunjukkan hubungan
skor post-test insomnia antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
dengan nilai signifikansi 0,000. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan atau bermakna pada skor post-test
insomnia kelompok perlakuan dan kontrol.
Pada hasil uji beda ini menunjukkan bahwa terdapat keadaan skor
insomnia yang berbeda dengan skor insomnia pada kelompok perlakuan jauh
lebih rendah daripada skor insomnia pada kelompok kontrol. Hasil tersebut

90

juga didukung oleh hasil dari uji beda Independent Sample T-Test pada tabel 7
untuk melihat perbedaan selisih skor insomnia pre-test dan post-test antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa mean selisih skor pre-test dan
post-test insomnia tertinggi adalah pada kelompok perlakuan dengan nilai
signifikansi yaitu 0,001. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna atau signifikan pada selisih skor pre-test dan post-test antara
kelompok perlakuan setelah diberikan intervensi Dance Movement Therapy
dengan kelompok kontrol.
Selisih yang tinggi antara skor pre-test dan post-test skor insomnia ini
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Keadaan ini didapatkan dari
hasil post-test dimana kelompok perlakuan telah mendapatkan intervensi
mengenai gangguan tidur yaitu Dance Movement Therapy selama 1 bulan
dengan 4x pertemuan berturut-turut. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terapi
yang diberikan dapat memberikan hasil yang sesuai dengan hipotesis bahwa
Dance Movement Therapy dapat menurunkan skor insomnia pada lansia yang
mengalami gangguan tidur.
Mekanisme mengenai Dance Movement Therapy dapat menurunkan
insomnia telah dibahas pada paragraf-paragraf sebelumnya diantaranya
Dance/Movement Therapy dapat menjadi bentuk aktifitas fisik atau olahraga
bagi penderita insomnia. Dalam sebuah studi tentang terapi non farmakologi
bagi insomnia, disebutkan bahwa aktifitas fisik seperti latihan aerobik dengan

91

intensitas sedang dapat menjadi intervensi yang efektif bagi penderita


insomnia (Giselle, et al., 2012).
Dance/Movement Therapy memberikan efek termogenik, peningkatan
kadar serotonin, menurunkan ansietas. Selain itu juga meningkatkan
hubungan interpersonal sesama lansia dan instruktur, memberikan rekreasi
pada lansia sehingga dapat menurunkan skor insomnia (Pericleous,
2011;Giselle, et al., 2012).
Kepatuhan responden lansia pun juga menjadi faktor pendukung bagi
keberhasilan terapi tersebut. Hampir semua responden lansia kelompok
perlakuan memiliki kepatuhan yang baik untuk melaksanakan terapi ini sesuai
dengan jadwal yang diberikan oleh peneliti.
Selain itu dukungan dari kader lansia, keluarga, dan warga juga
meningkatkan kepatuhan responden kelompok perlakuan untuk mengikuti
terapi. Responden juga sangat antusias untuk mengikuti setiap gerakangerakan yang diberikan oleh peneliti selaku instruktur sehingga kerjasama
yang baik antar lansia dan instruktur dapat terjalin.
C. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian
1. Kekuatan Penelitian
a) Sejauh pengetahuan peneliti belum ada penelitian yang sama tentang
Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa terhadap derajat
insomnia lansia pasca bencana.
b) Penelitian ini menggunakan

desain

quasy

experimental

dengan

menggunakan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di tempat yang


berlainan dan sebagian besar memiliki karakteristik yang sama.

92

c) Peneliti mengambil sampel menggunakan sistem drop out sehingga peneliti


memilih responden yang aktif atau mengikuti penuh terapi Dance/Movement
Therapy dengan lagu dolanan jawa ini.
d) Peneliti memberikan terapi yang sama terhadap kelompok kontrol setelah
mendapatkan data post-test.
2. Kelemahan Penelitian
a) Dalam penelitian ini para responden tidak mempunyai kemampuan
membaca dan menulis sehingga dalam pengisian kuesioner harus
menggunakan sistem wawancara dan ada kemungkinan para responden
masih ragu-ragu dalam menyampaikan kepada peneliti mengenai gejalagejala yang terjadi pada gangguan tidurnya.

93

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan
bahwa;
1. Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa efektif terhadap penurunan
skor insomnia lansia pasca bencana.
2. Terjadi penurunan skor insomnia pada kelompok perlakuan setelah dilakukan
intervensi Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa.
3. Terdapat penurunan atau perbedaan yang bermakna antara skor insomnia
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi Dance/Movement Therapy dengan
lagu dolanan jawa pada responden kelompok perlakuan, dengan selisih mean
skor insomnia pre-test dan post-test kelompok perlakuan sebesar 5,00 dengan
nilai signifikansi 0,000 (p<0,05).
4. Tidak ada penurunan atau perbedaan skor insomnia yang signifikan pada
responden kelompok kontrol sebelum dan sesudah pengukuran dengan KSPBJ
IRS.
5.Melakukan Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa dengan
pertemuan sekali dalam seminggu selama 1 bulan berturut-turut dengan durasi
60 menit dapat menurunkan skor insomnia lansia di Dusun Petung,
Desa/Kelurahan Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
B. Saran
1. Bagi Ilmu Kedokteran Jiwa

94

Penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan sebagai salah satu alternatif terapi
non farmakologi yang mudah dan aman bagi pasien yang mengalami gangguan
tidur terutama pada lansia.
2. Bagi Lansia
Memberikan masukan dalam pemberian terapi non farmakologi yang mudah
dan murah dalam menangani masalah gangguan tidurnya.
3. Bagi Puskesmas Wilayah Kepuharjo
Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa ini dapat dijadikan acuan
untuk penanganan lansia yang mengalami gangguan tidur di wilayah kerja
puskesmas tersebut dengan menggerakkan para kader lansia yang telah ada.
4. Bagi Kader Lansia Desa Kepuharjo
Dance/Movement Therapy dengan lagu dolanan jawa ini selain dapat menjadi
terapi non farmakologi terhadap gangguan tidur juga dapat dijadikan program
kegiatan rutin yang menyehatkan untuk para lansia.
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Perlu dilakukan penelitian perbandingan efektifitas antara Dance/Movement
Therapy dengan terapi non farmakologi bagi insomnia yang lain seperti terapi
relaksasi otot progresif, pemberian terapi musik, senam lansia, cognitivebehaviour therapy terhadap skor insomnia atau derajat insomnia dengan
dilakukan dalam waktu yang lebih lama dari penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
American Dance Therapy Association . Dance / Movement Therapy. Diakses 4 April
2013, dari http://www.adta.org
Amir, N. (2011). Gangguan Tidur pada Lanjut Usia Diagnosis dan Penatalaksanaan.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/157_09GangguanTidurpdLansia.pdf/157_
09Gangguan/ tidurpdLansia.html diakses pada 12 Januari 2013.
Ardiyanti, D. (2003). Makna Teks Lagu Dolanan Jawa. Skripsi. Semarang: Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNNES.

