Anda di halaman 1dari 11

Ringkasan

Bab 4
Bentuk-bentuk Kontrak Konstruksi
Oleh: Jethro Thomas/1306445166

Aspek Perhitungan Biaya


Dari aspek ini bentuk kontrak konstruksi didasarkan pada cara menghitung biaya
pekerjaan/harga borongan yang akan dicantumkan dalam kontrak. Ada 2 macam bentuk kontrak
konstruksi yang sering digunakan yaitu Fixed Lump Sum Price dan Unit Price sehingga
kontraknya sering dinamakan Kontrak Harga Pasti dan Kontrak Harga Satuan.
1. Fixed Lump Sum Price
Secara umum, kontrak Fixed Lump Sum Price adalah suatu kontrak dimana
volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak tidak boleh diukur ulang. Pengertian
dari Fixed Lump Sum Price ini bermacam-macam, diantaranya yaitu dari Peraturan
Pemerintah (PP) No. 29/2000 tentang penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan dari
kepusakaan barat. Dari berbagai macam definisi tersebut terlihat bahwa tak satu pun
dari pengertian mengenai kontrak Fixed Lump Sum Price yang menyatakan bahwa
dalam kontrak bentuk ini, volume pekerjaan asli dalam kontrak boleh diukur kembali
dan nilai kontrak tidak boleh berubah seperti pengertian sebagian orang. Hal ini
mungkin disebabkan ada kata fixed sehingga diartikan nilai kontrak tidak boleh
berubah. Ini adalah suatu kekeliruan. Dari uraian ini terlihat pula bahwa dalam
kontrak bentuk ini penyedia jasa memikul resiko cukup besar. Misalnya, volume
pekerjaan sesungguhnya lebih besar daripada yang tercantum di kontrak maka yang
dibayarkan kepada penyedia jasa adalah volume yang tercantum dalam kontrak.
2. Unit Price
Secara umum, Kontrak Unit Price adalah kontrak dimana volume pekerjaan
yang tercantum dalam kontrak hanya merupakan perkiraan dan akan diukur ulang
untuk menentukan volume pekerjaan yang benar-benar dilaksanakan. Berdasarkan dar
Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/2000 dan berbai kepustakaan barat dapat

disimpulkan bahwa bentuk kontrak harga satuan tidak mengandung resiko bagi pihak
pengguna jasa untuk membayar lebih karena volume pekerjaan yang tercantum dalam
kontrak lebih besar daripada kenyataan sesungguhnya sehingga penyedia jasa
mendapat keuntungan tak terduga.
Sebaliknya, penyedia jasa juga tidak menanggung resiko rugi apabila volume
pekerjaan sesungguhnya lebih besar daripada yang tercantum dalam kontrak karena
yang dibayarkan kepada penyedia jasa adalah pekerjaan yang benar-benar
dilaksanakan.
Yang menjadi masalah dalam bentuk kontrak semacam ini adalah banyaknya
pekerjaan pengukuran ulang yang harus dilakukan bersama antara pengguna jasa dan
penyedia jasa untuk menetapkan volume pekerjaan yang benar-benar terlaksana.
Pengukuran hasil pekerjaan secara bersama-sama ini menimbulkan peluang kolusi
antara petugas pengguna jasa dan petugas penyedia jasa. Di samping itu, hal ini akan
merepotkan pengguna jasa karena harus menyediakan tenaga dan biaya untuk
melakukan pengukuran ulang. Barangkali inilah salah satu pertimbangan mengapa
pengguna jasa, baik pemerintah maupun sektor swasta, lebih suka memilih bentuk
kontrak Fixed Lump Sum Price. Namun mungkin saja kedua bentuk kontrak ini
digabungkan. Hal ini secara hukum dapat dibenarkan karena PP No. 29/2000 Pasal 20
ayat (3) huruf a angka 4 dan Pasal 21 ayat (4) mengatur hal ini.
Aspek Perhitungan Jasa
Bentuk kontrak dari aspek perhitungan jasa yang akan dibayarkan oleh pengguna jasa
kepada penyedia jasa terdapat 3 macam bentuk, yaitu:

