PENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang sangat sering
dijumpai di Indonesia. Semakin hari angka kesakitannya semakin meningkat. Dengan
referat ini diharapkan dapat menambah pemahaman tentang Diabetes Melitus (DM)
serta dapat berguna bagi panduan untuk tatalaksana penyakit metabolik yang paling
sering di jumpai di masyarakat Indonesia.1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
`
2.1. Gambaran Umum Diabetes Melitus
Meningkatnya prevalensi Diabetes Melitus (DM) di beberapa negara berkembang,
akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak diamati.
Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota
besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit
jantung koronner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain.1
Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif.1
Diabetes Melitus (DM) bukan penyakit yang disebabkan oleh satu faktor, tetapi
merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor). DM
dikarakterisasi oleh hiperglikemia kronik karena penurunan kerja insulin pada jaringan
target (disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya).
Penurunan kerja insulin ini berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein pada jaringan termasuk hati.3
2.2. Epidemiologi
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit endokrin yang paling sering
ditemukan dan diperkirakan diderita oleh 120 juta orang di seluruh dunia. Saat ini angka
kejadian DM diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia
menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia
lebih dari 15 tahun. 4
Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great initator karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM
yang tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang
meliputi komplikasi akut dan kronik.5
3
Prevalensi Diabetes melitus (DM) tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 36% dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan
kekerapan diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia. Dengan demikian
kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnis tertentu
dengan kelompok etnis kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara
berkembang yang laju pertumbuhan eknominya sangat meningkat dibanding dengan 10
tahun yang lalu.4
Prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia, terjadinya DM di Indonesia berkisar
antara 1,4 dengan 1,6 %, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat
Semarang, 2,3 % dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi
disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado,
Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya
terdiri dari dari orang-orang yang datang dengan suarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi
kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada
kemungkinan prevalensi di Manado tinggi karena prevalensi di Filipina juga tinggi,
yaitu sekitar 8,4%-12% di daerah urban dan 3,85-9,7% di daerah rural.4,5
Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM
tipe 2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makassar, prevalensi terakhir tahun 2005
mencapai 12,5%.
Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan
peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86138%. Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global seperti disebutkan di
atas, maka dengan demikian dapat dimingerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam 1
atau 2 dekade yang akan datang kekerapan Diabetes Melitus (DM) di Indonesia akan
meningkat dengan drastis.5
Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya :3,4
a. Faktor demografi :
1) Jumlah penduduk meningkat
2) Penduduk usia lanjut betambah banyak
3) Urbanisasi makin tak terkendali
metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat
penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat
digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang
dikeluarkan oleh sel beta pankreas.2
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun yang disebabkan
oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta
yang disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA)
menyebabkan hancurnya sel beta.
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih
banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang.
Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel.
Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya
(insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang
masuk akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa
dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin.
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktorfaktor di bahwa ini banyak berperan:3,5
Onset (umur)
Keadaan
klinis
DM Tipe 1
Biasanya < 40 tahun
saat Berat
DM Tipe 2
Biasanya > 40 tahun
Ringan
diagnosis
Kadar Insulin
Berat badan
Pengobatan
normal
Diet, olahraga,
tablet,
insulin
Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus berpuasa 6 12 jam
sebelum diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan
seperti yang biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO, dan harus
dihabiskan dalam waktu 15 20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk
pemeriksaan glukosa 2 jam PP.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara darah disentrifugasi untuk mendapatkan
serumnya, kemudian diperiksa kadar gula darahnya. Bila pemeriksaan tidak langsung
dilakukan (ada penundaan waktu), darah dari penderita bisa ditambah dengan
antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya
glukosa darah yang rendah palsu. Ini sangat penting untuk diketahui karena kesalahan
pada fase ini dapat menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan
sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan penderita
Diabetes Melitus (DM).
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi,
enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu
metode glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase.8
7
a. Metode GOD, akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD spesifik untuk
reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang
bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.
b. Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan
presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang
digunakan spesifik untuk glukosa. Untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM),
digunakan kriteria dari consensus perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun
1998.
Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM)
Antibody marker adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic
antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibody terhadap glutomic acid
decarboxylase (anti-GAD).6,8,9
a. Islet cell cytoplasmic antibodies (ICA) bereaksi dengan antigen yang ada di
sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pancreas. ICA menunjukkan adanya
kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya
penyakit ke arah Diabetes Melitus (DM) tipe 1.
b. antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) adalah enzim yang
dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmitter g-aminobutyric acid (GAB). Anti
GAD ini bias teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini
bisa digunakan sebagai uji saring sebelum gejala Diabetes Melitus (DM) muncul.
