MAKALAH
Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara di Bawah
Bimbingan Dosen Bapak EKO WAHYUDI, SH.
Oleh :
KELOMPOK VII
PENYUSUN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan ridhoNya kita dapat
senantiasa menjalani aktivitas dengan keadaan sehat jasmani dan rohani. Tak lupa kepada
para dosen pengajar yang memberikan waktu untuk kami agar dapat menyelesaikan tugas
yang di berikan dan pemberian materi yang bermanfaat untuk kelangsungan perkuliahan
kami.
Makalah ini adalah salah satu bentuk keseriusan kelompok kami dalam mengerjakan
tugas struktural dibawah bimbingan Bapak Eko Wahyudi, SH. Selaku dosen pengampu mata
kuliah Hukum Administrasi Negara, sehingga makalah ini dapat menjadi tolak ukur
kemampuan kami dalam memahami materi yang di berikan oleh para dosen.
Harapan kamia makalah ini dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnnya dan
membantu mahasiswa mendapatkan pengetahuan atau ilmu yang berhubungan dengan
Hukum Administrasi Negara yang sesuai dengan isi makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini kami akui belum sepenuhnya sempurna atau terperinci
dan masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang dalam
pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami membutuhkan masukan berupa kritik dan
saran yang dapat menjadikan koreksi untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat berguna untuk kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................
PENYUSUN.......................................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................................
iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN...........................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN................................................................................................
2 .1. Syarat Keabsahan Tindakan Pemerintah...................................................
10
10
10
PENUTUP........................................................................................................
11
11
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
12
BAB III
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Syarat Keabsahan Tindakan Pemerintahan
Menurut Van der Pot, ada 4 syarat yang harus di penuhi agar ketetapam administrasi
sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat
bahwa ketetapan administrasi tersebut menjadi ketetapan tidak sah: 1. bevoedgheid
( kewenangan ) organ administrasi yang membuat keputusan; 2. geen juridische gebreken in
de wilsvorming ( tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak ); 3. vorm dan
procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah diketapkan dan dibuat
menurut tata cara yang telah ditetapkan; Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan
peraturan dasar
Philipus M. Hadjon mengutarakan wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek
hukum merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan
tersebut sah. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang
mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan
tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas
keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau
keputusan tidak ada Error in re.
Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan dari istilah Belanda
rechtmatigheid ( van bestuur). Rechtmatigheid = legalitas = legality. Ruang lingkup
keabsahan meliputi : 1. wewenang; 2. prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 ( wewenang dan
substansi ) merupakan landasan bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas
presumptio iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan pasal 67 ayat (1) UU. No. 5 Th.
1986 menyatakan: Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan
Badan atau Tata Usaha negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
digugat.
Sebaliknya Berdasarkan hukum suatu keputusan yang tidak memenuhi elemen atau
syarat dapat dikatakan bahwa keputusan mengandung kekurangan juridis dalam
pembuatannya, sehingga keputusan tersebut merupakan suatu keputusan menjadi tidak sah.
E. Utrecht, mengatakan:suatu ketetapan yang mengandung kekurangan tidak selalu
merupakan ketetapan atau keputusan yang tidak sah. Ada ketetapan yang mengandung
kekurangan tetap merupakan ketetapan sah. Menurutnya pada umumnya tergantung pada hal
apakah syarat yang tidak dipenuhi itu merupakan bestaansvoorwaarde atau tidak untuk
adanya ketetapan itu. ( bestaansvoorwaarde= syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu ada;
kalau syarat tidak dipenuhi maka sesuatu itu (dianggap) tidak ada.
Stelinga, mengatakan bahwa suatu ketetapan yang mengandung kekurangan masih
dapat diterima sah oleh karena sah tidaknya sesuatu ketetapan yang mengandung kekurangan
tergantung pada beratnya kekurangan itu.
Menurut Soehino, bahwa yang disebut sebagai ketetapan yang tidak sah bila
mengandung kekurangan syarat yang seharusnya dipenuhi dalam pembuatan ketetapan
administrasi tersebut. Dengan adanya kekurangan syarat yang seharusnya dipenuhi dapat
berakibat hukum batalnya ketetapan tersebut. Disamping batal atau dapat dibatalkan
ketetapan tersebut dimungkinkan bahwa ketetapan tersebut dicabut oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang menerbitkan. Masih berkaitan dengan ketetapan yang mempunyai
kekurangan yuridis, van der Wel, berpendapat agak berbeda sebagaimana yang dikutip oleh
Bachsan Mustafa dalam bukunya:
Suatu ketetapan yang menetapkan sesuatu yang sungguh-sungguh tidak mungkin
dapat dilaksanakan dapat dianggap batal sama sekali. Mengenai ketetapan-ketetapan yang
lainnya kita harus melihat apakah kekurangan yang bersangkutan adalah kekurangan
esensial atau kekurangan yang bukan esensial, kekurangan yang bukan yang esensial
tidak dapat mempengaruhi berlakunya ketetapan. Mengenai kekurangan esensial harus dilihat
beratnya kekurangan. Apabila kekurangan itu dirasakan begitu berat sehingga ketetapan yang
bersangkutan sebetulnya tidak berupa ketetapan, maka ketetapan yang bersangkutan itu dapat
dianggap batal sama sekali.