1. Biaya Tanpa Jasa (Cost Without Fee)


Kontrak Biaya Tanpa Jasa adalah bentuk kontrak dimana Penyedia Jasa hanya
dibayarkan biaya pekerjaan yang dilaksanakan tanpa mendapatkan imbalan jasa.
Mengingat tujuan Penyedia

Jasa mengerjakan

suatu

pekerjaan/proyek

adalah

mendapatkan laba, tentu timbul pertanyaan apakah bentuk kontrak seperti ini ada yang
mau melaksanakannya. Jawabannya, ada! Biasanya bentuk kontrak ini terutama untuk
pekerjaan yang bersifat sosial, contohnya adalah pembangunan tempat ibadah, yayasan
sosial, panti asuhan, dsb.

Penyedia jasa masih memperoleh sedikit keuntungan yang tak lain adalah dari
efisiensi pemakaian bahan dan mengelola pekerjaan sebaik mungkin serta mengusahakan
percepatan pekerjaan untuk menekan biaya overhead.
2. Biaya Ditambah Jasa (Cost Plus Fee)
Dalam bentuk kontrak seperti ini, penyedia jasa dibayarkan seluruh biaya untuk
melaksanakan pekerjaan, ditambah jasa yang biasanya dalam bentuk persentase dari
biaya (misalnya 10%). Dalam hal ini tidak ada batasan mengenai besarnya biaya, juga
termasuk overhead Kantor Pusat Penyedia Jasa. Bagaimana dengan biaya selametan,
menjamu makan di restoran? Oleh karena tak ada batasan yang tegas, maka semua itu
digolongkan sebagai biaya dan di atas itu penyedia jasa mendapat jasa (fee) termasuk
biaya-biaya di mana penyedia jasa pada kenyataannya ikut menikmati, seperti selamatan
atau jamuan makan di restoran.
Sebagai penyedia jasa tentunya hal ini sangat menyenangkan. Namun, secara
objektif sistem Cost Plus Fee ini di satu pihak membuka peluang keuntungan yang sangat
besar dan tidak wajar bagi penyedia jasa, namun di lain pihak sangat merugikan
pengguna jasa.
3. Biaya Ditambah Jasa Pasti (Cost Plus Fixed Fee)
Bentuk kontrak seperti ini pada dasarnya sama dengan bentuk Kontrak Biaya
Ditambah Jasa (Cost Pus Fee). Perbedaannya terletak pada jumlah imbalan (fee) untuk
penyedia jasa. Dalam kontrak ini sejak awal sudah ditetapkan jumlah imbalan/jasa bagi
penyedia jasa dengan pasti dan tetap (fixed fee) walaupun biaya berubah.
Terlihat disini bahwa bentuk kontrak ini sedikit lebih baik daripada bentuk
kontrak Cost Plus Fee karena satu hal sudah pasti yaitu jumlah imbalan/fee yang tetap.
Namun tetap saja bentuk ini masih beresiko bagi pengguna jasa karena tidak ada
kepastian mengenai batas biaya yang diperlukan. Sebaliknya, dari aspek penyedia jasa
tidak ada rangsangan untuk menaikkan/menambah biaya karena bila hal ini terjadi, dia
tidak mendapat tambahan imbalan/fee.
Aspek Cara Pembayaran
Cara pembayaran berdasarkan prestasi pekerjaan penyedia jasa dikategorikan ke dalam 3
macam, yaitu Pembayaran Bulanan, Pembayaran atas Prestasi, dan Pembayaran atas seluruh