95

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2012, 9 Oktober). Definisi dan


Jenis Bencana http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana
diakses pada 11 April 2013.
Bremer, Zoe. (2007). Dance as a form of Exercise. Br J Gen Pract 2007;57 (535) :166
Cole MG, Dendukuri N. (2003). Risk factors for depression among elderly
community subjects: a systematic review and meta-analysis. Am J Psychiatry
2003; 160: 11471156.
Dahlan, S.M. (2010). Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian
kedokteran dan kesehatan Edisi 3. Surabaya : Salemba Medika.
Darmojo, Boedhi. (2010). Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Deary Ian, J., Corley, J., Gow Alan, J., Harris Sarah, E., Houlihan Lorna, M., Marioni
Riccardo, E., Penke, L., Rafnsson, Starr John, M. (2009). Age Associated
Cognitive Decline. British Medical Buletin 2009;92: 135-152.
Dempsey A.D, Patricia A.D. (2002). Buku Ajar & Latihan Riset Keperawatan Edisi
4. EGC : Jakarta.
Efendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas.
Salemba Medika.

Jakarta:

Earhart G.M.(2009).Dance as Therapy for Individuals with Parkinson Disease.


European Journal Of Physical and Rehabilitation Medicine Vol.45 No.2.
Fischer, Judith.(2013). Dance/Movement Therapy (DMT) for Adults. dari
http://moveandchange.com/dance-movement-psychotherapy/dancemovementtherapy-for-adults-article/ diakses pada 11 April 2013.
Foley D, Ancoli-Israel S, Britz P, Walsh J. (2004). Sleep disturbances and chronic
disease in older adults: NationalSleep Foundation Sleep in America Survey. J
Psychosom Res 2004; 56: 497502.
Fuadhiyah, Ucik. (2011). Simbol dan Makna Kebangsaan Dalam Lirik-Lirik Lagu
Dolanan di Jawa Tengah dan Implementasinya Dalam Dunia Pendidikan.
Lingua Jurnal Bahasa dan Sastra Volume VII/1 Januari 2011.
Giselle S. Passos, M.Sc., Dalva Poyares, M.D., Ph.D., Marcos G. Santana, M.Sc.,
Silvrio A. Garbuio., Sergio Tufik, M.D., Ph.D., Marco Tlio Mello, Ph.D.

96

(2010). Effect of Acute Physical Exercise on Patient with Chronic Primary


Insomnia. Journal of Clinical Sleep Medicine.
Giselle S. Passos., Dalva L.R. Poyares., Marcos G. Santana.,Sergio T.,Marco Tu lio
de MelloI. (2012). Is Exercise an Alternative Treatment for Chronic Insomnia.
CLINICS 2012 ;67(6):653-659.
Guyton C. & Hall. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC : Jakarta.
Harris D. Alan, MA, LCAT, ADTR.(2007). Dance/Movement Therapy Approaches to
Fostering Resilience and Recovery Among African Adolescent Torture
Survivors. Torture Vol.17 No.2.
Heiberger L., Christoph Maurer, Florian Amtage, Ignacio Mendez-Balbuena,
JrgenSchulte-Mnting, Marie-ClaudeHepp-Reymond & Rumyana K.(2011).
Impact of a Weekly Dance Class on The Functional Mobility And on The
Quality of Life of Individuals With Parkinsons Disease. Frontiers in Aging
Neuroscience October 2011 Volume 3 Article 14.
Hidayat, A.A.A. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia,Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Jeong, Young-Ja, Sung-Chan Cong, Myeong Soo-Lee, Min-Cheol Park, Yong-Kyu
Kim, Chae-Moon Suh. (2005). Dance Movement Therapy Improves
Emotional Responses and Modulates Neurohormones in Adolescent with Mild
Depression. Korea : Int J Neurosci. 2005 Dec;115(12):1711-20.
Kaplan, H. I., Sadock, B. J. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran.
Kattenstroth Jan, C., Kolankowska, I., Kalisch, T., Dinse Hubert, R. (2010). Superior
Sensory, Motor, And Cognitive Performance In Elderly Individuals With
Multi-Year Dancing Activities. Original Research Article. Diakses tanggal 14
Januari
2013,
dari
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2917240/pdf/fnagi-02-00031.pdf.
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.(2012, 15 April).Usia
Harapan
Hidup
di
Sleman
Tertinggi
di
Indonesia.
dari
http://www.menkokesra.go.id/content/usia-harapan-hidup-di-sleman-tertinggidi-indonesia diakses pada 13 April 2013.

97

Kementrian Republik Indonesia. (1998). Undang Undang Republik Indonesia No


13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut. Jakarta.
Komnas Lansia. (2010). Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta dari
http://www.komnaslansia.or.id diakses 21 April 2013.
Martono, H. (2009). Buku Ajar Boedhi-Darmojo, Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Maryam, S. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Penerbit
Salemba Medika.
Montgomery, Paul., & Jane, L. (2006). Clinical Evidence Insomnia in the Elderly.
Clinical Evidence BMJ 2007;10:2032.
Neikrug, Ariel B., Sonia Ancoli I. (2009). Sleep Disorder in The Older Adult- A Mini
Review. Behavioral Science Section. Gerontology 2010;56:181189.
Noviani, W.(2009).Pengaruh Terapi Musik Langgam Jawa Terhadap Skor Insomnia
Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso Pakem Yogyakarta.
Karya Tulis Ilmiah, strata satu, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Nugrahani, Farida. (2012). Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa Dalam Rangka
Pembentukan Karakter Bangsa. Kajian Linguistik dan Sastra Vol. 24, No. I,
Juni 2012 : 56-68.
Nugroho, W. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik Edisi 3. Jakarta : EGC.
Nurhidayati, M.Hum. (2011). Pelestarian Budaya Jawa Melalui Lagu Dolanan. FBS
UNY.darihttp://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Nurhidayati,S.Pd.M.
Hum./PELESTARIANBUDAYAJAWAMELALUILAGUDOLANAN.pdf
diakses pada 11 April 2013.
Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metode penelitian ilmu keperawatan:
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Surabaya :
Salemba Medika.
Paparrigopoulos, Thomas. (2010). Insomnia and its Corelates in a Representative
Sample of The Greek Population: Research Article. BMC Public Health 10:531.
Pericleous, Isabella. (2011). Dance Movement Therapy for Major Depression diakses
pada 3 April 2013.

