Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kanker serviks adalah kanker terbesar keempat penyebab kematian
perempuan di seluruh dunia (Nganwai et al., 2008). Kanker serviks merupakan
kanker tertinggi pada perempuan di Vietnam dan Thailand, dan menjadi kanker
tertinggi kedua di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Di Indonesia, kanker serviks
merupakan penyebab nomor dua kematian pada perempuan dewasa (Ferlay et al.,
2002). Setiap tahun, setidaknya muncul 15.000 kasus baru kanker serviks dan
7.500 kematian akibat kanker serviks. Kanker ini merupakan kasus terbanyak
kedua pada perempuan Indonesia usia produktif antara 14-44 tahun (Castellsagu
et al., 2007).
Salah satu penyebab kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma Virus
(HPV). HPV ditularkan melalui aktivitas seksual terutama pada usia yang dini,
dengan banyak pasangan seksual, dan juga melalui sentuhan kulit di wilayah
genital (skin to skin contact) (Bobak et al., 1993). Infeksi HPV bisa dicegah
menggunakan vaksin. Saat ini terdapat dua jenis vaksin, yaitu kuadrivalen dan
bivalen

yang telah terbukti bermanfaat melawan HPV tipe 16 dan 18 yang

bertanggung jawab atas 70% kasus kanker serviks (Blodt et al., 2011).
Vaksin HPV sebagai vaksin kanker serviks adalah vaksin kedua di dunia
yang dapat mencegah terjadinya kanker (Gottlieb, 2002). Pedoman di sebagian
negara saat ini merekomendasikan vaksinasi HPV untuk semua perempuan
1

berusia 11 sampai 12 tahun dan 9 tahun (Blodt et al., 2011). Catch- up vaksinasi
juga direkomendasikan untuk semua perempuan muda berusia 13 sampai 26 tahun
yang sebelumnya belum pernah divaksinasi (Adam et al., 2007). Mengingat
prevalensi dan beban penyakit kanker serviks, manfaat vaksin HPV pada
kesehatan masyarakat cukup besar. Di sebagian besar negara vaksinasi HPV
sudah diterima, termasuk di negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, dan
Thailand. Sementara itu, baik di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand,
program vaksinasi HPV belum diterapkan dan dicanangkan dalam program
kesehatan secara nasional (Domingo et al., 2008). Program yang telah dilakukan
di Indonesia untuk mengantisipasi kanker serviks barulah skrining dengan
pendekatan Visual Inspection by Acetic acid (VIA) dan cryosurgery pada
perempuan usia 25-49 tahun di 6 provinsi, salah satunya di provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (Noviani cit. Domingo et al., 2008).
Universitas Gadjah Mada merupakan universitas tertua di Indonesia yang
berlokasi di Kampus Bulaksumur Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada resmi
didirikan pada tanggal 19 Desember 1949. (Anonim, 2014a). Sebagian besar
fakultas dalam lingkungan Universitas Gadjah Mada terdiri atas beberapa
jurusan/bagian dan atau program studi. Berdasarkan data statistik pada tahun
2012, mahasiswa Universitas Gadjah Mada berjumlah sebanyak 51.796 yang
tersebar di 18 fakultas, 2 sekolah, 23 program studi diploma, dan 68 program studi
pasca sarjana (Anonim, 2014b).
Perlu ada program pencegahan kanker serviks yang fokus pada mahasiswi
selaku perempuan muda seperti vaksinasi sebagai upaya preventif. Hal ini karena
2

beberapa faktor risiko kanker serviks antara lain seperti hubungan seks pertama
kali pada usia muda atau memiliki lebih dari satu pasangan seksual (Curado et al.,
2007). Tingkat prevalensi kanker serviks tertinggi ada pada remaja yang aktif
melakukan aktivitas seksual dan ketika perempuan melakukan aktivitas seksual
pertama kali di usia kurang dari 25 tahun (National Cancer Institute, 2006 cit.
Juntasopeepun et al., 2012 ).
Terdapat banyak hambatan pada implementasi program pencegahan kanker
serviks yang dihadapi oleh penyedia layanan kesehatan dan pembuat kebijakan.
Menurut penelitian Domingo et al. (2008), respon yang cukup rendah pada
pelaksanaan skrining di sebagian besar negara Asia Pasifik diakibatkan kurangnya
pengetahuan terkait skrining sebagai pencegahan kanker serviks. Sebagai
konsekuensinya, penting untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat memahami
HPV dan kanker serviks sehingga edukasi dapat diberikan tepat sesuai dengan
proporsi dan strategi program kesehatan dapat dikembangkan secara lebih efektif.
Di Indonesia, belum ada penelitian yang meninjau pengetahuan dan persepsi
mengenai HPV, kanker serviks, dan vaksinasi HPV pada perempuan muda.
Belum terdapat pula penelitian yang meninjau faktor-faktor yang memiliki
hubungan terhadap penerimaan vaksinasi HPV pada perempuan muda khususnya
kalangan mahasiswi. Informasi mengenai topik tersebut sangatlah penting
mengingat tingginya kejadian dan kematian akibat kasus kanker serviks di
Indonesia. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan
pengetahuan dan persepsi mengenai HPV, kanker serviks, dan vaksinasi HPV
terhadap penerimaan vaksinasi HPV pada mahasiswi Universitas Gadjah Mada.
3