hasil pekerjaan setelah pekerjaan selesai 100% atau yang sering disebut Pra Pendanaan Penuh
dari penyedia jasa.
1. Cara Pembayaran Bulanan
Di dalam cara pembayaran ini, prestasi penyedia jasa dihitung setiap akhir bulan.
Setelah prestasi tersebut diakui pengguna jasa maka penyedia jasa dibayar sesuai prestasi
tersebut. Kelemahan cara ini adalah berapapun kecilnya prestasi penyedia jasa pada suatu
bulan tertentu dia tetap harus dibayar. Oleh karena itu, cara pembayaran ini sering
dimodifikasi dengan mempersyaratkan jumlah pembayaran minimum yang harus dicapai
untuk setiap bulan diselaraskan dengan prestasi yang harus dicapai sesuai jadwal.
2. Cara Pembayaran Atas Prestasi
Dalam bentuk kontrak dengan cara seperti ini, pembayaran kepada penyedia jasa
dilakukan atas dasar prestasi atau kemajuan pekerjaan yang telah dicapai sesuai dengan
ketentuan dalam kontrak. Jadi tidak atas dasar prestasi yang dicapai dalam satuan waktu
(bulanan). Biasanya besarnya prestasi dinyatakan dalam presentase. Sering pula cara
pembayaran seperti ini disebut pembayaran termin/angsuran.
Ada 3 dasar umum dimana pembayaran sebagian dapat dilakukan: (1) biaya, (2)
waktu, (3) pelaksanaan sesungguhnya atau kemajuan pekerjaan. Dari ketiga dasar
tersebut pembayaran berdasarkan kemajuan pekerjaan adalah yang paling dipilih menurut
pandangan pengguna jasa. Dari ketiga dasar ini, pembayaran sebagian berdasarkan
jangka waktu adalah yang paling tidak diinginkan. Cara ini sama sekali tidak
menawarkan suatu intensif yang positif terhadap penampilan penyedia jasa.
Pembayaran atas dasar biaya memiliki hubungan lebih dekat dengan kemajuan
pekerjaan

sesungguhnya

karena

mempertimbangkan

bahwa

pengeluaran

biaya

proporsional dengan jumlah pekerjaan yang dilaksanakan. Termin-termin pembayaran


berdasarkan kinerja juga berharga karena hal tersebut dapat menempatkan kepentingan
dan unsur pekerjaan tertentu yang signifikan walaupun kritis terhadap pengguna jasa
namun memiliki sedikit biaya atau harga dari dalam dan mereka sendiri.
3. Cara Pembayaran Pra Pendanaan Penuh dari Penyedia Jasa
Dalam bentuk kontrak dengan cara pembayaran seperti ini, penyedia jasa harus
mendanai dahulu seluruh pekerjaan sesuai kontrak. Setelah pekerjaan selesai 100% dan
diterima baik oleh pengguna jasa barulah penyedia jasa mendapatkan pembayaran

sekaligus. Bentuk kontrak

ini

sering disalahartikan

sebagai

kontrak

Design

Build/Turinkey. Ini adalah suatu kekeliruan.


Oleh karena seluruh pekerjaan dibiayai terlebih dahulu oleh penyedia jasa, maka
untuk menjamin penyedia jasa mendapatkan pembayaran atas pekerjaannya, pengguna
jasa harus memberikan jaminan pembayaran kepada penyedia jasa antara lain berupa
jaminan bank yang diberikan pada saat mulai pekerjaan dan jaminan tersebut harus tetap
berlaku selama masa pelaksanaan pekerjaan.
Jaminan pembayaran tersebut baru boleh dicairkan apabila terbukti pengguna jasa
telah cidera janji karena tidak membayar penyedia jasa dalam waktu yang ditetapkan
dalam kontrak. Harus diingat bahwa dalam bentuk kontrak cara pendanaan penuh ini
penyedia jasa harus menanggung biaya uang dan tentunya ini akan dibebankan pada nilai
kontrak. Tak heran bila bentuk kontrak ini nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan
pekerjaan yang sama tetapi menggunakan cara pembayaran bulanan atau atas dasar
prestasi.

