Anda di halaman 1dari 14

DINAMIKA HUKUM ISLAM:

dari Tren Evolusi ke Revolusi


Alamsyah
Abstrak

Islamic law has evolved and changed in aspects of


theory (usul al-fiqh) and matter (fiqh) for several
centuries. These changes are quite significant, but is
slow or evolution in the long term. In the last century,
Islamic law changes rapidly and fundamentally, known
as the revolution of Islamic law. The new
methodology and theory of Islamic law has been
emerging and developing to respond and answer the
needs of the Islamic law that carries the spirit of the
modern world. Several theories of Islamic law are
questioned and criticized and then introduced the new
legal theory. The qath'i legal concepts that contain a
definite meaning and can not be changed, now
criticized and considered as zhanni that speculative and
may accept the changes. The theocentric fiqh,
authoritarian and feudalistic, replaced with that
anthropocentric fiqh, democratic, and humanist.
Various reforms were essentially ends at the same goal,
which is to realize the beneficiaries, justice, equality,
legal equality, rights and obligations, and prosperity for
all.
Kata Kunci: Evolusi, Revolusi, Qathi, Zhanni, dan
Maslahat

Dosen Fakultas Syariah dan Program Pascasarjana IAIN Raden Intan


Lampung.

Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012

A. Pendahuluan
volusi dan revolusi, 1 termasuk syariat atau hukum,
merupakan Sunnatullah. Syariat yang diturunkan oleh
Allah swt kepada para nabi dan rasul selalu berubah,
dari yang berkarakter ekstrim (syariat Musa as), etis (syariat Isa
as), sampai moderat (syariat Muhammad saw). 2 Dinamika syariat
tersebut merupakan rahmat Allah swt untuk mewujudkan keadilan,
kebaikan dan kesejahteraan manusia. Oleh karena parameter
kemaslahatan dan cara mewujudkannya berbeda, maka syariat
yang ditetapkan juga tidak sama sesuai dengan perbedaan umat
manusia, budaya, geografis, dan berbagai tantangan yang dihadapi.
Gradualisasi hukum yang diturunkan oleh Allah swt dalam
wahyu al-Qurn dan dijabarkan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya
adalah bukti konkrit dari karakter dinamis hukum Islam.
Kategorisasi ayat makkiyah dan ayat madaniyyah, nsikh dan manskh,
asbabun nuzl atau asbbul wurd, bukan sekedar menunjukkan
perbedaan waktu dan tempat turunnya al-Qurn atau munculnya
hadis, tetapi lebih mendasar lagi adalah untuk memperlihatkan
dinamika perubahan hukum dan metode, baik dengan perubahan
drastis seperti hak kewarisan maupun lambat seperti poligami dan
perbudakan. Walaupun demikian, semua itu diyakini bermuara
kepada satu tujuan asasi yaitu kemaslahatan manusia (mashlih alanm).
Dari fenomena sejarah perkembangan hukum yang sangat
panjang di atas, lalu diikuti dengan pergantian syariat yang
beragam, namun juga tetap ada aturan hukum yang sama, maka
ulama klasik sampai modern sepakat ada dimensi hukum al-Qurn
dan al-Sunnah yang bersifat tetap, final dan tidak pernah
1Evolusi adalah proses perubahan secara berangsur-angsur menjadi
bentuk lain (lebih kompleks atau lebih baik). Sedangkan revolusi adalah
perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan
menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Karakter revolusi
adalah perubahan drastis, mendasar, mendobrak dan membangun.
2Makna, asal usul, sejarah, perkembangan, prinsip, benang merah
persamaan dan perbedaan syariat berbagai umat, dapat dibaca dalam:
Muhammad Sad al-Asmawi, Ushl al-Syarah, (Beirut: al-Maktabah alTsaqafiyah, 1992)

