Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BIODIESEL
Biodiesel merupakan bahan bakar yang diperoleh dari proses esterifikasi
atau transesterifikasi asam lemak dengan alkohol dan bantuan katalis. Asam
lemak tersebut berasal dari tumbuh-tumbuhan ataupun dari hewan yang
viskositasnya hampir sama dengan solar. Biodiesel dapat diperoleh melalui suatu
proses yang disebut reaksi esterifikasi asam lemak bebas atau reaksi
transesterifikasi trigliserida dengan metanol dan dari reaksi ini akan dihasilkan
metil ester/etil ester asam lemak dan gliserida.
Katalis
Trigliserida + Metanol /Eter

Metil ester/Etil ester + Gliserol

Kadar polusi yang ditimbulkannya rendah dibandingkan solar, emisi gas buang
lokal lebih aman. Emisi langsung kendaraan diesel dengan bahan bakar biodiesel
lebih tidak beracun dibandingkan dengan bahan bakar solar. Efek pengurangan
karbon monoksida yang sangat beracun, efek pengurangan emisi hidrokarbon tak
terbakar (unburn hydrocarbon) adalah keuntungan pemakaian biodiesel secara
langsung karena membantu pengurangan efek pemanasan global yang sangat
berbahaya bagi kehidupan manusia.
Biodiesel memiliki efek pelumasan yang sangat tinggi, sehingga membuat mesin
diesel lebih awet. Biodiesel juga memiliki angka setana relatif tinggi, mengurangi
ketukan pada mesin sehingga mesin bekerja lebih mulus. Biodiesel juga memiliki
flash point yang lebih tinggi dibandingkan dengan solar, tidak menimbulkan bau
yang berbahaya sehingga lebih mudah dan aman untuk ditangani. Keunggulan
biodiesel lainya seperti dapat diperbaharui, biodegradabel (dapat terurai oleh
mikroorganisme), tidak mengandung sulfur dan benzene yang mempunyai sifat
karsinogen. Dapat dengan mudah dicampur dengan solar dalam berbagai
komposisi dan tidak memerlukan modifikasi mesin apapun. Mengurangi asap
hitam dari gas buang mesin diesel secara signifikan walaupun penambahan hanya

Universitas Sumatera Utara

5%10% volum biodiesel kedalam solar, memberikan nilai tambah pada sektor
agribisnis mendorong

penggunaan biodiesel mulai mendapat perhatian dunia

sebagai alternatif bahan bakar pengganti solar.


2.2 BAHAN BAKU BIODIESEL
Indonesia sebagai daerah tropis yang subur diberkahi oleh Tuhan Yang
Maha Esa dengan berbagai keanekaragaman hayati, tabel 2.1 daftar beberapa
jenis tanaman yang dapat di kembangkan sebagai bahan baku untuk menghasilkan
energi alternatif (biodiesel). Salah satu diantaranya adalah kacang tanah untuk
menggantikan bahan bakar minyak bumi sebagai pengganti minyak solar.
Tabel 2.1 Jenis Tanaman Bahan Baku Biodiesel
No

Nama Lokal

Nama Latin

Sumber
Minyak

Isi % Berat
Kering

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Jarak Pagar
Jarak Kaliki
Kacang Suuk
Kapok/ Randu
Karet
Kecipir
Kelapa
Kelor
Kacang tanah
Kusambi
Nimba
Saga Utan
Sawit
Nyamplung

Inti biji
Biji
Biji
Biji
Biji
Biji
Inti biji
Biji
Inti biji
Sabut
Inti biji
Inti biji
Sabut dan biji
Inti biji

40-60
45-50
35-55
24-40
40-50
15-20
60-70
30-49
57-69
55-70
40-50
14-28
45-70 + 46-54
40-73

15
16
17
18

Randu Alas
Sirsak
Srikaya
Sawit

Jatropha Curcas
Riccinus Communis
Arachis Hypogea
Ceiba Pantandra
Hevea Brasiliensis
Psophocarpus Tetrag
Cocos Nucifera
Moringa Oleifera
Aleurites Moluccana
Sleichera Trijuga
Azadiruchta Indica
Adenanthera Pavonina
Elais Suincencis
Callophyllum
Lanceatum
Bombax Malabaricum
Annona Muricata
Annona Squosa
Elais Guineensis

Biji
Inti biji
Biji
Pulp+Kernel

18-26
20-30
15-20
45-70+46-54

Sumber: Eka Tjipta Foundatiaon, 2008


Minyak nabati mengandung 90-98% trigliserida dan sejumlah kecil mono dan
digliserida. Trigliserida adalah ester dari tiga asam lemak rantai panjang yang
terikat pada satu gugus gliserol. Dalam minyak nabati pada umumnya terdapat

