Anda di halaman 1dari 18

A.

Keserasian Antara Ilmu Dan Penampilan


Ilmu dan penampilan merupakan suatu hal yang tidak
dapat kita pisahkan, terutama kaitannya dalam berkomunikasi.
Ilmu yang telah dimiliki juga harus didukung oleh penampilan
yang sesuai. Ilmu disini diartikan sebagai pengetahuan yang
telah tersistem dan tertata dengan baik serta telah dibuktikan
kebenarannya.
dalam

Sedangkan

berbagai

macam

penampilan
bentuk

dapat

seperti

cara

dikategorikan
berpakaian,

berdandan, berbicara, bertingkah laku, dan lain sebagainya


dimana ilmu dan penampilan berfungsi menyeimbangkan di
antara

keduanya

agar

harmonis

dan

selaras

baik

dalam

pelaksanaan kehidupan dan keseharian yang dilakukan.


Berikutnya

integrasi

mempunyai

makna

penyatuan,

penggabungan, maupun pemaduan beberapa hal agar menjadi


satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi. Kemudian pesan
disini mempunyai kaitan yang begitu erat dengan suatu kegiatan
yang dinamakan komunikasi. Pesan dalam cakupan komunikasi
mempunyai makna yang beragam dan sangat luas karena pesan
dapat berbentuk atau berwujud dalam segala hal yang ada
dalam keseharian manusia. Para ahli teori komunikasi seperti
Lasswell, Berlo, Schramm, dan lainnya juga telah mendefinisikan
arti pesan berdasarkan pemahaman dan pengetahuan yang
mereka dapatkan masing-masing. Sebagai contoh, ada yang
mengartikan pesan ialah suatu perbuatan atau materi yang
disampaikan berupa ide, perasaan, ataupun sikap. Ada pula yang
mengatakan bahwa pesan adalah suatu kumpulan pola-pola,
isyarat,

atau

simbol-simbol

yang

didalamnya

mengandung

makna.
Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian Qalbiyah,
Jasadiyah, dan Maliyah ini berkaitan dengan perilaku, sikap,

perasaan, maupun perbuatan manusia. Ketiga kata di atas


merupakan istilah kata serapan yang berasal dari bahasa arab
yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Untuk yang
pertama, Qalbiyah dalam bahasa arab berasal dari kata qalbun
yang dibahasa indonesiakan menjadi kalbu yang berarti hati.
Dimana Allah telah menganugerahi manusia hati atau yang
dikenal dengan istilah perasaan agar manusia dapat merasa
dan peka terhadap segala hal yang terjadi di dunia dan sekitar
kita ini. Selanjutnya Jasadiyah juga berasal

dari kata bahasa

arab jasad yang sepadan dengan kata dalam bahasa indonesia


yang berarti tubuh atau badan. Yang ketiga, Maliyah dari kata
bahasa

arab

mal

yang

diterjemahkan

kedalam

bahasa

indonesia menjadi harta atau kekayaan. Hal ini pun juga sematamata pemberian dari Allah Sang Pencipta yang bertujuan agar
manusia dapat mengelola dan memanfaatkan semua itu untuk
kepentingan

beribadah

kepada-Nya

dan

berguna

bagi

kelangsungan hidup manusia di dunia ini.


Redaksi Ayat
Surat Al-Baqarah ayat 247
Terjemahan :
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: Sesungguhnya Allah
telah mengangkat Thalut menjadi rajamu. Mereka menjawab:
Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak
diberi kekayaan yang cukup banyak? Nabi (mereka) berkata:
Sesungguhnya

Allah

telah

memilih

rajamu

dan

menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.


Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
Surat Al-Anfal ayat 2-4
Terjemahan :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan

ayat-ayatNya

bertambahlah

iman

mereka

(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.


