Diperlukan suatu pengawet alami yang tidak beracun, tidak berbahaya bagi
kesehatan, dan mudah terurai (biodegradable).
Udang merupakan komoditi ekspor yang menarik minat banyak pihak
untuk mengolahnya. Adapun hal yang mendorong pembudidayaan udang antara
lain harga yang cukup tinggi dan peluang pasar yang cukup baik, terutama diluar
negeri. Udang di Indonesia diekspor dalam bentuk bekuan dan telah mengalami
proses pemisahan kepala dan kulit.
Proses pemisahan ini akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan
yaitu berupa limbah padat yang lama-kelamaan jumlahnya akan semakin besar
sehingga akan mengakibatkan pencemaran lingkungan berupa bau yang tidak
sedap dan merusak estetika lingkungan. Pada perkembangan lebih lanjut kulit dan
kepala udang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kitin dan kitosan (chitosan).
Kata kitin berasal dari bahasa Yunani, yaitu chiton, yang berarti baju rantai besi.
Kata ini menggambarkan fungsi dari material kitin sebagai jaket pelindung pada
invertebrata. Kitin pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam
residu ekstrak jamur yang dinamakan fugine. Pada tahun 1823, Odier mengisolasi
suatu zat dari kutikula serangga jenis elytra dan mengusulkan nama chitin. Pada
umumnya kitin dialam tidak berada dalam keadaan bebas, akan tetapi berikatan
dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen.
Walaupun kitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan
untuk pengembangan lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (Crustaceae) yang
dipanen secara komersial. Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber
yang kaya akan kitin, namun limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam jumlah
besar sebagai limbah hasil dari pembuatan udang.
Kitin adalah biopolimer polisakarida dengan rantai lurus, tersusun dari
2000-3000 monomer (2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa) yang terangkai dengan
ikatan 1,4-b-gliksida. Kitin memiliki rumus molekul [C 8H13NO5]n dengan berat
molekul 1,210-6 Dalton ini tersedia berlebihan di alam dan banyak ditemukan
pada hewan tingkat rendah, jamur, insekta dan golongan Crustaceae seperti
udang, kepiting dan kerang. Kitin berbentuk serpihan dengan warna putih
kekuningan, memiliki sifat tidak beracun dan mudah terurai secara hayati
(biodegradable).
Sebagai
material
pendukung
Crustaceae,
kitin
terdapat
sebagai
natrium proteinat yang larut. Secara umum larutan NaOH 3-4% dengan suhu 6365oC selama waktu ekstraksi 3-4 jam dapat mengurangi kadar protein dalam kulit
udang secara efektif. Sekalipun demikian proses deproteinasi umum yang
optimum tidak ada untuk setiap jenis Crustaceae.
Mineral kalsium karbonat pada kulit udang lebih mudah dipisahkan
dibandingkan protein, karena garam anorganik ini hanya terikat secara fisika.
Menurut Knorr (1984) asam klorida dengan konsentrasi lebih dari 10% dapat
secara efektif melarutkan kalsium sebagai kalsium klorida. Proses demineralisasi
dengan menggunakan asam klorida sampai CO2 yang terbentuk hilang kemudian
didiamkan 24 jam pada suhu kamar. Dalam beberapa metode, proses depigmentasi
sesungguhnya telah berlangsung saat pencucian residu sesuai proses deproteinasi
atau demineralisasi yang dilakukan. Menurut Purwatiningsih (1992) aseton dapat
mereduksi astaksantin dari kitin limbah udang windu (Penaeus monodon).
Pembuatan chitosan dilakukan dengan cara penghilangan gugus asetil
(-COCH3) pada gugusan asetil amino kitin menjadi gugus amino bebas chitosan
dengan menggunakan larutan basa. Kitin mempunyai struktur kristal yang panjang
dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga pada proses
deasetilasi digunakan larutan natrium hidroksida konsentrasi 40-50% dan suhu
yang tinggi (100-150oC) untuk mendapatkan chitosan dari kitin.
