Anda di halaman 1dari 4

Kosmetika Agama di Ruang Publik

Syamsul Hidayah
Kepala Divisi Informasi Democratic Institute Palembang
Koran Sindo, 28 Maret 2013
Di media sosial, seorang teman menulis status, Percuma aje pake jilbab,
kalo kelakuan kayak gitu, harta aja dikejar, disertai tautan portal berita
berisi pemanggilan Mahdiana, istri Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Djoko
Susilo (DS), tersangka kasus proyek simulator ujian surat izin mengemudi
(SIM).
Selain Mahdiana, ada istri DS yang lain, Dipta Anindita, juga pakai jilbab,
saat dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus yang sama oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. Jauh
sebelum itu, di media sosial, seseorang juga menulis status, Kalo di
pengadilan, baru inget Tuhan, komat-kamit tanda bersalah. Status yang
disertai tautan berita Angelina Sondakh yang menghitung biji tasbih saat
mendengarkan putusan hakim atas kasus dugaan penerimaan suap
pengurusan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta
Kementerian Pendidikan Nasional yang menjeratnya. Bahkan, Angie
mengaku kini lebih berproses menuju arah spiritual.
Dia lebih sering menonton acara keagamaan di layar televisi. Bagi umat
Islam Indonesia, jilbab dan tasbih simbol dari penghayatan individu
terhadap pengalaman keagamaannya. Tidak semua perempuan dapat
memutuskan untuk mengenakan jilbab jika dia tak memiliki pengalaman
eksistensial keagamaan. Begitu pun tidak semua orang mau menghitung
biji tasbih sambil berzikir jika tidak ada fadilahnya. Apa pun logikanya,
jilbab dan berzikir merupakan bagian dari tindakan keagamaan seseorang
dalam menghadirkan Tuhan Yang Maha Kuasa ke dirinya.

Sebagai negara yang berketuhanan yang maha esa, seluruh warga negara
wajib hukumnya beragama dengan mempercayai Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kajian sosiologi agama, kehadiran agama dalam kehidupan
manusia berfungsi menjadi petunjuk ke jalan yang benar. Jalan yang
benar itu suatu proses perjalanan panjang, yang penuh onak duri, dengan
ultimate goal, Yang Maha Kuasa, sebagai sumber kebenaran. Makanya,
Yang Maha Benar hanya bisa didekati dengan cara yang benar, kata
orang-orang yang beraliran tasawuf.
Seiring dengan kemajuan zaman, yang ditandai dengan terjadinya ledakan
di bidang informasi dan komunikasi, kehadiran televisi telah memberikan
pemahaman baru dalam beragama. Apa yang ditampilkan di televisi telah
membuahkan gaya hidup di kalangan masyarakat. Pada sisi lain, televisi
telah membentuk citra baru di masyarakat. Apa yang dilakukan Angelina
Sondakh telah membentuk citra bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa dengan cara berzikir dapat membantu persoalan yang
sedang dihadapinya.
Di sisi lain, citra yang bisa ditimbulkan, publik akan menganggap dia
sebagai orang yang sangat dekat kepada Yang Maha Kuasa sehingga tidak
mungkin melakukan hal-hal yang melanggar ajaran-Nya, misalnya suap.
Dia adalah orang yang agamais, begitulah kira-kira pencitraan yang
terbentuk di dalam benak publik. Contoh lain, masih segar dalam ingatan,
ketika Neneng, istri Nazaruddin, muncul dengan mengenakan cadar dan
berkerudung setelah lama menghilang.
Tak jauh berbeda dengan Yulianis, saksi dalam kasus Hambalang, Wisma
Atlet, yang ikut mengenakan jilbab panjang. Sebelumnya publik semua
tahu bahwa mereka berdua jarang berkerudung. Tindakan ini membentuk
opini publik bahwa mereka adalah orang-orang lurus yang takut kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagaimana yang tersimbolisasikan dalam
cara mereka berpakaian.
Pelarian Belaka
Dalam kajian sosiologi agama, tujuan orang beragama yaitu agar selamat
dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Apa pun agama yang
dianut, orang yang beragama selalu menyukai sesuatu yang baik dan
benar; baik dalam pandangan manusia dan benar dalam pandangan Yang
Maha Kuasa. Namun, apa yang ditampilkan di televisi, salah satunya yang
dicontohkan tadi, menggambarkan bahwa agama hanya berfungsi sebagai
eskapisme diri (pelarian).

