Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KHUSUS

Pemanfaatan Kitosan dalam Bidang Industri


Selama ini limbah kulit udang hanya dimanfaatkan untuk pakan ternak
atau untuk industri makanan seperti pembuatan kerupuk udang. Limbah kulit
udang dapat diolah untuk pembuatan chitin yang dapat diproses lebih lanjut
menghasilkan chitosan yang memiliki banyak manfaat dalam bidang industri,
antara lain adalah sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (non toxic)
pengganti formalin. Chitosan adalah bahan alami yang direkomendasikan untuk
digunakan sebagai pengawet makanan karena tidak beracun dan aman bagi
kesehatan.
Secara umum, cangkang kulit udang mengandung protein 34,9%, mineral
CaCO3 27,6%, chitin 18,1%, dan komponen lain seperti zat terlarut, lemak dan
protein tercerna sebesar 19,4% (Suhardi, 1992). Chitin merupakan polisakarida
yang bersifat non toxic (tidak beracun) dan biodegradable sehingga chitin banyak
dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Lebih lanjut chitin dapat mengalami proses
deasetilasi menghasilkan chitosan. Formalin merupakan bahan kimia beracun
yang

selama ini banyak digunakan sebagai pengawet pada bahan makanan.

Diperlukan suatu pengawet alami yang tidak beracun, tidak berbahaya bagi
kesehatan, dan mudah terurai (biodegradable).
Udang merupakan komoditi ekspor yang menarik minat banyak pihak
untuk mengolahnya. Adapun hal yang mendorong pembudidayaan udang antara
lain harga yang cukup tinggi dan peluang pasar yang cukup baik, terutama diluar
negeri. Udang di Indonesia diekspor dalam bentuk bekuan dan telah mengalami
proses pemisahan kepala dan kulit.
Proses pemisahan ini akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan
yaitu berupa limbah padat yang lama-kelamaan jumlahnya akan semakin besar
sehingga akan mengakibatkan pencemaran lingkungan berupa bau yang tidak
sedap dan merusak estetika lingkungan. Pada perkembangan lebih lanjut kulit dan
kepala udang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kitin dan kitosan (chitosan).
Kata kitin berasal dari bahasa Yunani, yaitu chiton, yang berarti baju rantai besi.
Kata ini menggambarkan fungsi dari material kitin sebagai jaket pelindung pada

invertebrata. Kitin pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam
residu ekstrak jamur yang dinamakan fugine. Pada tahun 1823, Odier mengisolasi
suatu zat dari kutikula serangga jenis elytra dan mengusulkan nama chitin. Pada
umumnya kitin dialam tidak berada dalam keadaan bebas, akan tetapi berikatan
dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen.
Walaupun kitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan
untuk pengembangan lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (Crustaceae) yang
dipanen secara komersial. Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber
yang kaya akan kitin, namun limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam jumlah
besar sebagai limbah hasil dari pembuatan udang.
Kitin adalah biopolimer polisakarida dengan rantai lurus, tersusun dari
2000-3000 monomer (2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa) yang terangkai dengan
ikatan 1,4-b-gliksida. Kitin memiliki rumus molekul [C 8H13NO5]n dengan berat
molekul 1,210-6 Dalton ini tersedia berlebihan di alam dan banyak ditemukan
pada hewan tingkat rendah, jamur, insekta dan golongan Crustaceae seperti
udang, kepiting dan kerang. Kitin berbentuk serpihan dengan warna putih
kekuningan, memiliki sifat tidak beracun dan mudah terurai secara hayati
(biodegradable).
Sebagai

material

pendukung

Crustaceae,

kitin

terdapat

sebagai

mukopolisakarida yang berdisosiasi dengan CaCO3 dan berikatan secara kovalen


dengan protein. Pemisahan CaCO3 dari protein lebih mudah dilakukan karena
garam anorganik ini terikat secara fisik. Menurut Knorr (1984), HCl dengan
konsentrasi lebih dari 10% dapat secara efektif melarutkan mineral Ca dan
menghasilkan CaCl2.
Chitosan adalah produk deasetilasi kitin yang merupakan polimer rantai
panjang glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-Glukosa), memiliki rumus molekul
[C6H11NO4]n dengan bobot molekul 2,510-5 Dalton. Chitosan berbentuk serpihan
putih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa. Kadar chitin dalam berat udang,
berkisar antara 60-70 persen dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan
yield 15-20 persen. Chitosan, mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan
bedanya terletak pada gugus rantai C-2. Proses utama dalam pembuatan chitosan,