Universitas Sumatera Utara

lima jenis asam lemak yaitu: asam stearat, asam palmitat, asam oleat, asam
linoleat dan asam linolenat. Asam stearat dan asam palmitat termasuk jenis asam
lemak jenuh, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat termasuk asam lemak tak
jenuh, jika asam lemak terlepas dari trigliseridanya maka akan menjadi lemak
asam bebas (free fatty acids = FFA). Minyak nabati sebagai bahan baku
pembuatan biodiesel dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan
kandungan FFA (Kinast, J. A., 2003) yakni Refined Oil, minyak nabati dengan
kandungan FFA kurang dari 1,5%, minyak nabati dengan kandungan FFA rendah
kurang dari 4%, minyak nabati dengan kandungan FFA tinggi lebih dari 20%.
Berdasarkan kandungan FFA dalam minyak nabati maka proses pembuatan
biodiesel dapat dibedakan atas dua bagian yaitu:
1. Transesterifikasi dengan menggunakan katalis basa untuk refined Oil
atau minyak nabati dengan kandungan FFA rendah.
2. Esterifikasi dengan katalis asam untuk minyak nabati dengan
kandungan FFA yang tinggi di lanjutkan dengan transesterifikasi
dengan katalis basa.

Dari hasil uji Gascromatografi (GC) terhadap minyak kacang tanah yang
digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan

biodiesel diperoleh

kandungan asam lemak bebas (FFA) 0,58 lebih kecil dari 1,5%, berdasarkan
kandungan FFA maka untuk memperoleh biodiesel turunan minyak kacang tanah
dapat dilakukan dengan proses transesterifikasi dengan katalis basa.

Universitas Sumatera Utara

Minyak kacang tanah mengandung asam lemak jenuh dengan komposisi sebagai
berikut tabel dibawah ini.
Tabel 2.2 Jenis Asam Lemak Yang Terkandung Dalam Minyak Kacang Tanah
Nama asam

Struktur

Asam Palmitat

CH3(CH2)14 CO2H atauC16H32O2

12,2

Asam Stearat

CH3(CH2)16CO2H atau C18H36O2

4,5

Asam Oleat

CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7CO2H

atau

40,2

CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7CO2H atau

36,8

C18H34O2{C18F1}
Asam Linoleat

C18H32O2{C18F2}
Asam Linolenat

CH3CH2CH=CHCH2CH=CHCH2=CH(CH2)7CO2

1,3

H atau C18H30O2{C18F3}

2.3 PROSES PRODUKSI BIODIESEL TURUNAN MINYAK KACANG


TANAH
Proses produksi biodiesel dari bahan baku minyak nabati berkadar FFA
yang rendah dengan metode transesterifikasi terdiri dari:
1. Pencampuran katalis dan metanol pada konsentrasi katalis antara
0,5-1 wt% dan 10-20 wt% metanol terhadap massa minyak nabati.
2.

Pencampuran katalis dan metanol dengan minyak pada temperatur


o

55-65 C dengan kecepatan pengadukan yang konstan.


3. Setelah reaksi berhenti, campuran didiamkan sehingga terjadi
pemisahan metil ester dengan gliserol.
4. Pencucian metil ester dengan menggunakan air hangat untuk
memisahkan zat-zat pengotor seperti sisa metanol, sisa katalis,
gliserol, dan sabun,

kemudian dilanjutkan dengan drying untuk

menguapkan air yang terkandung dalam biodiesel (Hambali, E., 2008).


Minyak kacang tanah sebelum dimasukkan kedalam reaktor terlebih dahulu
ditambahkan katalis dalam larutan metanol, sedangkan hasil produksi dari reaktor

Universitas Sumatera Utara

tersebut adalah biodiesel yang masih memerlukan prosses pencucian dan


pemurnian sehingga diperoleh biodiesel yang memenuhi syarat sebagai bahan
bakar. Proses pembuatan biodiesel turunan minyak kacang tanah dapat dilihat
pada diagram berikut ini:

Biji
kacang
tanah

Ekstraksi
kacang
tanah

Rotavapour
hasil
ekstraksi

Minyak
kacang
tanah

Titrasi/GC

Cosolvent
Eter

Katalis
KOH/CaO

Reaktor

Pencucian

Pemisahan

Gliserol

Biodiesel

Pemurnian
biodiesel

FAME

Gambar 2.1 Proses Pembuatan Biodiesel Turunan Minyak Kacang Tanah

2.4 STANDART BIODIESEL DI INDONESIA


Biodiesel yang dihasilkan diuji apakah memenuhi standart (Kualitas) yang
sudah dibakukan dalam SNI -04-7182-2006, yang telah disahkan dan diterbitkan
oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tanggal 22 Pebruari 2006 berlaku di
Indonesia seperti tabel dibawah ini:
Tabel 2.3 Persyaratan Kualitas Biodiesel Menurut SNI-04-7182-2006
Parameter dan
satuannya

