Anda di halaman 1dari 45

WASPADA, 24 Jun 04 01:31 WIB

Pendidikan Yang Toleran

]Oleh David Krisna Alka

Sikap tidak toleran yang kadang kerap muncul tak semata disebabkan oleh faktor internal
masing-masing kelompok, namun sering pula akibat faktor dan motivasi eksternal, seperti
kebijaksanaan politik pemerintah tertentu atau politik global kekuatan dunia tertentu.
Beberapa gerakan radikal yang cenderung tidak toleran di Timur Tengah atau di Amerika
Latin misalnya, lebih banyak dipengaruhi politik pemerintah mereka yang represif serta
dominasi politik global negara-negara tertentu, terutama AS, yang sering menggunakan
standar ganda dalam memecahkan persoalan-persoalan internasional.

Oleh karena itu, mengupayakan pendidikan yang toleran bagi kalangan pelajar di
Indonesia sangat dibutuhkan. Tidak salah jika dikatakan bahwa Indonesia merupakan
sebuah “miniatur dunia”. Dalam arti, di Indonesia dapat ditemukan keanekaragaman yang
dihayati dalam kesadaran kesatuan utuh, meskipun perbedaan kadangkala dapat menjadi
hambatan dalam praksisnya.

Toleransi Umat Beragama

Model penciptaan manusia yang beraneka ragam oleh Tuhan, jelas sekali tidak dimaksudkan untuk memecah
belah manusia atau menjadikan mereka saling bermusuhan satu sama lain. Sebaliknya, berdasarkan perbedaan-
perbedaan yang ada manusia didorong untuk saling mendekat dan saling berkerjasama berlandaskan kesadaran
bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu.

Manusia, apapun tradisi dan agamanya, apapun bahasa dan warna kulitnya, adalah mahluk ciptaan Tuhan yang
satu; semuanya adalah ciptaaan Tuhan. Kesadaran atas kesatuan manusia; kesadaran bahwa Tuhan yang satu
telah menciptakan kita semua dan kesadaran bahwa sebagai mahluk ciptaan-Nya kita memiliki hak-hak yang
sama. Oleh karena itu, kita harus memperlakukan setiap orang secara manusiawi, merupakan prinsip utama
yang akan dapat menyatukan manusia sekalipun mereka memiliki latar belakang berbeda-beda.

Peneguhan toleransi umat beragama yang paling penting bukannya membongkar teologi masing-masing agama
yang lebih diutamakan. Malah yang lebih penting adalah menyadarkan lewat aksi bersama dalam melakukan
gerakan kemanusiaan dan melalui penerapan belajar-mengajar pada lembaga-lembaga pendidikan.

Peran Lembaga Pendidikan

Dalam paradigma baru, pendidikan agama-agama lebih ditekankan kepada moral improvement. Bila dalam
paradigma lama, metode pengembangan misi agama lebih bersifat emosional dan sering kurang jujur melihat
agama-agama lain, maka dalam paradigma baru yang perlu dikembangkan adalah metode kebijaksanaan
(hikmah, wisdom), keteladanan (mauizhah hasanah), dan dialog (jadal bil ahsan). Karena itu, pemaksaan,
indoktrinasi, dan debat tidak mendapat tempat dalam paradigma baru ini

Menurut Moeslim Abdurrahman (1997), kita mungkin berasumsi bahwa penanaman dasar-dasar pendidikan
agama sebagai kerangka pembentukan watak dan sikap kepribadian, telah dilaksanakan dengan intensif pada
tingkat dasar yang mungkin diteruskan pada tingkat menengah dan perguruan tinggi. Namun di tingkat mana
pun, sebaiknya pendidikan agama harus lebih berorientasi untuk menumbuhkan wawasan keagamaan dalam
kaitan dengan religious intelectual building.

Oleh karena itu, selain mungkin lebih cocok disajikan dalam kelas-kelas seminar dan evaluasi melalui karya tulis,
materi kuliah agama itu hendaknya bersifat “perspektif”. Misalnya: Islam dalam perspektif kebudayaan, dalam
perspektif sejarah, dalam perspektif perkembangan sains, dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini sudah ada upaya menyusun modul-modul gaya-gaya siswa aktif untuk pelajaran agama. Atau
yang lebih populer disebut CBSA Agama Islam. Sudah jelas, upaya ini harus kita hargai. Sebab metode itu
membuat siswa lebih dinamis dan bergairah. Akan tetapi, seperti kita ketahui, aspek lain dan yang paling penting
dalam pendidikan agama selain kognitif adalah psikomotoris dan afektif.
Persoalannya, untuk perkembangan jiwa anak, cara apa yang bisa menghidupkan dua hal itu. Di sinilah, mungkin
justru pentingnya mengembangkan bentuk-bentuk permainan psikologis yang dapat merangsang pertumbuhan
religiusitas anak, dalam proses belajar-mengajar agama. Yang mungkin tidak kalah pentingnya ialah cara-cara
memperoleh “suasana religiusitas” misalnya, melalui aktivitas-aktivitas seperti life in pesantren pada saat-saat
tertentu sebagai program tambahan luar kelas.

Sehubungan dengan itu, jika harus mempertimbangkan apakah jam pelajaran agama di kelas harus ditambah,
maka mungkin jam pelajaran tersebut sebaiknya tidak ditambah. Tetapi program-program seperti life ini
pesantren yang harus dikembangkan secara resmi. Pertimbangan lainnya ialah, penambahan jam pelajaran
agama akan beresiko pada terkuranginya jam pelajaran umum. Ini membuat anak-anak kita tidak cukup banyak
menyerap ilmu-ilmu umum, sehingga anak-anak didik beragama Islam mungkin akan tertinggal prestasi
belajarnya secara keseluruhan. Tentu, hal ini tidak baik buat masa depan anak-anak kita, terutama dalam era
Iptek mendatang.

Begitu juga dalam menumbuhkan religiusitas anak-anak tersebut, bentuk-bentuk kunjungan sosial, seperti ke
rumah jompo, ke lokasi bencana alam, ke permukiman kumuh, ke pusat-pusat pengembangan teknologi
kontemporer, tentunya juga bermanfaat. Ini adalah cara visual untuk “memberi pelajaran agama” yang sekaligus
dapat menghidupkan rasa kepekaan sosial, rasa mencintai sains, dan seterusnya.

Sejalan dengan itu, tiga komponen dasar pendidikan agama – guru, filsafat dan metodologi pendidikan, dan
perangkat keras (gedung dan lain sebagainya) – harus serempak dikembangkan. Selain membenahi sistem
pendidikan guru, penyiapan guru agama itu sendiri amat penting, agar para guru mendapat kelayakan mengajar
dari segi kecakapan didaktis-metodis. Tetapi karena masalah pendidikan agama berkaitan dengan penerusan
nilai-nilai dan penanaman adab bagi generasi penerus, maka sudah waktunya sistem pendidikan guru agama
juga harus mengandung aspek pandangan budaya. Kalaupun hal itu sudah ada, maka porsinya harus ditambah.
Dengan demikian, pendidikan agama tidak hanya sekedar proses belajar-mengajar agama, apalagi dalam konsep
schooling, tetapi lebih merupakan proses inkulturasi dan akulturasi yaitu, proses memperadabkan generasi.

Nah, dalam jangka panjang, dengan meningkatkan pendidikan budi pekerti, dan pendidikan akhlak di masing-
masing agama. Pendidikan akhlak pada dasarnya membatasi kepentingan diri sendiri ketika berhadapan dengan
kepentingan orang lain. Pendidikan akhlak, yang menuju kepada terciptanya masyarakat madani, itulah jalan
utama untuk mengatasi intoleransi agama.

* Penulis adalah Ketua Program Center For Moderate Moslem (CMM) Jakarta dan Penelit Al-Maun for Islamic
Transformation, Anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

Mengajarkan Anak Jalanan Menulis Sastra

Oleh
David Krisna Alka

Mengapa harus takut pada matahari


kepalkan tangan lawan teriknya
Mengapa harus takut pada malam hari,
nyalakan lilin sebagai penerangnya.
(Syair Anak Jalanan)

Adakalanya keterbatasan sulit untuk memaklumi keinginan memacu segala bentuk kreativitas
pada anak-anak jalanan. Keterbatasan itu salah satunya adalah dalam bentuk ketakmampuan
dari segi materi untuk meraihnya dengan mudah. Mereka berjalan di terik matahari, dalam dingin
malam, dan di tengah kegalauan negeri yang membiarkan mereka terpaksa untuk patuh
terhadap keterbatasan materi tersebut.
Sebenarnya anak-anak jalanan adalah anak-anak yang kreatif. Mereka mau menggali potensi
yang mereka miliki, seperti berpuisi dan bernyanyi di dalam bis kota, di tengah kemacetan kota,
dan di bawah lampu merah, dan mereka memiliki pengalaman hidup yang pahit dan unik. Dalam
perjalanan kehidupan mereka, kerikil-kerikil tajam yang menghadang merupakan tantangan hidup
yang mau tak mau harus mereka hadapi.
Pandangan keseharian yang sudah biasa terlihat di beberapa kota besar negeri ini yaitu,
nyanyian duka anak-anak jalanan. Lantunan syair lagu yang mereka nyanyikan merupakan
hiburan hidup yang berusaha menyenangkan hati dengan berpuisi dan bernyanyi, terkadang
hanya dengan iringan denting kumpulan tutup botol. Banyak dari mereka yang sepulang sekolah
pergi mengamen untuk membiayai keperluan sekolah dan banyak juga yang tak mampu sekolah
karena sanak saudara sudah tiada.
Di sisi lain, anak-anak yang berkecukupan tengah asyik membaca dan menonton film Harry
Potter, tanpa memikirkan apa yang akan di makan esok hari. Suatu hari, penulis pernah
mendengar syair lagu yang dilantunkan pengamen yang usianya sekitar kurang lebih berumur
lima tahun. Bait pertama syair itu kira-kira berbunyi, ”Aku ingin nyanyikan lagu, lagu tentang
kemunafikan dan penindasan....”
Penulis menjadi merasakan betapa puitis dan menggigit sekali syair itu dan syair yang di atas.
Mengapa para sastrawan belum mengajari mereka bagaimana menulis puisi atau cerpen. Apa
yang dilakukan para pengurus majalah sastra Horison pada salah satu programnya Sastrawan
masuk sekolah akan lebih berarti jika difokuskan juga bagaimana sastrawan membina anak-anak
jalanan untuk berkreativitas dengan menulis karya sastra.
Anak-anak jalanan lebih banyak memiliki pengalaman yang getir dan imajinasi mereka bahkan
lebih tajam untuk dituangkan dalam bentuk puisi atau cerpen. Keseharian yang menantang untuk
dapat bertahan hidup di kota-kota besar akan dapat mengumpulkan memori pengalaman yang
unik. Untuk itu, sudah seharusnya mereka dilatih bagaimana menuangkan pengalaman tersebut
dalam bentuk curahan rasa dan kata yang mendalam, diajarkan untuk menuangkannya dalam
bentuk karya sastra, minimal puisi.
Banyak sudah karya-karya sastra yang mengungkap fenomena sosial mengenai penindasan
terhadap rakyat kecil, tetapi jarang sekali ada pembinaan terhadap mereka untuk dapat berkarya
menciptakan karya sastra. Cerpenis Hudan Hidayat pernah melakukan pembinaan seperti itu
dengan mengajarkan bawahan di kantornya untuk menulis cerpen, tetapi belum banyak yang
mengikuti jejak Hudan, apalagi membina anak-anak jalanan menulis karya sastra.
Selain itu, para sastrawan khususnya yang telah ”mapan” cenderung untuk lebih mengurus diri
sendiri walau dalam karyanya berkisar pada persoalan kemanusiaan. Meskipun sastrawan
berjuang melalui karyanya, toh tak ada salahnya apabila melakukan penggalangan aksi mengajar
menulis sastra kepada anak-anak jalanan. Tidak selamanya keluh-kesah sosial harus
diperjualbelikan dengan bentuk karya sastra. Akan tetapi, bagaimana pengarang berguna
selamanya bagi masyarakat dengan mengkader orang-orang yang lemah supaya mampu juga
berkarya walau tak harus menjadi besar seperti mereka (sastrawan).

***
Selain itu, peran negara dalam program sosial kemanusiaan yang menitikberatkan pada
kesejahteraan anak-anak terlantar, baik pendidikan maupun ekonomi sudah seharusnya
dilaksanakan secara konkret dan berkelanjutan. Yang sering terjadi selama ini, penyelenggara
negara sering terlarut dalam persoalan politik untuk kepentingan kelompok atau golongannya dan
mengabaikan program-program sosial kemanusiaan terutama bagi anak-anak terlantar.
Peran negara untuk menciptakan kader-kader bangsa yang berkualitas kiranya tidaklah sebatas
memanfaatkan momen dan menjalankan rutinitas perayaan aksi sosial yang semu semata.
Namun lebih dari itu, penggalangan aksi sosial kemanusiaan dan pendidikan untuk kemandirian
bagi anak-anak tersebut, harus terus diupayakan tanpa kepentingan mengharapkan simpati, atau
ketika pemilihan umum, untuk menambah suara dari masyarakat. Negara dan lembaga sosial
yang ada, menurut Moeslim Abdurrahman (1997) tampaknya negara lebih peduli
memperjuangkan hak-hak masyarakat sebagai isu as a citizen dan as a consumer daripada
memperjuangkan nasib orang-orang yang menderita sebagai as a worker atau as under-class
citizen.
Selanjutnya peran negara dan sastrawan dalam masalah anak jalanan ini, dengan mengutip
Bourdieu, Dr. Setya Yuwana dalam buku Kesenian Rakyat dalam Hegemoni Negara (2000),
dalam konteks yang sama namun fokus yang berbeda, menyatakan ada tiga ruang yang
berhubungan satu dengan yang lainnya. Pertama, Medan kekuasaan (the field of power). Medan
ini merupakan suatu perangkat ekonomi dan politik sebagai hasil kekuasaan yang pada akhirnya
dipegang oleh kekuasaan konkret yang secara ruwet menjalankan kekuasaan tersebut.
Keruwetan tersebut (interpretasi penulis) dapat dikaitkan dengan medan kekuasaan negara yang
kebingungan bagaimana mengatasi ketimpangan sosial khususnya yang dialami anak-anak
jalanan.
Kedua, medan sastra (literary field), suatu universum sosial di bidang estetika yang memiliki
perangkat hubungannya sendiri. Ketiga, medan kebiasaan dalam penciptaan (the genesis of the
producers habitus), yakni sikap yang dimiliki oleh masing-masing seniman (sastrawan),
bagaimana ia berjuang menentukan posisinya berdasarkan persepsi pribadi.
Dalam hal ini, perjuangan para sastrawan tidak harus mengkonsolidasi kaum yang lemah untuk
melakukan perlawanan fisik menuntut kesetaraan ekonomi kepada negara meskipun pengaruh
eksternal kekuasaan negara (state power) dalam memberi ganjaran dan hukuman sulit dihindari.
Lebih jauh lagi menurut Bourdieu (1993), pengaruh kekuasaan negara berbentuk dominasi atau
penekanan (coercion) maupun kepemimpinan intelektual atau moral, kekuasaan itu masuk,
mengatur bahkan menentukan genre sosial yang dipergelarkan berdasarkan ideologi yang
mendominasi.
Akan tetapi, di bumi Indonesia yang katanya demokratis ini, rakyat tentu akan mendukung
apabila para sastrawan memulai bentuk perlawanan tersebut dengan mengkonsolidasikan anak-
anak jalanan untuk belajar menulis karya sastra, sebagai langkah strategis peran sastrawan
dalam membantu memperbaiki nasib bangsa ini.
Meminjam bahasa sastrawan muda Saut Situmorang (2004), sebaiknya para sastrawan tidak
dikesankan sebagai nabi kesepian yang sedang menghujat masyarakat sekitarnya, seakan-akan
kebenaran moral yang secara tak sadar diklaim dengan semena-mena yang akhirnya membuat
karya sastra tersebut gagal menjadi puitis tapi berhasil menjadi retorika. Oleh karena itu, lagu
tentang kemunafikan dan penindasan yang dilantunkan oleh anak-anak jalanan itu hendaknya
dapat menggugah kita semua. Amin.

Penyair dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta , Aktivis JIMM, Ketua Al-Maun Poetry
Society dan Chief of Program CMM.