katanya, meliputi penghilangan protein dan kendungan mineral melalui proses


kimiawi yang disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing
dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, chitosan
diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa.
Karakteristik fisika-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat
larut dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya.
Pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat.
Adanya gugus fungsi hidroksil primer dan sekunder mengakibatkan
chitosan mempunyai kereaktifan kimia yang tinggi. Gugus fungsi yang terdapat
pada chitosan memungkinkan juga untuk modifikasi kimia yang beraneka ragam
termasuk reaksi-reaksi dengan zat perantara ikatan silang, kelebihan ini dapat
memungkinkannya chitosan digunakan sebagai bahan campuran bioplastik, yaitu
plastik yang dapat terdegradasi dan tidak mencemari lingkungan.
Jika sebagian besar gugus asetil pada kitin disubsitusikan oleh hidrogen
menjadi gugus amino dengan penambahan basa konsentrasi tinggi, maka hasilnya
dinamakan chitosan atau kitin terdeasetilasi. Chitosan sendiri bukan merupakan
senyawa tunggal, tetapi merupakan kelompok yang terdeasetilasi sebagian dengan
derajat deasetilasi beragam. Kitin adalah N-asetil glukosamin yang terdeasetilasi
sedikit, sedangkan chitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin,
tetapi tidak cukup untuk dinamakan poliglukosamin. Chitosan relatif lebih banyak
digunakan pada berbagai bidang industri kesehatan dan terapan karena chitosan
dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein.
Chitosan dapat diperoleh dengan mengkonversi kitin, sedangkan kitin
sendiri dapat diperoleh dari kulit udang. Produksi kitin biasanya dilakukan dalam
tiga tahap yaitu: tahap demineralisasi, penghilangan mineral; tahap deproteinasi,
penghilangan protein; dan tahap depigmentasi, pemutihan. Sedangkan chitosan
diperoleh dengan deasetilasi kitin yang didapat dengan larutan basa konsentrasi
tinggi. Purwatiningsih (1992) melaporkan bahwa NaOH 50% dapat digunakan
untuk deasetilasi kitin dari limbah kulit udang. Deproteinasi menggunakan natriun
hidroksida lebih sering digunakan, karena lebih mudah dan efektif. Pada
pemisahan protein menggunakan natrium hidroksida, protein diekstraksi sebagai

natrium proteinat yang larut. Secara umum larutan NaOH 3-4% dengan suhu 6365oC selama waktu ekstraksi 3-4 jam dapat mengurangi kadar protein dalam kulit
udang secara efektif. Sekalipun demikian proses deproteinasi umum yang
optimum tidak ada untuk setiap jenis Crustaceae.
Mineral kalsium karbonat pada kulit udang lebih mudah dipisahkan
dibandingkan protein, karena garam anorganik ini hanya terikat secara fisika.
Menurut Knorr (1984) asam klorida dengan konsentrasi lebih dari 10% dapat
secara efektif melarutkan kalsium sebagai kalsium klorida. Proses demineralisasi
dengan menggunakan asam klorida sampai CO2 yang terbentuk hilang kemudian
didiamkan 24 jam pada suhu kamar. Dalam beberapa metode, proses depigmentasi
sesungguhnya telah berlangsung saat pencucian residu sesuai proses deproteinasi
atau demineralisasi yang dilakukan. Menurut Purwatiningsih (1992) aseton dapat
mereduksi astaksantin dari kitin limbah udang windu (Penaeus monodon).
Pembuatan chitosan dilakukan dengan cara penghilangan gugus asetil
(-COCH3) pada gugusan asetil amino kitin menjadi gugus amino bebas chitosan
dengan menggunakan larutan basa. Kitin mempunyai struktur kristal yang panjang
dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga pada proses
deasetilasi digunakan larutan natrium hidroksida konsentrasi 40-50% dan suhu
yang tinggi (100-150oC) untuk mendapatkan chitosan dari kitin.
Kitosan dan kitin telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri,
seperti industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan
berupa film khusus (edible film), industri metalurgi sebagai absorben untuk ionion metal, industri kulit untuk perekat, fotografi, industri cat sebagai koagulasi,
pensuspensi dan flokulasi serta industri makanan sebagai aditif. Dosis pemakaian
kitosan untuk beberapa produk pangan dan daya awetnya pada penyimpanan suhu
kamar yang telah diujicobakan pada industri UKM. Untuk produk mi basah,
menggunakan kitosan dan dijual di pasar tradisional, hasil pengujian jumlah
mikroba menunjukkan bahwa mi basah masih layak dikonsumsi sampai 36 jam.
Daya awet produk yang menggunakan kitosan sangat bervariasi tergantung pada
kondisi proses dan tingkat kebersihan yang diterapkan. Hal yang perlu
diperhatikan adalah aplikasi kitosan sebagai pengawet harus diikuti dengan Good