Aspek Pembagian Tugas


Kontrak konstruksi dapat dibedakan pula dari aspek pembagian tugas para pihak
yang berkontrak yang dikenal di Indonesia seperti kontrak biasa/konvensional, kontrak spesialis,
Rancang Bangun, BOT/BLT dan Swakelola. Kemudian akhir-akhir ini terdpat pla bentuk kontrak
EPC dan PBC.
1. Bentuk Kontrak Konvensional
Barangkali inilah kontrak yang paling tua yang dikenal di Indonesia dan masih
banyak dipakai hingga saat ini. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan mengapa
kontrak ini disebut konvensional/biasa. Pembagian tugasnya sederhana saja, yaitu
pengguna jasa menugaskan penyedia jasa untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Pekerjaan
tersebut sudah dibuat rencananya oleh pihak lain, tinggal melaksanakannya sesuai
kontrak. Beberapa bagian pekerjaan dapat diborongkan kepada sub penyedia jasa.
Sebagai pengawas biasanya pengguna jasa menunjuk apa yang biasa disebut Direksi
Pekerjaan atau Pimpinan Proyek (Pimpro).

Pimpro inilah yang mengawasi pekerjaan penyedia jasa. Hubungan kerja antara
penyedia jasa dan pengguna jasa biasanya melalui Pimpro. Jadi dalam bentuk kontrak
seperti ini sedikitnya diperlukan 3 kontrak terpisah, yaitu:
(i)
Kontrak antara pengguna jasa dan Konsultan Perencana sebagai penyedia jasa
(ii)

yang merencanakan proyek


Kontrak antara pengguna jasa dan Konsultan Pengawas sebagai penyedia jasa

(iii)

yang mengawasi jalannya proyek


Kontrak antara pengguna jasa dan penyedia jasa yang mengerjakan proyek
tersebut

Tantangan utama/pokok pengguna jasa adalah hal-hal berikut:


a. Mengenali dan melimpahkan tanggung jawab untuk fungsi-fungsi yang walaupun
dibutuhkan untuk semua proyek, tidak dengan sendirinya berkaitan dengan perencanaan
atau konstruksi, seperti lisensi, izin, pengadaan bahan, dan pengiriman bahan.
b. Koordinasi dan hubungan antara penyedia jasa perencanaan dan penyedia jasa
pelaksanaan selama usia proyek.
2. Bentuk Kontrak Spesialis
Apabila dalam bentuk kontrak konvensional antara pengguna jasa dan penyedia
jasa hanya ada 1 (satu) kontrak kerja konstruksi dimana si penyedia jasa lazim disebut
sebagai penyedia jasa utama, para penyedia jasa lain yang mengerjakan bagian-bagian
tertentu dari pekerjaan adalah para sub penyedia jasa yang dipekerjakan oleh penyedia
jasa utama, maka dalam bentuk kontrak ini terdapat lebih dari satu kontrak konstruksi.
Apa keuntungan bentuk kontrak ini dibanding dengan bentuk kontrak
konvensional? Dengan menggunakan bentuk kontrak ini, ada empat hal yang sekurangkurangnya ingin dicapai, yaitu:
(i)
(ii)
(iii)
(iv)

Mutu pekerjaan yang lebih handal


Penghematan waktu
Penghematan biaya
Keleluasaan dan kemudahan untuk mengganti penyedia jasa
Untuk memperoleh mutu pekerjaan yang lebih baik berdasarkan kontrak ini

adalah hal yang mudah, pilihlah penyedia jasa yang benar-benar ahli di bidangnya.
Apabila masih ragu mintalah referensi kepada pihak lain.
3. Bentuk Kontrak Rancang Bangun (Design Build/Turn Key)