(Yaitu)

orang-orang

yang

mendirikan

shalat

dan

yang

menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada


mereka.Itulah

orang-orang

yang

beriman

dengan

sebenar-

benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian


di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.
Penafsiran, Uraian, dan Penjelasan
Surat Al-Baqarah ayat 247
Penafsiran Al-Misbah
Dari ayat ini di pahami, bahwa wewenang memerintah bukanlah
atas dasar keturunan , tetapi atas dasar pengetahuan dan
kesehatan jasmani, bahkan disini di isyaratkan bahwa kekuasaan
yang direstui Allah adalah adanya hubungan yang baik antara
penguasa dan allah SWT. Disisi lain, ayat ini mengisyaratkan
bahwa

bila

ingin

memilih

seorang

pemimpin,

janganlah

terperdaya oleh keturunan, kedudukan sosial, atau popularitas,


tetapi

hendaknya

atas

dasar

kepemilikan

sifat-sifat

dan

kualifikasi yang dapat menunjang tugas yang akan dibebankan


kepada yang dipilih itu.
Penafsiran Al-Azhar Hamka
Permohonan bani Israil meminta untuk mereka dilantikkan
seorang raja itu rupanya dikabulkan Allah. Nabi diberi wahyu
bahwa raja itu adalah Thalut, kemudian Nabi menyampaikannya
kepada bani Israil, tetapi mereka membantah karena Thalut tidak
berkuturunan raja dan tidak memiliki kekayaan.
Pemilihan Thalut menjadi raja bukanlah karena kehendak Nabi,
melainkan

kehendak

Allah.

Dia

dipilih

Tuhan

karena

ada

kelebihan dalam hal yang lebih penting daripada keturunan dan


kekayaan yakni keluasan daripada pengetahuan dan tubuh. Dan
Allah lebih mengetahui tentang segala sesuatu.
Disini Al-Quran telah meninggalkan dua pokok dasar untuk
memilih orang yang akan menjadi pemimpin atau memegang
puncak kekuasaaan. Yang pertama ilmu dan kedua tubuh.
Terutama

ilmu

dihadapinya,

berkenaan

sehingga

dia

dengan
tidak

tugas
ragu-ragu

yang

sedang

menjalankan

pimpinan.
[1]Yang dimaksud dengan tubuh ialah kesehatan, bentuk tampan
yang menimbulkan simpati. Oleh sebab itu maka ulama-ulama
fiqih banyak berpendapat bahwa seseorang yang badannya
cacat (invalid) jangan di jadikan raja, kecuali cacat yang

didapatnya dalam peperangan, karena bertempur, atau dalam


melakukan tugas
Penafsiran Ibnu Kasir
Ayat ini menunjukkan contoh tantangan bani Israil terhadap Nabi
mereka, Allah yang memilih Thalut, dan Allah lebih mengetahui
daripada kalian.seolah-olah Nabi mereka berkata, bukan aku
yang memilihnya, tetapi Allah yang menyuruhku ketika kalian
minta dipilihkan seorang raja, dan Allah telah melebihkannya dari
kalian dengan ilmu dan ketangkasan dalam soal perang.
Dari ayat ini dapat diketahui, bahwa raja harus seorang yang
cakap, pandai dan tampan. Kemudian Allah berfirman, bahwa Dia
akan memberikan kekuasaan kerajaan kepada siapa yang di
kehendaki-Nya

karena kebijaksanaan dan belas kasih-Nya

kepada makhluk-Nya, dan Allah Maha Luas Karunia-Nya lagi


Maha Mengetahui siapa yang layak untuk menerima tugasnya
Surat Al-Anfal ayat 2-4
Penafsiran Al-Misbah
Disini Allah Swt menjelaskan sifat orang-orang yang menyandang
predikat mukmin yaitu : membuktikan pengakuan iman mereka
dengan perbuatan sehingga antara lain apabila disebut nama
Allah dan sekedar mendengar nama itu, gentar hati mereka
karena mereka sadar akan kekuasaan dan keindahan serta
keagungan-Nya dan apabila dibacakan oleh siapapun kepada
mereka ayat-ayat-Nya, kembali terbuka lebih luas wawasan

mereka dan terpancar lebih banyak cahaya ke hati mereka dan


kepercayaan itu menghasilkan rasa tenang dalam menghadapi
segala sesuatu sehingga hasilnya adalah dan kepada Tuhan
mereka saja mereka berserah diri.
Ayat di atas