Membangkitkan Kembali Sastra Profetik

Oleh David Krisna Alka

Dalam membaca karya sastra khususnya puisi, mayoritas penikmat sastra mendambakan
nuansa keindahan setelah membaca karya sastra. Oleh karena itu, banyak penyair berusaha
menuangkan harmoni kata yang indah dalam setiap karya puisi mereka, walau maksud dari puisi
tersebut adalah kegetiran kata yang tak tampak pada kasatmata.
Sastra yang bermukim pada wilayah teologi Islam merupakan bibit dari munculnya kesusastraan
Melayu. Sastra keagamaan yang merujuk pada Islam itu dapat dibagi menjadi tiga cabang; ilmu
tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Di antara ketiga cabang ilmu dalam kajian Islam itu, ilmu
tasawuf yang paling dekat dengan sastra, khususnya sastra Islam. Mengapa ilmu tasawuf
disebut sebagai bibit dari corak sastra Islam?
Ilmu tasawuf menjelaskan tentang wilayah esoteris manusia dengan Sang Pencipta. Setelah
melewati persinggahan-persinggahan (maqamat) dalam rasa kebatinan yang begitu dalam,
banyak tokoh tasawuf (sufi) berharap untuk dapat bersatu dengan Tuhan. Mereka berusaha
mendapatkan kesejatian diri, kesejatian alam, dan kesejatian Tuhan. Pesona indah kalimat yang
diucapkan para sufi yang mengharap pancaran Ilahi menyelam ke dalam hati, berbeda dengan
pengalaman pahit yang mereka derita.
Karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari pengertian tentang Tuhan, maka banyak
kemungkinan bagi para sufi untuk memperoleh derajat tertinggi jika sudah bersatu dengan
Tuhan, atau bersatu dengan semesta. Singkatnya, dalam persinggahan itu muncul kalimat-
kalimat yang begitu indahnya dengan penjiwaan yang begitu dalam dan mengandung keindahan
bahasa yang sungguh luar biasa.
Dalam kesusastraan Islam, karya-karya paling universal termasuk ladang garapan tasawuf.
Semangatnya yang membangkitkan kesusastraan Arab dan Persia, mulai dari lirik-lirik lokal dan
sajak-sajak epiknya sampai kepada karya-karya didaktik dan mistik yang dimensinya sangat
universal. Tasawuf memperkaya sastra Arab, kebanyakan dalam bentuk prosa dan sastra Persia
Islam yang lebih lokal sifatnya. Perkembangannya mencapai ketinggian setelah berada di tangan
para sufi.
Pengaruh tasawuf besar sekali. Hampir dalam setiap bentuk seni, mulai dari puisi sampai kepada
arsitektur terlihat dengan jelas perpaduannya dengan tasawuf. Dalam pengantar buku Tasawuf
dulu dan Sekarang, Sayyid Husein Nasr (1985) menjelaskan, bahwa para sufi hidup di dunia ini
seakan-akan tinggal di suatu tempat yang dinamakan sebagai pelataran depan Taman Firdaus,
dan karenanya menghirup udara dalam suasana yang penuh getar kerohanian, di mana
keindahan memancar dari perkataan dan perbuatan mereka.
Dalam konteks sejarah sastra Islam di Indonesia, Hamzah Fansuri merupakan pelopor sastra
Islam yang bernuansa sufistik. Menurut penyair Abdul Hadi WM, Hamzah Fansuri merupakan
cendekiawan dan pemimpin tasawuf yang berpengaruh pada zamannya. Peranan penting beliau
dalam sejarah pemikiran dunia Melayu nusantara bukan saja karana gagasan tasawufnya, malah
puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan
spiritualnya.
Sebagai pencipta pertama syair Melayu dengan bentuk puisi empat baris dengan pola sajak akhir
aaaa, bakat Hamzah Fansuri sebagai sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya
merombak bahasa lama menjadi bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab,
istilah konseptual daripada al-Quran dan falsafah Islam. Bahasa ini lantas tampil sebagai bahasa
intelektual yang dihormati, sebab dapat menampung gagasan baru yang diperlukan pada zaman
itu.

***
Dewasa ini, setelah perkembangan sastra dan tasawuf tampak seperti terbawa arus roda zaman.
Para penyair yang sufistik beralih ke dalam nuansa yang sama namun tujuan yang berbeda
untuk menuangkan sajak-sajak keindahan tersebut. Pekik zaman yang kian hari makin
menggetirkan membuat para penyair seperti kehilangan kaki untuk melangkah. Bahasanya
indah, tapi substansi puisinya seperti “orang-orang kalah.”
Dalam konteks kesusastraan Indonesia, ada dua kubu sastra yang keduanya sah: sastra
pembebasan dan sastra kemanusiaan. Kemudian Kuntowijoyo muncul dengan sastra
transendental guna menggenapi isu sastra yang ada, dan sastra transendental itu juga sah.
Sastra transendental mengambil tema-tema keagamaan yang variasinya amat banyak dan tidak
melulu harus mengacu kepada penyair sufistik.
Lebih jauh lagi Kuntowijoyo menjelaskan, sesungguhnya semua sastra punya bobot
transendental, asal dilihat dari pandangan teologis dan metafisis. Lalu ketiga sastra itu
(pembebasan, kemanusiaan, dan transendental) digabungkan oleh Kuntowijoyo menjadi sastra
profetik, dalam arti melanjutkan tradisi kerasulan.
Manusia dituntut untuk ber-amarma’ruf nahi munkar. Amar ma’aruf itu memanusiakan manusia,
sedangkan nahi munkar itu pembebasan, dan beriman kepada Tuhan itu transendental.
Penjumlahan semua itu menurut Kuntowijoyo menjadi sastra profetik.
Sastra profetik, menurut penulis mesti dikembangkan oleh kalangan pemerhati dan penikmat
sastra generasi saat ini. Kuntowijoyo dengan sastra profetiknya telah menanamkan dan
memperkaya cakrawala sastra religius yang lebih membawa pencerahan dan tidak melulu lebih
sibuk mengurus hablumminallah (melangit) daripada hablumminannas (membumi). Dan, sastra
profetik jelas kualitasnya dan kekuatan moralnya daripada sastra yang berbau seks serta kentara
aspek komersial daripada kualitas karyanya.

***
Peran dunia tasawuf dalam khazanah kesusastraan Indonesia juga tak dapat dielakkan.
Bukankan hidup ini memerlukan keseimbangan. Menuangkan gagasan yang melulu melangit
bukanlah suatu yang tak berguna, dan menuangkan untaian sastra yang selalu membumi bukan
berarti akan selalu membawa pencerahan. Jika selalu terbawa pada persoalan yang horizontal
bukankah kita nanti akan terjebak dalam pernyataan bahwa spiritualitas itu adalah candu, atau
membenarkan ungkapan spiritualitas itu adalah pelarian dari rasa ketakutan dalam diri manusia.
Oleh karena itu, karya sastra yang membawa pencerahan jiwa dan pencerahan sosial sama-
sama dibutuhkan. Sastra dapat mengekspersikan zamannya sekaligus dapat memberikan kritik
terhadap zamannya.
Dalam pernyataannya, lagi-lagi Kuntowijoyo menegaskan, bahwa di setiap zaman sastra bisa
berkembang. Masa depan sastra sama dengan masa depan organisasi sosial. Sastra dapat pula
menjadi pembela moralitas. Jika kesadaran masyarakat menurun, sastra bisa tampil untuk
menjadi profeter asal dia bervariasi di dalam tema sastranya.
Sastra profetik memang lebih progresif; menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sastra yang
membebaskan kaum tertindas, walaupun bentuk penyadarannya melalui puisi, cerpen, novel,
dan karya sastra yang lainnya. Oleh karena itu, ruang sempit sastra religius dapat menjadi luas,
karya sastra yang jauh dari moralitas perlahan akan tergantikan dan lenyap terkunyah oleh
zaman. Dan, ruang pencerahan yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo melalui sastra profetiknya
akan berkembang serta menggelora di hati para pembaca sastra di Tanah Air. Lebih dari itu,
sastra profetik menjadi inspirasi dan daya dorong kekuatan kreativitas dari munculnya karya-
karya sastra baru yang membangkitkan, membebaskan, dan mencerahkan, bukan karya sastra
yang berbau seks didagangkan.***

Penulis bergiat di Akademi Kebudayaan Rakyat (AKAR), Ketua Program CMM, dan Aktivis
Budaya Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (CMM).

Jumat, 12 Agustus 2005

`Mata' Kekerasan
David Krisna Alka
Direktur Program Center for Moderate Muslim (CMM) dan Peneliti Al-Maun Institute

Yang terlambat disadari, kekerasan mengancam kehidupan kemanusiaan secara keseluruhan


dan mengancam kelestarian kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Apalagi saat ini, peristiwa
kekerasan menjadi "menu favorit" dalam headline hampir semua media, seperti bom di London
dan di Mesir. Di Tanah Air, bom memang belum berani meledak lagi (semoga tidak), tapi
kerusuhan malah banyak yang terjadi, salah satunya kerusuhan di Kaur, Bengkulu, belum lama
ini.

Dampak yang kemungkinan muncul akibat gencarnya berita di media tentang kekerasan adalah,
emosi massa mudah tersulut untuk melakukan kekerasan dan mengikuti apa yang terjadi di
tempat lain. Ironis memang, masyarakat Indonesia mesti menghadapi kenyataan yang tetap
harus bergumul menghadapi kekerasan dan mengancam perdamaian. Padahal dialog telah
dilakukan, penyadaran melalui penyuluhan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) tentang
kekerasan telah dan masih disuarakan, pemuka-pemuka agama juga telah menyatukan suara-
suara perdamaian. Tapi, aksi kekerasan masih saja terjadi di bumi Pertiwi ini.

John Galtung (2000) pernah mengungkapkan, dalam proses sejarah, peristiwa-peristiwa konflik,
krisis, perang, pemberontakan, revolusi dan perubahan, selalu berhubungan dengan munculnya
kekerasan. Hampir dapat dipastikan bahwa pada setiap terjadi perang, pemberontakan, dan
revolusi, akan dapat dijumpai aksi-aksi kekerasan dan tindakan di luar batas kemanusiaan
(inhumanity), seperti pembunuhan, penyiksaan, perampasan, pemerkosaan, perusakan,
penghancuran, dan aksi kekejaman lainnya.

Kekerasan tercipta karena ada keinginan yang dicapai tapi tak dapat dilakukan karena kekuatan
objek yang akan dilawan begitu hebat dan sulit di tembus. Sehingga cara yang dilakukan adalah
pemberontakan. Dari pemberontakan itu maka timbul kekerasan, yang dimulai dengan kesadaran
absurd pada pelaku kekerasan. Dengan menyatakan sesuatu sebagai absurd, orang sudah
mengadakan suatu perbandingan antara apa pada kenyataannya ada dengan apa yang menurut
dia seharusnya ada.

Dan pernyataan itu merupakan suatu tuduhan, suatu proses keadaan yang memasung ruang
gerak atas keyakinan teroris untuk melakukan kekerasan termasuk pembunuhan. Tujuannya
teroris adalah mengubah, tapi mengubah berarti bertindak; dan bertindak pada zaman ini berarti
melakukan aksi teroris, yakni membunuh. Sang teroris bukan hanya menantang pelanggaran
atas hak-hak asasi manusia, melainkan juga menyatakan kesetiaan pada aspek-aspek tertentu di
dalam dirinya.

Dalam suasana seperti itu maka bangkitlah kesadaran bahwa mereka (teroris) dapat
mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu tujuan yang hendak dicapai, yakni perlawanan atas
ketidakadilan menurut mereka sehingga menempuh berbagai macam cara untuk membalas
ketidakadilan tersebut. Dengan menggunakan modal yang ada mereka menyusun strategi dan
perlahan bangkit untuk melakukan kekerasan.

Azyumardi Azra (1997) menjelaskan beberapa masalah pokok di sekitar masalah teror dan
terorisme, pertama, terorisme merupakan masalah moral yang sulit. Inilah salah satu alasan
pokok terjadinya kesulitan mendefinisikannya karena istilah ini sering didasarkan pada asumsi,
bahwa sejumlah tindakan kekerasan - khususnya menyangkut politik (political violence) adalah
bisa dijustifikasi dan sebagian lagi tidak bisa dijustifikasi. Kekerasan yang dikelompokkan ke
dalam bagian terakhir inilah yang sering disebut sebagai "teror" atau "terorisme".

Namun, terdapat batas-batas tindakan kekerasan yang justifiable dengan unjustifiable itu. Hal ini
dikarenakan klasifikasi tindakan-tindakan kekerasan menjadi dua kelompok seperti itu
mengandung persoalan dalam dirinya sendiri. Batas-batas pengelompokkan ini sangat relatif;
tergantung dari siapa yang mengelompokkan. Kekerasan yang sebagian orang tidak dibenarkan,
sangat boleh menjadi justifiable bagi pihak lain.

Menurut Budi Hardiman (2002), kekerasan adalah tindakan penegasan diri, kita tak boleh
mengabaikan suatu data antropologis lain: kekaburan-diri manusia. Penegasan-diri
mengandaikan sebuah situasi negatif kekaburan diri. Sebuah dialektika yang keji terjadi di dalam
batin setiap pelaku kekerasan: ketidakmampuannya untuk menentukan diri berubah secara gaib
dalam kegagahan saat menghadapi korbannya yang terkapar dan tak berdaya.

Penggunaan kekerasan bisa dilakukan untuk tujuan kriminal dan personal. Bahwa orang
cenderung bertindak kekerasan adalah sebuah masalah psikologi. Ia tidak mampu membawa diri
secara normal, mengelola konflik-konfliknya secara biasa. Ia sakit, sakit jiwa, sakit hati. Dan
apabila dalam sebuah masyarakat intensitas kekerasan bertambah, berarti masyarakat itu sakit.

Apabila kekerasan adalah tindakan penegasan diri, kita tidak boleh mengabaikan suatu data
antropologis lain: kekaburan-diri manusia. Penegasan-diri mengandaikan sebuah situasi negatif
kekaburan diri. Sebuah dialektika yang keji terjadi di dalam batin setiap pelaku kekerasan:
ketidakmampuannya untuk menentukan diri berubah secara gaib dalam kegagahan saat
menghadapi korbannya yang terkapar dan tak berdaya. Sang survivor ini aslinya adalah seorang
yang tak mampu menentukan diri, seorang yang direndahkan dan dinistakan, yang sekarang
mengimbangi defisit jiwanya lewat penegasan diri dalam mengubah orang lain menjadi jenazah
bisu, menjadi obyek belaka bagi suatu subyek belaka, yakni diri yang menegaskan-diri.
Kebebasan sebagai kesewenangan.

Nah, sang teroris ini aslinya adalah seorang yang tak mampu menentukan diri, seorang yang
direndahkan dan dinistakan, yang sekarang mengimbangi defisit jiwanya lewat penegasan diri
dalam mengubah orang lain menjadi jenazah bisu, menjadi obyek belaka bagi suatu subyek,
yakni diri yang menegaskan-diri. Kebebasan sebagai kesewenangan. Tapi itulah manusia di
dalam keadaan alamiahnya. Setiap orang adalah pelaku potensial sekaligus korban potensial
dari sebuah kekerasan.

Serangkaian tragedi kekerasan yang ada, kekerasan yang dilakukan para teroris merupakan
kekerasan yang paling menakutkan. Tujuan mereka selain menghabiskan nyawa manusia, juga
berselimutkan kepentingan politik. Membaca wajah teroris berarti harus dengan berbagai macam
pendekatan. Usaha untuk menjadikan kekerasan teroris sebagai musuh bersama harus
direncanakan dan diorganisir secara rasional. Belum cukup hanya dengan seruan-seruan di balik
mimbar atau opini-opini di media.

Selain itu, media (koran, televisi, radio) yang selama ini lebih banyak memperlihatkan peristiwa
kekerasan, tapi belum cukup memberikan penyadaran tentang bagaimana agar tak terjebak
dalam aksi-aksi kekerasan. Suatu pandangan umum menyebutkan bahwa media yang merayu
massa. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang progresif dalam upaya melakukan
konsolidasi penegakan hak asasi manusia. Negara dan orang perorangan harus berupaya
melalui sistem hukum dan pendidikan serta komunitas keagamaan agar menjunjung tinggi
keadilan, toleransi, dan saling menghargai hak asasi manusia. Hal itu sangat penting ditekankan
untuk mencegah berakar dan tumbuhnya kekerasan, sehingga mata kita sudah tak lagi dijejali
oleh aksi-aksi kekerasan.

()
Dilema Buruh dan Tantangan Bagi Agamawan David Krisna Alka
02-May-2005

“Sejatinya, seluruh tokoh agama, perlu membangun wacana dan kegiatan praksis
keagamaan untuk menjawab tantangan kaum buruh yang semakin dipenjarakan oleh
peradaban global ini. Di samping itu, perlu adanya pemahaman tentang teologi baru dan
ajaran-ajaran sosial agama yang mengajak dan membawa umat untuk
mentransformasikan agama menjadi lebih membebaskan dan mencerahkan khususnya
bagi kaum buruh”

Republika, Senin, 02 Mei 2005

Kepala Program Center For Moderate Moslem (CMM) dan Anggota


Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Hari Buruh yang peringati tiap 1 Mei, kantong-kantong budaya buruh saat ini berada di
dalam kondisi gamang. Kaum buruh terus hidup dengan kesadaran tradisional perdesaan.
Sementara di sisi yang lain, mereka telah di hadapkan secara langsung dengan praktek-
praktek diskursif dan hegemonisasi kapitalisme.

Kapitalisme detik ini telah menjadi ideologi dominan. Ia membentuk, memproduksi dan
melakukan kontrol kesadaran melalui simultanitas dan intensitas frekuensi media cetak
dan visual. Dominasi kapitalisme ini telah sampai pada kenyataan. Praktek-praktek
kekerasan penindasan dan penghisapan terhadap kaum pekerja (buruh, tani, dan kaum
miskin kota), tidak lagi dilihat sebagi kejahatan tetapi telah diterima sebagai kewajaran.

Menurut budayawan Agus Hernawan (2004), konsekuensi dari pengintegrasian sistem


ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia yang didasari oleh liberalisme
perdagangan dan investasi di masa Orde Baru menjadi awal dari percepatan
pembangunan kawasan-kawasan industri. Selain berdampak sosiologis, yakni munculnya
kelas sosial buruh perkotaan sebagai akibat arus urbanisasi yang masif dari desa ke kota,
juga memiliki dampak secara kultural.

Pengebirian potensi
Disamping itu, hari ini kita melihat media kapitalisme memborbandir buruh dengan
tontonan visual yang penuh daya persuasif (bujuk rayu). Dua bentuk represivitas ini
dengan sendirinya membuat kaum buruh tetap dalam kondisi anonim dan terpecah-pecah.
Ini terlihat pada kantong-kantong budaya buruh yang lebih didasari dan dibentuk oleh
ikatan primordial-etnik. Kaum buruh belum lagi sampai pada kesadaran sebagai kelas
sosial yang tertindas, sebagai sapi perahan di dalam siklus jam kerja dan kost produksi.

Kecenderungan budaya liberal hari ini tidak terlepas dari praktek-praktek hegemonisasi
itu. Mistik dan dunia klenik yang selama ini identik dengan realitas budaya tradisional di
desa, telah diproduksi dan direproduksi secara masif menjadi tontonan di perkotaan.
Sementara seks pada batas tertentu yang masih tabu dan hanya sebatas gunjingan di
perdesaan --dan identik sebagai bagian dari hedonisme di perkotaan-- telah memasuki
ruang-ruang kultural di perdesaan, baik melalui media visual atau pun media cetak.