Bentuk kontrak semacam ini lebih dikenal di masyarakat dengan istilah kontrak
Turn Key. Secara teknis istilah Rancang Bangun (Design Build) adalah lebih tepat karena
lebih jelas menggambarkan pembagian tugas dalam kontrak tersebut. Namun sistem
kontrak FIDIC membedakan pengertian antara Design Build dan Turn Key dari aspek
pembayaran. Jika Design Build melakukan pembayaran per termin sesuai kemajuan
pekerjaan (seperti kontrak biasa), pembayaran Turn Key dilakukan sekaligus setelah
seluruh pekerjaan selesai.
Dari aspek penugasan yang harus dilakukan, baik Design Build maupun Turn Key
sama-sama melaksanakan perencanaan dan sekaligus membangun. Yang perlu
diperhatikan dalam bentuk kontrak ini adalah tuntutan dari Turn Key Builder yaitu
jaminan pembayaran dari pengguna jasa minimal senilai harga kontrak dengan masa
berlaku selama masa pelaksanaan. Perlu dipahami jaminan pembayaran ini sama sekali
bukan alat pembayaran.
4. Bentuk Kontrak BOT/BLT
Sesungguhnya bentuk kontrak ini merupakan kerja sama antara pemilik
tanah/lahan dan investor yang akan menjadikan lahan tersebut menjadi satu fasilitas
untuk perdagangan, hotel, resort, atau jalan tol, dan lain-lain. Disini kegiatan yang
dilakukan oleh investor dimulai dari membangun fasilitas sebagaimana yang dikehendaki
pemilik lahan/tanah. Inilah yang dimaksud dengan istilah B (Build).
Setelah pembangunan fasilitas selesai, investor diberi hak untuk mengelola dan
memungut hasil dari fasilitas tersebut selama kurun waktu tertentu. Inilah yang diartikan
dengan O (Operate). Setelah masa pengoperasian/konsesi selesai, fasilitas tadi
dikembalikan kepada pengguna jasa. Inilah arti T (Transfer), sehingga disebut Kontrak
Build, Operate, and Transfer (BOT).
Sesungguhnya bentuk kontrak ini mirip dengan rancang bangun. Perbedaannya
adalah dalam bentuk rancang bangun, setelah fasilitas dibangun tidak ada masa konsesi
yang diberikan kepada penyedia jasa rancang bangun untuk mendapatkan pengembalian
dana yang sudah ditanam karena biaya fasilitas dibayar langsung oleh pengguna jasa.
Fasilitas tersebut membutuhkan pengoperasian dan perawatan sendiri, maka
dibuatlah

perjanjian

terpisah

yang

disebut

Operating

&

Maintenance

Contract/Agreement antara pemilik fasilitas dan investor. Perjanjian perencanaan dan

pembangunan rancang bangun/sendiri beserta masa/lamanya masa konsesi disebut


Concession Contract/Agreement.
Bentuk kontrak Build, Lease, and Transfer (BLT) sedikit berbeda dengan bentuk
BOT. Setelah selesai fasilitas dibangun (Build), pemilik fasilitas seolah-olah menyewa
fasilitas yang baru dibangun untuk suatu kurun waktu tertentu (Lease) kepada investor
sebagai angsuran dari investasi yang sudah ditanam atau fasilitas tersebut dapat pula
disewakan kepada pihak lain, sehingga diperlukan Perjanjian Sewa (Lease Agreement).
Setelah masa sewa berakhir, fasilitas dikembalikan kepada pemilik fasilitas (Transfer).
5. Bentuk Kontrak

Rekayasa Pengadaan & Pembangunan (Engineering, Procurement, &

Construction-EPC)
Kontrak Rancang Bangun yang dikenal dengan istilah Design Build atau Turn
Key dimaksudkan untuk pekerjaan konstruksi sipil/bangunan gedung sedangkan kontrak
EPC ditujukan pada pembangunan pekerjaan-pekerjaan dalam industri minyak, gas bumi
dan petrokimia, dan pembangkit listrik. Di dalam kontrak EPC yang dinilai bukan saja
penyelesaian seluruh pekerjaan (konstruksi) melainkan juga kinerja (performance) dari
pekerjaan tersebut. Sebagai contoh, pembangunan sebuah pabrik pupuk area. Dalam hal
ini penyeda jasa hanya menerima Pokok-pokok Acuan Tugas (Term of Reference-TOR)
dari pengguna jasa untuk sebuah pabrik yang akan dibangun, sehingga mulai dari
perencanaan/design

