Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TOKSIKOLOGI

INTOKSIKASI
Methylen dioxi methyl amphetamine (MDMA)

Di susun oleh :

1. Luqman Hakim
2.Melvy Rosalina Ritansa

(201310410311102)
(201310410311290)

Jurusan Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Malang
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Narkoba pertama kali dibuat oleh orang asing dan disebar luaskan didunia,
Penyalahgunaan zat atau obat dari hari ke hari semakin meningkat, bahkan
penyalahguna tidak terbatas pada orang dewasa tetapi telah menyeret anak-anak.
Salah satu dampak penggunaan NAPZA adalah timbulnya efek ketergantungan
yang umumnya dapat berdampak bagi kesehatan seseorang bahkan dalam
kehidupan sosial. Pil ekstasi banyak dikonsumsi anak-anak maupun orang
dewasa, kebanyakan anak muda menggunnakan pil ekstasi karena kurangnya
perhatian orangtua, selain itu proses pembelian dan penggunaannya lebih mudah
dan praktis. Perilaku menyimpang tumbuh dikalangan masyarakat akibat kurang
seimbangnya masalah ekonomi terutama remaja indonesia yang sering
menggunakan obat minuman keras dan obat terlarang.
Psikotropika termasuk golongan obat keras tertentu, dalam undang-undang
RI No.5 tahun 1997 mengenai definisi obat psikotropika adalah zat atau obat
alamiah atau sintesis bukan narkotika yang bersifat psikoaktif, dapat
menyebabkan perubahan aktivitas mental dan menimbulkan ketergantungan psikis
dan fisik bila tanpa pengawasan. Sedangkan menurut medis, psikotropika adalah
obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif pada
pasien sistem saraf pusat dan mempengaruhi fungssi psikis, kelakuan atau tingkah
laku (kejiwaan/mental). Menurut UU No. 5 tahun 1997 terbagi menjadi 4
golongan, yaitu : Golongan I adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat
kuat, dilarang digunakan untuk terapi dan hanya untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan, sepertiMDMA/ekstasi, LSD dan STP.
Golongan II adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat, akan tetapi berguna
untuk pengobatan dan penelitian, contohnya amfetamin, metilfenidat atau ritalin.
Golongan III adalah psikotropika dengan daya adiksi sedang dan berguna untuk
pengobatan dan penelitian (lumibal, buprenorsina, pentobarbital, Flunitrazepam
dan sebagainya). Golongan IV yaitu jenis psikotropika yang memiliki daya
adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan, seperti nitrazepam (BK, mogadon,
dumolid), diazepam dan lain sebagainya.

Kasus
Penyidik polri memastikan Tn.A (22th) tewas akibat overdosis narkoba
ketika berada di Diskotik stadium, tamansari jakarta barat. Berdasarkan hasil
otopsi Tn.A positif mengkonsumsi MDMA.
Setelah mengkonsumsi MDMA berlebih Tn.A mengalami gejala demam,
nyeri dada, muntah dan kejang. Tn A sempat dilarikan ke rumah sakit namun
meninggal saat diperjalanan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Etiologi peyakit
Psikotropika termasuk golongan obat keras tertentu, dalam undang-undang
RI No.5 tahun 1997 mengenai definisi obat psikotropika adalah zat atau obat
alamiah atau sintesis bukan narkotika yang bersifat psikoaktif, dapat
menyebabkan perubahan aktivitas mental dan menimbulkan ketergantungan psikis
dan fisik bila tanpa pengawasan. Sedangkan menurut medis, psikotropika adalah
obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif pada
pasien sistem saraf pusat dan mempengaruhi fungssi psikis, kelakuan atau tingkah
laku (kejiwaan/mental).
Pada kasus tersebut Tn.A menggunakan Methylen dioxi methyl
amphetamine yang termasuk kedalam golongan I psikotropika. Obat golongan I
yaitu obat yang tidak atau belum punya khasiat pengobatan yang jelas atau apabila
disalah gunakan akan sangat merugikan perorangan atau tata kehidupan
masyarakat. Sehingga diperlukan pengawasan yang sangat ketat pada
peredarannya. Golongan ini digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan untuk terapi, serta mempunyai potensi amat kuat untuk mengakibatkan
ketergantungan.
Methylen dioxi methyl amphetamine (MDMA) disintesis dan dipatenkan
pada tahun 1914 oleh perusahaan obat merck dari jerman dan diteliti tahun 1950
oleh CIA. Obat digunakan luas untuk terapi psikologik pada tahun 1970 dan
populer diguunakan untuk tujuan non medis (disalah gunakan). Ekstasi ditemukan
kembali dan populer pada tahun 1980 di Inggris. Dengan berkembangnya seni
musik keras (dance rock music), obat ini menjadi sangat populer sehingga disebut
E yang mencerminkan transformasi kebudayaan, tingkah laku dan selera anak
muda. Sepanjang tahun 1990-an konsumsi ekstasi meningkat dengan pesat ke
seluruh penjuru dunia dan erat hubungannya dengan pesta, bar/diskotik dan musik
keras. Ekstasi sering dikonsumsi dengan menelan tablet, bentuk permen dan
dihirup.
Provalensi pada konvensi obat psikotropika pada tahun 1971, ekstasi
termasuk dalam golongan obat yang berbahaya. Ekstasi termasuk berpotensi besar
terhadap ketagihan (adiksi) dan dalam bidang kesehatan masyarakat termasuk
golongan yang kecil pengaruh terapinya tetapi berbahaya efek sampingnya.
Karena hal itu maka kontrol terhadap distribusi dan penggunaannya diawasi ketat
dan dilarang digunakan secara umum serta hanya terbatas dipakai untuk tujuan
penelitian medis saja.