tidak bertentangan dengan firman-Nya : orang-

orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan


mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah
hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Rad (13:28). Hal ini tidak
bertentangan, karena disini melukiskan tahap pertama dari
gejolak hati oang-orang mukmin yang ketika itu merasa sangat
takut akibat membayangkan ancaman dan siksa Allah, sedang
ayat Ar-Rad tersebut menggambarkan gejolak mereka setelah
itu yakni ketika mereka mengingat rahmat kasih sayang Allah.
Kedua kondisi psikologis ini ditampung pula oleh firman-Nya :
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Kitab
(Al-Quran) yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulangulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut pada
Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di
waktu mengingat Allah (QS. Az-Zumar [39] : 23).
Ayat-ayat di atas menegaskan penambahan iman bagi siapa
yang

mendengar

ayat-ayat

Al-Quran.

Thahir

ibnu

Asyur

berpendapat bahwa penambahan iman itu lahir karena ayat-ayat


Al-Quran mengandung mukjizat/bukti-bukti kebenaran sehingga
setiap ayat yang turun atau berulang terdengar, maka ia
menambah

keyakinan

pendengarnya

tentang

kebenaran

informasinya dan bahwa informasi-informasi itu pasti bersumber


dari Allah Swt.

[2]Dari kutipan uraian Kamil Abda Samad dalam bukunya AlIjaz al-Ilmy fi Al-Quran yang memaparkan laporan sejumlah
peneliti setelah melakukan observasi dengan alat-alat elektronik
canggih

guna

mengukur

perubahan-perubahan

fisiologis

terhadap sejumlah sukarelawan sehat yang sedang mendengar


dengan tekun ayat-ayat Al-Quran. Mereka terdiri dari orangorang muslim dan non muslim, yang mengerti bahasa Arab dan
yang tidak mengerti. Hasil pengamatan membuktikan adanya
pengaruh yang menenangkan hingga mencapai 97%. Hasil
pengamatan ini telah dilaporkan pada konferensi tahunan XVII
Asosiasi

Kedokteran

Islam

Amerika

Utara

(IMANA)

yang

diselenggarakan di Santa Lucia Agusutus 1984.


Setelah ayat yang lalu menggambarkan sisi dalam atau amal
kalbu orang-orang mukmin, ayat ke-tiga ini menjelaskan amalamal

lahiriah

mereka,

yakni

disamping

keimanan

mereka

mantap, mereka juga melaksanakan shalat secara bersinambung


dan sempurna, sesuai rukun dan syaratnya dan dengan khusyu,
disamping itu dari sebagian rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka, baik harta maupun selainnya, mereka nafkahkan
secara bersinambung pula sebatas kemampuan mereka.
Kata menafkahkan berarti mengeluarkan apa yang dimiliki
dengan tulus baik untuk kepentingan keluarga, orang lain, dan
siapapun yang membutuhkan. Perlu diperhatikan bahwa ayat di
atas

hanya

menyatakan

sebagian

dan

bukan

secara

keseluruhan.
[3]Sayyid Qutuhb menggarisbawahi bahwa apa yang dinafkahkan
sesorang sebenarnya itu hanyalah sebagian dari rezeki Allah

yang diterimanya, karena rezeki-Nya sangat banyak dan tidak


dapat terhitung. Pandangan Quthub ini benar adanya, karena
kesehatan, adalah rezeki, bahkan udara dan keberadaan di bumi
adalah rezeki Allah juga, sehingga kalaupun sesorang memberi
harta yang diberikan, menyumbangkan tenaga dan pikiran serta
dimanfaatkan,

kemudian

hingga

saat

ini

pun

dia

masih

memperolehnya, karena yang dimaksud dengan rezeki adalah


segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan.
Urutan penyebutan sifat-sifat orang mukmin dalam ayat ini yang
terdiri dari lima sifat pilihan sungguh sangat serasi dan sangat
sesuai. Ini karena cahaya iman menyusup masuk ke dalam hati
secara perlahan dan bertahap, sedikit demi sedikit menguat dan
bertambah sehingga mencapai kesempurnaan hakikatnya. Yang
pertama terjadi adalah rasa takut yang menyentuh hati saat
mengingat dan menyebut Allah, kemudian iman berakar umbuh
dan

bercabang

menguraikan

kebesaran

memperhatikan
menguat

melalui
ayat-ayat

imannya

perhatian

kepada

Allah

Swt.

itu

maka

sehingga

Setiap
akan

mencapai

ayat-ayat

yang

mukmin

yang

bertambah

dan

fase

yakin

yaitu

keteguhan iman yang tidak disertai lagi sedikit keraguanpun.


