INTOKSIKASI
Methylen dioxi methyl amphetamine (MDMA)
Di susun oleh :
1. Luqman Hakim
2.Melvy Rosalina Ritansa
(201310410311102)
(201310410311290)
Jurusan Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Malang
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Narkoba pertama kali dibuat oleh orang asing dan disebar luaskan didunia,
Penyalahgunaan zat atau obat dari hari ke hari semakin meningkat, bahkan
penyalahguna tidak terbatas pada orang dewasa tetapi telah menyeret anak-anak.
Salah satu dampak penggunaan NAPZA adalah timbulnya efek ketergantungan
yang umumnya dapat berdampak bagi kesehatan seseorang bahkan dalam
kehidupan sosial. Pil ekstasi banyak dikonsumsi anak-anak maupun orang
dewasa, kebanyakan anak muda menggunnakan pil ekstasi karena kurangnya
perhatian orangtua, selain itu proses pembelian dan penggunaannya lebih mudah
dan praktis. Perilaku menyimpang tumbuh dikalangan masyarakat akibat kurang
seimbangnya masalah ekonomi terutama remaja indonesia yang sering
menggunakan obat minuman keras dan obat terlarang.
Psikotropika termasuk golongan obat keras tertentu, dalam undang-undang
RI No.5 tahun 1997 mengenai definisi obat psikotropika adalah zat atau obat
alamiah atau sintesis bukan narkotika yang bersifat psikoaktif, dapat
menyebabkan perubahan aktivitas mental dan menimbulkan ketergantungan psikis
dan fisik bila tanpa pengawasan. Sedangkan menurut medis, psikotropika adalah
obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif pada
pasien sistem saraf pusat dan mempengaruhi fungssi psikis, kelakuan atau tingkah
laku (kejiwaan/mental). Menurut UU No. 5 tahun 1997 terbagi menjadi 4
golongan, yaitu : Golongan I adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat
kuat, dilarang digunakan untuk terapi dan hanya untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan, sepertiMDMA/ekstasi, LSD dan STP.
Golongan II adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat, akan tetapi berguna
untuk pengobatan dan penelitian, contohnya amfetamin, metilfenidat atau ritalin.
Golongan III adalah psikotropika dengan daya adiksi sedang dan berguna untuk
pengobatan dan penelitian (lumibal, buprenorsina, pentobarbital, Flunitrazepam
dan sebagainya). Golongan IV yaitu jenis psikotropika yang memiliki daya
adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan, seperti nitrazepam (BK, mogadon,
dumolid), diazepam dan lain sebagainya.
Kasus
Penyidik polri memastikan Tn.A (22th) tewas akibat overdosis narkoba
ketika berada di Diskotik stadium, tamansari jakarta barat. Berdasarkan hasil
otopsi Tn.A positif mengkonsumsi MDMA.
Setelah mengkonsumsi MDMA berlebih Tn.A mengalami gejala demam,
nyeri dada, muntah dan kejang. Tn A sempat dilarikan ke rumah sakit namun
meninggal saat diperjalanan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Etiologi peyakit
Psikotropika termasuk golongan obat keras tertentu, dalam undang-undang
RI No.5 tahun 1997 mengenai definisi obat psikotropika adalah zat atau obat
alamiah atau sintesis bukan narkotika yang bersifat psikoaktif, dapat
menyebabkan perubahan aktivitas mental dan menimbulkan ketergantungan psikis
dan fisik bila tanpa pengawasan. Sedangkan menurut medis, psikotropika adalah
obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif pada
pasien sistem saraf pusat dan mempengaruhi fungssi psikis, kelakuan atau tingkah
laku (kejiwaan/mental).
Pada kasus tersebut Tn.A menggunakan Methylen dioxi methyl
amphetamine yang termasuk kedalam golongan I psikotropika. Obat golongan I
yaitu obat yang tidak atau belum punya khasiat pengobatan yang jelas atau apabila
disalah gunakan akan sangat merugikan perorangan atau tata kehidupan
masyarakat. Sehingga diperlukan pengawasan yang sangat ketat pada
peredarannya. Golongan ini digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan untuk terapi, serta mempunyai potensi amat kuat untuk mengakibatkan
ketergantungan.
