Beberapa waktu yang lalu, pemberitaan tentang program Kartu Jakarta Sehat (KJS)
dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang digulirkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta
menuai pro dan kontra serta menjadi diskusi yang menarik baik di media cetak, televise,
maupun sosial. Pemprov DKI Jakarta melalui kedua program unggulannya tersebut
menggelontorkan dana sebesar lebih dari Rp2,4 triliun dari APBD guna memberikan layanan
pendidikan dan kesehatan yang terjangkau bagi warga DKI Jakarta. Sejatinya, tidak ada
yang salah dari tujuan program penyediaan layanan sosial seperti yang dilakukan Pemprov
DKI Jakarta tersebut. Akan tetapi, di lapangan program tersebut mengalami banyak kendala
seperti penentuan kriteria masyarakat penerima layanan yang masih melibatkan sistem
birokrasi dalam pengusulan peserta (Program KJP) serta sistem reimbursement yang
diajukan rumah sakit provider layanan KJS yang terikat pada mekanisme yang tidak fleksibel
(Indonesia Case Base Group/INA-CBG) yang berpengaruh kepada mutu layanan. Hal ini
terjadi karena program unggulan ini masih dilaksanakan dengan paradigma lama dari
pelayanan publik yaitu belanja barang dan jasa melalui anggaran sektor publik (APBD
dan/atau APBN). Evaluasi dan usaha perbaikan terhadap program sosial seperti ini memang
dan harus terus dilakukan untuk meningkatkan layanan pendidikan dan kesehatan tersebut
kepada masyarakat. Namun, jika kita melihat pengalaman negara-negara yang telah maju
sistem jaminan sosialnya, terdapat cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam
penyelenggaraan sistem jaminan sosial tersebut yaitu melalui sistem Kerja Sama
Pemerintah dan Swasta (KPS). Tulisan ini selanjutnya akan membahas penyelenggaraan
dan penyediaan infrastruktur sosial berupa layanan pendidikan dan kesehatan melalui
skema KPS.
Keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur guna mendukung dan mempercepat
pertumbuhan ekonomi sudah sangat jelas dan tidak terbantahkan (Queiroz, 2004).
Infrastruktur itu sendiri dapat dibedakan jenisnya menjadi hard infrastructure seperti jalan,
jembatan, rel, dan sarana infrastruktur fisik lainnya. Jenis infrastruktur yang berikutnya
adalah soft infrastructure, seperti layanan pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial
lainnya.1 Kebutuhan pembangunan infrastruktur sosial ini juga sangat besar. McKinsey
mencatat dari kebutuhan pembangunan infrastruktur secara global sampai tahun 2020
sebesar US$8 triliun, 40% diantaranya merupakan pembangunan infrastruktur sosial.2
Dengan makin terbatasnya kemampuan anggaran sektor publik, maka peran swasta harus
didorong untuk ikut serta dalam upaya pembangunan infrastruktur ini. Upaya ini tidak mudah
mengingat motif dan tujuan yang berbeda secara diametral antara sektor publik dan sektor
privat. Sektor publik bertujuan untuk melayani masyarakat (public service) dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (public welfare), sementara sektor privat bertujuan
untuk memaksimalkan keuntungan (profit oriented).
Skema KPS bisa menjadi titik temu motif dan kepentingan yang berbeda antara
sektor publik dan sektor privat. Sektor publik mengharapkan efisiensi anggaran
pembangunan infrastruktur dan peningkatan layanan publik kepada masyarakat yang bisa
diperoleh dari teknologi, inovasi dan kemampuan manajerial yang ditawarkan sektor privat,
dibanding jika pemerintah melaksanakan sendiri pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat. Sektor privat, dalam skema ini, juga dapat memperoleh keuntungan maksimal
dengan menjual ide teknologi, kemampuan inovasi, dan kemampuan manajerial yang
memang menjadi basic behaviour-nya guna dijual kepada sektor publik yang mempunyai
captive market yang sangat luas.
Critical Success Point dalam Penerapan Skema KPS untuk Penyediaan Infrastruktur
Sosial
1. Penerapan Penilaian VfM
Value for Money (VfM), merupakan ukuran efisiensi dan efektifitas pembangunan
infrastruktur yang dilakukan oleh sektor privat dibandingkan apabila pembangunan
dilaksanakan pemerintah. VfM merupakan metode penilaian dalam public sector comparator
(PSC) dan menentukan skema pembangunan infrastruktur apakah akan dilaksanakan
dengan skema KPS atau dibiayai dengan anggaran publik. VfM mempunyai beberapa
dimensi tolok ukur, yaitu antara lain harga (monetary value), pembagian alokasi risiko
proyek (risk allocation), dan standar pelayanan infrastruktur (output specification). Jadi, di
dalam analisa VfM, harga bukan satu-satunya parameter yang dilihat, namun juga
diperhatikan pembagian alokasi proyek yang ideal dan standar pelayanan yang dijanjikan
Susilawati, Connie and Wong, Johnny and Chikolwa, Bwembya (2009) An evaluation of viability of
public private partnerships in social infrastructure procurement projects in Queensland, Australia. In:
Proceedings of the CRIOCM 2009 International Symposium on Advancement of Construction
Management and Real Estate, 29-31 October 2009, Nanjing.
2
http://www.mckinsey.com/client_service/infrastructure/expertise/social_infrastructure.
oleh sektor privat. Suatu proyek yang mempunyai VfM, lebih optimal dilaksanakan dengan
KPS karena terdapat efisiensi dan inovasi teknologi yang ditawarkan oleh sektor privat.
Sedangkan apabila sebuah proyek dinilai tidak memiliki VfM yang memadai, sebaiknya
pembangunannya dibiayai dengan anggaran sektor publik. Hal ini dikarenakan, proyek
tersebut tidak akan laku ditawarkan kepada sektor privat jika tetap dilelang dengan KPS.
Pun, jika investor swasta masih berminat dengan suatu proyek, dapat dipastikan akan
meminta dukungan dan fasilitas dari pemerintah dalam skala yang masif untuk
mengkompensasi risiko karena mengambil proyek tersebut. Untuk lebih jelas dalam
memahami konsep PSC dan VfM, Partnership Victoria memberikan gambaran sebagaimana
terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan PSC Guna Menentukan VfM
Conforming Partnership Victoria bid
Bids
PSC
Non-conforming bids
D
80
Competitive Neutrality
state taxes
Risk valued by
government
Transferable Risks
design and construction
25
Transfer
Transfer
Transfer
operations
10
Transfer
Transfer
Transfer
maintenance
NPC-Subtotal
Retained
Transfer
Transfer
127
98
117
111
5
100
120
110
Retained risks
maintenance
environmental
10
10
10
10
10
10
Transfer
technology
15
15
15
15
15
Transfer
15
152
125
145
135
128
127
126
dari design and conctruction, operations, dan maintenance tetap diambil oleh pemerintah.
Hal tersebut berarti, dari sudut pandang penawaran yang diajukan investor D, E, dan F,
pemerintah melihat proyek tidak mempunyai VfM. Lebih lanjut, Tabel 1 memberikan data
bahwa terdapat investor A, B, dan C yang mempunyai NPC sebesar 125, 145, dan 135
secara berurutan dan dapat menerima alokasi risiko dari design and conctruction,
operations, dan maintenance berada di sektor privat. VfM proyek ini bagi pemerintah
masing-masing sebesar, investor A 27 (152-125), investor B 7 (152-145) dan investor C 17
(152-135).
2.
skema KPS, baik untuk penyediaan infrastruktur komersial maupun infrastruktur sosial. PSC
merupakan ukuran kualitatif dan kuantitatif yang menghitung keuntungan (benefit) yang
diperoleh dikurangi biaya yang dikeluarkan (cost) oleh sektor publik (cost benefit analysis),
apabila pembangunan dan atau pelayanan infrastruktur
dibiayai,
dilakukan,
dan
dioperasikan oleh pemerintah. Pada umumnya, benefit yang menjadi tolok ukur bagi
pemerintah adalah biaya pembangunan (project cost) dan waktu penyelesaian proyek
(project timeline).4 Lebih lanjut menurut Jagger (2012), apabila dinilai biaya proyek lebih
kecil dan waktu penyelesaian proyek lebih cepat jika proyek diserahkan kepada sektor
privat, maka pemerintah akan memilih skema KPS sebagai metode pengadaan infrastruktur.
