Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PEDAHULUAN

I.1

LATAR BELAKANG
Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi seawal mungkin

mengingat pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan


bicara. Fungsi pendengaran, perkembangan bicara dan bahasa sudah termasuk
dalam program evaluasi perkembangan anak secara umum yang dilakukan oleh
profesi di bidang kesehatan.1
Identifikasi gangguan pendengaran pada anak secara awal dengan cara
pengamatan reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran dengan
metode dan peralatan yang sederhana, perlu difahami oleh semua profesi di
bidang kesehatan yang banyak menghadapi bayi dan anak. Dokter Puskesmas,
petugas Posyandu atau bidan di klinik Ibu dan Anak perlu mengetahui cara
identifikasi gangguan fungsi pendengaran secara awal dan kondisi klinis yang
perlu dicurigai akan mengakibatkan gangguan pendengaran. Untuk membantu
program penanganan awal, identifikasi awal gangguan pendengaran dan
bagaimana proses perkembangan bicara pada anak perlu ditingkatkan dengan
penyuluhan atau seminar kepada para orang tua.1
Menurut WHO, saat ini diperkirakan ada 360 juta (5.3%) orang di dunia
mengalami gangguan pendengaran, 328 juta (91%) diantaranya adalah orang
dewasa (183 juta laki-laki, 145 juta perempuan) dan 32 juta (9%) adalah anakanak. Prevalensi gangguan meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Prevalensi gangguan pendengaran pada orang di atas usia 65 tahun bervariasi
antara18 - 50% di seluruh dunia. Serta diperkirakan 20% orang dengan gangguan
pendengaran membutuhkan alat bantu dengar. Namun produksi alat bantu
pendengaran saat ini hanya memenuhi 10% dari kebutuhan global dan hanya
memenuhi 3% dari kebutuhan di negara berkembang. 2
Kecenderungan di masa depan akan terjadi peningkatangangguan
pendengaran yang disebabkan antara lain makin tingginya umur harapan hidup
1

sehingga penduduk usia lanjut akan semakin banyak yang membawa konsekuensi
peningkatan prevalensi degenerasi sehubungan dengan usia. Faktor lain, yaitu
gaya hidupmasyarakat yang kurang menguntungkan, seperti mendengarkan musik
dengan suara keras, lingkungan tempat kerja dengan tingkat kebisingan yang
tinggi dan lain-lain. Walaupun demikian 50% gangguan pendengaran dan ketulian
inidapat dicegah.Ini dapat dilakukan melalui upaya-upaya promosi, mengontrol
faktor penyebab, deteksi dini penyakit dan penatalaksanaan yang sesuai standar.3
Dari hasil WHO Multi Center Study pada tahun 1998, Indonesia
termasuk 4 negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi,
yaitu sebesar (4,6%).3
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran pada anak diperlukan
pemeriksaan fungsi pendengaran yang lebih sulit dibandingkan orang dewasa.
Proses pendengaran pada anak sangat kompleks dan bervariasi karena
menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi,
fisiologi, neurologi, dan audiologi. Pada sisi lain pemeriksa diharapkan dapat
mendeteksi gangguan pada kelompok usia sedini mungkin.4
Pemeriksaan skrining pendengaran sangat penting dilakukan untuk
mendeteksi gangguan pendengaran secara dini, yaitu dengan melalui beberapa
tahap pemeriksaan untuk menilai ambang dengarnya. Selain pemeriksaan rutin
secara subyektif dengan menggunakan noise maker, Audiometri, Behavioural
Observation Audiometry (BOA), juga telah diperkenalkan pemeriksaan secara
obyektif menggunakan Oto Accoustic Emmision (OAE) dan Automated Auditory
Brainstem Response (AABR).Selama ini masih ada yang beranggapan bahwa tes
pendengaran tidak dilakukan saat masih bayi, harus menunggu hingga anak berbicara (usia
5-6 tahun), padahal kini tes pendengaran bahkan sudah dilakukan saat beberapa jam setelah
anak lahir. Bahkan 10 negara bagian di Amerika Serikat telah mewajibkan tes
pendengaran dilakukan pada bayi baru lahir.1
Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan adalah:
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
2. Otoacoustic Emission (OAE)
2

3.
4.
5.
6.

Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)


Timpanometri
Auditory Steady-State Response (ASSR)
Pure Tone Audiometri (PTA)
Pemeriksaan skrining pendengaran di masa kini dapat dilakukan dengan

cepat, aman dan nyaman.Melalui teknologi terbaru, pemeriksaan pendengaran


memungkinkan dilakukan sekalipun pada bayi atau anak yang kurang kooperatif,
sehingga dapat ditentukan apakah terdapat gangguan pendengaran yang
disebabkan oleh faktor fisik ataupun psikologis.Gangguan fungsi pada jalur
pendengaran mulai dari telinga luar (perifer), koklea sampai ke batang otak (brain
stem) dapat diketahui secara dini. Untuk itu kiranya penting diperkenalkan
Program Deteksi dan Intervensi Dini yang ditujukan sejak bayi baru lahir sampai
anak dipastikan tidak mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicara dan
berbahasa.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.

ANATOMI
Untuk memahami tentang gangguan pendengaran dan cara pemeriksaan

pendengaran, perlu diketahui anatomi telinga dan fisiologi pendengaran. Anatomi


telinga terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam.6

Gambar 1. Anatomi telinga


(Dikutip dari kepustakaan 6)

1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit.Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya
kira-kira 2 -3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak
rambut dan kelenjar serumen yang merupakan modifikasi kelenjar keringat.

Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga
bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.6,7,8

Gambar 2. Telinga Luar


(Dikutip dari kepustakaan 21)

2. Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar : membran timpani,
batas depan : tuba eustachius, batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis),
batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas :
tegmen timpani (mening/otak), batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah
kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar (round window) dan promontorium.6
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran
propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel
kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel
mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara
radial di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.6,7,8
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.Prosessus
longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes.Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan

koklea.Hubungan

antar

tulang-tulang

pendengaran

merupakan

persendian.Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan


daerah nasofaring dengan telinga tengah. 6,7

Gambar 3. Telinga Tengah


(Dikutip dari kepustakaan 15)

3. Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli.6,7,8
Kanalis semisirklularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap.Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibuler sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media
(duktus koklearis) di antaranya.Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,
sedangkan skala media berisi endolimfe.Ion dan garam yang terdapat di perilimfa
berbeda dengan endolimfa.Hal ini penting untuk pendengaran.Dasar skala
vestibuler disebut sebagai membran vestibuli (Reissners membrane) sedangkan
dasar skala media adalah membran basalis. Pada skala media terdapat bagian yang
berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat
sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar, dan kanalis corti,
yang membentuk organ corti.6,7,8

Gambar 4. Koklea
(Dikutip dari kepustakaan 21)

Gambar 5. Potongan Melintang Koklea


(Dikutip dari kepustakaan 21)

II.2.

FISIOLOGI PENDENGARAN
Suara adalah sensasi yang timbul apabila getaran longitudinal molekul di

lingkungan eksternal, yaitu fase pemadatan dan pelonggaran molekul yang terjadi
berselang-seling, mengenai membran timpani. Plot gerakan-gerakan ini sebagai
perubahan tekanan di membran timpani per satuan waktu adalah serangkaian
gelombang, dan gerakan semacam itu dalam lingkungan secara umum disebut
gelombang suara. Gelombang berjalan melalui udara dengan kecepatan sekitar
344 m/det (770 mil/jam) pada 20oC setinggi permukaan laut. Kecepatan suara
meningkat seiring suhu dan ketinggian.9
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran
7

melalui daya ungkittulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran


timpani dan tingkap lonjong.Oleh karena luas permukaan membran timpani 22
kali lebih besar dari luas tingkap oval, maka terjadi penguatan tekanan gelombang
suara 15-22 kali pada tingkap oval. Selain karena luas permukaan membran
timpani yang jauh lebih besar, efek dari pengungkit tulang-tulang pendengaran
juga turut berkontribusi dalam peningkatan tekanan gelombang suara.6,8
Energi getar yang telah diamplifikasikan ini akan diteruskan ke stapesyang
menggerakkan tingkap lonjong. Sehingga cairan perilimfa pada skala vestibuli
bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basalis dan
membran tektoria. Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan
terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskanneurotransmiter ke dalam
sinapsis yang menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan
ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus
temporalis.6,8
Secara umum, kekerasan suara berkaitan dengan amplitudo gelombang
suara dan nada berkaitan dengan frekuensi (jumlah gelombang persatuan
waktu).Semakin besar amplitudo, semakin keras suara; dan semakin tinggi
frekuensi, semakin tinggi nada. Namun, nada juga ditentukan oleh faktor-faktor
lain yang belum sepenuhnya di pahami selain frekuensi, dan frekuensi
mempengaruhi kekerasan, karena ambang pendengaran lebih rendah pada
frekuensi tertentu dibandingkan dengan frekuensi lain. Gelombang suara yang
memiliki pola berulang, walaupun masing-masing gelombang bersifat kompleks,
didengar sebagai suara musik; getaran periodik yang tidak berulang menyebabkan
sensasi bising.9

Gambar 6.Mekanisme Pendengaran


(Dikutip dari kepustakaan 21)

II.3.

AUDIOLOGI DASAR
Aspek diagnostik audiologi makin hari makin merupakan bagian yang

integral pada praktek THT. Dasar evaluasi pendengaran merupakan cara cepat
yang efektif untuk mengetahui kepekaan sistem pendengaran dan fungsi telinga
tengah. Jumlah pemeriksaan audiologi untuk membedakan masalah otologi pun
memang banyak termasuk salah satunya yaitu audiometri nada tutur.8,10
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai audiometri nada tutur, kita
harus memahami dulu hal mengenai audiologi dasar yang meliputi: sifat bunyi,
intensitas bunyi, batas pendengaran manusia, dan audiogram.8,10
1.