Apabila kekurangan itu tidak begitu berat, maka ketetapan yang bersangkutan dapat dianggap
batal terhadap subyek hukum yang mempunyai alat untuk menggugat berlakunya ketetapan
itu ( misalnya dalam bandingan).
merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan yang berakibat suatu
perbuatan dianggap tidak pernah ada yang disebut juga sebagai Absoluut nietig.
Selanjutnya pengertian dapat dibatalkan ( vernietigbaar) merupakan suatu
tindakan atau perbuatan hukum Badan atau Tata Usaha Negara yang dalam pengertian dapat
dibatalkan karena diketahui perbuatan itu mengandung kekurangan. Perbuatan yang
dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu
badan pemerintah lain yang berkompeten ( pembatalan diadakan karena pembuatan tersebut
mengandung sesuatu kekurangan ). Bagi hukum, perbuatan tersebut ada sampai waktu
pembatalannya, menjadi sah ( terkecuali dalam hal undang-undang menyebut beberapa
bagian akibat itu tidak sah). Setelah pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan bila
mungkin diusahakan supaya akibat yang telah terjadi itu semuanya atau sebagiannya hapus.
Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan keputusan yang dapat dibatalkan (
vernietigbaar) yaitu Suatu keputusan baru dapat dinyatakan batal setelah pembatalan oleh
hakim atau instansi yang berwenang membatalkan, dan pembatalan tidak berlaku surut. Jadi
bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dianggap sah sampai
dikeluarkan keputusan pembatalan ( ex-nunc) kecuali undang-undang menentukan lain.
Tabel perbedaan Batal ( Nietig), batal demi hukum ( van rechts wege nietig) dan dapat
dibatalkan ( vernietigbaar).
No
1.
2.
URAIAN
NIETIG
VAN
Ex tunc*
Dengan
WEGE NIETIG
Ex tunc
Ex nunc*
Tanpa perlu ada Mutlak
harus
pembatalan
putusan/keputusanSifat putusan
putusan/
keputusan:Konstatering/
RECHTS VERNIETIGBAAR
keputusan
ada
/ putusan
keputusanSifat putusan/
keputusan:Konstitutif
deklaratif
Sumber: Philipus M. Hadjon, Pengertian dasar tentang tindak Pemerintahan, CopyPerc&stensil Jumali, Surabaya, 1985, h. 25.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan hukum adalah sebab atau alasan pembatalan atau
batalnya suatu ketetapan atau keputusan yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara. Sebagaimana diketahui bahwa dalam ajaran hukum bahwa suatu keputusan (
beschikking ) dikatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat, seperti yang diajukan van
der Pot ada 4 syarat fundamental:
1. Bevoedgheid ( kewenangan) organ Administrasi negara yang membuat keputusan;
2. Geen juridische gebreken in de wilsvorming ( tidak ada kekurangan yuridis dalam
pembentukan kehendak );
3. Vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah ditetapkan dan
dibuat menurut tatacara yang telah ditetapkan;
4. Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
Philipus M. Hadjon mengutarakan bahwa wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek
hukum tersebut merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau
keputusan tersebut sah menurut hukum. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya
bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa
ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan
bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut
obyek ketetapan atau keputusan tidak ada Error in re. Hal ini selaras dengan hukum Acara
yang di atur didalam UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
selanjutnya diubah ( sebagian ) oleh UU No. 9 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagaimana diatur
dalam pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986, menetapkan bahwa Seseorang atau Badan
hukum perdata yang kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Adapun dasar alasan
gugatan sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2) nya, isinya menyatakan bahwa alasan
gugatan yang digunakan adalah Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, antara lain adanya kesalahan bersifat kewenangan,
prosedur dan substansi ( penjelasan pasal), penyalahgunaan wewenang ( de tournament de
pouvoir) dan larangan berbuat sewenang-wenang. Adapun rumusan lengkapnya pasal 53 UU
No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut:
(3) seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis pada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau
rehabilitasi;
(4) alasan alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku;
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) telah digunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud yang
diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan atau tidak
keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua
kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada
pengambilan atau tidak keputusan tersebut.
Dengan demikian bahwa dalam hukum acara pasal 53 ayat (2) UU. No. 5 Tahun 1986,
merupakan dasar dari alasan untuk menggugat ( Beroepsgronden) seseorang atau badan
hukum perdata dan sekaligus pengujian oleh hakim pengadilan terhadap keputusan Tata
usaha Negara ( KTUN) sebagai berikut:
Pertama, bahwa Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya bilama dicermati dalam penjelasan otentik
dari pasal ini memberikan penjelasan tentang pengertian bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersifat procedural atau formal;
2. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
bersifat material atau substansi;
3. Bahwa keputusan Tata usaha Negara dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha yang
tidak berwenang dan apabila tidak berwenang dikaitkan dengan kompetensi Jabatan maka
dimungkinkan ada tiga macam bentuk tidak berwenang ( onbevoegdheid) yaitu:
onbevoegdheid ratione materiae ( menyangkut kompetensi absolute), onbevoegdheid
ratione loci ( kompetensi relative) dan onbevoegdheid ratione temporis ( tidak berwenang
dari segi waktu).
Kedua, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain
dari maksud diberikannya wewenang tersebut yang dikenal dengan sebutan penyalahgunaan
wewenang ( de tournament de pouvoir). Menurut Philipus M. Hadjon, alasan yang
dikemukakan dalam penjelasan otentik ini dalam prakteknya sulit di buktikan karenanya
jarang digunakan. Oleh karena itu dalam gugatan sering menggunakan dasar seperti tersebut
dalam butir 3.
Ketiga, dalam penjelasan pasal ini menyatakan bahwa dasar pembatalan sering disebutkan
larangan berbuat sewenang-wenang ( willekeur) merupakan konsep yang sulit diukur.
Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa:
Larangan berbuat sewenang-wenang justru membuat rumusan yang operasional terukur
menjadi sulit / tidak terukur. Kalau kita bandingkan dengan ketentuan Wet AROB di Belanda,
nampaknya disatu pihak ada kesamaan untuk huruf a,b,c, sedangkan huruf d tidak terdapat
dalam pasal 53 ayat 2.
Pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986 ini diubah oleh UU No. 9 Tahun 2004, terutama dalam ayat
(2) b dan c, yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dan tindakan larangan berbuat
sewenang wenang, bagaimana diatur dalam pasal 53 UU No. 9 Tahun 2004, berbunyi:
(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis pada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan
itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai tuntutan ganti rugi dan atau
rehabilitasi;
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Tabel alasan menjadi dasar keputusan tidak sah / dibatalkan:
Van der Pot
Philipus M.Hadjon
UU
No
tahun Akibat
Bevoedgheid;2.
geen 1.
Aspek peraturan
wilsvorming;3.
Aspek undangan
vorm
dan prosedur;3.
procedure;
4. isi dan tujuan keputusan
sesuai dengan isi dan tujuan
peraturan dasar
substansi
sah
bersifat
Wewenang,
Prosedur,
Substansi;2.
pemerintahan
yang baik
Sesuai dengan ajaran hukum dan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 53 ayat (2) UU
No. 5 tahun 1986 yo. UU No. 9 tahun 2004, maka bilamana suatu keputusan Tata Usaha
Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat
wewenang, prosedur dan substansi, keputusan Tata Usaha Negara tersebut yang ditemukan
oleh Peradilan dalam pertimbangan hukumnya, menjadi dasar untuk putusan pengadilan
menyatakan tidak sah atau batal keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
Sesuai dengan konsep hukum/ ajaran hukum dan ketentuan pertanahan Keputusan Tata
Usaha Negara merupakan sumber hukum dan alat bukti dari lahirnya sertifikat hak atas tanah
yang berkarakter yang bersifat Konstitutif, dengan demikian maka bilamana terjadi
persengketaan berkaitan dengan kepemilikan hak atas masuk dalam kompetensi absolut dari
pengadilan tata usaha negara yang mana alat bukti keputusan Tata Usaha Negara tersebut
terbitnya yang berkaitan dengan adanya cacat dalam aspek wewenang, prosedur dan substansi
yang menjadi titik tolak dalam beracara dan tuntutan pembatalannya.
Berbeda dengan sertifikat hak atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat deklaratif,
sesuai dengan sumber dasar hak kepemilikan atas tanah yang exsistensinya diakui oleh
negara sehingga dalam proses persengketaan hukumnya berada diwilayah Peradilan umum,
dimana bukti perolehan kepemilikan keperdataan dan obyek gugatannya yang ditimbulkan
berkaitan dengan keabsahan dari aspek kesepakatan, kecakapan, obyek dan kausa tertentu
yang menjadi dasar gugatan dan proses pembuktian di peradilan umum tersebut.
Tanggung gugat bidang Hukum Perdata dalam bentuk perbuatan melanggar Hukum
oleh penguasa melalui peradilan umum.
2.
Tanggung gugat bidang Hukum Administrasi khusus tentang KTUN melalui peradilan
TUN.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA