Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PENDAHULIAN
1.1.

Latar Belakang
Pakan sangat penting untuk produksi, kelangsungan hidup, dan reproduksi
ternak. Tingkat penyediaan pakan di Indonesia terutama hijauan sekarang ini
semakin menurun jumlahnya. Salah satu penyebabnya adalah bertambahnya
jumlah penduduk sehingga banyak lahan yang seharusnya untuk penyediaan
hijauan tetapi digunakan sebagai pemukiman. Selain itu, musim juga dapat
mempengaruhi peneyediaan hijauan pakan. Hijauan yang ada di Indonesia hanya
tumbuh berlimpah saat musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau
produksinya turun sehingga kebutuhan hijauan ternak kurang terpenuhi.
Permasalahan tersebut dapat disiasati dengan memanfaatkan teknologi pengolahan
pakan.

Pengolahan

hijauan

pakan

bertujuan

untuk

memelihara

atau

mempertahankan kualitas dan kuantitas hijauan dengan meminimalkan kehilangan


pada saat pemanenan dan penyimpanan. Pengawetan dan pengolahan hijauan
dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pengawetan hijauan dapat dilakukan
dengan cara silase yang berlangsung secara anaerob dan dalam suasana asam.
Sedangkan pengolahan dapat dilakukan dengan cara amoniasi dan fermentasi.
Amoniasi merupakan pengolahan secara kimiawi dengan menggunakan urea dan
dalam kondisi basa, sedangkan fermentasi merupakan pengolahan secara biologi
yang berlangsung dengan menggunakan bantuan mikrobia selulolitik.

1.2.

Tujuan dan Manfaat


Tujuan praktikum teknologi pengolahan pakan adalah untuk mengetahui
proses pembuatan silase rumput raja, proses pembuatan amoniasi klobot jagung,
dan proses pembuatan fermentasi tepung ikan. Manfaat dari praktikum ini adalah
dapat mengetahui proses silase, amoniasi, dan fermentasi serta dapat mengetahui
kualitas produk silase, amoniasi dan fermentasi yang baik.

BAB II
MATERI DAN METODE
Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan dengan materi silase rumput raja
dan amoniasi klobot jagung dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 4-25 Mei
2014 pukul 15.00-17.00 WIB dan materi fermentasi tepung ikan pada hari
Minggu 21-25 Mei 2014 pukul 13.00 WIB di Laboratorium Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.
2.1. Materi
Materi yang digunakan dalam praktikum adalah alat berupa tempat untuk
silase (silo) yang terbuat dari plastik, tempat untuk amoniasi dan fermentasi yang
terbuat dari plastik, gunting untuk memotong, timbangan untuk menimbang bahan
pakan, nampan untuk tempat mencampur bahan, pH meter untuk mengukur pH
bahan pakan, gelas ukur untuk mengukur air yang ditambahkan kedalam bahan,
isolasi untuk membantu memadatkan bahan, grain moisture tester untuk
mengukur kadar air tepung ikan, kertas label dan spidol untuk menandai bahan
serta alat tulis untuk mencatat hasil praktikum. Bahan yang digunakan adalah
rumput raja yang dipotong-potong 5-10 cm, dedak padi, klobot jagung yang
dipotong-potong 5-10 cm, urea, tepung ikan, ragi tape dan air.

2.2. Metode
Metode yang digunakan dalam materi silase adalah dengan menyiapkan
rumput raja, kemudian memotong-motong dengan ukuran 5-10 cm. Setelah itu
menimbang rumput tersebut sebanyak 800 gram kemudian mengangin-anginkan
dan menimbangnya kembali. Menyiapkan tiga loyang dan menimbang rumput
masing-masing 100 gram untuk tiap loyang. Mencampur rumput dengan dedak
padi hingga homogen kemudian memasukkannya ke plastik dan memadatkannya
dengan bantuan isolasi hingga rapat. Memberi label I, II, dan III pada masingmasing plastik kemudian melakukan organoleptik meliputi warna, bau, tekstur dan
pH. Menyimpannya selama 21 hari dan melakukan pengamatan tiap minggunya
meliputi perubahan bau, tekstur, warna, ada tidaknya jamur, penggumpalan dan
pH.
Metode yang digunakan dalam materi amoniasi adalah dengan menyiapkan
klobot jagung dan memotongnya dengan ukuran 5-10 cm. Menimbang klobot
jagung yang telah dipotong sebanyak 800 gram kemudian mengangin-anginkan
klobot tersebut dan menimbangnya kembali. Menyiapkan tiga loyang dan
menimbang 100 gram klobot jagung untuk tiap loyangnya. Mencampur klobot
jagung dengan urea hingga homogen kemudian memasukkannya kedalam plastik
dan memadatkannya dengan isolasi hingga rapat. Memberi label pada masingmasing plastik I, II, dan III kemudian melakukan organoleptik meliputi warna,
bau, tekstur, dan pH. Menyimpannya selama 21 hari dan melakukan pengamatan
tiap minggunya meliputi perubahan bau, tekstur, warna, ada tidaknya jamur,
penggumpalan dan pH.