Batas nilai

Metode uji

Metode
setara

850 890

ASTM D 1298

ISO 3675

2,3 6,0

ASTM D 445

ISO 3104

C, mm /s (cSt)
Angka setana

min. 51

ASTMD 613

ISO 5165

Titik nyala (mangkok tertutup),

min. 100

ASTM D 93

ISO 2710

maks. 18

ASTM D 2500

maks. no. 3

ASTM D 130

ISO 2160

Maks. 0,05
(maks 0,03)

ASTM D 4530

ISO 10370

maks. 0,05

ASTM D 2709

Temperatur distilasi 90%, C

maks. 360

ASTM D 1160

Abu tersulfatkan, %-berat

maks. 0,02

ASTM D 874

ISO 3987

Belerang, ppm-b (mg/kg)

maks. 100

ASTM D 5453

Fosfor, ppm-b (mg/kg)

maks. 10

AOCS Ca 12-55

Pr EN ISO
20884
FBI-A05-03

Angka asam, mg-KOH/g

maks. 0,8

AOCS Cd 3-63

FBI-A01-03

Gliserol bebas, %-berat

maks. 0,02

AOCS Ca 14-56

FBI-A02-03

Gliserol total, %-berat

maks. 0,24

AOCS Ca 14-56

FBI-A02-03

Kadar ester alkil, %-berat

Min. 96,5

Dihitung *)

FBI-A03-03

Angka iodium, g-I /(100 g)

maks. 115

AOCS Cd 1-25

FBI-A04-03

Uji Halphen

Negative

AOCS Cb 1-25

FBI-A06-03

Massa jenis pada 40 C, kg/m

Viskositas kinematik pada 40


o

Titik kabut, C
Korosi bilah tembaga
o

(3

jam, 50 C)
Residu karbon, %-berat,
- dalam contoh asli
- dalam 10% ampas distilasi
Air dan sedimen, %-vol.
o

Sumber: Soerawidjaja, 2006

2.5 KATALIS
Katalis adalah suatu zat yang mempercepat suatu laju reaksi dan
menurunkan energi aktivasi, namun zat tersebut tidak habis bereaksi. Ketika
reaksi selesai, kita akan mendapatkan massa katalis yang sama seperti pada awal
kita tambahkan. Zat yang menghambat berlangsungnya reaksi disebut inhibitor.
Dalam suatu reaksi kimia, katalis tidak ikut bereaksi secara tetap sehingga
dianggap tidak ikut bereaksi. Secara umum, katalis yang digunakan dalam reaksi
kimia ada tiga jenis, yaitu katalis homogen, katalis heterogen, biokatalis (Enzim),
dan Autokatalis.
2.5.1 Katalis Homogen
Adalah katalis yang wujudnya sama dengan wujud reaktannya. Dalam
reaksi kimia, katalis homogen berfungsi sebagai zat perantara (fasilitator).
Beberapa jenis katalis homogen yang telah digunakan antara lain NaOH, KOH,
ZA, ZA kering, ZKOH, dan Z-KOH kering terjadi reaksi dibawah ini:
R-COOH + NaOH

RCOONa + H2O

O
H2C

R'

O
CH

H2 C

katalis
C
O

R''

R'''

Trigliserida

CH3OH

Metanol

3R

OCH3 +

Metil Ester

H2C

OH

HC

OH

H2C

OH

Gliserol

Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi Dengan Katalis Homogen


Penggunaan katalis ini mempunyai kekurangan seperti sifat korosif yang tinggi
dan katalis ini tidak mungkin digunakan kembali sehingga dalam proses
pembuatan metil ester ini NaOH dibuang dalam bentuk larutan dan mengganggu
lingkungan.