Methylen dioxi methyl amphetamine (MDMA) disintesis dan dipatenkan
pada tahun 1914 oleh perusahaan obat merck dari jerman dan diteliti tahun 1950
oleh CIA. Obat digunakan luas untuk terapi psikologik pada tahun 1970 dan
populer diguunakan untuk tujuan non medis (disalah gunakan). Ekstasi ditemukan
kembali dan populer pada tahun 1980 di Inggris. Dengan berkembangnya seni
musik keras (dance rock music), obat ini menjadi sangat populer sehingga disebut
E yang mencerminkan transformasi kebudayaan, tingkah laku dan selera anak
muda. Sepanjang tahun 1990-an konsumsi ekstasi meningkat dengan pesat ke
seluruh penjuru dunia dan erat hubungannya dengan pesta, bar/diskotik dan musik
keras. Ekstasi sering dikonsumsi dengan menelan tablet, bentuk permen dan
dihirup.
Provalensi pada konvensi obat psikotropika pada tahun 1971, ekstasi
termasuk dalam golongan obat yang berbahaya. Ekstasi termasuk berpotensi besar
terhadap ketagihan (adiksi) dan dalam bidang kesehatan masyarakat termasuk
golongan yang kecil pengaruh terapinya tetapi berbahaya efek sampingnya.
Karena hal itu maka kontrol terhadap distribusi dan penggunaannya diawasi ketat
dan dilarang digunakan secara umum serta hanya terbatas dipakai untuk tujuan
penelitian medis saja.
Tidur mendengkur
Kejang-kejang
Gejala klinis pada kegawatdaruratan yang muncul akibat Overdosis adalah
sebagai berikut:
Penurunan kesadaran
terhadap suhu yang dingin, mulut menjadi kering, sering dahaga, palpitasi dan
sulit untuk konsentrasi et al, 2006). (Curran, 2000).
Sistem saraf pusat (Otak) dan neurotransmitter serotonin. Terdapat juga
beberapa efek samping yang bersifat akut seperti hipertermia. Akibatnya, mereka
akan coba kompensasi keadaan ini dengan meminum air yang banyak. Namun, hal
ini lebih membahayakan karena akan menyebabkan intoksikasi air seterusnya
memicu kepada hiponatremia yang berat, kejang dan dapat berakibat fatal.
Komplikasi lain seperti sindrom serotonin yaitu perubahan status mental,
hiperaktivitas autonomik, dan abnormalitas neuromuskular . Penghentian ekstasi
secara tiba-tiba pula dapat menimbulkan withdrawal syndrome yang ditandai
dengan depresi yang terjadi sehingga beberapa minggu. Selain itu, dilaporkan juga
terjadinya aggresifitas pada mereka yang berpuasa dari mengambil ekstasi
(Katzung, 2007).
Definisi Sistem saraf pusat terbagi kepada dua yaitu otak dan medulla
spinalis. Otak merupakan organ penting yang dilindung oleh tulang kranium
(tulang tengkorak) yang keras dan dilindungi oleh tiga lapisan pembungkus otak
yang dinamakan meninges yaitu lapisan terluar adalah dura mater, diikuti oleh
araknoid mater dan lapisan paling dalam adalah pia mater. Serotonin merupakan
salah satu neurotransmitter yang terdapat di otak. Serotonin juga dikenali sebagai
5-hydoxytryptamine (5-HT) (Goldman, 1994).
Sintesa dan degradasi serotonin Serotonin disintesa dari beberapa proses
enzimatik dengan proses pertama dimulai dengan enzim tryptophan hydroxylase.
Bahan bakunya adalah asam amino triptofan. Maka, konsentrasi triptofan dalam
tubuh merupakan substrat yang penting sebagai prekursor pembentukan serotonin.
Serotonin dimetabolisme oleh monoamine oxidase menjadi 5-hydroxyindoleacetic
acid (5-HIAA). Hanya 1-2% konsentrasi serotonin yang terdapat dalam otak dan
selebihnya terdapat dalam platlet, sel mast, dan sel enterokromaffin di mukosa
intestinal. Oleh karena serotonin tidak dapat menembusi sawar otak, maka otak
harus mensintesa sendiri neurotransmitter ini (Goldman, 1994).
Jalur serotonergik Neuron serotonin paling banyak terdapat di bagian
median dan dorsal nukleus raphe, caudal locus cereleus, area postrema dan area
interpedunkular. Dari bagian medial dan dorsal ini, jalur ini proyeksi ke talamus,
hipotalamus, dan ganglia basalis. Neuron medial juga proyeksi ke amigdala,
korteks piriform, dan korteks serebral (Goldman, 1994).
Jalur desending serotonin ini menginnervasi ke medulla spinalis, dan
memodulasi sensitivitas terhadap rasa sakit. Pada badan pineal, ia mengandung
50x ganda kandungan serotonin berbanding kadar serotonin di otak dan
mengandung semua enzim yang dibutuhkan untuk sintesis serotonin (Goldman,
1994).
depresi ringan dan paranoia. Masalah depresi pada pengguna ekstasi dibuktikan
dengan pemberian obat antidepresan yang bekerja meningkatkan level serotonin
ternyata memberikan efek yang baik (Curran, 2000).
Ekstasi dan gangguan tidur Salah satu fungsi dari serotonin adalah
mengontrol jam biologi badan (circadian rhytms) seperti rangsangan untuk tidur.
Oleh karena itu, berkurangnya serotonin menyebabkan defek pada pola tidur
seseorang (Curran, 2000). Hormon yang merangsang tidur adalah melatonin
dalam proses circadian rhythm. Bahan baku untuk sintesa melatonin ini adalah
serotonin. Maka, apabila serotonin berkurang, penghasilan melatonin turut
berkurang lalu menyebabkan gangguan tidur (Sherwood, 2007).
Ekstasi dan hipertermia Hiperaktivitas autonomik merupakan gejala utama
toksisitas ekstasi dan hal ini berkait langsung dengan dosis yang digunakan.
Mekanisme terjadinya hipertermia ini dimulai apabila amfetamin merangsang
pelepasan katekolamin dan serotonin (Hahn, 2009)
Pelepasan katekolamin akan mengaktifkan jaras simpatik. Hal ini
menyebabkan vasokonstriksi pada kutan (cutaneous) menyebabkan kurangnya
panas yang dibebaskan dari tubuh lalu terjadilah hipertermia. Hal ini dibuktikan
apabila dengan pemberian obat yang mengembalikan pembuluh darah kutan ke
diameter asal menurunkan risiko kematian pada kejadian hipertermia akibat
ekstasi (Pedersen & Blessing, 2001). Potensiasi kematian sel neuron di korteks
meningkat dalam keadaan hipertermik. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi
hipertermik turut memicu kepada terjadinya efek neurotoksisitas pada pengguna
ekstasi (Copeland et al, 2001).
Laboratorium analisis narkoba dibedakan menjadi laboratorium produksi
dan laboratorium analisis masing-masing merupakan laborarotium ilegal dan
legal. Laboratorium tidak resmi disebut juga laboratorium clandestein, merupakan
laboratorium produksi narkoba. Laboratorium resmi biasanya menganalisis barang
bukti berupa tanaman dan barang bukti biologik. Barang bukti tanaman biasanya
berbentuk mentah raw materials seperti batang, daun, bunga, biji juga serbuk
tanaman ataupun bahan olahan bentuk powder, bubuk atau blok. Adapun barang
biologik berupa darah, urine dan juga rambut. Rambut akan menimbulkan residu
obat selama beberapa bulan, biasanya setelah menggunakan obat selama tiga
bulan. Dalam urin terdeteksi setelah menggunakan obat beberapa hari atau
minggu, dan dalam darah biasanya terdeteksi setelah penggunaan beberapa jam
saja.
patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui.
Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf saraf yang berlokasi di
medulla oblongata. Saraf saraf ini menerima input dari :
Dalam
edema
MDMA
mental
Efek neurologis
MDMA, seperti amfetamin lain, dapat menyebabkan
berbagai
hasil
neurologis
fatal,
termasuk
perdarahan
subarachnoid, infark serebral, perdarahan intrakranial atau.
Mekanisme yang mendasari melibatkan lonjakan hipertensi
jangka pendek dan gangguan berikutnya pembuluh darah otak,
terutama pada pasien dengan malformasi arteriovenosa
kongenital atau angioma serebral. Sementara kematian ini jarang
terjadi, selalu mempertimbangkan amphetamine digunakan
sebagai kemungkinan penyebab stroke.
Hepatotoksisitas
Bukti yang berkembang menunjukkan bahwa MDMA dapat
membahayakan hati. Hepatotoksisitas berkisar dari luka hati
tanpa gejala dengan konfirmasi ketinggian tes fungsi hati untuk
gagal hati akut fulminan. Pola yang berbeda dari luka hati diakui,
termasuk lesi jinak, virus hepatitis, nekrosis hati yang luas atau
fokus, total kerugian dari parenkim hati dan fungsi disertai
ensefalopati, edema serebral, dan kegagalan sistem multiorgan.
Dalam pengaturan kelas III atau IV ensefalopati, tanpa
transplantasi hati, angka kematian lebih dari 50%. Presentasi dari
MDMA hepatotoksisitas bervariasi. Waktu menelan dan timbulnya
gejala, serta dosis, tampaknya tidak berkorelasi dengan
keparahan klinis, dan kekambuhan juga dapat terjadi karena
penggunaan kronis. Penggunaan kronis MDMA menyebabkan
perubahan fibrotik yang terkait dengan peningkatan kolagen I
produksi oleh sel stellata.
Histopatologi, hepatotoksisitas terkait dengan hipertermia
menunjukkan gambaran nekrosis centrolobular dan steatosis
microvesicular. Tanpa hipertermia ini, perubahan hepatotoksik
mencatat konsisten dengan hepatitis kolestasis akut dengan
eosinofil dan infiltrat makrofag. Alasan untuk pola yang berbeda
dari cedera masih belum sepenuhnya dipahami, meskipun teori
termasuk
hipertermia,
peningkatan
penghabisan
neurotransmitter,
oksidasi
amina
biogenik,
mitokondria, apoptosis, dan polimorfisme genetik.
gangguan
INTOKSIKASI
TANDA GEJALA
GEJALA
PUTUS ZAT
AMFETAMIN
(Ekstasi,Sha
bu)
Over dosis :
Kardiovaskuler :
Kejang-kejang
Hiperpireksia
Dilatasi pupil
Takhikardi
Hipertensi
Perilakumaladapt
ive
Gangguan
daya
nilai
Gangguan fungsi
Social
FASE AWAL :
Depresi
Palpitasi
Angina, aritmia Ansiestas
Hiper/hipotensi
Anergia,capek
Keringat
banyak
Muka
pucat/merah
Pernafasan :
Bronkodilatasi
Gastro Intetinal :
Mual, diare
Kramp
abdominal
Ginjal :
Diuresis
Endokrin :
Libido berubah
Impotensi
2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap akibat toksisitas dari amfetamine
bertujuan untuk menstabilisasi fungsi vital, mencegah absorbsi
obat yang lebih lanjut, mengeliminasi obat yang telah diabsorbsi,
mengatasi gejala toksik spesifik yang ditimbulkan dan disposisi.
Toksisitas amfetamine kurang berhubungan dengan kadar dalam
serum, penatalaksanaan hanya berupa perawatan tidak spesifik
gejala klinik yang ditimbulkan.
