Anda di halaman 1dari 2

KEDAULATAN RAKYAT BUKAN KEDAULATAN TUAN :

Refleksi Terhadap Esensi Demokrasi


Oleh : Karsadi
PEMILU adalah fenomena demokrasi yang menarik untuk dicermati karena
memiliki dimensi yang sangat luas. Semua unsur/kalangan masyarakat mulai dari
pejabat negara, politisi, aparat keamanan, PNS, pengusaha, mahasiswa, anak sekolah,
petani, bahkan sampai tukang sapu jalanan pun memiliki kepentingan terhadap proses
PEMILU. PEMILU yang berhasil merupakan impian setiap warga negara karena
melalui PEMILU kepentingan mereka akan dapat teraktualisasi. Melalui PEMILU yang
demokratis akan ditemukan pemimpin yang sederhana, jujur, dan selalu
memperjuangkan kepentingan rakyat, dekat dengan rakyat dan selalu berada di tengahtengah rakyat serta selalu melayani rakyat. Seorang ilmuwan, Sergiovanni (1986)
mengingatkan kita bahwa dalam PEMILU pemimpin yang harus dipilih adalah
pemimpin yang memiliki integrated personality (popularity, integrity, acceptability,
dan capability). Di tangan rakyat akan ditemukan seorang pemimpin yang dikehendaki
rakyat karena dalam sistem pemerintahan yang demokratis, kekuasaan tertinggi bukan
berada di tangan TUAN, tetapi di tangan RAKYAT. Oleh karena itu, substansi
demokrasi dalam PEMILU bukanlah wujud dari kedaulataan TUAN, tetapi kedaulatan
RAKYAT. Karena esensi demokrasi adalah : the government from the people, by the
people and for the people (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat).
Hal ini sesuai dengan makna yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
yang menyebutkan kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.
PEMILU Sebagai Wujud dari Kedaulatan Rakyat
Seperti halnya pemilihan umum untuk legislatif, Pemilihan Umum (PEMILU)
dalam arti luas juga merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. Dalam PEMILU, rakyat
memiliki hak politik untuk memilih dan menentukan pemimpin yang diinginkan. Wajar
kemudian mendekati pelaksanaan PEMILU semua calon legislatif dan calon-calon
kepala daerah atau calon presiden beramai-ramai mengambil hati dan merayu rakyat.
Mereka ramai-ramai turun ke desa-desa, ke pasar, dan ke tempat-tempat yang dianggap
berkumpulnya dan berkerumunnya massa. Ada yang ketemu dengan para petani,
nelayan, pedagang, anak sekolah sampai pada kelompok orang-orang miskin. Semua
cara dilakukan semata-mata untuk mencari simpati dan dukungan dari rakyat. Sadar
atau tidak cara-cara yang dilakukan oleh para calon kepala daerah tersebut telah
mengakui bahwa dalam PEMILU kedaulatan berada di tangan rakyat, rakyatlah yang
berdaulat. Simpati yang dibangun oleh para calon tersebut tidak berarti menunjukkan
rasa empati calon karena rasaempati tidak dapat dibangun dalam waktu yang relatif
pendek dan instan. Rasa empati dapat dicapai dalam kurun waktu yang relatif panjang
dan membutuhkan proses yang lama. Untuk mendapatkan simpati dari rakyat maka para
calon kepala daerah harus membangun hubungan emosional dengan rakyat sejak lama
bukan nanti akan dilaksanakan PEMILU baru ramai-ramai mendekati rakyat.
Perlu juga dicatat bahwa demi kepentingan umum atas rakyat, maka hak-hak
politik rakyat dalam PEMILU harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh para calon
kepala daerah. Dalam negara demokrasi, tidak dibenarkan adanya keputusan politik
yang merugikan hak-hak politik rakyat, apalagi kebijakan yang menindas rakyat.
Rakyat dalam proses PEMILU diberikan kesempatan untuk mengartikulasikan

kepentingannya dengan cara memilih siapa calon yang memiliki komitmen yang tinggi
untuk melayani rakyat, bukan sekedar janji basa-basi sebagai obat telinga saja. Selain
memiliki hak politik untuk memilih, rakyat juga diberikan hak politik untuk dipilih
sebagai calon legislatif, kepala daerah, presiden dari kalangan manapun, baik dari
kalangan birokrasi, politisi, PNS (termasuk dosen dan guru), pengusaha, pedagang,
petani, maupun dari kalangan blue colour sekalipun. Pendek kata, hak-hak politik setiap
warga negara dijamin dan dilindungi oleh konstitusi kita. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Begitu pula Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
(Equality before the law)
Untuk mewujudkan hak-hak politik rakyat tersebut maka perlu dihindari oleh
semua pihak, termasuk para calon kepala daerah untuk tidak mengedepankan prinsip
power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely. Prinsip demikian ini
harus jauh dari pemikiran para calon kepala daerah karena prinsip demikian ini sangat
merugikan hak-hak politik rakyat sekaligus mengingkari cita-cita mulia yang diimpikan
oleh the faounding fathers sebagaimaa yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945,
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Representasi Politik Dalam PEMILU
Kata demokrasi dapat ditafsirkan bahwa demokrasi merupakan bentuk
kedaulatan di tangan rakyat, atau orang sering menyebutnya rule by the people. Oleh
karena itu dikaitkan dengan representation (perwakilan/keterwakilan) demokrasi itu
sendiri sering mengalami bias politik, yakni real demand rakyat banyak tidak dapat
diartikulasikan secara nyata. Rukruitmen politik untuk mengisi pada formasi kekuasaan
(eksekutif) masih bersifat eksklusive dan elitis dan sering bersifat over-representation.
Pada tingkat ini sering muncul persoalan yang dihadapi oleh demokrasi bahwa
representasi politik seringkali mengalami bias elit dan oleh Heru Nugroho (2001)
disebut sebagai gejala oligarkhi.
Seperti yang dikatakan oleh Heru Nugroho (2001) bahwa dengan berlindung
dibalik representasi, demokrasi tidak hayal dituduh sebagai politik yang elitis, dimana
representasi berarti membatasi aspirasi rakyat secara massif, yang membuka peluang
bagi permainan elit tanpa ada kontrol publik secara terbuka. Adanya kekhawatiran
tersebut adalah wajar, tetapi perlu diingat bahwa dengan adanya jaminan konstitusi
terhadap pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat merupakan bagian dari esensi
demokrasi itu sendiri. Sadar atau tidak bahwa kemenangan calon kepala daerah dalam
PEMILU bukanlah kemenangan yang bersifat individual calon, tetapi sesungguhnya
adalah kemenangan rakyat. Yang menang dalam PEMILU bukanlah calon, tetapi adalah
rakyat secara kolektif karena calon hanyalah simbol perjuangan rakyat. Seperti yang
dikatakan oleh ilmuwan bahwa demokratisasi adalah a process of instituonalizing
uncertainty of subjecting all interest to unceratanty, perpolitikan demokrasi melibatkan
persaingan terbuka memperebutkan kekuasaan, tidak ada kelompok yang memastikan
diri menang, yang ada adalah ketidakpastian. Last but not least (yang terkahir, tetapi
bukan berakhir), bahwa representasi politik dalam PEMILU sekarang adalah
menjunjung tinggi one man one vote (satu orang satu suara), siapa calon yang ada di
hati rakyat, dialah pemenangnya, sedangkan depolitisasi rakyat akan sia-sia.

Anda mungkin juga menyukai