Anda di halaman 1dari 10

Kebijakan Pengendalian Tembakau untuk Provinsi dan

Kabupaten/Kota
Bukan Penghasil Rokok/Tembakau di Indonesia

Pendahuluan
Dua dari tiga laki-laki dewasa Indonesia adalah perokok dengan rata-rata
konsumsi rokok 13 batang per hari1. Kenyataan ini membawa Indonesia
berada pada urutan ketiga dunia dengan jumlah perokok laki-laki dewasa
terbanyak di bawah China dan India. Meskipun rata-rata usia mulai
merokok adalah 17,6 tahun namun sekitar 75% perokok Indonesia
memulai merokok sebelum berusia 20 tahun. Sebanyak 78,4% mereka
yang berusia 15 tahun ke atas terpapar asap rokok di rumah, 63,4% di
kantor pemerintah, 17,9% di fasilitas kesehatan, 85,4% di restoran, dan
70% di sarana transportasi umum1.
Policy brief ini dimaksudkan sebagai bahan acuan pemerintah daerah non
penghasil tembakau/rokok untuk melindungi masyarakat dari paparan
asap rokok melalui upaya pencegahan dan promosi kesehatan serta
untuk menyelamatkan keuangan daerah dari pembiayaan kesehatan
berbagai penyakit yang dipicu oleh rokok.
Prevalensi perokok harian di Indonesia
tahun 2010 (Berdasarkan Provinsi)

Tidak ada perbedaan prevalensi perokok


antara provinsi penghasil tembakau/rokok dan
provinsi yang tidak menghasilkan
tembakau/rokok, dimana sebagian besar
prevalensi keduanya berada di atas rata-rata
prevalensi nasional.

Dampak negatif Produk Tembakau bagi


Kesehatan

Produk Tembakau merupakan zat adiktif yang


penggunaannya dapat menimbulkan kerugian
bagi dirinya dan masyarakat sekelilingnya3

Di dalam setiap batang Rokok yang


dibakar terdapat lebih dari 4.000 (empat ribu)
zat kimia antara lain Nikotin yang bersifat
adiktif dan Tar yang bersifat karsinogenik
(pemicu timbulnya kanker).

Zat kimia yang terdapat dalam sebatang


rokok sebagian besar telah diidentifikasikan
sebagai pemicu penyakit tidak menular

seperti penyakit jantung, penyakit pernafasan


akut, kanker, stroke, dan diabetes.

Sebanyak 64% dari seluruh kematian di


Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak
menular dimana 1 dari 3 orang yang
meninggal dunia adalah mereka yang berusia
di bawah 60 tahun.4

Risiko kesehatan yang didapat perokok


pasif (orang yang secara tidak langsung
menghirup asap rokok dari orang yang
merokok) adalah sama berbahayanya dengan
perokok aktif.

Cukai Rokok dan Penyaluran Dana Bagi


Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT)5

Rokok merupakan barang hasil


tembakau yang dikenakan cukai karena
memiliki sifat atau karakteristik: (1)
Konsumsinya perlu dikendalikan; (2)
Peredarannya perlu diawasi; (3)
Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak
negatif bagi masyarakat dan lingkungan.
Cukai rokok dibayar oleh perokok
melalui pabrik rokok/importir rokok
untuk kemudian disetor ke kas Negara.

Penerimaan Negara dari cukai rokok


meningkat setiap tahunnya seiring dengan
peningkatan jumlah perokok.

Penerimaan Negara dari cukai rokok


pada tahun 2010 adalah Rp. 63,2 Triliun dan
tahun 2012 sebesar Rp. 77 Triliun.
Diantara 33 provinsi di Indonesia, hanya
16 yang menerima penyaluran Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBHCHT) pada tahun 2012.

Sebanyak 2% dari total pendapatan


cukai rokok didistribusikan pemerintah pusat
kepada daerah penghasil tembakau/rokok
dalam bentuk DBHCHT.

DBHCHT dapat dimanfaatkan untuk


penetapan kawasan tanpa rokok (KTR) dan
penyediaan fasilitas perawatan kesehatan
bagi penderita akibat dampak rokok
(pembinaan lingkungan sosial).
Sebanyak 17 provinsi non penghasil

tembakau/rokok tidak menerima DBHCHT


dan pendapatan lain dari tembakau/rokok.

Provinsi yang bukan penghasil


tembakau/rokok harus mengelola anggaran
daerahnya dengan lebih baik agar tidak
terjadi pengeluaran yang berlebihan untuk
membayar biaya pengobatan berbagai
penyakit yang diakibatkan oleh rokok.
Dengan demikian provinsi yang tidak
menghasilkan tembakau/rokok merupakan
daerah yang secara ekonomi dan kesehatan
dirugikan oleh kegiatan merokok warganya.

Beban Ekonomi terkait Tembakau6


Pembelian rokok
53,20%
Productivitas yang
hilang*

40,60%

Biaya rawat inap


5,51%
Biaya rawat jalan
0,69%

Total kerugian ekonomi


yang ditimbulkan rokok
pada
tahun
2010
diperkirakan mencapai Rp.
245,41 Trilliun, dengan
proporsi:
*Produktivitas yang hilang
adalah penghasilan yang
hilang akibat tidak bekerja
karena sakit terkait rokok.
Beban ekonomi terkait
tembakau (Rp. 245,41
Trilliun) hampir 4 (empat)
kali lebih besar daripada
pendapatan Negara dari
cukai rokok pada tahun
2010 (Rp. 63,2 Triliun).

Rekomendasi :
Karena sebagian besar penyakit yang dipicu oleh rokok DAPAT DICEGAH,
maka tindakanyang perlu dilakukan oleh pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota yang tidak mendapatkan penyaluran DBHCHT adalah
dengan melindungi masyarakat dari paparan asap rokok melalui upaya
pencegahan dan promosi kesehatan serta untuk menyelamatkan
keuangan daerah dari pembiayaan kesehatan berbagai penyakit yang
dipicu oleh rokok, berupa:
1. Kebijakan

I.

Menetapkan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok


(KTR)

1.

Sebagai payung hukum untuk melindungi mereka yang tidak


merokok

2.

Amanah UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 115


(ayat 2): pemerintah daerah berkewajiban untuk menetapkan kawasan
tanpa rokok3.

3.

Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan


Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan, pasal 52:Pemerintah Daerah Wajib menetapkan Kawasan
Tanpa Rokok di Wilayahnya dengan Peraturan Daerah7

4.

Kawasan Tanpa Rokok antara lain3,7: (1) Fasiitas Pelayanan


Kesehatan; (2) Tempat Proses Belajar Mengajar; (3) Tempat Anak Bermain;
(4) Tempat Ibadah; (5) Angkutan Umum; (6) Tempat Kerja; dan (7) Tempat
Umum dan Tempat Lain yang Ditetapkan.

II.

Pelarangan iklan dan promosi


1.

Amanah UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal


59 dan pasal 67: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada
anak yang menjadi korban penyalahgunaan zat adiktif.8

2.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa iklan, promosi, dan


sponsor Rokok menimbulkan keinginan anak-anak untuk mulai merokok,
mendorong anak-anak perokok untuk terus merokok dan mendorong
anak-anak yang telah berhenti merokok untuk kembali merokok.

3.

Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota seharusnya


melarang seluruh iklan rokok di media masa, termasuk iklan media luar
ruang dan radio.

4.

Pelarangan juga harus dilakukan terhadap promosi dalam


berbagai bentuk lainnya seperti pemberian diskon, hadiah, dan
peningkatan citra dengan menggunakan merek atau nama perusahaan
rokok.

5.

Sponsorship perusahaan rokok dalam bentuk beasiswa, bantuan


untuk pendidikan, lingkungan hidup, serta peristiwa seni budaya dan
olahraga harus dilarang.

6.

Pelarangan iklan dan promosi adalah bentuk pencegahan


terhadap perkembangan penyakit dan beban keuangan.

7.

Kehilangan pendapatan dari pajak reklame rokok dapat


digantikan dengan pemasukan pajak reklame dari produk lain yang tidak
terkait dengan rokok.

8.

Pendapatan dari pajak reklame produk rokok sangat kecil yaitu


hanya sebesar 0,12%-1,01% dari total Pendapatan Asli Daerah.9

III.

Mendorong pemerintah pusat dan Kementrian Kesehatan untuk


segera menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian
Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control - FCTC).
1.

Epidemi tembakau merupakan masalah global sehingga perlu


ditangani secara bersama oleh masyarakat dunia secara serentak.

2.