B. Perumusan Masalah
1. Seperti apa tingkat pengetahuan dan persepsi mahasiswi Universitas Gadjah
Mada mengenai Human Papilloma Virus (HPV), kanker serviks, dan vaksinasi
HPV?
2. Bagaimana penerimaan mahasiswi Universitas Gadjah Mada terhadap
vaksinasi HPV?
3. Adakah hubungan antara karakteristik terhadap pengetahuan mahasiswi
Universitas Gadjah Mada mengenai Human Papilloma Virus (HPV), kanker
serviks, dan vaksinasi HPV?
4. Adakah hubungan antara karakteristik terhadap persepsi mahasiswi Universitas
Gadjah Mada mengenai kanker serviks dan vaksinasi HPV?
5. Adakah hubungan antara karakteristik terhadap penerimaan vaksinasi HPV
pada mahasiswi Universitas Gadjah Mada?
6. Adakah

hubungan antara pengetahuan dan persepsi mengenai Human

Papilloma Virus (HPV), kanker serviks, dan vaksinasi HPV terhadap


penerimaan vaksinasi HPV pada mahasiswi Universitas Gadjah Mada?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan persepsi mahasiswi Universitas
Gadjah Mada mengenai Human Papilloma Virus (HPV), kanker serviks, dan
vaksinasi HPV.
2. Untuk mengetahui penerimaan mahasiswi Universitas Gadjah Mada terhadap
vaksinasi HPV.
4

3. Untuk mengetahui hubungan karakteristik terhadap pengetahuan mahasiswi


Universitas Gadjah Mada mengenai Human Papilloma Virus (HPV), kanker
serviks, dan vaksinasi HPV.
4. Untuk mengetahui hubungan karakteristik terhadap persepsi mahasiswi
Universitas Gadjah Mada mengenai kanker serviks dan vaksinasi HPV.
5. Untuk mengetahui hubungan karakteristik terhadap penerimaan vaksinasi HPV
pada mahasiswi Universitas Gadjah Mada.
6. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan persepsi mengenai Human
Papilloma Virus (HPV), kanker serviks, dan vaksinasi HPV terhadap
penerimaan vaksinasi HPV pada mahasiswi Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi lembaga kesehatan untuk lebih meningkatkan sarana
dan prasarana perbekalan informasi terkait HPV, kanker serviks, dan
vaksinasi HPV yang memadai, dapat dijangkau oleh masyarakat luas dan
menyediakan informasi yang dibutuhan masyarakat,
2. Sebagai bahan pertimbangan dan koreksi untuk edukasi mengenai kanker
serviks dan vaksinasi HPV oleh para apoteker dan tenaga kesehatan lain yang
berinteraksi dengan masyarakat langsung.
3. Sebagai masukan bagi

pemerintah faktor-faktor apa saja yang memiliki

hubungan pada penerimaan vaksinasi HPV pada mahasiswi sehingga dapat


digunakan dalam menyusun strategi meningkatkan penerimaan vaksinasi
HPV pada mahasiswi selaku perempuan muda Indonesia.
5

E. Tinjauan Pustaka
1.

Pengetahuan
a. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil yang terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku
seseorang (Notoatmodjo, 2003).
b. Tingkatan Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), ada 6 (enam) tingkatan pengetahuan
dalam domain kognitif, yaitu:
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari
keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan
yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu
tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2) Memahami (comprehension)

Memahami

diartikan

sebagai

suatu

kemampuan

untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat


menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks
atau situasi yang lain.
4) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di
dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama
lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,
seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5) Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau

menghubungkan

bagian-bagian

di

dalam

suatu

bentuk

keseluruhan yang baru. Sintesis adalah suatu kemampuan untuk


7

menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.


Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas,
dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau
rumusan-rumusan yang telah ada.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri,
atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
c. Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket (kuesioner) yang menanyakan tentang materi yang ingin
diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan
yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatantingkatan di atas. Pengukuran tingkat pengetahuan dimaksudkan untuk
mengetahui status pengetahuan seseorang dan disajikan dalam tabel
distribusi frekuensi (Notoatmodjo, 2010).

