Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang dinyatakan dengan
adanya hiperglikemia kronik dan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein yang berkaitan dengan perkembangan terjadinya kelainan, disfungsi dan
kerusakan beberapa organ khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.1
Sebagian besar gambaran patologik Diabetes Melitus (DM) dapat dihubungkan
dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu: (1) Berkurangnya
pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa
darah hingga 300-1.200 mg/dL; (2) Peningkatan metabolisme lemak, menyebabkan
terjadinya metabolisme lemak abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada dinding
pembuluh darah sehingga timbul gejala aterosklerosis; dan (3) Berkurangnya protein
dalam jaringan tubuh.2
Saat ini angka kejadian Diabetes Melitus (DM) diperkirakan akan terus meningkat.
Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3%
menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Diabetes Melitus (DM) sering
disebut sebagai the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ
tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang tidak ditangani dapat
mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi komplikasi akut dan
kronik.2
Prevalensi Diabetes Melitus Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6%
dari orang dewasa. Negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya
sangat menonjol, seperti di Singapura, kekerapan DM sangat meningkat dibanding
dengan 10 tahun yang lalu. Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini
dilaksanakan di Indonesia, kekerapan DM di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%,
kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di
Manado 6%.3

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang sangat sering
dijumpai di Indonesia. Semakin hari angka kesakitannya semakin meningkat. Dengan
referat ini diharapkan dapat menambah pemahaman tentang Diabetes Melitus (DM)
serta dapat berguna bagi panduan untuk tatalaksana penyakit metabolik yang paling
sering di jumpai di masyarakat Indonesia.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
`
2.1. Gambaran Umum Diabetes Melitus
Meningkatnya prevalensi Diabetes Melitus (DM) di beberapa negara berkembang,
akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak diamati.
Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota
besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit
jantung koronner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain.1
Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif.1
Diabetes Melitus (DM) bukan penyakit yang disebabkan oleh satu faktor, tetapi
merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor). DM
dikarakterisasi oleh hiperglikemia kronik karena penurunan kerja insulin pada jaringan
target (disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya).
Penurunan kerja insulin ini berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein pada jaringan termasuk hati.3
2.2. Epidemiologi
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit endokrin yang paling sering
ditemukan dan diperkirakan diderita oleh 120 juta orang di seluruh dunia. Saat ini angka
kejadian DM diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia
menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia
lebih dari 15 tahun. 4
Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great initator karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM
yang tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang
meliputi komplikasi akut dan kronik.5
3

Prevalensi Diabetes melitus (DM) tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 36% dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan
kekerapan diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia. Dengan demikian
kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnis tertentu
dengan kelompok etnis kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara
berkembang yang laju pertumbuhan eknominya sangat meningkat dibanding dengan 10
tahun yang lalu.4
Prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia, terjadinya DM di Indonesia berkisar
antara 1,4 dengan 1,6 %, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat
Semarang, 2,3 % dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi
disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado,
Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya
terdiri dari dari orang-orang yang datang dengan suarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi
kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada
kemungkinan prevalensi di Manado tinggi karena prevalensi di Filipina juga tinggi,
yaitu sekitar 8,4%-12% di daerah urban dan 3,85-9,7% di daerah rural.4,5
Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM
tipe 2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makassar, prevalensi terakhir tahun 2005
mencapai 12,5%.
Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan
peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86138%. Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global seperti disebutkan di
atas, maka dengan demikian dapat dimingerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam 1
atau 2 dekade yang akan datang kekerapan Diabetes Melitus (DM) di Indonesia akan
meningkat dengan drastis.5
Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya :3,4
a. Faktor demografi :
1) Jumlah penduduk meningkat
2) Penduduk usia lanjut betambah banyak
3) Urbanisasi makin tak terkendali

b. Gaya hidup yang kebarat-baratan :


