Anda di halaman 1dari 16

1.

1 Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik


Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk
perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara
yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, anak belum
dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat dan gurunya pun sudah
mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum bisa mempraktekkan
perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan
perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan
keluaran atau output yang berupa respons. Dalam contoh di atas stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau caracara tertentu untuk membantu belajar siswa, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa yang
terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu,
apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon), semuanya
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku
tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila
penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga
dengan penguatan dikurangi (negative reinforcemet) responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya,
ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin
kuat belajrnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive
reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini justru
meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan negatif
(negative reinforcemet) dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang
penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya
respon.

Para ahli yang mengembangkan teori ini antara lain Edward Lee Thorndike Ivan Pavlov,
Burrhus Frederic Skinner, J.B. Watson, Clark Hull dan Edwin Guthrie1
2.2 Pandangan para Ahli tentang Teori-Teori Belajar Aliran Behavioristik
1. Connectionism (Teori Koneksionisme) (S-R Bond) menurut Edward Lee Thorndike
Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun behaviorisme. Objek
eksperimen Thorndike, yaitu seekor kucing. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain
merupakan hubuingan antara stimulus (perangsang) merupakan respon jawaban, tanggapan,
reaksi), diistilahkan S-R Bond. Belajar adalah pembentukan S-R sebanyak-banyaknya. Siapa
yang menguasai S-R sebanyak-banyaknya, yaitu orang yang sukses dalam belajar. Pembentujan
hubbungan S-R dilakukan melalui latihan dan ulang-ulangan, dengan prinsip trial and error,
coba dan salah.
Seekor kucing yang dilaparkan dimasukkan dalam suatu kotak boks percobaan (problem
box) yang merupakan suatu labyrint, banyak jalan berliku, dan hanya satu jalan yang benar
menuju tujuan. Di ujung poroblem box, dimasukkan makanan, kucing yang membaui makanan,
maka dia akan berusaha mencapai makanan itu dengan berbagai jalan, seringkali tersesat,
kembali ke tempat semula, atau menemui jalan buntu. Namun, sekali tersbut kucing itu
menemukan jalan ke arah makanan, pada percobaan berikutnya dia akan memalui jalan yang
langsung menuju makanan Teori ini dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan teori
psikologi daya atau Herbartisme.
Beberapa hukum belajar yang disampaikan oleh Thorndike antara lain:
1.
Law of Effect (hukum efek), jika sebuah respon (R), menghasilkan efek yang memuaskan,
maka ikatan antara S (stimulus) dengan R (respon) akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin
tidak memuaskan efek yang dicapai melalui respon, maka semakin lemah pula ikatan yang
terjadi antara S-R. Artinya, belajar akan lebih bersemangat apabila mengetahui akan
mendapatkan hasil yang baik.
2.
Law of Readness (hukum kesiapan), maknanya, suatu kesiapan (readness) terjadi
berlandaskan asumsi bahwa kepuasan

organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan

pengantar (conduction unit), unit-unit inilah yang menimbulakan kecenderungan yang


mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Pada implementasinya, belajar
akan lebih berhasil bila individu memiliki kesiapan untuk melakukannya.

D.R. C. Asri Budiningsih (2005). BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. Hal. 20-21.

3.

Law of Exercise (hukum latihan), hubungan antara S dengan R akan semakin bertambah

erat jika sering dilatih dan akan semakin berkurang bila jarang dilatih. Dengan demikian, belajar
akan berhasil apabila banyak latihan atau ulang-ulangan2
2. Teori belajar kondisioning klasik (clasical conditioning)
Ivan Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing. Pavlov melihat selama pelatihan ada
perubahan dalam waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov
mengamati, jika diletakkan dekat mulut anjing yang lapar, anjing akan mengeluarkan air liur. Hal
ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan kepada anjing, sehingga secara otomatis
ia mengeluarkan air liur. Walaupun tanpa latihan atau dikondisikan sebelumnya sebelumnya,
anjing pasti akan mengeluarkan air liur jika dihadapkan pada anjing. Dalam percobaan ini,
daging disebut stimulus yang tidak terkondisikan (unconditioned stimulus). Dan karena saliva
terjadi secara otomatis pada saat daging di dekat anjing tanpa latihan atau pengondisian, maka
keluarnya saliva pada anjing tersebut dinamakan sebagai respon yang tidak dikondisikan
(unrsponse conditioning).
Kalau daging dapat menimbulkan saliva pada anjing tanpa latihan atau pengalaman
sebelumnya, maska stimulus yang lain, seperti bel, tidak dapat menghasilkan saliva. Karena
stimulus tersebut tidak menhasilkan respon, maka stimulus (bel) tersebut disebut ddengan
stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen

Pavlov, jika stimulus netral (bel)

dipasangkan dengan daging (unconditioning stimulus) dan dilakukan secara berulang-ulang,


maka stimulus netral akan berubah menjadi stimulus yang terkondisikan (conditioning stimulus)
dan memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respon anjing seperti ketika ia melihat
daging. Oleh karena itu, bunyi bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing mengeluarkan air liur
(saliva). Proses ini dinamakan classical conditioning.
Dari hasil eksperimen dengan menggunakan anjing tersebut, Pavlov akhirnya
menemukan beberapa hukum pengondisian, antara lain:
Pemerolehan (acquisition), adalah membuat pasangan stimulus netral dengan stimulus tak
bersyarat berulang-ulang hingga muncul respon bersyarat, atau yang disebut acquisition atau
acquisition training (latihan untuk memperoleh sesuatu). Para peneliti sering kali membuat
stimulus netral bersamaan dengan stimulus bersyarat atau berbeda beberapa detik selisih waktu
pemberiannya dan segera menghentikan secara serempak (simultaneus conditioning). Prosedur

Prof. DR. Suyono, M.Pd (2011). BELAJAR DAN PEMBELAJARAN, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Hal 60-61

ini akan menghasilkan respon bersyarat. Prosedur ini lebih sederhana dan efektif dalam melatih
orang atau hewan.
Pemadaman (extinction), setelah respon itu terbentuk, maka respon itu akan tetap ada selama
masih diberikan rangsangan bersyaratnya dan dipasangkan dengan respon tak bersyarat. Kalau
rangsangan bersyarat diberikan untuk beberapa lama, maka respon bersyarat lalu tidak
mempunyai penguat (reinforcer) dan besar kemungkinan respon bersyarat itu akan menurun
jumlah pemunculannya dan akan semakin tak terlihat seperti penelitian sebelumnya. Peristiwa
itulah yang disebut dengan pemadaman (extinctiond). Beberapa respon bersyarat akan hilang
secara perlahan-lahan atau hilang sama sekali untuk selamanya.
Generalisasi dan diskriminasi. Respon bersyarat ini juga terletak dapat dikenakan pada kejadian
lain, namun situasinya yang mirip. Inilah yang dikenal dengan generalisasi stimulus atau
generalisasi. Misalnya pemuda yang mencintai seorang gadis, dan ia merasa bahagia bila
bertemu dengan gadis tersebut. Pada saat ia mengetahui bahwa gadis yang dicintainya menyukai
warna pink, maka ia akan merasa bahagia ketika menjumpai benda-benda apa saja yang
berwarna pink. Dalam kehidupan sehari-hari perilaku generalisasi dan diskriminasi ini dapat kita
jumpai. Misalnya, anak kecil yang merasa takut pada anjing galak, tentu akan memberi respon
rasa takut pada setiap anjing. Tapi melalui penguatan dan pemadaman diferensial, rentang
stimulus rasa takut menjadi menyempit hanya pada anjing yang galak saja.
Kondisioning tandingan (counter conditioning). Kondisioning ini merupakan salah satu bentuk
khusus dari kondisioning responden. Pada kondisioning jenis ini, respon bersyarat yang khusus
akan digantikan dengan respon bersyarat lain yang baru dan bertentangan, tidak saling cocok
(incompatible) dengan respon bersyarat yang sebelumnya. Misalnya respon bersyarat yang tidak
suka digantikan degan perasaan suka, takut dengan berani, benci dengan cinta, dan lain
sebaginya. Sehingga reaksi tersebut dapat disebut dengan incompatible atau saling mengganti.
Contoh, seorang anak kecil yang tidak mau dicukur rambutnya karena takut dengan suara alat
cukur atau gunting. Untuk mengganti perasaan takut ketika dipotong maka setiap dipotong
rambutnya anak diberi gula-gula kesukaannya atau diputarkan film kartun kesayangannya.
Sehingga ketika itu dilakukan terus-terus menerus akan muncul respon tidak takut dengan alatalat cukur rambut.
Berikut ini beberapa tips yang ditawarkan oleh Woolfolk (1995) dalam menggunakan
a.

prinsip-prinsip kondisional klasik dalam kelas. Diantaranya:


Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberi tugas-tugas belajar, misalnya:

Menekankan kerja sama dan kompetisi antar kelompok daripada individu, banyak siswa yang
akan memiliki perasaan emosional secara negatif terhadap kompetisi secara individual, yang
mungkin akan digeneralisasikan dengan pelajaran-pelkajaran yang alain;

Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang membaca


(reading corner) yang nyaman dan enak serta menarik, dan lain sebagainya.

b.

Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau
mencekam, misalnya:

Mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara mengajarkan materi
pelajaran;

Membuat tahap jangka pendenk untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnhya dengan
memberikan tes harian mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik;

Jika siswa takut berbbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk membacakan sebuah laporan di
depan kelompok kecil sambil duduk di tempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia
terbiasa , kemudian mintalah ia untuk membaca laporan di depan seluruh murid di kelas.

c.

Membantu siswa untuk menganal persamaan dan perbedaan terhadap situasi-situasi sehingga

mereka dapat memagi dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya dengan:


Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sebuah sekolah yang lebih tinggi
atau di perguruan tinggi, bahwa tes-tes tersebut sama dengan tes-tes prestasi akademik lain yang

pernah mereka lakukan.3


3. Teori belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull adalah seorang behavioris yang amat terpengaruh oleh teori evolusi Charles
Darwin. Bagi Hull, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup (strunggle for existence). Oleh sebab itu, kebutuhan biologis
(drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu
dikaitkan dengan kegiatan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat
berwujud macam-macam.
4. Teori operant conditioning B.F skinner
Pavlov memusatkan perhatian pada adanya perilaku-perilaku karena ditampilkan oleh
stimulus tertentu. Akan tetapi skinner berpendapat bahwa perilaku-perilaku seperti itu mewakili

Drs. H. Baharudin, M. Pd. I,2007. TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: AR-RUZ MEDIA. Hal
58-64

hanya sebagian kecil perilaku-perilaku. Ia menemukan hal lain dari perilaku yang disebutnya
perilaku operant (pembiasaan), adanya stimulus yang tidak terkondisi, seperti makan.
Tidak seperti dalam respondent conditioning (RS) respon dalam operant conditioning
terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan effect yang ditimbulkan oleh reinforce, yang
sesungguhnya merupakan stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya respon tertentu,
namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam percobaan
Pavlov.
Skinner memusatkan penelitiannya pada hubungan antara tingkah laku dengan
konsekuensi-konsekuensinya. Tingkah laku adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
pada situasi tertentu. Tingkah laku terletak diantara dua pengaruh, yaitu pengaruh yang
mendahuluinya (antecendent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Dengan demikian
tingkah laku dapat diubah dengan cara mengubah antecendent dan konsekuensi atau keudanya.
Sebagai contoh, bila tingkah laku seseorang segera diikuti konsekuensi-konsekuensi yang
menyenangkan, maka tingkahlaku tersebut cenderung diulangi, pengadaan konsekuensikonsekuensi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan untuk mengubah tingkah laku disebut
operant conditioning.
Eksperimen skinner dipusatkan pada subyek dalam situasi yang terkontrol dan
mengamati perubahan dalam tingkah laku subyek tersebut yang dihasilkan dengan mengubah
secara sistematis konsekuensi dari tingkah laku subyek. Skinner terkenal dengan pengembangan
dan pengadaan apparatus yang disebut dengan kota skinner.
Ia menggunakan seekor tikus yang diletakkan dalam kotak. Kotak dilengkapi peralatan
seperti tombol, batang jeruji, dan pengungkit yang akan memudahkan tikus membuka pintu
kotak. Mula-mula tikus mengeksplorasi kotak dengan berlari kesana-kemari, mencakar,
melompat, kemudaian secara kebetulan tikus menekan tombol sehingga mengakibatkan butirbutir makanan muncul kedalam wadahnya.
a. Prinsip Belajar Skinners
Reinforcement
Didefinisikan sebagai sebuah konsekuen yang menguatkan tingkah laku atau frekuensi
tingkah laku. Keefektifan sebuah reinforcement dalam proses belajar perlu ditunjukkan.
Misalnya, permen yang pada umumnya dapat menjadi reinforcer bagi prilaku anak kecil, tetapi
ketika mereka beranjak dewasa permen bukan lagi sesuatu yang menyenangkan, bahkan
beberapa anak kecil sudah tidak suka menyukai permen.

