Pilkada Kendari POS
Pilkada Kendari POS
kepentingannya dengan cara memilih siapa calon yang memiliki komitmen yang tinggi
untuk melayani rakyat, bukan sekedar janji basa-basi sebagai obat telinga saja. Selain
memiliki hak politik untuk memilih, rakyat juga diberikan hak politik untuk dipilih
sebagai calon legislatif, kepala daerah, presiden dari kalangan manapun, baik dari
kalangan birokrasi, politisi, PNS (termasuk dosen dan guru), pengusaha, pedagang,
petani, maupun dari kalangan blue colour sekalipun. Pendek kata, hak-hak politik setiap
warga negara dijamin dan dilindungi oleh konstitusi kita. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Begitu pula Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
(Equality before the law)
Untuk mewujudkan hak-hak politik rakyat tersebut maka perlu dihindari oleh
semua pihak, termasuk para calon kepala daerah untuk tidak mengedepankan prinsip
power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely. Prinsip demikian ini
harus jauh dari pemikiran para calon kepala daerah karena prinsip demikian ini sangat
merugikan hak-hak politik rakyat sekaligus mengingkari cita-cita mulia yang diimpikan
oleh the faounding fathers sebagaimaa yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945,
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Representasi Politik Dalam PEMILU
Kata demokrasi dapat ditafsirkan bahwa demokrasi merupakan bentuk
kedaulatan di tangan rakyat, atau orang sering menyebutnya rule by the people. Oleh
karena itu dikaitkan dengan representation (perwakilan/keterwakilan) demokrasi itu
sendiri sering mengalami bias politik, yakni real demand rakyat banyak tidak dapat
diartikulasikan secara nyata. Rukruitmen politik untuk mengisi pada formasi kekuasaan
(eksekutif) masih bersifat eksklusive dan elitis dan sering bersifat over-representation.
Pada tingkat ini sering muncul persoalan yang dihadapi oleh demokrasi bahwa
representasi politik seringkali mengalami bias elit dan oleh Heru Nugroho (2001)
disebut sebagai gejala oligarkhi.
Seperti yang dikatakan oleh Heru Nugroho (2001) bahwa dengan berlindung
dibalik representasi, demokrasi tidak hayal dituduh sebagai politik yang elitis, dimana
representasi berarti membatasi aspirasi rakyat secara massif, yang membuka peluang
bagi permainan elit tanpa ada kontrol publik secara terbuka. Adanya kekhawatiran
tersebut adalah wajar, tetapi perlu diingat bahwa dengan adanya jaminan konstitusi
terhadap pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat merupakan bagian dari esensi
demokrasi itu sendiri. Sadar atau tidak bahwa kemenangan calon kepala daerah dalam
PEMILU bukanlah kemenangan yang bersifat individual calon, tetapi sesungguhnya
adalah kemenangan rakyat. Yang menang dalam PEMILU bukanlah calon, tetapi adalah
rakyat secara kolektif karena calon hanyalah simbol perjuangan rakyat. Seperti yang
dikatakan oleh ilmuwan bahwa demokratisasi adalah a process of instituonalizing
uncertainty of subjecting all interest to unceratanty, perpolitikan demokrasi melibatkan
persaingan terbuka memperebutkan kekuasaan, tidak ada kelompok yang memastikan
diri menang, yang ada adalah ketidakpastian. Last but not least (yang terkahir, tetapi
bukan berakhir), bahwa representasi politik dalam PEMILU sekarang adalah
menjunjung tinggi one man one vote (satu orang satu suara), siapa calon yang ada di
hati rakyat, dialah pemenangnya, sedangkan depolitisasi rakyat akan sia-sia.