98

Pinniger, Rosa.,Rhonda F.Brown.,Einar B.,Thorsteinsson.,Patricia McKinley. (2012).


Argentine Tango Dance Compared to Mindfulness Meditation and a WaitingList Control:A Randomised Trial for Treating Depression. Complementary
Therapies in Medicine (2012) 20, 377-384.
Prayitno, A.(2002).Gangguan Pola Tidur Pada Kelompok Usia Lanjut dan
Penatalaksanaannya. Jurnal Kedokteran Trisakti Januari-April 2002 Vol 21
No.1 dari http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/Prayitno.pdf
diakses pada 7 april 2013.
Ramakhrisnan, Kalyanakhrisnan MD. & Dewey C. Scheid, MD, MPH. (2007).
Treatment Options for Insomnia. American Academy of Family Physician.
http://www.aafp.org/afp diakses pada 20 Januari 2013.
Rahayu, Rejeki A. (2009). Gangguan Tidur Pada Usia Lanjut. dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
Reid J. Kathryn, PhD, Kelly Glazer Baron, PhD., Brandon Lu, MD., Erik Naylor,
PhD., Lisa Wolfe, MD.,Phyllis C. Zee., MD, PhD. (2010). Aerobic Exercise
Improves Self-Reported Sleep and Quality of Life in Older Adults with
Insomnia. National Institute of Health (NIH) Sleep Med. 2010 October ; 11(9):
934940. doi:10.1016/j.sleep.2010.04.014. diakses pada 14 Januari 2013.
Roepke Susan K, Sonia Israel A. 2010. Sleeping Disorder in The Elderly. Indian J
Med Res 131, February 2010, pp 302-310.
Rosidawati, Jubaedi, A., Maryam, R.S., Ekasari, M.F., Batubara, I. (2008). Mengenal
Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta :Salemba Medika.
Roy H Lubit, MD, PhD. (2012, 14 Mei). Sleep Disorder. diakses pada 7 April 2013
dari http://emedicine.medscape.com/article/287104-overview.
Setiati, Siti., Harimurti, Kuntjoro., Govinda, Arya. (2010). Proses Menua dan
Implikasi Kliniknya. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing.
Siahaan, E.M.R. (2011). Terapi Gerakan Untuk Meningkatkan Kemampuan Kontak
Mata Pada Anak Autis. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Profesi
Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

99

Stanley, M. & Beare, P.G. (2006) Buku Ajar Keperawatan Gerontik (2nd ed). Jakarta:
EGC.
Suyanto, Dwi Harjo. (2011). Korelasi Dukungan Sosial dengan Depresi pada
Survivor yang Tinggal di Rumah Hunian Sementara Desa Umbulharjo
Kecamatan Cangkringan Pasca Bencana Letusan Gunung Merapi Tahun 2010.
Tesis PPDS , Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran UGM,
Yogyakarta.
Tamher dan Noorkasiani. (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Tao Xiang-Yu, MD, PhD., Xin Ma, PhD.(2008).The Prevalence of Insomnia, Its
Sosiodemographic and Clinical Correlates, and Treatment in Urban and Rural
Regions of Beijing, China: A General Population Based Survey. Beijing
Andang Hospital, Xicheng District, Beijing, China.
Tjepkema, Michael.(2005).Insomnia. Analytical Studies and Reports. Health Reports
Volume 17 Number 1.
Wolrd Health Organization. (2012). Definition of an older or elderly person.
Williams, K. & Susan K.(2008). Exploring Interventions to Reduce Cognitive
Decline in Aging. J Psychosoc Nurs Ment Health Serv.National Institute of
Healty 2010 May ; 48(5): 4251.
Wolkove N.,Osama E., Marc B., Mark P.(2007). Sleep Disorders Commonly Found in
Older People : Review. Canadian Medical Association or Its Licensors (176)9.

100

Lampiran 1. INFORMED CONSENT


PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
Efektifitas Dance / Movement Therapy dengan Lagu Dolanan Jawa Terhadap
Skor Insomnia Lansia Pasca Bencana
Yang bertandatangan dibawah ini:
Nama

Tempat / Tanggal Lahir

Usia

Jenis Kelamin

Setelah mendapat penjelasan dan mengerti sepenuhnya mengenai hal-hal


yang berkaitan dengan penelitian Efektifitas Dance / Movement Therapy dengan
Lagu Dolanan Jawa Terhadap Skor Insomnia Lansia Pasca Bencana, Dengan
ini saya menyatakan bersedia dan tidak berkeberatan menjadi responden pada
penelitian yang akan dilakukan oleh Monika Tatyana Yusuf, mahasiswa dari Program
Studi Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saya tidak
keberatan apabila hasil penelitian ini dipublikasikan untuk kepentingan IPTEKDOK.
Demikian pernyataan ini saya buat sejujur-jujurnya tanpa paksaan dari pihak
manapun.
Yogyakarta, April 2013
Responden

(......................)

101

Lampiran 2. IDENTITAS DIRI RESPONDEN


IDENTITAS DIRI RESPONDEN PENELITIAN

NO RESPONDEN
:

DUSUN : ..
KELOMPOK :..
Nama

Jenis Kelamin

Umur

Alamat

Pendidikan

Pekerjaan

: Sebelum Bencana :
Sesudah Bencana :

Status
mati *)

: Belum menikah / Menikah / Bercerai / Cerai

Jumlah anak

Tinggal dengan siapa

: Sendiri / Dengan anak / ..

