Anda di halaman 1dari 32

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome

(disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena
rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain
yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah
ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit
dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti
darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi
melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang
terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk
kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS
telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh
dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS
telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5
Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam
sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada
tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga dari
jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan
ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus
sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses
terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.[6]
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan
penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut
tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang
yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).

Daftar isi

1 Gejala dan komplikasi


o 1.1 Penyakit paru-paru utama
o 1.2 Penyakit saluran pencernaan utama
o 1.3 Penyakit syaraf dan kejiwaan utama

o 1.4 Kanker dan tumor ganas (malignan)


o 1.5 Infeksi oportunistik lainnya

2 Penyebab
o 2.1 Penularan seksual
o 2.2 Kontaminasi patogen melalui darah
o 2.3 Penularan masa perinatal

3 Diagnosis
o 3.1 Sistem tahapan infeksi WHO
o 3.2 Sistem klasifikasi CDC
o 3.3 Tes HIV

4 Pencegahan
o 4.1 Hubungan seksual
o 4.2 Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
o 4.3 Penularan dari ibu ke anak

5 Penanganan
o 5.1 Terapi antivirus
o 5.2 Penanganan eksperimental dan saran
o 5.3 Pengobatan alternatif

6 Epidemiologi

7 Sejarah

8 Sosial dan budaya


o 8.1 Stigma

o 8.2 Dampak ekonomi


o 8.3 Penyangkalan atas AIDS

9 Lihat pula

10 Referensi

11 Bacaan lanjutan

12 Pranala luar

Gejala dan komplikasi

Gejala-gejala utama AIDS.


Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi
dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak
HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.[7] HIV memengaruhi hampir
semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma
Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama
pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat

badan.[8][9] Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat
kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.

Penyakit paru-paru utama

Foto sinar-X pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii.


Pneumonia pneumocystis (PCP)[10] jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan
tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis,
perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini
umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih
merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya
indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per L.[11]
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV,
karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan
(respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium
awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC
terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya
terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang
terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal
infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada
stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian
tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik
(konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering
menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah
bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat.[12] Dengan demikian, gejala yang muncul
mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.

Penyakit saluran pencernaan utama

Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke
lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur
kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh
mikobakteria, meskipun kasusnya langka.[13]
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai
penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella,
Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan
virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus
sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk
menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu,
diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani
bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare
diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap
nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang
berhubungan dengan HIV.[14]

Penyakit syaraf dan kejiwaan utama


Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf
(neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang
telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut
Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut
(toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada
mata dan paru-paru.[15] Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi
otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat
menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami
sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang
menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga
merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya
terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem
kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang
cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam
waktu sebulan setelah diagnosis.[16]
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang
terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh
infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia
pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.[17] Kerusakan syaraf
yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang

muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan
rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka
kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%,[18] namun di India
hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV.[19][20] Perbedaan ini mungkin terjadi karena
adanya perbedaan subtipe HIV di India.

Kanker dan tumor ganas (malignan)

Sarkoma Kaposi
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya
beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama
virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia
(HPV).[21][22]
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV.
Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu
pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili
gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma
Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi
dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah
putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's
lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL),
dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV.
Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus,
limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus EpsteinBarr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini
disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker
usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum
seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada
pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif
(HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan
AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang
paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.[23]

Infeksi oportunistik lainnya


Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama
demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi
Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan
gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang
pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang
disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi
oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang
positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.[24]

Penyebab
Untuk detail lebih lanjut tentang topik ini, lihat HIV.

HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai
hijau) pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop
elektron.
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya
menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T),
makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung,
padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah
membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (L)
darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut
AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala
infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+
di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah
sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya
sekitar 9,2 bulan.[25] Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat
bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang memengaruhinya,
diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh)
dari orang yang terinfeksi.[26][27] Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah

daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit
yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti
tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini.[25][28][29] Warisan genetik orang
yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap
beberapa varian HIV. [30] HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang
berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula.[31]
[32][33]
Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu
berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.

Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina
atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut
pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan
seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko
hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk
melalui seks oral reseptif maupun insertif.[34] Kekerasan seksual secara umum meningkatkan
risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik
terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.[35]
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan
gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena
adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi
vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya
borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga
meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti
kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal
limfosit dan makrofaga.[36]
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap
penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak
selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali
penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi
HIV.[36][37] Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta
fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.[38][39]
Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.

Kontaminasi patogen melalui darah

Poster CDC tahun 1989, yang mengetengahkan bahaya AIDS sehubungan dengan pemakaian
narkoba.
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan
resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik
(syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab
penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B
dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua
infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan
Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan
orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat
anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.[40] Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja
laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan
ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh.
Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena
sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari
semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan
yang tidak aman.[41] Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh
opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan
kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.[42]
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara
maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian,
menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan
"antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".[43]

Penularan masa perinatal

Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat
penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun
demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara
bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.[44] Sejumlah faktor dapat memengaruhi
risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus,
semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.[45]

Diagnosis
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS,
seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun
demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan
untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun
spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi HIV
digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju
digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.

Sistem tahapan infeksi WHO

Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+ pada rata-rata infeksi HIV yang tidak
ditangani. Keadaan penyakit dapat bervariasi tiap orang.
jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm)
jumlah RNA HIV per mL plasma

Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan
kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV1.[46] Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah
infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.

Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS

Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan
atas yang berulang

Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan,
infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.

Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau
paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

Sistem klasifikasi CDC


Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease Control
and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini; sehingga
AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah
limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus
tersebut.[47][48] CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan
mendefinisikan penyakit ini.[49] Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan
memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per L darah atau 14% dari
seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV.[50] Mayoritas kasus AIDS di negara maju
menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis
terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per L
darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.

Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV.[51] Kurang dari 1% penduduk
perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan
lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang
mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani
pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas
kesehatan umum pedesaan.[51] Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah
yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIVnya.
Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk
mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien.
Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang
dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa
dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula
tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat
digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat
terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis
infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.

Pencegahan
Perkiraan risiko masuknya HIV per aksi,
menurut rute paparan[52]
Rute paparan

Perkiraan infeksi

Transfusi darah
Persalinan
Penggunaan jarum suntik bersama-sama
Hubungan seks anal reseptif*
Jarum pada kulit
Hubungan seksual reseptif*
Hubungan seks anal insertif*
Hubungan seksual insertif*
Seks oral reseptif*
Seks oral insertif*

per 10.000 paparan


dengan sumber yang terinfeksi
9.000[53]
2.500[44]
67[54]
50[55][56]
30[57]
10[55][56][58]
6,5[55][56]
5[55][56]
1[56]
0,5[56]

tanpa penggunaan kondom


sumber merujuk kepada seks oral
yang dilakukan kepada laki-laki

Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual,
persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin
atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan
pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi
dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat
diabaikan.[59]

Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah
satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia.[60]
Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi
kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti
terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan
HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom
digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan.[61] Kondom laki-laki berbahan lateks, jika
digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi
yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular
seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti
vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan
tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak
produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar
minyak digunakan dengan kondom poliuretan.[62]
Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang
memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita
lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk
cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian
dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina untuk memasukkan kondom wanita,
cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan
harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa

dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan
meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita
merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.[63]
Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan
penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi
adalah di bawah 1% per tahun.[64] Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negaranegara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara
menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan
berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko
yang mereka hadapi atas infeksi HIV.[65] Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba
telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara
maju.
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali
mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual
Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang
terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu
sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli
mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat
meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.
[66]

Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC
untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual.[67] Adapun rumusannya dalam
bahasa Indonesia:[68]

Anda jauhi seks,


Bersikap saling setia dengan pasangan,
Cegah dengan kondom.

Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi

Wabah AIDS di Afrika Sub-Sahara tahun 1985-2003.


Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan
lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum
dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat
suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan
jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum
menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di
sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau
tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan
mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.

Penularan dari ibu ke anak


Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan
formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission,
MTCT).[69] Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah,
terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak
mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif
disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin.
[5]
Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui
penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika.[70] Dari semua anak yang
diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.[5]

Penanganan
Lihat pula HIV dan Obat antiretrovirus.

Abacavir Nucleoside analog reverse transcriptase inhibitor (NARTI atau NRTI)

Struktur kimia Abacavir


Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang
diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal,
perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut
post-exposure prophylaxis (PEP).[40] PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut
banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak
enak badan, mual, dan lelah.[71]

Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active
antiretroviral therapy, disingkat HAART).[72] Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang
yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan
protease inhibitor.[6] Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat
(disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus.
Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor
(atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada
pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada
untuk orang dewasa.[73] Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART,
seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4,
serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.[74]
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam
darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan
gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya
kembali setelah perawatan dihentikan.[75][76] Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup
seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART.[77] Meskipun
demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan
kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan
(morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV.[78][79][80] Tanpa perawatan HAART,
berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara
sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS
hanyalah 9.2 bulan.[25] Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama
4 sampai 12 tahun.[81][82] Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima

puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya
efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang
tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan
dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal
memperoleh manfaat dari penerapan HAART.[83] Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap
tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama
ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan,
serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam
kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan
secara rutin .[84][85][86] Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur
dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan
risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.[87][88]
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki
akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.[89]

Penanganan eksperimental dan saran


Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global
(pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negaranegara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian.[89]
Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi
vaksin.[89]
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping
obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan
urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa
penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi
bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A
dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi.[90]
Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan
terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien
toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari
terapi propilaktik tersebut.[71]
Susu sapi adalah salah satu produk tepat yang bisa mencegah penularan penyakit yang belum ada
obatnya ini. Awalnya ilmuwan melihat bahwa sapi ternyata tidak dapat terinfeksi HIV. Setelah
melewati proses penelitian yang cukup lama, ternyata para peneliti tersebut menemukan fakta
kalau sapi bisa menghasilkan antibodi yang bisa mencegah penularan HIV. Para peneliti tersebut
kemudian menyuntikkan sapi betina dengan protein HIV. Setelah sapi melahirkan, para ilmuwan
tersebut mengumpulkan kolostrum (susu pertama yang dihasilkan setelah melahirkan). Dan
ternyata kolostrum tersebut mengandung antibodi HIV.[91]

Pengobatan alternatif

Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah
perkembangan penyakit.[92] Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala,
misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri;
namun tidak menyembuhkan infeksi HIV.[93] Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan
jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki
dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek
samping negatif yang serius.[94]
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan
mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang
menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang
memiliki status nutrisi yang baik.[95] Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga
memiliki beberapa manfaat.[95] Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan
beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat
digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar,
tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.[96]
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit
efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup
individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif
tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.[97]
Namun oleh penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita
AIDS yang terjangkit virus HIV-1, beberapa pakar menyarankan terapi dengan asupan hormon
tiroksin.[98] Hormon tiroksin dikenal dapat meningkatkan laju metabolisme basal sel eukariota[99]
dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.[100]

Epidemiologi

Meratanya HIV diantara orang dewasa per negara pada akhir tahun 2005.
1550% 515%
15%

0.51.0% 0.10.5%

<0.1% tidak ada data

UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak
pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling
menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus bertambah
baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4

dan 3,3 juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anakanak.[5] Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV.[5] Pada tahun 2005,
antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal
dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.[5]
Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan perkiraan 21,6
sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta [1,5&-3,0 juta] dari mereka adalah anakanak yang usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari semua orang yang hidup
dengan HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per empat (76%) dari semua wanita hidup
dengan HIV. Pada tahun 2005, terdapat 12.0 juta [10.6-13.6 juta] anak yatim/piatu AIDS hidup di
Afrika Sub Sahara.[5] Asia Selatan dan Asia Tenggara adalah terburuk kedua yang terinfeksi
dengan besar 15%. 500.000 anak-anak mati di region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi
HIV/AIDS di Asia muncul di India, dengawn perkiraan 5.7 juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta)
(0.9% dari populasi), melewati perkiraan di Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta)
(11.9% dari populasi) infeksi, membuat negara ini dengan jumlah terbesar infeksi HIV di dunia.
[101]
Di 35 negara di Afrika dengan perataan terbesar, harapan hidup normal sebesar 48.3 tahun 6.5 tahun sedikit daripada akan menjadi tanpa penyakit.[102]

Sejarah
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control and
Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih
diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima
laki-laki homoseksual di Los Angeles.[103]
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih
mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi
HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat.[104] Baik
HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes
troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan.[105] HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey
(Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun.
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan
primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging.[106] Teori yang lebih
kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik
AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary
Koprowski terhadap vaksin polio.[107][108] Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya
berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.[109][110][111]

Sosial dan budaya


Stigma

Ryan White sebagai model poster HIV. Ia dikeluarkan dari sekolah dengan alasan terinfeksi HIV.
Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS
terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan,
diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba
HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan
penerapan karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV.[112] Kekerasan atau ketakutan atas
kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil
tes mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah suatu
sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi "hukuman mati" dan menjadikan meluasnya
penyebaran HIV.[113]
Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:

Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang
berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.[114]

Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap


terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan
penyakit tersebut.[114]

Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu
HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.[115]

Stigma AIDS sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan
dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui suntikan.
Di banyak negara maju, terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau
biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya
sikap-sikap anti homoseksual.[116] Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara
AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan
yang belum terinfeksi.[114]

Dampak ekonomi

Perubahan angka harapan hidup di beberapa negara di Afrika.


Zimbabwe

Kenya

Afrika Selatan

Botswana

Uganda

HIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia
dengan kemampuan produksi (human capital).[5] Tanpa nutrisi yang baik, fasilitas kesehatan dan
obat yang ada di negara-negara berkembang, orang di negara-negara tersebut menjadi korban
AIDS. Mereka tidak hanya tidak dapat bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan
yang memadai. Ramalan bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan hubungan di
daerah. Di daerah yang terinfeksi berat, epidemik telah meninggalkan banyak anak yatim piatu
yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang telah tua.[117]
Semakin tingginya tingkat kematian (mortalitas) di suatu daerah akan menyebabkan mengecilnya
populasi pekerja dan mereka yang berketerampilan. Para pekerja yang lebih sedikit ini akan
didominasi anak muda, dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang lebih sedikit sehingga
produktivitas akan berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk melihat anggota keluarga yang
sakit atau cuti karena sakit juga akan mengurangi produktivitas. Mortalitas yang meningkat juga
akan melemahkan mekanisme produksi dan investasi sumberdaya manusia (human capital) pada
masyarakat, yaitu akibat hilangnya pendapatan dan meninggalnya para orang tua. Karena AIDS
menyebabkan meninggalnya banyak orang dewasa muda, ia melemahkan populasi pembayar
pajak, mengurangi dana publik seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain yang tidak
berhubungan dengan AIDS. Ini memberikan tekanan pada keuangan negara dan memperlambat
pertumbuhan ekonomi. Efek melambatnya pertumbuhan jumlah wajib pajak akan semakin
terasakan bila terjadi peningkatan pengeluaran untuk penanganan orang sakit, pelatihan (untuk
menggantikan pekerja yang sakit), penggantian biaya sakit, serta perawatan yatim piatu korban
AIDS. Hal ini terutama mungkin sekali terjadi jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa
menyebabkan berpindahnya tanggung-jawab dan penyalahan, dari keluarga kepada pemerintah,
untuk menangani para anak yatim piatu tersebut.[117]
Pada tingkat rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya pendapatan dan meningkatkan
pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah tangga. Berkurangnya pendapatan menyebabkan
berkurangnya pengeluaran, dan terdapat juga efek pengalihan dari pengeluaran pendidikan
menuju pengeluaran kesehatan dan penguburan. Penelitian di Pantai Gading menunjukkan

bahwa rumah tanggal dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua kali lebih banyak untuk
perawatan medis daripada untuk pengeluaran rumah tangga lainnya.[118]

Penyangkalan atas AIDS


Sekelompok kecil aktivis, diantaranya termasuk beberapa ilmuwan yang tidak meneliti AIDS,
mempertanyakan tentang adanya hubungan antara HIV dan AIDS,[119] keberadaan HIV itu
sendiri,[120] serta kebenaran atas percobaan dan metode perawatan yang digunakan untuk
menanganinya. Klaim mereka telah diperiksa dan secara luas ditolak oleh komunitas ilmiah,[121]
walaupun terus saja disebarkan melalui Internet dan sempat memiliki pengaruh politik di Afrika
Selatan melalui mantan presiden Thabo Mbeki, yang menyebabkan pemerintahnya disalahkan
atas respon yang tidak efektif terhadap epidemik AIDS di negara tersebut.

HEPATITIS B YA,,,
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatitis B" (VHB), suatu
anggota famili Hepadnavirus[1] yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun
yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosi hati atau kanker hati.[2] Mula-mula
dikenal sebagai "serum hepatitis" dan telah menjadi epidemi pada sebagian Asia dan Afrika.[3]
Hepatitis B telah menjadi endemik di Tiongkok dan berbagai negara Asia.[4]
Penyebab Hepatitis ternyata tak semata-mata virus. Keracunan obat, dan paparan berbagai
macam zat kimia seperti karbon tetraklorida, chlorpromazine, chloroform, arsen, fosfor, dan zatzat lain yang digunakan sebagai obat dalam industri modern, bisa juga menyebabkan Hepatitis.
Zat-zat kimia ini mungkin saja tertelan, terhirup atau diserap melalui kulit penderita.
Menetralkan suatu racun yang beredar di dalam darah adalah pekerjaan hati. Jika banyak sekali
zat kimia beracun yang masuk ke dalam tubuh, hati bisa saja rusak sehingga tidak dapat lagi
menetralkan racun-racun lain.[5]

Diagnosis
Dibandingkan virus HIV, virus Hepatitis B (HBV) seratus kali lebih ganas (infectious), dan
sepuluh kali lebih banyak (sering) menularkan. Kebanyakan gejala Hepatitis B tidak nyata.[6]
Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang disebabkan oleh infeksi
virus Hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai dengan HBsAg positif (> 6 bulan) di
dalam serum, tingginya kadar HBV DNA dan berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati.
Carrier HBsAg inaktif diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi.
Sedangkan Hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan
peningkatan intermiten ALT>10 kali batas atas nilai normal (BANN). Diagnosis infeksi Hepatitis
B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi.
Secara serologi, pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi Hepatitis B
kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV DNA (4,5). Pemeriksaan virologi, dilakukan
untuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat
replikasi virus. Pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah

kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktivitas kroinflamasi. Oleh karena
itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan kadar
ALT yang menunjukkan proses nekroinflamasi yang lebih berat dibandingkan pada ALT yang
normal. Pasien dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang baik pada terapi
antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal dipertimbangkan untuk tidak diterapi,
kecuali bila hasil pemeriksaan histologi menunjukkan proses nekroinflamasi aktif. Sedangkan
tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati, menyisihkan diagnosis
penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen anti viral. [7]
Pada umumnya, gejala penyakit Hepatitis B ringan. Gejala tersebut dapat berupa selera makan
hilang, rasa tidak enak di perut, mual sampai muntah, demam ringan, kadang-kadang disertai
nyeri sendi dan bengkak pada perut kanan atas. Setelah satu minggu akan timbul gejala utama
seperti bagian putih pada mata tampak kuning, kulit seluruh tubuh tampak kuning dan air seni
berwarna seperti teh.[7]
Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh tubuh terhadap virus Hepatitis B
pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan
terjadi pembersihan virus, pasien sembuh. Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh lemah maka
pasien tersebut akan menjadi carrier inaktif. Ketiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate
(antara dua hal di atas) maka penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis.[7]

HEPATITIS B
Hepatitis B merupakan bentuk Hepatitis yang lebih serius dibandingkan dengan jenis hepatitis
lainnya.[2] Penderita Hepatitis B bisa terjadi pada setiap orang dari semua golongan umur.[8] Ada
beberapa hal yang dapat menyebabkan virus Hepatitis B ini menular. [9]

Secara vertikal, cara penularan vertikal terjadi dari Ibu yang mengidap virus Hepatitis B
kepada bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau segera setelah persalinan.

Secara horisontal, dapat terjadi akibat penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik
telinga, tusuk jarum, transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi secara
bersama-sama (Hanya jika penderita memiliki penyakit mulut (sariawan, gusi
berdarah,dll), lendir (berciuman) atau luka yang mengeluarkan darah serta hubungan
seksual dengan penderita.

Sebagai antisipasi, biasanya terhadap darah-darah yang diterima dari pendonor akan di tes
terlebih dulu apakah darah yang diterima reaktif terhadap Hepatitis, Sipilis dan HIV.
Sesungguhnya, tidak semua yang positif Hepatitis B perlu ditakuti. Dari hasil pemeriksaan darah,
dapat terungkap apakah ada riwayat pernah kena dan sekarang sudah kebal, atau bahkan virusnya
sudah tidak ada. Bagi pasangan yang hendak menikah, tidak ada salahnya untuk memeriksakan
pasangannya untuk menenularan penyakit ini.

Perawatan

Hepatitis yang disebabkan oleh infeksi virus menyebabkan sel-sel hati mengalami kerusakan
sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Pada umumnya, sel-sel hati dapat tumbuh
kembali dengan sisa sedikit kerusakan, tetapi penyembuhannya memerlukan waktu berbulanbulan dengan diet dan istirahat yang baik.[2]
Hepatitis B akut umumnya sembuh, hanya 10% menjadi Hepatitis B kronik (menahun) dan dapat
berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.[8] Saat ini ada beberapa perawatan yang dapat
dilakukan untuk Hepatitis B kronis yang dapat meningkatkan kesempatan bagi seorang penderita
penyakit ini. Perawatannya tersedia dalam bentuk antiviral seperti lamivudine dan adefovir dan
modulator sistem kebal seperti Interferon Alfa ( Uniferon).[10]
Selain itu, ada juga pengobatan tradisional yang dapat dilakukan. Tumbuhan obat atau herbal
yang dapat digunakan untuk mencegah dan membantu pengobatan Hepatitis diantaranya
mempunyai efek sebagai hepatoprotektor, yaitu melindungi hati dari pengaruh zat toksik yang
dapat merusak sel hati, juga bersifat anti radang, kolagogum dan khloretik, yaitu meningkatkan
produksi empedu oleh hati. Beberapa jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk
pengobatan Hepatitis, antara lain yaitu temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma
longa), sambiloto (Andrographis paniculata), meniran (Phyllanthus urinaria), daun serut/mirten,
jamur kayu/lingzhi (Ganoderma lucidum), akar alang-alang (Imperata cyllindrica), rumput
mutiara (Hedyotis corymbosa), pegagan (Centella asiatica), buah kacapiring (Gardenia
augusta), buah mengkudu (Morinda citrifolia), jombang (Taraxacum officinale).selain itu juga
ada pengobatan alternatif lain Hepatitis B Dari Wikipedia seperti hijamah/bekam yang bisa
menyembuhkan segala penyakit hepatitis, asal dilakukan dengan benar dan juga dengan standar
medis.