Tradisi budaya itu sifatnya tidak organik. Ia tidak melekat padu di dalam rutinitas dan
aktivitas kehidupan riil rakyat pekerja. Ia hanya hidup di dalam lingkungan pabrik, lahan
sawah, areal perkebunan, dan ruang perkantoran swasta. Di luar itu, akibat hegemonisasi,
reifikasi dan ilusi-ilusi yang tak henti-hentinya disusupkan di ruang-ruang kesadaran
rakyat pekerja oleh media-media kapitalisme, rakyat pekerja hidup dalam tradisi budaya
yang semrawut, konsumtif, dan individualistik. Budaya liberal telah membuka
kemungkinan sebesar-besarnya bagi penguasaan dan pengebirian potensi kesadaran
kritis, daya korektif dan semangat resistensi rakyat. Melalui tontonan dan sajian berita
yang bebas nilai, potensi kolektivitas yang didasari oleh kesadaran kelas rakyat digiring
untuk terpecah-pecah.

Islam dan buruh


Islam katanya adalah agama yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Islam sama
sekali tidak menghendaki terjadinya dehumanistik-feodalistik. Buruh adalah pekerja dan
sekaligus khalifah Allah di muka bumi. Di samping bekerja kepada majikan, ia juga
sebagai pekerja dan hamba Tuhan.

Islam melihat buruh sebagai pekerja dan bukannya hamba kepada manusia lain untuk
menghasilkan pengeluaran, karena penghambaan hanya dikhususkan untuk Allah. Upah
dibayar dalam Islam mencangkup pertimbangan keperluan perbelanjaan setiap buruh.
Pertimbangan itu tidak dihitung dengan kira-kira, upah harus sesuai dengan kerja mereka.
Menurut Mansour Fakih (1989) dalam Islam, doktrin tauhid adalah tema pokok teologi
Islam. Tauhid dalam teologi pembaharuan, berkisar sekitar ke-Esaan Tuhan, dengan
penolakan terhadap penafsiran terhadap Tuhan. Tauhid dalam perspektif ‘’teologi kaum
tertindas’’ lebih ditekankan kepada keesaan umat manusia. Dengan kata lain, doktrin
Tauhid menolak segenap bentuk diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta, ataupun
kelas. Konsep masyarakat Tauhidi adalah suatu konsep penciptaan masyarakat tanpa
kelas. Dalam masyarakat Tauhidi ini, umat benar-benar satu, tidak dibedakan lagi karena
kedudukan sosial, karena jenis kelamin, karena warna kulit dan sebagainya.

Islam sama sekali tidak menghendaki adanya perbedaan derajat yang sangat jauh antara
seorang majikan dengan buruhnya. Sebab, mereka adalah sama-sama manusia yang
saling ketergantungan dan saling membutuhkan. Oleh karena itu, hendaklah dalam setiap
hubungan antara majikan dan kaum pekerja dijadikan sebagai mitra bisnisnya dalam
mengembangkan usaha dan jangan sekali-kali seorang pekerja (buruh) dieksploitasi dan
dijadikan seorang budak.

Nabi Muhammad mengajarkan, bahwa manusia dalam membangun usaha seperti


berdagang, membesarkan sektor ekonomi, serta mempekerjakan orang di bawah
kompetensi bisnisnya, maka prinsip kejujuran, keterbukaan, demokratisasi, dan tidak
saling berbuat curang hendaklah ditegakkan. Perjuangan Nabi Muhammad disektor
muamalat (kerjasama antar manusia dengan manusia) tersebut, hakikatnya adalah
reaktualisasi nilai-nilai religius. Dan, janganlah kemanusiaan dilecehkan dengan watak-
watak manusia yang arogan dan serakah. Beliau menyadarkan manusia antara lain
melalui muamalat agar nilai-nilai religius ditempatkan sebagai kekuatan moral (moral
force) dalam membangun usaha-usaha yang berhubungan dengan kepentingan antar
manusia.

Di antara yang diperjuangkan oleh Nabi dalam bidang muamalat tersebut adalah
membebaskan manusia dari keterkaitan yang menempatkan mitra kerja (buruh) sebagai
objek atau budak. Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal adanya istilah budak dalam etika
bisnis, melainkan sebagai subjek yang mempunyai peran, antara lain dalam menentukan
nasibnya. Pekerja adalah mitra kerja seorang majikan dan bukan sebagai budak, karena di
dalam suatau pekerjaan tersebut mengandung prinsip saling ta’awun dalam
mengentaskan kesulitan yang dihadapi.

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak berbuat zalim kepada siapa pun juga,
termasuk dalam hal ini berbuat zalimnya seorang majikan kepada buruhnya. Perbuatan
zalim yang biasa dilakukan oleh si majikan adalah tidak membayar upah atau imbalan
kepada buruh. Dan, yang lebih menyedihkan lagi adalah majikan yang melakukan tindak
kekerasan terhadap buruh. Oleh karena itu, sejatinya, seluruh tokoh agama, perlu
membangun wacana dan kegiatan praksis keagamaan untuk menjawab tantangan kaum
buruh yang semakin dipenjarakan oleh peradaban global ini. Di samping itu, perlu adanya
pemahaman tentang teologi baru dan ajaran-ajaran sosial agama yang mengajak dan
membawa umat untuk mentransformasikan agama menjadi lebih membebaskan dan
mencerahkan khususnya bagi kaum buruh. Wallahu ‘alam
OPINI, Selasa , 18 Mei 2004. Nasionalisme para Penyair

Kaum Miskin Menggugat


Oleh David Krisna Alka
Ketika bendera merah putih berkibar di bawah langit Indonesia dalam
memperingati Dirgahayu Kemerdekaan RI Ke-61 belum lama ini, adakah
rasa merdeka bagi mereka yang pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan
hidup di jalanan atau tinggal di rumah sempir berukuran 2 x 2,5 meter
persegi?
Kaum miskin di negeri ini belum merdeka dari kepahitan hidup yang
didera. Kemerdekaannya terenggut karena tak merasakan kebebasan
menjalankan fungsi dalam hidup. Disamping itu, negara ini terdampar dalam
lilitan utang luar negeri yang terus-menerus mengekang kedaulatan kita,
apalagi bagi generasi muda dan anak-cucu-cicit nanti.
Pelan tapi pasti, negeri ini telah dikangkangi “penjajah-penjajah
ekonomi dunia.” Menjadi bangsa yang bemartabat baru sebatas cita-cita kata
yang tertata dengan rapi dalam lembaran teks pidato pada setiap
memperingati seremonial Ulang Tahun Hari Kemerdekaan. Hingga kini,
cita-cita menjadi bangsa yang bermartabat itu belum terlaksana. Apakah
yang salah dengan manusia Indonesia?
Bermartabat berkelindan dengan bermoral. Prof Dr Syafii Maarif
(2005) seringkali menegaskan supaya manusia Indonesia menjadi manusia
yang bermoral, karena itu adalah salah satu syarat untuk memulihkan
dekadensi moral manusia Indonesia. Beberapa persyaratan yang lain, yang
menurut Buya Syafii harus terpenuhi diantaranya, berani memulai untuk
bersikap jujur terhadap diri sendiri, mengakui borok-borok yang menempel
pada diri sendiri, dan jangan pernah menjual kebohongan di mana-mana.
Tetapi, persayaratan yang disebutkan Syafii Maarif itu bukanlah hal
yang mudah dilakukan. Hal itu disebabkan karena manusia itu memiliki
posisi yang unik, apalagi manusia Indonesia. Keunikan manusia itu secara
natural terjadi dikarenakan terletak pada dualisme moral yang ada pada
dirinya. Pada satu sisi, manusia bisa berkehendak secara baik, integratif, dan
positif serta di sisi lain ia berpotensi melakukan hal-hal yang buruk, negatif
dan disintegratif. Persoalannya, ke arah manakah dari dua kecenderungan ini
manusia Indonesia memilih.
Jika salah pilih, manusia Indonesia telah mengikis eksistensi diri
mereka dari tanah air mereka sendiri. Budaya korup dan menjilat yang
seolah sudah menjadi bagian dari masyarakat dalam kehidupan sosial sehari-
hari akan membangun ruang publik yang sakit. Disamping itu akan
menghambat berkembangnya ruang sosial (publik) secara baik.
Dalam setiap pengambilan keputusan, masyarakat yang korup tidak
lagi memikirkan, apalagi mempertimbangkan hal baik dan buruk. Yang ada
adalah bagaimana cara yang dilakukan itu berhasil dan sesuai dengan
keinginan pribadi. Meskipun hal itu harus menabrak norma-norma luhur
yang potensial berkembang dalam masyarakat.

Sejarah Tak Berarti


Kemerdekaan bagi orang miskin adalah kebebasan untuk hidup.
Karena kemiskinan adalah sebuah pengingkaran terhadap kebebasan, orang-
orang miskin berjuang untuk kebebasan supaya tercapai kesejahteraan. Bila
kemerdekaan mereka dikebiri oleh sikap wakil rakyat dan kebijakan
pemerintah yang tidak berpihak kepada kaum miskin, maka tak ada arti
kemerdekaan.
Ketika Pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(16/82006), data kemiskinan yang diungkapkan SBY tidak up to date
bahkan out of date. Membandingkan angka kemiskinan pada 1999 dengan
awal 2005 itu out of date, karena awal 2005 adalah prestasi pemerintahan
Megawati Soekarnoputri. Sementara Presiden SBY dan kabinetnya saat itu
baru seumur jagung.
Dari situ, amat disayangkan, kemerdekaan belum dirasakan kaum
miskin di tanah air yang kekayaan alam melimpah ruah ini. Semuanya
tampak kontras, nilai kemerdekaan yang sesungguhnya telah tercabik oleh
kepentingan kelompok tertentu. Dan, kemerdekaan kaum miskin di negeri
ini pun “terkoyak” oleh “kedustaan” pemerintah, bahkan juga oleh wakil
rakyat (DPR) yang tak pernah merasa puas dengan gaji yang mereka terima.
Padahal, lelah para wakil rakyat tak seberapa dibandingkan dengan
perjuangan orang-orang miskin yang berdesak-desakan mengambil dana
bantuan langsung tunai dan antrian panjang membeli minyak yang harganya
bertambah mahal, ditambah lagi dengan beban perjuangan keseharian
mereka untuk dapat bertahan hidup.
Apakah itu berarti sejarah tak punya arti? Menurut Karl Popper,
sejarah memang tidak punya arti. Fakta masa lalu tidak pernah memiliki arti
pada dirinya sendiri. Terutama bagi manusia zaman modern ini. Fakta itu
baru memiliki arti kalau kita memutuskan untuk memberinya arti. “Facts as
such have no meaning; they can gain it only through our decisions...”

Nasib Negeri
Kemerdekaan berarti kebebasan, selama kebebasan itu belum diterima
maka nilai kemerdekaan masih bisa ditakar kadar kemurniaannya.
Kemerdekaan berarti juga pengakuan terhadap kesetaraan sesama manusia.
Kemerdekaan juga ekspresi tindakan keadilan, perlakuan yang sama kepada
siapapun tanpa memandang status sosialnya.
Tengoklah, mulai dari bencana tsunami di Aceh hingga lumpur panas
di Porong, yang paling menderita adalah kaum miskin. Lumpur panas PT
Lapindo Brantas mengakibatkan tiga desa tenggelam dan tidak bisa dihuni,
lima belas pabrik yang mempekerjakan 1.736 karyawan terpaksa tutup,
lahan pertanian yang terendam lumpur, menimbulkan masalah sosial
ekonomi. Rendra (2006), ketika menerima penghargaan Ahmad Bakrie
Award dengan puitis menyatakan: “Delta Sungai Brantas yang subur, yang
proses pembentukannya berabad-abad melebihi usia peradaban manusia,
hancur tertimbun lumpur untuk selama-lamanya.”
Selain teror bencana, negeri ini pun megalamai tekanan psikologis
yang berkepanjangan, yakni diteror untuk membayar utang luar negeri yang
menumpuk. Wajar bila sebelum wafat Ramadhan KH merasa gelisah dan
mengirim pesan singkat (SMS) kepada Syafii Maarif (2006): “Saya merasa,
saya selalu sepikiran dengan Anda; Juga seperasaan; apakah negara kita ini
akan eksist atau akan tenggelam?”
Akhirnya, pengalaman membangsa selama ini ditambah dengan
dekade-dekade penuh duka sebelumnya, tangga demi tangga mencapai
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia berjalan setengah hati. Kita pun
tak mampu menghormati hak azasi negeri kita sendiri. Dan, utang luar
negeri terus-menerus akan membelenggu kedaulatan negara kita yang
katanya telah merdeka.

David Krisna Alka, Deputi Direktur Center for Moderate Muslim


(CMM), Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah(JIMM) dan
Alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

081310794869
Email: dk_alka@yahoo.com
Rek. 1030004282402 Bank Mandiri KCP Gedung Jaya Jakarta

Muhammadiyah dan Kaum Miskin Kota


Oleh: DAVID KRISNA ALKA

Dakwah Islam yang membebaskan dan mencerahkan bagi kaum


mustadh’afin, yang sering disuarakan aktivis Muhammadiyah, sedang dipertanyakan
praksisnya oleh kaum miskin kota.
Selama ini Muhammadiyah telah menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial
keagamaan yang bermanfaat. Sayang, Muhammadiyah masih kurang peduli (belum
memberi manfaat) pada kelompok tertindas seperti petani, buruh, pedagang kecil, dan
kaum miskin kota.
Kehidupan kaum miskin kota amat memprihatinkan. Dengan kebutuhan hidup
minimum, mereka terpaksa menjadi pemulung, buruh, dan pengamen. Tak jarang, kita
lihat ibu-ibu mengamen sambil mengendong anaknya. Semua itu dilakukan untuk
mencukupi kebutuhan hidup.
Muhammadiyah, yang merupakan gerakan Islam kota kelas menengah, mestinya
lebih dekat dengan kaum miskin.
Di bidang pendidikan, misalnya, biaya sekolah dan kuliah di lembaga pendidikan
Muhammadiyah tak terjangkau anak-anak miskin kota. Sebagai ormas Islam berbasis
kelas menengah, Muhammadiyah seyogianya memberi pendidikan murah bagi anak-anak
miskin kota. Banyak anak Indonesia belum bisa menikmati kehidupan layaknya anak,
sekolah dan belajar.
Mengambil contoh kehidupan Jakarta, dengan mudah akan ditemui anak-anak
usia sekolah mengamen atau mengemis di lampu merah. Tak jarang, mereka ditemukan
di bus-bus kota, dikenal sebagai ”anak jalanan”.
Tiadanya kesempatan yang adil dan tidak terpenuhinya kebutuhan papan, pangan,
pendapatan, dan pendidikan, membuat warga miskin Jakarta menjadi kelompok
pinggiran, hidup di luar jaring keamanan sosial.

Tidak siap
Kuntowijoyo (1991:266) menyatakan, selama ini Muhammadiyah belum mendasarkan
program dan strategi kegiatan sosial berdasar elaborasi realitas sosial yang obyektif.
Muhammadiyah kurang siap merespons tantangan perubahan sosial di masyarakat atas
dasar konsep, teori, strategi, dan aksi yang jelas.
Kegelisahan Kuntowijoyo sudah menjadi kegelisahan generasi muda
Muhammadiyah yang sering menyuarakan keberpihakan Muhammadiyah bagi kaum
tertindas. Lebih dari sekadar lembaga keagamaan, Muhammadiyah merupakan organisasi
nonpemerintah yang mengisi fungsi-fungsi riil di masyarakat yang sering diabaikan
negara. Tidak berlebihan jika Muhammadiyah kini dan nanti diharapkan tumbuh sebagai
organisasi pelayanan sosial (social services) terkemuka di Indonesia melalui berbagai
aktivitas amal usaha.
Prof Dr A Syafii Ma’arif pun galau menanggapi kemiskinan di negeri ini. Di
mata seorang warga negara Chad, sebuah negara miskin dan tandus di Afrika, amat
takjub menyaksikan hamparan indah Nusantara. Bahkan, menurut Syafii Ma’arif,
mereka menyebut Indonesia sebagai serpihan surga. Namun, serpihan surga itu benar-
benar tak pernah menjadi surga bagi warganya.
Berkaca dari kegalauan para tokoh itu, problem kemasyarakatan yang dihadapi
Muhammadiyah berubah dari problem kemasyarakatan (dihadapi di saat pendiriannya).
Ini menjelaskan, upaya pembaruan (tajdid) gerakan Muhammadiyah mendesak segera
diformulasikan.
Maka, wajar dan adil jika menjelang Muktamar Muhammadiyah, 3-8 Juli 2005 di
Malang, geliat Muhammadiyah dalam gerakan sosial kemanusiaan di Tanah Air
selayaknya ditafsir ulang. Godaan-godaan global yang merasuki gerakan sosial
keagamaan Muhammadiyah harus diperhatikan tanpa ”tedeng aling-aling”.
Selain itu, badan-badan pelayanan sosial Muhammadiyah tak hanya sekadar
menjadi ”coretan-coretan dinding kota” yang terpampang di penjuru kota. Sebuah
bangku sekolah di Muhammadiyah tak harus dibeli dengan harga mahal. Masih banyak
warga Muhammadiyah yang hidup dalam kemiskinan.
Lebih dari itu, agenda yang harus disiapkan Muhammadiyah saat ini adalah keperluan
melakukan pembenahan dalam rangka menghadapi gejala metropolitan super-culture
yang telah menjauhkan masyarakat dari rasa kepedulian terhadap kaum miskin kota.
David Krisna Alka, Direktur Program Center for Moderate Muslim (CMM); Anggota
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Kamis, 14 Agt 2003
Mitos Politis Bung Karno
Oleh David K. Alka *
Dalam pergulatan sejarah kemerdekaan RI, Soekarno merupakan sosok yang memiliki daya
juang luar biasa untuk mengangkat kedaulatan rakyat. Pidatonya dapat membangkitkan gairah
yang berkobar untuk mengusir penjajah, tegas, dan berwibawa. Sejarah menorehkan kekaguman
kepada presiden pertama RI yang dari sipil itu. Soekarno memiliki karisma tidak hanya di
negerinya sendiri, tapi juga di dunia internasional.

Sebagai figur pemersatu bangsa, Soekarno sering dalam setiap pidatonya mampu menggugah
perasaan dan kesadaran kebangsaan rakyat Indonesia. Selain itu, dia menanamkan kepada
rakyat untuk tidak menerima begitu saja sesuatu dari dunia luar. Dia pun memukau dunia
internasional dengan politik luar negerinya yang revolusioner.