Oleh karena itu, agar sebuah hadiah atau reinforcement yang diberikan kepada seseorang
untuk meningkatkan prilakunya yang sesuai, maka perlu memahami jenis-jenis reinforcement
yang disukai, atau diperlukan oleh orang yang akan diberi reinforcement. Pengaruh
reinforcement dengan perilaku yang muncul tersebut dapat digambarkan dalam diagram berikut:
Konsekuen

Pengaruh
Behavior

Reinforcer

Perilaku dikuatkan

Perilaku akan diulang


Secara umum reinforcement dapat dibagi menjadi tiga:
a.

Dari segi jenisnya, reinforcement dibagi menjadi dua katagori, reinforcement primer dan
reinforcement sekunder.

b.

Dari segi bentuknya, reinforcement dibagi menjadi dua yaitu reinforcemet positif dan
reinforcement negatif

c.

Waktu pemberian reinforcement. Ada empat macam pemberian jadwal reinforcement yaitu,
- Fixed Ratio
- Variabel Ratio
- Fixed Interval
-Variabel Interval
Punishment
Punishment adalah menghadirkan atau memberikan sebuah situasi yang tidak
menyenangkan atau situasi yang ingin dihindari untuk menurunkan tingkah laku. Proses
punishment dapat digambarkan sebagai berikut:
Konsekuen

Pengaruh
Behavior

Reinforcer

Prilaku dilemahkan

Frekuensi prilaku akan dilemahkan


Menurut Kazdin (Elliot, 2003), ada dua aspek dalam punishment, yaitu:
-

Sesuatu yang tidak menyenangkan (aversive) muncul setelah sebuah respon, atau yang disebut
dengan aversive stimulus. Misalkan, seorang guru yang menjewer siswa yang selalu ramai di
kelas.

Sesuatu yang positif (menyenangkan) setelah sebuah respon tidak muncul, misalnya seorang
remaja yang selalu menganggu temannya mungkin akan kehilangan kesempatan untuk

menggunakan mobil pada akhir pekan. Contoh tersebut menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak
menyenangkan mengikuti prilaku yang tidak diinginkan.
Dari segi bentuknya, punishment terdiri dari time out dan respon cost. Time out adalah
sebuah bentuk hukuman di mana seseorang akan kehilangan sesuatu yang disukai atau disenangi
samapai pada waktu tertentu. Respon cost adalah sebuah bentuk hukuman di mana seseorang
akan kehilangan sebuah reinforcement positif jika melakukan prilaku yang tidak diinginkan.
Misalnya seorang siswa tidak diberikan kesempatan mengakses internet di ruang komputer
sekolah jika ia tidak mengerjakan tugas yang diberikan.
Shaping
Istilah shaping digunakan dalam teori belajar behavioristik untuk menunjukkan pelajaran
ketrampilan-ketrampilan baru atau prilaku-prilaku baru dengan memberikan penguatan kepada
siswa untuk menguasai ketrampilan atau prilaku tersebut dengan baik. Dengan kata lain, shaping
adalah menggunakan langkah-langkah kecil yang disertai dengan feedback untuk membentu
siswa mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Adapun langkah-langkah dalam pemberian shaping adalah:
1. memilih tujuan yang ingin dicapai
2. mengetahui kesiapan belajar siswa
3. mengembangkan sejumlah langkah yang akan memberikan bimbingan kepada
siswa untuk melalui tahap demi tahap tujuannya dengan meyesuaikan
kemampuan siswa.
4. Memberikan feedback terhadap hasil belajar siswa.
Extinction
Extinction adalah mengurangi atau menurunkan tingkah laku dengan menarik
reinforcement yang menyebabkan perilaku tersebut terjadi. Misalkan seseorang yang akan
membuka pintu, ternyata pintu terkunci. Pertama kali dia berusaha membuka dengan pelan-pelan
sampai akhirnya orang tersebut berusaha membuka dan menggedor pintu dengan keras untuk
beberapa lama, sampai dia merasa frustasi dan marah. Tetapi ketika beberapa lama ia menyadari
bahwa pintu tetap terkunci, maka ia kemudian pergi meninggalkan pintu tersebut. Extiction
merupakan kunci untuk mengatur tingkah laku siswa. Prilaku yang tidak sesuai (missbehavior)