2. Health Belief Model (HBM)


Rosenstock (1974) menyatakan ada dua komponen HBM, yaitu:
a. Perceived Threat
Perceived threat adalah penilaian individu mengenai ancaman yang
dirasakan yang berkaitan dengan masalah kesehatan.
8

Ada tiga faktor yang mempengaruhi perceived threat yaitu:


1) Perceived seriousness of the health problem (Keseriusan penyakit
yang dirasakan). Individu mempertimbangkan seberapa parah
konsekuensi yang akan terjadi jika terus membiarkan masalah
kesehatan yang dialami berkembang tanpa diberi penanganan dari
praktisi

kesehatan.

Semakin

individu

percaya

bahwa

suatu

konsekuensi yang terjadi akan semakin memburuk, maka mereka akan


merasakan hal tersebut sebagai ancaman dan mengambil tindakan
preventif.
2) Perceived suspectibility to the health problem (Ancaman penyakit
yang dirasakan) . Individu akan mengevaluasi kemungkinan masalahmasalah kesehatan lain yang akan berkembang. Semakin individu
mempersepsikan bahwa penyakit yang dialami berisiko, maka akan
membuat individu itu mempersepsikannya sebagai ancaman dan
melakukan tindakan pengobatan.
3) Cues to action (Isyarat untuk bertindak). Peringatan mengenai
masalah

kesehatan

yang

berpotensi

dapat

meningkatkan

kecenderungan individu untuk mempersepsikannya sebagai ancaman


dan melakukan tindakan.
b. Perceived benefits and barriers
Perceived benefits and barriers berkaitan dengan keuntungan dan
hambatan yang diperoleh individu ketika melakukan tindakan preventif
tertentu. Dalam perceived benefits, individu menilai bahwa dia akan
9

memperoleh keuntungan ketika memperoleh layanan kesehatan tertentu,


misalnya semakin sehat dan dapat mengurangi risiko yang dirasakan.
Perceived barriers yaitu individu merasakan hambatan ketika memperoleh
layanan kesehatan tertentu misalnya dalam hal pertimbangan biaya,
konsekuensi psikologis, pertimbangan fisik.

Persepsi Individu

Keseriusan penyakit
yang dirasakan

Faktor Pemodifikasi

Kecenderungan Bertindak

Usia, gender, etnis,


kepribadian,
pengetahuan, sosioekonomi

Manfaat yang
dirasakan dikurangi
hambatan untuk
mengubah perilaku

Ancaman penyakit
yang dirasakan

Kecenderungan
perubahan perilaku

Isyarat untuk
bertindak
- Pendidikan
- Gejala penyakit
- Media informasi
Gambar 1. Komponen Health Belief Model dan Hubungan Antar Komponen
(Glanz et al., 2002)

3.

Kanker serviks
a. Pengertian
Kanker serviks atau atau kanker leher rahim adalah kanker pada
serviks uterus atau leher rahim yaitu area bagian bawah rahim yang
menghubungkan rahim dengan vagina atau daerah pada organ reproduksi
10

wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara
rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina). Kanker serviks tidak
terjadi secara tiba-tiba. Prosesnya bertahap dan memerlukan waktu yang
cukup lama, tetapi progresif. Awalnya bermula dari kelainan sel yang
mengalami mutasi, lalu berkembang menjadi sel displastik sehingga
terjadi kelainan epitel yang disebut displasia (Dalimartha, 2004).
Kanker leher rahim muncul adanya pertumbuhan sel yang tidak
normal sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pada leher rahim
atau menghalangi leher rahim. Rentang usia terjadinya kanker serviks
antara 40 sampai 50 tahun. Kondisi pra invasif selama 10 sampai 15 tahun
sebelum pengembangan invasif karsinoma (Bobak et al., 1993). Menurut
Dalimartha (2004), klasifikasinya dibedakan menjadi NIS 1 (displasia
ringan), NIS 2 (displasia sedang), NIS 3 (displasia berat), dan akhirnya
karsinoma in-situ (KIS), baru kelainan tersebut berkembang menjadi
karsinoma invasif. Tingkat NIS dan karsinoma in-situ disebut kelainan
pra-kanker. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu berkisar 1-7 tahun, sedangkan dari karsinoma in-situ menjadi kelainan
invasif berkisar 3-20 tahun. Beberapa peneliti menemukan bahwa 30-35%
NIS mengalami regresi, terutama NIS 1 dan NIS 2.
Ada hubungan kuat antara Human Papilloma Virus (HPV) tipe 16
dan 18 dan cervical intraepitheal neoplasia (CIN). Hal ini diperbaharui
secara inklusif untuk menggambarkan semua kelainan epitel dari serviks.
Dimana lokasi kanker serviks ini di daerah leher rahim pada dua sisi sel
11