1) Penghasilan per capita tinggi
2) Restoran siap santap
3)Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan
c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi
lebih panjang.
2.3. Etiologi
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resistensi insulin. Resistensi
insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa,
maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti
sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.2,6
Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis Diabetes Melitus (DM).
Sel pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar
glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi
kelelahan sel pankreas, baru terjadi diabetes melitus klinis, yang ditandai dengan
adanya kadar glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes
melitus.5,6
2.4. Patofisiologi
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak.
Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi dengan baik.
Energi pada mesin tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan seharihari, yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak.1,2
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu ke dalam
sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui
proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut
5

metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat
penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat
digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang
dikeluarkan oleh sel beta pankreas.2
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun yang disebabkan
oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta
yang disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA)
menyebabkan hancurnya sel beta.
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih
banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang.
Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel.
Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya
(insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang
masuk akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa
dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin.
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktorfaktor di bahwa ini banyak berperan:3,5

Obesitas terutama yang berbentuk sentral

Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

Kurang gerak badan

Faktor keturunan (herediter)

2.5. Manifestasi Klinik


Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi),
sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan (polifagi) serta berat
badan yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah,
kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah
seks menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4 kg.7
Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama.
Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit tentang
perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.6.7

Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2

Onset (umur)
Keadaan
klinis

DM Tipe 1
Biasanya < 40 tahun
saat Berat

DM Tipe 2
Biasanya > 40 tahun
Ringan

diagnosis
Kadar Insulin
Berat badan

Tak ada insulin


Biasanya kurus

Insulin normal atau tinggi


Biasanya
gemuk atau

Pengobatan

Insulin, diet, olahraga

normal
Diet, olahraga,

tablet,

insulin

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan untuk diagnosa Diabetes Melitus (DM), melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah (gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah makan/post prandial/PP) dan
setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO).7.8

Pemeriksaan kadar glukosa darah.

Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus berpuasa 6 12 jam
sebelum diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan
seperti yang biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO, dan harus
dihabiskan dalam waktu 15 20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk
pemeriksaan glukosa 2 jam PP.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara darah disentrifugasi untuk mendapatkan
serumnya, kemudian diperiksa kadar gula darahnya. Bila pemeriksaan tidak langsung
dilakukan (ada penundaan waktu), darah dari penderita bisa ditambah dengan
antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya
glukosa darah yang rendah palsu. Ini sangat penting untuk diketahui karena kesalahan
pada fase ini dapat menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan
sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan penderita
Diabetes Melitus (DM).
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi,
enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu
metode glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase.8
7

a. Metode GOD, akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD spesifik untuk
reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang
bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.
b. Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan
presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang
digunakan spesifik untuk glukosa. Untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM),
digunakan kriteria dari consensus perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun
1998.
Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM)
Antibody marker adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic
antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibody terhadap glutomic acid
decarboxylase (anti-GAD).6,8,9
a. Islet cell cytoplasmic antibodies (ICA) bereaksi dengan antigen yang ada di
sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pancreas. ICA menunjukkan adanya
kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya
penyakit ke arah Diabetes Melitus (DM) tipe 1.
b. antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) adalah enzim yang
dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmitter g-aminobutyric acid (GAB). Anti
GAD ini bias teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini
bisa digunakan sebagai uji saring sebelum gejala Diabetes Melitus (DM) muncul.
Untuk membedakan Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dengan Diabetes Melitus (DM)
tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indicator
yang baik untuk fungsi sel beta, juga bias digunakan untuk memonitor respons individual
setelah operasi pancreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi
pancreas atau transplantasi sel-sel pulau pancreas.
Pemeriksaan untuk pemantauan Diabetes Melitus (DM)
Untuk Pemantauan Pengelolaan Diabetes Melitus (DM), yang digunakan adalah
kadar gula darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya
8

HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin.8,9


Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini
memerlukan prosedur yang memakan waktu lama . Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan
ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk
memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin.
Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara
glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang
dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan
irevarsibel.
Metode pemeriksaan HbA1C ; ion-exchange chromatography, HPLC (high
performance liquid chromatography), electroforesis, Immunoassay (EIA), Affinity
Chromatography, dan analisis kimiawi dengan kolorimetri.
a. Metode Ion Exchange Chromatography, harus dikontrol perubahan suhu reagen dan
kolom, kekuatan ion, dan pH dari buffer, Interferens yang mangganggu adalah adanya
Hbs dan HbC yang bias memberikan hasil negatif palsu.
b. Metode HPLC (high performance liquid chromatography), prinsip sama dengan ion
exchange chromatography, bias diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan presisi yang
baik sekali. Metoce ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi
c. Metode elektroforesis, hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya
kurang dibanding HPLC, HbF memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion,
pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.
d. Metode immunoassay (EIA), hanya mengukur HbA1C tidak mengukur HbA1C yang
labih maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.
e. Metode Affinity Chromatography, non-glycated hemoglobin serta bentuk labih dari
HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu.
Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi
metode ini mengukur keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran
dengan metode ini lebih tinggi dari metode HPLC.
f. Metode Kalorimentri, waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak
9

dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama,


sample besar, dan satuan pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.
Interpertasi hasil pemeriksaan HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa
darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol
glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan
HbA1C-nya) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA 1C meningkat : pemberian Therapi
lebih intensif untuk menghindari komplikasi.
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA 1C (terkontrol) : 4%, 5,9%.(6) Jadi,
HbA1C penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum.
Sebaiknya, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.
2.7. Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole
blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.10
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan pemeriksaan
penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau
tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi
mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji
diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan
penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif.7,10
2.8. Komplikasi
Komplikasi kronik diabetes mellitus yaitu :11,12
1. Mikrovaskular
a. Gangguan mata
- Retinopathy
- Makular edema
- Katarak
- Glaukoma
10

b. Neuropathy
- Saraf sensory dan motorik
- Saraf autonom
c. Nephropathy
2. Makrovaskular
a. Penyakit koroner
b. Penyakit pembuluh darah perifer
c. Penyakit cerebrovaskular
3. Kelainan lain
a. Gastroparesis dan diare
b. Uropathy dan disfungsi seksusal
c. Kelainan dermatologi
2.9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup Diabetes
Melitus (DM).10,11,12
Tujuan penatalaksanaan
A. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah.
B. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas
dan maortalitas dini DM.
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus
Edukasi :
1.

Terapi gizi medis

2.

Latihan jasmani

3.

Intervensi farmakologis
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan

jasmani selama beberapa waktu (2 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral
(OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun
dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang
11

pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
I.

Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :10,11,12
-

Perjalanan penyakit DM

Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM

Penyulit DM dan risikonya

Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan

Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau
insulin serta obat-obatan lain

Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)

Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia

Pentingnya latihan jasmani yang teratur

Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)

Pentingnya perawatan diri

Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

II. Terapi gizi medis (TGM)


-

Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna


mencapai target terapi10,11,12

prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

12

Karbohidrat
-

Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi

Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak


dianjurkan

Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat


terutama yang berserat tinggi

Sukrosa todak boleh lebih dari 10% total asupan energi

Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari


perencanaan makan yang sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan
sebagai pengganti jumlah besar gula misalnya pada minuman ringan dan
permen

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan


karbohidrat dalam sehari

Lemak
-

Dianjurkan sekitar 20 25% kebutuhan kalori

Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori

Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal

Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole
milk)

Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty Acid),
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh

Protein
-

Dibutuhkan sebesar 15 20% total asupan energi

Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu,
tempe Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi

13

0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi.
Garam
-

Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg
atau sama dengan 6 7 g (1 sendok teh) garam dapur

Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama pada
mereka yang hipertensi

Serat
-

Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari, diutamakan serat larut

Pemanis
a. Batasi penggunaan pemanis bergizi
b. Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
c. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
diabetisi. Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori
basal sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada
beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, penyakit infeksi.
Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi
adalah sebagai berikut :
Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm 100) x 1 kg
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
14

Penentuan status gizi dapat digunakan


BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.

BB ( Kg )
IMT =
TB ( M2 )
Klasifikasi IMT :

BB Kurang

< 18,5

BB Normal

18,5 22,9

BB lebih

23,0

Dengan risiko

23,0 24,9

Obes I

25,0 29,9

Obes II

30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :


Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal / kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal / kg BB
Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk
dekade antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60 s/d 69 tahun, dan
dikurangi 20 % untuk usia diatas 70 tahun
Aktifitas fisik atau pekerjaan
Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20
% pada pasien dengan aktifitas ringan, 30 % dengan aktifitas sedang, dan 50
% dengan aktifitas sangat berat
Berat badan
-

Bila kegemukan dikurangi 20 30 % bergantung pada tingkat kegemukan.

