Anda di halaman 1dari 4

PENDIDIKAN SEBAGAI HAK ASASI

BAGI SETIAP WARGA NEGARA INDONESIA

Menurut Soegito (2003:160), hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat
pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa dan berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup, kemerdekaan,
perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau
diganggu gugat siapapun. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 telah
menjelaskan secara terperinci tentang HAM yang diantaranya adalah hak untuk hidup,
hak untuk berkeluarga, hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dan hak
untuk memperoleh pendidikan.
Pada hakikatnya pendidikan adalah hak dasar bagi setiap warga negara
Indonesia untuk dapat menikmatinya. Pendidikan merupakan usaha sadar yang
dilakukan oleh manusia agar dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran (Munib, 2009:139). Keberadaan pendidikan yang sangat penting tersebut
telah diakui dan sekaligus memiliki legalitas yang sangat kuat sebagaimana tertuang
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 (1) yang menyebutkan bahwa: Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan. Hak memperoleh pendidikan ini
diperjelas dengan pasal 31 (2) yang bunyinya:Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Selanjutnya pada ayat (3)
dituangkan
pernyataan
yang
berbunyi:Pemerintah
mengusahakan
dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
diatur dengan undang-undang. Dari uraian tadi dapat disimpulkan bahwa setiap warga
negara berhak memperoleh pendidikan yang layak terutama pendidikan dasar. Selain
membahas tentang pendidikan sebagai suatu hak, pasal 31 juga mempertegas bahwa
pendidikan (terutama pendidikan dasar) merupakan kewajiban bagi setiap warga
negara dan pemerintah wajib membiayainya.
Akan tetapi belum semua warga negara menikmati pendidikan sebagai hak dasar
mereka. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah komersialisasi
pendidikan yang menyebabkan biaya pendidikan menjadi semakin mahal. Pendidikan
berkategori "unggulan" biayanya tentu saja setinggi langit. Banyak sekolah unggulan
mematok biaya pendidikan mahal. Mulai dari sumbangan pengembangan institusi yang
besarnya jutaan rupiah, biaya seragam, biaya kegiatan ekstrakurikuler, hingga buku
teks wajib yang seharusnya tidak menjadi beban orangtua siswa.
Dampak komersialisasi pendidikan lambat laun akan membuat diskriminasi hak
memperoleh fasilitas pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Padahal,
menikmati pendidikan yang berbiaya murah dan berkualitas adalah merupakan bentuk
perwujudan hak asasi manusia yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Di

samping itu tantangan global yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang senantiasa berubah menuntut adanya perubahan di segala aspek
kehidupan termasuk didalamnya sistem pendidikan nasional. Pembaharuan dalam
sistem pendidikan nasional mencakup penghapusan diskriminasi antara pendidikan
formal yang dikelola oleh pemerintah dan pendidikan nonformal yang dikelola oleh
swasta serta pendidikan keagamaan dan umum. Dengan adanya perubahan tersebut
diharapkan nantinya dapat menghapus diskriminasi bagi anak-anak dari keluarga
miskin untuk memperoleh pendidikan.
Data riset Education Watch tahun 2006 menyebutkan bahwa kecenderungan
realitas tidak meneruskan sekolah bagi anak - anak dari keluarga miskin makin
meningkat persentasenya. Data anak-anak dari keluarga miskin yang drop out sekolah
ketika duduk di bangku sekolah dasar meningkat menjadi 24 persen, sedangkan yang
tidak melanjutkan ke bangku sekolah menengah pertama menjadi 21,7 persen.
Sementara anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin yang drop out sekolah ketika
memasuki bangku usia sekolah menengah mencapai 18,3 persen, dan yang tidak
meneruskan ke jenjang pendidikan sekolah menengah atas dari sekolah menengah
pertama mencapai 29,5 persen.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara sebenarnya telah mengambil
beberapa tindakan untuk mengatasi mahalnya biaya pendidikan, salah satunya adalah
dengan menjalankan program sekolah gratis untuk pendidikan dasar SD dan SMP
yang dikenal dengan program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Fenomena
pendidikan gratis ini memang sangat ditunggu-tunggu, dan dengan dana BOS ini
diharapkan dapat meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia.

Hak memperoleh fasilitasi pendidikan harus dijamin melalui subsidi negara secara
berkelanjutan melalui alokasi anggaran negara yang layak.

Dilihat dari perkembanganya, fenomena ini tidak lepas dari pro dan kontra. Bagi
yang pro dengan program-program itu mengatakan bahwa itu adalah upaya pemerintah
untuk meningkatkan mutu pendidikan dan penurunan angka anak putus sekolah,
sekolah gratis bagi orangtua bisa mengurangi beban pikirannya untuk masalah biaya
pendidikan dan tidak ada lagi anak-anak yang tidak boleh ikut ujian hanya karena
belum bayar iuran sekolah. Sedangkan yang kontra berkata pemerintah bagaikan
pahlawan kesiangan, Hal ini dikarenakan telah ada yang lebih dulu melakukan hal
tersebut, yaitu LSM-LSM bidang pendidikan dan penanganan masyarakat tak mampu.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa
sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak
mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena
itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia
pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara
si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang
kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah
lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim. Sekolah-sekolah gratis
di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang
berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi
yang baik dan tidak berbelit-belit
Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya
semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan
biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba gratisan.
Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu
beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda mampu
bersaing di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan
hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk. Paling
susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat
penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
Tidak hanya murid saja melainkan guru juga terkena imbas dari pendidikan
gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan
mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab
harus berpikir soal bertahan hidup. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran bahwa
pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka jauh
panggang dari api untuk menaikkan mutu pendidikan. Sekolah, terutama sekolah
swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi
menyejahterakan gurunya. Pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung,
komputer, alat tulis kantor, transportasi, uang makan, dan biaya lain harus dibayar.
Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan
semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan
menutup pembiayaan itu.

Sayangnya, filosofi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (UU Sisdiknas)


menjadikan pendidikan bukan lagi sepenuhnya tanggung jawab negara. Negara seolah
lepas tangan dalam membiayai pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan justru dilepas
sebagai "kewajiban" masyarakat untuk ikut andil dalam pembiayaan pendidikan.
Selain komersialisasi pendidikan. Lebih jauh lagi Tilaar (1991)., dalam Munib
(2009:125), menegaskan bahwa ada 5 krisis pokok pendidikan yang ada di Indonesia.
Kelima krisis pokok tersebut adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Kualitas Pendidikan
Relevansi Pendidikan
Elitisme
Managemen Pendidikan
Pemerataan Pendidikan

Lahirnya ketetapan MPR NO. XVII/MPR/1998 dimaksudkan untuk memperkuat


dan memantapkan komitmen bangsa akan pentingnya perlindungan HAM sebagaimana
telah diatur dalam pembukaan dan UUD 1945,oleh karena itu Tap tersebut menegaskan
bahwa :
a) Menugaskan kepada lembaga-Lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur
Pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai Hak Asasi Manusia kepada seluruh masyarakat.
b) Menugaskan kepada Presiden Republik indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan BangsaBangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
c) Penghormatan, penegakan, dan penyebarluasan Hak Asasi Manusia oleh
masyarakat dilaksanakan melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran
dan tanggung jawab sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
d) Pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang
Hak Asasi Manusia, dilakukan oleh komisi nasional Hak Asasi Manusia yang
ditetapkan dengan undang-undang.

Sumber :
UNNES Press
Soegito A.T,dkk. (2003) dan Munib Achmad,dkk. (2009)
http://pemudamasalalu.blogspot.com/2012/02/pendidikan-sebagai-hak-asasi-bagi.html

Anda mungkin juga menyukai