Metode yang digunakan dalam materi fermentasi adalah dengan menimbang


tepung ikan sebanyak 200 gram, ragi tape 40 gram dan air sebanyak 373,3 ml.
Memasukkan tepung ikan dan ragi tape kedalam nampan, mencampurnya hingga
homogen dan menambahkan air sebanyak 373,3 ml kemudian mengaduknya.
Setelah itu memasukkannya kedalam plastik dan membagi menjadi 4 bagian yang
sama kemudian mengikat dan memadatkannya. Memasukkan ke almari dan
melakukan pengamatan selama empat hari.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.

Silase
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil pengamatan silase

diperoleh data sebagai berikut:


Tabel 1. Hasil Pengamatan Organoleptik Silase
Minggu
Kriteria
Minggu 1
Minggu 2
0
Hijau
Seperti
Seperti
Tekstur
segar
hijauan segar hijauan segar
Hijau seperti
Hijau seperti
Warna
Hijau
daun direbus
daun direbus
Bau
Khas
Asam
Asam
Jamur
Penggumpalan pH
5,14
5,57
5,02

Minggu 3
Seperti
hijauan segar
Hijau seperti
daun direbus
Asam
Tidak ada
Di tengah
5,40

Skor
8
9
7
9
5
5

3.1.1. Tekstur
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil bahwa silase rumput raja pada
minggu pertama sampai ketiga memiliki tekstur seperti hijauan segar. Silase
tersebut temasuk baik karena tekstur seperti bahan asalnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Utomo (2013) yang menyatakan bahwa silase yang baik mempunyai
ciri-ciri tekstur yang masih tampak jelas mirip asalnya. Faktor yang
mempengaruhi tekstur yaitu jumlah karbohidrat yang mudah larut sebagai zat
aditif. Hal ini sesuai dengan pendapat Lado (2007) yang menyatakan bahwa
penambahan karbohidrat mudah larut menyebabkan tekstur menjadi padat.

3.1.2. Warna
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil bahwa silase rumput raja pada
minggu pertama sampai ketiga memilki warna hijau seperti daun direbus. Silase
yang baik yaitu berwana hijau seperti daun direbus. Perubahan warna yang
terjadi disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam tanaman
karena proses respirasi anaerobik. Hal ini sesuai pendapat Hidayat (2014) bahwa
perubahan warna yang terjadi pada tanaman yang mengalami proses ensilase
disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam tanaman karena
proses respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen masih
ada, sampai gula tanaman habis. Selain itu pendapat Sumarsih (2009) bahwa
Kualitas silase dapat ditentukan secara organoleptik maupun kimiawi, secara
organoleptik ciri-ciri silase yang baik tekstur tidak berubah, tidak menggumpal,
warna hijau seperti daun direbus, rasa dan bau asam, tetapi tidak terdapat asam
butirat, tidak berlendir dan tidak berjamur.
3.1.2. Bau
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil bahwa silase rumput raja pada
minggu pertama sampai ketiga memiliki bau asam. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa kualitas silase tersebut tergolong baik. Perubahan semakin asam
dikarenakan pH yang semakin rendah. Hal ini sesuai pendapat Hidayat (2014)
bahwa pola perubahan bau yang semakin asam tentu sejalan dengan pH silase
yang