Dalam catatan sejarah, setelah pergolakan dengan tentara sekutu dan Jepang, baik di medan
perang maupun meja perundingan, wajah lain Bung Karno mulai tampak. Dia membubarkan
DPR hasil Pemilihan Umum 1955 yang dianggap paling demokratis dalam sejarah Indonesia.
Pada 1959, Presiden Soekarno membentuk pemerintahan otoriter yang dikenal sebagai
demokrasi terpimpin dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Lalu Bung Karno
membentuk DPR Gotong Royong dan MPR Sementara untuk mendukungnya. Bung Karno
memasukkan unsur Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) dalam kedua lembaga tersebut
dan menerima pengangkatan sebagai presiden seumur hidup.

Pada masa rezim Orde Baru, nama besar Soekarno luntur. Dia dikucilkan hingga menderita
sakit-sakitan. Ketika wafat, permintaan supaya Soekarno dikuburkan di Batutulis, Bogor, tidak
diizinkan oleh pemerintah Orde Baru. Akhirnya pemerintah saat itu menetapkan agar dia
dimakamkan di Blitar. Hal ini menimbulkan kontroversi dan sarat nuansa politik. Soekarno
memiliki pengaruh yang besar sebelum dan sesudah wafat. Penghargaan yang diterima oleh
sang Proklamator ketika Orde Baru berkuasa hanya pada monumen Pahlawan Proklamator,
bandara udara, dan nama jalan.

Sekarang, setelah lebih dari 30 tahun, Sidang Tahunan MPR tahun ini mengagendakan
pembahasan ketetapan MPRS dan MPR mengenai keterkaitan Bung Karno dengan Gerakan 30
September 1965. Banyak versi mengenai hal ini. Salah satu buku menyatakan Soekarno terlibat
adalah tesis Antonie C.A. Dake dalam bukunya, In the Spirit of the Red Banteng; Indonesian
Communist between Moscow and Peking 1959-1965, yang dibantah oleh Asvi Warman Adam.
Sebab, Dake masih beranggapan bahwa inisiatif G30S berasal dari Presiden Soekarno sendiri
dan itu hanya gara-gara secarik kertas. (Tempo, Edisi 4-10 Agustus 2003).

Nah, dalam sidang tahunan itu, Fraksi PDIP meminta nama baik Soekarno direhabilitasi karena
sudah tercemar oleh simpang-siurnya sejarah versi Orde Baru. Sebagian kalangan menilai ada
kesan politis yang dibawa FPDIP pada ST MPR itu, kalau boleh disebut "mitos politis Soekarno".
Gejala tersebut terlihat ketika FPDIP "ngotot" mengusulkan pencabutan ketiga Tap MPRS yang
dianggap menghina Soekarno. Ketiga Tap MPRS itu adalah Tap MPRS No IX/1966 tentang
Penyerahan Kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, Tap MPRS No XXXIII/1967 tentang
Pencabutan Kekuasaan Soekarno dan Pemberian Kekuasaan kepada Soeharto, dan Tap MPRS
No XLIII/1968 tentang Pembubaran PKI.

Ada gejala untuk memanfaatkan nama besar presiden pertama Republik Indonesia itu. Gejala ini
merupakan tolok ukur bagi pihak yang berkepentingan agar sosok yang memiliki nama besar
dalam sejarahnya laku dijual. Sebagian masyarakat terperangkap dengan daya tarik kekuatan
tokoh seperti Bung Karno untuk dijadikan alat politik oleh partai yang mengaku sebagai
penerus ajaran Bung Karno. Mitos-mitos Bung Karno dibesar-besarkan. Di setiap sudut kota
terdapat fotonya. Hari ulang tahunnya dirayakan besar-besaran dan seakan-akan semua itu
secara magis dapat memberantas KKN serta memperbaiki kondisi bangsa yang sedang krisis ini.

Bila munculnya gambar Bung Karno di jalan-jalan itu terkait peristiwa pemilu, maknanya sebagai
mitos bisa dikatakan setaraf dengan mitos-mitos politis lain, seperti mitos Napoleon (lihat
Onghokham, Wahyu yang Hilang, Negeri Yang Goncang, 2003). Mitos Soekarno memiliki
pengaruh besar untuk menggalang pendukung pada Pemilu 2004. Wajar kiranya fraksi selain
FPDIP di MPR tidak setuju. Alasannya, Bung Karno selama ini sudah terehabilitasi dengan
sendirinya dan Tap-Tap MPRS tersebut hanya berlaku sekali.

Penilaian objektif terhadap Pahlawan Proklamasi itu perlu ditempatkan secara kritis.
Bagaimanapun, mitos Bung Karno tidak terikat secara riil dalam memecahkan problem bangsa
ini. Namun, sudah semestinya menempatkan tokoh kemerdekaaan seperti Soekarno pada
tempat yang layak di pentas sejarah Indonesia agar sejarah bangsa Indonesia tidak berjalan
terputus-putus.

* David Krisna Alka, aktivis Maarif Institute For Culture and Humanity, ketua IMM Cabang Ciputat.

Emoh Bantuan Bersyarat


Oleh David K Alka
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Peneliti Center for Moderate Moslem Jakarta

Sekarang ini, hampir semua lembaga pemerintah maupun non pemerintah


mendapatkan bantuan dari negara asing atau institusi asing. Bantuan tersebut ada yang
berupa pinjaman dan ada pula pure bantuan yang memiliki misi dibalik itu. Lembaga
yang mendapatkan bantuan dari pihak asing tersebut tak terkecuali, lembaga yang kritis
terhadap kebijakan pemerintah maupun yang manut terhadap pemerintah dan telah
berupaya untuk mengecap nikmatnya donor asing tersebut. Namun, untuk mencicipi dana
dari donor asing itu tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan, tentu dengan
syarat-syarat yang sudah diatur sebelumnya. Fenomena ini mungkin baru terkuak sejak
era reformasi, kecuali bantuan pihak asing terhadap pemerintah yang sudah nyaring
terdengar sejak rejim saudagar Soeharto.
Bagi lembaga non government persoalan ini baru marak sejak mulai dikenalnya
LSM (lembaga swadaya masyarakat). Proyek mereka, terutama lembaga non
pemerintah, bermacam rupa, menggarap lahan-lahan agama, sosial, ekonomi, dan politik.
Ada proyek agama, seperti Islam pluralis dan Islam liberal, ada proyek penelitian dan
penyuluhan sosial, ada proyek ekonomi kerakyatan dan kapitalisme global, dan ada
proyek yang sangat menggiurkan akhir-akhir ini yaitu sekitar “proyek basah” dalam
penantian Pemilu 2004.
Dengan bermodal proposal yang memiliki program menarik dan terencana dengan
baik, ditambah dengan kemahiran dalam menawarkan program, ternyata itu belum cukup
untuk mendapatakan keyakinan agar dana dikucurkan. Lembaga pemohon akan yakin
apabila ada relasi dalam struktur lembaga donor asing tersebut. Nah, bagi lembaga yang
ingin mendapatkan bantuan, tentunya ada kesesuaian tema, misi dan kepentingan dari
pihak asing tersebut. Orang-orang proyek biasa menyebut pihak asing itu dengan nama
founding. Sebut saja founding itu, misalnya IMF, Asian Foundation, UNDP, Ford
Foundation dan yang lainnya.

***

Selama ini, lembaga pemohon (government atau non government) umumnya yang
mengajukan permohonan bantuan, bukan ditawarkan. Tapi, entah ada angin syurga apa
tiba-tiba pemerintah Ameika Serikat melalui "Presiden asingnya" menawarkan bantuan
pendidikan untuk pesantren senilai 150 juta dolar. Isu yang berkembang adalah Bush
akan mengintervensi kurikulum pendidikan pesantren. Tak pelak, reaksi pun
bermunculan. Pertemuan para kiai di Jakarta menolak bantuan tersebut jika bersyarat
dengan mengubah kurikulum pesantren. Tapi ada anekdot menarik dari salah satu kiai
yang nyeleneh ketika mendengar kabar itu: "Terima saja dananya, kita beli peralatan
teknologi canggih, ajarkan pada santri bagaiaman cara mengoperasikan alat teknologi
(hardware maupun software), dan siapa tahu? Ada salah satu santri yang pintar merakit
bom yang lebih canggih kekuatan ledakannya dari bom Bali untuk mengebom AS."
Respon para kiai terhadap tawaran Bush itu merupakan bentuk kekhawatiran
bahwa AS memiliki misi lain dibalik tawaran itu. Fenomena terorisme dan radikalisme
masih menghantui seluruh jagad ini. Dan para kiai sudah berasumsi bahwa Bush
maenganggap pondok pesantren perlu dijinakkan karena pesantren identik dengan tokoh-
tokoh radikal seperti Imam Samudera, Amrozi, Alfaruk serta tersangka teroris-teroris
berkopiah dan bersorban haji lainnya. Sangat disayangkan, ternyata Bush kurang
pergaulannya kepada kalangan santri. Banyak tokoh-tokoh Islam nasional yang modernis
bahkan tokoh Islam liberal yang dulunya belajar di pondok pesantren (santri). Bahkan
mereka menempuh pendidikan di bawah naungan kurikulum universitas-universitas di
Amerika Serikat itu sendiri. Tapi, sebagian tokoh-tokoh Islam modernis dan Islam liberal,
ternyata juga memperoleh besasiswa dari pihak asing termasuk bantuan beasiswa dari
negeri paman sam itu.
Selain respon para kiai mengenai tawaran Bush yang bersyarat tersebut, alumni
jurusan pemikiran politik Islam dari University of California Los Angeles (UCLA)
Amerika Serikat, Prof. Dr. Din Syamsudin, MA, yang sekarang menjabat Sekretaris
Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, berkomentar cukup keras. Dalam salah
satu harian nasional, Din mengatakan bahwa bantuan AS untuk Pesantren adalah sebuah
pelecehan, pengguruan, dan pendiktean kepada bangsa Indonesia. Lebih jauh lagi, ujar
Din yang juga salah satu ketua PP Muhamamdiyah, memberikan dua opsi kepada
lembaga pesantren untuk mensikapi tawaran bantuan dari Presiden Bush itu.
Pertama, dengan bersikap menolak bantuan tersebut jika ada motif untuk
mengubah atau mengintervensi kurikulum pendidikan di pesantren. Kedua, terima saja
tapi abaikan permintaan dari Amerika Serikat untuk mengubah kurikulum. Tapi kalau
menerima, maka jangan sekali-kali kita kehilangan kepercayaan diri dan jangan mau
didikte. Mantan kader Golkar ini juga menyatakanan bahwa janji pemberian bantuan
pendidikan dengan motivasi untuk memodernkan pendidikan Islam, maka itu
sesungguhnya pendiktean dan pengguruan, sehingga makin menguatkan kedatangan
Bush dengan agendanya sendiri.

***
Hegemoni negara-negara adikuasa dengan kekuatan moneter yang mereka miliki
jangan sampai melecehkan harga diri negara yang sedang berkembang. Bantuan yang
mereka tawarkan tentunya memiliki konsekuensi dari apa yang nanti akan disepakti oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Tawaran Bush seharusnya dipikirkan kembali, jangan
mentang-mentang gertakan dari Bush akan megganti kurikulum pendidikan pesantren
membuat pihak yang terkait menolak untuk menerima bantuan itu.
Jika melihat lembaga pendidikan sekarang, tentunya bantuan itu sangat
dibutuhkan. Berapa banyak fasilitas pendidikan terutama pesantren yang kuramg
memadai. Santri tidak hanya diajarkan membaca kitab kuning dan menghapal kitab suci
saja. Skill lain yang harus dibutuhkan adalah keterampilan santri dalam menggunakan
teknologi seperti komputer, internet dan yang lainnya. Toh, sekarang belajar kitab kuning
dan membaca kitab suci sudah bisa dengan menggunaan komputer maupun internet.
Jadi, mengenai tawaran Bush, sikap kiai, ulama dan tokoh agama lainnya
mempunyai persepsi dan cara pandang yang hampir sama. Namun, alangkah baiknya jika
hal itui dirembukkan kembali. Dan mengenai komentar Prof. Dr. Din Syamsudin, MA,
pernyataan itu merupakan argumentasi yang berlandaskan emosi yang kurang arif. Dalam
agama diajarkan bahwa tidak baik jika menolak bantuan yang telah ditawarkan orang
lain, apalagi bila kita benar-benar sangat membutuhkannya. Tapi, apabila bantuan dari
Presiden Bush ditolak oleh pimpinan pondok pesantren karena tawarannya mengandung
misi yang tak baik bagi umat, itu berarti Bush akan memberikan syarat-syarat yang akan
merugikan kita semua..
Alamat. Gedung BPPT 1 lt. 14 No. 08 Jl. MH. Thamrin Jakarta
Email : dk_alka@yahoo.com
Hp. 081310794869, Telp. 021.3150717
Rek. 0047003470, Bank Syariah Mandiri Pondok Indah Jakarta
Bingung Memilih Calon Presiden
Oleh : David Krisna Alka

Proses pemilihan capres baru akan dilaksanakan kurang lebih satu tahun
lagi, sekarang ini sudah beredar nama-nama yang akan bersaing seperti,
Megawati Soekarnoputeri, Akbar Tanjung, Amien Rais, Hamzah Haz, Yusril Ihza
Mahendra, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Abdurrahman Wahid, Nurcholish
Madjid, Susilo Bambang Yudoyono, Wiranto, Syahrir, Surya Paloh, Hasyim
Muzadi, dan Abu Rizal Bakri. Dari calon presiden ini ada beberapa calon yang
sudah buram keberadaannya di mata masyarakat dan mahasiswa untuk
dipercaya memegang tampuk kepemimpinan Indonesia mendatang. Menelusuri
trade record masing-masing calon presiden merupakan upaya untuk meneliti
apakah mereka tidak perna melakukan KKN? Seberapa besar respon masyarakat
terhadap pencalonannya? Apakah gerakan politik mereka merugikan
masyarakat?
Putri Presiden RI ke-1 Megawati Soekarno Putri, jika ditelusuri trade
record poltiknya, merupakan salah satu korban pemerintahan orde baru. Dengan
menggunakan simbol sebagai pembela wong cilik, Ketua Umum PDI-P ini
mampu meraih suara terbesar pada Pemilu 1999 yang lalu. Kharisma dari sang
Ayah juga masih melekat pada dirinya. Namun, sejak ia menjadi Presiden belum
ada perbaikan berarti yang telah dilakukan. Hal lain yang masih mengganjal
ialah Undang-Undang Pemiliha Presiden dan Wakil Presiden mengenai capres
harus sarjana yang tengah digodok oleh DPR. Akbar Tanjung, di tubuh Partai
Golkar sendiri Ketua DPR dan juga terdakwa ini akan mendapat rintangan yang
cukup berat untuk dapat dicalonkan menjadi presiden. Nama yang disebut-sebut
akan dicalonkan Partai Golkar untuk menjadi kandidat calon presiden dalam
Pemilu 2004 selain akbar Tanjung adalah adalah Jusuf Kalla, Soesilo Bambang
Yudhoyono, Agum Gumelar, Surya Paloh, Sultan Hamengkobuwono X, dan
Nurcholish Madjid. Diantara capres dari Partai Golkar ini, yang menguntungkan
secara politis dan lumayan bersih adalah Nurcholish Madjid.
Di kalangan mahasiswa dan masyarakat menengah tentunya tidak asing lagi
dengan tokoh yang satu ini. Guru bangsa, Cendikiawan, Ulama yang Inklusif, dan
pluralis, serta label lain yang melekat pada Rektor Universitas Paramadina ini. Secara
mengejutkan bersedia dicalonkan sebagai Presiden dengan langsung membawa Paltform
10-nya, dan sudah barang tentu telah di susun sebelum kesediaannya untuk bertarung
menjadi orang pertama di negeri ini. Trade record-nya memang bagus. Dalam dunia
akademis profilnya dapat diterima oleh mahasiswa dan namanya mungkin tidak setara
untuk di sejajarkan dengan Surya Paloh, Syahrir, dan Abu Rizal Bakrie dan Wiranto.
“Islam yes, Partai Islam no”, jika Cak Nur konsisten dengan pernyataannya, kecil
kemungkinan Partai Islam akan mendukungnya pada Pemilu 2004.
Amin Rais, seringnya ia tampil di media massa maupun elektronik dengan
komentarnya yang “berlebihan” serta tidak tegas terhadap kebijakan yang
dilakukan pemerintahan Mega-Hamzah akan meredupkan sosoknya sebagai
lokomotif reformasi. Kecakapan yang dimiliki mantan Ketua Umum PP.
Muhammadiyah ini adalah ketangguhannya dalam berpolitik. Poros tengahlah
yang mengganjal Megawati untuk menjadi Presiden pada Pemilu 1999. Ketua
MPR ini juga yang memukul palu sehingga Sidang Istimewa untuk menjatuhkan
Gus Dur dari kursi presiden. Sedangakan Hamzah Haz tidak punya peran yang
berarti dalam kedudukannya sebagai Wakil Presiden. Ia lebih banyak
berkampanye untuk persiapan Pemilu 2004 dengan melakukan kunjungan yang
terkesan kepentingan politik daripada kepentingan bangsa. Selain itu
pendamping Megawati ini ternyata memiliki istri tidak hanya satu. Dan akan
menemukan lawan poltik yang tangguh pada Muktamar V PPP yaitu Bachtiar
Chamsyah yang mengangkat isu kaum muda karena PPP adalah partai orang tua.
Selain itu pendamping Megawati ini ternyata memiliki istri tidak hanya satu.
Yusril Ihza Mahendra, kecakapannya Profesor muda ini dalam meraih
simpati masyarakat kurang maksimal, sehingga partai yang dipimpinnya tidak
mendapatkan tempat yang layak dalam kategori sebagai partai besar pada Pemilu
1999. Abdurrahman Wahid, mantan presiden RI ke-IV ini dengan percaya diri
siap bertarung dalam pemilihan umum 2004. Pada masa kepempinannya, Gus
Dur banyak mengalami cobaan dan godaan. Kebijakan dan pernyataannya yang
banyak mengundang kontroversi banyak kalangan termasuk mahasiswa, apa daya
walaupuan tidak ikhlas harus menyerahakan kekuasaannya kepada Megawati. Pada
Pemilu 2004 Gus Dur optimis bersama partainya akan meraih suara lebih besar dari
Pemilu sebelumnya.
***
Pemilihan umum secara langsung yang baru pertama kali dilakukan di negeri ini,
diperkirakan akan menambah kebingungan bagi masyarakat untuk memilih capres pada
Pemilu 2004. Ada calon presiden yang masih menjadi terdakwa, ada capres yang belum
tamat kuliah (belum sarjana), ada capres yang hanya dikenal oleh kalangan menengah,
seperti Cak Nur dan Amin Rais, ada capres apabila kelak terpilih akan mengusung syariat
Islam. Kebingungan tersebut tidak hanya ada pada masyarakat awam tapi juga termasuk
mahasiswa.
Nah, tentunya ini akan menjadi preseden buruk dalam sejarah
perpolitikan nasional jika dalam Pemilu nanti gagal melahirkan tokoh yang
sejalan dengan harapan masyarakat. Akan tetapi, pemimpin kaum muda adalah
sosok yang sehat untuk dapat dicalonkan sebagai Presiden Indonesia mendatang.
Saya teringat pesan Pramoedya Anantatoer ketika ditanya oleh reporter salah
satu televisi swasta mengatakan, “Pemimpin indonesia mendatang haruslah
dipegang oleh kaum muda, karena kaum muda masih besih dari dosa politik
terhadap bangsa ini.” Harapan sastrawan besar ini patut kita hargai, namun
persoalannya bukan pada bersih atau kotor dan tua atau muda. Kebesaran figur
capres bukanlah modal besar dalam dunia politik di Indonesia. Berapa banyak
tokoh-tokoh besar yang memiliki semangat juang yang tinggi dan komitmen
moral yang bersih. Lacurnya, kelincahan dan kegigihan dalam political games
adalah faktor besar dalam menentukan terpilihnya seorang presiden yang tua
maupun muda. Wallahualam.

Kepedulian Negara dan Agama pada Anak-anak


Terlantar

Oleh : David K. Alka


(Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Ciputat, Peneliti

pada MAARIF Institute for Culture and Humanity)

Menumbuhkan rasa kemanusiaan (syuur insany) dalam


kehidupan bermasyarakat dan beragama merupakan elan vital untuk
mewujudkan negara yang berkeadilan sosial dan menjalankan ajaran
agama yang emansipatoris. Dalam sebuah negara yang demokratis,
ide yang bersumber dari bawah (rakyat kecil) sangat sesuai dengan
ciri utama demokrasi yang menekankan pada penciptaan keadilan.
Agama dan negara yang demokratis, tidak akan berdiri dengan
mantap bila asas utama demokrasi yang bertumpu pada keadilan
sosial, politik dan ekonomi tidak tertransformasi pada rakyat dan umat
secara baik dan merata..
Dunia anak-anak mestinya dunia nan indah. Penuh canda dan tawa. Mereka nakal
bukan berari bodoh. Berilah mereka kebebasan bermain selagi itu tak membahayakan.
Mereka berhneti bermain ketika benar-benar lelah. Dunia bermain yang tanpa
tekanan berhak mendapatkan kebebasan untuk bermaiterlantar adalah bagian dari
masyarakat Indonesia yang berhak mendapatkan keadilan sosial. Beberapa pandangan
keseharian sering terlihat di kota-kota besar, seperti anak-anak terlantar yang berdiri
bernyanyi di tengah sesaknya penumpang bus kemudian mengadahkan tangan.
Mereka mengamen dengan tepukan tangan saat lampu merah di bawah panasnya
matahari dan dinginnya malam. Mereka tidur di emperan pertokoan dan di bawah
jembatan dalam serangan malam yang seringkali menjadi lawan. Dan lebih
menyedihkan lagi, mereka acapkali mengalami pelecehan seksual. Itu semua adalah
akta sosial yang terjadi pada sebagian anak-anak di negeri ini.
Negara, yang dimotori oleh pelaksana pemerintah tujuan utamanya adalah untuk
menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi segenap warganya. Program sosial-
kemanusiaan yang menitikberatkan pada kesejahteraan anak-anak bangsa, baik
pendidikan maupun ekonomi, sudah seharusnya dilaksanakan secara berkelanjutan.
Yang sering terjadi selama ini, penyelenggara negara seolah-olah hanya
mementingkan persoalan politik untuk kepentingan kelompok atau golongannya,
sehingga mengabaikan program-program sosial-kemanusiaan terutama bagi anak-
anak terlantar.
Dalam memperingati Hari Anak Nasional ini, peran negara untuk
menciptakan kader-kader bangsa yang berkualitas, kiranya tidaklah
sebatas memanfaatkan momen dan menjalankan rutinitas perayaan.
Namun lebih dari itu, tanpa momen Hari Anak Nasional pun
penggalangan aksi sosial-kemanusiaan dan pendidikan untuk
kemandirian bagi anak-anak tersebut, harus terus diupayakan. Negara
dan lembaga sosial yang ada, - menurut Dr. Moeslim Abdurrahman-
tampaknya lebih peduli memperjuangkan hak-hak masyarakat sebagai
isu as a citizen dan as a consumer daripada memperjuangkan nasib
orang-orang yang menderita sebagai as a worker atau as under-class
citizen.
Selain Negara, agama sudah selayaknya berfungsi sebagai etika
kehidupan akhirat dan sosial yang menaungi segenap misi
kemanusiaan sepanjang zaman. Agama janganlah dipaksakan untuk
membela golongan kuat. Agama mesti mengayomi segenap golongan
dan memelopori sikap saling berhubungan dan tolong menolong. Dan
hubungan itu hendaknya mendasarkan diri pada dimensi luhur ajaran
agama yang mesti dihayati dan diamalkan.
Kebenaran agama sesungguhnya bisa dilihat dari keterkaitannya
dengan komitmen emansipasi (pembelaan) dan solidaritas
(kepedulian) kemanusiaan. Menurut Profesor Gregory Bahum (1997),
komitmen emansipatoris sebagai ukuran kebenaran itu harus
diwujudkan di tengah kehidupan. Yaitu lewat agama yang mampu
membebaskan belenggu-belenggu zamannya, ketertindasan,
kebodohan, keterbelakangan dan misi suci lainnya.
Islam sebagai salah satu agama yang berada di negeri ini
memiliki peranan sangat berarti dalam melaksanakan misi sosial-
kemanusiaan yang berdasarkan komitmen emansipatoris dan
solidaritas kemanusiaan. Menurut etika Qur’an, “melindungi orang-
orang yang tertindas adalah suatu keharusan”. (Asghar Ali
Engineer,1993). Dalam konteks kepedulian sosial bagi anak-anak
terlantar, Rasulullah sebagai seorang Nabi yang rendah hati, berhati,
dan berotak luar biasa cerdas, telah menunjukkan kepeduliannya.
Pada suatu riwayat diceritakan: Ketika salah satu hari raya Idul
Fitri, Rasulullah melihat seorang anak kecil terpencil berdiri sendirian.
Raut muka sedih berusaha untuk menahan air mata dari kegundahan
yang tertanam. Ia melihat teman-teman yang seusianya sedang
berhari raya, bergembira, memakai baju baru pemberian orang tua,
serta menikmati hidangan hari raya dari ibunya. Ternyata, anak itu
sudah lama hidup menderita yatim-piatu.
Pada saat-saat hari baik itu, dia merasakan alangkah pedih
hatinya, saat melihat orang lain bergembira dan serba kecukupan.
Lalu, anak itu melantunkan lagu kesedihan: “teringat pada nasib diri
sendiri; di mana Bapak tempat meminta; di mana tempat Ibu
mengadu; di mana tempat rumah untuk pulang; tak ada jawab bagi
semua itu.” Ketika melihatnya, Rasulullah menghampiri anak itu:
“Kenapa kamu berdiri sendirian di sini, nak?” tanya beliau. “Di
manakah rumahmu?” ‘Tidak ada, aku yatim piatu” jawab anak kecil
itu. Anak itu lalu diam meraskan beban yang sangat mendalam. Hanya
air matanya yang bercucuran.
Rasulullah lalu meletakkan telapak tangan kanannya di atas
kepala anak yatim-piatu itu. Dengan suara penuh cinta kasih, beliau
bertanya: “Bersediakah bila Aisyah menjadi Ibumu, Muhammad
menjadi bapakmu, dan tempat tinggal Rasulullah jadi rumahmu?” Anak
itu merasakan kebahagiaan yang besar ketika mendengar tawaran
Rasulullah yang diucapkan spontan, ikhlas, dan penuh mesra.
Akhirnya, anak kecil itu merasa bukan yatim-piatu lagi. Dia telah
mempunyai ibu dan bapak kembali. Dan sudah menerima sesuatu
yang tak ternilai harganya. Kemudian Rasulullah pun tersenyum. Anak
kecil itu segera menghapus air matanya dan mengucap syukur dengan
wajah gembira dan senyum yang berseri-seri. Rasa bahagia yang
tampak pada orang yang diberikan pertolongan, seakan-akan
memantul kembali kepada yang memberi pertolongan. Sehingga,
orang yang memberi dapat menikmati apa yang disebut rasa
kebahagiaan dalam memberi.
Menurut penulis, ada baiknya cerita di atas menjadi salah
satu bahan refleksi untuk menumbuhkan kesadaran sosial bagi umat
beragama. Karena, menurut Dr. Moeslim Abdurrahman (Islam
Transformatif, 1997), refleksi merupakan cara yang tepat agar agama
tidak kehilangan jawaban dalam masyarakat yang terus berubah.
Sekarang ini, dari waktu ke waktu kita dihadapkan pada persoalan
sosial yang semakin rumit. Konsep yang lama harus ditransformasikan,
agar dewasa ini agama secara substansial tetap mampu mendampingi
perubahan sosial yang terjadi secara tepat dan mendasar.
Selama ini, agama selalu meng-intensitaskan ritual yang
seringkali menjadi sangat romantik. Namun, hal itu tidak selalu
membuahkan kesalehan diri, apalagi kesalehan sosial. Kehidupan
beragama seolah-olah menjadi sangat rutin, tanpa keprihatinan yang
melahirkan tanggung jawab sosial. Agama, lebih dihayati sebagai
penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara
bersama. Seolah Tuhan tidak hadir dalam problematik sosial, kendati
namanya semakin rajin disebut di mana-mana.
Membebaskan ketelantaran dan ketidak-adilan bagi bibit-bibit
bangsa adalah problem sosial negara dan agama. Dan itu, mestinya
tidak hanya melalui penyadaran spiritual, tapi lewat kerja-kerja
kongkret yang terprogramkan (konstruk sosial yang nyata). Baik bagi
individu masing-masing umat, maupun kelompok-kelompok yang
terlembagakan di dalam negara maupun agama. Wallahualam
Alamat: Jl. Adityawarman No. 35 Kebayoran Baru Jakarta
Selatan
Telp. 021 72011101. Hp. 081310794869

Selasa, 18 Mei 2004

OPINI
Nasionalisme para Penyair
David Krisna Alka, Ketua Al-Maun Poetry Society, Jakarta

DALAM melihat perkembangan kesusastraan Indonesia, asas nasionalitas atau kebangsaan penting
untuk ditekankan. Mulanya nasionalisme itu dipahami sebagai manifestasi patriotisme radikal
melawan kolonialisme dan imperialisme, hanya sekadar mengusir penjajah dari Tanah Air, perasaan
senasib dan sepenanggungan di bawah penindasan kolonialisme dan imperialisme. Pada waktu itu,
nasionalisme adalah kebangkitan untuk memerdekakan diri dari penjajah. Setelah itu, perjuangan
beralih pada wilayah menata model kebangsaan dan mengatur penyelenggaraan negara yang akan
dijalani.

Kesadaran yang timbul akhir-akhir ini adalah kesadaran nasionalisme yang semu. Pemahaman
terhadap nasionalisme hanya sebatas cara mencapai tujuan dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang
dihayati sebagai kesadaran. Sebagai sebuah konsep, nasionalisme Indonesia rupa-rupanya tidaklah
ditegakkan dalam satu garis lurus yang sederhana. Proses kelahiran dan perkembangannya
menunjukkan hal yang berkebalikan: berliku-liku dan kompleks. Sebagai sebuah teks yang terbuka
atau interpretatif, nasionalisme mengalami pergeseran orientasi akibat kepentingan para pelaku atau
kepentingan golongannya.

Pembacaan nasionalisme

Ben Anderson dalam karyanya yang sudah tak asing bagi sastrwaan kita, Imagined Communities,
Reflections on The Origin and Spread of Nationalism, menjelaskan bahwa nasionalisme itu harus
menyentuh secara keseluruhan, orang per orang dan golongan dalam masyarakat yang majemuk.
Nasionalisme adalah objektif dan netral, dapat diterapkan dalam berbagai konteks, bebas nilai, dan
bebas kepentingan dalam masyarakat yang plural. Nah, bagaimanakah pembacaan para penyair
terhadap konsep nasionalisme itu?

Pada dasarnya, nasionalisme pada kalangan penyair tidak hanya sebatas lewat karya, namun juga turut
berkecimpung dalam pergolakan perjuangan kebangsaaan. Merujuk kepada pemahaman nasionalisme
yang klasik, yakni perjuangan kebangsaan untuk membebaskan negeri dari penjajah. Muhammad
Yamin, Rustam Effendi, Asrul Sani, Rivai Apin, Amir Hamzah, dan penyair sebelum dan sejak zaman
kemerdekaan, telah melakukan perjuangan bukan hanya melalui kata-kata, tetapi juga berperan aktif
dalam rangka persiapan kemerdekaan Republik Indonesia.

Setelah konsep nasionalisme mengalami keburaman, bukan berarti para penyair sekarang telah
meniscayakan rasa kebangsaan telah memudar sedemikian rupa. Kontekstualisasi pembacaan terhadap
konsep nasionalisme perlahan mulai dijajaki oleh penyair kita dengan menyajikan karya puisi yang
mengkritik maupun membangkit mengenai fenomena Tanah Air yang penuh dengan kecam dan
kecamuk.

Untuk merujuk pada pembacaan nasionalisme seorang sastrawan, Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
mengungkapkan bahwa, membaca kembali nasionalisme berarti harus pembacaan yang relevan
dengan konteks zaman. Nasionalisme yang baru, berarti merebut tempat, duduk sama rendah berdiri
sama tinggi dengan bangsa yang paling maju di dunia sekarang. Berjuang bersama-sama dengan
bangsa lain menciptakan dunia baru yang lebih harmonis. Sebab dunia dan umat manusia lambat alun
menjadi satu dalam kemajuan ilmu dan teknologi, dan terutama sekali dalam kecepatan lalu lintas dan
komunikasi.

Nah, jika penekanan dalam membaca nasionalisme sesuai dengan yang dimaksud oleh STA tersebut,
maka penyair tidak harus menuangkan gagasan kebangsaan mereka dalam bentuk yang sempit,
berputar pada dilema pengalaman lahir dan batin pada masa perjuangan kemerdekaan, seperti tiada
terjadi seratus tahun sekali, cukup untuk menjadi bahan berpuluh roman, beragam sandiwara, dan
beratus sajak.

Dalam usaha menemukan identitas nasional, ungkapan STA tersebut tidak harus selalu dituruti. Bagi
penyair yang intensif dalam mengelakkan kesenian daerah mestinya tetap konsisten untuk
mengembangkan khazanah daerah mereka masing-masing. Pergulatan penyair dalam karya-karya
mereka yang mengangkat dan mengembangkan salah satu daerah bukanlah suatu hal yang mudah.
Toh kita tidak melulu mesti menerima berbagai pengaruh dan bentuk pencucapan seni dari budaya
Barat.

Jiwa sang penyair

Banyak kemungkinan bagi para penyair untuk menyelami rasa kebangsaan dan juga banyak
kesukarannya. Dalam zaman pancaroba ini, para penyair berusaha untuk mencari keseimbangan di
dalam jiwanya. Bukan keseimbangan yang buta dan tuli, yang mengunci dirinya dalam keheningan
dan kesendirian. Keadaan negeri yang sudah sesibuk, carut-marut, dan sekacau ini, para penyair kini
hendaknya bersyukur dapat menyaksikan dan mengalami semua itu. Akan tetapi bukan sebagai
penonton, namun sebagai orang yang ikut serta bermain dengan hati yang berdebar-debar dan mata
bersinar-sinar.

Bangsa Yunani menyatakan bahwa guna seni itu dengan perkataan khatarsis, yaitu pembersihan. Seni
mengangkat manusia dari kehidupan sekelilingnya ke suasana yang mulia dan suci untuk
membersihkan jiwa. Menyucikan dan memuliakan jiwa manusia itu hanya mungkin dilakukan oleh
seni apabila ia menjadi penjelmaan kesucian dan kemuliaan jiwa.

Para penyair akan berharga atau tidak, mulia atau hina, semata-mata bergantung kepada sifat, watak
penyair sendiri. Seni kata yang dituangkan penyair tidak melulu asyik bermain dengan dirinya sendiri,
tetapi mesti melihat kenyataan bangsa. Menurut Soedjatmoko (1991), kita perlu belajar dan berkaca
pada sejarah. Nasionalisme tanpa sejarah itu namanya emosi bodoh. Nasionalisme harus disinari oleh
kesadaran, pengertian, pengetahuan, dan kesadaran sejarah.

Kesadaran nasionalisme seperti itu menjadikan posisi penyair cukup penting dalam menumbuhkan
jiwa kebangsaan yang tidak melulu patriotis. Akan tetapi, sebagai penembus putih tulang dan sum-
sum kata, dan menjadikan alat penyair untuk kepentingannya yang puitik, penyair berusaha untuk
memberikan pencerahan dengan kemurnian jiwanya. ***

Menanti Ikon Penyair Wanita


Indonesia
Kamis, 04 Agustus 2005
Oleh David Krisna Alka

Sebagai salah satu genre sastra, puisi dibangun dari unsur-unsur genre
sastra lainnya, yaitu unsur yang tumbuh dari dalam karya (instrinsik) dan
unsur yang mempengaruhi penciptaan karya tersebut (ekstrinsik). Sastra
sebagai sebuah bentuk seni berada dalam ketegangan antara konvensi dan
pembaruan, antara keterikatan dan kebebasan mencipta.

Pada setiap genre sastra selalu saja terjadi pembaruan yang dilakukan oleh
pencipta. Puisi merupakan ekspresi pemikiran yang merangsang imajinasi
dan pancaindra dalam susunan yang berirama. Pada puisi terjadi pemadatan
makna yang berwujud dalam bentuk larik dan bait-bait sebagai hasil cipta
intuisi imajinatif penyairnya dalam bentuk sajak dan irama.

Selain itu, puisi juga merupakan unsur keindahan pada kata yang
mempergunakan bunyi bersamaan, sedangkan irama adalah alun,
gelombang, dan pertentangan bunyi tinggi rendah yang berulang-ulang dan
teratur. Untuk dapat menikmati dan memahami puisi, pembaca haruslah
berusaha menghubungkan imajinasinya dengan intuisi imajinatif penyair.

Dengan cara ini, akan dicapai suatu jalinan komunikasi seperti yang
diungkapkan oleh Goenawan Mohammad bahwa puisi adalah suatu
pembicaraan ke dalam hati yang mengimplikasikan pengakuan orang kedua
sebagai persona. Lain halnya dengan fiksi, ketika membaca fiksi, seperti
cerpen atau novel, pembaca akan berhadapan dengan suatu dunia rekaan
yang dibentuk berdasarkan proses imajinatif yang dipaparkan.

Dalam membaca karya fiksi, imajianasi pembaca dapat lebih diarahkan.


Maksudnya, bila ditinjau dari segi kualitas imajinatif, pembaca dapat lebih
mudah mengarahkan imajinasinya dengan menjelaskan alur dan perwatakan
tokoh yang dipaparkan pengarang. Dari imajinasi dasar yang telah terarah
ini, pembaca dapat membina sesuatu imajinasinya akan gambaran-gambaran
fiktif karya sastra yang sedang dibacanya. Hal ini terjadi karena dalam
mengolah imajinasi, pengarang pun berlaku sebebasnya atas apa yang ia
deskripsikan. Pada puisi, untuk dapat memahaminya, pembaca harus dapat
memainkan imajinasinya atas teks tersebut yang diwujudkan melalui dialog
antara teks, pengarang, dan pembaca.

Jika kita amati, dalam karya puisi kaum pria, wanita seringkali menjadi objek
(penderita). Jarang sekali penyair pria dalam karya puisi mereka tak
menuangkan perihal pergulatan kehidupan mereka terhadap wanita. Sosok
wanita acapkali menjadi penghibur, penyedap rasa, dan pendukung makna
bagi penyair pria.

Sulit untuk ditampik, bahwa penyair pria seringkali memanfaatkan


pengalamannya terhadap wanita untuk dijadikan objek dalam penciptaan
puisi-puisi mereka. Karena, dalam puisi yang menceritakan tentang wanita
hakikatnya mencoba untuk mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada
dalam dirinya sendiri.
Wanita memilik sifat-sifat khas jika dibandingkan dengan pria. Mereka
memiliki pengalaman unik, kekayaan rasa yang lembut, tidak ada duanya,
disebabkan umur, jenis kelamin, kepercayaan, serta keadaan, baik psikis
maupun fisik. Wanita juga dapat mengubah kekuatan perasaannya
membentuk aksara di atas kertas, membuat kata menjadi bermakna,
menjadikan imajinasi penuh rasa, dan menangkap realitas dengan penuh
perasaan yang menggugah.

Biasanya, keluh kesah wanita tertuang dalam sebuah catatan harian. Secara
sengaja maupun tak sengaja perempuan mengkonstruksi realitas dan
pengalamannya menjadi kata-kata puitis. Akan tetapi puisi bukan hanya
keluh kesah yang melepaskannya cukup melalui kata-kata yang indah.
Menurut H.B.Yassin, puisi seharusnya memiliki pengetahuan kelir belakang
kemasyarakatan dan kesejarahan.
***

Saat ini, beberapa nama baru wanita penyair pasca era penyair Toety Heraty,
St. Nuraini, S. Rukiah dan Isma Sawitri perlahan mulai tampak bangkit.
Diantara mereka masih sangat muda dan produktif sekali menghiasi rubrik
puisi di media massa nasional, seperti Dina Oktaviani dan Pranita Dewi.
Selain itu, nama-nama wanita penyair lainnya yang sudah cukup matang dan
telah mendapat sorotan dari beberapa pemerhati sastra adalah Dorothea
Rosa Herliany, Oka Rusmini, dan Ulfatin Ch. Karya-karya mereka telah
mendapat perhatian dari beberapa penyair besar Indonesia, walaupun
semuanya pria.

Ekperimentasi estetik perempuan melalui karya sastra seperti puisi memang


tak mudah lepas dari kaum laki-laki. Agus S. Sarjono dalam Panorama Sastra
Nusantara (1997) menyebutkan bahwa semua eksperimentasi estetik telah
dilakukan oleh generasi 60-an dan kian matang pada generasi 70-an yang
menghasilkan sastrawan-sastrawan (laki-laki) yang mantap secara literer,
seperti Taufik Ismail, Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Darmono, dan
Abdul Hadi WM. Semua latar belakang inilah yang kemudian menjadi latar
bagi kelahiran generasi 80-an dan generasi 90-an dalam sastra Indonesia.
Agus S. Sarjono memang tidak menyebutkan masalah tentang laki-laki
penyair dan perempuan penyair. Tetapi, pada kenyataannya dari angkatan
60-an sampai 90-an laki-laki penyair mendominasi khazanah kesusastraan
Indonesia.

Suatu survei di Amerika pada akhir tahun 1960-an menyebutkan bahwa


kanon sastra di negeri itu merupakan tulisan kaum laki-laki. Elaine Showalter,
pengkritik sastra feminisme yang terkemuka, yang disebut oleh Soenarjati
Djajanegara dalam buku Kritik Sastra Feminisme mengungkapkan bahwa
sejumlah besar bentuk sastra, kurun-kurun waktu, bahkan berabad-abad
dalam sejarah sastra Amerika, tidak menyinggung satu orang pun penulis
wanita. Semoga ini tidak terjadi dalam dunia kesusastraan di Indonesia saat
ini.

Memang bukan hanya berupa puisi ruang aktualisasi wanita untuk


menorehkan keluh kesahnya dalam bentuk karya sastra. Menulis cerita
pendek dan novel merupakan keluh kesah yang laris bagi penulis wanita.
Apresiasi sastra berupa novel dan cerita pendek merupakan karya yang
sangat diminati oleh peminat karya sastra di negeri ini. Berbeda dengan
novel, karya-karya puisi belum memasar, jika tak mau dibilang tidak.
Sebenarnya, menurut Sapardi Djoko Darmono persoalan itu terletak pada
berani tidaknya penulis wanita memamerkan perasaannya pada khlayak
ramai, baik antologi puisi sendiri maupun antologi puisi bersama. Dan juga
tentunya bagaimana mengemas karya puisi menjadi karya laris seperti
kemasan dan promosi novel-novel remaja (teenlith) yang tumbuh pesat
akhir-akhir ini.
Selain dari itu, sejauh pengamatan penulis, puisi wanita Indonesia sampai saat ini belum memiliki
ikon penyair wanita yang menjadi “idola”. Banyak dari mereka yang masih “dihantui” oleh sajak-
sajak Rendra, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri dan penyair besar laki-laki lainnya.
Sejatinya, wanita penyair bebas menentukan kemana arah kekuatan puisi-puisinya, dan
menampilkan sebuah kekhasan puitik yang dapat merebut perhatian khalayak penyair dan peminat
karya sastra. Lebih dari itu, harapan untuk menemukan ikon penyair wanita di Indonesia
kemungkinan dapat terwujud.

Penyair, Mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat, anggota


JIMM dan Peneliti CMM
Perempuan Menulis Puisi
Oleh David K Alka
Penyair dan Ketua Program Sastra Al-Maun Poetry Society

Perempuan penyair Indonesia dilihat dari segi kuantitas dan kualitas sangat sedikit
dibandingkan dengan laki-laki penyair. Beberapa perempuan penyair seperti Toety
Heraty, St. Nuraini, S. Rukiah dan Isma Sawitri, karya-karya mereka kini sudak tak
pernah terlihat lagi. Apa masalahnya? Padahal kekuatan rasa perempuan lebih tinggi
dan mendalam dari laki-laki, jika mulanya kekuatan puisi adalah rasa sebelum kata.

Kompleksitas rasa pada perempuan memiliki daya menggugah yang cukup kuat
untuk menulis puisi. Perasaan pada perempuan begitu dalam. Oleh karena itu potensi
perempuan menulis puisi kemungkinan dapat melebihi laki-laki. Perempuan merubah
kekuatan perasaannya membentuk aksara di atas kertas, membuat kata menjadi
bermakna, menjadikan imajinasi penuh rasa, dan menangkap realitas dengan perasaan
yang dalam menjadi puisi yang terurai dan berkembang.

Biasanya, perempuan menulis keluh kesahnya dalam sebuah diary. Keluh kesah
pribadi, sosial, dan kegelisahan akan kehidupan. Secara sengaja maupun tak sengaja
perempuan mengkonstruksi realitas dan pengalamannya menjadi kata-kata puitis. Puisi
bukan hanya keluh kesah yang melepaskannya cukup melalui kata-kata yang indah.
Menurut H.B.Yassin (1993), puisi seharusnya memiliki pengetahuan kelir belakang
kemasyarakatan dan kesejarahan. Akan tetapi, perempuan cukup memilii kekauatn untuk
memberikan pencerahan dan kelembutan, sehingg dapat menggetarkan bahkan
menanamkan makna kedamaian dalam sajak-sajaknya.

Selama ini perempuan sering menjadi objek (penderita) bagi laki-laki penyair
bukan sebagai subjek (pengarang). Jarang sekali penyair (laki-laki) tak menuangkan
perihal perempuan dalam kumpulan puisi-puisinya. Seluk beluk perempuan menjadi
penghibur, penyedap rasa, dan pendukung makna bagi laki-laki penyair. Pengarang dan
teks (puisi) sulit untuk dilepaskan dalam mencipakan puisi. Imajinasi dan inspirasi dari
segala yang ada pada perempuan dapat membuat teks puisi menjadi romantis, platonis
dan sulit terkadang pesimisitis. Menafikkan peran pengarang laki-laki dalam teks puisi
yang objeknya perempuan tak dapat dipungkiri. Karena dalam puisi yang menceritakan
tentang seseorang (perempuan) hakikatnya mencoba untuk mengungkapkan hubungan-
hubungan yang ada dalam dirinya sendiri. Lantas apakah perempuan selalu akan menjadi
objek dari laki-laki penyair?

***
Wacana feminisme dan gender telah merambat hampir semua bidang; politik,
ekonom, sosial, budaya dan sebagainya. Persoalan peran perempuan mulai banyak
diperdebatkan sejak munculnya gerakan feminisme pada pertengahan tahun 60-an.
Feminisme pada dasarnya muncul sebagai gerakan dengan tujuan untuk memperjuangkan
hak-hak perempuan agar sama dengan laki-laki. Hak-hak dalam segala bidang kehidupan.
Feminisme ini kemudian melahirkan apa yang disebut “gender”, sebuah diskursus yang
membedakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis
kelamin (Said Ramadhan, 2004). Berakitan dengna itu, permasalahan mengenai peran
perempuan penyair dalam hal itu memang agak rumit tetapi menarik untuk dikaji.

Isu tentang peran perempuan yang muncul dewasa ini, terutama di negara-negara
berkembang seperti di Indonesia berkaitan dengan feminisme dan gender. Dalam
menciptakan puisi, perempuan penyair tidak perlu bersusah payah untuk
mempersoalkan dikotomi peran perempuan mengenai hak dan
kewajibannya di sektor domestik (rumah tangga) atau di sektor
publik (berkarir) dengan laki-laki. Tetapi yang lebih penting adalah
berkarya dalam menemukan makna dan mencari nilai artistik pada
puisi, misalnya mengungkap persoalan feminisme dan gender.

Memang tidak hanya berupa puisi ruang aktualisasi perempuan untuk


menorehkan keluh kesahnya dalam bidang sastra. Menulis cerita pendek dan novel
merupakan keluh kesah yang laris pada pengarang perempuan saat ini. Apresiasi sastra
berupa novel dan cerita pendek menjadi marketable bagi pengarang perempuan. Berbeda
dengan puisi, belum memasar seperti cerpen dan novel, jika tak mau dibilang tidak.
Persoalanya terletak pada berani tidaknya perempuan, meminjam istilah Sapardi Djoko
Darmono - memamerkan perasaannya pada khlayak ramai-- baik antologi puisi sendiri
maupun antologi puisi bersama.

Selain itu, para perempuan penyair belum memiliki ikon perempuan penyair yang
patut dibanggakan. Mereka selalu merujuk pada Rendra, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum
Bachri dan penyair besar laki-laki lainnya. Sejatinya, perempuan bebas menentukan
kemana arah kekuatan puisi-puisinya dan menampilkan sebuah kekhasan puitik yang
dapat merebut perhatian khalayak penyair dan peminat sastra. Lebih dari itu, harapan
untuk menemukan ikon perempuan penyair di Indonesia kemungkinan dapat terwujud.

***

Sekarang ini beberapa perempuan penyair mulai menjajaki potensi kepenyairan


dengan tampilnya penyair muda yang perempuan. Beberapa nama perempuan penyair
yang telah cukup mencuat akhir-akhir ini seperti, Dorothea Rosa Herliany, Oka Rusmini,
Ulfatin Ch, dan Abidah El Khalieky. Karya-karya mereka telah mendapat perhatian dari
beberapa penyair besar Indonesia walaupun semuanya laki-laki. Tetapi secara umum,
karya-karya perempuan penyair belum memenuhi kuantitas dan kualitas yang lebih jika
dibandingkan dengan laki-laki penyair.

Namun, ekperimentasi estetik perempuan melalui karya sastra seperti puisi memang
tak mudah lepas dari laki-laki. Menurut Agus S. Sarjono (Panorama Nusantara,
1997), dalam hal ini menyebutkan bahwa semua eksperimentasi estetik telah
dilakukan oleh generasi 60-an dan kian matang pada generasi 70-an yang
menghasilkan sastrawan-sastrawan (laki-laki) yang mantap secara literer, seperti
Taufik Ismail, Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Darmono, dan Abdul Hadi
WM. Semua latar belakang inilah yang kemudian menjadi latar bagi kelahiran
generasi 80-an dan generasi 90-an dalam sastra Indonesia. Agus S. Sarjono memang
tidak menyebutkan masalah tentang laki-laki penyair dan perempuan penyair. Tetapi,
pada kenyataannya dari angkatan 60-an sampai 90-an laki-laki penyair mendominasi
khazanah kesusastraan Indonesia..

Oleh karena itu, demi mengembangkan budaya menulis puisi pada perempuan,
hendaknya sarana aktualisasi dan ruang gagasannya tidak lagi “dihantui” oleh kebesaran
laki-laki penyair. Bukan lagi saatnya laki-laki menciptakan “dewa-dewa” dan perempuan
menyembahnya. Tetapi perempuan lebih memacu diri untuk mencari alternatif bagi
perkembangan diri, perkembangan puisi, dan perkembangan kesusastraan Indonesia pada
umumnya. Perempuan menulis puisi tak harus selalu bergantung pada laki-laki penyair.
Dan, tak ada salahnya jika kita berharap kepada perempuan untuk menulis puisi.