dapat diextinction jika reinforcer (penguat) yang menyebabkan terjadinya prilaku tersebut dapat
diketahui dan dapat diubah (Slavin, 1994)
Anteseden dan Perubahan Prilaku
Dalam operant conditioning anteseden dapat memberikan petunjuk apakah sebuah
prilaku akan mendapatkan konsekuen yang positif atau negatif. Skinner membuat eksperimen
dengan burung. Dalam eksperimen tersebut, ketika lampu menyala, burung akan mematukkan
paruhnya untuk mengambil makanan. Sebaliknya ketika lampunya mati, burung itu tidak
mematukkan pauhnya, karena pada saat lampu mati tidak akan ada makanan. Dengan kata lain,
dalam eksperimen tersebut burung telah belajar menggunakan anteseden cahaya sebagai sebuah
sinyal yang akan ia dapatkan ketika ia mematuk.
Menurut Skinner, untuk menghasilkan perubahan prilaku pada diri individu, selain
dengan memperhatikan konsekuen dapat juga digunakan anteseden-anteseden. Dalam hal ini, ada
dua cara untuk mengontrol anteseden agar menghasilkan prilaku baru atau perubahan prilaku
yaitu dengan cueing dan prompting.
Cueing adalah tindakan pemberian stimulus anteseden sebelum sebuah prilaku tertentu
dilakukan. Cues (tanda-tanda) dapat dalam berbagai bentuk yang memberi bentuk kepada kita
kapan kita mengubah tingkah laku dan kapan tidak melakukan apa pun.
Prompting. Terkadang siswa membutuhkan bantuan agar dapat merespon cues (tandatanda/signal) dengan cara yang benar, sehingga menjadi sebuah stimulus pembeda (a
discriminative stimulus). Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan memberikan
petunjuk tambahan yang disebut dengan prompting. Ada dua prinsip dalam menggunakan
prompting, yaitu:
a. Yakinkan bahwa stimulus lingkungan yang ingin dijadikan petunjuk / tanda (clue) terjadi
segera sebelum prompting digunakan.
b. Hentikan secepat mungkin prompting sehingga siswa tidak tergantung.4
b. Aplikasi Teori
Behavioristik maksudnya adalah melihat individu manusia sangat terbatas pada perilaku
yang berdasarkan responnya terhadap stimulasi dari lingkungannya. Paradigma behavioristik
memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan terstruktur rapi, belajar adalah
4

Esa Nur Wahyuni, (2010), Teori Belajar dan Pembelajaran , Jogyakarta: Ar Ruz Media, hal. 71-78

pemerolehan pengetahuan. Mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)


dan diharapkan pengetahuan atau pemahaman siswa sama dengan pengetahuan atau pemahaman
gurunya. Paradigma behavioristik memandang bahwa segala sesuatu di dunia nyata telah
terstruktur rapi dan teratur. Orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan yang jelas dan
ditetapkan dengan ketat. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakkan disiplin.
Ketidakmampuan dalam menambah pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu
dihukum, sebaliknya keberhasilan sebagai perilaku yang pantas mendapat hadiah, taat pada
aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar, dan kontrol belajar dipegang oleh sistem
yang berada di luar diri si belajar.
Tujuan pembelajaran dalam paradigma behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, belajar sebagai aktivitas yang menuntut siswa mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari. Sementara paradigma konstruktivistik tentang tujuan
pembelajaran menekankan pada belajar bagaimana belajar, yakni menciptakan pemahaman baru
yang menuntut aktivitas kreatif dan produktif dalam kontek nyata, mendorong siswa untuk
berfikir, berfikir ulang, dan mendemonstrasikannya.
Strategi pembelajaran dalam paradigma behavioristik menekankan pada ketrampilan
yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian keseluruhan, pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks dengan menekankan pada kemampuan dan ketrampilan kembali isi buku teks tersebut.
Evaluasi pembelajaran dalam paradigma behavioristik sering bersifat pasif, terpisah,
menuntut satu jawaban benar, dan evaluasi sering dilakukan setelah selesai kegiatan belajar.
Sementara evaluasi pembelajaran dalam paradigma konstruktivistik menekankan pada
penyusunan makna secara aktif, melibatkan ketrampilan terintegrasi dalam kontek nyata,
menggali munculnya berfikir divergen, multi solution, dan evaluasi sebagai bagian utuh dalam
proses pembelajaran.
Teori Skinner tersebut dewasa ini sangat besar pengaruhnya, terutama di Amerika Serikat
dan negara-negara pengaruhnya. Konsep-konsep behavior kontrol dan behavior modification
yang sangat populer di kalangan-kalangan tertentu, bersumber pada teori ini.
Di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam lapangan metodologi dan teknologi
pengajaran, pengaruh teori ini sangat besar. Program-program inovatif dalam bidang pengajaran