2.5.2 Katalis Heterogen


Adalah katalis yang wujudnya berbeda dengan wujud reaktannya. Reaksi
zat-zat yang melibatkan katalis jenis ini, berlangsung pada permukaan katalis
tersebut. Reaksi fase gas dan fase cair dikatalisa oleh katalis heterogen biasanya
lebih mungkin terjadi di permukaan katalis dari pada di fase gas atau fase cair.
Untuk alasan ini maka kadangkala katalis heterogen disebut katalis kontak.
Beberapa jenis katalis heterogen yang telah dilaporkan antara lain CaO, MgO.
Proses katalis heterogen sedikitnya dapat melalui 4 tahap yakni:
1. Difusi produk dari permukaan katalis
2. Reaksi reaktan yang diserap
3. Aktivasi penyerapan reaktan
4. Adsorpsi reaktan pada permukaan katalis
Reaksi transesterifikasi dengan menggunakan katalis heterogen (CaO) seperti
dibawah ini:

CaO

CH3 OH

OCH3

Ca

O
R'

R'

CH2

O
"R

CH

CH2

OCH3

Ca

CH2

CH

"R

OCH3

R"'
CH2

R'

R"'
-

R'

CH 2

"R

CH2

CH

CH
CH 2

OCH3
O

"R

OCH3

R"'
CH2

O
O

R'

R'

CH2

O
"R

Ca

C
O

"R

CH
CH2

CH 2

CH

CH2

CaO

OH

O-

R'

CH2

CH2

OH

O
"R

CH

O
R

3 CH3 OH

3 R

OCH3

HC
CH2

OH

OH

CH2

(Hue, L., 2007)


Gambar 2.3 Reaksi Transesterifikasi Dengan Katalis Heterogen

2.5.3 Biokatalis (Enzim)


Adalah katalis yang memiliki keunggulan sifat (aktivitas tinggi,
selektivitas dan spesifitas) sehingga dapat dapat membantu prosesproses kimia
kompleks pada kondisi lunak dan ramah lingkungan. Kelemahannya antara lain
sangat mahal, sering tidak stabil, mudah terhambat, tidak dapat diperoleh kembali
setelah dipakai. Salah satu Biokatalis yang telah

dilaporkan penggunaanya

adalah Enzim lipase (Triacylglycerol Acllydrolases).


Enzim lipase atau enzim pemecah lemak dipakai dalam reaksi pembuatan
biodiesel. Enzim itu dapat mengatalisis, menghidrolisis, serta menyintesis bentuk
ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang seperti halnya minyak goreng
dan jelantah. Berbeda dengan katalis soda api yang masih menghasilkan limbah,
katalis enzim tidak menghasilkan limbah. Pasalnya, dengan menggunakan enzim
lipase, asam lemak bebas akan larut dan menjadi biodiesel. Yang diperlukan
hanya menyaring kotoran-kotoran berupa kerak yang sering ada, khususnya pada
minyak jelantah, (Luthfi, 2009). Untuk membuat biodiesel dengan katalis enzim
lipase, hal yang harus dilakukan pertama kali adalah menyiapkan enzim lipase ke
dalam sebuah penampang berupa membrane tertentu. Dengan menggunakan dua
filter lipase sebagai katalisnya. Filter pertama digunakan untuk menyaring 60
persen kotoran, dan sisa kotoran yang sebanyak 40 persen disaring oleh filter
kedua. Alhasil, total kotoran yang berhasil disaring mencapai 100 persen Enzim
ditempelkan pada filter. Ketika minyak lewat, berarti telah menjadi biodiesel.
Sekarang ini harga enzim masih berkisar satu juta hingga tiga juta rupiah per
kilogram. Untuk filter berukuran satu meter persegi, dibutuhkan tiga gram enzim .
2.5.4 Autokatalis.
Adalah zat hasil reaksi yang berfungsi sebagai katalis. Artinya, produk
reaksi yang terbentuk akan mempercepat reaksi kimia. Reaksi antara kalium
permanganat (KMnO4) dengan asam oksalat (H2C2O4) salah satu hasil reaksinya

berupa senyawa mangan sulfat (MnSO4). Semakin lama, laju reaksinya akan
semakin cepat karena MnSO4 yang terbentuk berfungsi sebagai katalis.
2KMnO4(aq) + 5H2C2O4(aq) + 3H2SO4(aq)

2MnSO4(aq) + 10CO2(g) + K2SO4(aq) + 8H2O(l)

Untuk meningkatkan laju reaksi kita perlu untuk meningkatkan jumlah tumbukantumbukan yang menghasilkan reaksi. Salah satu cara yang efektif adalah dengan
menurunkan energi aktivasi. Penambahan katalis dapat menurunkan energi
aktivasi. Suatu reaksi eksoterm AB(g) + C(g) --> AC(g) + B(g). Reaksi ini
berlangsung lambat, karena energi aktivasinya (Ea) lebih besar dibanding energi
molekulnya. Hanya sebagian kecil molekul yang mencapai Ea.

Gambar 2.4 Perubahan Energi Aktivasi Setelah Menggunakan Katalis


Berdasarkan diagram di atas, Ea' dengan katalis lebih rendah. Katalis itu berupa
zat yang dicampurkan dengan reaktan. Jika reaksi di atas tanpa katalis, AB dan C
bertumbukan sampai mencapai Ea yang relatif tinggi. Karena umumnya energi
molekulnya rendah, jadi tumbukan yang terjadi tidak efektif. Ea sangat sulit
dicapai. Untuk itu maka ditambahkan zat yang bertindak sebagai katalis.
Ternyata pada saat katalis dicampurkan reaksi makin cepat. Jelas bahwa katalis itu
dapat mempengaruhi salah satu reaktan. Misalnya dalam reaksi ini katalis cocok

sifatnya dengan AB. Maka seperti robot AB tertarik ke katalis membentuk KAB.
KAB tergolong kompleks teraktivasi yang merupakan tahap reaksi hipotesis;
KAB kemudian terurai menjadi KA dan B. Setelah itu terjadi tahap reaksi
berikutnya, yaitu C ditarik oleh KA menjadi KAC yang kemudian langsung K
lepas dan terbentuklah AC.
Mekanisme reaksi di atas adalah:
K + AB --> KAB --> KA + B (lambat)
KA + C --> KAC --> K + AC (cepat)
K+AB+C-->K+AC+B
Jadi katalis ikut ambil bagian dalam reaksi, memberi jalan baru melalui
mekanisme reaksi baru yang energi aktivasinya lebih rendah, kemudian terbentuk
kembali dalam keadaan yang sama. Katalis dapat berfungsi sebagai zat perantara
maupun sebagai zat pengikat.
2.5.4.1 Katalis sebagai zat parantara
Perhatikan contoh berikut ini:
Reaksi tanpa katalis: A+B

---> AB (lambat)

Reaksi dengan katalis: A+B

---> AB (cepat)

Mekanisme reaksi dapat dijelaskan sebagai berikut:


B+K

--->

BK

BK+A ---> A-B-K


A-B-K

---> A-B +K

Dengan terikatnya zat B pada katalis, senyawa B-K yang terbentuk menjadi lebih
reaktif ketika bereaksi dengan A sehingga terbentuk senyawa AB-K. Pada tahap
berikutnya, dihasilkan

senyawa AB dan

katalis K diperoleh kembali dalam

jumlah yang sama seperti semula. Jadi, katalis ikut bereaksi, namun pada akhir
reaksi bentuk dan jumlahnya tidak berubah.

2.5.4.2 Katalis sebagai zat pengikat


Katalis yang berfungsi sebagai zat pengikat, yaitu logam-logam seperti Pt,
Cr, dan Ni. Permukaan logam-logam ini memiliki kemampuan mengikat zat yang
akan bereaksi sehingga terbentuk spesi yang reaktif. Logam-logam ini
mempercepat reaksi-reaksi gas dengan cara membentuk ikatan lemah antara gas
dan atom-atom logam pada permukaan, proses ini disebut adsorpsi. Gas-gas yang
terikat pada permukaan logam lebih mudah bereaksi dibandingkan jika gas-gas
tersebut berada di udara. Setelah terjadi reaksi, produk hasil reaksi melepaskan
ikatannya dengan permukaan logam, proses ini disebut dengan desorpsi.
Katalis hanya mempengaruhi laju mencapaian kesetimbangan, tidak berpengaruh
dalam hasil reaksi dan konsentrasi atau massa zat setelah reaksi. Jumlah katalis
setelah reaksi berlangsung akan sama dengan jumlah katalis sebelum terjadinya
reaksi.
2.6 ALKOHOL
Kekentalan minyak nabati dapat dikurangi dengan memotong cabang
rantai carbon dengan proses transesterifikasi dengan menggunakan alkohol rantai
pendek. Alkohol yang biasa digunakan adalah metanol dan etanol. Metanol
merupakan jenis alkohol yang paling disukai dalam pembuatan biodiesel karena
metanol (CH3OH) mempunyai keuntungan lebih mudah bereaksi atau lebih stabil
dibandingkan dengan etanol (C2H5OH) karena metanol

memiliki satu ikatan

karbon sedangkan etanol memiliki dua ikatan karbon, sehingga lebih mudah
memperoleh pemisahan gliserol dibanding dengan etanol, untuk mendapatkan
hasil biodiesl yang sama penggunaan etanol 1,4 kali lebih banyak dibanding
dengan metanol. Kerugiannya metanol merupakan zat beracun dan berbahaya bagi
kulit, mata, paru-paru dan pencernaan dan dapat merusak plastik dan karet terbuat
dari batu bara. Metanol berwarna bening seperti air, mudah menguap, mudah
terbakar dan mudah bercampur dengan air. Etanol lebih aman, tidak beracun dan
terbuat dari hasil pertanian, etanol memiliki sifat yang sama dengan metanol yaitu
berwarna bening seperti air, mudah menguap, mudah terbakar dan mudah

bercampur dengan air. Pemisahan gliserin dengan menggunakan etanol lebih sulit
dari metanol dan jika tidak berhati-hati akan berakhir dengan emulsi. Metanol dan
etanol yang dapat digunakan hanya yang murni 99%. Metanol memiliki massa
3

jenis 0,7915 g/m dan titik didih 65 C, sedangkan etanol memiliki massa jenis
3

0,79 g/m dan titik didih 79 C.


2.7 REAKSI TRANSESTERIFIKASI
Transeseterifikasi adalah proses yang mereaksikan trigliserida dalam
minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek hingga
menghasilkan metal ester asam lemak (Fatty Acids Methyl Esters = FAME) atau
biodiesel dan gliserol sebagai produk samping. Reaksi transesterifikasi
diperlihatkan pada gambar 2.1, proses ini

akan dapat berlangsung dengan


o

mengunakan katalis alkali/basa pada tekanan 1 atmosfer temperatur 65 C dengan


menggunakan Alkohol, katalis yang biasa digunakan adalah Kalium Hidroksida
atau Natrium Hidroksida. Proses transesterifikasi meliputi: Katalis basa (KOH)
dicampur dengan alkohol (metanol) dan minyak nabati

dengan perbandingan

katalis basa 1% dari minyak nabati sedangkan perbandingan molar antara metanol
dengan minyak nabati adalah 1:6 dengan kadar asam lemak bebas (FFA) di bawah
1% untuk mengasilkan rendemen yang maksimum (Darnoko, D., 2000).
Fartor-faktor yang mempengaruhi reaksi transesterifikasi:
1. Pengaruh air dan kandungan asam lemak bebas
Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus bebas air, karena air
akan bereaksi dengan katalis sehingga jumlah katalis akan berkurang,
dan harus memiliki angka asam lemak bebas < 1.
2. Perbandingan molar alkohol dengan minyak nabati
Secara stoikiometri jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi 3 mol
untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1

mol gliserol. Semakin

banyak jumlah alkohol yang digunakan maka

konversi ester yang dihasilkan akan bertambah banyak dan pada rasio
molar 1:6 setelah 1 jam konversi yang dihasilkan 98-99%, sedangkan
pada rasio molar 1:3 adalah 74-89%. Maka rasio molar yang terbaik
adalah 1:6 karena dapat menghasilkan rendemen yang optimum.
3. Katalis
Katalis berfungsi untuk mempercepat reaksi dan menurunkan energi
aktiviasi sehingga reaksi dapat berlangsung pada suhu kamar sedangkan
o

tanpa katalis reaksi dapat berlangsung pada suhu 250 C, katalis yang
biasa digunakan dalam reaksi transesterifikasi adalah katalis basa
seperti

Kalium

Hodroksida

dan

Natrium

Hidroksida.

Reaksi

transesterifikasi dengan katalis basa akan menghasilkan konversi


minyak nabati menjadi ester yang optimum (94-99%) dengan jumlah
katalis 0,51,5% wt minyak nabati. Jumlah katalis KOH yang efektif
untuk

menghasilkan

konversi

yang

optimum

pada

reaksi

transesterifikasi adalah 1% wt minyak nabati (Darnoko, D., 2000).


4. Suhu
Suhu

mempengaruhi

pembentukan

kecepatan

biodiesel.

dilakukan pada suhu

Pada

reaksi
umumnya

transesterifikasi
reaksi

dalam

transesterifikasi

6065 C pada tekanan atmosfer. Kecepatan

reaksi akan meningkat sejalan dengan kenaikan temperatur yang berarti


semakin banyak energi yang dapat digunakan reaksi untuk mencapai
energi aktivasi sehingga akan menyebabkan semakin banyak tumbukan
yang terjadi antara molekul-molekul reaktan.

5. Lama Reaksi
Semakin

lama waktu reaksi semakin banyak eter yang dihasilkan

karena situasi ini akan memberikan kesempatan terhadap molekulmolekul reaktan untuk semakin lama bertumbukan.
6. Pengadukan
Pengadukan dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan campuran
yang homogen antara gliserida dan alkohol

pada saat terjadi reaksi

transesterifikasi.
2.8 SIFAT SIFAT PENTING DARI BIODIESEL
2.8.1 Massa Jenis ( Densitas )
Kerapatan suatu fluida ( ) dapat didefinisikan sebagai massa persatuan
volume.

=
Dengan:

m
v

(2.1)

= rapat massa (kg/m3)


m = massa (kg)
3

v = volume (m )
Yang mempengaruhi densitas adalah faktor gliserol yang terdapat dalam metil
ester (FAME). Semakin besar kadar densitas menunjukkan bahwa proses
pencucian dan pemurnian kurang sempurna dilakukan. Densitas dari suatu FAME
sebanding dengan viskositas, artinya semakin besar densitasnya semakin besar
pula viskositasnya (Benedict, 2010).

2.8.2

Viskositas

Viskositas (kekentalan) merupakan sifat intrinsik fluida yang menunjukkan


resistensi fluida terhadap aliran. Hubungan antara tegangan geser dinding dengan
viskositas untuk fluida Newton bisa dilihat pada persamaan berikut ini:

W =
Dengan:

u / y

)y = o

(2.2)

= kekentalan dinamik (Poise)


2

= tegangan geser fluida (Newton/m )


u = kecepatan relatif kedua permukaan (m/s)
y = tebal lapisan filem fluida (m)
Sedangkan hubungan antara tegangan geser dinding dengan penurunan tekanan
(pressure drop) adalah sebagai berikut:

(2.3)
Dengan:

D = diameter pipa (m)


p = penurunan tekanan (Pa)
L = panjang pipa yang ditinjau (m)

Dari Persamaan diatas dapat dilihat bahwa viskositas fluida berpengaruh langsung
terhadap besarnya penurunan tekanan yang dialami oleh fluida tersebut.
Penurunan tekanan (pressure drop) fluida berkaitan dengan energi pengaliran
fluida sebagai berikut:

(2.4)
Dengan:

P = daya (Watt)
3

Q = debit fluida (m /s)


Persamaanpersamaan diatas menunjukkan bahwa fluida dengan viskositas tinggi
lebih sulit untuk dialirkan dibandingkan dengan fluida dengan viskositas rendah.
Bila energi pengaliran yang tersedia tetap, maka fluida dengan viskositas tinggi

akan mengalir dengan kecepatan lebih rendah. Gesekan yang terjadi didalam
bagian cairan yang berpindah dari suatu bahan ke bahan lain mempengaruhi
pengontrolan bahan bakar dengan injeksi ke ruang pembakaran, Akibatnya
terbentuk endapan pada mesin (Knothe, G., 2005).
Kecepatan alir bahan bakar melalui injektor akan mempengaruhi derajat atomisasi
bahan bakar di dalam ruang bakar. Viskositas bahan bakar juga berpengaruh
secara langsung terhadap kemampuan bahan bakar tersebut bercampur dengan
udara. Visikositas yang tinggi cenderung menjadi masalah dari bahan bakar, dan
ini menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam produksi dan pemakaian
biodiesel. Tingginya harga viskositas SVO (straight vegetable oil) atau refined
fatty oil yang mendasari perlu dilakukannya proses kimia, transesterifikasi, untuk
menurunkan harga viskositas minyak tumbuhan sehingga mendekati viskositas
solar.
Dengan demikian, viskositas bahan bakar yang tinggi, seperti yang terdapat pada
SVO, tidak diharapkan pada bahan bakar mesin diesel. Oleh karena itulah
penggunaan SVO secara langsung pada mesin diesel menuntut digunakannya
mekanisme pemanas bahan bakar sebelum memasuki sistem pompa dan injeksi
bahan bakar. Untuk menjamin bahan bakar dapat bercampur baik dengan udara
dan selanjutnya siap terbakar, maka diperlukan proses atomisasi yang baik pula.
2.8.3 Titik Kabut
Suhu yang dingin menyebabkan titik-titik kristal seperti lilin yang
ukurannya sangat kecil tidak dapat dilihat mata. Penurunan temperatur yang lebih
jauh akan membentuk kristal. Temperatur pada saat terjadi kristal yang dapat
dilihat dengan mata disebut titik kabut (cloud point). Meski bahan bakar masih
bisa mengalir pada titik ini, keberadaan kristal di dalam bahan bakar bisa
mempengaruhi kelancaran aliran bahan bakar di dalam filter, pompa, dan injektor.
Sedangkan pour point adalah temperatur terendah yang masih memungkinkan
terjadinya aliran bahan bakar; di bawah pour point bahan bakar tidak lagi bisa

mengalir karena terbentuknya kristal/gel yang menyumbat aliran bahan bakar.