Alamat: Jl. Duren Tiga Selatan VII 8a Warung Buncit Jakarta 12760
Telp. (021) 79194642 Fax. 021 79194641 Hp.081310794869

Sastra Indonesia Gaya Keilmuan, Bukan Gaya Seks


(Tanggapan untuk S. Yoga)

Oleh David Krisna Alka

Bertaburannya karya sastra Indonesia dewasa ini ternyata banyak yang hanya menjadi
lahapan baca sekadar pengisi waktu lenggang dan sebagai bahan bacaan hiburan. Para
penikmat karya sastra kurang sekali melakukan kritik. Mereka lebih banyak sebagai
konsumen, belum menciptakan produksi baru dari karya sastra yang telah dibaca
misalnya, melakukan kritik sastra yang membangun dan mencerdaskan.
Masalah itu juga terletak pada pengarang yang memanjakan penikmatnya dengan
menyuguhkan karya sastra yang anti-intelektualisme dan cuma sebagai barang bacaan
pengobat penat bahkan lebih dari itu, mengundang hasrat birahi. Sejatinya, karya sastra
itu memberikan semangat intelektual yang mumpuni bagi peminatnya dan menyuguhkan
karya yang menyadarkan akan pentingnya memaknai realitas dalam ruang sastra atau
sebaliknya.
Beberapa pengarang yang disebut anti-intelektualisme kita temukan dalam puisi
primitivisme yang mengigit Sutardji Calzoum Bachri, puisi urakan Darmanto JT, dan
puisi-puisi mistik Abdul Hadi WM. Dalam cerita pendek, Danarto adalah pengarang
terkuat dari sastra mistik yang sama sekali bersikap anti-intelektualisme. Beberapa
pengarang disebut anti-intelektualisme itu terdapat pada esai-esai budaya dan
masyarakat karangan Kuntowijoyo terbitan Tiara Wacana 1997.
Sekarang, dengan perspektif yang berbeda, banyak karya sastra anti-intelektualisme
bermunculan dengan tema yang bukan lagi melangit. Tetapi, karya-karya sastra yang
menjadikan imaji seks yang liar, dan itu terjual dengan laris. Berbeda dengan para
pengarang yang disebutkan sebelumnya, Ayu Utami dan Djenar Mahesa Ayu (Cerpen)
misalnya, telah memancing beberapa pengarang muda yang lain untuk mengikuti jejak
mereka yang menjadikan karya sastra begitu liar jauh dari kesantunan dan kesan
keilmuannya. Salah satu cerpen Djenar Mahesa Ayu berjudul ”Memek”, menurut penulis
terlalu vulgar, seakan tak ada bahan lain yang lebih mencerdaskan dan menyadarkan
daripada mengarang seputar daerah selangkangan.
Berkaitan dengan itu, tulisan S. Yoga ”Puritisme dalam Sastra Indonesia, Tanggapan
untuk Imam Cahyono” (Sinar Harapan, 19/06/2004), lebih banyak mengumbar data para
pengarang dan karya sastra yang masuk dalam lubang yang sama, tanpa
mengemukakan hikmah dari karya sastra yang bertema seks itu sebagai karya sastra
yang mencerdaskan dan menyadarkan di tengah kondisi bangsa kita yang carut-marut
ini.
Modernisasi dan globalisasi seakan menjadi patokan S. Yoga dalam menanggapi tulisan
Imam Cahyono tersebut, misalnya pertanyaan S. Yoga, ”Jadi kenapa dalam masyarakat
yang tambah modern ini kita jadi uring-uringan tentang hal ihwal perempuan maupun
laki-laki? Jangan-jangan tambah maju kita justru tambah puritan.” Bukankah sebaliknya,
kita akan bertambah puritan tanpa memiliki kesantunan dalam berkarya, tanpa
memberikan penyadaran tentang betapa kusamnya wajah bangsa, dan tanpa
mengarang tentang selangkangan dan ”teman-temanya” seakan pengarang yang
menjaja imaji seks tak dapat hidup dibuatnya. Oleh karena itu, sastra sebagai gaya
keilmuan lebih baik daripada sastra sebagai gaya seks.
Banyak para ilmuan yang mengambil model sastra sebagai gaya keilmuannya bukan
model sastra sebagai penggoda iman. Misalnya dalam buku Literature and the political
Imagiantion (1996) yang diedit oleh J. Horton dan Andrea T. Baumesiter berbicara
secara khusus tentang inspirasi yang bisa diambil dari sastra (terutama narasi) oleh ilmu
politik, tentunya bukan dari karya yang bicara seputar selangkangan. Secara lebih
umum buku serupa kita temukan dalam Contingency, Irony, Solidarity (1989) karya
Richard Rorty yang pengaruhnya luar biasa–termasuk atas buku yang diedit Horton dan
Baumesiter itu, sebagaimana yang ditulis ST. Sunardi dalam Majalah Basis dua tahun
yang lalu.
Dalam hal model sastra sebagai gaya keilmuan, tambah maju kita bukan malah tambah
puritan tetapi membuka lahan bagi intelektual humaniora untuk menjelajah wilayah-
wilayah baru dan memberikan perangkat analisis yang sekaligus mengangkat posisi
humaniora untuk ”membaca” gejala-gejala zaman. Menurut Melani Budianta (2004),
bagi sejumlah praktisi kajian budaya seperti Tony Bennett dan Laura Mulvey, kajian
budaya bukanlah sekadar pemberdayaan kaum intelektual humaniora. Ada harapan
bahwa kemampuan membaca juga membawa kemampuan ”intervensi” terhadap
sejumlah praktik budaya (karya sastra) yang menekan; bahwa dengan menunjukkan
daya mempermainkan atau mengelak kekangan dalam berbagai wacana budaya sehari-
hari.
Nah, oleh karena itu, manakah yang lebih penting, berkarya dengan berkutat seputar
selangkang atau memberikan kesadaran melalui karya sastra yang menampilkan isi
cerita yang berkualitas sosial dan intelektual? Lebih jauh lagi ST Sunardi mengatakan
bahwa tema dan isi yang akan kita jadikan sebagai sebuah karya mestinya
menggunakan bahasa yang longgar dan bermain dengan dirinya sendiri. Tetapi,
tentunya pembaca mendapatkan manfaat, pencerahan, dan keindahan bahasa yang
menggetarkan.
Jika S. Yoga menutup tulisannya dengan petikan puisi ”La Ronde” karya Sitor
Situmorang yang terkenal itu karena melukiskan persetubuhan. Coba bandingkan puisi
mana yang lebih indah bahasanya dan banyak membuat kita berpikir serta terkesan
dalam hikmahnya antara membaca petikan puisi Sitor yang dikutip oleh S. Yoga dengan
puisi-prosa ”Anak Seorang Perempuan” karya Joko Pinurbo yang juga terkenal itu.
Berikut puisi Joko Pinurbo sebagai bahan refleksi kita terhadap fenomena perempuan
dan sekaligus membuat kita berpikir, bahkan akan mengkritik kembali tulisan pembelaan
S.Yoga tersebut.
Hingga dewasa saya tak pernah tahu saya ini sebenarnya anak Siapa. Sejak lahir saya
diasuh dan dibesarkan Ibu tanpa kehadiran seorang ayah. Ibu pernah mengaku bahwa
dulu ia memang suka kencan dengan banyak lelaki dan ia tak bisa memastikan benih
lelaki mana yang tercetak di rahimnya dan kemudian terbit menjadi saya.

Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang,dan bagi anak seperti saya yang
mengalami kelembutan cinta seorang ibu soal itu toh tidak penting-penting amat. Pun
ketika seorang teman penyair iseng-iseng bertanya apakah saya ini buah cinta sejati
atau cinta birahi, hasil hubungan terang atau hubungan gelap, saya menganggap dia
bukanlah penyair cerdas. Justru Ibu yang bukan penyair pernah berkata, ”Kau,
penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam kata-katamu?”

Penulis adalah Penyair, Ketua Al-Maun Poetry Society, Anggota Jaringan Intelektual
Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Peneliti CMM Jakarta
Minggu, 11 Juli 2004

Diperlukan Sastra yang Mencerdaskan

Karya sastra Indonesia dewasa ini banyak yang hanya menjadi lahapan baca sekadar pengisi
waktu lenggang dan sebagai bahan bacaan hiburan belaka. Para penikmat karya sastra
Indonesia kurang sekali melakukan kritik. Mereka lebih banyak sebagai konsumen, belum
menciptakan produksi intelektual baru dari karya sastra yang telah dibaca, misalnya
melakukan kritik sastra yang membangun dan mencerdaskan.

Sebenarnya, para pembaca karya sastra dapat menjadi kritikus sastra dan tidak mesti harus
akademikus sastra. Dan yang lebih penting lagi, bagaimana menampilkan karya yang
memberikan pencerahan, hikmah, dan mencerdaskan, setelah dibaca, bukannya
mengeksploitasi aurat perempuan dalam bungkus karya sastra.

Selain itu, masalahnya juga terletak pada pengarang yang memanjakan penikmatnya dengan
menyuguhkan karya sastra yang anti-intelektual dan cuma sebagai barang bacaan pengobat
penat bahkan lebih dari itu, mengundang hasrat birahi. Semestinya, karya sastra Indonesia
memberikan semangat intelektual yang mumpuni bagi peminatnya dan menyuguhkan karya
yang menyadarkan akan pentingnya memaknai realitas ke dalam ruang sastra atau
sebaliknya.

Beberapa tahun lalu, kecenderungan anti-intelektualisme ditemukan dalam puisi primitif yang
menggigit Sutardji Calzoum Bachri, puisi urakan Darmanto JT, dan puisi-puisi mistik Abdul
Hadi WM. Dalam cerita pendek, Danarto adalah pengarang terkuat dari sastra mistik yang
sama sekali bersikap anti-intelektualisme. Mereka disebut anti-intelektualisme oleh
Kuntowijoyo dalam beberapa esainya yang terkumpul dalam Budaya dan Masyarakat (1997).

Sekarang, dengan perspektif yang berbeda, karya sastra yang anti-intelektualisme banyak
bermunculan dengan tema yang bukan lagi melangit dan primitif. Tetapi, melalui karya-karya
sastra yang menjadikan imaji seks liar dan itu terjual dengan laris.

Berbeda dengan para pengarang yang disebutkan di atas, Ayu Utami (novel) dan Djenar
Mahesa Ayu (cerpen) misalnya, telah memancing beberapa pengarang muda yang lain untuk
mengikuti jejak mereka yang menjadikan karya sastra begitu liar jauh dari kesantunan dan
kesan keilmuan.
Salah satu cerpen Djenar Mahesa Ayu berjudul Memek misalnya, terlalu vulgar, garang, dan
tidak mendidik. Seakan tak ada bahan lain yang lebih mencerdaskan dan menyadarkan
daripada membicarakan seputar daerah selangkangan.

Apa pesan atau hikmah yang kita dapati setelah membaca karya-karya sastra yang berbau
seks atau karya sastra yang bersemangat membuka aurat? Atau, setelah kita membacanya
kita mendapatkan pengetahuan yang menyadarkan, seperti ketika kita membaca roman
Atheis karya Achdiat K Mihardja, atau membaca cerpen yang berbau feminimisme, Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoya?

Dari sisi pemasaran sebagai produk karya sastra kita memang cukup bangga melihat marak
dan larisnya buku-buku sastra akhir-akhir ini. Seperti yang ditulis Maria Magladena
(Republika, 27/06/04) naiknya gairah publik untuk membaca karya sastra itu akan memupus
penyakit malas membaca sastra yang sekian lama diderita dan kecenderungan minat baca
mulai bangkit, sekitar 60 persen pembaca memilih buku-buku sastra.

Namun, dari sisi kualitas yang diiringi oleh manfaat baca, membuat pembaca berpikir, dan
karya sastra yang memiliki kesan mendalam setelah dibaca, karya-karya sastra yang gencar
bermain di seputar seks tersebut terasa jauh dari semua itu. Saat ini kita membutuhkan
karya-karya sastra yang mencerdaskan dan menyadarkan di tengah kondisi bangsa kita yang
carut-marut dan membutuhkan bacaan yang tidak terlalu 'menggoda iman'.

Akan tetapi, perkembangan zaman seolah menjadi alasan yang kuat bagi para pengarang
yang menjajakan seks melalui karya-karyanya. Mereka berdalih atas nama modernisasi,
globalisasi, dan memanfaatkan perkembangan budaya pop yang 'heboh' dewasa ini, seiring
dengan banyaknya tayangan media mempertontonkan bokong dan aurat lain yang seronok di
hadapan kita. Tanpa mengarang tentang selangkangan seolah-olah pengarang yang menjaja
imaji seks itu tak dapat hidup.

Menurut penulis, para pengarang semestinya lebih mementingkan persoalan bagaimana karya
sastra itu memberikan pencerahan, hikmah, kesadaran sosial dan kesadaran berbangsa,
seperti mengambil inspirasi dari khasanah daerah yang begitu kaya dan beragam,
mengisahkan fenomena kemiskinan dan ketertindasan, dan lain sebagainya. Pengarang tidak
harus melulu bermain dengan seks sebagai inspirasinya.

Model sastra sebagai gaya keilmuan lebih baik daripada sastra sebagai gaya seks. Banyak
ilmuwan yang mengambil model sastra sebagai gaya keilmuannya, bukan model sastra
sebagai penggoda imannya. Misalnya dalam buku Literature and the Political Imagiantion
(1996) yang diedit oleh J Horton dan Andrea T Baumesiter. Buku ini berbicara secara khusus
tentang inspirasi yang bisa diambil dari sastra (terutama narasi) oleh ilmu politik, dan bukan
dari karya yang bicara seputar selangkangan.

Secara lebih umum hal serupa kita temukan dalam buku Contingency, Irony, Solidarity (1989)
karya Richard Rorty yang pengaruhnya luar biasa, termasuk terhadap buku yang diedit Horton
dan Baumesiter itu, sebagaimana yang ditulis ST Sunardi di sebuah majalah sastra dua tahun
yang lalu. Dalam hal model sastra sebagai gaya keilmuan, tambah maju kita bukan
bertambah puritan, tetapi membuka lahan bagi intelektual humaniora untuk menjelajah
wilayah-wilayah baru dan memberikan perangkat analisis yang sekaligus mengangkat posisi
humaniora untuk membaca gejala-gejala zaman.

Karena itu, manakah yang lebih penting, berkarya dengan berkutat seputar selangkang atau
memberikan kesadaran melalui karya sastra yang menampilkan isi cerita yang berkualitas
sosial dan intelektual? Lebih jauh lagi ST Sunardi mengatakan bahwa tema dan isi yang akan
kita jadikan karya sastra mestinya menggunakan bahasa yang longgar dan bermain dengan
dirinya sendiri. Tetapi, tentunya pembaca mendapatkan manfaat, pencerahan, dan keindahan
bahasa yang menggetarkan.
Selain itu, para pengarang yang mengumbar aurat itu mestinya tidak mudah terjebak pada
sebuah emosionalisme yang amatiran. Suka atau tidak sukanya pembaca terhadap suatu
karya, harus mempertimbangkan sejauh mana karya yang ngeseks itu dapat memberikan
pencerahan dan hikmah. Dan, memberikan semangat intelektual yang berwujud karya sastra.

Sastra merupakan salah satu "cakrawala budaya" untuk memperkenalkan ciri khas budaya,
memperjuangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan secara lebih utuh dan menyentuh. Sastra
juga dianggap sebagai "alat kontrol" perilaku menindas nilai-nilai kemanusiaan. Sastra
merupakan tenda budaya yang mengedepankan keadaban dan menjadi kendali dari
bobroknya moral bangsa, bukan suatu upaya berkarya dengan mengeksploitasi aurat secara
serampangan.

KHAZANAH SASTRA
Nyanyian Sunyi Negeri Sealun Dendang

Oleh David Krisna Alka


Penyair dan Ketua Al-Maun Poetry Society
Ketika sebuah pementasan puisi terpinggirkan oleh maraknya pertunjukkan
populer di televisi yang menggelinjang akhir-akhir ini. Irmansyah melakukan pelisanan
puisi-puisinya dengan sederhana tanpa ruah. Cukup dengan meja bundar dan kursi
sebagai properti yang menunggu letih ingin turut di apresisasi oleh penyair. Tetapi,
Irmansyah masih saja tetap duduk asyik dengan mengeluarkan bunyi bansi, kemudian
berkata-kata.
Dengan menggunakan sepasang sepatu yang berlainan warna, yang kiri merah
dan kanan putih, sebuah kesan eksentrik yang sudah biasa dari para penyair kita,
Irmansyah mencoba memaknai negeri melaui jaringan penandaan dengan penempatan
atau penerapan antara penanda (signifer) dan petanda (signified)-- merah dan putih
sebagai simbol negara, sedangkan kain batik dan bansi sebagai pencitraan terhadap
sebuah tradisi budaya. Namun, Irmansyah memiliki gaya tersendiri dalam melisankan
puisi-puisinya sehingga menimbulkan makna ganda antara menguatkan eksplorasi tradisi
atau kritik terhadap negeri.
Dengan bahasa lain, pertunjukkan yang bertema Negeri Sealun Dendang itu
dihadapkan pada bahasa dan idiom lain dari yang pernah dilakukan penyair ketika
membaca puisi-puisi mereka sendiri. Selain itu, Irmansyah tengah melakukan pencarian
identitas yang lebih kreatif seperti para penyair pendahulunya yang telah memiliki dayat
tarik tersendiri ketika membacakan puisi, seperti Rendra dan Sutardji membacakan puisi.

***
Sebagai penyair, Irmansyah termasuk baik dalam mengeksplorasi panggung
disaat kejenuhan sempat menghampiri penonton. Membangun komunikasi pertunjukkan
merupakan hal yang jarang dilakukan para penyair ketika membacakan puisi-puisinya.
Kebanyakan para penyair kurang memiliki gaya dalam membacakan puisi. Mereka
cenderung cukup mengandalkan kekuatan makna kata pada puisi tapi bukan pada
ekplorasi puisi dalam bentuk yang lebih menarik, seperti yang dilakukan Irmansyah.
Pertunjukkannya yang unik dibantu dengan alat musik tiup bansi dan dendang tanpa kata
(permainan bunyi fonem yang berirama etnik khas Minang). Penggabungan bunyi alunan
bansi dan dendang serta pengucapan puisi sebagai satu kesatuan memang merupakan
kemampuan yang jarang dimiliki oleh penyair lain.
Ketika Irmansayh membacakan puisi andalannya, “Sunyi Kirim Surat Padaku.”

Kalau ingin menyelami sepi, masuklah


Kejantungku! Sebuah panorama tak terduga
Bangku panjang diri, di atasnya lumut
Bercambur embun yang kemaren
Membeku dalam dingin
Kereta takkan pernah datang, walau
ditunggu dalam sejuta musim

Alunan bansi terdengar menyentuh, menembus keramaian arus kendaraan di


depan Wapres Bulungan. Detakan hati ini turut bergetar, teringat kota tempat belajar
tentang kesenian. “Alam terkembang menjadi guru” kata almarhum A.A Navis salah satu
guru yang mengajarkan tentang kesusastraan dan kebudayaan kepadaku, mungkin juga
kepada Irmansyah.
Pengarang cerpen Robohnya Surau Kami itu bisa dibilang ‘motor’ bagi beberapa
penyair dan peminat sastra di Kayutanam, Sumatera Barat tempat Irmansyah pernah
mengajarkan kepadaku (penulis) tentang apa itu puisi. Lalu malam itu semua tersapa
dalam alunan dendang, ke-ta-pang…ke-ti-pung…pung…pang…
pung...pakh..pakh...pukh...pukh, kemudian Irmansyah melanjutkan membacakan
puisinya.

Kalau ingin menegur malam, ucapkan


Apa saja di sana! Kau akan mendengar
Musik kesunyian yang panjang
Diiringi requiem yang amat mengerikan
Salami saja apa yang kau inginkan dan
Nikmatilah! Betapa hidup sendiri itu
Sangat tak mengenakkan.