Ketika persoalan hidup sedemikian hebat membelit, agama menjadi


tempat kembali. Namun, kembalinya ke agama hanya sementara. Inilah
yang disebut Erich Fromm dalam bukunya, Religion and Psychoanalysis,
tidak penting beragama apa, tapi yang lebih penting adalah beragama
yang bagaimana. (Syamsul Arifin, Agus Purwadi, Khoirul Habib,
Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan) Ketika agama hanya
sebagai bentuk pelarian tanpa mengalami penghayatan eksistensial
beragama, yang muncul kemudian adalah katarsis belaka.
Beragama seperti demikian hanya akan melahirkan kegersangan spiritual.
Dengan kata lain, beragama secara simbolik takkan akan mencapai
ekstase keagamaan yang hakiki. Maka yang perlu dinetralisasi dalam
konteks ini diperlukan cara beragama, yang tidak terpaku pada
simbolisme belaka, tapi juga butuh cara beragama yang berdimensi sosial
sehingga agama bisa berdialektika dengan kompleksitas kehidupan ini.
Ketika orang beragama tidak mampu berdialektika dengan persoalan
sosial, yang tampak adalah hiasan belaka. Agama hanya kosmetik.
Tampak luar bagus dan cantik, tetapi dihatinya justru tidak tersimpan
sifat-sifat kebaikan seperti yang dicita-citakan setiap agama. Pada
akhirnya,agama mengalami disabilitas yang dilakukan pemeluknya sendiri.
Revivalisme Agama
Sementara itu, ada orang yang menganggap dewasa ini merupakan era
kebangkitan agama. Argumennya adalah semakin banyaknya tempat
ibadah didirikan, berbondongbondongnya masyarakat menyaksikan tablig
akbar, ceramah dan sejenisnya, serta maraknya rumah-rumah produksi
(production house) membuat tayangan sinetron religi. Apakah semua itu
dapat dikatakan momentum awal kebangkitan agama? Bisa ya dan tidak.
Di Amerika Serikat, kata futurolog Jhon Naisbitt, penjualan buku
bergenre agama dan psikologi laku keras di toko-toko buku. Sayangnya,
realitas itu tidak seimbang dengan tingginya minat orang ke
tempattempat ibadah. Ditambah, tingginya angka kriminal yang kian
menunjukkan bahwa agama sebagai tempat pelarian belaka. Di Indonesia,
pesan-pesan keagamaan tidak hanya diperoleh di tempat ibadah saja.
Lewat televisi, publik bisa leluasa mengakses program religi dengan
leluasa.

Jika pada dasawarsa sebelumnya pesan-pesan ini cenderung dikemas


secara satu arah, kini program keagamaan dibuat lebih menarik. Seperti
melibatkan interaksi audiensi, membuat muatan acara yang lebih santai
serta menghibur, atau meliput langsung acaraacara keagamaan. Di ruang
yang berbeda, bara konflik sosial bersentimen keagamaan masih terus
menyala. Wacana konflik sosial, apa pun bentuknya, jelas sangat tidak
legitimatif dalam agama. Agama selalu mengajarkan nilai-nilai luhur,
kedamaian, dan kebahagiaan, baik bersifat pribadi maupun sosial.
Kehadiran agama bagi pemeluknya semestinya menjadi kanopi bagi
dirinya dan memperkuat hubungan sosial, sehingga wajah agama tidak
penuh kosmetika belaka. Lebih luas lagi, orang yang beragama harus
menyibukkan diri terhadap persoalan aktual yang terjadi di masyarakat
sehingga agama tidak lagi berhenti sebagai kosmetik pribadi belaka

Anda mungkin juga menyukai