Kitosan dan kitin telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri,
seperti industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan
berupa film khusus (edible film), industri metalurgi sebagai absorben untuk ionion metal, industri kulit untuk perekat, fotografi, industri cat sebagai koagulasi,
pensuspensi dan flokulasi serta industri makanan sebagai aditif. Dosis pemakaian
kitosan untuk beberapa produk pangan dan daya awetnya pada penyimpanan suhu
kamar yang telah diujicobakan pada industri UKM. Untuk produk mi basah,
menggunakan kitosan dan dijual di pasar tradisional, hasil pengujian jumlah
mikroba menunjukkan bahwa mi basah masih layak dikonsumsi sampai 36 jam.
Daya awet produk yang menggunakan kitosan sangat bervariasi tergantung pada
kondisi proses dan tingkat kebersihan yang diterapkan. Hal yang perlu
diperhatikan adalah aplikasi kitosan sebagai pengawet harus diikuti dengan Good
Manufacturing Practice (GMP). Kitosan digunakan dengan dosis 250, 500, 1000
ppm setara dengan dosis 250 ppm dengan menambahkan setara 400 ml kitosan
pada adonan 25 kg tepung. Hasilnya menunjukkan bahwa pada penyimpanan suhu
20C
dapat
meningkatkan
daya
awet
mi
basah
menjadi
3-5
kali
dapat
digunakan
sebagai
pengawet
karena
sifat-sifat
kitosan dengan gugus pendorong elektron menghasilkan N-metil kitosan dan Nisopropil kitosan. Penggunaan katalis turunan kitosan diharapkan dapat
menghindari terjadinya reaksi saponifikasi karena sifat kitosan sendiri yang
mampu menyerap asam lemak bebas sehingga biodiesel yang dikonversi menjadi
lebih banyak hasilnya.
Selain berfungsi sebagai katalis, kitosan juga dapat berfungsi sebagai
adsorben. Pencemaran yang disebabkan oleh logam berat terutama bersumber dari
limbah industri, baik dalam bentuk logam murni maupun bentuk campuran.
Pencemaran tersebut biasanya terjadi karena pembuangan limbah yang tidak
terkontrol. Timbal merupakan salah satu logam berat yang dapat menurunkan
kualitas air. Dalam kadar yang tinggi logam tersebut dapat mengganggu sistem
saraf, organ dan sistem organ. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
No. 51/ Men LH/ 10/ 1998 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri
ambang batas logam timbal (Pb) adalah 0,1-1 mg/L. Salah satu upaya dalam
mengatasi masalah polutan dan kontaminan di lingkungan adalah dengan teknik
adsorpsi. Keuntungan dari teknik ini adalah biaya yang dikeluarkan relatif kecil
dan tidak menimbulkan racun. Kitosan juga dapat membentuk sebuah membran
yang berfungsi sebagai adsorben pada waktu terjadinya pengikatan zat-zat organik
maupun anorganik oleh kitosan. Hal ini yang menyebabkan kitosan lebih banyak
manfaatnya dibandingkan dengan kitin. Kepiting merupakan salah satu komoditi
ekspor non migas yang menghasilkan limbah berbentuk cangkang, dapat
dimanfaatkan dalam pembuatan kitin dan kitosan. Kepiting bakau (Scylla sp)
merupakan salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai,
khususnya di hutan bakau (mangrove). Komunitas kepiting bakau cukup besar
dibanding dengan kepiting rajungan; oleh karenanya Indonesia merupakan negara
pengekpor kepiting bakau. Di samping itu tingginya protein cakang kepiting
bakau daripada rajungan, akan mempengaruhi jumlah kitin yang diperoleh.
Menurut Muzarelli dalam Suhardi (1993), kandungan kitin dalam cangkang
kepiting sekitar 71,4%. Adsorpsi Cr(VI) oleh kitosan cangkang udang mencapai
kesetimbangan pada waktu interaksi 60-90 menit.