Definisi ekstasi Ekstasi dapat didefinisikan sebagai suatu zat bersifat


stimulan yang merupakan analogis dari amfetamin (Goldman, 1994). Ekstasi juga
didefinisikan sebagai sesuatu yang melebihi kontrol tubuh dan emosi seseorang.
Jika ditinjau dari definisi secara kimia, ekstasi merupakan suatu sintetik yang
analogis dengan amfetamin C11H15NO2 yang digunakan untuk meningkatkan
mood seseorang dan agen hallusinasi ( Merriam-Webster Dictionary).
Overdosis (OD) atau kelebihan dosis terjadi apabila tubuh mengabsorbsi obat
lebih dari ambang batas kemampuannya (lethal doses). Biasanya, hal ini terjadi
akibat adanya proses toleransi tubuh terhadap obat yang terjadi terus menerus,
baik yang digunakan oleh para pemula maupun para pemakai yang kronis.
Ciri-ciri korban Overdosis MDMA

Tidak ada respon

Tidur mendengkur

Bibir dan kuku membiru

Tubuh dingin dan kulit lembab

Kejang-kejang
Gejala klinis pada kegawatdaruratan yang muncul akibat Overdosis adalah
sebagai berikut:

Penurunan kesadaran

Frekuensi pernafasan < 12 kali/menit

Pupil miosis (sering kali pin point)

2.2 Mekanisme MDMA


Tujuan penggunaan dan cara kerja ekstasi Ekstasi merupakan derivat
amfetamin yang dikenal sebagai 3,4- methylenedioxymethamphetamine (MDA).
Seperti amfetamin yang lain, ekstasi merangsang pelepasan katekolamin dari
presinaps. Ekstasi bersifat selektif terhadap neuron serotonin yang menyebabkan
pelepasan serotonin yang banyak dan menghambat reuptake serotonin pada
presinaps dengan reversal dari fungsi serotonin transporter (SERT). Maka, lebih
banyak serotonin yang berkumpul di ruang sinaps (Hahn, 2009). Peningkatan
level serotonin menyebabkan peningkatan rasa senang seperti empati, euforia,
disinhibisi, dan peningkatan perasaan ingin disentuh dan bersosial (Hahn, 2009).

MDMA merupakan obat simpatomimetik, banyak agen simpatomimetik yang


berbeda menghasilkan sifat fisiologis dan toksikologi mereka melalui beberapa
mekanisme yang berbeda. Keracunan sekunder untuk agen-agen ini biasanya
menyajikan dengan tanda-tanda simpatomimetik klasik dan gejala yang termasuk
takikardia, hipertensi, diaphoresis, hipertermia, agitasi, dan combativeness.
Agen simpatomimetik menghasilkan fisiologis dan beracun berefek dengan 5
mekanisme yang berbeda, sebagai berikut:

Mekanisme pertama melibatkan stimulasi langsung dari alpha dan reseptor


beta-adrenergik. Albuterol adalah sangat umum digunakan langsung
bertindak beta2-agonist.
Mekanisme kedua melibatkan pelepasan langsung dari norepinefrin dari
sitoplasma presinaptik melalui proses yang melewati eksositosis.
Amfetamin dan turunannya bekerja melalui mekanisme ini.
Mekanisme ketiga melibatkan stimulasi langsung reseptor adrenergik dan
rilis langsung dari norepinefrin presinaptik. Dopamin adalah contoh klasik
dari agen campuran bertindak.
Mekanisme keempat melibatkan pencegahan penyerapan presinaptik
norepinefrin. Dengan mencegah penyerapan, konsentrasi norepinefrin
terbit di sinaps, menyebabkan stimulasi berlebihan dari reseptor
adrenergik. Kokain dan antidepresan trisiklik menghasilkan efek
simpatomimetik mereka terutama dengan menghambat penyerapan
norepinefrin presinaptik.
Mekanisme akhir melibatkan pencegahan metabolisme norepinefrin.
Sebagai norepinephrine terutama dimetabolisme oleh enzim monoamine
oxidase, inhibitor monoamine oxidase (MAOIs) adalah kelas obat yang
menghasilkan efek simpatomimetik mereka melalui mekanisme akhir ini.

2.3 Efek dan Manifestasi Klinik


Efek penggunaan ekstasi Ekstasi dapat menimbulkan berbagai keburukan
terhadap sistem tubuh. Antaranya ialah efek pada sistem kardiovaskuler. Dengan
penggunaan yang sedang, tetap dapat menyebabkan perubahan di mana
penggunaan ekstasi menyebabkan peningkatan sistol dan diastol tekanan darah
yang dibuat penelitiannya antara pengguna ekstasi dengan sampel yang diberi
placebo (Gamma et al, 2000).
Ekstasi juga memberikan efek neurotoksik yang dilihat dari dua garis
besar yaitu dari pertama, dilihat dari segi riset neurobiologi, kedua, efek pada
psikologi terhadap pengguna itu sendiri (Curran, 2000). Pada gangguan yang
berkaitan dengan psikologi, hal yang dapat terjadi adalah seperti depresi, ansietas
dan psikosis. Selain itu, terdapat juga beberapa efek samping yang didapati dari
penggunaan ekstasi yaitu penurunan selera makan, peningkatan keringat, sensitif

terhadap suhu yang dingin, mulut menjadi kering, sering dahaga, palpitasi dan
sulit untuk konsentrasi et al, 2006). (Curran, 2000).
Sistem saraf pusat (Otak) dan neurotransmitter serotonin. Terdapat juga
beberapa efek samping yang bersifat akut seperti hipertermia. Akibatnya, mereka
akan coba kompensasi keadaan ini dengan meminum air yang banyak. Namun, hal
ini lebih membahayakan karena akan menyebabkan intoksikasi air seterusnya
memicu kepada hiponatremia yang berat, kejang dan dapat berakibat fatal.
Komplikasi lain seperti sindrom serotonin yaitu perubahan status mental,
hiperaktivitas autonomik, dan abnormalitas neuromuskular . Penghentian ekstasi
secara tiba-tiba pula dapat menimbulkan withdrawal syndrome yang ditandai
dengan depresi yang terjadi sehingga beberapa minggu. Selain itu, dilaporkan juga
terjadinya aggresifitas pada mereka yang berpuasa dari mengambil ekstasi
(Katzung, 2007).
Definisi Sistem saraf pusat terbagi kepada dua yaitu otak dan medulla
spinalis. Otak merupakan organ penting yang dilindung oleh tulang kranium
(tulang tengkorak) yang keras dan dilindungi oleh tiga lapisan pembungkus otak
yang dinamakan meninges yaitu lapisan terluar adalah dura mater, diikuti oleh
araknoid mater dan lapisan paling dalam adalah pia mater. Serotonin merupakan
salah satu neurotransmitter yang terdapat di otak. Serotonin juga dikenali sebagai
5-hydoxytryptamine (5-HT) (Goldman, 1994).
Sintesa dan degradasi serotonin Serotonin disintesa dari beberapa proses
enzimatik dengan proses pertama dimulai dengan enzim tryptophan hydroxylase.
Bahan bakunya adalah asam amino triptofan. Maka, konsentrasi triptofan dalam
tubuh merupakan substrat yang penting sebagai prekursor pembentukan serotonin.
Serotonin dimetabolisme oleh monoamine oxidase menjadi 5-hydroxyindoleacetic
acid (5-HIAA). Hanya 1-2% konsentrasi serotonin yang terdapat dalam otak dan
selebihnya terdapat dalam platlet, sel mast, dan sel enterokromaffin di mukosa
intestinal. Oleh karena serotonin tidak dapat menembusi sawar otak, maka otak
harus mensintesa sendiri neurotransmitter ini (Goldman, 1994).
Jalur serotonergik Neuron serotonin paling banyak terdapat di bagian
median dan dorsal nukleus raphe, caudal locus cereleus, area postrema dan area
interpedunkular. Dari bagian medial dan dorsal ini, jalur ini proyeksi ke talamus,
hipotalamus, dan ganglia basalis. Neuron medial juga proyeksi ke amigdala,
korteks piriform, dan korteks serebral (Goldman, 1994).
Jalur desending serotonin ini menginnervasi ke medulla spinalis, dan
memodulasi sensitivitas terhadap rasa sakit. Pada badan pineal, ia mengandung
50x ganda kandungan serotonin berbanding kadar serotonin di otak dan
mengandung semua enzim yang dibutuhkan untuk sintesis serotonin (Goldman,
1994).

Melatonin merupakan hormon yang disintesa dari serotonin. Oleh karena


aktivitas serotonin meningkat saat terjaga, arousal, dan berkurang saat REM sleep,
maka dikatakan serotonin dalam badan pineal berfungsi dalam kontrol circadian
system (Goldman, 1994).
Reseptor serotonin Terdapat beberapa subtipe untuk reseptor serotonin.
Pertama adalah reseptor 5- HT1A yang banyak letaknya di post sinaps di
hipokampus. Pada hewan coba, dibuktikan bahwa stimulasi pada reseptor ini akan
menyebabkan respon adaptif dan protektif terhadap stimulus yang tidak disukai.
Selain itu, dikatakan juga reseptor ini turut berperan dalam sikap seksual
seseorang (sexual behavior) (Goldman, 1994).
Subtipe yang lain adalah 5-HT 1B Terdapat juga subtipe 5-HT yang
lokasinya paling banyak di presinaps substansia nigra dan globus pallidus.
Apabila distimulasi,
ia akan menghambat pelepasan serotonin dan berfungsi dalam negative
feedback (Goldman, 1994).
5-HT 1C yang merupakan satu-satunya reseptor serotonin yang terdapat di
pleksus koroidius. Stimulasi pada reseptor ini berfungsi untuk regulasi sintesa dan
komposisi cairan serebrospinal. Reseptor ini juga terdapat di beberapa regio lain
di otak dan ia dikatakan berperan dalam penyebab ansietas dan kenaikan nafsu
makan (Goldman, 1994).
Reseptor 5-HT 1D pula merupakan autoreseptor yang menghambat
pelepasan serotonin dan merupakan reseptor postsinaps di striatum (Goldman,
1994).
Reseptor 5-HT2 pula terdapat di postsinaps di hipokampus, korteks frontal,
dan medulla spinalis. Antagonis yang selektif untuk reseptor ini menyebabkan
slow-wave sleep pada manusia manakala agonis untuk reseptor ini memberikan
efek stereotyped behavior pada hewan coba (Goldman, 1994). reseptor ini
mempunyai daya affinitas yang lemah terhadap serotonin dan agonisnya tetapi
kuat pada zat antagonis serotonin. Reseptor ini dijumpai pada korteks entorhinal ,
area postrema dan sistem saraf perifer. Studi invitro dan in-vivo membuktikan
aktivasi pada reseptor ini menyebabkan inhibisi terhadap pelepasan asetilkolin di
dalam korteks tetapi meningkatkan pelepasan dopamin di striatal dan sistem
mesolimbik (Goldman, 1994).
Beberapa bagian dalam otak dan fungsinya yang termasuk dalam bagian
otak depan adalah talamus dan hipotalamus. Fungsi utama talamus adalah untuk
proyeksikan input sensorik ke korteks serebri untuk dikenal pasti lokasi dan
intensitas nyeri, sebagai organ pertama yang mendeteksi impuls sensorik,
berfungsi juga dalam kesadaran, dan dalam kontrol motorik (Sherwood, 2007).