Selanjutnya jika ini telah tercapai sang mukmin menyadari
kebesaran dan kekuasaan Tuhan-nya serta menyadari pula
kelemahannya sesuai dengan kenyataan yang ada, yaitu bahwa
segala persoalan kembali kepada Allah Swt dan dengan demikian
dia berserah diri kepada-Nya. Setelah ini tercapai maka sang
mukmin menempatkan dirinya pada posisi tuduk dan taat
kepada-Nya dan inilah shalat yang sebenarnya yang merupakan
hubungan

hamba

memperhatikan

dengan

hubungannya

Allah.

Selanjutnya

dengan

dia

masyarakat

juga

dengan

menafkahkan rezeki yang Allah Swt anugerahkan kepadanya baik


harta, ilmu, atau selainnya.
Setelah ayat-ayat yang lalu melukiskan contoh kegiatan dan
amal mereka yang berkaitan dengan hati, anggota tubuh dan
harta, maka ayat ke-empat menunjuk kedudukan tinggi mereka
di sisi Allah Swt yakni yang sempurna lagi mantap imannya. Bagi
mereka derajat-derajat yang tinggi di sisi Tuhan Pemelihara
mereka di surga sana, dan ampunan atas kesalahan-kesalahan
mereka, serta rezeki yang mulia yakni banyak, halal, serta
memuaskan di dunia dan di akhirat nanti.
[4]Pakar Tafsir Abu Hayyan menulis bahwa : sebelum ini telah
disebutkan amal-amal baik orang mukmin yang terdiri dari tiga
hal

pokok,

pertambahan

ayitu

amal

iman,

dan

kalbu,

berupa

penyerahan

hati
diri

ayng
kepada

gentar,
Allah,

selanjutnya amal badaniyah berupa shalat dan yang ketiga amal


harta berupa zakat maka sebagai imbalannya disebut pula tiga
hal. Untuk amal kalbu imbalannya adalah ketinggian derajat,
untuk amal badan adalah maghfirah/pengampunan Ilahi, dan
untuk amal harta adalah karim yakni pelimpahan kemurahan
Ilahi.
Penafsiran Al-Azhar Hamka
Jika ada orang yang mengakui dirinya beriman, menurut ayat ini,
belumlah diterima iman itu dan belumlah terhitung ikhlas jika
hatinya belum bergetar mendengar nama Allah disebut orang.
Apabila nama itu disebut, terbayanglah dalam ingatan orang
yang beriman itu betapa Maha Besarnya kekuasaan Allah,

mengadakan, menghidupkan, mematikan, dan melenyapkan


segala sesuatu.
Sedangkan mendengar nama Allah disebut orang, hati dan
jantung mereka sudah tergetar karena takut, apa lagi jika ayatayat Allah itu dibaca lagi orang, niscaya ayat-ayat itu menambah
iman mereka kepada Allah.
Dan kepada Tuhan merekalah, mereka itu bertawakkal. (ujung
ayat 2).
Bertawakkal artinya ialah berserah diri. [5]Imam As-Syafii, Imam
Ahmad