Manufacturing Practice (GMP). Kitosan digunakan dengan dosis 250, 500, 1000
ppm setara dengan dosis 250 ppm dengan menambahkan setara 400 ml kitosan
pada adonan 25 kg tepung. Hasilnya menunjukkan bahwa pada penyimpanan suhu
20C

dapat

meningkatkan

daya

awet

mi

basah

menjadi

3-5

kali

dibandingkandengan penambahan asam asetat saja sebagai pelarut kitosan. Pada


dosis yang tinggi (1000 ppm) volume mi berkurang dibandingkan tanpa
penambahan kitosan, tetapi struktur mi lebih kompak.
Kitosan

dapat

digunakan

sebagai

pengawet

karena

sifat-sifat

yangdimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak


dansekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi
yangminimal antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa yang saat ini
masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan memiliki afinitas yang
kuatdengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang
kemudianmengganggu mRNA dan sintesa protein (Hadwiger dan Adams, 1978).
Khusus untuk jamur berfilamen, kitosan berinteraksi langsung dengan membran
sel sehingga mengganggu permeabilitas membran dan dapatmenyebabkan
kebocoran materi protein sel (Young et al., 1982). Selain itu kitosan juga
berfungsi sebagai agen pengkelat yang akan mengikat trace element dan nutrisi
esensial sehingga jamur tertanggu pertumbuhannya (Roller dan Covil,1999).
Hasil uji coba efektivitas kitosan terhadap bakteri E. coli menunjukkan
bahwa pada konsentrasi yang rendah (1,5 g/ml) kitosan kurang efektif
menghambat E. coli. Akan tetapi pada konsentrasi 7,5 g/ml kitosan lebih efektif
menghambat pertumbuhan E. coli. Hal ini diduga karena kitosan yang dihasilkan
termasuk kitosan dengan berat molekul rendah sehingga mampu menembus
porinchanel pada bakteri Gram negatif dan mampu berikatan dengan penisilin
binding protein yang spesifik dimiliki oleh bakteri Gram negatif.
Kitosan termasuk salah satu jenis polisakarida yang dapat bersifat sebagai
penghalang (barrier) yang baik karena pelapis polisakarida dapat membentuk
matrik yang kuat dan kompak (Grenner dan Fennema). Secara umum, pelapis
yang tersusun dari polisakarida dan turunannya hanya sedikit menahan penguapan
air tetapi efektif untuk mengontrol difusi dari berbagai gas, seperti CO 2 dan O2.