Bila kurus ditambah 20 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk


15

meningkatkan BB.
-

Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit


1000 1200 kkal / hari untukwanita dan 1200 1600 kkal / hari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi


dalam 3 porsi besar untuk makan pagi( 20 % ), siang ( 30 % )dan sore ( 25 % )
serta 2 3 porsi makan ringan ( 10 15 % ) diantaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara bertahap
disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
III. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit yang
sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive Endurace training ).10
-

Continous
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti.
Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien melakukan
jogging tanpa istirahat.

Rytmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi
dan berelaksasi secara teratur.

Interval
Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh :
jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb.

Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas
ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate

= 75-85 % dari Maksimum Heart Rate

Maksimum Heart Rate


-

= 220-umur

Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi,
16

seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai
memulai olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas, didampingi
oleh orang yang tahu bagaimana cara mengatasi hipoglikemia, harus membawa
permen, membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam pengobatan, dan
memeriksa kaki dengan cermat setelah berolahraga.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut
nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :
DNM = 220 Umur ( dalam Tahun )
Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 4 kali
seminggu selama 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas malasan.
IV. Terapi Farmakologis
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan TGM dan latihan jasmani.10,11,12
1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan :
A. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis : metformin
D. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase
A. Golongan Insulin Secretagogues
Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi
17

sekresi insulin oleh sel beta pankreas.


1)

Sulfonilurea
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak
tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal
pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan
sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan
sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau
mempertahankan sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas.
Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel tersebut
maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan
permeabilitas K pada membran dan membuka channel Ca tergantung
voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat
pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung
insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya
bermanfaat untuk pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk
sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes
mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan
tertentu dimana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan
sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus
bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas
dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang
cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya
dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 12 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila
18

glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih
besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena
diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari
sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan
porsi terbesar.
2)

Glinid
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai
struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek
sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat
fenilalanin) kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati
sehingga diberikan 2 sampai 3 kali sehari.

B. Golongan Insulin Sensitizing


1)

Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati,
tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh
karena itu metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari
kecuali dalam bentuk extended release.
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk
menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada
laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus
diberikan dengan hati-hati pada orang usia lanjut.
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor
insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
pemakaian glukosa oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan
19

menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah


diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertingi dalam
darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan
waktu paruh 2,5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan
menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat
hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan
kenaikan berat badan.
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan
kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga
kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada
pengobatan tuggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya
maupun pada kombinasi dosis rendah.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan
sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS
(United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien
DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tungal
metformin atau sulfonylurea sampai dosis maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan
pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi
insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan
metformin. Penelitian lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin
dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin
sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk
dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan
pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan
kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.
2)

Glitazone
20

Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk


meningkatkan

sensitivitas

insulin.

Mekanisme

kerja

Glitazone

(Thiazolindione) merupakan agonist peroxisome proliferators-activated


receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR
gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa,
otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan
regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter jadi
setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat
ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam
bagi pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis
tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa
puasa sampai 55 mg/dl dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan
placebo. Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan menurunkan
glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi
kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I IV karena
dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pada

pasien

pemantauan

yang
faal

menggunakan
hati

secara

tiazolidindion

berkala.

Saat

perlu
ini

dilakukan

tiazolidindion

tidakdigunakan sebagai obat tunggal.

C. Penghambat Glukoneogenesis
1)

Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis),

disamping

juga

memperbaiki

ambilan

perifer.

Terutama dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan


pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan
hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
21

penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat


memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi efek samping tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
D. Penghambat Alfa Glukosidase ( acarbose )
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial.
Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga
tidak berpengaruh pada kadar insulin. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulen.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran
pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran pencernaan,
metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas
enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang
sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral:
a. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.
b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet,
karena lama kerjanya 24 jam).
c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi obat.
d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin.
e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

22

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan survei deskriptif dengan menggunakan desain cross
sectional dimana variabel bebas (penderita DM) dan variabel terikat (neuropati diabetik,
nefropati diabetik, retinopati diabetik, hipertensi, penyakit jantung, obat-obat yang
23

digunakan oleh pasien) lalu dikumpulkan secara bersamaan. Artinya tiap subjek
penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status
karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan.13
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1.Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 09 April sampai 02 Mei 2015.
3.2.2.Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan yang berobat
di poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang periode 09 April sampai
02 Mei tahun 2015.
3.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan di poli
klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang menderita Diabetes
Melitus.