Indonesia belum menjadi bagian FCTC sementara 176 negara


(mewakili 88% populasi dunia) telah menjadi bagian dari FCTC. 10

3.

Apabila Indonesia tidak segera meratifikasi FCTC, maka epidemi


tembakau dunia akan terkonsentrasi di Indonesia dan hal ini akan
membawa bangsa Indonesia kepada kehancuran karena beban ekonomi
yang tinggi dari produk tembakau dan berbagai penyakit yang
ditimbulkannya.

4.

Kerangka FCTC tersebut meliputi:11 (1) Peningkatan pajak cukai


tembakau; (2) Pelarangan iklan rokok; (3) Penerapan kawasan tanpa rokok
yang komprehensif; (4) Peringatan kesehatan bergambar pada bungkus
rokok; (5) Membantu orang yang ingin berhenti merokok; (6) Pendidikan
masyarakat.

2. Pemberdayaan Masyarakat

1.

Pemberian informasi kesehatan yang benar dan pembentukan


pendidik sebaya di kalangan remaja.

a.

Remaja perlu dibekali dengan informasi dan pemahaman yang


benar tentang bahaya merokok dan pembohongan serta eksploitasi oleh
industri rokok dimana mereka adalah sasaran pasar potensial.

b.

Pendidik sebaya berfungsi sebagai teman yang akan


memberikan pemahaman tentang bahaya merokok bagi mereka yang
tidak merokok dan memberikan tips untuk berhenti merokok untuk remaja
yang sudah merokok.

2.

Mendorong gerakan masyarakat demi terciptanya rumah bebas


asap rokok untuk melindungi perokok pasif

a.

Selain risiko terkena penyakit Jantung yang disebabkan oleh


asap rokok, Perokok Pasif berisiko terkena penyakit kanker 30% (tiga
puluh persen) lebih besar dibandingkan dengan yang tidak terpapar asap
Rokok.

b.

Oleh karena itu, menciptakan Rumah Bebas Asap


Rokok merupakan hal yang harus segera dilakukan untuk melindungi
orang yang dicintai dari paparan asap rokok.

c.

Perjanjian sosial (deklarasi) yang mengikat dalam sebuah


komunitas perlu segera dibuat, meliputi:

a.

Tidak merokok di dalam rumah

b.

Tidak merokok dalam pertemuan

c.

Tidak menyediakan asbak

d.

Gerakan rumah bebas asap rokok dapat berhasil apabila


dilakukan secara serentak oleh semua warga negara dan didukung oleh
pihak-pihak terkait seperti pusat kesehatan, dan pemerintah daerah.

e.

Rumah bebas asap rokok adalah upaya yang sangat mungkin


diwujudkan, seperti yang telah dilaksanakan di Kota Yogyakarta. Hasil
penelitian Quit Tobacco Indonesia(QTI) pada tahun 2011 di empat
lingkungan perumahan di Yogyakarta menemukan bahwa dalam satu
tahun gerakan rumah bebas asap rokok, hanya 39% dari 54% perokok
yang masih merokok di dalam rumah. Angka ini jauh menurun jika
dibandingkan dengan 87% sebelum studi dilaksanakan.12

3. Kesehatan

1.
a.

Klinik Berhenti Merokok


Upaya untuk menolong perokok yang ingin berhenti merokok.

b.

Hasil studi menunjukkan bahwa sekitar 70% perokok ingin


berhenti merokok, 46% perokok berusaha berhenti merokok dan hanya
3% yang berhasil berhenti merokok tanpa bantuan orang lain. Sebagian
besar dari mereka berfikir untuk berhenti merokok ketika sakit.13

c.

Klinik berhenti merokok dapat ditempatkan di Puskesmas,


klinik swasta, dan rumah sakit.

d.

Klinik berhenti merokok merupakan pelayanan yang tidak


dipungut biaya.

2.

Perhatian dari Tenaga Kesehatan

1. Setiap tenaga kesehatan, khususnya dokter harus memberi perhatian


dengan bertanya mengenai kebiasaan merokok pasien dan mencatatnya
dalam catatan medis pasien.
2. Tenaga kesehatan harus memberikan nasihat secara terus menerus
kepada pasien yang merokok untuk berhenti merokok dan
menganjurkannya untuk dating ke klinik berhenti merokok terdekat

Anda mungkin juga menyukai