Untuk membedakan Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dengan Diabetes Melitus (DM)
tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indicator
yang baik untuk fungsi sel beta, juga bias digunakan untuk memonitor respons individual
setelah operasi pancreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi
pancreas atau transplantasi sel-sel pulau pancreas.
Pemeriksaan untuk pemantauan Diabetes Melitus (DM)
Untuk Pemantauan Pengelolaan Diabetes Melitus (DM), yang digunakan adalah
kadar gula darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya
8
b. Neuropathy
- Saraf sensory dan motorik
- Saraf autonom
c. Nephropathy
2. Makrovaskular
a. Penyakit koroner
b. Penyakit pembuluh darah perifer
c. Penyakit cerebrovaskular
3. Kelainan lain
a. Gastroparesis dan diare
b. Uropathy dan disfungsi seksusal
c. Kelainan dermatologi
2.9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup Diabetes
Melitus (DM).10,11,12
Tujuan penatalaksanaan
A. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah.
B. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas
dan maortalitas dini DM.
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus
Edukasi :
1.
2.
Latihan jasmani
3.
Intervensi farmakologis
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral
(OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun
dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang
11
pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
I.
Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :10,11,12
-
Perjalanan penyakit DM
Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau
insulin serta obat-obatan lain
Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia
prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
12
Karbohidrat
-
Lemak
-
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole
milk)
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty Acid),
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh
Protein
-
Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu,
tempe Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi
13
0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi.
Garam
-
Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg
atau sama dengan 6 7 g (1 sendok teh) garam dapur
Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama pada
mereka yang hipertensi
Serat
-
Pemanis
a. Batasi penggunaan pemanis bergizi
b. Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
c. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
diabetisi. Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori
basal sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada
beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, penyakit infeksi.
Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi
adalah sebagai berikut :
Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm 100) x 1 kg
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
14
BB ( Kg )
IMT =
TB ( M2 )
Klasifikasi IMT :
BB Kurang
< 18,5
BB Normal
18,5 22,9
BB lebih
23,0
Dengan risiko
23,0 24,9
Obes I
25,0 29,9
Obes II
30
meningkatkan BB.
-
Continous
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti.
Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien melakukan
jogging tanpa istirahat.
Rytmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi
dan berelaksasi secara teratur.
Interval
Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh :
jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb.
Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas
ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate
= 220-umur
Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi,
16
seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai
memulai olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas, didampingi
oleh orang yang tahu bagaimana cara mengatasi hipoglikemia, harus membawa
permen, membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam pengobatan, dan
memeriksa kaki dengan cermat setelah berolahraga.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut
nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :
DNM = 220 Umur ( dalam Tahun )
Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 4 kali
seminggu selama 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas malasan.
IV. Terapi Farmakologis
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan TGM dan latihan jasmani.10,11,12
1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan :
A. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis : metformin
D. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase
A. Golongan Insulin Secretagogues
Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi
17
Sulfonilurea
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak
tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal
pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan
sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan
sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau
mempertahankan sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas.
Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel tersebut
maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan
permeabilitas K pada membran dan membuka channel Ca tergantung
voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat
pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung
insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya
bermanfaat untuk pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk
sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes
mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan
tertentu dimana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan
sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus
bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas
dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang
cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya
dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 12 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila
18
glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih
besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena
diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari
sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan
porsi terbesar.
2)
Glinid
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai
struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek
sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat
fenilalanin) kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati
sehingga diberikan 2 sampai 3 kali sehari.
Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati,
tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh
karena itu metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari
kecuali dalam bentuk extended release.
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk
menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada
laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus
diberikan dengan hati-hati pada orang usia lanjut.
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor
insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
pemakaian glukosa oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan
19
Glitazone
20
sensitivitas
insulin.
Mekanisme
kerja
Glitazone
pasien
pemantauan
yang
faal
menggunakan
hati
secara
tiazolidindion
berkala.
Saat
perlu
ini
dilakukan
tiazolidindion
C. Penghambat Glukoneogenesis
1)
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis),
disamping
juga
memperbaiki
ambilan
perifer.
22
BAB III
METODE PENELITIAN
digunakan oleh pasien) lalu dikumpulkan secara bersamaan. Artinya tiap subjek
penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status
karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan.13
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1.Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 09 April sampai 02 Mei 2015.