3.3.3 Sampel dan Besar Sampel


Sampel dari penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan poli klinik PDL
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang menderita Diabetes Melitus. Pada
penelitian ini peneliti mengambil sampel sejumlah 50 orang pasien yang menderita
Diabetes Melitus.
3.3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
A. Kriteria Inklusi
1. Bersedia untuk mengikuti prosedur penelitian
2. Pasien merupakan penderita Diabetes Melitus yang berobat jalan di poli klinik
PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
B. Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang menolak prosedur penelitian.
3.4 Variabel Penelitian
24

3.4.1 Variabel Bebas (independent Variable)


Merupakan variabel yang mempengaruhi atau mengikat terhadap variabel lain
atau merupakan akibat dari adanya variabel bebas, variabel tergantung pada
penelitian ini yaitu penderita Diabetes Melitus.
3.4.2 Variabel Terikat (Dependent Variable)
Merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain, variabel terikat pada
penelitian ini adalah :
-

neuropati diabetik,
nefropati diabetik,
retinopati diabetik,
hipertensi,
penyakit jantung,
obat-obat yang digunakan oleh pasien

3.5 Cara Pengumpulan Data


3.5.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden melalui
pertemuan atau percakapan. Data primer pada penelitian ini diambil dengan beberapa
cara yaitu:
Dengan melakukan wawancara yaitu dilakukan kepada pasien poli klinik PDL
RSMP yang menderita Diabetes Melitus.
3.6 Metode Teknis Analisis Data
Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh,
diantaranya, adalah :
a. Editing yaitu melihat kelengkapan pengisian dan kejelasan untuk setiap kuesioner.
b.Processing adalah melakukan pemindahan atau memasukkan data dari kuesioner kedalam
computer untuk diproses secara komputerisasi.
c. Tabulating yaitu mentabulasi data jawaban yang telah diberikan ke dalam bentuk tabel.

25

3.7 Alur Penelitian

Pengumpulan Data Awal


Pengambilan data awal berupa jumlah
pasien yang akan dijadikan responden

Kriteria Inklusi
Seluruh pasien rawat jalan yang
memenuhi kriteria inklusi

Populasi dan Sampel

Pelaksanaan Penelitian
Melakukan wawancara kepada pasien
Diabetes Melitus
26

Pengolahan dan Analisis Data


Data dikumpulkan, dan dianalisis kemudian
disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

Hasil Penelitian

Gambar : Diagram Alur Penelitian

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian dan Pembahasan


4.1.1. Deskripsi Sampel
Responden dari penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan di poli klinik
PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang memenuhi kriteria pemilihan,
dimana pada penelitian ini didapatkan total sampel yaitu berjumlah 50 responden.
Subjek penelitian ini terdiri dari 50 responden yang rentang usia antara 21-72
tahun. Dari 50 responden tersebut kemudian dilakukan identifikasi terhadap penyakit
diabetes mellitus yang diderita, komplikasi lain yang diderita yaitu neuropati,
retinopati, nefropati, penyakit jantung, hipertensi, ulkus diabetikum serta obat yang
diminum oleh pasien, hasil dari analisis tersebut kemudian disajikan dalam tabel
distribusi frekuensi berikut :
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Klasifikasi Diabetes Mellitus yang
Diderita Oleh Responden.
No

Klasifikasi DM

Jumlah
27

Persentase

1
2
3

DM tipe 1
DM tipe 2
DM tipe lain

0
50
0

0%
100 %
0%

DM Gestasional
Total

0
50

0%
100 %

Tabel diatas menunjukkan bahwa pada saat penelitian, peneliti hanya


mendapatkan pasien rawat jalan di poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang yang menderita Diabetes Melitus tipe 2. Hal ini menegaskan teori yang
mengatakan bahwa di Indonesia jenis diabetes mellitus yang paling banyak adalah
DM tipe 2.6
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien Diabetes Mellitus.
No
1
2

