Barisan lirik ini pasti membawa kita ke masa kecil masing-masing. Lagu ini
begitu populer di kalangan anak-anak. Lagu yang cukup nasionalis menurut
saya. Kala itu kelas saya ramai menyanyikan lagu ini. Lagu yang sesungguhsungguhnya membuat saya begitu penasaran tentang orang-orang yang
diceritakan dalam kandungan kalimatnya. Benarkah saya memiliki nenek
moyang setangguh itu? Samudera mana yang dengan berani mereka taklukkan?
Dan kemanakah saya akan diajak kalau saya pergi beramai-ramai menuju pantai
dengan ombaknya yang berdebur?
Setelah saya beranjak lebih besar, mulai dapat membaca dan mengumpulkan
informasi, saya merasa perlu untuk mencari tahu jati diri dan seluk beluk lagu
Nenek Moyangku Pelaut yang tersohor itu. Dari buku-buku perpustakaan, sedikit
demi sedikit saya mengetahui perihal sebuah suku di negeri yang jauh, suku
Bugis di Sulawesi Selatan sana. Kelompok etnik inilah nampaknya yang
diberitakan melalui lirik penggugah semangat di atas. Suku Bugis terkenal akan
kepiawaiannya menaklukkan samudera raya.
Lantas, dengan apa mereka menaklukkan samudera? Bisakah lautan luas tak
berbatas itu diterjang menggunakan kaki telanjang di atas sampan dengan layar
terkembang?
Suku Bugis merupakan salah satu suku yang sangat mencerminkan kualitas
kreativitas, kedisiplinan, dan kerja keras luar biasa. Mereka mengarungi lautan
dengan perahu bernama Phinisi. Phinisi yang tangguh itu sudah mulai diciptakan
setidaknya sejak abad ke-13 menurut catatan Bugis kuno I La Galigo. Menurut
catatan itu, Phinisi adalah perahu yang membawa Sawerigading , sang Raja
Luwu berlayar jauh menyeberangi samudera menuju Tiongkok untuk
mempersunting seorang putri bernama We Cudai. Phinisi berlayar ke Tiongkok
hanya dengan menggunakan bantuan angin.
Alkisah dalam mitologi Tanah Beru, nenek moyang mereka menciptakan sebuah
perahu yang lebih besar untuk mengarungi lautan dengan membawa barang
dagangan sekaligus menangkap ikan. Sayang seribu sayang, saat pelayaran
pertama dilakukan, kapal tersebut dihantam ombak dan badai dan pecah
menjadi beberapa bagian. Badan perahunya terdampar di dusun Ara, layarnya
mendarat di Tanjung Bira, dan isinya ditemukan di Tanah Lemo. Peristiwa itu
menjadi isyarat simbolis bagi masyarakat. Mereka merasa harus menaklukkan
lautan dengan kerja sama. Sejak kejadian naas itu, orang Ara memfokuskan diri
pada pembuatan perahu. Orang Bira yang memperoleh layar mengkhususkan
diri mempelajari perbintangan dan tanda-tanda alam. Orang-orang Lemo sendiri
adalah pengusaha yang memodali dan menggunakan perahu tersebut. Tradisi
pembagian tugas tersebut berlangsung bertahun tahun dan berujung pada
pembuatan sebuah perahu tradisional bernama Phinisi.
Segala teknik turun temurun rakyat Bugis masih dipertahankan untuk
menghasilkan kapal Phinisi yang terbukti sangat tangguh di lautan. Kehebatan
para perancang dan pembuat kapal Phinisi dapat dibuktikan dengan proses
pembuatan kapal mulai dari nol hingga selesai yang tidak memerlukan gambar
rancang kerja yang dibuat oleh para arsitek, seperti halnya yang dibutuhkan
dalam pembuatan kapal modern. Para pembuat kapal Phinisi dapat membuat
kapal dengan bermodalkan insting, kemahiran dan kecermatan tingkat tinggi
yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah sangat berpengalaman serta
diturunkan secara turun-temurun. Sama halnya dengan bahan perekat, mereka
menggunakan bahan perekat khusus dengan ramuan alami yang hanya
diketahui oleh para suku pembuat kapal ini.
Pembangunan kapal Phinisi dilakukan berdasarkan kepercayaan sakral, yaitu
hanya dilakukan pada waktuwaktu tertentu, yaitu pada tanggal 5 atau 7 setiap
awal bulan. Adapun pada tanggal tersebut diyakini mengandung rezeki yang
telah digenggam dan akan terus mengalir. Selain itu, proses pembuatan Phinisi
juga diiringi oleh sejumlah upacara sakral yang dipercaya oleh suku setempat.
Upacara tersebut umumnya dipimpin oleh pimpinan spiritual yang dipercaya
memiliki kapasitas untuk melakukannya atau yang disebut dengan Panrita Lopi.
Kegiatan upacara sakral untuk memulai sesuatu memang masih menjadi ciri
khas dan kepercayaan turuntemurun yang unik.
Pembuatan Phinisi terbilang tidak mudah karena memerlukan waktu hampir 1
tahun untuk merampungkannya (9 bulan), mulai dari proses penghitungan,
perancangan, pembentukan, pemolesan, hingga pemeriksaan keseluruhan
sampai perahu Phinisi siap digunakan. Secara keseluruhan, Phinisi merupakan
pengejawantahan dari intelektualitas tinggi yang dimiliki Suku Bugis. Hampir
semua bagian Phinisi terbuat dari kayu. Terlebih model Phinisi yang artistik
mengundang decak kagum orang yang melihatnya.
Phinisi kayu ini membuktikan ketangguhannya di era modern dengan melakukan
perjalanan panjang spektakuler dari Jakarta ke Vancouver, Kanada pada 1986.
Perjalanan itu sempat diragukan banyak orang, namun kepercayaan pada
kemampuan diri menghantarkan pembuktian manis yang menuai ucapan
selamat dari berbagai pihak. Expo 86, tujuan pelayaran Phinisi di Vancouver,
adalah event internasional dengan fokus transportasi dan komunikasi. Expo
tersebut memiliki 54 partisipan. Stand Indonesia berhasil meraih satu dari tiga
paku rel kereta api yang secara khusus diberikan pada tiga partisipan paling
kala
itu
benar-benar
Rujukan:
http://en.wikipedia.org/wiki/Expo_86
http://artikelbahasaindonesia.org/
http://pelayaran.net/