Aktivitas saat ini

Kehilangan

: Harta
Keluarga :
Ternak

Penyakit Fisik

Obat yg rutin diminum:


Riwayat Penyakit
:

102

Lampiran 3. KUESIONER KSPBJ-IRS


KUESIONER SKOR INSOMNIA
KSPBJ ( Kelompok Studi Psikiatri Biologi Jakarta) Insomnia Rating Scale

Nama

Umur

Jenis Kelamin

:L/P

Kelompok Responden

Petunjuk pengisian
Berilah tanda ( ) pada kotak atau nilai (score) yang anda pilih
Pertanyaan
1. Berapa jam jumlah tidur yang anda perlukan dalam sehari ?
0 : lebih dari 6 jam 30 menit ( > 6,5 jam )
1 : antara 5 jam 30 menit 6 jam 29 menit ( 5,5 jam 6,5 jam )
2 : antara 4 jam 30 menit 5 jam 29 menit ( 4,5 jam 5,5 jam )
3 : kurang dari 4 jam 30 menit ( < 4,5 jam )
2. Apakah anda bermimpi pada saat tidur ?
0 : tidak bermimpi
1 : kadang-kadang
2 : sering
3 : mimpi buruk
3. Bagaimana kualitas tidur atau perasaan anda setelah bangun tidur ?
0 : lelap, sulit untuk terbangun
1 : tidur nyenyak tetapi sulit terbangun
2 : tidur nyenyak tetapi mudah terbangun
3 : tidur tidak nyenyak dan mudah dibangunkan
4. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk memulai tidur ?
0 : kurang dari 5 menit ( < 5 menit )
1 : antara 6 29 menit
2 : antara 30 60 menit
3 : lebih dari 60 menit ( > 60 menit )

103

5. Berapa kali anda terbangun selama tidur ?


0 : tidak terbangun sama sekali
1 : terbangun 1 kali 2 kali
2 : terbangun 3 kali 4 kali
3 : terbangun lebih dari 4 kali
6. Berapa lama waktu yang anda perlukan untuk kembali tidur, jika anda
terbangun pada malam hari ?
0 : kurang dari 5 menit
1 : antara 6 15 menit
2 : antara 16 60 menit
3 : lebih dari 60 menit
7. Apakah anda bangun terlalu awal pada pagi hari ?
0 : bangun pada waktu biasa
1 : bangun 30 menit lebih cepat dari biasa dan tidak bisa tidur kembali
2 : bangun 1 jam lebih cepat dari biasanya dan tidak bisa tidur kembali
3 : bangun lebih dari 1 jam dari biasanya dan tidak bisa tidur kembali
8. Bagaimana kualitas kebugaran yang anda rasakan setelah bangun tidur pada
pagi hari ?
0 : segar sekali
1 : segar kadang-kadang saja
2 : kadang-kadang segar dan kadang-kadang tidak
3 : tidak pernah segar sama sekali

104

Lampiran 4. MODUL DANCE/MOVEMENT THERAPY


PANDUAN PELAKSANAAN DANCE/MOVEMENT THERAPY
Dance/Movement Therapy merupakan salah satu intervensi yang dapat
digunakan untuk kesehatan fisik dan mental. Meliputi beberapa aspek yaitu bahasa
tubuh, gerakan, ekspresi, konseling, sarana komunikasi verbal dan non verbal. Dalam
aplikasinya Dance/Movement Therapy memperhatikan aspek budaya, sosial dan
spiritual peserta sehingga gerakan dan pengiringnya disesuaikan dengan kondisi
budaya masyarakat setempat.
Modul Dance/Movement Therapy disusun sesuai dengan budaya masyarakat
Jawa khususnya daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Gerakan tarian dipadukan dengan
lagu dolanan jawa yang sudah sangat dikenal dan disukai oleh masyarakat setempat,
khususnya para lansia. Dalam modul ini berisi langkah dan cara menari yang
dilakukan oleh lansia. Selain lansia sebenarnya modul ini juga dapat digunakan untuk
semua usia baik anak-anak sampai usia lanjut.
Kegiatan ini dapat diberikan oleh seorang tenaga kesehatan atau kader
kesehatan yang telah mendapatkan pelatihan modul ini. Tidak ada batasan jumlah
peserta yang mengikuti Dance/Movement Therapy ini. Kegiatan dilaksanakan secara
rutin dan teratur sesuai dengan petunjuk dalam modul.
T

105

TATA CARA PELAKSANAAN DANCE/MOVEMENT THERAPY


UNTUK LANSIA
Tujuan :
1. Lansia dapat mengikuti gerakan Dance/Movement Therapy yang
diajarkan/dicontohkan
2. Lansia merasakan perasaan senang sebagai efek rekreasi dari kegiatan Dance/
Movement Therapy
3. Lansia mendapatkan efek dari kegiatan menari berupa pengurangan skor insomnia
dan depresi.
Setting :
1. Instruktur dan peserta berdiri berbaris dengan posisi instruktur di depan peserta
(dengan posisi memanjang dan berbanjar).
2. Ruangan lapang, boleh terbuka ataupun tertutup
Alat :
1. Sound system
2. Kaset CD lagu dolanan jawa
3. VCD Player
Metode :
Mempraktekkan DMT (Dance/Movement Therapy) yang dicontohkan instruktur.
Sebagai tambahan, selain dari buku modul, setiap gerakan dalam Dance/Movement
Therapy ini bisa dipelajari dari modul CD Dance/Movement Therapy untuk
memahami gerakan secara audiovisual.
Langkah Kegiatan :
Persiapan:
1. Menyiapkan peserta sesuai kriteria
2. Menyiapkan alat dan tempat
3. Berpakaian yang nyaman ( bahan menyerap keringat )

106

Orientasi :
a. Salam Perkenalan
1. Dibuka dengan salam dan bacaan Basmalah
2. Menjelaskan tujuan, tata tertib pelaksanaan kegiatan DMT
3. Mengisi daftar hadir
4. Menilai kondisi terakhir skor insomnia dan depresi dari peserta dengan
menggunakan kuesioner penilaian insomnia dan depresi sebagai pre test.
b. Kontrak
1. Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu DMT untuk lansia
2. Menjelaskan jadwal kegiatan di setiap pertemuan sebelum memulai kegiatan
3. Menjelaskan tata tertib pelaksanaan kegiatan menari pada pertemuan pertama,
tata tertib berlaku untuk setiap pertemuan yaitu :
a) Setiap pertemuan peserta diwajibkan untuk mengisi daftar hadir.
b) Lama tiap sesi adalah 60 menit
c) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kegiatan sebelum kegiatan selesai,
dimohon untuk memberi tahu instruktur.
Implementasi :
Durasi kegiatan 60 menit
Terdiri dari 3 tahapan yaitu :
1. Tahap Pertama atau Step I ( Mild Intensity ) durasi 20 menit
Dengan menggunakan iringan lagu :
a. Cublak-cublak suweng
b. Dondong opo salak
c. Gundul-gundul pacul
d. Jamuran
2. Tahap Kedua atau Step II ( Moderate Intensity ) durasi 20 menit
Dengan menggunakan iringan lagu :
a. Kodok Ngorek
b. Sluku-sluku batok
c. Tul jaenak
d. Mentok-mentok
3. Tahap Ketiga atau Step III ( Mild Intensity ) durasi 20 menit
Dengan menggunakan iringnan lagu :
a. Padang bulan
b. Suwe ora jamu
Dance/Movement Therapy ini dilakukan dengan durasi 60 menit setiap satu
kali seminggu selama 4 sesi / 4 kali dalam sebulan dan dengan rincian gerakan STEP
1 STEP 3 setiap pertemuan sebagai berikut :
Gerakan Tarian :
A. STEP I ( 20 MENIT )
1. Lagu Cublak- Cublak Suweng