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total

Jumlah
18
32
50

Persentase
36 %
64 %
100 %

Tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat lebih dari setengah jumlah


responden yaitu sebanyak 32 responden (64 %) adalah perempuan, sedangkan lakilaki hanya 18 responden (36 %). Artinya jumlah penderita DM pada perempuan lebih
banyak daripada laki-laki. Menurut teori faktor resiko terjadinya diabetes mellitus
pada perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki, hal ini disebabkan karena pola
kebiasaan sehari-hari. Salah satunya adalah duduk lama dan kurang gerak, tetapi para
ilmuan dan peneliti belum menemukan alasan mengapa hal tersebut tidak terjadi
pada laki-laki.
Riset dari America Journal of Preventive Medicine yang melakukan
penelitian terhadap laki-laki dan perempuan tentang kebiasaan dan hubungan dengan
penyakit DM, didapatkan hasil wanita cenderung duduk selama 4 sampai 7 jam
setiap hari. Wanita yang duduk paling lama cenderung memiliki kadar insulin lebih
tinggi. Kadar insulin yang tinggi dalam tubuh menunjukkan adanya resisten terhadap
hormone dan perkembangan diabetes.
Bahkan peneliti juga mencatat adanya kadar lebih tinggi pada C-Reactive
Protein (CRP), leptin, adinopectin dan interleukin-6, dimana semua bahan kimia
28

tersebut dilepaskan oleh jaringan lemak di perut dan dapat memicu timbulnya
peradangan. Peneliti mengatakan kemungkinan hal ini disebabkan karena perempuan
lebih mungkin untuk ngemil ketimbang laki-laki, dan mungkin karena laki-laki lebih
banyak bergerak dibandingkan perempuan.2,9

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Usia Pada Penderita Diabetes Mellitus.


No
1
2

Usia
< 40 tahun
40 60 tahun

> 60 tahun
Total

Jumlah
8
27

Persentase
16 %
54 %

15

30 %

50

100 %

Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 50 responden, didapatkan 8 orang
responden yang menderita Diabetes Mellitus berusia < 40 tahun (16 %), sebanyak 27
orang responden (54 %) berusia 40 - 60 tahun, dan sebanyak 15 responden (30 %)
berusia > 60 tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian Diabetes Mellitus
adalah usia lanjut. Meningkatnya resiko ini kemungkinan ada kaitannya dengan
semakin gemuknya seseorang seiring dengan bertambahnya usia. Gaya hidup santai,
aktifitas menurun, dan berkurangnya massa otot.11
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Komplikasi dan Penyakit Penyerta Pada Pasien
Diabetes Mellitus.
No
1
2
3
4
5
6
7

Komplikasi dan Penyakit


Penyerta
Neuropati Diabetika
Nefropati Diabetika
Retinopati Diabetika
Katarak
Hipertensi
Jantung
Ulkus Diabetika

Jumlah
12
10
3
2
31
1
2

Tabel diatas menunjukan bahwa sebanyak 31 responden menderita hipertensi


29

(pengobatan : amlodipin, candesartan, valesco, spironolakton, noperten), 12


responden menderita neuropati diabetika dengan gejala pasien merasa kesemutan
didaerah ektremitas (pengobatan : mecobalamin), penegakan diagnosis ini
berdasarkan konsultasi dengan spesialis neurologi. Didapatkan sebanyak 10 orang
responden yang menderita nefropati diabetika, hal ini diketahui dengan melihat hasil
pemeriksaan laboratorium yaitu ureum, creatinin dan protein urin positif. Sebanyak 3
orang responden menderita retinopati diabetika, hal ini didapatkan dari hasil
pemeriksaan responden di poli mata, 2 responden juga menderita ulkus diabetika dan
2 orang menderita katarak. Pada responden juga ada yang menderita penyakit jantung
yaitu penyakit jantung koroner.
Pada beberapa responden ada yang menderita 2 atau lebih komplikasi atau
penyakit penyerta. Dari teori memang banyak komplikasi serta penyakit penyerta
yang bisa terjadi pada pasien Diabetes Mellitus. Komplikasi yang bisa terjadi yaitu
mulai dari mikrovaskular (gangguan mata, gangguan saraf dan gangguan ginjal),
makrovaskular (penyakit koroner, penyakit cerebrovaskular), dan kelainan lain
(gastroparesis, diare, uropati, disfungsi seksual dan kelainan dermatologi).11, 12
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Obat yang di Gunakan
No
1