bin

Hanbal,

dan

Imam

Abu

Ubaid

mengartikan

bertawakkal kepada Allah itu ialah tidak berharap kepada yang


lain, dan tidak berserah diri atau menyerahkan segala nasib dan
pekerjaan kepada yang lain. Tawakkal disini tentu saja tidak
berkali-kali mengabaikan ikhtiar. Karena sekali telah takut
mendengar namaNya disebut, niscaya dibuktikan rasa takut itu
dengan rasa kepatuhan melaksanakan yang diperintahkan dan
menjauhi yang dilarang. Jika sudah bertawakkal kepada Allah,
niscaya lebih lagi mempercayai bahwa segala perintah yang
diturunkan Allah kepada kita, mustahil akan membawa celaka
bagi kita pula.
Ibnu Katsir menafsirkan tentang tawakkal kepada Allah itu :
Artinya tidak mengharap yang lain, tujuannya hanya Dia,
berlindung hanya kepadaNya, tidak memohon sesuatu kecuali
hanya kepadaNya, dan sadar bahwa yang dikehendakiNyalah
yang terjadi.

Dan Said bin Jubair berkata : Tawakkal adalah pengikat iman.


Kemudian datanglah tanda iman yang ke-4 : (Yaitu) orang-orang
yang mendirikan sembahyang. (pangkal ayat 3). Sembahyang
adalah tanda iman yang ke-empat dan lanjutan yang sudah
semesti dan sepastinya dari iman. Jika pokok yang pertama tadi
sudah jelas, yaitu merasa takut bila nama Allah disebut orang,
diiringi dengan yang kedua yaitu bertambah iman apabila ayat
Allah dibaca sesorang, dan telah tawakkal pula sebagai yang
ketiga,

tentu

dia

akan

mengerjakan

sembahyang.

Sebab

sembahyang itu adalah bukti ketaatan kepada Allah, bukti


kesadaran bahwa Allah itulah yang patut disembah. Oleh sebab
itu, kalau ada orang yang mengaku beriman kepada Allah,
padahal dia tidak mengerjakan sembahyang, tandanya imannya
belum ada. Sembahyang atau shalat adalah bukti yang terang
sekali dari ketaatan. Baik taat kepada Allah ataupun taat kepada
Rasul.
Setelah itu muncullah tanda yang ke-5, yaitu : Dan dari apa
yang dikaruniakan kepada mereka, mereka belanjakan (ujung
ayat 3).
Inilah tanda iman yang kelima. Apabila hati telah beriman kepada
Allah, niscaya timbullah kepercayaan bahwa harta benda yang
didapati ini adalah semata-mata rezeki yang dianugerahkan
Allah. Sebab itu mereka akan bersyukur kepada Allah dengan
cara dikeluarkannya zakat apabila telah mencapai satu nisab dan
telah sampai satu tahunnya.

Mereka itu orang-orang beriman yang sebenarnya. (pangkal


ayat 4).
Tegasnya, jika kurang salah satu dari kelima itu, belumlah
mukmin yang sebenarnya, masih perlu latihan rohani lagi, untuk
mencapai iman sebenarnya itu. Bagi mereka beberapa derajat
di

sisi Tuhan mereka, dan ampunan dosa kunia yang mulia.

(ujung ayat 4).


Artinya, apabila kelima syarat itu telah dilengkapi, maka derajat
mukmin itu akan dinaikkan oleh Allah, ditinggikan, dimuliakan
disisi Allah Swt.
Dan dijanjikan pula akan diberi ampunan bila ada kekhilafan.
Karena sebagai manusia akan ada juga kelemahannya. Walau
telah berjuang, serta tujuannya tetap suci dan mulia, tetapi
terkadang

berbuat

khilaf

walaupun

hal

tersebut

tak

disengajanya. Dan Allah senantiasa membuka ampunannya. Dan


manusia diberi kemuliaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Penafsiran Ibnu Kasir
Ibnu Abbas mengatakan bahwa orang-orang munafik itu tiada
sesuatu pun dari sebutan nama Allah yang dapat mempengaruhi
hati mereka untuk mendorong mereka mengerjakan hal-hal yang
diwajibkan-Nya. Mereka sama sekali tidak beriman kepada
sesuatu pun dari ayat-ayat Allah, tidak bertawakkal, tidak shalat
apabila sendirian, dan tidak menunaikan zakat harta bendanya.
Maka Allah menyebutkan bahwa mereka bukan orang-orang

yang beriman. Kemudian Allah Swt menyebutkan sifat orangorang mukmin melalui firman-Nya :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka
yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka.
Karena itu, mereka mengerjakan hal-hal yang diwajibkan-Nya.







dan

apabila

dibacakan

kepada

mereka

ayat-ayat-Nya,

bertambahlah iman mereka (karenanya).