Keheningan yang terasa bertambah saat alunan bansi berirama khas minang
mengingatkan akan kampung halaman.
Setidaknya, apa yang telah dilakukan Irmansyah bukanlah pementasan
spontanitas yang cuma mengandalkan energi kata dan ekspersi wajah. Bantuan suara
musik, baik dengan bansi maupun alunan suara mulut (baca:dendang) merupakan
kekuatan tersendiri yang dimilikinya. Puisi yang berjudul, Sunyi Kirim Surat Padaku,
karya Irmansyah yang pernah menang lomba cipta puisi Sanggar Kopi di Bali enam
tahun yang lalu.
Gaya Irmansyah melisankan puisi-puisinya itu apakah dapat disebut sebagai
musikalisasi puisi atau bukan tentunya akan paradoks jika ditilik lebih jauh. Alat musik
yang digunakan tidak mengandung kesatuan sebagai pendukung sebuah bentuk
musikalisasi puisi. Sedangkan alunan dendang merupakan sebuah kreatifitas yang butuh
keberanian bagi penyair untuk mendukung kenikmatan sebuah pementasan pelisanan
puisi seperti yang telah dilakukan oleh Irmansyah.
Di sisi lain, apabila pementasan yang bertema Negeri Sealun Dendang merupakan
salah satu bagian dari pementasan yang mengusung perlawanan terhadap hiburan yang
komersial atau sastra yang komersial, tentunya patut untuk didukung. Perlawanan itu
tentu berkaitan dengan banyaknya penyair yang tak memiliki modal uang yang cukup
untuk menerbitkan antologi puisinya sendiri. Atau, mengadakan sebuah pertunjukkan
puisi yang harus melalui saringan lewat tim penguji, berlomba unjuk gigi, lalu
tereliminasi, kemudian nyanyian sunyi mengarungi.
Sebagai bentuk pencarian sebuah pertunjukkan puisi yang mendambakan peminat
layaknya Akademi Fantasi Indosiar (AFI) atau Indonesian Idol, Irmansyah tentunya
belum mampu untuk menargetkan seperti itu dan butuh banyak makan tenaga, waktu,
apalagi modal. Akan tetapi, jika pertunjukkan tersebut merupakan upaya untuk
mengembangkan pementasan puisi yang lebih kreatif, menyentuh, dan mencerahkan
tentunya patut untuk kita hargai.
HIV/AIDS dalam Novel

Oleh David Krisna Alka

Salah Seorang Penyair dalam antologi ON/OF Books, The End of Trilogy dan Kepala Program
CMM

Begitu banyak macam realitas kehidupan yang tertoreh dalam bentuk karya sastra. Ketika
menemukan peristiwa yang memilukan, pengalaman yang menggelitik, kejadian nan unik dan
hal-hal baru yang menggigit, pengarang membubuhkan semua pengalamannya itu dalam
salah satu bentuk karya sastra (cerpen,puisi,novel,roman dll)
Begitu pula dengan novelis Titie said (1935), sosok pengarang wanita yang sering
menggarap persoalan cinta yang dihubungkan dengan kehidupan keluarga. Model seperti itu juga
banyak digarap oleh novelis lainnya seperti Lastri Fardani (1941), Yati Maryati Wiharja (1943-
1985), Titiek W.S. (1938), Sri Bekti Subakir, Ike Supomo, La Rose, Marga T, Maria A. Sarjono,
Nani Heroe, Nina Pane, Titik Viva, Sari Narulita, Tuti Nonka, dan lain-lain.
Dalam novel karya terbaru Titie Said yang berjudul Deana Pada Suatu Ketika (Obor, 2004),
Titie Said menggugah pembaca dengan menampilkan cerita novel mengenai problema
kehidupan seorang wanita tenar, berpredikat sebagai mantan ratu kecantikan, dan istri dari
seorang pengusaha yang tampan. Akan tetapi, wanita itu terkena virus HIV/AIDS.
***
Dalam peluncuran hari AIDS Sedunia tahun 2004 lalu, Departemen Kesehatan (Depkes),
hingga 30 September 2004 jumlah kumulatif pengidap infeksi HIV sebanyak 3.338 orang dan AIDS
2.363 kasus. Data Depkes juga menunjukkan terdapat dua provinsi baru yang melaporkan AIDS,
yaitu Nanggroe Aceh Darussalam dan Maluku Utara, sehingga sudah 27 provinsi yang melaporkan
kasus AIDS.
Secara nasional, tingkat kasus AIDS sampai 30 September 2004 adalah 1,17 per 100.000
penduduk. Kasus yang terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat,
Bali, Riau, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Sulawesi Utara, dan Jawa Tengah, sedangkan
tingkat kasus AIDS tertinggi dilaporkan provinsi Papua dengan 20,46 kali angka nasional, DKI
Jakarta 10,16 kali angka nasional dan Bali 2,27 kali angka nasional.
Di Batam, sejak Januari hingga November tahun ini sebanyak 21 orang penderita
HIV/AIDS dirawat di RS Otorita Batam (RSOB). Tujuh di antaranya meninggal dunia, dua orang
dalam perawatan intensif dan sisanya mengalami rawat jalan. Jumlah tersebut naik dibanding
tahun lalu, dan kebanyakan pasien bukan dari pekerja seks, melainkan buruh dan pekerja pabrik.
Kenaikan jumlah penderita HIV/AIDS juga terjadi di Solo. Ketua Tim Pelayanan dan
Penanggulangan Penyakit AIDS RSUD Dr Muwardi Solo, mengungkapkan, sepanjang tahun
ini, pihaknya menemukan sembilan pengidap penyakit mematikan itu. Tiga di antaranya
meninggal dunia. Jumlah tersebut, menurutnya, meningkat dibanding tahun lalu, yakni lima
pasien.
Itulah fakta data jumlah korban penderita HIV/AIDS yang ada di negeri yang “beradab”
bernama Indonesia ini. Kemungkinan besar data di atas bisa lebih dari itu, karena belum
diketahuinya penderita HIV/AIDS yang tak terlacak. Dan, Titie Said menggugah kepedulian kita
melalui novelnya ini. Titie Said menekankan bahwa penderita HIV/AIDS harus diperhatikan dan
penularannya harus dihentikan. Dari situ maka timbul pertanyaan, sejauh mana novel dapat
meningkatkan kepedulian kita terhadap masalah HIV/AIDS?
***

Novel adalah salah satu karya sastra yang acapkali ceritanya menimbulkan dan
memainkan rasa dan hati pembacanya. Menulis karya sastra seperti novel, bukanlah kreatifitas
yang sekali duduk langsung jadi, menulisnya penuh pergulatan yang intens terhadap rasa bahasa
yang memperbincangkan realitas kehidupan dengan pengarang. Penulis fiksi itu harus mampu
menafsirkan kehidupan secara jitu. Karya fiksi, bukanlah sekedar seni yang menjiplak kembali
alam kehidupan.
“Mengapa harus aku? Mengapa bukan suamiku? Apakah virus yang menjalar pada tubuhku ini
datang dari suamiku karena bersetubuh dengan pelacur penderita HIV/AIDS? Apakah
kekuranganku?” Sangat menyentuh sekali Titie Said mengolah cerita novel barunya ini.
Pertanyaan yang menggigit itu timbul dari sosok Deana, tokoh dalam novel itu. “Lalu aku pun
bertanya, mengapa perempuan yang paling banyak terkena virus HIV/AIDS?”
Baby Jim Aditya menjawab bahwa faktor kerentanan sosial, ekonomi, budaya, dan gender
menyebabkan perempuan lebih mudah terinfeksi HIV/AIDS, walaupun perilaku perempuan itu tidak
berisiko tinggi. Menurut aktivis perempuan itu, semua kombinasi faktor sosial dan gender tersebut
membuat perempuan muda berusia 15-24 tahun di seluruh dunia dua kali lipat lebih berisiko
terinfeksi HIV dibandingkan laki-laki.
Itulah sebabnya jumlah perempuan yang terinfeksi HIV di Asia sejak 2000 meningkat 56%,
sehingga jumlah total perempuan Asia yang terinfeksi HIV mencapai 2,3 juta orang. Diyakini
mereka tertular virus mematikan itu akibat perilaku pasangannya. Kerentanan sosial menyebabkan
sering terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan di dalam maupun di luar perkawinan.
Mereka sering dilacurkan oleh keluarganya, dan tidak sedikit pula istri yang baik terinfeksi HIV,
karena suaminya pernah berhubungan dengan orang lain.
Lebih lanjut, menurut Baby Jim Aditya, perempuan kadang tidak mempunyai hak untuk
menentukan kebutuhan sendiri. Bila sakit pun sering terlambat diobati. Kemudian, dalam salah
satu harianm media massa nasional Baby Jim bercerita; Ada seorang napi perempuan yang positif
HIV dari suaminya dikeluarkan dari penjara dengan tebusan uang. Namun, ketika ia membutuhkan
dukungan psikologis dari pihak keluarganya, ternyata kehadirannya ditolak oleh keluarganya.
Kurangnya perempuan mendapat akses pendidikan maupun pelatihan telah membuat
mereka sulit mendapatkan pekerjaan layak. Tidak heran karena pendidikan yang rendah banyak
perempuan muda terjerumus mencari pekerjaan sebagai pekerja seksual komersial (PSK).
***
Novel Deana pada suatu ketika karya Titie Said setidaknya telah memberikan bentuk
kesadaran baru bagi kita yang belum terkena HIV/AIDS dan, bagi penderita HIV/AIDS, novel ini
dapat dijadikan sebagai rujukan bahwa kita mesti berani mengahadapi hidup. Dari sisi
kesusastraan, tema-tema cerita seperti novel terbaru Titie Said ini dapat menjadikan kesusastraan
tidaklah lagi menjadi penyamaran usang akibat sebuah praktik kanibalisme intelektual. Karena
kepentingan yang ada adalah untuk sosialisasi pencegahan bencana diri manusia dan
membangkitkan kualitas hidup manusia.
Maraknya novel bertema hura-hura yang melulu bercerita tentang pergumulan seks bebas
dan, tanpa pesan moral yang berarti bagi pembacanya, menurut penulis, akan membuat
kesusastraan menjadi penyamaran usang yang senantiasa ditelanjangi dengan senang hati;
sebuah praktik kanibalisme intelektual yang dipertunjukkan!
Sejatinya, pengarang novel melakukan dekonstruksi terhadap karya-karya mereka yang
“kekanak-kanakan”. Mari bercerita tentang keberpihakan kita kepada kemanusiaan, dan berusaha
untuk mampu menjawab pertanyaan, bagaiamana karya fiksi mendapat tempat dalam perjuangan
umat manusia?

Nadine Gordimer, penulis perempuan terkemuka peraih Hadiah Nobel Sastra 1991
mengungkapkan, jika dilihat dari karya yang ditulis, penulis fiksi itu sendiri sering dipersepsikan
sebagai sesuatu yang fiktif. Oleh mereka, kesusastraan menjadi senantiasa ditelanjangi dengan
senang hati; sebuah praktik kanibalisme intelektual yang dipertunjukkan. Imajinasi seorang penulis
adalah barang jajahan yang diambil dari kehidupan orang lain.

David Krisna Alka

email: dk_alka@yahoo.com

Hp. 081310794869

Jika Redaktur memuat tulisan ini Rekeningnya:1030004282402 Bank Mandiri KCP Jakarta
Gedung Jaya

Sastra Islam Sebagai Paradigma Pembebasan


Oleh David Krisna Alka

Sastra yang bermukim pada wilayah teologi Islam merupakan


bibit dari munculnya kesusastraan melayu. Sastra keagamaan yang
merujuk pada Islam itu dapat dibagi kepada tiga cabang, yaitu ilmu
tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Diantara ketiga cabang ilmu dalam
kajian Islam itu, ilmu tasawuf yang paling dekat dengan sastra,
khususnya sastra Islam. Ilmu tasawuf menjelaskan tentang wilayah
esoteris manusia dengan Sang Pencipta. Setelah melewati
persinggahan-persinggahan (maqamat) dalam rasa kebatinan yang
begitu dalam, banyak tokoh tasawuf (Sufi) berharap untuk dapat
bersatu dengan Tuhan. Mereka berusaha mendapatkan kesejatian diri,
kesejatian alam, dan kesejatian Tuhan.
Karena manusia tidak bisa melepasakan diri dari pengertian
tentang Tuhan, maka banyak kemungkinan bagai para Sufi untuk
memperoleh derajat tertinggi jika sudah bersatu dengan Tuhan, atau
bersatu dengan semesta. Singkatnya, dalam persinggahan itu muncul
kalimat-kalimat yang begitu indah dengan penjiwaan yang begitu
dalam dan mengandung keindahan bahasa yang sungguh luar biasa.
Dalam konteks sejarah sastra Islam di Indonesia, Hamzah
Fansuri merupakan pelopor sastra Islam tersebut. Menurut penyair
Abdul Hadi WM dalam disertasinya, Estetika Sastra Sufistik: Kajian
Hermeneutik terhadap Karya-karya Syaikh Hamzah Fansuri,
menjelaskan, bahwa Hamzah Fansuri merupakan cendekiawan dan
pemimpin tasawuf yang berpengaruh pada zamannya. Peranan
penting beliau dalam sejarah pemikiran dunia melayu nusantara bukan
saja karana gagasan tasawufnya, malah puisinya yang mencerminkan
pergulatan penyair menghadapi realita zaman dan pengembaraan
spiritualnya.
Sebagai pencipta pertama syair melayu dengan bentuk puisi
empat baris, bakat Hamzah Fansuri sebagai sastrawan besar tampak
dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama menjadi
bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab, istilah
konseptual dari al-Quran dan falsafah Islam. Bahasa ini lantas tampil
sebagai bahasa intelektual yang dihormati, sebab dapat menampung
gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu.
Dalam kesusastraan Islam, karya-karya paling universal
termasuk ladang garapan tasawuf itu, adalah semangatnya yang
membangkitkan kesusastraan Arab dan Persia, mulai dari lirik-lirik
lokal dan sajak-sajak epik sampai kepada karya-karya didaktik dan
mistik yang dimensinya sangat universal. Tasawuf memperkaya sastra
Arab, kebanyakan dalam bentuk prosa dan sastra Islam Persia yang
lebih lokal sifatnya.

Pengaruh tasawuf besar sekali. Hampir dalam setiap bentuk seni,


mulai dari puisi sampai kepada arsitektur terlihat dengan jelas
perpaduannya dengan tasawuf. Dalam pengantar buku Tasawuf dulu
dan Sekarang (1985), Sayyid Husein Nasr menjelaskan, bahwa para
Sufi hidup di dunia ini seakan-akan tinggal di suatu tempat yang
dinamakan sebagai pelataran depan Taman Firdaus, dan karenanya
menghirup udara dalam suasana yang penuh getar kerohanian dimana
keindahan memancar dari perkataan dan perbuatan mereka.

Otokritik
Banyak para penyair berusaha menuangkan harmoni kata yang
indah dalam setiap karya puisi mereka, walau maksud dari puisi
tersebut adalah kegetiran yang tak tampak dalam kasat kata. Begitu
juga tasawuf, pesona indah kalimat yang diucapkan para Sufi berbeda
dengan pengalaman pahit yang mereka derita karena mengharap
pancaran Illahi menyelam ke dalam hati.
Saat ini, setelah perkembangan sastra dan tasawuf tampak
seperti terbawa oleh kencangnya arus roda zaman. Para penyair yang
sufistik beralih ke dalam nuansa yang sama tapi tujuannya yang
berbeda dalam menuangkan sajak-sajak keindahan tersebut. Pekik
zaman yang kian hari makin menggetirkan, membuat para penyair
seperti kehilangan kaki untuk melangkah, bahasa nan indah tapi
substansi puisinya seperti “orang-orang kalah.” Islam penuh dengan
dimensi, bukan hanya aspek esoteris saja yang dimiliki, tapi Islam
mesti diketengahkan dalam konteks yang lebih luas (eksoteris). Begitu
pula dengan sastra Islam, diperlukan paradigma pembebasan.
Toha Husein, Nawal Sadawi, dan Naquib Mahfudz, adalah
sastrawan Islam (Timur Tengah) yang dalam karya-karyanya terdapat
unsur pembebasan. Dalam konteks kesusastraan Indonesia, cerita
pendek Robohnya Surau Kami karya A.A Navis merupakan salah satu
contoh karya sastra yang memiliki paradigma pembebasan dalam
sastra Islam.
Kemudian, Kuntowijoyo muncul dengan sastra transendental
guna mengenapi isu sastra Islam yang ada. Sastra transendental
mengambil tema-tema keagamaan yang variasinya amat banyak dan
tidak melulu harus mengambil tema yang kesepian.
Lebih luas lagi, Kuntowijoyo menjelaskan, sesungguhnya semua
sastra punya bobot transendental, asal dilihat dari pandangan teologis
dan metafisis. Manusia dituntut untuk ber-amarma’ruf nahi munkar.
Amar ma’aruf itu memanusiakan manusia, sedangkan nahi munkar itu
pembebasan, dan beriman kepada Tuhan itu transendental.
Penjumlahan semua itu menurut Kuntowijoyo menjadi sastra profetik.
Sastra profetik inilah yang menurut penulis mesti lebih
dikembangkan dikalangan generasi terkini. Kuntowijoyo dengan sastra
profetiknya telah menanamkan dan memperkaya cakrawala sastra
religius yang lebih membawa pencerahan daripada sastrawan sufistik
yang lebih sibuk mengurus hablumminallah (melangit) daripada
hablumminannas (membumi).
Namun, peran dunia tasawuf dalam khasanah sastra di Indonesia
tak dapat dielakkan. Bukankah hidup ini memerlukan keseimbangan.
Menuangkan gagasan yang melulu melangit bukanlah suatu yang tak
berguna. Tapi alangkah baiknya jika menciptakan karya sastra yang
“langit menjadi lebih bumi”.
Tak dapat dipungkiri, karya sastra yang membawa pencerahan
jiwa dan pencerahan sosial sama-sama dibutuhkan. Bukankah sastra
itu dapat mengekspersikan zaman sekaligus dapat memberikan kritik
terhadap zamannya? Setiap perubahan zaman, karya sastra itu dapat
berkembang.
Masa depan sastra sama dengan masa depan organisasi sosial.
Sastra dapat pula menjadi pembela moralitas ketika kesadaran
masyarakat menurun, sastra bisa tampil untuk menjadi profeter asal
bervariasi di dalam tema sastranya. Sejatinya, ruang sempit sastra
Islam dapat diperluas menjadi lebih membebaskan dan mencerahkan.

Direktur progam Center for Moderate Muslim (CMM), selain di media


massa nasional, sajak-sajaknya ada dalam Antologi puisi bersama,
diantaranya; Duka Aceh Luka Semua, Dian Sastro for President, dan
Bung Hatta dalam Puisi

HP 081310704869
Email: dk_alka@yahoo.com, cmm_jkt@yahoo.com
Rek. 103-00-0428240-2
Bank Mandiri KCP Gedung Jaya Jakarta
David Krisna Alka

Anda mungkin juga menyukai