bagian hipotalamus, ia berfungsi untuk regulasi berbagai fungsi homeostatis


seperti temperatur, dahaga, produksi urin, dan selera makan. Ia juga memainkan
peranan yang besar dalam emosi dan sikap asas seseorang (basic behaviour
patterns) (Sherwood, 2007).
Amigdala merupakan bagian dari sistem limbik. Sistem ini berfungsi
sebagai perasaan subjektif yang merangkumi emosi, mood seperti kemarahan,
ketakutan dan kegembiraan. Contohnya, fungsi amigdala adalah untuk memproses
input dan memberikan efek emosi berupa ketakutan (Sherwood, 2007). Korteks
serebri mempunyai banyak area tertentu menjalankan fungsi yang berbeda tetapi
saling bersangkutan antara satu sama lain. Secara umumnya, fungsi korteks
serebri adalah persepi sensorik, mengawal pergerakan yang volunter, bahasa, dan
fungsi kompleks lain seperti berfikir, memori, membuat keputusan, kreativitas dan
kesadaran (Sherwood, 2007).
Badan pineal merupakan organ yang mensintesa hormon melatonin yang
berfungsi dalam mengatur circadian rhythms. Bagian otak yang mengawal proses
ini dinamakan nukleus suprakiasmatik yang terletak di atas optik kiasma tempat
persilangan nervus III dari kedua mata menuju ke bagian otak yang berlawanan
(Sherwood, 2007).
Bagaimana melatonin berfungsi dalam proses ini dimulai dengan
penangkapan sinyal cahaya oleh fotoreseptor spesifik di retina dan ditransmisikan
ke daerah nukleus suprakiasmatik. Fotoreseptor yang dimaksudkan berbeda
dengan fotoreseptor yang berfungsi untuk penglihatan yaitu reseptor batang dan
rod. Terdapat protein spesifik pada reseptor ini yang dinamakan melanopsin,
berfungsi untuk menghantar sinyal kepada badan pineal mengenai ada tidaknya
cahaya di lingkungan melalui traktus retino-hipotalamik ke nukleus spinotalamik.
Dari sini, nukleus ini akan meneruskan sinyal ke badan pineal (Sherwood, 2007).
Melatonin merupakan hormon yang berfungsi dalam keadaan gelap di
mana sintesanya meningkat 10x ganda. Hormon ini merangsang tidur secara
semula jadi tanpa efek samping (Sherwood, 2007).
Bagian otak yang lain adalah lokus sereleus. Bagian ini merupakan bagian
utama yang mensuplai noradrenalin ke sistem saraf pusat. Peransangan oleh
hormon ini melalui reseptor alfa dan beta akan merangsang terjadinya arousal
(Berridge, 2.3. Ekstasi dan otak 2008).
Ekstasi dan neurotoksisitas Ekstasi merupakan monoaminergik agonis
yang dapat menghambat reuptake dan merangsang pelepasan serotonin, dan juga
menyebabkan penurunan dopamin. Namun, akibat penyalahgunaan, ekstasi
menyebabkan penurunan kadar serotonin di mana penelitian yang dilakukan
terhadap hewan mendapati bahwa ekstasi menyebabkan penurunan serotonin otak,

penurunan 5-hidroxyindolacetic acid (5- HIAA) dan inhibisi enzim tryptophan


hydroxylase, serta penurunan 5-HT reuptake sites. Pada manusia, hasil yang
didapati adalah terjadinya kerusakan pada akson terminal. Namun, bagaimana
proses ini terjadi masih tidak diketahui (Curran, 2000).
Penelitian dijalankan di John Hopkins University untuk mengkaji neuron
spesifik yang rusak akibat penggunaan ekstasi. Hasil yang didapati membuktikan
bahwa kerusakan serotonin sangat signifikan pada pengguna ekstasi dibanding
dengan kelompok kontrol ( Kevin, 2008). Sebuah penelitian telah dilakukan untuk
menilai efek toksisitas ini. Penelitian dilakukan pada mereka yang pernah
menggunakan ekstasi dan hasil yang didapati adalah berkurangnya uptake site 5HT pada terminal neuron. Positron emission tomographic (PET) yang merupakan
salah satu alat untuk menilai fungsi otak menunjukkan bahwa konsekuensi
toksisitas ekstasi pada manusia hakikatnya lebih parah dari hasil yang didapati
dari eksperimental terhadap hewan coba ( Kelly, 2000). Penyalahgunaan ekstasi
menyebabkan kerusakan pada akson terminal pada neuron serotonin tetapi badan
sel pada neuron ini masih utuh (Yuan et al, 2002).
Ekstasi dan penurunan fungsi kognitif Definisi fungsi kognitif adalah
proses mental yang mengandung persepsi, memori, mengingat sesuatu dan
berfikir ( The Free Dictionary). Efek ekstasi terhadap penurunan fungsi kognitif
dapat terjadi secara direk dan indirek. Terjadinya secara direk adalah akibat dari
sifat neurotoksin ekstasi yang mengakibatkan kerusakan pada akson terminal
neuron serotonin. Terjadinya secara indirek adalah ekstasi menyebabkan
penurunan sirkulasi serebral. Ini karena innervasi dari otak depan adalah dari
neuron serotonin yang berasal dari mesensefalon (Kelly, 2000).
Efek vasokonstriktor dari ekstasi menyebabkan peningkatan reffluks
serotonin. Namun, fenomena ini dapat menyebabkan multi-infak dementia yang
menyebabkan penurunan fungsi kognitif (Ferrington et al, 2005).
Ekstasi juga menyebabkan penurunan memori di mana ia menyebabkan
defek pada hipokampus, bagian otak yang berfungsi untuk konsolidasi memori
jangka pendek kepada memori jangka panjang. Kerusakan pada bagian ini juga
menyebabkan berkurangnya kemampuan daya ingat jangka pendek (mengulang
sesuatu peristiwa setelah beberapa menit) dan daya ingat segera ( segera
mengulang hal yang dikatakan oleh pemeriksa) (Kevin , 2008).
Ekstasi dan gangguan psikologi Salah satu fungsi dari serotonin adalah
untuk memberikan mood yang menyenangkan. Maka, penggunaan ekstasi dapat
meningkatkan konsentrasi serotonin di sinaps. Namun, akibat penggunaan yang
lama atau penggunaan akut dengan dosis yang tinggi, menyebabkan kerusakan
pada akson terminal neuron serotonin menyebabkan penurunan level serotonin di
sinaps. Hal inilah yang memicu terjadinya masalah psikologi seperti ansietas,