TMV
Virus mosaik tembakau (Tobacco mosaic virus, TMV) adalah virus yang menyebabkan
penyakit pada tembakau dan tumbuhan anggota suku terung-terungan (Solanaceae) lain. Gejala
yang ditimbulkan adalah bercak-bercak kuning pada daun yang menyebar, seperti mosaik. TMV
adalah virus pertama yang ditemukan orang.
Adolf Meyer (1883) menunjukkan pertama kali bahwa gejala mosaik ini dapat menular, seperti
penyakit bakteri. Keberadaan adanya substansi non-bakteri pertama kali ditunjukkan oleh Dmitri
Ivanovski, biologiwan Rusia, pada tahun 1892. Daun sehat yang diolesi ekstrak daun tembakau
yang menunjukkan gejala mosaik dapat tertular. Ketika ekstrak itu disaring dengan saringan
keramik -- yang sangat halus sehingga bakteri pun tidak dapat menembus -- dan dioleskan pada
daun sehat, daun itu pun tetap tertular. Ivanovski berpendapat ada substansi super kecil yang
bertanggung jawab atas gejala tersebut. Martinus Beijerinck mengonfirmasi hal ini. Isolasi
pertama kali dilakukan oleh Wendell M. Stanley (1935) dari Institut Rockefeller AS

Tobacco Mosaic Virus (TMV)/ Virus Mosaik Tembakau

26 02 2009

Morfologi /Daur Penyakit


Virus TMV pada tanaman ditularkan secara mekanis atau melalui benih. Virus ini belum
diketahui dapat ditularkan melalui vektor (serangga penular). Virus dapat bertahan dan bersifat
infektif selama beberapa tahun. Virus bersifat sangat stabil dan mudah ditularkan dari benih ke
pembibitan pada saat pengelolaan tanaman secara mekanis misalnya pada saat pemindahan bibit
ke pertanaman.
Gejala Serangan
Virus mosaik : daun tanaman yang terserang menjadi berwarna belang hijau muda sampai hijau
tua. Ukuran daun relatif lebih kecil dibandingkan dengan ukuran daun normal. Jika menyerang
tanaman muda, pertumbuhan tanaman terhambat dan akhirnya kerdil
Gejala yang timbul sangat dipengaruhi oleh suhu, penyinaran, umur tanaman, kultivar/varietas
tanaman, serta strain virus. Secara umum gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
a). Gejala mosaik dan mottle pada daun (pada musim panas di rumah kaca) warna belang
bercampur lebih dari satu warna. Mosaik pada daun biasanya berwarna pucat atau kekuningkuningan yang menyebar berupa percikan-percikan. Pada kondisi intensitas rendah dan suhu
rendah terjadi gejala kerdil dan malformasi daun (fern-leaf) dimana adanya perubahan bentuk
menjadi tidak sempurna atau tidak normal pada daun dan buah.
b). Gejala klorosis berupa warna pucat, baik pucat yang menyeluruh maupun hanya berupa
bercak saja.
c). Gejala vein-clearing : warna pucat pada urat daun sehingga urat daun kelihatan transparan
dan berkilau diantara warna daun yang hijau.
d). Gejala nekrotik : kematian jaringan, biasanya terjadi pada urat daun, batang berupa garisgaris coklat, bercak pada daun atau bercak cekung nekrotik pada buah, dan kematian pada titik
tumbuh.
Tanaman Inang
Tanaman yang termasuk famili Solanaceae, Amaranthaceae, Aizoaceae, dan Scrophulariaceae.
Pengendalian
- Menggunakan bibit tanaman yang sehat (tidak mengandung virus) atau bukan berasal dari
daerah terserang,
- Eradikasi tanaman sakit, yaitu tanaman yang menunjukkan gejala segera dicabut dan
dimusnahkan supaya tidak menjadi sumber penularan ke tanaman lain yang sehat,
- Penanganan bibit secara hati-hati agar tidak bersentuhan satu sama lain,
- Menghindari menanam tomat pada lahan yang sama untuk jangka waktu minimum 7 bulan,
- Benih dapat dibebaskan dari kontaminasi virus dengan cara merendam benih dalam larutan 10
% (w/v), Na3 PO4 selama 20 menit,
- Perlakuan benih dengan pemanasan (heat treatment) pada suhu 70o C selama 2 4 hari dapat
mengeradikasi virus yang terbawa dalam endosperm
MOSAIK TEMBAKAU (Tobacco mosaic virus)

Tomat, adalah salah satu tanaman yang rentan terkena penyakit yang diakibatkan oleh serangan
virus, virus pada tanaman tomat dikelompokkan pada penyakit penting di berbagai negara.
Neinhaus (1981) mengungkapkan bahwa di negara tropis dan subtropis dilaporkan ada 18 jenis
virus yang menyerang. Sedangkan Kranz at al (1977) melaporkan ada sekitar 12 jenis dengan
menimbulkan gejala yang berbeda tergantung jenis virusnya. Kasus lain terjadi di Jepang dimana
menurut Oshima (1979) menyebutkan ada enam jenis virus yang sering menyerang tanaman
tomat di Jepang diantaranya : virus mosaic tembakau (TMV), virus mosaik ketimun atau
cucumber mosaic virus (CMV), virus streak ganda atau double streak virus (DSV), virus bercak
layu tomat atau tomato spotted wilt virus (TSWV) , virus kerupuk tomat atau leaf curl virus
(TLCV) dan virus kentang Y atau potato virus Y (PVY). Meskipun demikian, tidak semua
penyakit yang disebabkan virus tersebut dapat dijumpai di seluruh negara baik tropik maupun
sub tropik. Terkadang serangnnya hanya pada daerah tertentu saja.
Karenanya virus termasuk salah satu penyakit penting atau utama yang menyerang tanaman
tomat. Hampir semua tomat yang ada saat ini belum ada yang memiliki daya tahan kuat bila
sudah terserang. Selama ini, penyakit virus yang dominan dan seringkali menyerang tanaman
tomat adalah TMV (Tobacco Mozaic Virus). Kehadiran TMV yang berat dapat menekan
produktifitas hingga 0,2 sampai 50% tergantung varietas. Sedangkan di Jepang, mampu menekan
produktifitas hingga 20 50% .
Gejala
Pada daun terjadi bercak-bercak hijau muda atau kuning yang tidak teratur. Bagian yang
berwarna muda tidak dapat berkembang secepat bagian hijau yang biasa, sehingga daun menjadi
berkerut atau terpuntir. Jika semai trinfeksi segera setelah muncuk, semai dapat mati. Jika
tanaman trifeksi setelah dewasa pengaruhnya dapat lemah sekali. Infeksi mosaic pada buah
mungkin tidak menimbulkan gejala. Namun jika tanaman terinfeksi sejak awal, buah hanya
menjadi kecil, bentuknya menyimpang, dan pada dinding buah mungkin terjadi bercak-bercak
nekrotik.
Jika mosaik tembakau dan mosaik mentimun mengdakan infeksi secara bersamaaan, pada batang
dan buah akan terjadi garis-garis hitam yang terdiri atas jaringn mati.
Penyebab Penyakit
Penyakit disebabkan oleh virus mosaic tembakau (tobacco mosaic virus, tobamovirus = TMV),
yang dahulu dikenal sebagai Marmor tabaci Holmes, yang juga disebut sebagai Nicotana virus 1
(Mayer) Smith. Virus yang terdapat pada toma biasa juga di sebut sebagai virus mosaic tomat
(Tomato mosaic virus = ToMV), dan dikatakan ToMV memiliki hubungan yang erat dengan
strain-strain TMV (Bos, 1983;Lange, 1984 dalam Semangun, 2007).
Virus memiliki titik inaktivasi pemanasan 94C, titik pengenceran terahir 1 : 1.000.000. dalam
daun tembakau virus sanggup bertahan sampai puluhan tahun. Zarahzarah (virion) virus mosaic
tembakau berbentuk batang-batang yang panjangnya 280 nmdan tebalnya 15nm.
Adapun klasifikasi tobacco mosaic virus (TMV) adalah sbagai berikut:

Virus classification
Group: Group IV ((+)ssRNA)
Genus: Tobamovirus
Species:Tobacco mosaic virus
(sumber wikipedia.org)
Daur Penyakit
Kebanyakan tembakau mengandung penyakit , kalau mereka yang bekerja di pertanaman tomat
merokok atau mengunyah tembakau, maka mereka inilaha yang menularkan tanaman dengan
TMV. Virus menular secara mekanis, oleh tangan para pekerja, ternak, atau alat-alat pertanian.
Virus tidak ditularkan oleh serangga. Selain pada tembakau, virus jiga dapat betahan pada sisasisa tanaman sakit selama 4 bulan. Virus jug adapt bertahan dari musim ke musim pada gulma
yang termasuk suku terungan (Solanaceae), misalnya kecubung dan ceplukan.
Pengenlolaan penyakit
1. Tidak merokok selama bekerja di pertanaman tomat, khususnya pada waktu bekerja di
persemaian dan pada waktu memindahkan tanaman. Pada waktu ini pekerja dapat menularkan
virus ke banyak tanaman, dan infeksi pada tanaman masih kecil akan sangan menekan produksi.
Meskipun virus yang melekat di tangan tidak dapat sama sekali hilang di cuci, tetapi membasuh
tangna dengan sabun atau deterjen akan banyak mengurangi infeksi.
2. Persemaian diperiksa denga teliti, bibit yang sakit di cabut agar tidak menjadi sumber
infeksi. Sekitar persemaia di bersihkan dari gulma, terutama gulma yang dapat menjadi inang
sekunder seperti dari suku terung-terungan (Solanaceae)
3. Diusahankan tanaman, khususnya yang masih muda tidak terlalu banyak di pegang dan tidak
dipegang terlalu keras, misalnya pada saat memanjatkan tanaman dan pada waktu memangkas.
4. Proteksi silang atau premunisasi. Tanaman ditulasi dengan strain virus yang lemah untuk
melindunginya terhadap infeksi strain virus yang kuat (Sulyo, 1988 dalam Semangun 2007).
Hiruki (1980) di Canada membuktikan bahwa tanaman tomat yang diinfeksi dengan virus mosaic
tembakau yang dilemahkan (dipanaskan dengan suhu 35C selama 15 hari dalam batanga
tembakau) terlindungi dari infeksi virus yang virulen.
Sumber
Duriat, Ati Srie. 1995. Peneliti Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, (Online),
(http://www.tanindo.com, diakses 17 Oktober 2009)
Semangun, Haryono. 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Holtikultura di Indonesia (Edisi
Kedua). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wikipedia (online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Tobacco_mosaic_virus, diakses 17 Oktober
2009)

Virus Rabies Rhabdovirus


by yusri on June 2, 2011
Virus rabies menyerang otak, menyebabkan peradangan yang parah (ensefalopati) dan kematian
jika tidak dirawat. Virus ini sering disebut virus rabies (rhabdovirus). Virus rabies merupakan
virus RNA bagian dari keluarga virus yang disebut Rhabdoviruses. Tampaknya ada beberapa
variasi dari virus rabies penyebab rabies.
Vaksin rabies

Bagaimana Virus Rabies Menular? Dalam hampir semua kasus rabies,


virus memasuki tubuh melalui air liur hewan yang terinfeksi, biasanya
dengan menggigit, tetapi juga dapat menular jika air liur yang terinfeksi
masuk ke luka terbuka atau percikan ke dalam selaput lendir seperti
yang di mata , hidung, atau mulut. Dari titik air liur itu masuk, virus
rabies bergerak sepanjang sel-sel saraf ke otak, hal ini dapat menjadi sangat fatal ketika virus
rabies ini menyerang system saraf pusat. Siklus diulang ketika hewan menggigit orang atau
hewan lain, sehingga vaksin rabies biasanya dilakukan untuk memutuskan mata rantai siklus ini.
Hanya mamalia sebagai perantara penularan virus rabies

Walaupun semua spesies mamalia bisa terinfeksi dengan virus rabies, hanya beberapa spesies
yang paling mampu menyebarkan virus ke hewan lain. Spesies ini termasuk anjing, kalelawar,
rubah, dll. Perlu diketahui bahwa hanya mamalia yang dapat menjadi hewan perantara penyebab
rabies. Burung, reptil, amfibi, dan ikan tidak dapat menyebarkan virus rabies.
Bagaimana masa inkubasi virus rabies? Ketika binatang terinfeksi virus rabies, virus mengalikan
dalam tubuh sampai menghasilkan gejala. Masa antara infeksi dan timbulnya gejala dikenal
sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi rabies mungkin bervariasi dari beberapa hari sampai
beberapa tahun, namun biasanya berlangsung satu sampai tiga bulan.
Apa Saja Gejala Virus Rabies? Ketika virus rabies mencapai otak, akan berkembang biak cepat
dan gejala rabies dimulai. binatang fanatik mungkin menjadi agresif dan ganas, menyebabkan
lesu dan lemah. Pada umumnya orang, awal gejala rabies akan di dapatkan demam, sakit kepala,
dan kelelahan biasanya diikuti oleh kebingungan, agitasi, halusinasi, dan kelumpuhan. Setelah
gejala rabies mulai, penyakit ini hampir selalu berakibat fatal. Vaksin rabies merupakan salah
satu cara tepat agar mengurangi penyebaran virus rabies penyebab rabies.

Rabies adalah penyakit infeksi tingkat akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus
rabies. [1] Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia. [1] Virus
rabies ditularkan ke manusia melalu gigitan hewan misalnya oleh anjing, kucing, kera, rakun,
dan kelelawar. [1] Rabies disebut juga penyakit anjing gila. [2]

Etimologi
Kata rabies berasal dari bahasa Sanskerta kuno rabhas yang artinya melakukan
kekerasan/kejahatan.[3] Dalam bahasa Yunani, rabies disebut Lyssa atau Lytaa yang artinya
kegilaan. [3] Dalam bahasa Jerman, rabies disebut tollwut yang berasal dari bahasa Indojerman
Dhvar yang artinya merusak dan wut yang artinya marah. [3] Dalam bahasa Prancis, rabies
disebut rage berasal dari kata benda robere yang artinya menjadi gila.[3]

Sejarah
Rabies bukanlah penyakit baru dalam sejarah perabadan manusia. [4] Catatan tertulis mengenai
perilaku anjing yang tiba-tiba menjadi buas ditemukan pada Kode Mesopotamia yang ditulis
4000 tahun lalu serta pada Kode Babilonia Eshunna yang ditulis pada 2300 SM.[4] Democritus
pada 500 SM juga menuliskan karakteristik gejala penyakit yang menyerupai rabies.[2]
Aristotle, pada 400 SM, menulis di Natural History of Animals edisi 8, bab 22 [5]

.... anjing itu menjadi gila. Hal ini menyebabkan mereka menjadi agresif dan
semua binatang yang digigitnya juga mengalami sakit yang sama.

Hippocrates, Plutarch, Xenophon, Epimarcus, Virgil, Horace, dan Ovid adalah orang-orang yang
pernah menyinggung karakteristik rabies dalam tulisan-tulisannya. [5] Celsius, seorang dokter di
zaman Romawi, mengasosiasikan hidrofobia (ketakutan terhadap air) dengan gigitan anjing,
pada tahun 100 Masehi. [4] Cardanus, seorang penulis zaman Romawi menjelaskan sifat infeksi
yang ada di air liur anjing yang terkena rabies.[5] Pada penulis Romawi zaman itu
mendeskripsikan rabies sebagai racun, yang mana adalah kata Latin bagi virus. [5] Pliny dan Ovid
adalah orang yang pertama menjelaskan penyebab lain dari rabies, yang saat itu disebut cacing
lidah anjing (dog tongue worm).[5] Untuk mencegah rabies di masa itu, permukaan lidah yang
diduga mengandung "cacing" dipotong. [5] Anggapan tersebut bertahan sampai abad 19, ketika
akhirnya Louis Pasteur berhasil mendemonstrasikan penyebaran rabies dengan menumbuhkan
jaringan otak yang terinfeksi pada tahun 1885 [5] Goldwasser dan Kissling menemukan cara
diagnosis rabies secara modern pada tahun 1958, yaitu dengan teknik antibodi imunofluoresens
untuk menemukan antigen rabies pada jaringan.[4]

Penyebab

Rabies disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dan genus
Lysavirus. [6] Karakteristik utama virus keluarga Rhabdoviridae adalah hanya memiliki satu utas
negatif RNA yang tidak bersegmen. [6] Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan
sebagai perantara penularan. [7] Spesies hewan perantara bervariasi pada berbagai letak geografis.
[7]
Hewan-hewan yang diketahui dapat menjadi perantara rabies antara lain rakun (Procyon lotor)
dan sigung (Memphitis memphitis) di Amerika Utara, rubah merah (Vulpes vulpes) di Eropa, dan
anjing di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Afrika, Asia, dan Amerika Latin memiliki tingkat
rabies yang masih tinggi [7] Hewan perantara menginfeksi inang yang bisa berupa hewan lain atau
manusia melalui gigitan. [2][1] Infeksi juga dapat terjadi melalui jilatan hewan perantara pada kulit
yang terluka. [2][1] Setelah infeksi, virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke sumsum tulang
belakang dan otak dan bereplikasi di sana. [2] Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf
ke jaringan non saraf, misalnya kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur. [2] Hewan yang
terinfeksi bisa mengalami rabies buas/ ganas ataupun rabies jinak/ tenang. [8] [9] Pada rabies buas/
ganas, hewan yang terinfeksi tampak galak, agresif, menggigit dan menelan segala macam
barang, air liur terus menetes, meraung-raung gelisah kemudian menjadi lumpuh dan mati. [8][9]
Pada rabies jinak/tenang, hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan lokal atau kelumpuhan
total, suka bersembunyi di tempat gelap, mengalami kejang dan sulit bernapas, serta
menunjukkan kegalakan [8][9]
Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan melalui penghirupan udara yang tercemar
virus rabies. [10] Dua pekerja laboratorium telah mengkonfirmasi hal ini setelah mereka terekspos
udara yang mengandung virus rabies. [10] Pada tahun 1950, dilaporkan dua kasus rabies terjadi
pada penjelajah gua di Frio Cave, Texas yang menghirup udara di mana ada jutaan kelelawar
hidup di tempat tersebut. [10] Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan sama
sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar. [10]