dan jaringan dan pada pemeriksaan langsung dapat dijadikan teknik


diagnosa (Bobak et al., 1993).
b. Etiologi
Penyebab penyakit menular seksual pertama kali diduga oleh Virus
herpes simpleks tipe 2, tetapi kemudian dipastikan bahwa penyebabnya
adalah virus human papiloma setelah mempelajari patogenesis kanker
serviks uteri dan condyloma acuminata (Schmits, 1997a, b ; Cotrans et al.,
1997). Biasanya khas wanita melaporkan riwayat infeksi serviks paling
sering dikaitkan dengan karsinoma serviks yang disebabkan oleh virus
herpes simpleks tipe 2; jenis Human Papilloma Virus 16, 18, ban 3i dan
mungkin sitomegalovirus. Virus ini mengubah asam deoksiribonukleat
(DNA) inti sel-sel yang belum matang. Penambahan air mani (sperma)
dari banyak mitra menjadi pencetus awal dari sebuah proses yang berakhir
pada diplasia dan beberapa tahun kemudian berkembang menjadi
karsinoma (Bobak et al., 1993). Penelitian akhir di luar negeri mengatakan
bahwa virus yang disebut HPV menyebabkan faktor risiko seorang wanita
untuk terkena kanker serviks meningkat tajam. Dikatakan, para wanita
dengan HPV tinggi, paling sedikit 30 kali lebih cenderung berisiko
mengidap penyakit kanker serviks dibanding dengan wanita dengan HPV
negatif (Diananda, 2008).
c. Patogenesis
Karsinoma serviks uteri 95% terdiri dari karsinoma sel skuamos
dan sisanya merupakan adenokarsinoma dan jenis kanker lain. Hampir
12

seluruh karsinoma serviks didahului derajat pertumbuhan prakarsinoma


yaitu displasia dan karsinoma in situ. Proses perubahan dimulai di daerah
sambungan skuamos-kolumnar (SSK) dari selaput lendir porsio.
Perubahan mula-mula ditandai dengan epitel atipik dengan mitosis aktif,
susunan sel tidak teratur meliputi sepertiga bagian basal epidermis, dan
perubahan ini disebut displasia ringan. Bila proses berlanjut, maka
perubahan akan melibatkan separoh atau dua pertiga atau seluruh lapisan
epidermis dan masing-masing disebut displasia sedang, berat, dan
karsinoma in situ yang sangat potensia menjadi karsinoma invasif
(Tambunan, 1993).
Proses perubahan sel epitel menjalar ke arah endoserviks dan
eksoserviks. Pada daerah endoserviks terjadi hiperplasia sel cadangan
yang terletak di bagian basal epitel endoserviks dan potensial tumbuh
menjadi karsinoma sel kecil. Karsinoma yang tumbuh di daerah
ektoserviks dikenal sebagai karsinoma sel skuamos dengan keratin, dan
di daerah peralihan sel skuamos dan kolumnas akan tumbuh karsinoma
sel skuamos tanpa keratin (Tambunan, 1993).
Terjadinya perubahan derajat sel epitel displasia dan karsinoma in
situ memerlukan waktu yang relatif lama. Demikian juga perubahan
karsinoma in situ menjadi karsinoma invasif terjadi setelah bertahuntahun. Salah satu bukti yang menyokong teori ini adalah perbedaan umur
yang bermakna antara penderita prakarsinoma dan karsinoma invasif.
Umur penderita prakarsinoma 10-15 tahun lebih muda daripada penderita
13

karsinoma invasif. Perilaku biologis sel tumor dalam proses pertumbuhan


memungkinkan neoplasma dapat dideteksi pada tingkat pertumbuhan
awal (Tambunan, 1993).
Dalam perjalanan pertumbuhan prakarsinoma sebagian besar
displasia regresi menjadi epitel dengan perubhan minimal sampai normal.
Demikian juga karsinoma in situ sebagian kecil mengalami regresi
menjadi displasia sedang ataupun ringan. Akan tetapi karsinoma invasif
tidak pernah mundur menjadi karsinoma in situ atau displasia. Dari
proses pertumbuhan neoplasma ini dapat dipelajari bahwa pada
prakarsinoma stadium pertumbuhan lanjut sebagian berubah menjadi
prakarsinoma dan sebagian tumbuh menjadi karsinoma invasif. Semakin
lama status prakarsinoma semakin sedikit kemungkinan terjadi reversibel
(Tambunan, 1993).
d. Faktor risiko
Faktor risiko yang diketahui adalah hubungan seksual pada usia
yang sangat muda dan pasangan yang selalu berganti-ganti. Faktor risiko
lainnya adalah status sosial ekonomi yang rendah, pemakaian kontrasepsi
oral, merokok, paritas yang tinggi dan adanya riwayat penyakit menular
seksual (Schmits, 1997a, b; Cotrans et al., 1997). Sebuah penelitian terkait
di Jakarta menunjukkan wanita yang memiliki lebih dari 1 pasangan seks
memiliki risiko terkena kanker serviks yang lebih tinggi, sementara itu
wanita yang melakukan hubungan seks pertama kali dengan usia yang