Jurnal Pengembangan Masyarakat

Dinamika Hukum Islam (Alamsyah)

berubah(qathi), dan ada pula dimensi yang dapat berubah dan tidak
pernah final (zhanni), sejalan dengan perkembangan pemahaman
dan tujuan kebaikan yang ingin diwujudkan. Upaya terus menerus
menemukan dimensi hukum yang abadi dan berubah untuk
mewujudkan kemaslahatan inilah yang melahirkan dinamika
hukum Islam yang kaya dengan perbedaan dan selalu ada semangat
pembaharuan, baik evolutif maupun revolutif.
B. Pembahasan
1. Dinamika Evolutif Hukum Islam
Karakter pemikiran hukum Islam klasik tergambar dari
beberapa konsep a.l: Iza shahha al-hads fahuwa mazhab (jika hadis itu
telah shahh maka itulah mazhabku), la masgha lil ijtihd fi maurid alnash (masalah yang telah ada nash tidak boleh lagi diijtihdi).
Konsep populer ini menunjukkan sumber utama hukum Islam
klasik adalah nash/teks, baik al-Qurn atau al-Sunnah.
Konsekuensinya, metode terpenting dalam menggali hukum adalah
bahasa. Implikasinya, trend kajian pemikiran hukum Islam (ushl alfiqh) didominasi oleh kaidah kebahasaan (qidah lughawiyah) atau
logika bahasa (seperti mantiq) yang deduktif dan sulit menerima
perubahan. Sedangkan hukum dari realitas empiris (al-adat, syaru
man qablana, dan sains misalnya) dan nalar rasio (istihsn) menjadi
langka dan sulit diterima.
a. Fiqh Bayani Era Klasik
Mayoritas ulama menggariskan hukum Islam berasal dari
wahyu yang secara verbal termuat dalam mushaf al-Qurn,
sedangkan mushaf itu sendiri ditulis dalam teks atau nash. Dengan
demikian, hukum Islam bersumber dari nash, dan karena itu pula
metode paling dominan adalah penggalian hukum dari nash
(istinbath) dan bukan dari luar nash atau dari nash yang zhanni
(ijtihd). Oleh karena itu wacana istinbath dan ijtihd lebih
didominasi kajian teks atau kebahasaan, termasuk pembahasan teks
qathi dan zhanni. Filosof Islam menyebut trend demikian sebagai
pola pikir bayani. 3
3Muammad bid Al-Jbiri, Bunyah al-Aql al-Arabi; Dirsah Talliyah
Naqdiyah (Beirut: Markaz Dirsat al-Arabiyat, 1992)

Program Pascasarjana IAIN Raden Intan

Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012

Konsep qathi di mata kebanyakan ulama hanya dilihat dari


aspek bahasa. Suatu nash (ayat al-Qurn atau hadis) dianggap
sebagai qathi jika lafaz dalam nash tersebut memiliki makna yang
jelas (sharh) dan final (qath). Inilah yang dipertahankan oleh
Wahbah Zuhailiy, Muhammad Ab Zahrah, dan Abdul Wahhb
Khallf. Oleh karena itu Abd al-Wahhab Khallaf mendefinisikan
qathi dallah adalah suatu lafal yang pemahaman maknanya sudah
tertentu, tidak mengandung kemungkinan tawil, dan tidak dapat dipahami
dengan makna lainnya. 4 Ayat atau hadis qathi ini antara lain banyak
berkaitan dengan jumlah bagian waris, batas had uqbah, dan jenisjenis barang wajib zakat.
Lafaz yang zhanni dallah adalah lafaz yang menunjukkan
satu makna tetapi masih mungkin untuk ditawil dan dialihkan dari makna
tersebut kepada makna lain. Misalnya lafal qur pada ayat tentang
iddah perempuan yang ditalaq rajiy, atau kata al-maitah yang
berarti bangkai pada surat al-maidah ayat tentang makananmakanan yang diharamkan. 5
Ulama ushl menggarisbawahi ijtihd tidak boleh dilakukan
terhadap teks hukum yang mengandung makna qathi atau kasus
hukum yang telah diatur dalam teks yang qathi. Teks hukum yang
telah qathi petunjuk hukumnya tidak dapat dijadikan ajang
pembahasan, baik tentang jumlah, cara, atau bentuk pelaksanannya.
Oleh karena itu tidak boleh dilakukan ijtihd tentang jumlah
cambuk yang harus dijatuhkan terhadap pelaku zina, sebab aturan
tersebut telah diatur secara jelas dalam Q.S. an-Nur ayat 3.
Demikian pula tidak boleh dilakukan ijtihd terhadap ketentuan
hadis mutawtir dan sharh tentang macam-macam harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya, jumlah nishb, dan jumlah wajib zakatnya.
Kewajiban umat Islam hanya menerapkan hukum-hukum dalam
teks-teks qathi tersebut. Pelaksanaan hukum yang sudah qathi
harus tepat, tidak boleh lebih dan tidak kurang (l aktsar wa l
aqall). 6

4Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Jakarta: al-Majlis al-Ala alIndunisiy li al-Dawah al-Islamiyah, 1972) h. 35.
5Ibid.
6Ibid, h. 216.

Jurnal Pengembangan Masyarakat

Dinamika Hukum Islam (Alamsyah)

Definisi, penjelasan dan contoh-contoh yang dikemukakan


para ulama ushl di atas menunjukkan secara jelas bahwa konsep
qathi-zhanni lebih banyak berangkat dari analisis bahasa (lughah).
Hal ini tentu berdampak terhadap ruang lingkup dan keleluasaan
berijtihd. Oleh karena konsep qathi zhanni didominasi aspek
kebahasaan, maka kajian dalil hukum Islam era klasik terfokus pada
kajian teks yang amm-khass, mujmal-mubayyan, mutlaq-muqayayad,
muhkam-mutasybih, dsb, atau yang lebih populer dalam disiplin ilmu
ushl al-fiqh sebagai kajian qidah ushliyyah lughawiyyah.
Trend pemikiran inilah yang oleh Muhammad Abid alJbiri dinamakan sebagai epistemologi Bayani, yang sangat
mengagungkan bayan atau teks. Oleh karena dunia intelektual
muslim didominasi pemikiran nash bayani , maka peradaban Islam
digolongkannya sebagai peradaban teks (al-hadhrah al-nashshiyah).
Pola pemikiran hukum Islam yang bayani lughawi ini bersifat
deduktif dengan logika bahasa. Hukum dalam suatu teks menjadi
dasar pijakan paling kokoh untuk dianalogikan kepada berbagai
kasus atau persoalan yang belum ada nashnya.
Konsep bayani seperti ini tentu banyak mengabaikan aspek
realitas empiris yang menyebabkan datangnya suatu nash. Hal lain
yang juga terlewatkan oleh konsep ini adalah tujuan hakiki di balik
dalil tertulis (al-maqshid wara al-nushsh). Pemahaman tekstual
dirasakan sangat lambat dalam merespon persoalan yang terjadi,
berat menghadapi perubahan sosial, sehingga pemahaman
demikian sulit terus dipertahankan. Oleh karena itu muncul
beberapa ulama ternama abad pertengahan yang mendobrak
kebekuan pemahaman dalil hukum Islam yang terlalu lughawi bayni
dengan menawarkan konsep talli.
b. Fiqh Talli Abad Tengah
Ilmuan seperti al-Ghazli melihat, nash al-Qurn dan alSunnah tidak dapat dipahami tekstual lagi karena menyebabkan
terbatasnya daya jangkau hukum. Di sisi lain, pemahaman
demikian juga dapat berakibat terjadinya kekosongan hukum, yaitu
banyak perbuatan atau kasus tanpa kejelasan status dan kekuatan
hukumnya, karena tidak ada nash yang menjelaskannya. Memang
ada kaidah menyatakan al-ashl fi al-asyy al-ibhah hatta yadull al-dall
ala tahrmih, namun tentunya penerapan kaidah ini tetap harus
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan

Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012

dibantu kaidah maslahat dan mudarat serta tidak ada hukum yang
dapat dijadikan analogi terhadap kasus tersebut. Oleh karena itu,
ulama menempuh pendekatan baru, yaitu penetapan motif dibalik
munculnya hukum (legal ratio). Motif inilah yang nanti akan
menentukan status hukum (hukum taklfiy). Dari sini muncul kaidah
al-hukm yadr maa illatih wujdan wa adaman. 7
Banyak ulama ternama lainnya juga telah memberikan
kontribusi terhadap perkembangan teori illat/motif hukum ini.
Pola yang mereka kemukakan sepintas lalu memang berbeda
namun substansinya masih berpijak pada teori illat atau motif
sebagai titik sentral penetapan atau pemberlakuan suatu hukum.
Ab Ishk al-Syirazi dalam kitab al-Luma, Izz Abd Slam dalam
Qawid al-Ahkm fi Mashlih al-Anm mengusung jalbul maslih wa
daful mafsid, Syihb al-Dn Al-Qarfi dalam kitab al-Furq dengan
empat konteks sunnah nabi, serta Ibn al-Qayyim dengan konsep
keadilan syariah (al-syarah hiya al-adl) dalam karyanya Ilm alMuwqi`n. Sedangkan tokoh populer era modern yang trampil
dalam kajian talili, a.l: Yusuf al-Qaradawi atau Ibrahim Hosen dari
Indonesia dalam karyanya M Huwa al-Maisr ?.
Pemahaman nash tanpa diikuti kajian illat menyebabkan
banyak hukum menjadi kering, rigid, dan kehilangan tujuan
substansi. Di negara-negara yang dikuasai kelompok muslim
radikal, banyak dibuat kebijakan pemerintah yang merugikan
rakyat, terutama yang terkait dengan kehidupan kaum perempuan.
Kebijakan yang melanggar prinsip kebebasan masyarakat sipil ini
sering dibuat berdasarkan pemahaman dangkal atas dalil-dalil qathi
(dallah) dan melupakan illat di balik ajaran, seperti dalam
memahami sabda Nabi saw Perempuan tidak boleh bepergian kecuali
bersama mahramnya. 8 Atas dasar pemahaman lughawi di atas, maka
pemerintah Afghanistan di bawah rezim Taliban misalnya,
membuat peraturan perempuan tidak boleh bersekolah formal,

ushl menyatakan, illat atau sebab menentukan berlaku dan tidak


berlakunya suatu hukum. Ada sebab ada hukum dan tidak ada sebab tidak ada
hukum.
8HR. Al-Bukhri dalam kitab Sahih-nya pada bagian Kitab al-Hajj
(Bandung: al-Maarif, tt) dan Software hadis al-Bayn dengan nomor hadis 1729
7Ulama

Jurnal Pengembangan Masyarakat

Dinamika Hukum Islam (Alamsyah)

bekerja di tempat-tempat umum (public sphere), dan menonton


bioskop (belakangan juga berlaku bagi laki-laki).
Sementara itu pemerintah Saudi Arabia, yang menguasai
tanah suci dan mentahbiskan rajanya sebagai Khdim al-Haramain alSyarfain, telah melarang perempuan mengemudikan mobil
berdasarkan fatwa Syekh Abd al-Azz ibn Abd Allah ibn Bz,
seorang mufti kerajaan. 9 Fatwa lain dari Syekh Bin Baz ini adalah
mengharamkan perempuan ziarah kubur. Alasannya perempuan
adalah makhluk yang lemah secara intelektual dan emosional maka
dikhawatirkan melakukan perbuatan terlarang seperti meratap,
merobek pakaian, berteriak, dan memukul-mukul dada. Hal lebih
berbahaya lagi, jika perempuan dibolehkan ziarah kubur, maka
kompleks pemakaman akan penuh menjadi tempat berkumpulnya
kaum perempuan, dan situasi ini akan mengundang para lelaki
tidak bermoral untuk melihat, atau bahkan menggoda dan
menganggu mereka. Singkatnya, ziarah kubur bagi perempuan
hanya akan membawa mudarat dan menjadi sumber fitnah. 10
c. Fiqh Maqashid Awal Modern
Kajian maqshid syariah yang lama tenggelam mendapat
perhatian kembali dari ulama awal modern, seperti Abduh dan
Rasyd Ridh, dan dikembangkan oleh Abdul Wahhb Khallf,
Muhammad ibn Asyr al-Tnisiy, Allal al-Fsiy dan Hasan alTurabi. Maqshid yang dikembangkan masih berwarna kebahasaan
seperti yang disuarakan oleh al-Sythibi atau al-Ghazli. Oleh
karena itu konsep maslahat masih berupa Qidah Lughawiyah
Maknawiyah. 11 Wael Hallaq menyebut trend maqashid ini sebagai
aliran religious utilitiriansm.