sebagian besar disusun berdasar atas teori Skinner. Program-program yang demikian itu
misalnya:
a.

Programmed Instruction dan sarananya programmed book

b. Computer Assisted Instruction (CAI), dan


c. Program yang menggunakan teaching machine5
2.3 Prinsip-Prinsip Dasar Behavioristik
Berdasarkan teori yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan beberapa prinsip-prinsip
dasar teori behavioristik yaitu sebagai berikut:
1)

Konsekuensi-konsekuensi, yakni tingkah laku berubah menurut konsekuensi langsung.


Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sedangkan konsekuensi yang
tidak menyenangkan akan melemahkan tingkah laku, bila seekor tikus yang lapar menerima
buturan makanan waktu tikus menekan tombol, maka tikus akan menekan tombol berulangulang. Akan tetapi bila tikus diberi denyutan lsitrik setiap kali menekan tombol, maka kegiatan
menekan tombol akan dikurangi atau bahkan dihindari. Konsekuensi-konsekuensi yang
menyenangkan disebut reinforce dan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman.
Reinforce dapat dikelompokkan menjadi reinforce primer dan reinforce sekunder.
Reinforce primer memusatkan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, misalnya makanan,
minuman, air, keamanan, kemesraan, dan seks. Sedangkan reinforce sekunder merupakan
reinforce yang baru memperoleh nilai jika diasosiasikan dengan reinforce primer. Uang baru
mempunyai nilai bagi seorang anak jika ia mengetahui bahwa uang dapat di belanjakan. Angkaangka pada rapor baru mempunyai nilai bagi siswa jika orang tua memberikan perhatian,
penilaian, dan pujian. Sebab pujian orang tua di asosiasikan oleh anak sebagai kasih sayang,
kemesraan, dan reinforce sekonder lainnya. Uang dan angka rapor merupakan contoh reinforce
sekunder, sebab keduanya tidak mempunyai nilai sendiri jika tidak diasosiasikan dengan
reinforce primer atau sekunder lainnya.
Ada tiga kategori dasar reinforce sekunder yaitu:
a. Reinforcer social (seperti pujian, senyuman, dan perhatian)
b. Reinforcer aktifitas (pemberian mainan, hadiah)
c. Reinvorcer simbolik seperti uang, angka, rapor, binatang.
Reinforce juga dapat dibedakan menjadi reinforce negative dan reinforce positif.
reinforcer positif merupakan stimulus tertentu yang menyenagkan ditunjukkan setelah perbuatan.
5

Sumadi Suryabrata, (2004) Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, hal. 274

Misalnya uang atau pujian diberikan kepada anak oleh orang tua setelah anak memperoleh nilai
baik dalam ujian. Reinforce negative merupakan stimulus yang kurang menyenangkan ditolak
atau dihindari, misalnya seorang guru membebaskan siswa dari pekerjaan rumah jika siswa
berbuat baik selama dikelas. Jika pekerjaan rumah dianggap oleh siswa sesuatu yang tidak
menyenangkan, maka pembebasan siswa dari tugas pekerjaan rumah merupakan reinforce.
Kegiatan yang kurang diinginkan dapat ditingkatkan dengan menghubungkan dengan
menghubungkan kegiatan yang disenangi.reinforcer negative maupun positif merupakan upaya
memperkuat tingkah laku.
2)

Kesegeraan (immediacy) konsekuensi sebagai prinsip belajar behavioristik bahwa


konsekuensi-konsekuensi yang segera mengikuti perilaku akan lebih mempengaruhi perilaku
daripada konsekuensi yang lambat datangnya.
Prinsip kesegeraan konsekuensi ini penting artinya dalam kelas. Khususnya murid SD/ MI
bahwa pujian yang diberikan segera setelah anak melakukan sesuatu pekerjaan dengan baik
dapat menjadi reinforce yang lebih kuat dari pada angka yang diberikan kemudian