(Engineering)

dilanjutkan

dengan

proses

pengadaan

dan

peralatannya (Procurement) sampai dengan pemasangan/pengerjaannya (Construction)


menjadi tanggung jawab penyedia jasa. Hasil pekerjaan akan dinilai apakah kinerjanya
sesuai dengan TOR yang telah ditentukan.
Bentuk kontrak EPC ini belm diaur tata cara pelaksanaannya di dalam peraturan
perundang-undangan. Namun, sudah semakin banyak kontrak EPC yang dipakai di
Indonesia terutama di kalangan dunia perminyakan dan gas serta listrik seperti Pertamina
dan PLN. Penyedia jasa, baik dari BUMN dan swasta, mulai ada yang berpengalaman.
6. Bentuk Kontrak Berbasis Kinerja (Performance Based Contract/PBC)
Bentuk kontrak ini adalah bentuk kontrak baru yang diperkenalkan di Indonesia
oleh Kementerian PU. PBC merupakan kontrak berbasis kinerja yang berarti penilaian
dilakukan atas dasar kinerja yang dihasikan, bukan sekadar pekerjaan itu telah
diselesaikan seperti dalam bentuk kontrak konvensional. Bentuk kontrak terintegrasi,
yaitu perencanaan, pelaksanaan, uji coba, dan pemeliharaan. Jadi mirip dengan bentuk

kontrak EPC. Bedanya disini dbentuk desain yang ditawarkan dari peserta tender bisa
saja berbeda-beda. Yang penting adalah kinerja yang dicapai.
Hal unik mengenai bentuk kontrak ini adalah pemenang tender akan merawat dan
memelihara seterusnya proyek tersebut. Terlihat bahwa yang menjadi kriteria penilaian
adalah kinerja. Jadi mungkin saja suatu desain yang dipakai relatif mahal, tetapi memiliki
kinerja yang sangat baik dan biaya pemeliharaan sangat minimun. Sayangnya di
Indonesia bentuk kontrak ini belum memiliki peraturan yang mengatur tata cara
pemakakian bentuk kontrak ini.
7. Bentuk Swakelola (Force Account)
Swakelola bukanlah suatu bentuk kontrak karena pekerjaan dilaksanakan sendiri
tanpa memborongkannya kepada penyedia jasa. Bentuk ini biasa pula disebut Eigen
Beheer. Menurut sebuah kepustakaan barat, swakelola adalahlangkah pokok pengguna
jasa terhadap keterikatan proyek dan tanggung jawab.. Ini adalah pendekatan kalsik:
Kerjakan Sendiri. Dalam kasus yang ekstrem, pengguna jasa merencanakan dan atau
membangun seluruh proyek, menggunakan pegawai dan peralatan sendiri.
Jelaslah bahwa pendekatan swakelola menempatkan tuntutan-tuntutan pada
pengguna jasa. Itulah sebabnya kebanyakan pengguna jasa kecuali untuk programprogram kosntruksi jangka panjang menghindari strategi ini.
Walaupun demikian, para pembangun terus mengemukakan alasan-alasan berikut
ini untuk tidak melakukan kosntruksi Swakelola:
1. Kemungkinan timbul reaksi dari pihak luar (organisasi penyedia jasa, pemangku
2.
3.
4.
5.
6.

kepentingan, dan lain-lain)


Keterbatasan sumber daya manusia
Penghimpunan pegawai, pelatihan, dan biaya retensi
Ketentuan kepemilikian peralatan dan pasokan yang besar
Kesulitan-kesulitan dalam hubungan antara pekerja dan konstruksi
Peningkatan pertanggungjawaban untuk tugas-tugas yang berhubungan dengan
pekerjaan konstruksi seperti pengangkutan, logistik, keselamatan dan keamanan.