14

lebih tua (20 tahun) memiliki risiko terkena kanker serviks yang lebih
rendah (de Boer et al., 2006).
Menurut Diananda (2008), faktor-faktor risiko kanker leher rahim
sebagian besar dari faktor luar (eksternal). Faktor risiko tersebut antara
lain:
1) Melakukan hubungan seksual pada usia yang pada usia kurang dari 20
tahun.
2) Multiple seksual atau lebih dari dua dalam melakukan hubungan
seksual.
Berdasarkan penelitian, risiko kanker serviks meningkat lebih dari 10
kali bila berhubungan dengan 6 atau lebih mitra seks (Dalimartha,
2004).
3) Riwayat penyakit kelamin dan infeksi virus seperti herpes dan kutil
genetalia.
4) Pemeriksaan Pap Smear yang tidak intens.
5) Wanita yang melakukan persalinan dengan jarak yang terlalu dekat
dan memiliki banyak anak.
6) Wanita dengan aktivitas seksual tinggi.
7) Kebersihan genetalia yang rendah.
8) Wanita yang merokok.
Wanita perokok mempunyai risiko kanker serviks 2 kali lipat
dibandingkan wanita bukan perokok. Dalam lendir serviks wanita
perokok terkandung nikotin dan zat lainnya yang terdapat di dalam
15

rokok. Zat-zat tersebut menurunkan daya tahan serviks dan


menyebabkan kerusakan DNA epitel serviks sehingga timbul kanker
serviks, di samping kekarsinogen infeksi virus (Dalimartha, 2004).
9) Defisiensi zat gizi ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa
defisiensi asam folat dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia
ringan dan sedang, serta juga mungkin juga meningkatkan risiko
terjadinya kanker serviks pada wanita yang rendah beta karoten dan
retinol (vitamin A).
10) Trauma kronis pada serviks.
Trauma ini terjadi karena persalinan yang berulang kali (banyak
anak), adanya infeksi, dan iritasi menahun.
11) Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang dan keengganan untuk
melakukan deteksi dini (Bobak et al., 1993; Bustan, 2007).
12) Kontrasepsi
Kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko 1,5-2,5 kali bila diminum
dalam jangka panjang, yaitu lebih dari 4 tahun (Dalimartha, 2004).
Pemakaian pil anti hamil dapat menimbulkan regresi prakarsinoma
serviks uteri. Sementara pemakaian kontrasepsi dalam rahim (AKDR)
pernah diduga mempunyai hubungan dengan kejadian karsinoma
serviks uteri. Namun hasil penelitian para pakar di Indonesia ataupun
negara maju menunjukkan bahwa kasus diplasia lebih banyak pada
akseptor AKDR, namun tidak ada yang berkembang menjadi
karsinoma (Tambunan, 1993).
16

4. Human Papilloma Virus (HPV)


Human Papilloma Virus penyebab kanker serviks 99,7%. Virus ini
berukuran kecil berdiameter kurang lebih 55nm. HPV (Human Papilloma
Virus) juga disebut wart virus (virus kutil). Terdapat 100 tipe HPV yang telah
diidentifikasi. Empat puluh tipe tersebut menyerang wilayah genital. Dari 40
tipe tersebut, 13 diantaranya merupakan tipe onkogenik dan dapat
menyebabkan kanker serviks atau lesi prakanker pada permukaan serviks.
Sedangkan tipe lain disebut sebagai tipe risiko rendah yang lebih umum
menyebabkan kutil kelamin (genital wart). Tipe 16, 18, 31, 33 dan 35
menyebabkan perubahan sel-sel pada vagian atau serviks yang awalnya
menjadi displasia dan selanjutnya berkembang menjadi kanker serviks.
Secara global, HPV tipe 16 bersamaan dengan tipe 18 dapat menyebabkan
70% dari seluruh kejadian kanker serviks (Bobak et al., 1993).
HPV ditularkan melalui aktivitas seksual terutama pada usia yang dini
dan melakukan dengan banyak pasangan seksual, selain itu dapat juga melalui
sentuhan kulit di wilayah genital tersebut (skin to skin contact). Sebagian
besar infeksi HPV menghilang melalui respon imun alamiah, setelah melalui
masa beberapa bulan hingga dua tahun. Meski demikian, kanker serviks dapat
berkembang apabila infeksi akibat HPV tipe onkogenik tidak menghilang.
Perkembangan dari infeksi HPV onkogenik menjadi kanker serviks dapat
terjadi apabila terjadi infeksi yang menetap pada beberapa sel yang terdapat
pada serviks (sel epitel pipih atau lonjong di zona transformasi serviks). Selsel ini sangat rentan terhadap infeksi HPV dan ketika terinfeksi, akan berlipat
17

ganda, berkembang melampaui batas wajar dan kehilangan kemampuannya


untuk memperbaiki abnormalitas genetiknya. Hal ini akan mengubah susunan
sel dalam serviks. Virus HPV akan bercampur dengan sistim peringatan yang
memicu respon imun yang seharusnya menghancurkan sel normal yang
terinfeksi oleh virus. Perkembangan sel yang tidak normal pada epitel serviks
akan berkembang menjadi prakanker yang disebut Cervical intraepithelial
Neoplasia (CN). Apabila memperhatikan infeksi HPV onkogenik yang
persisten, maka ditemukan tiga pola utama pada prakanker. Dimulai dengan
infeksi pada sel serta perkembangan sel-sel abnormal yang dapat berlanjut
menjadi intraepithelial Neoplasia dan pada akhirnya menjadi kanker serviks
(Bobak et al., 1993).

