Filsafat (Content)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Ilmu dan moral adalah dua kata yang memiliki makna berbeda namun
sebenarnya kedua makna kata tersebut saling melengkapi dan berhubungan erat
dengan kepribadian seseorang. Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait
dengan masalah moral. Ketika Copernicus (14731543) mengajukan teorinya
tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa "bumi yang berputar
mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam
ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber
pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat
keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai)
yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti
agama.
Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber
pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo
pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut
pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan
konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep
ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep
ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa
teknologi, konflik antarilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam
tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan
gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh
lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut
untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel
menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke
manipulasi .
Dalam tahap manipulasi ilmu, masalah moral muncul kembali. Jika
dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka
dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan
pengetahuan ilmiah atau secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap
pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis
keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral
yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

Moralitas Ilmu Pengetahuan

Filosof beragama biasanya menempatkan kebenaran berpikir manusia


berada di bawah kebenaran transenden. Sebagai sebuah produsen moralitas dan
etika, tak bisa disangkal bahwa doktrin agama akan mengarahkan seseorang
untuk merefleksikan penemuan atau penciptaan sebuah ilmu. Euthanasia, aborsi,
kloning dan penerbangan ke bulan atau produksi tenaga nuklir merupakan
beberapa contoh hasil perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk menciptakan
tatanan manusia yang lebih baik dan beradab, Ketidakmanusiaan merupakan
pelanggaran terhadap etika seorang ilmuwan. Profesi dokter di Indonesia
misalnya, terbatasi oleh etika-aturan yang terakumulasi dalam etika profesi
dokter. Tidak dibenarkan, misalnya, seorang dokter yang sedang melakukan
penelitian virus HN51 menyebarkannya ke lingkungan masyarakat sekitar untuk
mencari obat penawarnya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka diperlukan suatu kajian yang
membahas tentang bagaimana hubungan antara cara penggunaan ilmu dengan
kaidah moral, baik dari segi ontologi maupun aksiologi. Dari segi ontologi perlu
diketahui bagaimanakah hakikat hubungan antara ilmu dan kaidah moral,
sedangkan dari segi aksiologi, perlu dibahas bagaimana aplikasi antara
penggunaan ilmu dengan kaidah moral. Artinya pada tahap-tahap tertentu
kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu
masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh
masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan
sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Sebagai sebuah disiplin ilmu dan keilmuan, didalamnya tekandung nilainilai seperti etika, moral, norma, dan kesusilaan. Demikian pula pada
aplikasinya, seorang ilmuwan dalam kehidupan sehari-hari seakan dituntut
untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, baik saat berpikir
maupun bertindak. Kendati tinggi ilmu seseorang, apabila tidak memiliki nilainilai yang sudah menjadi semacam aturan dalam kehidupannya dan tidak
memanfaatkan ilmu yang dimilikinya untuk kebaikan dan kemaslahatan orang
banyak orang tersebut tidak akan dipandang tinggi.
Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha
berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan
adalah produk dari epistemologi. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada
diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu
sendiri. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai
tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan
itu sendiri. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan
masalah-masalah moral namun dalam perspektif atau pandangan yang berbeda

Moralitas Ilmu Pengetahuan

Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa
ajaran (agama) dan paham (ideologi)sebagai pedoman untuk bersikap dan
bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tujuan
moral adalah mengarahkan sikap dan perilaku manusia agar menjadi baik sesuai
dengan ajaran dan paham yang dianutnya. Manfaat moral adalah menjadi
pedoman untuk bersikap dan bertindak atau berperilaku dalam interaksi sosial
yang dinilai baik atau buruk. Tanpa memiliki moral, seseorang akan bertindak
menyimpang dari norma dan nilai sosial dimana mereka hidup dan mencari
penghidupan.
Tanggung jawab sosial ilmuwan adalah suatu kewajiban seorang
ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan
sosial tersebut. Tanggung jawab merupakan hal yang ada pada setiap makhluk
hidup. Hal demikian dapat dilihat pada manusia yang menunjukkan tanggung
jawabnya dengan merawat dan mendidik anaknya sampai dewasa. Tanggung
jawab terdapat juga pada bidang yang ditekuni oleh manusia, seperti negarawan,
budayawan, dan ilmuwan. Tanggung jawab tidak hanya menyangkut subjek dari
tanggung jawab itu sendiri, seperti makhluk hidup atau bidang yang ditekuni
oleh manusia akan tetapi juga menyangkut objek dari tanggung jawab, misalnya
sosial, mendidik anak, memberi nafkah, dan sebagainya.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang peran moral dalam
perkembangan ilmu pengetahuan untuk membangun peradaban manusia. Dalam
penulisan makalah ini tentunya bertujuan supaya mahasiswa dapat memahami
hubungan antara moral dan ilmu, dan fungsinya untuk membangun peradaban
manusia.

1.2

Rumusan Masalah
1.
2.

Apakah yang dimaksud dengan Moralitas Ilmu ?


Apakah yang dimaksud dengan Moral dan Ilmu

3.

Pengetahuan ?
Bagaimana hakikat hubungan antara Moral dan Ilmu

4.

Pengetahuan ?
Bagaimanakah penerapan hubungan antara moral dengan
ilmu pengetahuan?

Moralitas Ilmu Pengetahuan

1.3

Tujuan Penulisan
1.
2.
3.
4.

Untuk mengetahui Moralitas Ilmu.


Untuk mengetahui Moral dan Ilmu Pengetahuan.
Untuk mengetahui hakikat hubungan antara Moral dan Ilmu Pengetahuan.
Untuk mengetahui penerapan hubungan antara moral dengan ilmu
pengetahuan.

1.4

Manfaat Penulisan
1.
2.
3.

Mampu mengetahui Moralitas Ilmu.


Mampu mengetahui Moral dan Ilmu Pengetahuan.
Mampu mengetahui hakikat hubungan antara Moral dan Ilmu

4.

Pengetahuan.
Mampu mengetahui penerapan hubungan antara moral dengan
ilmu pengetahuan.

BAB II
PEMBAHASAN

Moralitas Ilmu Pengetahuan

2.1 Pengertian Ilmu Pengetahuan


Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam
agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Penjelasan ini akan
memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadiIlmu dan kebenaran
ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Dengan kata lain, If one were to speak
about truth or reality one has to investigate how to know what reality is.
Netralitas ilmu: Ilmu itu sendiri bersifat netral tidak mengenal baik atau buruk,
dan si pemilik pengetahuan itulah yang mempunyai sikap.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai
konsekuensi dari usaha-usaha manusia baik untuk memahami realitas kehidupan
dan alam semesta maupun untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang
dihadapi, serta mengembangkan dan melestarikan hasil-hasil yang dicapai
manusia sebelumnya.
Dikatakan oleh Einstein, bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri
dengan fakta apapun juga teori yang disusun diantara mereka. Menurut S.
Hornby mengartikan ilmu sebagai Science is organized knowledge obtained by
observation and testing of fact. Hal ini menujukkan jelas bahwa ilmu adalah
pengetahuan yang terorganisir yang didasarkan pada observasi dan hasil
pengujian.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ilmu memiliki dua pengertian,
yaitu, Pertama Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang
yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat
digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan)
tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.
Kedua Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang duniawi,
akhirat, lahir, bathin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu
bathin, ilmu sihir, dan sebagainya. Pengertian pertama memberikan gambaran
bahwa suatu bidang/kajian dapat dikatakan ilmu, apabila mempunyai sistem atau
bagian-bagian pendukung, yang apabila salah satunya hilang, maka ia tidak dapat
dikatakan suatu ilmu. Sedangkan pengertian yang kedua penekanannya lebih
kepada kepandaian/keahlian/pemahaman terhadap obyek ilmu.
Jujun. S. Suriasumantri dalam pengertian ini, lebih melihat ilmu sebagai
suatu proses. Demikian pula Lexy J. Moleong melihat ilmu sebagai pengetahuan
yang didapatkan melalui proses kegiatan ilmiah. Oleh karena itu menurut Jujun
S. Suriasumantri pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada
dasarnya ia dapat diandalkan dengan suatu fakta dan argumentasi yang
komprehenship, meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan
secara keilmuwan. Dengan demikian, ilmu dalam pengertian ini didasarkan pada
suatu fakta dan argumentasi yang berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran.Alan H.
Goldman lebih melihat bahwa ilmu sesuatu yang diperoleh pada rujukan-rujukan
tertentu yang diyakini kebenarannya, knowledge is belief that is best explained
by reference to its truth.

Moralitas Ilmu Pengetahuan

Dengan demikian, maka ilmu adalah pengetahuan yang didapatkan


melalui proses kegiatan ilmiah dan telah teruji kebenarannya berdasarkan dalildalil yang sahih yang berlaku universal. Dalam konteks filsafat, obyek material
ilmu dapat dibagi ke dalam ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam melahirkan
sejumlah obyek formal yang dikaji oleh dan menurut disiplin ilmunya seperti
biologi, kimia, fisika, farmasi dan lain-lain. Sedangkan yang tercakup ke dalam
Ilmu-ilmu sosial berupa sosiologi, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.
2.2 Pengertian Moral
Kata moral berasal dari bahasa latin mos jamaknya mores yang berarti
adat dan kebiasaan hidup. Dalam bahasa inggris moral mempunyai arti:
kondisi mental manusia, merasakan, mengetahui dan menghayati tingkah laku
yang baik menurut agama yang dianut dan menurut nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku. Bila kita membandingkan dengan arti kata etika, maka secara
etimologis, kata etika sama dengan kata moral karena kedua kata tersebut
sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan, adat.
Dengan kata lain, kalau arti kata moral sama dengan kata etika, maka
rumusan arti kata moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu etika dari bahasa
Yunani dan moral dari bahasa latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan
pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang
itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.
Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang
tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula
perbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih
banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang
tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral
secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.Namun
demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan.
Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan
manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio,
sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah normanorma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.
Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan
manusia sebagai manusia. Inti pembicaraan tentang moral adalah menyangkut
bidang kehidupan manusia dinilai dari baik buruknya perbutaannya selaku
manusia. Norma moral dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan betul
salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya sebagai manusia.
Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada
dasarnya sama dengan moral, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang
moralitas suatu perbuatan, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik
Moralitas Ilmu Pengetahuan

buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas
dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Menurut Kondratyev (2000),
moralitas adalah kesadaran akan loyalitas pada tugas daan tanggung jawab.
Moralitas berasal dari dalam kepribadian manusia itu sendiri. Binatang tidak
memiliki moralitas karena tidak memiliki kepribadian. Moralitas tidak bisa
dijelaskan dengan akal, karena itu berasal dari kepribadian manusia. Kondratyev
menjelaskan lebih jauh bahwa moralitas manusia berasal dari kehidupan
keluarga. Jadi keluarga yang baik akan menghasilkan pribadi yang memiliki
moralitas yang baik pula. Keluarga adalah tempat mendidik moralitas. Sangat
disayangkan pada masa modern saat ini banyak keluarga yang berantakan nilainilainya.
2.3 Hakikat Moral
Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak
bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga
moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit
adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral
manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang
mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap
amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan
di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati
oleh sesamanya.
Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara
utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat
setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber
interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan
nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta
menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai
moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan
Agama. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku
manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
2.4 Antara Moral, Etika dan Kesusilaan
Moral berasal dari kata latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau
cara hidup.
Etika secara etimologi berasal dari kata yunani ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Secara terminology etika adalah cabang filsafat yang
membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan
baik buruk. Yang dapat dinilai baik dan buruk adalah sikap manusia yaitu yang
menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan gerakan, kata kata dan sebagainya.

Moralitas Ilmu Pengetahuan

Moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada
sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Frans Magnis Suseno sebagai mana yang dikutip oleh Surajiyo
membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan,
khutbah peraturan lisan atau tulisan tentang bagai mana manusia harus hidup dan
bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral
adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan
guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para orang bijak. Etika
bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis
dan mendasar tentang ajaran dan pendangan moral.
Etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral
tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagai mana kita harus
hidup, bukan etika melainkan moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu,
atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan
dengan berbagai ajaran moral.
Leibniz berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu menjadi
yang terjadi dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah sampai kehendak
yang sadar yang berarti sampai kepada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh
lengkap, disebabkan oleh aktivitas jiwa sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan
dengan batin kita.
Akibat pandangan itu orang hanya dapat berbicara tentang kehendak
yang baik dn jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak mewujudkan
sesuatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan
aktual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagaan yang
tidak jelas.

2.5 Ilmu : Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai


Rasionalisasi ilmu terjadi sejak Rene Descartes bersikap skeptis
metodisnya yang meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang raguragu (corgito ergo sum). Sikap ini masih berlanjut pada masa Aufklarung, suatu
era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang
dirinya dan alam.
Persoalannya ilmu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau
justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksud Josep Situmorang (1996)
bebas nilai artinya tuntutan setiap kegiatan ilmiah atas didasarkan pada hakekat
Moralitas Ilmu Pengetahuan

ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan factor
eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengethuan itu
sendiri.Minimal sebagai tiga factor sebagai indicator bahwa ilmu pengetahuan itu
bebas nilai, yaitu
1. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni beba dari pengaruh factor eksternal
seperti factor politis, ideologis, agama, budaya, dan unsure kemasyarakatan
lainya .
2. Perlunya kebebasan usaha ilmiah, yang mendorong terjadinya otonomi ilmu
pengetahuan. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan untuk menentukan diri
sendiri.
3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan dari etis yang sering dituding
menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Sosiolog, Weber, bahwa ilmu social menyatakan harus bebas nilai, tetapi
ia juga mengatakan ilmu-ilmu social harus menjadi nilai yang relevan. Weber
tidak yakin bahwa para ilmuan social melakukan aktivitasnya seperti mengejar
atau menulis bidang ilmu social itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan
tertentu. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan kedalam bagian-bagian praktis ilmu
social jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan
melayani kepentintgan orang, budaya, maka ilmuan sosial tidak mempunyai
alasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap moral yang
sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah (Rizal Mutansyir
dan Misnal Minir 2001).

Tokoh lain Habermas sebagaimana yang ditulis Rizal Mustasir (2001)


berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini
diwarisi Habermas dari pandangan Huseri yang melihat fakta dari objek alam
diperlukan ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau
objek itu sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primodial dalam
pengalaman sehari-hari, dalam Lebenswelt atau dunia sebagaimana dihayati.
Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt itu sejumlah fakta sebagai
fakta yang kemudian diilmiakan berdasarkan kepentingan praktis.
2.6 Problematika Etika Ilmu Pengetahuan
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan
dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang kadang mempunyai pengaruh
Moralitas Ilmu Pengetahuan

pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi.


Tanggung jawab etis, merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun
penggunaan ilmu, pengetahuan dan teknologi iptek. Dalam hal ini berarti ilmuan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan
kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem,
bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang,
dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan
untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga
tanggung jawab terhadap hal hal yang akan dan telah diakibatkan iptek di masa
masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan
bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan penemuan baru dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan
baik alam maupun manusia.hal ini tentu saja menuntut tanggung jawab untuk
selalu menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam perubahan tersebut akan
merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan iptek itu sendiri maupun
bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia.akan
tetapi harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak
dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia yang
seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungannya
dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab
terhadap khaliknya.

Jadi sesuai dengan pendapat Van Melsen (1985) bahwa perkembangan


ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat atau meningkat
meningkatkan keberadaan manusia tergantung tergantung pada manusia itu
sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusianya itu
sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan
untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang
teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti sesungguhnya, yakni
kedewasaan untuk mengerti mana ynag layak mana yang tidak layak, yang buruk
dan yang baik. Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh sungguh mencapai
pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologibukan saja
sarana untuk mengembangkan diri manusia saja, tetapi juga merupakan hasil
perkembangan dan kreativitas manusa itu sendiri.
2.7 Pendekatan Ontologis
Moralitas Ilmu Pengetahuan

10

Secara ontologis ilmu membatasi penelaahan keilmuannya hanya berada


pada daerah daerah yang berada dalam batas pra pengalaman dan pasca
pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan
salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah
kehidupan dalam batas ontologism tertentu. Penerapan lingkup batas penelaahan
keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemology
keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses
penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek
penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat
mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri
permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologism ilmu bersifat netral
terhadap nilai nilai yang bersifat dogmatic dalam menafsirkan hakikat realitas
sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam semesta.
2.8 Pendekatan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam
metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh
dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan : a) kerangka pemikiran yang
bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan
sebelumnya berhasil disusun; b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi
dari kerangka pemikiran tersebut; c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis
termaksud untuk menguji kebenaran penyataannya secara factual.
Dalam kaitan dengan moral, dalam proseskegiatan keilmuan setiap
upaya ilmiah harus ditunjukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan
dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan
hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi ilmu
merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membeci kebohongan.
2.9 Pendekatan Aksiologi
Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk
kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana
atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia, dan kelestarian atau
keseimbangan alam.
Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh
dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal yang berate
ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak
memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak
mempunyai kontonasi ras, ideologi atu agama.
2.10 Ilmu dalam Perspektif Moral

Moralitas Ilmu Pengetahuan

11

Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral.


Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam
dan menemukan bahwa bumi yang berputar mengelilingi matahari dan bukan
sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi
antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi
metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya,
sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada
pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar
bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral
tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang
berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh
pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari.
Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari
pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusun penerapanpenerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain
dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang
berupa teknologi, konflik antar ilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui,
dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan
gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi
bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk
mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut
perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke
manipulasi.
Dalam tahap manipulasi masalah moral muncul kembali. Kalau dalam
kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam
tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan
ilmiah. Atau secara filsafati dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan
konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan,
sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau
dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dihadapkan
dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu yang bersifat merusak,
para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat
netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam
tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada
orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu
dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk.
Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu
terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asa moral.
Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
Moralitas Ilmu Pengetahuan

12

1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan
teknologi-teknologi keilmuan
2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum
ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila
terjadi salah penggunaan.
3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan
bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki
seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.
Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu
secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan
martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Pendekatan secara ontologis, epistemologis dan aksiologis memberikan
18 asas moral yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas tersebut
pada hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas moral
yang membentuk tanggung jawab profesional dan kelompok yang membentuk
tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada masyarakat
ilmuwan dalam pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan landasan
epistemologis. Tanggung jawab profesional ini mencakup asas:
1) Kebenaran
2) Kejujuran
3) Tanpa kepentingan langsung
4) Menyandarkan kepada kekuatan argumentasi
5) Rasional
6) Obyektif
7) Kritis
8) Terbuka
9) Pragmatis
10) Netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan
hakikat realitas.
Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan yang maju
secara sungguh-sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang
menyangkut asas kebenaran, kejujuran, bebas kepentingan dan dukungan
berdasarkan kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan ketidakjujuran
dalam kegiatan ilmiah mendapatkan sanksi yang konkrit; dan sanksi moral dari
sesama ilmuwan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan dengan sanksi
legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi seorang ilmuwan selain menjadi
seorang paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat keilmuan. Di negara
kita sanksi moral ini belum membudaya dan hal inilah yang menyebabkan
suburnya upaya-upaya amoral dalam kegiatan keilmuan.
Moralitas Ilmu Pengetahuan

13

Mengenai tanggung jawab sosial yakni pertanggung jawaban ilmuwan


terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis
terhadap obyek penelaahan keilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah
terdapat dua tafsiran yang berbeda. Kelompok ilmuwan pertama menafsirkan
bahwa ilmuwan harus bersikap netral artinya bahwa terserah kepada masyarakat
untuk menentukan obyek apa yang akan ditelaah dan untuk apa pengetahuan
yang disusun kaum ilmuwan itu dipergunakan. Sedangkan kelompok ilmuwan
kedua berpendapat bahwa ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang
bersifat formal dalam mendekati kedua permasalahan tersebut di atas.
Einstein dan Socrates mungkin benar, ilmu pengetahuan ternyata juga
mendatangkan malapetaka bagi manusia. Ilmu pengetahuan politik, ekonomi,
sosial, informasi dan komunikasi, teknologi dan militer dapat saja mendatangkan
kesejahteraan, sekaligus menimbulkan malapetaka bagi manusia. Sosiolog Rene
Descartes mengatakan ilmu tanpa moral adalah buta, moral tanpa ilmu adalah
bodoh. Sedangkan menurut Abdullah ibnu abdul Barr: ilmu mempunyai posisi
kenabian dan wahyu, dan ilmu menurutnya mencakup ilmu dunia dan agama,
maka setiap ilmu yang membawa manfaat dan mengandung kebaikan bagi
pembentukan hidup manusia tegolong pada ilmu yang terpuji dan bergarga.
Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik
berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika,
tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk
mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski demikan, teori etika
memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar
penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.
2.11 Peran Moral Terhadap Ilmu Pengetahuan
1.
Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu boleh berkembang secara
optimal, tetapi ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau
penggunaannya harus memperhatikan segi kemanusiaan baik pada tataran
individu maupun kelompok.
2.
Peran moral berimplikasi pada signifikansi tanggung jawab, yakni
tanggung jawab moral dan sosial. Dalam konteks ini, tanggungjawab moral
menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggungjawab aplikasi
ilmu yang dikembangkannya. Bahwa ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk
hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia.
3.
Dari sisi tanggung jawab sosial, ilmuwan memiliki dan memahami
secara utuh tentang kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau
berada di tengah-tengah manusia lainnya.
4.
Perlunya ilmu dan moral (bagian dari suatu kebudayaan yang
dikembangkan dan digunakan manusia) seyogyanya berjalan seiring. Ketika
manusia mengaplikasikan hasil pengembangan ilmu dalam format penemuan
(pengetahuan) atau teknologi baru, moral akan mengikuti atau mengawalnya.
Hal tersebut dimaksudkan bagi kepentingan penghormatan atas martabat
kemanusiaan.
Moralitas Ilmu Pengetahuan

14

Hal tersebut di atas, membuat para ilmuwan harus mempunyai sikap


formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah. Bagi kita sendiri yang hidup
dalam masyarakat Pancasila, tidak mempunyai pilihan lain selain konsisten
dengan sikap kelompok ilmuwan kedua, dan secara sadar mengembangkan
tanggung jawab sosial di kalangan ilmuwan dengan Pancasila sebagai sumber
moral (das sollen) sikap formal kita.
Tetapi dalam kenyataannya, mekanisme pendidikan di Indonesia,
dengan menempatkan kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan
keilmuan) sebagai landasan pembangunan negara tapi seringkali melupakan
kreatifitas moralitas (pendidikan moral agama/religius) sehingga telah
menggiring Indonesia ke arah kebobrokan.

2.12 Definisi dari Ilmuwan


Dari pertumbuhan ilmu sejak zaman Yunani Kuno sampai abad modern
ini tampak nyata bahwa ilmu merupakan aktivitas manusia, suatu kegiatan
melakukan sesuatu yang dilaksanakan orang atau lebih tepat suatu rangkaian
aktivitas yang membentuk suatu proses. Seorang yang melakukan rangkaian
aktivitas yang disebut ilmu itu kini lazim dinamakan ilmuwan (scientist ).Kata
ilmuwan sekarang tentu bukanlah hal yang asing. Secara sederhana ia diberi
makna ahli atau pakar. Dalam kamus Indonesia, kata ilmuwan bermakna orang
yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu, atau orang yang
berkecimpung dalam ilmu pengetahuan serta orang yang bekerja dan mendalami
ilmu pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh.
Ilmuwan memiliki beberapa ciri yang ditunjukkan oleh cara berfikir
yang dianut serta dalam perilaku seorang ilmuwan. Mereka memilih bidang
keilmuan sebagai profesi. Untuk itu yang bersangkutan harus tunduk dibawah
wibawa ilmu. Karena ilmu merupakan alat yang paling mampu dalam mencari
dan mengetahui kebenaran. Seorang ilmuwan tampaknya tidak cukup hanya
memiliki daya kritis tinggi atau pun pragmatis, kejujuran, jiwa terbuka dan tekad
besar dalam mencari atau menunjukkan kebenaran pada akhirnya, netral, tetapi
lebih dari semua itu ialah penghayatan terhadap etika serta moral ilmu dimana
manusia dan kehidupan itu harus menjadi pilihan juga sekaligus junjungan
utama.
2.13 Sikap Yang Harus Dimiliki Ilmuwan
Para ilmuwan sebagai orang yang professional dalam bidang keilmuan
sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral, yaitu moral khusus
Moralitas Ilmu Pengetahuan

15

sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap
ilmiah.
Sikap ilmiah harus dimiliki semua ilmuwan. Hal ini desebabkan oleh
sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan
ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah
membahas tentang tujuan ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu
ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara
social untuk melestarikan dari keseimbangan alam semesta ini, serta dapat
dipertanggung jawabkan kepada tuhan. Artinya, selaras dengan kehendak
manusia dengan kehendak tuhan.

Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuan menurut Abbas Hamami
M (1996) sedikitnya ada enam, sebagai berikut :
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness) artinya suatu sikap yang diarahkan
untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan menghilangkan
pamrih atau kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuan mampu
mengadakan pemilihanterhadap segala sesuatu yang dihadapi.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap
alat alat indera serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan
merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu
telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus sealu tidak puas
terhadap penelitian yang dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset,
dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Seorang ilmuan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak
untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan
manusia, lebih khusu untuk pembangunan bangsa dan negara

Moralitas Ilmu Pengetahuan

16

BAB III
PENUTUP
3.1

Simpulan

3.2

Saran
Mohon maaf bila terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, karena penulis masih dalam proses pembelajaran. Masukan yang
membangun dari teman-teman yang membaca makalah ini sangat penulis
harapkan demi kemudahan untuk menjadi yang lebih baik lagi.

Moralitas Ilmu Pengetahuan

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia.
Jakarta : PT Bumi Aksara
2. Hamami, Abbas. 1976. Filsafat (Suatu Pengantar Logika formal Filsafat
Pembangunan). Yogyakarta : Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM

Moralitas Ilmu Pengetahuan

18

Anda mungkin juga menyukai