Kitosan menginduksi tanaman untuk meningkatkan biosintesis lignin dan


lignifikasi dinding sel tanaman sehinggamenjadi lebih kuat dan menghambat
penetrasi cendawan pengganggu. Kitosan selain berperan khusus sebagai anti
jamur juga dapat memperkuat sistem akar dan batang berperan sebagai pupuk
yang dapat memperkuat perkecambahan dan pertumbuhan (Wulandini, 2002).
Oleh karena itu, aplikasi kitosan pada benih akan dapat menjaga dan
meningkatkan mutu serta kualitas benih. Hal ini didasarkan bahwa kitosan
mempunyai komponen-komponen yang bersifat bakteristatis dan bakterisidal
yang dap berperan sebagai bahan pengawet. Sehingga aplikasi yang sudah
diterapkan pada produk pasca panen dan pengawetan bahan makanan, akan dapat
diaplikasikan pada peningkatan mutu benih.
Sumber energi utama yang banyak digunakan dalam kehidupan manusia
saat ini adalah minyak bumi, gas bumi, dan batu bara. Untuk mengurangi
penggunaan minyak bumi dalam pembuatan bahan bakar diesel maka perlu
dilakukan pencarian sumber energi baru, salah satunya yaitu dengan biodiesel.
Biodiesel dapat dibuat dari minyak kanola (rapeseed oil), minyak kedelai
(soybean oil), minyak kelapa sawit (palm oil). Ketiga bahan dasar tersebut
memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi sehingga perlu dicari alternatif lain
yang dapat menekan biaya produksi, salah satunya yaitu dengan menggunakan
minyak jelantah. Terdapat 3 jenis katalis dalam pembuatan biodiesel yaitu katalis
asam, katalis basa yang terdiri dari dua jenis katalis homogen dan heterogen serta
enzim. Dampak negatif penggunaan katalis homogen tersebut dapat dihilangkan
dengan penggunaan katalis heterogen yang mampu mengarahkan reaksi secara
spesifik agar diperoleh produk yang diinginkan tanpa adanya reaksi samping.
Pada proses pembuatan biodiesel, kitosan dapat berperan sebagai katalis.
Adanya gugus amina pada kitosan yang memiliki pasangan elektron bebas
membuat kitosan bersifat basa Lewis dan menjadikannya mudah untuk
dimodifikasi. Diharapkan dengan ditambahkannya gugus pendorong elektron
dapat meningkatkan taraf kebasaan kitosan, sehingga memiliki kemampuan
sebagai katalis basa heterogen pada reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel
dari minyak jelantah untuk menggantikan katalis basa homogen. Hasil modifikasi

kitosan dengan gugus pendorong elektron menghasilkan N-metil kitosan dan Nisopropil kitosan. Penggunaan katalis turunan kitosan diharapkan dapat
menghindari terjadinya reaksi saponifikasi karena sifat kitosan sendiri yang
mampu menyerap asam lemak bebas sehingga biodiesel yang dikonversi menjadi
lebih banyak hasilnya.
Selain berfungsi sebagai katalis, kitosan juga dapat berfungsi sebagai
adsorben. Pencemaran yang disebabkan oleh logam berat terutama bersumber dari
limbah industri, baik dalam bentuk logam murni maupun bentuk campuran.
Pencemaran tersebut biasanya terjadi karena pembuangan limbah yang tidak
terkontrol. Timbal merupakan salah satu logam berat yang dapat menurunkan
kualitas air. Dalam kadar yang tinggi logam tersebut dapat mengganggu sistem
saraf, organ dan sistem organ. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
No. 51/ Men LH/ 10/ 1998 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri
ambang batas logam timbal (Pb) adalah 0,1-1 mg/L. Salah satu upaya dalam
mengatasi masalah polutan dan kontaminan di lingkungan adalah dengan teknik
adsorpsi. Keuntungan dari teknik ini adalah biaya yang dikeluarkan relatif kecil
dan tidak menimbulkan racun. Kitosan juga dapat membentuk sebuah membran
yang berfungsi sebagai adsorben pada waktu terjadinya pengikatan zat-zat organik
maupun anorganik oleh kitosan. Hal ini yang menyebabkan kitosan lebih banyak
manfaatnya dibandingkan dengan kitin. Kepiting merupakan salah satu komoditi
ekspor non migas yang menghasilkan limbah berbentuk cangkang, dapat
dimanfaatkan dalam pembuatan kitin dan kitosan. Kepiting bakau (Scylla sp)
merupakan salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai,
khususnya di hutan bakau (mangrove). Komunitas kepiting bakau cukup besar
dibanding dengan kepiting rajungan; oleh karenanya Indonesia merupakan negara
pengekpor kepiting bakau. Di samping itu tingginya protein cakang kepiting
bakau daripada rajungan, akan mempengaruhi jumlah kitin yang diperoleh.
Menurut Muzarelli dalam Suhardi (1993), kandungan kitin dalam cangkang
kepiting sekitar 71,4%. Adsorpsi Cr(VI) oleh kitosan cangkang udang mencapai
kesetimbangan pada waktu interaksi 60-90 menit.

Anda mungkin juga menyukai