Pada umumnya permasalahan pada aliran bahan bakar terjadi pada temperatur
diantara cloud dan pour point; pada saat keberadaan kristal mulai mengganggu
proses filtrasi bahan bakar. Dilihat dari definisinya, cloud point terjadi pada
temperatur yang lebih tinggi dibandingkan dengan pour point. Pembentukan
kristal umumnya akan membentuk suspensi agak berkabut, temperatur dibawah
cloud point terbentuk kristal lebih besar.
Pada umumnya, cloud dan pour point biodiesel lebih tinggi dibandingkan dengan
solar. Hal ini bisa menimbulkan masalah pada penggunaan biodiesel, terutama, di
negara-negara yang mengalami musim dingin. Untuk mengatasi hal ini, biasanya
ditambahkan aditif tertentu pada biodiesel untuk mencegah aglomerasi kristalkristal yang terbentuk dalam biodiesel pada temperatur rendah. Selain
menggunakan aditif, bisa juga dilakukan pencampuran antara biodiesel dan solar.
Pencampuran (blending) antara biodiesel dan solar terbukti dapat menurunkan
cloud dan pour point bahan bakar.
Teknik lain yang bisa digunakan untuk menurunkan cloud dan pour point bahan
bakar adalah dengan melakukan winterization (Knothe,G., 2005). Pada metode
ini, dilakukan pendinginan pada bahan bakar hingga terbentuk kristal-kristal yang
selanjutnya disaring dan dipisahkan dari bahan bakar. Proses kristalisasi parsial ini
terjadi karena asam lemak tak jenuh memiliki titik beku yang lebih rendah
dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Maka proses winterization sejatinya
merupakan proses pengurangan asam lemak jenuh pada biodiesel. Di sisi lain,
asam lemak jenuh berkaitan dengan angka setana. Maka proses winterization bisa
menurunkan angka setana bahan bakar.
Namun demikian, karakteristik biodiesel pada temperatur rendah ini tidak terlalu
menjadi masalah untuk negara dengan temperatur tinggi sepanjang tahun, seperti
India.

2.8.4 Angka Iodium


Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak, mampu menyerap sejumlah
iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap
menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tak jenuh (Ketaren, S., 2006).
Angka iodium pada biodiesel menunjukkan tingkat ketidakjenuhan senyawa
penyusun biodiesel. Naiknya ketidakjenuhan metil ester dapat meningkatkan
emisi gas NOX , sehingga makin tnggi angka iod makin tinggi gas NOX yang
dihasilkan.
Di satu sisi, keberadaan senyawa lemak tak jenuh meningkatkan performansi
biodiesel (angka setana) pada temperatur rendah, karena senyawa ini memiliki
titik leleh (melting point) yang lebih rendah (Knothe, G., 2005) sehingga
berkorelasi pada cloud dan pour point yang juga rendah. Namun di sisi lain,
banyaknya senyawa lemak tak jenuh di dalam biodiesel memudahkan senyawa
tersebut bereaksi dengan oksigen di atmosfer dan.bisa terpolimerisasi membentuk
material serupa plastik. Oleh karena itu, terdapat batasan maksimal harga angka
iod yang diperbolehkan untuk biodiesel, yakni 115 berdasarkan kualitas biodiesel
menurut SNI-04-7182-2006. Di samping itu, konsentrasi asam linolenic dan asam
yang memiliki 4 ikatan ganda masing-masing tidak boleh melebihi 12 dan 1%.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Mercedez-Benz menunjukkan bahwa
biodiesel dengan angka iodine lebih dari 115 tidak bisa digunakan pada kendaraan
diesel karena menyebabkan deposit karbon yang berlebihan. Meski demikian,
terdapat studi lain yang menghasilkan kesimpulan bahwa angka iodine tidak
berkorelasi secara signifikan terhadap kebersihan dan pembentukan deposit di
dalam ruang bakar.
2.8.5 Kadar Air
Kadar air

menunjukkkan persentase air yang terkandung dalam bahan

bakar. Schindlbauer (1998) menyebutkan bahwa fattty Acid Methyl Esters


(FAME) bersifat higroskopis dan dapat mengandung air sampai 1600 ppm yang

terlarut sempurna dengan biodiesel. Pada temperatur yang sangat dingin, air yang
terkandung dalam bahan bakar membentuk kristal dan menyumbat aliran bahan
bakar dan bersifat korosif. Kadar air tinggi yang terdapat pada biodiesel diduga
bahwa reaksi transesterifikasi dan proses pencucian masih belum sempurna. Pada
saat penyimpanan akan menimbulkan reaksi balik kekiri atau dengan kata lain
akan terbentuk kembali trigliserida dan basa.

Anda mungkin juga menyukai