Maksudnya,

kepercayaan

mereka

bertambah

tebal

dan

mendalam.



Dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
Yakni mereka tidak mengharapkan kepada seorang pun selain
Allah
.
Firman Allah Swt :






dan

apabila

dibacakan

kepada

mereka

ayat-ayat-Nya,

bertambahlah iman mereka (karenanya).


[6]Imam Bukhari dan lain-lainnya dari klalangan para imam
mengambil kesimpulan dari dalil ayat ini dan ayat-ayat lainnya
yang semakna, bahwa iman itu dapat bertambah (dan dapat
berkurang), serta iman itu dalam hati mempunyai grafik naik
turunnya. Demikianlah menurut mazhab jumhur ulama, bahkan
ada yang mengatakan bahwa hal ini telah disepakati, seperti apa
yang telah dikatakan oleh Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu
Hambal, dan Abu Ubaid. Hal ini telah diterangkan dengan
penjelasan yang terinci dalam permulaan kitab Syarah Bukhari.



dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
Said ibnu Jubair mengatakan bahwa tawakal kepada Allah
merupakan induk keimanan.
Firman Allah Swt :
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan
sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Sehubungan

dengan

hal

ini

Qatadah

mengatakan

bahwa

mendirikan shalat ialah memelihara waktu-waktu penunaiannya,


wudhunya,

rukuk

dan

sujudnya.

Muqatil

ibnu

Hayyan

mengatakan, mendirikan shalat artinya memelihara waktu-waktu


penunaiannya, menyempurnakan bersucinya, melakukan rukuk

dan

sujudnya

dengan

sempurna,

membaca

Al-Quran

didalamnya, serta membaca tasyahhud dan shalawat untuk Nabi


Saw. Sifat orang yang beriman lainnya ialah menafkahkan
sebagian dari apa yang direzekikan oleh Allah kepada mereka
yang membutuhkan. Dan mereka yang menyandang sifat-sifat ini
adalah orang-orang yang beriman dengan sesungguhnya.
Kemudian Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian
di sisi Tuhannya. Yaitu tempat dan kedudukan serta derajat
didalam surga dan Allah mengampuni dosa-dosa mereka dan
membalas mereka dengan kebaikan-kebaikan.
Hubungan dengan Komunikasi
Hubungan makna ayat pada Surat Al-Baqarah ayat 247 dengan
prinsip

komunikasi

yakni

apabila

kita

berperan

sebagai

komunikator hendaknya memperhatikan serta menerapkan ilmu


maupun

pengetahuan

komunikator

haruslah

yang

telah

dimiliki,

pandai-pandai

dalam

sebab

sebagai

menyampaikan

pesan tersebut kepada komunikan agar terciptanya komunikasi


sambung

rasa.

Begitu

pula

dengan

penampilan

seorang

komunikator tehadap komunikan juga harus diperhatikan dengan


mempersiapkan performansi terbaik kita sebagai komunikator
agar pesan yang disampaikan kepada komunikan mendapat
perhatian serta respon positif dan maksimal dari komunikan,
sehingga komunikasi dapat terlaksana secara efektif.
Sedangkan untuk hubungan antara ayat 2-4 Surat Al-Anfal diatas
dengan komunikasi pada umumnya yakni dilihat dari bentuk dan
macam dari komunikasi itu sendiri. Semisal yang berkaitan

dengan pesan Qalbiyah, hal ini terkait dengan bentuk komunikasi


Intrapersonal,

yakni

komunikasi

dimana

komunikator

dan

komunikan adalah dirinya sendiri. Jadi komunikasi ini tidak


melibatkan pihak kedua atau orang lain, attau lawan bicara.
Biasanya komunikasi ini dalam bentuk memutuskan pendapat,
proses

berpikir,

dan

sebagainya.

