Priangan dan Oud Batavia yang popular pada saat itu. Mereka menulis karyakaryanya hanya mengenal Hindia dan penduduk-penduduk Eropa saja melalui
pengamatanya sendiri, sehingga penilaian mereka tentang orang-orang Eropa itu
tidak lebih baik, paling tidak miliki alasan yang kuat. Sedangkan perhatian mereka
pada orang-orang pribumi hanya insidentil saja. Mereka hanya melihat dari sumber
buku-buku Campagnie. Tidak ada seorang pun yang bisa mempelajari sumbersumber pribumi yang asli. Dengan demikian corak penulisan mereka lebih kepada
ciri Nasionalistis Nederland, sedangkan sejarah Batavia dan perkumpulan OudBatavia telah menjadi kombinasi museum dan Coen-mausoleum.
2. Mazhab Utrecht
Sejak 10 tahun akhirnya Prof. Gerretson melakukan suatu perjuangan
terhadap pengertian-pengertian tentang keadaan kolonial yang tidak bisa dikatakan
tidak berhasil sama sekali, agar mendapatkan pandangan yang lebih baik dalam
hak-hak dan kewajiban kolonial. Dengan demikian mazhab ini beraliran konservatif
yang diperkenalkan oleh Gubernur Jendral van der Capellen dan bahkan membela
cultur stelsel yang bertentangan dengan kaum kolonial-liberalisme dan etis pada
saat itu.
Mazhab Utrecht menggali masalah-masalah kolonial lebih mendalam dari
pada yang pernah dilakukan dan mazhab batavia memperlihatkan perhatiannya
kepada orang-orang kolonial. Dibandingkan dengan aliran yang sebelumnya, maka
terlihat perbedaan dalam tujuan yang hanya membahas mengenai kegiatan-kegiatan
kolonisator. Akan tetapi dalam metodenya tidak memilki perbedaan yaitu sama-sama
menggunakan sumber dari peninggalan-peninggalan tertulis maupun lisan dari
orang-orang pribumi. Seperti pada tahun 1600, hanya sedikit yang menceritakan
tentang periode Hindu Jawa dan Islam tetapi lebih banyak mengungkapkan hal-hal
pada masa Campagnie.
E. KELEBIHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
Tidak disangkal bahwa historiografi masa kolonial turut memperkuat
proses naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari subyektifitas yang melekat,
sejarawan kolonial berorientasikan fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan
akan fakta-fakta sungguh mencolok. Pembicaraan mengenai perkembangan
historiografi Indonesia tidak dapat mengabaikan literatur historiografis yang
dihasilkan oleh sejarawan kolonial.
F. KELEMAHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
1. Subyektifitas Tinggi Terhadap Belanda
Subyektifitas begitu melekat pada historiografi masa kolonial. Sejarawan
kolonial pada umumnya deskripsinya berorientasikan pada kejadian-kejadian yang
menyangkut orang-orang Belanda, misalnya dalam sejarah VOC. Banyak kupasankupasan yang menekankan ciri yang menonjol yaitu Nederlandosentrime pada
khususnya dan Eropasentrisme pada umumnya.
Apabila kita mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang
berupa perang bersekala besar (Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang
Aceh) maupun yang bersekala kecil yang dilakukan oleh rakyat disebut rusuh atau
brandalan. Seperti pemberontakan di Cilegon, Gedangan, Jambi, Cimareme.
Sejarah perang kolonial terutama menguraikan berbagai operasi militer secara
mendetail, sedangkan bangsa Indonesia hanya disebut sebgai obyek dari aksi militer
itu.
3. Kekurangan Kualitatif dari Sejarawan-Sejarawan Kolonial
Kebanyakan buku tentang sejarah kolonial mempunyai hal-hal yang kaku
dan dibuat-buat. Buku-buku yang seluruhnya ditulis dari ruang studi di Belanda dan
hampir seluruhnya membahas Gubernemen dan pejabat-pejabatnya dan orangorang pribumi yang kebetulan dijumpai. Hanya sedikit dibicarakan tentang rakyat
yang berfikir, yang merasa dan bertindak dan hampir tidak seorang pun yang
berusaha meneliti syair-syair, hikayat, babad, dan sejarah. Apa yang menjadi
pertimbangan dan pendapat mereka karena kebanyakan sejarawan Campagnie
hampir tidak menceritakan akan adanya tulisan-tulisan pribumi atau menilainya
terlalu rendah. Mereka malu akan bahan-bahannya baik orang Eropa maupun orang
pribumi dikritik. Bahwa keadaannya jauh lebih baik dan hal ini membenarkan
kehadiran orang-orang Eropa sekarang.
4. Kekurangan Kuantitatif
Setelah masa kompeni relatif sedikit karya-karya yang diterbitkan yang
disebabkan oleh sistem kerahasian yang fatal dan yang berlaku pada masa itu dan
pergawasan yang menurun terhadap jajahan pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah
bahan arsip yang banyak, hanya sedikit saja yang merupakan sumber terbuka.
Cukup besar keuntungan kita apabila mempunyai penerbit dari Generalie Missiven
atau laporan-laporan kolonial yang dititipkan setiap tahun, satu atau beberapa
exemplar pada kapal-kapal yang berlayar pulang. Tidak hanya mengenai sejarah
Hindia Belanda melainkan juga tentang sejarah Asia dan Afrika. Kita saat ini hanya
memiliki suatu penerbitan yang sangat tidak lengkap dari missiven yang
dikumpulkan oleh ahli arsip kerajaan, de Jonge memiliki hubungan Indonesia.
Penerbit ini dicetak atas kertas yang buruk sekali, sehingga penerbit ini tidak akan
bertahan lama hal ini merupakan salah satu contoh kesulitan yang di hadapi seorang
sejarahwan kompeni. Jumlah buku tentang sejarah Indonesia sangatlah minim.
G. SARANA BANTU PENELITIAN
Ada dua terbitan yang bersama-sama memberi uraian yang boleh dikatakan
lengkap tentang sumber-sumber tercetak mengenai sejarah Indonesia yang ada
dalam bahasa Belanda. Keduanya mendaftar bahan sekunder maupun primer, tetapi
referensi yang diberikan cukup terinci sehingga pada umumnya memungkinkan kita
untuk membedakan yang satu dari yang lainnya. Pertama adalah Catalogus der
Koloniale Bibliotheek van het Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indie en het Indisch Genootschap (4 jilid, 19081937). Dalam katalog ini disebut hampir seluruh terbitan sejarah tentang jajahan
Belanda yang muncul sampai tahun 1935. Karena itu katalog ini dapat dianggap
sebagai bibliografi sejarah Indonesia yang hampir lengkap yang ditulis sampai tahun
itu.
Alat bantu penelitian tambahan yang bernilai adalah J.C Hooykaas dan lain-lain, ed.,
Repertorium op de Koloniale Litteratuur (11 jilid, 1877-1935). Karya ini merupakan
catalogue raisonne dari semua artikel dalam berbagai majalah, jurnal, dan transaksi
perkumpulan-perkumpulan ilmiah yang berkenaan dengan wilayah Belanda di
seberang lautan. Karya ini diterbitkan di negeri Belanda antara tahun 1595-1932.
Kepustakaan majalah Belanda memuat bahan-bahan rujukan asli secara melimpah
ruah. Dalam majalah ilmiah yang daftar namanya terdapat di dalam repertorium,
terdapat banyak terjemahan kronik Indonesia, berbagai kumpulan dokumen, dan
laporan serta notulen asli dari banyak konperensi dan komisi penyelidik pemerintah.