9Lihat: Khalid Abou al-Fadhl, Speaking in Gods Name; Islamic Law,


Authority, and Woman, diterjemahkan oleh Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT
Serambi, 2004) cet I, h. 280-281.
10Baca: Fatwa al-Lajnah al-Dimah li al-Buhts al-Ilmiyah wa al-Ifta, h. 100107, Ibn Baz, Majmu al-Fatawa, jld II, h. 753-757. Lihat: Khalid Abou al-Fadhl,
Ibid, h. 267 dan 495.
11Istilah ini berbeda dengan Khallaf yang menyebutnya sebagai Qaidah
Ushuliyyah Tasyriiyah. Lihat, Loc Cit, h. 35

Program Pascasarjana IAIN Raden Intan

Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012

Teori Maqashid mengandung tiga jenis hukum, yaitu


dharuriyyat, 12 hjiyyat, 13 dan tahsniyyat. Maqshid melindungi lima
pilar kehidupan, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan.
Menurut al-Sythibi, konsep maqashid ini dikembangkan
dari karakter ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah. Ayat makkiyah
memuat hukum prinsip (ushliyah), universal (kulliyyah), dan
substansial (assiyah). Konsekuensinya, ayat makkiyah menjadi
sumber, tidak manskh, tidak berubah dan tidak dapat diijtihd lagi.
Sedangkan ayat Madaniyyah memiliki karakter hukum penjabaran
(furuiyyah), kondisional (juz`iyyah), teknikal (tathbqiyyah), ada yang
final atau pasti (qathi) dan ada yang tidak final atau tidak pasti
(zhanni). Konsekuensinya, ayat madaniyah bersifat terapan, dapat
manskh, berubah dan ada yang dapat diijtihd ulang dan ada yang
tidak. 14
Dalam aplikasinya, konsep maslahat yang awalnya sangat
memudahkan dan fleksibel justru dapat menjadi faktor
penghambat dan membawa masyaqqah. Hal ini terjadi karena
maslahat selalu berangkat dari prinsip lebih menekankan larangan
serta menjauhi mudarat dari pada lebih dahulu mempertimbangkan
prinsip kebolehan dan nilai-nilai kebaikan, sebagaimana qaidah
dafu al-mafsid muqaddam ala jalb al-mashlih. Kontroversi fatwa
haram rebonding, perempuan mengojek atau foto wedding,
merupakan contoh kecil fenomena gegabah dalam menerapkan
kaidah tersebut tersebut.
2. Trend Revolutif Dinamika Hukum Islam
Fiqh Islam tekstualis mengalami krisis dalam berhadapan
dengan modernitas sehingga tidak mampu menjawab dengan
relevan, positif dan rekonstruktif. Bahkan sebaliknya pemahaman
tekstual justru melahirkan sikap ekstrim, radikal, menutup diri, dan

kaidah: al-dhararu yuzal, la dharar wa la dhirar, al-dharar la yuzal


bil dharar, al-dharurat tubih al-mahzhurat
13Kaidahnya: al-masyaqqat tajlib al-taysir, al-harj marfu, al-hajat tanzil manzilah
al-dhrarurat.
14Abu Ishak al-Andalusiy al-Syathibi, al-Muwafaqt (Beirut: Dar al-Fikr,
1995) juz III, h. 35
12Melahirkan

Jurnal Pengembangan Masyarakat

Dinamika Hukum Islam (Alamsyah)

menolak dunia modern. Krisis ini bukan disebabkan kurang taqwa


atau lemah bahasa tetapi ketidaktepatan paradigma, metodologi
dan teori (pemahaman teks al-Qurn dan al-Sunnah). 15 Jawaban
terhadap persoalan modern tidak dapat diserahkan kepada kaidahkaidah kebahasaan lama, juga tidak dapat diselesaikan dengan
berpijak pada konsep maslahah klasik. Perubahan dan penemuan
matode baru adalah keharusan. Perubahan mendasar dalam
pemikiran hukum Islam era modern ini dimulai dengan pergeseran
paradigma (Paradigm Shift), kerangka metodologis (methodological
frame), kerangka teoritis (theoritical frame), dan produk hukum (fiqh).
Ulama
revolutif-dekonstruktif-rekonstruktif
seperti
Muhammad Said al-Asymawi (fiqh substansial), Fazlur Rahman
(fiqh etis), Muhammad Syahrur (fiqh hudud-sains), Khaled Abou
al-Fadhl (fiqh otoritatif), Mahmoud Mohammed Toha dan
Abdullahi Ahmed An-Naim (fiqh Demokratis) merupakan sedikit
ulama yang terus menyerukan perlunya pembaharuan untuk
mengatasi stagnasi hukum dan sikap ekslusif umat.
3. Pergeseran kepada Paradigma Revolutif
Teori hukum Islam klasik dibangun di atas paradigma
dunia abad tengah dan klasik yang teosentris, tribalisme (ashabiyah),
dan feodalisme. Sejalan dengan perubahan dunia Islam dari abad
tengah ke era modern, maka paradigma baru harus dibangun juga
untuk menjadi spirit hukum Islam yang modern. Paradigma
modern ini adalah membangun demokrasi (syr), menghargai
pluralisme (khilfiyah wa taaddudiyah), memperjuangkan
egaliterianisme (muswah), pemberdayaan kaum yang lemah seperti
perempuan (tahrr al-mar`ah), menegakkan hak asasi manusia (alhuqq al-assiyah dan maqshid syarah), prinsip antroposentris (alhukm li mashlih al-ibd), dan penguatan civil society (amar maruf
nahy munkar). Perubahan drastis tersebut dijustifikasi oleh Syahrr
dalam ungkapan gamblangnya kullu syai mutaghayyir nisbi hlik
illa Allah artinya segala sesuatu dapat berubah relatif
musnah kecuali Allah. 16
15Muhammad Syahrr , al-Kitb wa al-Qurn; Qirah Mushirah
(Damaskus: Dar al-Ahli li al-Thibah, 1991), h. 579.
16Ibid

Program Pascasarjana IAIN Raden Intan

10 Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012

Teori revolutif ini banyak diinspirasi oleh karakter dan


kategori Makkiyah dan Madaniyyah yang telah ada, namun dengan
beberapa perubahan mendasar. Jika Makkiyah-Madaniyyah selama
ini dipahami sangat teknis sebatas perbedaan waktu atau tempat
turunnya al-Qurn, maka sekarang harus dipahami untuk
menunjukkan perbedaan substansi dan tujuannya.
Ayat-ayat makkiyah memuat hukum yang prinsipil
(ushliyah), universal (kulliyyah), dan substansial (assiyah) yang
membawa spirit keadilan, persamaan dan pembebasan, seperti
keharusan menjaga lima pilar kehidupan (al-kulliyah al-khamsah; hifz
al-dn, al-nafs, alaql, al-ml, al-nasl). Konsekuensinya, ayat makkiyah
bersifat qathi, tidak mansukh, tidak berubah, dan tidak dapat
diijtihd lagi. Spirit dan prinsip-prinsip ayat-ayat makkiyah inilah
yang harus menjadi ruh, orientasi, norma dan acuan dalam
memahami hukum-hukum yang termuat dalam berbagai ayat
madaniyah.
Sedangkan ayat-ayat madaniyyah berkarakter hukum
penjabaran (furiyyah) dari ayat-ayat makkiyah yang prinsipil.
Ketentuan hukum di dalamnya juga bersifat kondisional (juz`iyyah)
sesuai dengan tingkat tantangan kehidupan dan kemajuan
peradaban umat Islam era Madinah. Karakter hukum dalam ayatayat madaniyah bercorak teknikal terapan (tathbqiyyah) dari asasasas hukum ayat makkiyah. Konsekuensinya, ayat madaniyyah
membawa hukum yang tidak final (zhanni), bersifat kondisional,
temporer, berubah, terjadi manskh, dan boleh diijtihd ulang. 17
Dengan spirit makkiyah dan aplikasi madaniyyah di atas,
maka an-Nam menegaskan penghapusan sanksi hukuman bagi
orang murtad, menghilangkan kategori dan diskriminasi warga
negara muslim dan non muslim atau dr al-harb dan dr al-Islm,
serta keharusan membangun kesetaraan gender, 18 bahkan KH.
Husen Muhammad, dari Pesantren Daarut Tauhid, Arjawinangun,

17Mahmoud Mohammed Toha, al-Rislah al-Tsniyyah, diterjemahkan


menjadi Syariah Demokratik (Surabaya: penerbit Risalah Gusti, 9001)
18Abdullahi Ahmed An-Nam, Dekonstruksi Syariah (Yogyakarta: LkiS,
1996)

Jurnal Pengembangan Masyarakat

Dinamika Hukum Islam (Alamsyah) 11

Cirebon, menegaskan perempuan boleh menjadi imam salat bagi


makmum laki-laki. 19
4. Dekonstruksi ke Rekonstruksi Substansi Hukum
Perubahan drastis dan mendasar ini juga dengan
membongkar (dekonstruktif) teori qathi dan zhanni klasik untuk
kemudian dibangun produk fiqh yang relevan dengan semangat
zaman (rekonstruktif). Dalam pandangan revolutif Fazlur Rahman,
nilai qathi dan tidaknya suatu nash bukan pada ketegasan makna
suatu lafaz/kata dalam nash, tetapi lebih pada substansi makna dan
kesatuan maksud dari nash itu sendiri atau bersama nash lainnya.
Substansi wahyu al-Qurn adalah menegakkan nilai moral etis,
seperti keadilan sosial, persamaan, dan misi pembebasan, serta
menghapus kezaliman, ketidakberdayaan dan diskriminasi. Inilah
nilai-nilai dasar dan faktor historis yang bernilai qathi dan harus
selalu diperjuangkan. Nilai-nilai inilah yang menjadi maqshid
(tujuan pokok) syariat yang harus dijadikan patokan dalam
membaca teks (al-ibrah bi al-maqshid la bi alfz). Namun hal ini
banyak terabaikan dalam membaca nash wahyu, sehingga kajian alQurn atau al-Sunnah selama ini hanyut pada huruf dan bunyi,
sebagaimana terlihat pada dominasi kaidah al-ibrah bi umm allafzh l bi khuss al-sabab.
Selain itu, jika fiqh evolutif klasik sangat concern
mementingkan cara atau teknik (kaifiyat) dilaksanakannya suatu
perintah atau larangan, maka fiqh revolutif modern lebih
memperhatikan tujuan di balik perintah atau larangan. Oleh karena
itu, teknik dapat diubah atau dipertahankan tergantung masih
efektif atau tidak dalam mewujudkan tujuan hakiki dari nash itu
sendiri, kecuali teknik ibadah mahdhah seperti salat.
Konsep qathi dan zhanni yang substansialis ini jelas
berimplikasi luas terhadap pola dan materi fiqh. Misalnya, nilai
qathi ayat waris untuk pria dan wanita bukan pada ketentuan 2 : 1
(liz zakar mitsl hazh al-untsayain) tetapi pada tujuan hakiki ayat untuk
menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Formula 2 : 1 hanya
merupakan teknik (waslah) untuk mencapai tujuan keadilan saat itu