107

Jenis gerakan
: Gerakan Pembuka / welcoming
Intro : Melenggangkan tangan (kombinasi kedua tangan di atas) dan kaki berjalan
di tempat
Lagu :
a. Merapatkan kedua tangan dan ayunkan kedua tangan diikuti gerakan
kepala kekanan dan kekiri kaki berjalan ditempat ( 8 X )
b. Mengayunkan tangan keatas dan kebawah secara bergantian diikuti
gerakan kepala dan mengangkat kaki secara beriringan.
2. Lagu Dondong Opo Salak
Jenis gerakan
: Pemanasan / warming up
Intro : Melenggangkan tangan (kombinasi kedua tangan di atas) dan kaki berjalan
di tempat
Lagu :
a. Jalan ditempat, mengayunkan pundak ke depan dan belakang.
b. Jalan ke samping kanan dan kiri dua langkah kemudian tangan diayunkan
membentuk lingkaran.
c. Tangan berkacak pinggang, kaki diayunkankan ke kanan dan kiri
3. Lagu Gundul-Gundul Pacul
Jenis gerakan
: Latihan kaki dan tangan / foot and hand exercise
Intro : Melenggangkan tangan (kombinasi kedua tangan di atas) dan kaki berjalan
di tempat
Lagu :
a. Melangkahkan kaki ke depan dan belakang secara bersilangan sedangkan
tangan berada di kepala.
b. Melangkahkan kaki ke depan kanan dan kiri diikuti gerakan tangan
membuka dan menutup
4. Lagu Jamuran
Jenis gerakan
: Latihan kaki dan tangan / foot and hand exercise
Intro : Melenggangkan tangan (kombinasi kedua tangan di atas) dan kaki berjalan
di tempat
Lagu :
a. Menekukkan tangan ke atas dan bawah diikuti kaki berjalan ke kanan dan
kiri masing masing dua langkah ( tangan bisa dikombinasi dangan
gerakan mengayun/ tangan berputar ).
b. Goyangkan pinggul kanan kiri diikuti dengan kaki yang digerakan ke
kanan dan kiri.
B. STEP 2 ( 20 MENIT )
1. Lagu Kodhok Ngorek
Jenis gerakan
: Koordinasi kaki dan tangan / foot and hand coordination
Intro : Melenggangkan tangan ( kombinasi kedua tangan di atas ) dan kaki berjalan
di tempat
Lagu :

108

a. Mengayunkan tangan seperti ombak ke depan secara bergantian (dimulai


dengan tangan kanan kemudian tangan kiri) masing-masing 2x secara
bergantian, kaki sambil ikut melangkah ke depan secara bergantian kanan
dan kiri
b. Memutar badan searah jarum jam sambil menggoyangkan pinggul dan
tangan
c. Kedua tangan melakukan gerakan meninju ke arah serong kanan atas dan
kaki melangkah ke samping kanan dan kiri sebanyak 2 langkah
d. Kedua tangan diputar-putar keluar (gerakan roll out) sambil badan
berputar.
e. Gerakan tangan meninju ke depan disertai kaki kanan melangkah ke
depan 4 langkah kemudian kedua kaki melangkah mundur sebanyak 4
langkah.
f. Tangan direntangkan ke atas diputar bersamaan dengan menggoyangkan
pinggul (gerakan cyclone)
g. Ulangi gerakan dari awal hingga lagu selesai.
2. Lagu Sluku-Sluku Batok
Jenis gerakan
: Koordinasi kaki dan tangan / foot and hand coordination
Intro : Melenggangkan tangan (kombinasi kedua tangan di atas) dan kaki berjalan
di tempat
Lagu :
a. Mengayunkan tangan ke samping kanan dan kiri seperti ombak secara
bergantian (dimulai dengan tangan kanan kemudian tangan kiri) masingmasing 2x, kaki sambil ikut melangkah ke samping kanan dan kiri secara
bergantian
b. Memutar badan searah jarum jam sambil tangan gerakan memompa
keluar (pump out)
c. Mengulangi gerakan seperti (a) dan (b).
d. Rentangkan tangan kanan kemudian tangan kiri lalu keduanya diangkat
ke atas (lakukan secara berurutan) dan goyangkan pinggul ke kanan dan
kiri 4x, kemudian..
e. Langkahkan kaki ke depan dan pinggul goyangkan ke depan masing 2x
secara bergantian dimulai kaki kanan kemudian kaki kiri. Tangan
menyesuaikan.
f. Ulangi gerakan a-e hingga lagu selesai.
3. Lagu Tul Jaenak
Jenis gerakan
: Menari berpasangan / pair dance
Keterangan
: Carilah pasangan dengan teman di kanan dan kiri anda
Intro : Melenggangkan tangan (kombinasi kedua tangan di atas) dan kaki berjalan
di tempat
Lagu :

109

a. Berpasangan dengan teman di samping kanan/kiri anda kaki berjalan


ke arah pasangan sambil mengikuti irama diikuti gerakan kedua tangan
mendorong ke atas atau sambil menepuk tangan ke atas kemudian
bergantian anda yang berjalan mundur atau pasangan anda yang berjalan
ke arah anda.
b. Saat lagu Tul Jaenah lirik pertama selesai lalu lakukan gerakan a
dengan berganti pasangan dengan teman di samping kiri anda
c. Lakukan bergantian hingga lagu selesai
4. Lagu Menthok-Menthok
Jenis gerakan
: Latihan kaki dan tangan / foot and hand exercise
Intro : Melenggangkan tangan dan kaki diangkat bergantian langkah bisa
dikombinasi maju dan mundur
Lagu :
a. Tangan berkacak pinggang goyangkan pinggul ke kanan kiri
bergantian dengan mengikuti irama dan lirik lagu menthokmenthok
tak kandani (8x)
b. Rentangkan tangan ke atas putar-putar pergelangan tangan sambil
putar badan berlawanan arah jarum jam kemudian putar lagi badan searah
jarum jam kaki bertumpu pada satu tumit dan nanti bergantian
bertumpu pada satu tumit kaki lainnya.
c. Ayunkan tangan (pergelangan tangan diputar2) ke samping kanan kaki
ikut melangkah ke samping kanan sebanyak 2 langkah ulangi lagi ke
arah yang berlawanan (arah kiri) (8x hitungan)
d. Ulangi langkah seperti awal (a),(b), dan(c)
e. Melenggangkan tangan (dimulai dengan kanan lalu kiri)
f. kaki diangkat bergantian (dimulai dengan kanan lalu kiri) langkah bisa
dikombinasi maju dan mundur (8x hitungan)
C. STEP 3 ( 20 MENIT )
1. Lagu Padhang Bulan
Jenis gerakan
: Latihan kaki dan tangan / foot and hand exercise
Intro : Jalan di tempat sambil menggoyangkan tangan
Lagu :
a. Mengayunkan tangan (gerakan ombak) ke kanan sambil pergelangan
tangan diputar-putar diikuti kaki melangkah ke kanan sebanyak 2
langkah lanjutkan dengan bergantian kearah kiri sebanyak 2 langkah
ulangi gerakan tersebut sampai hitungan ke-8
b. Mengayunkan tangan membuat gerakan ombak ke kanan terlebih dahulu
kemudian ke kiri gerakan kaki sama pada gerakan a. Ulangi gerakan
tersebut sampai hitungan ke-8

110

c. Gerakan tangan seperti menebas dimulai dengan tangan kiri menuju kea
rah kanan kemudian bergantian dimulai dengan tangan kanan menuju
kea rah kiri kaki diam di tempat hanya pinggul ikut di putar ke kanan
dan kiri dan tumit diangkat ulangi gerakan tersebut sampai hitungan ke
-8
d. Posisikan kedua tangan di depan dada anda gerak-kan tangan anda naik
turun secara bergantian (seperti bertapa) diikuti gerakan tumit kaki yang
diangkat bergantian ulangi gerakan hingga hitungan ke -8
e. Ulangi gerakan a d hingga lagu selesai.
2. Lagu Suwe Ora Jamu
Jenis gerakan
: Menari berkelompok / group dance
Intro : Semua lansia membuat lingkaran besar dengan bergandeng tangan
Lagu :
a. Semua lansia berjalan ke depan menuju ke tengah berteriak HAI sambil
mengangkat tangan kemudian berjalan mundur menyebar dan berteriak
HAI sambil mengangkat tangan ( lakukan sebanyak 4x )
b. Semua lansia bergandeng tangan kaki saling diayunkan ke kanan depan
dan kiri depan secara bergantian ( ulangi sebanyak 8x )
c. Gerakan Hawaiian pergelangan tangan diayunkan ke kanan dan kiri
bergantian kaki dilangkahkan ke kanan dan kiri.
d. Ulangi gerakan a - c hingga lagu selesai
Terminasi :
1. Melakukan kontrak untuk pertemuan berikutnya dengan peserta.
2. Mengucapkan hamdalah bersama-sama dan salam setiap selesai kegiatan.
3. Di akhir rangkaian kegiatan menari untuk lansia selama 4x pertemuan, dilakukan
post test untuk menilai kondisi terakhir dari skor insomnia dan depresi peserta
dengan menggunakan kuesioner penilaian insomnia dan depresi.

111

112

Lampiran 5. HASIL ANALISA DATA SPSS


A. Frekuensi Karakteristik Responden Kelompok Intervensi
Jenis Kelamin
Frequency
Valid

Wanita

Percent

27

100.0

Valid Percent
100.0

Cumulative
Percent
100.0

Umur
Frequency
Valid

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

60-74

17

63.0

63.0

63.0

75-90

10

37.0

37.0

100.0

Total

27

100.0

100.0

Pekerjaan
Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid Tidak bekerja

11

40.7

40.7

40.7

Petani

15

55.6

55.6

96.3

3.7

3.7

100.0

27

100.0

100.0

Pedagang
Total

Pendidikan
Frequency
Valid Tidak sekolah

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

17

63.0

63.0

63.0

SD

33.3

33.3

96.3

SMEA

3.7

3.7

100.0

27

100.0

100.0

Total

113

Status Menikah

Frequency
Valid

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

Menikah

10

37.0

37.0

37.0

cerai meninggal

17

63.0

63.0

100.0

Total

27

100.0

100.0

Status Tinggal Bersama


Frequency
Valid

Keluarga
Sendiri
Total

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

20

74.1

74.1

74.1

25.9

25.9

100.0

27

100.0

100.0

Status Kesehatan
Frequency
Valid

Sehat
Punya sakit
Total

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

18

66.7

66.7

66.7

33.3

33.3

100.0

27

100.0

100.0

114

B. Frekuensi Karakteristik Responden Kelompok Kontrol


Umur
Frequency
Valid

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

60-74

19

76.0

76.0

76.0

75-90

24.0

24.0

100.0

Total

25

100.0

100.0

Jenis Kelamin

Frequency
Valid

Percent

laki-laki

Valid Percent

Cumulative
Percent

20.0

20.0

20.0

perempuan

20

80.0

80.0

100.0

Total

25

100.0

100.0

Pendidikan
Frequency
Valid

tidak sekolah
SD
Total

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

17

68.0

68.0

68.0

32.0

32.0

100.0

25

100.0

100.0

Pekerjaan
Frequency
Valid

Petani

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

22

88.0

88.0

88.0

Dagang

8.0

8.0

96.0

Tidak bekerja

4.0

4.0

100.0

25

100.0

100.0

Total

115

Status Menikah
Frequency
Valid

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

menikah

10

40.0

40.0

40.0

cerai meninggal

15

60.0

60.0

100.0

Total

25

100.0

100.0

Status Tinggal Bersama

Frequency
Valid

sendiri

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

36.0

36.0

36.0

keluarga

16

64.0

64.0

100.0

Total

25

100.0

100.0

Status Kesehatan
Frequency
Valid

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

sehat

15

60.0

60.0

60.0

Punya
sakit

10

40.0

40.0

100.0

Total

25

100.0

100.0

C. Tabel Crosstabulation Chi-square Karakteristik Responden


1. UMUR

116

Usia * Kelompok Crosstabulation


Kelompok
Perlakuan
Usia 60-74

Count
% within Kelompok

75-90
Total

19

36

63.0%

76.0%

69.2%

10

16

37.0%

24.0%

30.8%

27

25

52

100.0%

100.0%

100.0%

Count
% within Kelompok

Total

17

Count
% within Kelompok

kontrol

Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio

Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)


sided)
sided)

Df

1.036a

.309

.514

.473

1.045

.307

Fisher's Exact Test

.376

Linear-by-Linear
Association

1.016

N of Valid Casesb

52

.314

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
7,69.
b. Computed only for a 2x2
table

.237

117

2. JENIS KELAMIN

Jenis kelamin * Kelompok Crosstabulation


Kelompok
perlakuan
jenis_kelamin

laki-laki

Count

.0%

20.0%

9.6%

27

20

47

100.0%

80.0%

90.4%

27

25

52

100.0%

100.0%

100.0%

Count
% within Kelompok

Total

Count
% within Kelompok

Total

% within Kelompok
perempuan

kontrol

Chi-Square Tests
Value

Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)


sided)
sided)

df

Pearson Chi-Square

5.974a

.015

Continuity Correctionb

3.895

.048

Likelihood Ratio

7.901

.005

Fisher's Exact Test

.020

Linear-by-Linear
Association

5.860

N of Valid Casesb

52

.020

.015

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,40.
b. Computed only for a 2x2 table

3. PENDIDIKAN

118

Pendidikan * Kelompok Crosstabulation


Kelompok
perlakuan kontrol
Pendidikan Tidak sekolah Count
% within
Kelompok
SD

SMEA

17

17

34

63.0%

68.0%

65.4%

17

33.3%

32.0%

32.7%

3.7%

.0%

1.9%

27

25

52

100.0%

100.0%

100.0%

Count
% within
Kelompok
Count
% within
Kelompok

Total

Count
% within
Kelompok

Total

Chi-Square Tests
Value

df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square

.983a

.612

Likelihood Ratio

1.368

.505

Linear-by-Linear
Association

.560

.454

N of Valid Cases

52

a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is ,48.

119

4. PEKERJAAN
Pekerjaan * Kelompok Crosstabulation
Kelompok
perlakuan
Pekerjaan

Tidak bekerja Count


% within
Kelompok
Petani

pedagang

Total

12

40.7%

4.0%

23.1%

15

22

37

55.6%

88.0%

71.2%

3.7%

8.0%

5.8%

27

25

52

100.0%

100.0%

100.0%

Count
% within
Kelompok
Count
% within
Kelompok

Total

11

Count
% within
Kelompok

kontrol

Chi-Square Tests
Value

Asymp. Sig. (2sided)

df

Pearson Chi-Square

9.929a

.007

Likelihood Ratio

11.347

.003

8.294

.004

Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases

52

a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
1,44.

120

5. STATUS PERNIKAHAN

Status_pernikahan * Kelompok Crosstabulation


Kelompok
perlakuan kontrol
Status_pernikahan Menikah

Count
% within
Kelompok

Cerai
meninggal

10

10

20

37.0%

40.0%

38.5%

17

15

32

63.0%

60.0%

61.5%

27

25

52

100.0%

100.0%

100.0%

Count
% within
Kelompok

Total

Count
% within
Kelompok

Total

Chi-Square Tests
Value

Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)


sided)
sided)

df

Pearson Chi-Square

.048a

.826

Continuity Correctionb

.000

1.000

Likelihood Ratio

.048

.826

Fisher's Exact Test

1.000

Linear-by-Linear
Association

.047

N of Valid Casesb

52

.526

.828

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,62.
b. Computed only for a 2x2 table

121

6. STATUS TINGGAL BERSAMA


Tinggal_bersama * Kelompok Crosstabulation
Kelompok
perlakuan
Tinggal_bersama

keluarga

Count

16

36

74.1%

64.0%

69.2%

16

25.9%

36.0%

30.8%

27

25

52

100.0%

100.0%

100.0%

Count
% within Kelompok

Total

Count
% within Kelompok

Total

20

% within Kelompok
sendiri

kontrol

Chi-Square Tests
Value

Asymp. Sig.
(2-sided)

df

Pearson Chi-Square

.618a

.432

Continuity Correctionb

.236

.627

Likelihood Ratio

.619

.431

Fisher's Exact Test

Exact Sig.
(2-sided)

.551

Linear-by-Linear
Association

.607

N of Valid Casesb

52

Exact Sig. (1sided)

.314

.436

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,69.
b. Computed only for a 2x2 table

122

7. STATUS KESEHATAN

Status_penyakit * Kelompok Crosstabulation


Kelompok
perlakuan
Status_penyakit Sehat

Count
% within
Kelompok

Total

15

33

66.7%

60.0%

63.5%

10

19

33.3%

40.0%

36.5%

27

25

52

100.0%

100.0%

100.0%

Count
% within
Kelompok

Total

18

punya sakit Count


% within
Kelompok

kontrol

Chi-Square Tests
Value

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


(2-sided)
(2-sided) (1-sided)

df

Pearson Chi-Square

.618a

.432

Continuity Correctionb

.236

.627

Likelihood Ratio

.619

.431

Fisher's Exact Test

.551

Linear-by-Linear
Association

.607

N of Valid Casesb

52

.436

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
7,69.
b. Computed only for a 2x2 table

.314

123

124

D. FREKUENSI DERAJAT INSOMNIA KEL.PERLAKUAN


DerajatInsomniaPretest
Frequency Percent Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid Normal

13

48.1

48.1

48.1

Ringan

25.9

25.9

74.1

Sedang

25.9

25.9

100.0

27

100.0

100.0

Total

DerajatInsomniaPosttest
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
Valid Normal

27

100.0

100.0

100.0

E. FREKUENSI DERAJAT INSOMNIA KEL KONTROL


DerajatInsomniaPretest
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
Valid Normal

36.0

36.0

36.0

Ringan

10

40.0

40.0

76.0

Sedang

24.0

24.0

100.0

25

100.0

100.0

Total

DerajatInsomniaPosttest
Frequency Percent Valid Percent

Cumulative
Percent

Valid Normal

24.0

24.0

24.0

Ringan

14

56.0

56.0

80.0

Sedang

20.0

20.0

100.0

25

100.0

100.0

Total

125

F. HASIL UJI BEDA SKOR PRETEST INSOMNIA KEL. PERLAKUAN


DAN KONTROL
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
KODE
PRETEST

Statistic

df

Shapiro-Wilk

Sig.