Manifestasi Klinis

Seorang penderita rabies pada tahun 1959


Gejala rabies biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi. [11] Masa inkubasi
virus hingga munculnya penyakit adalah 10-14 hari pada anjing tetapi bisa mencapai 9 bulan
pada manusia [1] Bila disebabkan oleh gigitan anjing, luka yang memiliki risiko tinggi meliputi
infeksi pada mukosa, luka di atas daerah bahu (kepala, muka, leher), luka pada jari tangan atau
kaki, luka pada kelamin, luka yang lebar atau dalam, dan luka yang banyak. [9] Sedangkan luka

dengan risiko rendah meliputi jilatan pada kulit yang luka, garukan atau lecet, serta luka kecil di
sekitar tangan, badan, dan kaki. [9]
Gejala sakit yang akan dialami seseorang yang terinfeksi rabies meliputi 4 stadium: [9]

Stadium prodromal
Dalam stadium prodomal sakit yang timbul pada penderita tidak khas, menyerupai infeksi virus
pada umumnya yang meliputi demam, sulit makan yang menuju taraf anoreksia, pusing dan
pening (nausea), dan lain sebagainya. [9]

Stadium sensoris
Dalam stadium sensori penderita umumnya akan mengalami rasa nyeri pada daerah luka gigitan,
panas, gugup, kebingungan, keluar banyak air liur (hipersalivasi), dilatasi pupil, hiperhidrosis,
hiperlakrimasi.[9]

Stadium eksitasi
Pada stadium eksitasi penderita menjadi gelisah, mudah kaget, kejang-kejang setiap ada
rangsangan dari luar sehingga terjadi ketakutan pada udara (aerofobia), ketakutan pada cahaya
(fotofobia), dan ketakutan air (hidrofobia).[9] Kejang-kejang terjadi akibat adanya gangguan
daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernapasan. [8] Hidrofobia yang terjadi pada
penderita rabies terutama karena adanya rasa sakit yang luar biasa di kala berusaha menelan air
[8]

Stadium paralitik
Pada stadium paralitik setelah melalui ketiga stadium sebelumnya, penderita memasuki stadium
paralitik ini menunjukkan tanda kelumpuhan dari bagian atas tubuh ke bawah yang progresif. [9]
Karena durasi penyebaran penyakit yang cukup cepat maka umumnya keempat stadium di atas
tidak dapat dibedakan dengan jelas. [9] Gejala-gejala yang tampak jelas pada penderita di
antaranya adanya nyeri pada luka bekas gigitan dan ketakutan pada air, udara, dan cahaya, serta
suara yang keras. [9] Sedangkan pada hewan yang terinfeksi, gelaja yang tampak adalah dari jinak
menjadi ganas, hewan-hewan peliharaan menjadi liar dan lupa jalan pulang, serta ekor
dilengkungkan di bawah perut. [9]

Diagnosis
Jika seseorang digigit hewan, maka hewan yang menggigit harus diawasi. [12] Satu-satunya uji
yang menghasilkan keakuratan 100% terhadap adanya virus rabies adalah dengan uji antibodi
fluoresensi langsung (direct fluorescent antibody test/ dFAT) pada jaringan otak hewan yang
terinfeksi. [12] Uji ini telah digunakan lebih dari 40 tahun dan dijadikan standar dalam diagnosis
rabies. [12][13] Prinsipnya adalah ikatan antara antigen rabies dan antibodi spesifik yang telah

dilabel dengan senyawa fluoresens yang akan berpendar sehingga memudahkan deteksi [12]
Namun, kelemahannya adalah subjek uji harus disuntik mati terlebih dahulu (eutanasia) sehingga
tidak dapat digunakan terhadap manusia. [12] Akan tetapi, uji serupa tetap dapat dilakukan
menggunakan serum, cairan sumsum tulang belakang, atau air liur penderita walaupun tidak
memberikan keakuratan 100%. [12] Selain itu, diagnosis dapat juga dilakukan dengan biopsi kulit
leher atau sel epitel kornea mata walaupun hasilnya tidak terlalu tepat sehingga nantinya akan
dilakukan kembali diagnosis post mortem setelah hewan atau manusia yang terinfeksi meninggal.
[13]

Penanganan
Bila terinfeksi rabies, segera cari pertolongan medis. [14] Rabies dapat diobati, namun harus
dilakukan sedini mungkin sebelum menginfeksi otak dan menimbulkan gejala.[14][11] Bila gejala
mulai terlihat, tidak ada pengobatan untuk menyembuhkan penyakit ini. [14] Kematian biasanya
terjadi beberapa hari setelah terjadinya gejala pertama.[14]
Jika terjadi kasus gigitan oleh hewan yang diduga terinfeksi rabies atau berpotensi rabies (anjing,
sigung, rakun, rubah, kelelawar) segera cuci luka dengan sabun atau pelarut lemak lain di bawah
air mengalir selama 10-15 menit lalu beri antiseptik alkohol 70% atau betadin. [9] Orang-orang
yang belum diimunisasi selama 10 tahun terakhir akan diberikan suntikan tetanus. [15] Orangorang yang belum pernah mendapat vaksin rabies akan diberikan suntikan globulin imun rabies
yang dikombinasikan dengan vaksin. [15] Separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan dan
separuhnya disuntikan ke otot, biasanya di daerah pinggang. [11] Dalam periode 28 hari diberikan
5 kali suntikan. [11] Suntikan pertama untuk menentukan risiko adanya virus rabies akibat bekas
gigitan.[11] Sisa suntikan diberikan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28.[11] Kadang-kadang terjadi rasa
sakit, kemerahan, bengkak, atau gatal pada tempat penyuntikan vaksin. [15]

Pencegahan
Pencegahan rabies pada manusia harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi gigitan oleh
hewan yang berpotensi rabies, karena bila tidak dapat mematikan (letal) [1]
Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera
setelah terkena gigitan [7] Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang
berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu: [16]

Dokter hewan. [16]

Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi. [16]

Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada
anjing banyak ditemukan [7]

Para penjelajah gua kelelawar. [10]

Vaksinasi idealnya dapat memberikan perlindungan seumur hidup. [17] Tetapi seiring berjalannya
waktu kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap rabies harus
mendapatkan dosis booster vaksinasi setiap 3 tahun. [1] Pentingnya vaksinasi rabies terhadap
hewan peliharaan seperti anjing juga merupakan salah satu cara pencegahan yang harus
diperhatikan. [11]

Anda mungkin juga menyukai