3) Pembentukan (shaping) merupakan apa yang diberikan reinforce. Apabila guru membimbing
siswa menuju pencapaian tujuan pembelajaran dengan memberika reinforce pada langkahlangkah yang menuju keberhasilan, maka guru menggunakan teknik pembentukan.
Istilah pembentukan digunakan dalam teori belajar perilaku dalam mengajarkan keterampilanketerampilan baru atau perilaku dengan memberikan reinforce pada para siswa dengan
memberikan perilaku akhir yang diinginkan.
2.4 Implementasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode
drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar

adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya,
apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga halhal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatismekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin
atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang
ada pada diri mereka. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin
menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan
penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada
aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pembelajar atau peserta didik adalah
objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh
sistem yang berada di luar diri pembelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas mimetic, yang menuntut pembelajar untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau
tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terakumulasi fakta

mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara
ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan
paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila
pebelajar menjawab secara benar sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa
pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan
pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pembelajar secara individual.
Kegiatan belajar hukum ini mengilhami adanya reinforce pada teori B.F skinner.6
2.5 Kelebihan dan Kekurangan Teori Behavioristik
Kelebihan teori behavioristik
1. Teori behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kecepatan, spontanitas,
kelenturan, reflek dan daya tahan.
2. Dapat dikendalikan dengan cara melalui stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk
mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa
ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Kelemahan-kelemahan teori behavioristik (syah, 2003) antara lain:
1. Proses belajar dipandang sebagai kegiatan yang diamati langsung, padahal belajar adalah
kegiatan yang ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalui gejalanya.
2. Proses belajar dipandang bersifat otomatis mekanis, sehingga terkesan seperti mesin atau
robot, padahal manusia mempunyai kemampuan self regulation dan self control yang bersifat
kognitif. Sehingga, dengan kemampuan ini manusia bisa menolak kebiasaan yang tidak sesuai
dengan dirinya.
3. Proses belajar manusia yang di analogikan dengan hewan sangat sulit diterima, mengingat
ada perbedaan yang mencolok antara hewan dan manusia.7
3.1 Kesimpulan
Teori belajar behavioristik masih dirsakan manfaatnya dalam kegiatan pembelajaran.
Selain teori ini telah mampu memberikan sumbangan atau motivasi bagi lahirnya teori-teori
6

D.R. C. Asri Budiningsih, 2005. BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. Hlm 27-29
Drs. H. Baharudin, M. Pd. I (2007). TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: AR-RUZ MEDIA.
Hlm 85
7

belajar yang baru, juga karena prinsip-prinsipnya (walaupun terbatas) masih dapat diaplikasikan
secara praktis dalam pembelajaran hingga kini.
Walaupun teori ini mulai mendapat kritikan, namun dalam hal-hal tertentu masih
diperlukan khususnya dalam mempelajari aspek-aspek yang sifatnya relatif permanen dengan
tujuan belajar yang telah dirumuskan secara ketat.
Secara ringkas teori behavioristik mengatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah
laku. Seseorang dianggap telah belajar seseuatu jika ia telah mampu menunjukkan perubahan
tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa
stimulus dan keluran atau output yang berupa respon.
Sedangkan apa yang terjadi antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan
sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan diukur adalah stimulus dan respon.
Penguatan (reinforcment) adalah faktor penting dalam belajar, penguatan adalah apasaha
yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positif reinforcment)
maka respin akan semakin kuat. Demikian jga jika penguatan dikurangi (negative reinforcment)
maka respon juga akan menguat.
Tokok-tokoh penting teori behavioristik antara lain Edward Lee Thorndike Ivan Pavlov,
Burrhus Frederic Skinner, J.B. Watson, Clark Hull dan Edwin Guthrie.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktifitas
mimetic yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari begian-bagian keseluruhan.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar.
jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.

DAFTAR PUSTAKA
Suyono, M.Pd. 2011, BELAJAR DAN PEMBELAJARAN, Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA. Hal 60-61
Budiningsih, Asri, 2005, BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: PT
RINEKA CIPTA.
H. Baharudin, M. Pd. I, 2007, TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN.
Jakarta: AR-RUZ MEDIA.

Anda mungkin juga menyukai