3.2.2.Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan yang berobat
di poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang periode 09 April sampai
02 Mei tahun 2015.
3.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan di poli
klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang menderita Diabetes
Melitus.
neuropati diabetik,
nefropati diabetik,
retinopati diabetik,
hipertensi,
penyakit jantung,
obat-obat yang digunakan oleh pasien
25
Kriteria Inklusi
Seluruh pasien rawat jalan yang
memenuhi kriteria inklusi
Pelaksanaan Penelitian
Melakukan wawancara kepada pasien
Diabetes Melitus
26
Hasil Penelitian
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi DM
Jumlah
27
Persentase
1
2
3
DM tipe 1
DM tipe 2
DM tipe lain
0
50
0
0%
100 %
0%
DM Gestasional
Total
0
50
0%
100 %
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Jumlah
18
32
50
Persentase
36 %
64 %
100 %
tersebut dilepaskan oleh jaringan lemak di perut dan dapat memicu timbulnya
peradangan. Peneliti mengatakan kemungkinan hal ini disebabkan karena perempuan
lebih mungkin untuk ngemil ketimbang laki-laki, dan mungkin karena laki-laki lebih
banyak bergerak dibandingkan perempuan.2,9
Usia
< 40 tahun
40 60 tahun
> 60 tahun
Total
Jumlah
8
27
Persentase
16 %
54 %
15
30 %
50
100 %
Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 50 responden, didapatkan 8 orang
responden yang menderita Diabetes Mellitus berusia < 40 tahun (16 %), sebanyak 27
orang responden (54 %) berusia 40 - 60 tahun, dan sebanyak 15 responden (30 %)
berusia > 60 tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian Diabetes Mellitus
adalah usia lanjut. Meningkatnya resiko ini kemungkinan ada kaitannya dengan
semakin gemuknya seseorang seiring dengan bertambahnya usia. Gaya hidup santai,
aktifitas menurun, dan berkurangnya massa otot.11
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Komplikasi dan Penyakit Penyerta Pada Pasien
Diabetes Mellitus.
No
1
2
3
4
5
6
7
Jumlah
12
10
3
2
31
1
2
Jenis Terapi
Obat Hipoglikemik
Oral (OHO)
- Metformin
- Glimepirid
- Acarbose
Persentase
11
10
7
56 %
13
26 %
18 %
50
100 %
(Glucobay)
Injeksi Insulin
- Rapid (Novorapid,
-
Jumlah
Humalog, Apidra)
Long
(Lantus,
Levemir)
Kombinasi (OHO dan
Insulin)
Total
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa responden yang menggunakan Obat
Hipoglikemik Oral (OHO) paling banyak yaitu sebanyak 28 responden (56 %).
30
Kedua terbanyak adalah responden yang menggunakan terapi injeksi insulin yaitu
sebanyak 13 responden (26 %), sedangkan sejumlah 9 responden (18 %)
menggunakan terapi kombinasi antara OHO dan injeksi insulin.
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden
merupakan pasien golongan pengelolaan DM tahap 1. Algoritma pengelolaan pasien
Diabetes Mellitus terdiri dari 3 tahap :7, 10
- Tahap 1
Pasien dianjurkan untuk melakukan GHS (Gaya Hidup Sehat) dan tanpa
menggunakan obat-obatan untuk DM.
-
Tahap 2
Selain pasien dianjurkan untuk melakukan GHS (Gaya Hidup Sehat), pasien
juga diberikan obat untuk DM. Algoritma yang diberikan adalah pasien di
anjurkan melakukan GHS ditambah obat hipoglikemik oral, atau pasien
dianjurkan melakukan GHD ditambah obat hipoglikemik oral dan injeksi
insulin.
Tahap 3
Pada pasien dengan algoritma tahap 3 terapi yang diberikan adalah insulin.
Indikasi pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) adalah pasien dengan DM
tipe 2, berat badan pasien normal atau gemuk, pasien yang menderita DM kurang
dari 5 tahun, dan pasien yang belum pernah mendapatkan terapi insulin atau pernah
tetapi kurang ari 40 UI.7,10
Penggunaan terapi insulin diberikan dengan indikasi-indikasi yaitu, pasien
yang menderita Diabetes Mellitus tipe 1, pasien yang gagal mencapai target dengan
penggunaan kombinasi OHO dosis optimal selama 3 6 bulan. Selanjutnya pasien
Diabetes Mellitus tipe 2 yang rawat jalan dengan kehamilan, infeksi paru
(tuberculosis), kaki diabetic terinfeksi, fluktuasi glukosa darah yang tinggi (brittle).
Terapi Insulin ini juga diberikan kepada pasien dengan riwayat ketoasisdosis
berulang, dan riwayat pankreotomi. Selain indikasi diatas, terdapat beberapa kondisi
tertentu yang memerlukan pemakaian insulin, seperti penyakit hati kronis, gangguan
fungsi ginjal, dan terapi steroid dosis tinggi.7,10
Obat Hipoglikemik Oral (OHO) yang digunakan oleh responden pada
31
penelitian ini adalah golongan biguanid yaitu metformin, golongan sulfonilurea yaitu
glimepirid, dan golongan penghambat glukosidase alfa yaitu acarbose (glucobay).
Obat golongan biguanid mempunyai fungsi untuk menekan produksi glukosa hati
dan menambah sensitifitas terhadap insulin (insulin sensitizer). Obat golongan
sulfonilurea berfungsi untuk sekresi insulin oleh sel beta pancreas (insulin
secretaque). Obat golongan penghambat glukosidase alfa mempunyai fungsi untuk
menghambat absobsi glukosa.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
32
5.1.
Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Seluruh penderita Diabetes Mellitus yang berobat ke poli klinik PDL Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang adalah penderita Diabetes Mellitus tipe 2.
2. Komplikasi dan penyakit penyerta terbanyak dari DM tipe 2 yaitu, hipertensi,
neuropati diabetika, nefropati diabetika, retinopati diabetika, ulkus diabetika,
katarak dan penyakit jantung koroner.
3. Tatalaksana pada pasien Diabetes Mellitus tidak hanya bisa dengan penggunaan
obat tetapi harus dilakukan pemantauan terhadap pengaturan makanan, pengaturan
jasmani (olahraga) dan pengaturan intervensi farmakologis.
4. Obat Hiperglikemik Oral yang paling banyak digunakan oleh responden adalah
Metformin (11 responden), Glimepirid (10 responden), dan Acarbose (7 responden).
OHO paling banyak digunakan, sedangkan terapi insulin digunakan sebanyak 13
responden dan obat kombinasi digunakan sebanyak 9 responden.
5.2.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian diatas, peneliti menyarankan beberapa hal :
1. Bagi Institusi Rumah Sakit dan Petugas Kesehatan
Mengingat tingginya persentase pasien Diabetes Mellitus yang berobat, hendaknya
pasien tidak hanya diberikan terapi secara farmakologis tetapi pasien juga harus
diberi tahu cara untuk bagaimana mengatur makanan (ahli gizi) dan bagaimana cara
untuk latihan jasmani yang baik untuk pengobatan Diabetes Mellitus.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Deliana, Melda. Diabetes Mellitus Tipe 2. 2007. Seminar Ilmiah Divisi Endokrinologi.
FK.USU.
2. Ellsworth, A.; Witt, D.; Dugdale, D. Mosbys Medical Drug Reference. USA. Elsevier
Mosby. 2005.
3. Evaria. MIMS Edisi Bahasa Indonesia. Edisi 14. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer. 2013
: 337-349.
4. Fauci, Anthony S., et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. United
States: McGraw-Hill Professional, 2008.
5. Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 :
34
481-495.
6. Gustaviani R. diagnosis dan klasifikasi diabetes mellitus. Dalam : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III
edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006: 185763.
7. Handoko T,Suharto B. Insulin, Glukagon dan Anti Diabetik Oral. Dalam : Gan S,
Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyatuti, Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi, Edisi
Empat. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p:467-79. 2003.
8. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe II di Indonesia.
Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe II. Jakarta. Pengurus Besar PERKENI. 2006.
9. Powers AC. Diabetes Mellitus. Dalam : braunwald E, fauci AS, kasper DL, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principle og Internal Medicine. 15th edition. New york
: McGraw-Hill Medical Publishing Division 2001 :2109-37.
10. Soegondo S. Farmakoterapi pada pengendalian Glikemia Diabetes Mellitus Tipe 2.
Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI 2006: 1860-3.
11. Tjokroprawiro Askandar, 2001. Diabetes Millitus Klasifikasi Diagnosa dan Terapi. PT
Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
12. Yunir E, Soebardi S. Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Melitus. Dalam : Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. p:
1864-6. 2006
13. Sastroasmoro, S. Sofyan Ismail. 2011. Dasar-dasar Metedologi Penelitian Klinis.
Jakarta: CV Sagung Seto.
35