5. Vaksin HPV
Pengembangan vaksin HPV dimulai dari seorang peneliti kanker
bernama IH Frazer dari Department of Medicine, Princess, Alexandra
Hospital, Woolloongabba, Queensland, Australia, dengan mekanisme
merangsang antibodi untuk merespons kekebalan tubuh terhadap HPV.
Menurut spesialis obstetri dan ginekologi dari Brawijaya Women&Children
Hospital Jakarta, dr. Nugroho Kampono, Sp.OG. (K) dalam konferensi pers
bertema Vaksinasi sebagai terobosan baru dalam upaya pencegahan kanker
leher rahim, saat ini telah tersedia vaksin quadrivalent HPV yang efektif
untuk HPV tipe 6,11, 16, dan 16 (Diananda, 2008).

18

Vaksin HPV sudah diterima di 77 negara di dunia dan bisa dibeli di


57 negara. Di Indonesia, vaksin ini telah mendapat izin resmi BPOM dan
telah mengantongi sertifikat halal dari The Islamic Food and Nutrition
Council of America (IFANCA). Vaksin ini diinjeksikan di lengan sebanyak
tiga kali berturut-turut dan berlaku seumur hidup. Misalkan seseorang
divaksin sekarang, dia akan menerima vaksinasi ke-2 pada dua bulan
mendatang dan yang ke-3 enam bulan kemudian (Diananda, 2008).
Vaksin HPV efektif diberikan kepada wanita semua umur, dengan
syarat wanita tersebut belum pernah terekspos atau terinfeksi oleh HPV. Oleh
karena itu, di luar negeri pemberian vaksin dianjurkan sejak masih remaja
usia 9-13 tahun sebab pada usia tersebut para remaja sudah mulai mengenal
pergaulan bebas. Di Indonesia umumnya diberikan pada usia 14-27 tahun
(Diananda, 2008).
Menurut Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UI, dr
Endy Muhardin Moegni SpOG (K). Dia mengatakan bahwa vaksin hanya
optimal untuk wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Jika
wanita sudah berhubungan badan, maka vaksin tidak efektif lagi, sebab ada
kemungkinan HPV telah masuk sebelumnya. Harga vaksin HPV saat ini
terbilang mahal, namun perhitungan biaya preventif jauh lebih murah
dibandingkan biaya pengobatan yang harus ditanggung oleh pasien yang
sudah divonis kanker. Upaya vaksinasi menyeluruh bagi wanita dewasa dan
remaja yang dilanjutkan dengan pendeteksian secara berkesinambungan, akan
membantu menurunkan prevalensi kanker serviks (Diananda, 2008).
19

6. Skrining/Deteksi Dini
Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan Pap Smear. Pemeriksaan
ini berguna sebagai pemeriksaan penyaring (skrining) dan pelacak adanya
perubahan sel ke arah keganasan secara dini sehingga kelainan pra-kanker
dapat terdeteksi serta pengobatannya menjadi lebih mudah dan murah. Bagi
wanita berusia 25 tahun yang telah menikah atau sudah melakukan senggama,
dianjurkan untuk Pap Smear secara teratur sekali setahun seumur hidup. Bila
pemeriksaan tahunan tiga kali berturut-turut hasilnya normal, pemeriksaan
selanjutnya dapat dilakukan setiap tiga tahun. Namun pada perempuan
dengan risiko tinggi, pemeriksaan dilakukan sekali dalam setahun atau sesuai
petunjuk dokter. Pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat, dan tidak sakit,
serta dapat dilakukan setiap saat kecuali pada masa haid. Terdapat larangan
untuk tidak menggunakan obat-obatan yang dimasukkan ke liang senggama
(vagina) selama dua hari sebelum dilakukan pemeriksaan Pap Smear. Jika
hasil pemeriksaan Pap Smear ditemukan adanya sel-sel epitel serviks yang
bentuknya abnormal (displasia), maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut
(Dalimartha, 2004).
Syarat deteksi dini yaitu insidens atau prevalensi cukup tinggi di
masyarakat, perkembangan penyakit cukup lama, ada teknik pemeriksaan
yang sensitif dan spesifik serta ada cara pengobatan yang efektif. Alasan
melakukan deteksi dini didasarkan pada kenyataan sebagai berikut
(Dalimartha, 2004):