depresi ringan dan paranoia. Masalah depresi pada pengguna ekstasi dibuktikan
dengan pemberian obat antidepresan yang bekerja meningkatkan level serotonin
ternyata memberikan efek yang baik (Curran, 2000).
Ekstasi dan gangguan tidur Salah satu fungsi dari serotonin adalah
mengontrol jam biologi badan (circadian rhytms) seperti rangsangan untuk tidur.
Oleh karena itu, berkurangnya serotonin menyebabkan defek pada pola tidur
seseorang (Curran, 2000). Hormon yang merangsang tidur adalah melatonin
dalam proses circadian rhythm. Bahan baku untuk sintesa melatonin ini adalah
serotonin. Maka, apabila serotonin berkurang, penghasilan melatonin turut
berkurang lalu menyebabkan gangguan tidur (Sherwood, 2007).
Ekstasi dan hipertermia Hiperaktivitas autonomik merupakan gejala utama
toksisitas ekstasi dan hal ini berkait langsung dengan dosis yang digunakan.
Mekanisme terjadinya hipertermia ini dimulai apabila amfetamin merangsang
pelepasan katekolamin dan serotonin (Hahn, 2009)
Pelepasan katekolamin akan mengaktifkan jaras simpatik. Hal ini
menyebabkan vasokonstriksi pada kutan (cutaneous) menyebabkan kurangnya
panas yang dibebaskan dari tubuh lalu terjadilah hipertermia. Hal ini dibuktikan
apabila dengan pemberian obat yang mengembalikan pembuluh darah kutan ke
diameter asal menurunkan risiko kematian pada kejadian hipertermia akibat
ekstasi (Pedersen & Blessing, 2001). Potensiasi kematian sel neuron di korteks
meningkat dalam keadaan hipertermik. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi
hipertermik turut memicu kepada terjadinya efek neurotoksisitas pada pengguna
ekstasi (Copeland et al, 2001).
Laboratorium analisis narkoba dibedakan menjadi laboratorium produksi
dan laboratorium analisis masing-masing merupakan laborarotium ilegal dan
legal. Laboratorium tidak resmi disebut juga laboratorium clandestein, merupakan
laboratorium produksi narkoba. Laboratorium resmi biasanya menganalisis barang
bukti berupa tanaman dan barang bukti biologik. Barang bukti tanaman biasanya
berbentuk mentah raw materials seperti batang, daun, bunga, biji juga serbuk
tanaman ataupun bahan olahan bentuk powder, bubuk atau blok. Adapun barang
biologik berupa darah, urine dan juga rambut. Rambut akan menimbulkan residu
obat selama beberapa bulan, biasanya setelah menggunakan obat selama tiga
bulan. Dalam urin terdeteksi setelah menggunakan obat beberapa hari atau
minggu, dan dalam darah biasanya terdeteksi setelah penggunaan beberapa jam
saja.
patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui.
Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf saraf yang berlokasi di
medulla oblongata. Saraf saraf ini menerima input dari :

Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema


Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual
karena penyakit telinga tengah)
Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)
Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan
cedera fisik)
Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)

Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus


emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata,
memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus
solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area
postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang kedua pusat muntah
dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract, mediastinum, ginjal, peritoneum dan
genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral,
cortical atas dan pusat batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem
vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah.
Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat
kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ
Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang
berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang
tidak nyaman. Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah
dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung,
saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih.35 Sistem vestibular dapat
dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada
vestibular telinga tengah
Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1
(NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi
yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik.
Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang.
Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah
mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otototot perut untuk melakukan refleks muntah.

Efek medis umum yang merugikan


Efek akut dari MDMA memiliki onset awal 30 menit setelah
asupan oral dan ditandai dengan kecemasan, takikardia, dan
tekanan darah tinggi. Gejala termasuk diaforesis, bruxism,
mengepalkan rahang, parestesia, mulut kering, peningkatan
aktivitas psikomotor, dan penglihatan kabur. Dalam waktu 1 jam,
efek simpatomimetik digantikan oleh perasaan relaksasi, euforia,
dan peningkatan empati dan komunikasi. Sementara terangterangan halusinasi pendengaran dan / atau visual yang jarang
terjadi, pasien melaporkan peningkatan peningkatan taktil
sensorik dan distorsi visual yang ringan, seperti lingkaran
cahaya. Efek ini dataran tinggi sampai 90 menit dan kemudian
berkurang lebih 3-4 jam.
Banyak pengguna mencoba untuk memperpanjang efek ini
dengan mengambil dosis tambahan dari obat. Namun, jika terlalu
banyak MDMA tambahan yang dikonsumsi dalam satu sesi,
individu melaporkan gejala yang tidak menyenangkan dari
hyperarousal otonom terkait dengan perasaan gelisah, paranoia,
dan kecemasan. Toleransi terhadap sifat psikoaktif dari MDMA
berkembang pesat, dan pengguna tidak dapat mengembalikan
efek euforia dengan dosis berulang. Sebaliknya, efek
simpatomimetik mendominasi, menempatkan pasien pada risiko
instabilitas kardiovaskular, aritmia, dan hipertermia.
Selain itu, setelah efek akut dari MDMA, pengguna sering
melaporkan periode 24- 48 jam ditandai dengan kelesuan,
anoreksia, dan dysphoria. Periode ini dari kelesuan dikenal
sebagai blues atau bahasa sehari-hari "bunuh diri Selasa" setelah
digunakan akhir pekan ekstasi dan berbahaya karena obat lain
sering co-tertelan untuk membantu meringankan "kecelakaan"
setelah pemberian psikostimulan.
Efek kardiovaskular
Hiperaktif otonom adalah fitur utama pada pasien dengan
toksisitas MDMA dan tergantung dosis. Biasanya, MDMA hanya
1/10 efek stimulan SSP amfetamin. Mekanisme yang diusulkan
adalah katekolamin dan 5-HT lonjakan amphetamine-diinduksi
yang menyebabkan takikardia, hipertensi, dan hipertermia.
Hipertermia sangat berbahaya karena banyak kasus melibatkan
pasien menari untuk waktu yang lama dengan asupan cairan