Selain itu, kemampuan manajerial pelayanan yang efisien juga menjadi salah satu tujuan
penggunaan skema KPS dalam penyediaan infrastruktur sosial.5 Efisiensi biaya dan waktu
pengerjaan serta manajemen layanan ini sangat mungkin dipenuhi oleh sektor privat karena
inovasi dan teknologi yang diperoleh dari hasil proses research and development yang
menjadi kunci going concern business.
Oleh karena PSC merupakan dasar pengambilan keputusan guna menentukan
skema pembiayaan pembangunan infrastruktur, metodologi penyusunan PSC menjadi
sangat penting untuk diperhatikan. Studi PSC dilakukan oleh sektor publik pada awal siklus
Partnership Victoria, Partnership Victoria Guidance Material: Public Sector Comparator a Technical
Note, June 2001, hal. 2.
4
Norm Jagger , PPP: THE BEST OPTION FOR QUEENSLAND SOCIAL INFRASTRUCTURE?,
Public Infrastructure Bulletin-Bond University, Januari 2012.
5
K.M. Mital and Vivek Mital, Public Private Partnership and Social Infrastructure, Computer Society of
India.
b.
User Group Input, hasil studi dari functional brief development dikomunikasikan dengan
para stakeholders terkait melalui seminar maupun lokakarya untuk mendapat masukan,
kritik dan saran, terutama untuk menangkap ide-ide dan gagasan pengembangan
layanan infrastruktur ke depannya.
c.
d.
Market sounding, concept design yang dihasilkan sektor publik kemudian diperkenalkan
kepada sektor swasta guna menangkap tanggapan dari market.
Berdasarkan hal tersebut diatas, sektor publik kemudian menyusun spesifikasi keluaran
layanan (output specification) dan rencana matriks alokasi dan pembagian risiko proyek, di
mana didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut7:
a.
b.
Retained risk, berupa risiko proyek yang diambil oleh sektor publik.
c.
d.
Raw PSC (base costing), berupa biaya pembangunan proyek dengan skema
pengadaan pemerintah, yang terdiri dari biaya modal dan biaya operasional, baik
langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan pembangunan, pemilikan,
pemeliharaan, dan pelayanan kepada masyarakat dalam jangka waktu tertentu sesuai
acuan waktu konsesi, dan sesuai dengan persyaratan kinerja (performance standard)
Foster Infrastructure, Best Practice in Design of Public-Private Partnerships (PPPs) for Social
Infrastructure, particularly in Health Care and Education, Agustus 2012
7
Partnership Victoria, Op Cit., 2
infrastruktur
dalam
layak
secara
ekonomis
dan
keuangan.10
Dalam
risetnya,
Susilawati,
dkk
Desain infrastruktur
Dalam pembangunan infrastruktur sosial dalam sektor pendidikan dan kesehatan,
desain infrastruktur menjadi sangat penting untuk diperhatikan, terlepas dari skema
pembangunan yang akan digunakan apakah menggunakan anggaran sektor publik atau
dikerjasamakan dengan swasta. Desain infrastruktur yang dimaksudkan disini meliputi
antara lain:
a.
b.
Master Planning dan Desain Umum, yang memastikan analisa dampak lingkungan dan
memperhatikan potensi pengembangan di masa depan. 11
Secara umum, proyek KPS Sosial menggunakan modalitas skema build (design and
construct), finance, and operate & maintenance, jadi risiko desain ini diserahkan kepada
sektor privat. Hal ini dilakukan karena insentif untuk melakukan inovasi desain guna
mencapai efisiensi dan efektifitas layanan ada di sektor privat daripada di sektor publik.
Keterlibatan pemerintah untuk turut campur tangan dalam desain sejauh mungkin harus
dihindari, karena jika kesalahan desain yang disebabkan campur tangan pemerintah
tersebut menyebabkan layanan yang menjadi output specification menjadi terganggu, maka
sektor privat menjadi tidak dapat bertanggung jawab. Hal ini menyebabkan hasil yang
diharapkan dari sebuah proyek KPS tidak tercapai.
11