Statistic

df

Sig.

Inter

.098

27

.200*

.948

27

.193

Non
Inter

.172

25

.055

.914

25

.038

a. Lilliefors Significance Correction


*. This is a lower bound of the true significance.
Group Statistics
KODE
PRETEST

Mean

Std. Deviation Std. Error Mean

Perlakuan

27

8.8519

4.71253

.90693

Kontrol

25

9.9200

3.79605

.75921

Independent Samples Test


Levene's Test
for Equality of
Variances

t-test for Equality of Means


Std.
Sig.
(2-

F
PRETEST Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed

1.324

Sig.
.255

df

tailed)

Mean

Error

Differenc Differenc
e

95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower

Upper

-.896

50

.375 -1.06815 1.19268 -3.46372

1.32742

-.903

49.091

.371 -1.06815 1.18276 -3.44488

1.30858

126

G. HASIL UJI BEDA SKOR POSTTEST INSOMNIA KEL. PERLAKUAN


DAN KONTROL
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
KODE
POSTTTEST

Statistic

df

Shapiro-Wilk

Sig.

Statistic

df

Sig.

INTER

.224

27

.001

.886

27

.006

NON INTER

.184

25

.029

.874

25

.005

a. Lilliefors Significance Correction

MANN WHITNEY TEST


Ranks
KODE
POSTTEST

Mean Rank Sum of Ranks

INTER

27

15.56

420.00

NON INTER

25

38.32

958.00

Total

52
Test Statisticsa
INTER_VS_N
ON

Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2tailed)
a. Grouping Variable: KODE

42.000
420.000
-5.459
.000

127

H. HASIL UJI BEDA RERATA SKOR PRETEST & POSTTEST


INSOMNIA KEL. PERLAKUAN
Descriptives
Kode
PERLAKUAN

Pretest

Statistic
Mean

8.8519

95% Confidence Interval Lower Bound


for Mean
Upper Bound

6.9876

Post

.90693

10.7161

5% Trimmed Mean

8.7942

Median

9.0000

Variance

22.208

Std. Deviation

Std. Error

4.71253

Minimum

2.00

Maximum

17.00

Range

15.00

Interquartile Range

8.00

Skewness

.126

.448

Kurtosis

-1.104

.872

Mean

3.8519

.25987

95% Confidence Interval Lower Bound


for Mean
Upper Bound

3.3177

5% Trimmed Mean

3.8354

Median

4.0000

Variance

1.823

Std. Deviation

4.3860

1.35032

Minimum

2.00

Maximum

6.00

Range

4.00

Interquartile Range

2.00

Skewness

.391

.448

Kurtosis

-.997

.872

128

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Pre-Post
Perlakuan

df

Shapiro-Wilk

Sig.

.218

54

Statistic

.000

.851

df

Sig.
54

.000

a. Lilliefors Significance Correction

WILCOXON SIGNED RANK TEST


Ranks
N

Mean Rank Sum of Ranks


21a

11.74

246.50

Positive Ranks

1b

6.50

6.50

Ties

5c

Total

27

POST - PRE Negative Ranks

a. POST < PRE


b. POST > PRE
c. POST = PRE
Test Statisticsb
POST - PRE
Z

-3.901a

Asymp. Sig. (2tailed)


a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

.000

129

I. HASIL UJI BEDA RERATA SKOR PRETEST & POSTTEST


INSOMNIA KEL. KONTROL
Descriptives
Kode
KONTROL

Pretest

Statistic
Mean

9.9200

95% Confidence Interval Lower Bound


for Mean
Upper Bound

8.3531

5% Trimmed Mean

Post

9.9111
11.0000

Variance

14.410
3.79605

Minimum

4.00

Maximum

16.00

Range

12.00

Interquartile Range

.75921

11.4869

Median
Std. Deviation

Std. Error

7.00

Skewness

-.241

.464

Kurtosis

-1.176

.902

Mean

9.6000

.62716

95% Confidence Interval Lower Bound


for Mean
Upper Bound

8.3056

5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation

10.8944
9.6111
10.0000
9.833
3.13581

Minimum

5.00

Maximum

14.00

Range

9.00

Interquartile Range

4.00

Skewness

-.213

.464

Kurtosis

-.880

.902

130

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
KONTROL

df

Shapiro-Wilk

Sig.

.156

50

Statistic

.004

.924

df

Sig.
50

.003

a. Lilliefors Significance Correction

WILCOXON SIGNED RANK TEST


Ranks
N
POST - PRE Negative Ranks
Positive Ranks

Mean Rank Sum of Ranks


13a

11.73

152.50

10b

12.35

123.50

Ties

2c

Total

25

a. POST < PRE


b. POST > PRE
c. POST = PRE

Test Statisticsb
POST - PRE
Z
Asymp. Sig. (2tailed)
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

-.444a
.657

131

J. HASIL UJI BEDA SELISIH SKOR INSOMNIA PRETEST &


POSTTEST KELOMPOK PERLAKUAN & KONTROL
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
KODE
SELISIH

Statistic

df

Shapiro-Wilk

Sig.

Statistic

df

Sig.

INTER

.094

27

.200*

.969

27

.574

NON INTER

.097

25

.200*

.955

25

.318

a. Lilliefors Significance Correction


*. This is a lower bound of the true significance.

Independent Samples Test


Levene's
Test for
Equality of
Variances

F
SELISIH
PRETEST
POSTTEST
PRLKUAN
KONTROL

Equal
variances .001
assumed
Equal
variances
not
assumed

Sig.

t-test for Equality of Means

95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower

Upper

50 .001 4.12593 1.21862

1.67825

6.57361

3.383 49.485 .001 4.12593 1.21975

1.67535

6.57650

.970 3.386

df

Sig.
Std.
(2Mean
Error
tailed Differen Differe
)
ce
nce

Anda mungkin juga menyukai