yang tidak memadai di ruang tari penuh sesak dengan suhu


panas dan ventilasi yang buruk.
Seperti amfetamin apapun, risiko disritmia jantung dan
kolaps kardiovaskular selalu kemungkinan. Disritmia Fatal telah
dilaporkan berikut penggunaan MDMA, mengakibatkan fibrilasi
ventrikel dan detak jantung. Individu dengan penyakit jantung
dan / atau paru yang mendasari dan kondisi yang sudah ada
sebelumnya seperti sindrom Wolff-Parkinson-White sangat
beresiko untuk gagal jantung dan aritmia yang fatal.
Sindrom serotonin
Sindrom serotonin adalah suatu kondisi di mana 5-HT hasil
hiperstimulasi reseptor sentral dalam temuan klasik hipertermia,
perubahan status mental, ketidakstabilan otonom, dan otot
diubah dan / atau kekakuan. MDMA menyebabkan pelepasan
serotonin besar, dan berbagai laporan kasus menghubungkan
toksisitas MDMA untuk sindrom serotonin. Mekanisme tidak jelas,
tetapi efek langsung oleh MDMA di pusat termoregulasi dapat
diperkuat oleh aktivitas berkelanjutan fisik, suhu tinggi, dan
asupan cairan yang tidak memadai seperti yang diamati di rave
party. Menari penuh semangat selama berjam-jam dalam kondisi
ini dapat mempengaruhi pasien untuk hipertermia, dehidrasi,
dan kerusakan otot yang menyebabkan rhabdomyolysis.
Komplikasi lebih lanjut termasuk disseminated intravascular
coagulation (DIC), hepatotoksisitas, dan gagal ginjal akut.
Sebagian besar kasus keracunan telah istimewa dan tidak
bergantung pada overdosis besar.
Hiponatremia
Berbagai kasus kejang dan kematian sekunder untuk
hiponatremia telah dilaporkan. Terjadinya hiponatremia setelah
digunakan MDMA adalah multifaktorial, yang berasal dari
peningkatan asupan air, keringat berlebihan dengan tenaga fisik,
dan pelepasan vasopressin yang mengarah ke sindrom pantas
sekresi hormon antidiuretik (SIADH). Dalam kasus yang parah
hiponatremia, pasien dapat mengembangkan edema serebral
dengan kejang berikutnya dan, mungkin, koma. Pasien-pasien ini
selalu menunjukkan osmolaritas urine tinggi dan ekskresi
natrium terus meskipun osmolalitas serum rendah dan
hiponatremia, yang konsisten dengan kriteria diagnosis SIADH.

Dalam
edema
MDMA
mental

ED, selalu mempertimbangkan hiponatremia dengan


serebral yang dihasilkan pada pasien dengan diketahui
konsumsi yang menyajikan dengan perubahan status
atau kejang.

Efek neurologis
MDMA, seperti amfetamin lain, dapat menyebabkan
berbagai
hasil
neurologis
fatal,
termasuk
perdarahan
subarachnoid, infark serebral, perdarahan intrakranial atau.
Mekanisme yang mendasari melibatkan lonjakan hipertensi
jangka pendek dan gangguan berikutnya pembuluh darah otak,
terutama pada pasien dengan malformasi arteriovenosa
kongenital atau angioma serebral. Sementara kematian ini jarang
terjadi, selalu mempertimbangkan amphetamine digunakan
sebagai kemungkinan penyebab stroke.
Hepatotoksisitas
Bukti yang berkembang menunjukkan bahwa MDMA dapat
membahayakan hati. Hepatotoksisitas berkisar dari luka hati
tanpa gejala dengan konfirmasi ketinggian tes fungsi hati untuk
gagal hati akut fulminan. Pola yang berbeda dari luka hati diakui,
termasuk lesi jinak, virus hepatitis, nekrosis hati yang luas atau
fokus, total kerugian dari parenkim hati dan fungsi disertai
ensefalopati, edema serebral, dan kegagalan sistem multiorgan.
Dalam pengaturan kelas III atau IV ensefalopati, tanpa
transplantasi hati, angka kematian lebih dari 50%. Presentasi dari
MDMA hepatotoksisitas bervariasi. Waktu menelan dan timbulnya
gejala, serta dosis, tampaknya tidak berkorelasi dengan
keparahan klinis, dan kekambuhan juga dapat terjadi karena
penggunaan kronis. Penggunaan kronis MDMA menyebabkan
perubahan fibrotik yang terkait dengan peningkatan kolagen I
produksi oleh sel stellata.
Histopatologi, hepatotoksisitas terkait dengan hipertermia
menunjukkan gambaran nekrosis centrolobular dan steatosis
microvesicular. Tanpa hipertermia ini, perubahan hepatotoksik
mencatat konsisten dengan hepatitis kolestasis akut dengan
eosinofil dan infiltrat makrofag. Alasan untuk pola yang berbeda
dari cedera masih belum sepenuhnya dipahami, meskipun teori
termasuk
hipertermia,
peningkatan
penghabisan

neurotransmitter,
oksidasi
amina
biogenik,
mitokondria, apoptosis, dan polimorfisme genetik.