semakin

rendah. Hal ini didukung pendapat Sumarsih (2009) bahwa

Kualitas silase dapat ditentukan secara organoleptik maupun kimiawi, secara


organoleptik ciri-ciri silase yang baik tekstur tidak berubah, tidak menggumpal,
warna hijau seperti daun direbus, rasa dan bau asam, tetapi tidak terdapat asam
butirat, tidak berlendir dan tidak berjamur.
3.1.4. Jamur
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil dari pengamatan silase
rumput raja diperoleh hasil pada minggu ke-0 belum ada jamur, minggu ke-1 tidak
ada jamur, minggu ke-2 tidak ada jamur dan minggu ke-3 tidak ada jamur yang
tumbuh pada silase tersebut. Tidak tumbuhnya jamur pada silase tersebut
menandakan bahwa kualitas silase tergolong baik, karena pada saat proses
pemadatan berlangsung dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Supriyantono dan Budi (2010) bahwa proses pemadatan bahan silase ke dalam
silo berlangsung dengan baik sehingga hampir tidak ada oksigen di dalam silo.
Ditambahkan oleh pendapat Zailzar et al. (2011) bahwa ciri-ciri silase yang baik
yaitu berbau harum agak kemanis-manisan, tidak berjamur, tidak menggumpal,
berwarna kehijau-hijauan dan memiliki pH antara 4 sampai 4,5.
3.1.5. Penggumpalan
Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan pengamatan penggumpalan
diperoleh hasil pada minggu ke-0 tidak ada penggumpalan, minggu ke-2 tidak ada
penggumpalan, minggu ke-2 juga tidak ada penggumpalan namun pada minggu
ke-3 terjadi penggumpalan. Terjadinya penggumpalan biasanya disertai dengan

tumbuhnya jamur dan disebabkan oleh kurang sempurnanya saat pemadatan,


akibatnya pada pengemasan masih terdapat udara yang mampu dimanfaatkan
untuk aktifitas mikroorganisme. Kualitas silase yang diperoleh dari hasil
pengamatan kurang baik karena silase dikatakan baik apabila tidak terjadi
penggumpalan. Hal ini sesuai dengan pendapat pendapat Utomo (2013) bahwa
kualitas silase yang baik secara fisik, yaitu warna silase mendekati warna bahan
asalnya, tekstur masih tampak jelas mirip asalnya, tidak menggumpal, tidak
ditumbuhi jamur, tidak berlendir, tidak berbau manis, serta bau dan rasanya asam.
Diperkuat oleh pendapat Sianipar dan Simanihuruk (2009) yang menyatakan
bahwa kerusakan (menggumpal) terjadi karena pemadatan bahan yang kurang
sempurna sehingga masih terdapat udara yang dapat dimanfaatkan oleh
mikroorganisme aerob untuk beraktifitas.
3.1.6. pH
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil bahwa pH silase rumput raja
pada minggu pertama 5,57; pada minggu kedua 5,02 dan pada minggu ketiga
sebesar 5,40. pH tersebut menunjukkan kualitas silase kurang baik karena lebih
dari 4,5. Tidak idealnya pH pada silase dipengaruhi oleh kurangnya karbohidrat
yang mudah larut dan enzim komplek yang tersedia, sehingga laju pembentukan
asam laktat berjalan lambat. Hal ini sesuai dengan pendapat Hermanto (2011)
yang menyatakan pH silase 4,3 4,5 cukup baik dan pH 3,8 4,2 sangat ideal.
Penurunan pH disebabkan oleh peningkatan bakteri asam laktat (BAL). Hal ini
sesuai dengan pendapat Antaribaba (2009) yang menyatakan bahwa penurunan

10

nilai pH dapat disebabkan terjadinya peningkatan populasi BAL sehingga


produksi asam laktat meningkat.
3.2.

Amoniasi
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil pengamatan amoniasi

diperoleh data sebagai berikut:


Tabel 2. Hasil Pengamatan Organoleptik Amoniasi
Kriteria
Tekstur
Warna

Minggu 0

Minggu 1

Minggu 2

Seperti
bahan asal
Kuning
kecoklatan

Seperti
bahan asal

Seperti bahan
asal
Coklat
kekuningan

Coklat tua

Minggu 3

Skor

Agak remah

Kuning
kecoklatan

Berbau
amoniak
menyengat

Berbau
amoniak
menyengat

Tidak ada

Bau

Khas

Jamur
Penggumpal
an
pH

Berbau
amoniak
tidak
menyengat
-

Di tepi

9,14

8,59

8,95

9,25

3.2.1. Tekstur
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil tekstur
amoniasi pada minggu ke-0 seperti bahan asal, minggu ke-1 seperti asal, minggu
ke-2 agak remah dan minggu ke-3 agak remah. Perubahan terkstur tersebut terjadi
karena adanya hidrolisis enzim urease yang mengakibatkan perenggangan ikatan
lignoselulosa dan linohemiselulosa. Kualitas amoniasi yang diperoleh dari hasil
pengamatan tergolong baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Zain (2009) yang
menyatakan amoniasi menyebabkan teksur menjadi lebih lunak dibandingkan

11

dengan sebelum diamoniasi. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan


Andayani (2010) yang menyatakan bahwa amoniasi klobot jagung memiliki
tekstur

yang

remah. Andayani

(2008)

menambahkan

bahwa

amoniasi

menggunakan larutan urea akan membentuk amonia dengan bantuan enzim urease
yang berfungsi merenggangkan ikatan lignosellulosa dengan lignohemisellulosa.
3.2.2. Warna
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan warna amoniasi klobot jagung
dengan penambahan urea diperoleh hasil bahwa amoniasi pada minggu ke-0
berwarna kuning kecoklatan, minggu ke-1 berwarna coklat tua, minggu ke-2
berwarna coklat kekuningan, dan minggu ke-3 berwarna kuning kecoklatan.
Perubahan warna tersebut akibat adanya penambahan ammonia pada klobot
jagung dan disimpan dalam keadaan anaerob, sehingga menyebabkan kadar CO 2
meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Reksohadiprodjo (2001) yang
menyatakan bahwa perubahan warna disebabkan meningkatnya CO2 sehingga
temperatur pemeraman meningkat. Rahardi (2009) yang menyatakan bahwa
manfaat dari amoniasi yaitu merubah warna dari kuning kecoklatan menjadi
coklat tua. Sumarsih dan Tampoebolon (2003) menambahkan bahwa ciri amoniasi
yang baik yaitu berwarna kecoklat-coklatan seperti bahan asal.

3.2.3. Bau
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan bau amoniasi klobot jagung
dengan penambahan urea diperoleh hasil bahwa amoniasi pada minggu ke-0

12

berbau khas amonia, minggu ke-1 berbau amonia tidak menyengat, minggu ke-2
berbau amonia menyengat, dan pada minggu ke-3 berbau amonia menyengat.
Adanya perubahan bau tersebut disebabkan karena klobot jagung disimpan dalam
keadaan anaerob sehingga tidak ada pergantian udara di dalam silo yang membuat
suasana menjadi basa. Suasana basa mengakibatkan urea yang memiliki rumus
CO(NH2)2 yang diubah menjadi NH3 (amonia). Hal ini sesuai dengan pendapat
Sumarsih dan Tampoebolon (2003) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang
baik yaitu bau yang khas amonia. Hanafi (2004) menambahkan bahwa urea
dengan rumus molekul CO(NH2)2 digunakan dalam ransum. CO (NH2)2 yang
digunakan terurai menjadi NH3 dan CO2. Dengan molekul air dan NH 3 akan
mengalami hidrolisis menjadi NH4+ dan OH. Bau amoniak menyengat pada
amoniasi disebabkan karena tingginya kadar urea yang dipakai saat proses
amoniasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Soejono (2000) yang menyatakan
bahwa kandungan urea pada proses amoniasi mempengaruhi tinggi rendahnya
kandungan amoniak, yang menimbulkan bau menyengat pada hasil amoniasi.
3.2.4. Jamur
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan jamur pada klobot jagung
dengan penambahan urea diperoleh hasil bahwa pada klobot jagung amoniasi baik
pada pengamatan minggu ke-0 sampai minggu ke-3 menunjukkan bahwa tidak
terdapat jamur yang tumbuh pada klobot jagung amoniasi. Hal ini menunjukkan
bahwa pembuatan amoniasi klobot jagung tersebut berhasil dan berkualitas baik.
Pembuatan

amoniasi

tersebut

tidak

menghasilkan

jamur

karena

cara

13

pembungkusan dilakukan dengan baik dan rapat sehingga diperoleh suasana


anaerob. Hal ini sesuai dengan pendapat Regan (2001) bahwa kualitas amoniasi
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti asal atau jenis hijauan, temperatur
penyimpanan, kepadatan hijauan dan kondisi anaerob pada proses amoniasi
berlangsung. Penambahan urea sebagai sumber amonia pada klobot jagung dalam
kondisi anaerob juga dapat digunakan sebagai cara pengawetan klobot jagung
agar tidak ditumbuhi jamur. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahardi (2009) yang
menyatakan bahwa manfaat amoniasi adalah meningkatkan NH3 pada cairan
rumen, memberikan bahan nitrogen yang positif, menghambat pertumbuhan
jamur, dan memusnahkan telur cacing yang terdapat dalam klobot jagung.
3.2.5. Penggumpalan
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa pada klobot jagung yang
diamoniasi dengan urea terjadi sedikit penggumpalan ditepi. Penggumpalan
terjadi karena banyak faktor, diantaranya adalah karena adanya jamur yang
terkontaminasi, pelepasan ikatan lignoselulosa dengan lignohemiselulosa didalam
proses amoniasi, masih terdapat kadar air pada klobot jagung yang kurang dalam
pelayuan serta level pemberian urea yang terlalu tinggi. Kualitas amoniasi klobot
jagung yang terdapat penggumpalan termasuk kurang baik. Hal ini sesuai dengan
pendapat Andayani, et.al. (2005) bahwa level urea 6% dan lama amoniasi 28 hari
merupakan level yang baik untuk proses amoniasi pada kulit buah jagung.
Andayani (2008) menambahkan, proses amoniasi dengan urea akan menyebabkan
proses perenggangan terhadap ikatan lingoselulosa dan lignohemiselulosa pada

14

bahan perlakuan, perlakuan amoniasi akan meningkatkan kandungan protein


kasar, sehingga akan meningkatkan degradasi protein kasar.
3.2.6. pH
Berdasarkan hasil praktikum pembuatan amoniasi klobot jagung dengan
penambahan urea diperoleh hasil yaitu minggu ke-1 memiliki pH 8,59, minggu
ke-2 pH 8,95, dan minggu ke-3 pH 9. Setiap minggu pH mengalami peningkatan
dan menjadi basa karena adanya pemecahan ikatan lignin dan hemiselulosa. Hal
ini sesuai dengan pendapat Sumarsih dan Tampoebolon (2003) yang menyataka
bahwa bahan pakan hasil amoniasi lebih lembut dibandingkan bahan pakan
aslinya dan memiliki pH yang dihasilkan sekitar 8 atau lebih. Ditambahkan oleh
pendapat Andayani (2009) yang menyatakan bahwa pengaruh urea yang
digunakan untuk amoniasi klobotjagung akan menyebabkan proses pemecahan
terhadap ikatan lignosellulosa dan lignohemisellulosa.

3.3.

Fermentasi

15

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil pengamatan fermentasi


disajikan pada Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Organoleptik Fermentasi
Kriteria Hari ke 0 Hari ke 1 Hari ke 2
Hari ke 3
Tekstur
Lembek
Lembek Lembek
Lembek
Coklat
Coklat
Coklat
Warna
Coklat tua
tua
tua
kekuningan
Khas
Khas
Busuk dan Busuk dan
Bau
tepung
tepung
menyengat menyengat
ikan
ikan
Jamur
pH
5,92
5,61
4,80
5,73

Hari ke 4
Lembek

Skor
9

Coklat

Busuk dan
9
menyengat
Sedikit
5,84

5
6

3.3.1. Tekstur
Berdasarkan hasil pengamatan pada fermentasi tepung ikan bahwa tepung
ikan yang difermentasi menggunakan ragi tape pada hari pembuatan fermentasi
memiliki tekstur lembut, sedangkan hari pertama, kedua, ketiga dan keempat
mengalami perubahan tekstur menjadi lembek karena adanya aktivitas mikroba
yang menyebabkan perombakan enzim proteolitik yang dihasilkan selama
fermentasi sehingga terjadi perubahan struktur yang awalnya keras menjadi
sederhana (lunak). Faktor yang mempengaruhi fermentasi pada tepung ikan
adalah jenis starter, aktivitas mikroba, suhu, bahan pakan yang digunakan, jenis
spesies bakteri serta lama pemeraman. Hal ini sesuai pendapat Billah (2003)
bahwa fermentasi merupakan proses perombakan yang dilakukan mikroba secara
aerob maupun anaerob dari struktur keras secara fisik, kimia dan biologis
sehingga bahan dari struktur yang komplek menjadi sederhana, sehingga daya
cema temak menjadi lebih efisien. Hal ini ditambahkan oleh pendapat Arifan dan

16

Deddy (2011) bahwa aktivitas bakteri aerob maupun anaerob berlawanan dengan
bakteri patogen dan pembusuk, bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat dan
asam cuka yang dapat menurunkan pH untuk menghambat bakteri yang tidak
diinginkan sehingga mengakibatkan tekstur lebih lembek serta mengubah sifat
bahan yang difermentasi. Rosida dan Susiloningsih (2007) menambahkan bahwa
semakin lama fermentasi, tekstur tepung ikan yang dihasilkan makin lembek
karena semakin banyak protein yang terhidrolisis.
3.3.2. Warna
Berdasarkan hasil pengamatan minggu pertama, kedua tidak terjadi
perubahan warna yakni coklat tua, pengamatan minggu ketiga terjadi perubahan
warna coklat kekuningan serta memiliki penilaian skor 6. Faktor-faktor yang
menyebabkan perubahan warna adalah lama pemeraman, bakteri asam laktat, dan
jenis starter. Hal ini mendekati pendapat Sulistiyanto, et al. (2009) bahwa tepung
ikan yang dibuat dengan pemeraman bau, agak busuk dengan warna hitam
kecoklatan. Hal ini ditambahkan oleh Afrianto and Liviawaty (2005) bahwa
temperatur yang optimum akan mempercepat pertumbuhan mikroba serta aktivitas
mikroba dapat melangsungkan metabolisme sehingga dapat menguraikan hasil
metabolisme terutama asam laktat yang dapat mengubah sifat bahan pakan
aslinya.
3.3.3. Bau
Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa bau fermentasi tepung ikan
pada minggu pertama amis khas tepung ikan sedangkan pada minggu ke dua

17

sampai ke empat berbau busuk dan menyengat. Skor yang diperoleh sebesar 9.
Kondisi bau tersebut akibat penambahan ragi yang menyebabkan aktifitas bakteri
asam laktat yang memecah karbohidrat menjadi asam laktat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Pang et al. (2013) yang menyatakan bahwa bau tepung ikan adalah khas
ikan agak amis. Ditambahkan oleh pendapat Syahrul et al. (2009) bahwa
fermentasi juga mempengaruhi nilai aroma (bau), dimana semakin lama
penyimpanan maka nilai aroma semakin rendah yang menimbulkan aroma khas
fermentasi seperti aroma alkohol.
3.3.4. Jamur
Berdasarkan hasil praktikum bahwa fermentasi dengan tepung ikan pada
minggu keempat terdapat sedikit jamur. Terdapatnya sedikit jamur menunjukkan
proses fermentasi mengalami kerusakan karena tidak mengalami proses anaerob
yang maksimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Heruwati (2002) yang
menyatakan bahwa kerusakan mikrobiologis disebabkan oleh bakteri atau jamur
yang patogen pada suatu bahan. Ditambahkan pendapat Krisnan (2008) yang
menyatakan bahwa pemberian air untuk mengetahui seberapa jauh bahan tersebut
dapat mengalami kerusakan yang disebabkan jamur, khamir, bakteri, enzim dan
kerusakan kimia lainnya.
3.3.5. pH
Berdasarkan hasil praktikum bahwa pH pada hari pertama adalah 5,61;
pada hari kedua adalah 4,80; pada hari ketiga 5,73 dan pada hari keempat adalah

18

5,84. Skor yang diperoleh sebesar 6. Pada pH (derajat asam) minggu pertama ke
kedua mengalami penurunan dan minggu berikutnya mengalami kenaikkan
sampai minggu keempat dikarenakan jumlah bakteri asam laktat yang berbeda.
Derajat keasaman (pH) dapat mengukur tingkat asam atau basah suatu produk.
Hal ini sesuai dengan pendapat Syahrul (2009) yang menyatakan bahwa derajat
keasaman (pH) adalah suatu metode untuk mengetahui tingkat keasaman atau
kebasaan suatu produk. Proses fermentasi dengan penambahan ragi membuat pH
menjadi stabil. Hal ini sesuai dengan pendapat Ennouali et al. (2006) bahwa
adanya penambahan ragi pH akan menjadi stabil.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

19

4.1.

Simpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa

silase rumput raja menunjukkan tekstur seperti hijauan segar, warna hijau seperti
daun direbus, suasana semakin asam, tidak berjamur dan terdapat penggumpalan
ditengah. Amoniasi klobot jagung menunjukkan bau amoniak menyengat, tekstur
agak remah, warna kuning kecoklatan, tidak terdapat jamur, terdapat sedikit
penggumpalan ditepi dan suasananya semakin basa. Hasil fermentasi tepung ikan
menunjukkan kualitas yang kurang baik karena berbau busuk dan menyengat,
tekstur lembek, warna coklat, tidak ada penggumpalan, tetapi terdapat sedikit
jamur. Faktor yang mempengaruhi kualitas pakan yang disilase, amoniasi dan
fermentasi diantaranya adalah kualitas bahan asal, lama penyimpanan, dan
kandungan yang ada dalam bahan pakan tersebut.
4.2.

Saran
Sebaiknya praktikan melakukan praktikum sesuai dengan prosedur yang

telah ditentukan, dan menggunakan alat yang lengkap agar hasil silase, amoniasi
dan fermentasi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. dan E. Liviawaty, 2005. Pengawetan dan Pengolahan lkan, Cetakan
Pertama. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

20

Andayani, J. 2008. Evaluasi kecernaan in sacco beberapa pakan serat yang berasal
dari limbah pertanian dengan amoniasi. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu
Peternakan Vol.11(2) :88-92.
Andayani, J. 2009. Kecernaan in vitro komponen serat ransum ternak sapi yang
menggunakan kulit buah jagung amoniasi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Peternakan, Agustus, Vol. XII (3)
Andayani, J. 2010. Evaluasi kecernaan in vitro bahan kering, bahan organik dan
protein kasar penggunaan kulit buah jagung amoniasi dalam ransum
ternak sapi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 13 (5).
Andayani, J., A. Yani dan Akmal. 2005. Kecernaan bahan kering, bahan organik
dan NDF kulit buah jagung amoniasi secara in sacco. Laporan Penelitian,
Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi.
Antaribaba, M.A., N. K. Tero, B. T. Hariadi dan B. Santoso. 2009. Pengaruh taraf
inokulum bakteri asam laktat dari ekstrak rumput terfermentasi terhadap
kualitas fermentasi silase rumput raja. Jurusan Nutrisi dan Makanan
Ternak,Universitas Negeri Papua.
Arifan, F. dan Deddy Kurniawan Wikanta. 2013. Optimasi produksi ikan lemuru
(sardinella longiceps) tinggi asam lemak omega-3 dengan proses
fermentasi oleh bakteri asam laktat. Fakultas Teknik Universitas Wahid
Hasyim, Semarang.
Billah, M.2003. Pemanfaatan limbah ikan tuna melalui proses fermentasi anaerob
menggunakan bakteri ruminansia. Jurnal ilmiah Teknik Lingkungan Vol l
(1) : 48-57.
Ennouali M, Elmoualdi L, labioui H, Ouhsine M, and Elyachioui M. 2006.
Biotransformation of The Fish Waste By Fermentation. Laboratory of
microbial biotechnology, Faculty of the Sciences, University Ibn Tofail,
City of Kenitr, Morocco.
Hermanto. 2011. Sekilas Agribisnis Peternakan Indonesia. Konsep Pengembangan
Peternakan Menuju Perbaikan Ekonomi Rakyat Serta Meningkatkan
Gizi Generasi Mendatang Melalui Pasokan Protein Hewani Asal
Peternakan.
Heruwati Endang S., 2002. Pengolahan ikan secara tradisional: prospek dan
peluang pengembangan. pusat riset pengolahan produk dan sosial
ekonomi kelautan dan perikanan, Jl. K.S. Tubun Petamburan VI, Jakarta.
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3).

21

Hidayat, N. 2014. Karakteristik dan kualitas silase rumput raja menggunakan


berbagai sumber dan tingkat penambahan karbohidrat fermentable.
Agripet, Vol 14(1) : 42-49.
Krisnan, R. 2008. Perubahan Karakteristik Fisik Konsentrat Domba Selama
Penyimpanan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Sei
Putih, Galang.
Lado, L. 2007. Evaluasi Kualitas Silase Rumput Sudan (Sorghum Sudanense)
pada Penambahan Berbagai Macam Aditif Karbohidrat Mudah Larut.
Tesis. Pascasarjana Program Studi Ilmu Peternakan. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Pang, C.J., E. Noorhartati, F.S. Rejeki. 2013. Optimasi proses pengolahan mi ikan
tongkol (Euthynnus affinis). J. REKA Agroindustri, Vol.1(1)
Rahardi, S. 2009. Pembuatan Amoniasi Jerami Padi Sebagai Pakan Ternak.
Regan, C. S. 1997. Forage Converasation in The Wet. Thesis Faculty of Sience,
Nothern Territory University, Australia.
Reksohadiprodjo, S. 1998. Pakan Ternak Gembala. BPFE, Yogyakarta.
Rosida dan E. K. B. Susiloningsih. 2007. Pengaruh konsentrasi starter
lactobacillus plantarum dan lama fermentasi terhadap kualitas dan
kerusakan produk terasi. Jurnal Protein. Vol.15(2): 72-76
Sianipar, J. dan K. Simanihuruk. 2009. Performans Kambing Sedang Tumbuh
yang Mendapat Pakan Tambahan Mengandung Silase Kulit Buah Kakao.
Loka Penelitian Kabing Potong, PO Box 1, Sei Putih, Galang 20585,
Sumatera Utara.
Soejono, M. 1986. The Effect of Duration Urea Ammonia Treatment on in Vivo
Digestibility. Unpublished.
Sulistiyanto, B., C.S.Utama and K. Nugoho.2009. Effect of different techniques of
acidification by sauerkraut extracts to physical performance of acidified
fish meal. Jurnal Kesehatan. Vol.2(1): 14-18.
Sumarsih, S. dan B. I. Tampoebolon. 2003. Pengaruharas urea dan lama
pemeraman yang berbeda terhadap sifat fisik eceng gondok teramoniasi.
J. Pengembangan Peternakan Tropis. 4: 298-301
Sumarsih,S., C. I. Sutrisno, dan B. Sulistiyanto. 2009. Kajian penambahan tetes
sebagai aditif terhadap kualitas organoleptik dan nutrisi silase kulit
pisang. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan 208-211.