20

a. Perjalanan kanker umumnya dimulai dari kanker in-situ atau kanker


lokal dalam tahap seluler atau organ. Fase kanker lokal umumnya
cukup lama sebelum mengadakan invasi ke luar organ (metastasis).
b. Terdapat pada organ atau tempat-tempat yang mudah diperiksa
sehingga mudah ditemukan
c. Semakin dini kanker ditemukan dan diberi pengobatannya, semakin
baik prognosisnya. Pengobatan penyakit kanker dikatakan berhasil
bila kesembuhan yang diperoleh dapat dibuktikan mempunyai harapan
hidup yang sama dengan penduduk tanpa kanker di mana penderita
kanker

tetap

hidup.

Angka

harapan

hidup

dinilai

dengan

membandingkan antara angka kematian dari penduduk sehat dengan


umur dan jenis kelamin tertentu dengan angka kematian penderita
kanker. Bila sebanding, berarti penderita kanker tersebut telah
menikmati life expectancy yang normal.
d. Hasil pengobatan kanker stadium dini jauh lebih baik dari kanker
stadium lanjut. Kanker stadium dini bisa disembuhkan, sedangkan
kanker stadium lanjut sukar atau tidak bisa disembuhkan.
e. Pengobatan lesi pra-kanker dan tumor jinak mencegah timbulnya
kanker.
f. Penderita kanker umumnya datang terlambat sehingga penyakit telah
memasuki stadium lanjut.
g. Penyembuhan kanker secqara spontan hampir tidak pernah terjadi.

21

7. Epidemiologi Kanker Serviks di Indonesia


Kanker serviks uteri adalah kanker penyebab kematian tersering pada
perempuan di negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya. Di
Indonesia data ini tidak jauh berbeda (Badan Registrasi Kanker, 1998). Setiap
tahun setidaknya dilaporkan terdapat 15000 kejadian baru kanker dan 7500
kematian akibat kanker. Kanker serviks merupakan penyebab nomor dua
kematian pada perempuan dewasa di Indonesia (Ferlay et al., 2002). Setiap
tahun, setidaknya muncul 15.000 kasus baru kanker serviks dan 7.500
kematian akibat kanker serviks. Kanker serviks merupakan kasus terbanyak
kedua pada perempuan Indonesia usia produktif antara 14-44 tahun
(Castellsagu et al., 2007). Data menunjukkan kanker serviks sebagai tingkat
kanker tertinggi kedua di Indonesia pada usia produktif antara 16-44 tahun
(Castellsagu et al., 2007).

8. Strategi Pencegahan Kanker Serviks di Indonesia


Program pencegahan kanker serviks telah diterapkan di Indonesia,
salah satunya Female Cancer Program: See & Treat Project in Indonesia,
dimana sebanyak 13.923 perempuan diskrining, didiagnosis, dan diperiksa
selama sekali kunjungan ke tempat pelayanan kesehatan dari bulan Oktober
2004 hingga Mei 2005 di Jakarta, Tasikmalaya, dan Bali (Female Cancer
Program, 2005 cit. Domingo et al., 2008). Tujuan program ini ialah untuk
menskrining dan memeriksa pada sekali kunjungan dengan visual inspection
with acetic acid (VIA) dan pemeriksaan immediate dengan cryotherapy
22

diperuntukkan pada perempuan dengan pre-malignant kanker serviks.


Program tersebut fokus pada perempuan usia 25-55 tahun dengan status sosial
ekonomi rendah di kawasan pedesaan. Program ini berhasil menskrining lebih
dari 50% perempuan dengan pendapatan kurang dari Rp 30.000 per hari, 3360% perempuan dengan pendidikan hanya lulusan SD, dan sekitar 80-95%
perempuan yang belum pernah diskrining sebelumnya.
Selain

itu,

terdapat

program

pilot

skrining

kanker

serviks

menggunakan pendekatan sekali kunjungan (VIA dan cryosurgery) pada


perempuan usia 25-49 tahun dimulai sejak 2006 dan berkelanjutan di 6
provinsi yaitu: Deli Serdang (Sumatera Utara), Gowa (Sulawesi Selatan),
Karawang (Jawa Barat), Gunung Kidul (DI Yogyakarta), Kebumen (Jawa
Tengah), dan Gresik (Jawa Timur). Pemeriksaan dilakukan oleh para dokter
dan bidan di Puskesmas di bawah pengawasan teknis oleh ahli Kandungan
dan pengawasan manajemen oleh Petugas Dinas Kesehatan Provinsi
(Domingo et al., 2008)
Adapun program pilot HPV yang dilaksanakan di Indonesia yang
disponsori oleh The Leiden University Medical Center (LUMC) European
Union consortium, tepatnya di Jakarta dan Bali. Uji coba klinis dilakukan
pada 200 perempuan yakni pemeriksaan dengan deteksi reaksi imun terhadap
HPV-16 menggunakan tes pada kulit delayed type hypersensitivity (DTH)
(The IST World Portal, 2004 cit. Domingo et al., 2008). Pemeriksaan ini
bertujuan membantu menentukan proporsi yang terpapar HPV-16 dan
menyediakan data manakah usia yang paling tepat untuk dilakukan vaksinasi.
23