Seperti

halnya

jika

kita

berinteraksi dengan Allah, kita tidak mungkin secara langsung


berbicara

atau

dapat

berkomunikasi

dengan

dzat

Allah,

melainkan hanya dengan perasaan kita dalam bentuk tawakkal


kepada Allah. Kemudian pesan Jasadiyah terkait dengan bentuk
komunikasi verbal, nonverbal, interpersonal. Dan untuk pesan
Maliyah dimana berhubungan dengan bentuk komunikasi yang
menghasilkan

kekayaan

karena

terkait

dengan

harta

dan

hubungan bersosial serta kemasyarakatan, seperti komunikasi


media massa, komunikasi organisasi, komunikasi manajemen,
dan lain sebagainya.
E. Kesimpulan
Surat Al-Baqarah ayat 247
Dari kisah raja Thalut tadi mengandung pesan bahwa dalam
memilih seorang pemimpin janganlah memandang dari segi
keturunan dan kekayaannya. Tetapi lebih baik pilihlah orang yang
berilmu dan berpenampilan baik serta cocok untuk menjadi
seorang pemimpin. Kemudian keserasian antara

ilmu

dan

penampilan merupakan suatu hal yang sangat relevan dan


sesuai terutama didalam masalah komunikasi.
Surat Al-Anfal ayat 2-4

Sifat-sifat mukmin sejati yang telah dijelaskan dalam Surat AlAnfal ayat 2-4 berkaitan erat dengan makna pesan Qalbiyah,
Jasadiyah, dan Maliyah dengan penjelasan sebagai berikut :

Qalbiyah (berhubungan dengan batin atau perasaan yang

berlangsung dan sedang dirasakan oleh hati manusia) = seperti


yang terdapat dalam sifat mukmin sejati yang pertama, kedua,
dan ketiga.
Jasadiyah (berkaitan dengan tubuh / badan dan gerakan yang
dilakukan manusia) = ada pada sifat mukmin sejati yang
keempat.

Maliyah (berhubungan dengan bentuk kegiatan amal harta

benda yang dimiliki manusia) = sebagai contoh dalam sifat


mukmin sejati yang kelima.
Selanjutnya

makna

ketiga

pesan

di

atas

juga

terdapat

hubungannya dengan bentuk-bentuk ataupun model komunikasi


DAFTAR PUSTAKA
M.

Quraish

Shihab,

2000,

Tafsir

Al-Mishbah

Pesan

dan

Pesan

dan

Keserasian Al-Quran, Vol. 1, Jakarta:Lentera Hati.


M.

Quraish

Shihab,

2002,

Tafsir

Al-Mishbah

Keserasian Al-Quran, Cet.I, Vol. 5, Jakarta:Lentera Hati.


Prof. Dr. Hamka, 1982, Tafsir Al-Azhar, Jakarta:Pustaka Panji Mas.

Prof. Dr. Hamka, 2000, Tafsir Al-Azhar, Juz 2, Jakarta:Pustaka Panji


Mas.
Ibnu Katsir, 2006, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, Pustaka Imam Syafii,
Bandung.
Ibnu Katsir, 2000, Tafsir Ibnu Katsir, Cet. I, Juz 9, Sinar Baru
Algensindo, Bandung.
[1] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 2. Jakarta: Pustaka Panji
Mas, 2000. Hal. 352
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan dan Keserasian
Al-Quran, Cet.I, Vol. 5, Lentera Hati, 2002. Juz 8. Surah Al-Anfal.
Kelompok I, ayat 2. Hlm.362
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan dan Keserasian
Al-Quran, Cet.I, Vol. 5, Lentera Hati, 2002. Juz 8. Surah Al-Anfal.
Kelompok I, ayat 3. Hlm.365
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan dan Keserasian
Al-Quran, Cet.I, Vol. 5, Lentera Hati, 2002. Juz 8. Surah Al-Anfal.
Kelompok I, ayat 4. Hlm.367
[5] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Pustaka Panji Mas, Jakarta,
1982. Surat Al-Anfal (ayat 2-3). Hlm. 253
[6] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Cet. I, Juz 9, Sinar Baru
Algensindo, Bandung, 2000. Hlm. 321

Anda mungkin juga menyukai