22

Supriantono, A dan Santoso, B. 2010. Introduksi pakan silase pada peternakan di


ukm karya bersatu dan pondok pesantren darusalam kampung aimasi.
Jurnal Ilmu Peternakan. 5(2): 81-85.
Syahrul, Dewita, dan Diana A. 2009. Pengaruh penggunaan crude enzim pyloric
caeca dan lama fermentasi terhadap mutu bekasem ikan bilih
(Mystacoleucus padangensis). Vol. 37. (1)
Utomo, R. 2013. Konservasi Hijauan Pakan dan Peningkatan Kualitas Bahan
Pakan Berserat Tinggi. In Press
Zailzar, L., Sujono, Suyatno dan A. Yani. 2011. Peningkatan kualitas dan
ketersediaan pakan untuk mengatasi kesulitan di musim kemarau pada
kelompok peternak sapi perah. Jurnal Dedikasi Vol. 8.
Zain, M. 2009. Substitusi rumput lapangan dengan kulit buah coklat amoniasi
dalam ransum domba lokal. Media Peternakan. 32 (1): 47-52.

LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Kadar Air
Silase

23

Berat awal rumput raja

= 800 gram

Kadar air rumput raja

= 84,28%

84,28
Kadar air dalam bahan yang disilase = 100
x 800
= 674, 24 gram
Berat akhir rumput raja

= 680 gram

Selisih bobot awal dan akhir

= 800 gram 680 gram


= 120 gram

Bobot air

= 674,24 gram 120 gram


= 554,24 gram

Kadar air bahan yang akan disilase

Kadar air sekarang


= Berat akhir setelah dilayukan
554,24
= 680

x 100

= 81,5 %

Lampiran 1. (Lanjutan)
Amoniasi
Berat awal klobot jagung

= 800 gram

x 100

24

Kadar air klobot jagung

= 50%

Kadar air dalam bahan yang diamoniasi

50
= 100

x 800

= 400 gram
Berat akhir klobot jagung

= 680 gram

Selisih bobot awal dan akhir

= 800 gram 680 gram


= 120 gram

Kadar air sekarang

= 400 gram 120 gram


= 280 gram
280
= 680

Kadar air bahan yang akan diamoniasi

x 100

= 41,17 %
( % KA hijauan x gram hijauan) + a
Gram Hijauan + a

KA yang dibutuhkan (40%)

100

(42,17 % x 100 gram) + a


= 100 + a

40%

4000+ 40 a = (42,17 + a) 100


4000+ 40 a = 4217 +100 a
4000-4217 = 60 a
a

= 3,61 ml

Jadi jumlah air yang ditambahkan untuk amoniasi adalah 3,61 ml


Lampiran 1. (Lanjutan)
Fermentasi

x 100 %

25

( % KA pakan x gram pakan) + a


KA yang dibutuhkan (70%) = Gram pakan + a

70 % =

( 14% x 200 ) + a
x 100 %
200 +a

70 % =

28 + a
x 100 %
200 + a

0,7 (200 + a) = 28 + a
140 + 0,7 a

= 28 + a

112

= 0,3 a

= 373,3 gram

Jadi air yang ditambahkan untuk fermentasi sebesar 373,3 gram

Lampiran 2. Foto Dokumentasi Praktikum

x 100%

26

Silase

Amoniasi

Fermentasi

27

Lampiran 3. Fotokopi Laporan Sementara Praktikum


Silase

28

Lampiran 3. (Lanjutan)

29

Lampiran 3. (Lanjutan)
Amoniasi

30

Lampiran 3. (Lanjutan)

31

Lampiran 3. (Lanjutan)
Fermentasi

32

Lampiran 3. (Lanjutan)

Anda mungkin juga menyukai