gangguan

CYP2D6 mengkatalisis metabolisme MDMA dalam hati


melalui O-demethylenation jalur. Jadi tanggapan atipikal yang
MDMA mungkin berhubungan dengan polimorfisme genetik
isoenzim ini. Subyek dikenal metabolisme lambat memiliki
peningkatan kadar MDMA dan tingkat yang lebih rendah dari
produk demethylenated setelah diberikan dua dosis 100 mg
dengan masa jeda 24 jam dalam percobaan klinis. Secara klinis,
sebuah metabolizer lambat mungkin berisiko lebih besar untuk
mengembangkan toksisitas akut MDMA.
Akhirnya, MDMA disintesis, dan sering sumber serta serta
kemurnian
obat
ini
tidak
diketahui.
Kita
harus
mempertimbangkan apakah toksisitas hati disebabkan oleh
MDMA, senyawa psikoaktif lain yang terkandung dalam tablet
ekstasi, kontaminan, atau coingestion obat lain. Namun
demikian, MDMA dapat memberi efek berbahaya pada hati dan
dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan, terutama bila
dikombinasikan dengan zat hepatotoksik lainnya.
Efek neuropsikiatrik jangka panjang
Literatur terbaru menunjukkan kemungkinan komplikasi
kejiwaan jangka panjang yang melibatkan penggunaan rutin
MDMA. Efek jangka panjang mungkin terkait dengan penurunan
serotonin reuptake transporter (SERT) fungsi dan angka.
Pemulihan SERT mungkin waktu berminggu-minggu dan
berbulan-bulan;
akhirnya,
penggunaan
kronis
dapat
menyebabkan kerusakan permanen serotonergik akson dan
terminal hemat sel tubuh. Pasien telah melaporkan gejala
depresi, kecemasan, serangan panik, dan insomnia setelah
mengakhiri penggunaan MDMA.
Penelitian lebih lanjut
melaporkan bahwa pasien yang menggunakan MDMA mengalami
kesulitan berkonsentrasi dan gangguan memori jangka pendek.
Meskipun banyak fokus di ED melibatkan mengelola efek toksik
akut MDMA, mendidik pasien yang neurologis jangka panjang
dan komplikasi kejiwaan mungkin terjadi.
Manifestasi MDMA
JENIS ZAT

INTOKSIKASI
TANDA GEJALA
GEJALA

PUTUS ZAT

AMFETAMIN
(Ekstasi,Sha
bu)

Over dosis :

Kardiovaskuler :

Kejang-kejang
Hiperpireksia
Dilatasi pupil
Takhikardi
Hipertensi
Perilakumaladapt

ive
Gangguan

daya

nilai
Gangguan fungsi
Social

FASE AWAL :

Depresi
Palpitasi
Angina, aritmia Ansiestas
Hiper/hipotensi
Anergia,capek
Keringat

banyak
Muka
pucat/merah

Pernafasan :

Bronkodilatasi

Gastro Intetinal :

Mual, diare
Kramp
abdominal

Ginjal :

Diuresis

Endokrin :

Libido berubah
Impotensi

2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap akibat toksisitas dari amfetamine
bertujuan untuk menstabilisasi fungsi vital, mencegah absorbsi
obat yang lebih lanjut, mengeliminasi obat yang telah diabsorbsi,
mengatasi gejala toksik spesifik yang ditimbulkan dan disposisi.
Toksisitas amfetamine kurang berhubungan dengan kadar dalam
serum, penatalaksanaan hanya berupa perawatan tidak spesifik
gejala klinik yang ditimbulkan.
1. Tindakan emergensi dan suportif
Mempertahankan fungsi pernafasan
- Terapi agitasi: Midazolam 0,05-0,1 mg/Kg IV perlahanlahan atau 0,1-0,2 mg/kg IM; Diazepam 0,1-0,2 mg/kg IV
perlahan-lahan; Haloperidol 0,1-0,2/kg IM atau IV perlahanlahan

- Terapi kejang: Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB IV; Phenitoin


15-20 mg/kg BB infus dengan dosis 25-50 mg/menit;
pancuronium dapat digunakan bila kejang tidak teratasi
terutama
dengan
komplikasi
asidosis
dan
atau
rabdomiolisis
- Terapi coma
- Awasi suhu, tanda vital dan EKG minimal selama 6 jam
Terapi spesifik dan antidotum, pada amfetamine tidak ada
antidotum khusus
Akan tetapi bisa diberikan sorbitol sebagai antidotum yang tidak
spesifik.
Terapi tachiaritmia: propanolol atau esmolol
Terapi alternativ 10 g rasio arang / 1 g obat, Dosis minimal = 25
g
Umumnya digunakan dengan sorbitol 25 g; beberapa regimen
dosis 25 g PO q2hr atau 50 g q4hr tanpa sorbitol tidak
diperkenankan memberikan sorbitol setelah dosis pertama
karena risiko diare berat; menggunakan larutan. Dosis katarsis
sekali sehari jika digunakan. Kocok keras sebelum digunakan
Berikan dalam wadah tertutup dengan jerami; dapat
menempatkan di atas es untuk meningkatkan rasa; campurkan
1: 3 soda untuk pediatri. Dosis beberapa digunakan dengan
dapson, carbamazepine, digitoksin dan digoxin, fenobarbital,
teofilin, meprobamate, kina.
Terapi hiperthermia: bila gejala ringan terapi dengan kompres
dingin atau sponging bila suhu lebih dari 40oC atau peningkatan
suhu berlangsung sangat cepat terapi lebih agresif dengan
menggunakan selimut dingin atau ice baths. Bila hal ini gagal
dapat digunakan Dantrolene. Trimethorfan 0,3-7
mg/menit
IV melalui infus.
Terapi hipertensi: dengan bradikardi atau talhikardi bila ringan
biasanya tidak memerlukan obat-obatan. Hipertensi berat
(distolik > 120 mmHg) dapat diberikan terapi infus nitroprusid
atau obat-obat lain seperti propanolol, diazoksid, khlorpromazine,
nifedipin dan fentolamin. Gejala psikosa akut sebaiknya diatasi
dengan supportive environment dan evaluasi cepat secara

psikiatri. Gejala yang lebih berat dapat diberikan sedatif dengan


khlorpromazin atau haloperidol.
.

2. Detoksifikasi
Detoksifikasi adalah proses menghilangkan racun (zat narkotika atau
adiktif lain) dari tubuh dapat dilakukan secara medis dan nonmedis. Secara medis,
terapi detoksifikasi dilakukan menggunakan berbagai macam cara. Cara pertama
dengan melakukan pengurangan dosis secara bertahap dan mengurangi tingkat
ketergantungan. Cara yang kedua dengan menggunakan antagonis morfin, yaitu
suatu senyawa yang dapat mempercepat proses neuroregulasi (pengaturan kerja
saraf). Cara yang ketiga dengan penghentian total. Tetapi, cara yang ketiga ini
cukup berbahaya untuk dilakukan karena penghentian total pemakaian obat akan
dapat menimbulkan gejala putus obat (sakaw) sehingga pada cara ini perlu diberi
terapi untuk menghilangkan gejala-gejala yang timbul. Detoksifikasi bisa
dilakukan dengan berobat jalan atau dirawat di rumah sakit. Biasanya proses
detoksifikasi dilakukan terus menerus selama satu sampai tiga minggu, hingga
hasil tes urin menjadi negatif dari zat adiktif. Detoksifikasi nonmedis yang sering
dilakukan adalah dengan cara-cara yang kurang manusiawi, seperti disiram air
dingin, dipasung dan lain sebagainya.

3. Rehabilitasi
Setelah menjalani detoksifikasi hingga tuntas (tes urin sudah negatif),
tubuh secara fisik memang tidak ketagihan lagi. Namun secara psikis, pada
bekas pemakai narkoba biasanya sering timbul keinginan terhadap zat tersebut
yang terus membuntuti alam pikiran dan perasaannya. Sehingga sangat rentan dan
sangat besar kemungkinan kembali mencandu dan terjerumus lagi.Untuk itu
setelah detoksifikasi perlu juga dilakukan proteksi lingkungan dan pergaulan yang
bebas dari lingkungan pecandu, misalnya dengan memasukkan mantan pecandu
ke pusat rehabilitasi.
Rehabilitasi dilakukan agar pasien yang telah menempuh proses
pengobatan, dapat kembali ke dalam kondisi seperti semula. Rehabilitasi atau
pemulihan ini mencakup rehabilitasi secara fisik dan mental/psikis serta

rehabilitasi secara sosial seperti memperbaiki hubungan dengan keluarga, temanteman dan orang-orang lain di lingkungan sekitar

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Narkoba atau NAPZA adalah bahan / zat yang dapat mempengaruhi kondisi
kejiwaan / psikologi seseorang ( pikiran, perasaan dan perilaku ) serta dapat
menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA
adalah : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Overdosis (OD) atau
kelebihan dosis terjadi apabila tubuh mengabsorbsi obat lebih dari ambang batas
kemampuannya (lethal doses).
Penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor internal
(keluarga,

ekonomi,

kepribadian)

maupun

eksternal

(pergaulan,

sosial/masyarakat). Sedangkan penyebab overdosis adalah pemakaian yang


berlebihan setelah berhenti menggunakan narkoba, karena pemakaian napza
dicampur dengan jenis napza yang lain, penggunaan NARKOBA golongan
narkotik bersamaan dengan alkohol dan obat tidur/anti depresan, misalnya
golongan barbiturat luminal, valium, xanax, mogadon/BK, dan lain-lain.
Mekanisme dari MDMA sendiri merangsang pelepasan katekolamin dari
presinaps. Ekstasi bersifat selektif terhadap neuron serotonin yang menyebabkan
pelepasan serotonin yang banyak dan menghambat reuptake serotonin pada
presinaps dengan reversal dari fungsi serotonin transporter (SERT). Maka, lebih
banyak serotonin yang berkumpul di ruang sinaps (Hahn, 2009). Peningkatan
level serotonin menyebabkan peningkatan rasa senang seperti empati, euforia,
disinhibisi, dan peningkatan perasaan ingin disentuh dan bersosial (Hahn, 2009).
Secara umum gejala-gejala pada pengguna NAPZA dapat diamati dengan
terjadinya perubahan fisik, emosi dan perilaku. Namun ada pula tanda-tanda yang
diperlihatkan sesuai dengan narkoba yang dikonsumsi oleh pengguna, sedangkan
gejala overdosis dapat juga diketahui menurut narkoba yang digunakan.
Pada dasarnya penatalaksanaan pada pengguna Napza adalah dengan
detoksifikasi dan rehabilitasi, sedangkan pada overdosis, harus dibawa ke RS jika
pertolongan pertama tidak berhasil dilakukan. Tidak ada terapi anti dotum yang
khusus pada MDMA, bila bersamaan dengan tachiaritma makam diberi terapi

tachiaritmia

dan

apabila

bersama

hipertensi

diberi

obat

antihipertensi.
PUSTAKA
http://health.detik.com/read/2012/06/11/150157/1938121/763/reaksi-di-tubuh-saat-orangkonsumsi-ekstasi
https://www.google.co.id/search?
q=mekanisme+mdma+menyebabkan+demam+dan+nyeri+dada&oq=mekanisme+mdma+
menyebabkan+demam+dan+nyeri+dada+&aqs=chrome..69i57.26261j0j4&sourceid=chro
me&es_sm=93&ie=UTF8#q=mekanisme+ekstasi+yang+menyebabkan+demam+dan+nyeri+dada

http://www.mediaindonesia.com/webtorial/ycab_old/?ar_id=NDk5
http://groups.yahoo.com/group/cfbe/message/439
http://nursenapza.blogspot.com/2009/11/over-dosis.html
Darmono,(1950), Toksikologi narkoba dan alkohol. Universitas Indonesia
Vijay chadha, Hand book of forensic medicine and toxicology medical
jurispudence. Widjaya medika Jakarta
Copeland, J., W. Swift, R. Roffman, R. Stephen (2001), A random ized
controlled trial of brief cognitive- behavioural interventions for cannabis use
disorder. J. Subs abuse treatment 21 :55-64.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika

Anda mungkin juga menyukai