Bentuk Kontrak Konstruksi Berdasarkan PP No. 29/2000


Selain bentuk-bentuk kontrak yang telah ditinjau dari beberapa aspek seperti yang telah
dijlaskan sebelumnya, perlu juga diketahui bentuk kontrak konstruksi yang terdapat di dalam
Peraturan Pemerintah No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang dibedakan
dalam kriteia yang berlainan dengan uraian sebelumnya.

Kontrak kerja konstruksi dalam Pasal 20 ayat 3 dibedakan berdasarkan:


1. Bentuk imbalan, terdiri dari:
a. Lump Sum
b. Harga satuan
c. Biaya tambahan imbalan jasa
d. Gabungan Lump Sum dan harga satuan
e. Aliansi
2. Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi, terdiri dari:
a. Tahun tunggal; atau
b. Tahun jamak
3. Cara pembayaran hasil pekerjaan:
a. Sesuai kemajuan pekerjaan; atau
b. Secara berkala
Penggolongan bentuk kontrak pada Pasal 20 ayat 3 ada beberapa yang kurang tepat.
Bentuk Lump Sum dan Harga Satuan bukanlah bentuk kontrak imbalan melainkan bentuk
kontrak dari segi perhitungan biaya. Sedangkan bentuk kontrak biaya ditambah jasa
adalah bentuk kontrak dari segi cara perhitungan jasa dan bukanlah dai segi imbalan.
Selain itu, bentuk kontrak aiansi adalah bentuk kontrak khusus dengan cara menggunakan
referensi dari nilai kontrak tertentu, sehingga bentuk kontrak ini pun bukanlah kontrak
imbalan.
Bentuk Kontrak Konstruksi Berdasarkan Peraturan Presiden No. 54/2010 tentang
Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pada pasal 50 ditetapkan jenis-jenis kontrak yang meliputi Kontrak Pengadan barang/Jasa
sebagai berikut.
Kontrak berdasarkan cara pembayaran, terdiri dari Lump Sum, Harga Satuan,
Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan, Persentase, dan Terima Jadi (Turn Key). Ada beberapa
hal yang perlu dikoreksi. Lump Sum, Harga Satuan dan Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan
bukanlah kontrak berdasarkan cara pembayaran melainkan berdasarkan cara perhitungan biaya.
Selain itu, kontrak Terima Jadi bukanlah kontrak Turn Key melainkan kontrak Pra Pendanaan
Penuh dari penyedia jasa.

Kontrak berdasarkan pembebanan Tahun Anggaran, terdiri dari Tahun Tunggal dan
Tanggal Jamak. Kedua kontrak ini sudah benar bentuk kontrak berdasarkan pembebanan tahun
anggaran.
Kontrak berdasarkan sumber pendanaan, terdiri dari Pengadaan Tunggal, Pengadaan
Bersama, Payung (Framework Contract). Bentuk-bentuk kontrak ini sudah benar berdasarkan
sumber pendanaan.
Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan, terdiri dari Pengadaan Pekerjaan Tunggal dan
Pengadaan Pekerjaan Terintegrasi. Bentuk-bentuk kontrak ini lebih tepat disebut kontrak
berdasarkan pembagian tugas (Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan).

Cara Penggolongan Bentuk-bentuk Kontrak


Penggolongan bentuk-bentuk kontrak menurut PP No 29/2000 dan Perpres No. 54/2010
masih kurang tepat dan tidak konsisten serta dapat menyesatkan pengertian sesungguhnya.
Apabila ada 2 (dua) pengertian untuk satu ketentuan yang sama maka yang berlakU adalah yang
tercantum di dalam PP No.20/2000 karena kedudukannya lebih tinggi dari Perpres No.54/2010.

Anda mungkin juga menyukai