Jenis Terapi
Obat Hipoglikemik
Oral (OHO)
- Metformin
- Glimepirid
- Acarbose

Persentase

11
10
7

56 %

13

26 %

18 %

50

100 %

(Glucobay)
Injeksi Insulin
- Rapid (Novorapid,
-

Jumlah

Humalog, Apidra)
Long
(Lantus,

Levemir)
Kombinasi (OHO dan
Insulin)
Total

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa responden yang menggunakan Obat
Hipoglikemik Oral (OHO) paling banyak yaitu sebanyak 28 responden (56 %).
30

Kedua terbanyak adalah responden yang menggunakan terapi injeksi insulin yaitu
sebanyak 13 responden (26 %), sedangkan sejumlah 9 responden (18 %)
menggunakan terapi kombinasi antara OHO dan injeksi insulin.
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden
merupakan pasien golongan pengelolaan DM tahap 1. Algoritma pengelolaan pasien
Diabetes Mellitus terdiri dari 3 tahap :7, 10
- Tahap 1
Pasien dianjurkan untuk melakukan GHS (Gaya Hidup Sehat) dan tanpa
menggunakan obat-obatan untuk DM.
-

Tahap 2
Selain pasien dianjurkan untuk melakukan GHS (Gaya Hidup Sehat), pasien
juga diberikan obat untuk DM. Algoritma yang diberikan adalah pasien di
anjurkan melakukan GHS ditambah obat hipoglikemik oral, atau pasien
dianjurkan melakukan GHD ditambah obat hipoglikemik oral dan injeksi
insulin.

Tahap 3
Pada pasien dengan algoritma tahap 3 terapi yang diberikan adalah insulin.
Indikasi pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) adalah pasien dengan DM

tipe 2, berat badan pasien normal atau gemuk, pasien yang menderita DM kurang
dari 5 tahun, dan pasien yang belum pernah mendapatkan terapi insulin atau pernah
tetapi kurang ari 40 UI.7,10
Penggunaan terapi insulin diberikan dengan indikasi-indikasi yaitu, pasien
yang menderita Diabetes Mellitus tipe 1, pasien yang gagal mencapai target dengan
penggunaan kombinasi OHO dosis optimal selama 3 6 bulan. Selanjutnya pasien
Diabetes Mellitus tipe 2 yang rawat jalan dengan kehamilan, infeksi paru
(tuberculosis), kaki diabetic terinfeksi, fluktuasi glukosa darah yang tinggi (brittle).
Terapi Insulin ini juga diberikan kepada pasien dengan riwayat ketoasisdosis
berulang, dan riwayat pankreotomi. Selain indikasi diatas, terdapat beberapa kondisi
tertentu yang memerlukan pemakaian insulin, seperti penyakit hati kronis, gangguan
fungsi ginjal, dan terapi steroid dosis tinggi.7,10
Obat Hipoglikemik Oral (OHO) yang digunakan oleh responden pada
31

penelitian ini adalah golongan biguanid yaitu metformin, golongan sulfonilurea yaitu
glimepirid, dan golongan penghambat glukosidase alfa yaitu acarbose (glucobay).
Obat golongan biguanid mempunyai fungsi untuk menekan produksi glukosa hati
dan menambah sensitifitas terhadap insulin (insulin sensitizer). Obat golongan
sulfonilurea berfungsi untuk sekresi insulin oleh sel beta pancreas (insulin
secretaque). Obat golongan penghambat glukosidase alfa mempunyai fungsi untuk
menghambat absobsi glukosa.

4.2. Keterbatasan penelitian


Keterbatasan pada penelitian ini adalah terletak pada waktu dan responden yang tidak
beragam. Maksudnya karena waktu yang terlalu singkat dan waktu pengambilan sampel yang
tidak terjadwal mengakibatkan peneliti tidak mendapatkan pasien rawat jalan dengan menderita
Diabetes Mellitus tipe 1, Diabetes tipe lain dan Diabetes Gestasional. Penelitian ini akan lebih
baik jika pasien rawat jalannya beragam.
Kemudian pada penelitian ini, peneliti tidak mengambil data lamanya perjalanan penyakit
Diabetes Mellitus yang diderita oleh responden, sehingga obat-obatan yang sudah pernah
diminum oleh pasien tidak terdata.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

32

5.1.

Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Seluruh penderita Diabetes Mellitus yang berobat ke poli klinik PDL Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang adalah penderita Diabetes Mellitus tipe 2.
2. Komplikasi dan penyakit penyerta terbanyak dari DM tipe 2 yaitu, hipertensi,
neuropati diabetika, nefropati diabetika, retinopati diabetika, ulkus diabetika,
katarak dan penyakit jantung koroner.
3. Tatalaksana pada pasien Diabetes Mellitus tidak hanya bisa dengan penggunaan
obat tetapi harus dilakukan pemantauan terhadap pengaturan makanan, pengaturan
jasmani (olahraga) dan pengaturan intervensi farmakologis.
4. Obat Hiperglikemik Oral yang paling banyak digunakan oleh responden adalah
Metformin (11 responden), Glimepirid (10 responden), dan Acarbose (7 responden).
OHO paling banyak digunakan, sedangkan terapi insulin digunakan sebanyak 13
responden dan obat kombinasi digunakan sebanyak 9 responden.

5.2.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian diatas, peneliti menyarankan beberapa hal :
1. Bagi Institusi Rumah Sakit dan Petugas Kesehatan
Mengingat tingginya persentase pasien Diabetes Mellitus yang berobat, hendaknya
pasien tidak hanya diberikan terapi secara farmakologis tetapi pasien juga harus
diberi tahu cara untuk bagaimana mengatur makanan (ahli gizi) dan bagaimana cara
untuk latihan jasmani yang baik untuk pengobatan Diabetes Mellitus.
33

2. Bagi Peneliti selanjutnya


Melakukan penelitian lanjutan dengan bukan hanya pasien rawat jalan di poli
klinik, tetapi bisa dilakukan pada pasien di rawat inap dan IGD. Diharapkan
-

pasien yang didapatkan lebih beragam.


Melakukan pemeriksaan gula darah kepada responden untuk menilai apakah
gula darah responden terkontrol atau tidak terkontrol.
Melakukan penimbangan berat badan responden untuk menilai apakah gizi dan
makanan yang dikonsumsi responden sudah sesuai atau belum.
Melakukan pemantauan kegiatan latihan jasmani terhadap responden dengan
cara melihat apakah responden melakukan senam diabet baik dilakukan di
rumah sakit atau di rumah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Deliana, Melda. Diabetes Mellitus Tipe 2. 2007. Seminar Ilmiah Divisi Endokrinologi.
FK.USU.
2. Ellsworth, A.; Witt, D.; Dugdale, D. Mosbys Medical Drug Reference. USA. Elsevier
Mosby. 2005.
3. Evaria. MIMS Edisi Bahasa Indonesia. Edisi 14. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer. 2013
: 337-349.
4. Fauci, Anthony S., et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. United
States: McGraw-Hill Professional, 2008.
5. Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 :
34

481-495.
6. Gustaviani R. diagnosis dan klasifikasi diabetes mellitus. Dalam : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III
edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006: 185763.
7. Handoko T,Suharto B. Insulin, Glukagon dan Anti Diabetik Oral. Dalam : Gan S,
Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyatuti, Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi, Edisi
Empat. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p:467-79. 2003.
8. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe II di Indonesia.
Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe II. Jakarta. Pengurus Besar PERKENI. 2006.
9. Powers AC. Diabetes Mellitus. Dalam : braunwald E, fauci AS, kasper DL, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principle og Internal Medicine. 15th edition. New york
: McGraw-Hill Medical Publishing Division 2001 :2109-37.
10. Soegondo S. Farmakoterapi pada pengendalian Glikemia Diabetes Mellitus Tipe 2.
Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI 2006: 1860-3.
11. Tjokroprawiro Askandar, 2001. Diabetes Millitus Klasifikasi Diagnosa dan Terapi. PT
Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
12. Yunir E, Soebardi S. Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Melitus. Dalam : Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. p:
1864-6. 2006
13. Sastroasmoro, S. Sofyan Ismail. 2011. Dasar-dasar Metedologi Penelitian Klinis.
Jakarta: CV Sagung Seto.

35

Anda mungkin juga menyukai