19KH

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 35

Program Pascasarjana IAIN Raden Intan

12 Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012

(li al-waslah hukm al-maqshid). Natijah-nya, teknik dapat berubah


mengikuti tujuan sedangkan tujuan harus selalu dipertahankan.
Dalam semangat dan substansi keadilan yang sama, Syahrr
menyatakan format waris 2 : 1 memang final (qathi) tetapi dalam
konteks maksimal dan minimal. Maka bagian laki-laki tidak boleh
lebih dari 2 karena sudah maksimal tetapi boleh kurang dari itu,
sementara bagian 1 bagi perempuan adalah minimal sehingga boleh
diberi bagian lebih. Dengan demikian, penerapan format bagian
waris anak laki-laki dan perempuan dapat 2 : 1, bisa berubah 1 : 1,
atau menjadi 1 : 2, tergantung kepada kondisi para pihak ahli
waris. 20
C. Penutup
Perkembangan hukum Islam sejak era klasik sampai modern,
baik dengan cara evolutif maupun revolutif, merupakan upaya
pencarian makna hakiki dan pasti dari sumber atau dalil hukum.
Tantangan, kondisi geografis, sosial, ekonomi dan budaya, serta
tingkat perubahan yang berbeda, menyebabkan perbedaan dalam
menemukan, merumuskan dan menjawab persoalan yang terjadi.
Oleh karena itu perbedaan dalam produk hukum fiqh yang
dihasilkan adalah logis sebagai akibat paradigma, metodologi, dan
teori yang dipakai, namun semua bermuara pada tujuan yang sama,
yaitu untuk menegakkan misi khalfah di muka bumi, dalam
mewujudkan rahmat, keadilan masyarakat, persamaan hukum, hak
dan kewajiban, serta kesejahteraan untuk semua.
Wallhu Alam bis Shawb.

20Syahrur,

op cit, h. 457

Jurnal Pengembangan Masyarakat

Dinamika Hukum Islam (Alamsyah) 13

Daftar Pustaka
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Jakarta: al-Majlis al-Ala
al-Indunisiy li al-Dawah al-Islamiyah, 1972
Abou al-Fadhl, Khalid, Speaking in Gods Name; Islamic Law,
Authority, and Woman, diterjemahkan oleh Cecep Lukman
Yasin, Jakarta: PT Serambi, 2004)
Al-Bukhri, Muhammad ibn Ismail, Sahihal-Bukhari, bagian Kitab
al-Hajj, Bandung: al-Maarif, tt.
Al-Jbiri, Muammad bid, Bunyah al-Aql al-Arabi; Dirsah
Talliyah Naqdiyah, Beirut: Markaz Dirsat al-Arabiyat,
1992
Al-Syathibi, Abu Ishak al-Andalusiy, al-Muwafaqt fi Ushul al-Syariat
Beirut: Dar al-Fikr, 1995
An-Nam, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syariah, Yogyakarta:
LkiS, 1996
Bin Baz, Abd al-Aziz, Fatwa al-Lajnah al-Dimah li al-Buhts alIlmiyah wa al-Ifta, dan Majmu al-Fatawa
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2004
Ibrahim Mousa, Hukum Islam Progressif, Jakarta: penrbit PSIP, 2005
Mahmoud Mohammed Toha, al-Rislah al-Tsniyyah, diterjemahkan
menjadi Syariah Demokratik, Surabaya: penerbit Risalah
Gusti, 9001
Wael Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law, London:
Cambridge University Press, 2005

Program Pascasarjana IAIN Raden Intan

14 Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012

Syahrr, Muhammad, al-Kitb wa al-Qurn; Qirah Mushirah,


Damaskus: Dar al-Ahli li al-Thibah, 1991
Said al-Asymawi, Ushul al-Syariat, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi,
1995

Jurnal Pengembangan Masyarakat

Anda mungkin juga menyukai