A. Pendahuluan
volusi dan revolusi, 1 termasuk syariat atau hukum,
merupakan Sunnatullah. Syariat yang diturunkan oleh
Allah swt kepada para nabi dan rasul selalu berubah,
dari yang berkarakter ekstrim (syariat Musa as), etis (syariat Isa
as), sampai moderat (syariat Muhammad saw). 2 Dinamika syariat
tersebut merupakan rahmat Allah swt untuk mewujudkan keadilan,
kebaikan dan kesejahteraan manusia. Oleh karena parameter
kemaslahatan dan cara mewujudkannya berbeda, maka syariat
yang ditetapkan juga tidak sama sesuai dengan perbedaan umat
manusia, budaya, geografis, dan berbagai tantangan yang dihadapi.
Gradualisasi hukum yang diturunkan oleh Allah swt dalam
wahyu al-Qurn dan dijabarkan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya
adalah bukti konkrit dari karakter dinamis hukum Islam.
Kategorisasi ayat makkiyah dan ayat madaniyyah, nsikh dan manskh,
asbabun nuzl atau asbbul wurd, bukan sekedar menunjukkan
perbedaan waktu dan tempat turunnya al-Qurn atau munculnya
hadis, tetapi lebih mendasar lagi adalah untuk memperlihatkan
dinamika perubahan hukum dan metode, baik dengan perubahan
drastis seperti hak kewarisan maupun lambat seperti poligami dan
perbudakan. Walaupun demikian, semua itu diyakini bermuara
kepada satu tujuan asasi yaitu kemaslahatan manusia (mashlih alanm).
Dari fenomena sejarah perkembangan hukum yang sangat
panjang di atas, lalu diikuti dengan pergantian syariat yang
beragam, namun juga tetap ada aturan hukum yang sama, maka
ulama klasik sampai modern sepakat ada dimensi hukum al-Qurn
dan al-Sunnah yang bersifat tetap, final dan tidak pernah
1Evolusi adalah proses perubahan secara berangsur-angsur menjadi
bentuk lain (lebih kompleks atau lebih baik). Sedangkan revolusi adalah
perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan
menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Karakter revolusi
adalah perubahan drastis, mendasar, mendobrak dan membangun.
2Makna, asal usul, sejarah, perkembangan, prinsip, benang merah
persamaan dan perbedaan syariat berbagai umat, dapat dibaca dalam:
Muhammad Sad al-Asmawi, Ushl al-Syarah, (Beirut: al-Maktabah alTsaqafiyah, 1992)
berubah(qathi), dan ada pula dimensi yang dapat berubah dan tidak
pernah final (zhanni), sejalan dengan perkembangan pemahaman
dan tujuan kebaikan yang ingin diwujudkan. Upaya terus menerus
menemukan dimensi hukum yang abadi dan berubah untuk
mewujudkan kemaslahatan inilah yang melahirkan dinamika
hukum Islam yang kaya dengan perbedaan dan selalu ada semangat
pembaharuan, baik evolutif maupun revolutif.
B. Pembahasan
1. Dinamika Evolutif Hukum Islam
Karakter pemikiran hukum Islam klasik tergambar dari
beberapa konsep a.l: Iza shahha al-hads fahuwa mazhab (jika hadis itu
telah shahh maka itulah mazhabku), la masgha lil ijtihd fi maurid alnash (masalah yang telah ada nash tidak boleh lagi diijtihdi).
Konsep populer ini menunjukkan sumber utama hukum Islam
klasik adalah nash/teks, baik al-Qurn atau al-Sunnah.
Konsekuensinya, metode terpenting dalam menggali hukum adalah
bahasa. Implikasinya, trend kajian pemikiran hukum Islam (ushl alfiqh) didominasi oleh kaidah kebahasaan (qidah lughawiyah) atau
logika bahasa (seperti mantiq) yang deduktif dan sulit menerima
perubahan. Sedangkan hukum dari realitas empiris (al-adat, syaru
man qablana, dan sains misalnya) dan nalar rasio (istihsn) menjadi
langka dan sulit diterima.
a. Fiqh Bayani Era Klasik
Mayoritas ulama menggariskan hukum Islam berasal dari
wahyu yang secara verbal termuat dalam mushaf al-Qurn,
sedangkan mushaf itu sendiri ditulis dalam teks atau nash. Dengan
demikian, hukum Islam bersumber dari nash, dan karena itu pula
metode paling dominan adalah penggalian hukum dari nash
(istinbath) dan bukan dari luar nash atau dari nash yang zhanni
(ijtihd). Oleh karena itu wacana istinbath dan ijtihd lebih
didominasi kajian teks atau kebahasaan, termasuk pembahasan teks
qathi dan zhanni. Filosof Islam menyebut trend demikian sebagai
pola pikir bayani. 3
3Muammad bid Al-Jbiri, Bunyah al-Aql al-Arabi; Dirsah Talliyah
Naqdiyah (Beirut: Markaz Dirsat al-Arabiyat, 1992)
4Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Jakarta: al-Majlis al-Ala alIndunisiy li al-Dawah al-Islamiyah, 1972) h. 35.
5Ibid.
6Ibid, h. 216.
dibantu kaidah maslahat dan mudarat serta tidak ada hukum yang
dapat dijadikan analogi terhadap kasus tersebut. Oleh karena itu,
ulama menempuh pendekatan baru, yaitu penetapan motif dibalik
munculnya hukum (legal ratio). Motif inilah yang nanti akan
menentukan status hukum (hukum taklfiy). Dari sini muncul kaidah
al-hukm yadr maa illatih wujdan wa adaman. 7
Banyak ulama ternama lainnya juga telah memberikan
kontribusi terhadap perkembangan teori illat/motif hukum ini.
Pola yang mereka kemukakan sepintas lalu memang berbeda
namun substansinya masih berpijak pada teori illat atau motif
sebagai titik sentral penetapan atau pemberlakuan suatu hukum.
Ab Ishk al-Syirazi dalam kitab al-Luma, Izz Abd Slam dalam
Qawid al-Ahkm fi Mashlih al-Anm mengusung jalbul maslih wa
daful mafsid, Syihb al-Dn Al-Qarfi dalam kitab al-Furq dengan
empat konteks sunnah nabi, serta Ibn al-Qayyim dengan konsep
keadilan syariah (al-syarah hiya al-adl) dalam karyanya Ilm alMuwqi`n. Sedangkan tokoh populer era modern yang trampil
dalam kajian talili, a.l: Yusuf al-Qaradawi atau Ibrahim Hosen dari
Indonesia dalam karyanya M Huwa al-Maisr ?.
Pemahaman nash tanpa diikuti kajian illat menyebabkan
banyak hukum menjadi kering, rigid, dan kehilangan tujuan
substansi. Di negara-negara yang dikuasai kelompok muslim
radikal, banyak dibuat kebijakan pemerintah yang merugikan
rakyat, terutama yang terkait dengan kehidupan kaum perempuan.
Kebijakan yang melanggar prinsip kebebasan masyarakat sipil ini
sering dibuat berdasarkan pemahaman dangkal atas dalil-dalil qathi
(dallah) dan melupakan illat di balik ajaran, seperti dalam
memahami sabda Nabi saw Perempuan tidak boleh bepergian kecuali
bersama mahramnya. 8 Atas dasar pemahaman lughawi di atas, maka
pemerintah Afghanistan di bawah rezim Taliban misalnya,
membuat peraturan perempuan tidak boleh bersekolah formal,
19KH
20Syahrur,
op cit, h. 457
Daftar Pustaka
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Jakarta: al-Majlis al-Ala
al-Indunisiy li al-Dawah al-Islamiyah, 1972
Abou al-Fadhl, Khalid, Speaking in Gods Name; Islamic Law,
Authority, and Woman, diterjemahkan oleh Cecep Lukman
Yasin, Jakarta: PT Serambi, 2004)
Al-Bukhri, Muhammad ibn Ismail, Sahihal-Bukhari, bagian Kitab
al-Hajj, Bandung: al-Maarif, tt.
Al-Jbiri, Muammad bid, Bunyah al-Aql al-Arabi; Dirsah
Talliyah Naqdiyah, Beirut: Markaz Dirsat al-Arabiyat,
1992
Al-Syathibi, Abu Ishak al-Andalusiy, al-Muwafaqt fi Ushul al-Syariat
Beirut: Dar al-Fikr, 1995
An-Nam, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syariah, Yogyakarta:
LkiS, 1996
Bin Baz, Abd al-Aziz, Fatwa al-Lajnah al-Dimah li al-Buhts alIlmiyah wa al-Ifta, dan Majmu al-Fatawa
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2004
Ibrahim Mousa, Hukum Islam Progressif, Jakarta: penrbit PSIP, 2005
Mahmoud Mohammed Toha, al-Rislah al-Tsniyyah, diterjemahkan
menjadi Syariah Demokratik, Surabaya: penerbit Risalah
Gusti, 9001
Wael Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law, London:
Cambridge University Press, 2005