1. Tindakan emergensi dan suportif
Mempertahankan fungsi pernafasan
- Terapi agitasi: Midazolam 0,05-0,1 mg/Kg IV perlahanlahan atau 0,1-0,2 mg/kg IM; Diazepam 0,1-0,2 mg/kg IV
perlahan-lahan; Haloperidol 0,1-0,2/kg IM atau IV perlahanlahan
2. Detoksifikasi
Detoksifikasi adalah proses menghilangkan racun (zat narkotika atau
adiktif lain) dari tubuh dapat dilakukan secara medis dan nonmedis. Secara medis,
terapi detoksifikasi dilakukan menggunakan berbagai macam cara. Cara pertama
dengan melakukan pengurangan dosis secara bertahap dan mengurangi tingkat
ketergantungan. Cara yang kedua dengan menggunakan antagonis morfin, yaitu
suatu senyawa yang dapat mempercepat proses neuroregulasi (pengaturan kerja
saraf). Cara yang ketiga dengan penghentian total. Tetapi, cara yang ketiga ini
cukup berbahaya untuk dilakukan karena penghentian total pemakaian obat akan
dapat menimbulkan gejala putus obat (sakaw) sehingga pada cara ini perlu diberi
terapi untuk menghilangkan gejala-gejala yang timbul. Detoksifikasi bisa
dilakukan dengan berobat jalan atau dirawat di rumah sakit. Biasanya proses
detoksifikasi dilakukan terus menerus selama satu sampai tiga minggu, hingga
hasil tes urin menjadi negatif dari zat adiktif. Detoksifikasi nonmedis yang sering
dilakukan adalah dengan cara-cara yang kurang manusiawi, seperti disiram air
dingin, dipasung dan lain sebagainya.
3. Rehabilitasi
Setelah menjalani detoksifikasi hingga tuntas (tes urin sudah negatif),
tubuh secara fisik memang tidak ketagihan lagi. Namun secara psikis, pada
bekas pemakai narkoba biasanya sering timbul keinginan terhadap zat tersebut
yang terus membuntuti alam pikiran dan perasaannya. Sehingga sangat rentan dan
sangat besar kemungkinan kembali mencandu dan terjerumus lagi.Untuk itu
setelah detoksifikasi perlu juga dilakukan proteksi lingkungan dan pergaulan yang
bebas dari lingkungan pecandu, misalnya dengan memasukkan mantan pecandu
ke pusat rehabilitasi.
Rehabilitasi dilakukan agar pasien yang telah menempuh proses
pengobatan, dapat kembali ke dalam kondisi seperti semula. Rehabilitasi atau
pemulihan ini mencakup rehabilitasi secara fisik dan mental/psikis serta
rehabilitasi secara sosial seperti memperbaiki hubungan dengan keluarga, temanteman dan orang-orang lain di lingkungan sekitar
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Narkoba atau NAPZA adalah bahan / zat yang dapat mempengaruhi kondisi
kejiwaan / psikologi seseorang ( pikiran, perasaan dan perilaku ) serta dapat
menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA
adalah : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Overdosis (OD) atau
kelebihan dosis terjadi apabila tubuh mengabsorbsi obat lebih dari ambang batas
kemampuannya (lethal doses).
Penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor internal
(keluarga,
ekonomi,
kepribadian)
maupun
eksternal
(pergaulan,
tachiaritmia
dan
apabila
bersama
hipertensi
diberi
obat
antihipertensi.
PUSTAKA
http://health.detik.com/read/2012/06/11/150157/1938121/763/reaksi-di-tubuh-saat-orangkonsumsi-ekstasi
https://www.google.co.id/search?
q=mekanisme+mdma+menyebabkan+demam+dan+nyeri+dada&oq=mekanisme+mdma+
menyebabkan+demam+dan+nyeri+dada+&aqs=chrome..69i57.26261j0j4&sourceid=chro
me&es_sm=93&ie=UTF8#q=mekanisme+ekstasi+yang+menyebabkan+demam+dan+nyeri+dada
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/ycab_old/?ar_id=NDk5
http://groups.yahoo.com/group/cfbe/message/439
http://nursenapza.blogspot.com/2009/11/over-dosis.html
Darmono,(1950), Toksikologi narkoba dan alkohol. Universitas Indonesia
Vijay chadha, Hand book of forensic medicine and toxicology medical
jurispudence. Widjaya medika Jakarta
Copeland, J., W. Swift, R. Roffman, R. Stephen (2001), A random ized
controlled trial of brief cognitive- behavioural interventions for cannabis use
disorder. J. Subs abuse treatment 21 :55-64.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika