Anda di halaman 1dari 4

Korelasi Stratigrafi antara Cekungan Bintuni dengan Cekungan Salawati

Secara umum, urutan stratigrafi pada Cekungan Bintuni di bagian tenggara dan
Cekungan Salawati di bagian barat kepala burung hampir sama.
Awal terbentuknya kedua cekungan dimulai saat Karbon Tengah. Pada saat
pembentukan Cekungan Bintuni, cekungan tersebut memiliki kedalaman yang cukup
dangkal, yaitu pada lingkungan pengendapan litoral membentuk Formasi Aimau
dengan litologi berupa perselingan sandstone shale, sementara Cekungan Salawati juga
membentuk Formasi Aimau, namunterbentuk pada lingkungan laut dangkal dengan
litologi penyusun berupa basal conglomerate, batupasir, batulempung, batulanau, dan
batugamping keabu-abuan.
Pada saat Permian Tengah, kedua cekungan membentuk Formasi Aifat, namun
lingkungan pengendapan kedua cekungan terlihat berbeda. Semakin ke arah Permian
Akhir, Cekungan Bintuni semakin menuju ke arah parallic, sedangkan pada Cekungan
Salawati, cekungan tersebut semakin mendangkal menuju lingkungan coastal. Formasi
Aifat pada Cekungan Bintuni terdiri dari perlapisan serpih hitam dan batupasir,
sedangkan pada Cekungan Salawati, litologinya berupa karbonat dengan konkresi yang
melimpah, sedikit batugamping, serta lapisan batupasir kuarsa yang tipis.
Ketika memasuki Permian Akhir, terjadi kenaikan muka air laut sehingga kedua
cekungan mengalami pendangkalan. Cekungan Salawati yang awalnya berada pada
lingkungan laut dangkal dari Formasi Aimau berubah menjadi daerah coastal berpa
Formasi Ainim dengna litologinya berupa batulempung lanauan, batupasir kuarsa, dan
terdapat seam batubara.Pada Cekungan Bintuni lingkungan pengendapan yang awalnya
litoral berubah menjadi paralik. Hal ini dapat dilihat dari litologinya berupa shale hitam
dan batupasir.
Pada umur Trias hingga Juras Awal Cekungan Salawati mengalami proses regresi
dan pengangkatan sehingga terjadi basin inversion (pembalikan cekungan). Hal ini
menyebabkan Cekungan Salawati memiliki ketinggian yang lebih tinggi dibandingkan
dengan cekungan yang ada diselatannya yaitu Cekungan Bintuni sehingga Cekungan
Salawati hanya mensuplai material sedimen yang mengisi Cekungan Bintuni dan tidak
mengalami pengendapan sama sekali. Pada Cekungan Bintuni, proses regresi yang
terjadi pada umur Trias menghasilkan Formasi Tipuma dengan litologi berupa
batulempung dan batupasir kasar serta sedikit lapisan batugamping dan menghasilkan
bentukan alluvial fan.

Pada Juras Awal, kedua cekungan ini mengalami rifting. Cekungan Bintuni berubah
dari lingkungan alluvial fan menjadi lingkungan transisi dan near-shore sementara
Cekungan Salawati yang awalnya berupa daerah tinggian terbentuk menjadi cekungan
kembali dengan lingkungan pengendapan berupa daerah transisi hingga non-marine
Secara regional pada Jurasic Tengah kedua Cekungan mengalami pengangkatan,
namun pada beberapa daerah dari cekungan tersebut masih mengalami pengendapan
secara setempat-setempat.
Pada Jurassic Akhir hingga Cretaceous, Cekungan Bintuni mengalami pembalikan
cekungan hingga Cretaceous Akhir. Sementara itu, pada cekungan Salawati masih
terdapat daerah daerah yang memungkinkan terjadinya pengendapan walaupun
pengangkatan pada cekungan ini cukup intensif dapat terlihat dari rekaman stratigrafi
pada Formasi Kembelangan Tengah. Pada saat Cretaceous Awal, Cekungan Salawati
membentuk Formasi Kembelangan Tengah dan terbentuk pada lingkungan neritik
tengah hingga luar yang terdiri dari perselingan batupasir dan batulempung.
Pada Cretaceous Akhir kedua cekungan mengalami pengangkatan yang cukup
siginifikan. Hal ini menyebabkan Cekungan Salawati dan Cekungan Bintuni berubah
menjadi lingkungan laut dalam dan terbentuk Formasi Kembelangan Atas, berupa
batupasir kuarsa dan batulempung karbonatan. Selain itu, pada Cretaceous Akhir juga
terjadi penghentian suplai sedimen detritus klastik ke bagian utara Laut Australia,
sehingga pada zaman Tersier tepatnya umur Eosen Miosen Tengah terjadi akumulasi
karbonat yang merupakan sekuen batugamping yang tebal, dan merupakan cikal bakal
kelompok Batugamping New Guinea atau New Guinea Limestone (NGL).
Pada Paleocen Awal merupakan fase akhir dari fase pengangkatan cekungan.
Sehingga terjadi fase regresif yang mengakibatkan lingkungan berubah menjadi laut
dangkal dapat dilihat oleh kedua cekungan terisi oleh litologi berupa batugamping.
Pada kedua Cekungan Salawati dan Cekungan Bintuni, pada umur Paleosen terbentuk
Formasi Waripi. Formasi Waripi pada Cekungan Salawati terdiri dari batugamping
kalkarenit dan batupasir kuarsa calcareous, sedangkan pada Cekungan Bintuni terdiri
dari batupasir, batulanau, dan batulempung. Keterdapatan batugamping Formasi Waripi
pada Cekungan Salawati lebih dominan dibandingkan dengan Cekungan Bintuni
karena daerah Cekungan Salawati pada saat itu lebih dangkal dan lebih berpotensi bagi
pertumbuhan karbonat.

Pada umur Eosen, kedua cekungan mengalami pendangkalan laut, sehingga kedua
cekungan semakin berpotensi bagi pertumbuhan koral dan membentuk batugamping.
Kedua Cekungan Salawati dan Bintuni terbentuk Formasi Faumai yang terdiri dari
batugamping dolomit dan dolomit kristalin yang kaya fosil foraminifera, kemudian
disusul dengan pengendapan batugamping fasies lempungan.
Pada umur Oligosen, Cekungan Salawati mengalami pengangkatan serta perubahan
arah gerak dari Lempeng Pasifik, sehingga cekungan tersebut mendapat influx sedimen
klastik dari tinggian lokal dan membentuk Formasi Sirga yang terbentuk secara tidak
selaras di atas batugamping Faumai dan membaji di atas batuan dasar. Formasi Sirga
pada Cekungan Salawati terdiri dari batulanau dan batulempung, kemudian berubah
menjadi batupasir kuarsa serta batugamping. Sedangkan pada Cekungan Bintuni,
Formasi Sirga hanya terbentuk secara tidak selaras di atas Formasi Faumai, dan tidak
membaji pada basement. Litologi Formasi Faumai pada Cekungan Salawati terdiri dari
batupasir kuarsa berbutir kasar sedang dan mengandung ffosil foraminifera dan
batuserpih kerikilan.
Pada umur Miosen Awal Miosen Tegah, kedua cekungan kembali mengalami
kenaikan air laut dan mulai terbentuk Formasi Kais secara tidak selaras di atas Formasi
Sirga, dengan litologi berupa batulempung gampingan, batugamping paparan serta
batugamping terumbu. Formasi Kais pada Cekungan Salawati terbagi menjadi dua,
yaitu Kais Bawah dan Kais Atas. Formasi Kais Bawah ekuivalen dengan Formasi Sago
pada Cekungan Bintuni, dimana litologinya berupa batugamping paparan dan
batugamping terumbu. Setelah pengendapan Formasi Kais Bawah / Formasi Sago,
terbentuk Formasi Kais Atas berupa batugampign terumbu yang merupakan batuan
reservoar utama pada kedua cekungan.
Pada umur Miosen Akhir, kedua cekungan mengalami proses transgresi sehingga
di atas batugamping Kais diendapkan Formasi Klasafet barupa batulempung dan
napalan yang diendapkan di lingkungan pengendapan laut dangkal
Pada umur Pliosen, pada Cekungan Salawati terbentuk Formasi Klasaman yang
diendapkan secara selaras di atas Formasi Klasafet bersamaan dengan mulai aktifnya
pergerakan Sesar Sorong. Formasi Klasaman ini terdiri dari batulempung laut dalam
dengan sisipan batupasir dan batugamping. Formasi Klasaman ini ekuivalen dengan
Formasi Steenkool pada Cekungan Bintuni dan diendapkan pada lingkungan neritik.

Litologi Formasi Steenkool ini lebih didominais oleh klastik halus, berupa batulanau
dan batulempung yang berbeda dengan Formasi Klasaman yang masih terdapat klastikklastik pasir kasar
Pada Pleistosen, merupakan fase akhir tektonik pada Cekungan Salawati dan
Cekungan Bintuni dan terjadi fase obduksi yaitu terjadi tumbukan antar lempeng benua
yang diakibatkan oleh pergerakan Sesar Sorong sehingga menyebabkan terbentuk
Formasi Sele secara tidak selaras di atas Formasi Klasaman dengan litologi berupa
konglomerat polimitik dengan sisipan lempung dan batuan sedimen klastik kasar.

Anda mungkin juga menyukai