F. Landasan Teori
Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan pengetahuan dan
persepsi mengenai HPV ataupun kanker serviks, salah satunya faktor
karakteristik. Pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
pemahaman terhadap informasi, pengetahuan seseorang terhadap suatu hal
(Ismiyati, 2000). Penelitian Moreira et al. (2006) menunjukkan perempuan yang
memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang lebih
baik mengenai infeksi HPV. Secara spesifik, klaster pendidikan atau jurusan juga
berpengaruh terhadap pengetahuan. Menurut Medeiros dan Ramada (2011),
mahasiswa klaster kesehatan memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai
HPV dan kanker serviks dibandingkan mahasiswa klaster non kesehatan.
Umur juga dapat mempengaruhi kemampuan daya ingat sehingga akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang (Ismiyati, 2000). Penelitian yang
dilakukan oleh Juntasopeepun

et al. (2012) menunjukkan usia memiliki

hubungan terhadap pengetahuan mengenai HPV. Mahasiswi yang berusia lebih


tua (18-24 tahun ) memiliki pengetahuan mengenai HPV yang lebih baik daripada
mahasiswi yang lebih muda. Selain itu, riwayat kanker turut mempengaruhi
persepsi perempuan muda terhadap HPV dan keputusan untuk melakukan
vaksinasi (Oscarsson et al., 2012). Adapun menurut Kamzol et al. (2013) terdapat
perbedaan signifikan antara pernah tidaknya seorang perempuan mendengar
kanker serviks, vaksin HPV, ataupun skrining terhadap pengetahuan kanker
serviks dan pencegahan kanker serviks.

24

Beberapa karakteristik juga memiliki keterkaitan dengan penerimaan vaksin


HPV, seperti agama dan penghasilan keluarga. Orang tua yang beragama Kristen
cenderung memiliki penerimaan vaksin HPV yang rendah untuk anak perempuan
mereka, sementara orang tua yang beragama Katolik memiliki penerimaan vaksin
HPV yang lebih tinggi (Constantine dan Jerman, 2007). Penghasilan keluarga
menjadi faktor penting dalam penerimaan vaksin HPV. Semakin tinggi
penghasilan keluarga maka semakin besar penerimaan vaksin HPV (Davis et al.,
2004; Gerend et al., 2006).
Pengetahuan dan persepsi mengenai HPV dan kanker serviks merupakan
faktor yang berhubungan dengan penerimaan vaksinasi HPV. Menurut Wong dan
Sam (2010), pengetahuan mahasiswi mengenai HPV dan kanker serviks memiliki
hubungan yang signifikan terhadap keinginan mahasiswi memperoleh vaksin
HPV. Persepsi mengenai kerentanan terkena infeksi HPV dan penyakit kanker
serviks dan persepsi mengenai keuntungan vaksin HPV berkontribusi secara
signifikan terhadap penerimaan vaksinasi HPV pada mahasiswi (Juntasopeepun
et al., 2012). Mahasiswi yang memiliki persepsi mengenai hambatan mengakses
informasi vaksin HPV akan cenderung menolak melakukan vaksinasi HPV
(Donadiki et al., 2014)

25

G. Kerangka Konsep
Karakteristik:
- Klaster
- Usia
- Agama
- Pendidikan terakhir
- Penghasilan keluarga
- Riwayat kanker pada keluarga

Pengetahuan
- HPV
- Kanker Serviks
- Vaksinasi HPV
Penerimaan
vaksinasi HPV

Karakteristik lain:
- Pernah tidaknya mendengar kanker
serviks
- Pernah tidaknya mendengar
vaksinasi HPV
- Pernah tidaknya mendengar skrining

Persepsi
- Kanker Serviks
- Vaksinasi HPV

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

H. Hipotesis
1. Ada hubungan antara karakteristik terhadap pengetahuan dan persepsi
mahasiswi Universitas Gadjah Mada mengenai HPV, kanker serviks dan
vaksinasi HPV .
2. Ada hubungan antara karakteristik terhadap penerimaan vaksinasi HPV pada
mahasiswi Universitas Gadjah Mada.
3. Ada hubungan antara pengetahuan dan persepsi mengenai HPV, kanker
serviks, dan vaksinasi HPV terhadap penerimaan vaksinasi HPV pada
mahasiswi Universitas Gadjah Mada.

26

Anda mungkin juga menyukai