Sifat Bunyi
Bunyi di udara merupakan hasil penekanan dan pengembangan partikel

udara secara bergantian.Kecepatan terjadinya penekanan dan pengembangan


udara ini disebut frekuensi bunyi.Satu penekanan dan pengembangan disebut satu
siklus.Frekuensi adalah jumlah siklus dalam satu detik. Satuan frekuensi adalah
Hertz dan disingkat jadi Hz. Jadi bunyi 1000 Hz terdiri dari 1000 siklus lengkap
penekanan dan pengembangan tiap detik.10

2.

Intensitas Bunyi
Jajaran tekanan suara yang dapat diterima oleh telinga normal sangat luas

sehingga sukar untuk mengetahui angkanya.Dekat dengan ambang dengar, bunyi


mempunyai tekanan sebesar kurang lebih 2/10.000 dyne/cm2. Tekanan ini harus
dikalikan 10 juta kali untuk dapat menyebabkan rasa nyeri di telinga.10
Skala dengan titik awal 0,0002 dyne/cm2 disebut skala tingkat tekanan
bunyi (Sound Pressure Level = SPL). Jadi 60 dB SPL berarti tekanan 60 dB diatas
0,0002 dyne/cm2. Sedangkan skala berdasarkan ambang rata-rata pendengaran
normal disebut skala tingkat ambang dengar (Hearing Threshold Level) atau skala
ambang dengar (Hearing Level = HL). Jadi 60 dB HL berarti tekanan 60 dB diatas
ambang tekanan standar pembanding yang sesuai dengan pendengaran normal
rata-rata pada frekuensi ini. Tanda dB pada angka gangguan pendengaran suatu
audiometer mengikuti skala ambang dengar (HL).6,10
3.

Batas Pendengaran Manusia


Manusia dapat mendengar pada jarak frekuensi antara 20-20.000 Hz. Tapi

ini hanya nilai rata-rata karena kemampuan mendengar frekuensi tinggi menurun
sesuai pertambahan usia. Penurunan ini telah dimulai pada umur dekade 2 atau 3
dan dapat menurunkan batas atas sampai 10.000 Hz atau kurang pada umur
dekade ke-6.6,10
Batas

intensitas

pendengaran

manusia

dapat

ditentukan

dengan

tepat.Tingkat tekanan bunyi dari nada yang nyaris dapat didengar bervariasi pada
berbagai frekuensi. Pada daerah yang sangat sensitif (1000-4000 Hz), hampir
mendekati 0,0002 dyne/cm2. Batas intensitas tertinggi kira-kira 140 dB diatas
0,0002 dyne/cm2. Pada tingkat ini, suara dari frekuensi manapun akan
menimbulkan rasa nyeri. Apabila terlalu lama mendengar suara di atas 85 dB
dapat mengakibatkan kerusakan pendengaran.10
4.

Audiogram
Bentuk yang umum digunakan untuk menggambarkan hasil uji

pendengaran disebut audiogram.Tujuan audiogram adalah untuk memperoleh


grafik gangguan pendengaran pasien dalam ambang sensitifitasnya pada tiap
frekuensi yang diuji. Jajaran frekuensi yang biasa diuji adalah oktaf dan semioktaf
antara 250-8000 Hz.10,11,12
10

11

II.4.

PEMERIKSAAN PENDENGARAN
Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji

pendengaran yaitu tuli konduktif, tuli saraf (sensorineural deafness) serta tuli
campuran (mixed deafness).Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara,
disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah.Pada
tuli saraf (perseptif, sensorineural) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam),
nervus VIII atau di pusat pendengaran, sedangkan tuli campuran, disebabkan oleh
kombinasi tuli konduktif dan tuli saraf.Tuli campur dapat merupakan satu
penyakit, misalnya radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau
merupakan dua penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII (tuli saraf)
dengan radang telinga tengah (tuli konduktif). Jadi jenis ketulian sesuai dengan
letak kelainan.6
Suara yang didengar dapat dibagi dalam bunyi, nada murni dan
bising.Bunyi (frekuensi 20Hz-18.000Hz) merupakan frekuensi nada murni yang
dapat didengar oleh telinga normal.Nada murni (pure tone), hanya satu frekuensi,
misalnya dari garpu tala, piano.Bising (noise) dibedakan antara NB (narrow
band), terdiri atas beberapa frekuensi, spektrumnya terbatas dan WN (white
noise), yang terdiri dari banyak frekuensi.6,8
Pemeriksaan
mempergunakan

pendengaran

garpu

tala

dilakukan
dan

secara

kuantitatif

kualitatif

dengan

dengan

menggunakan

audiometer.Untuk pemeriksaan kuantitatif gangguan pendengaran dilakukan


pemeriksaan audiometri.Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal
atau tuli, kemudian jenis dan derajat ketuliannya. Derajat ketulian dihitung dengan
index flechter, yaitu rata-rata ambang pendengaran pada frekuensi 500, 1.000,
2.000, 4.000 Hz.13
Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan
pemeriksaan audiologi khusus yang terdiri dari audiometri khusus (tes Tune decay,
tes short Increment, Sensitivity Index (SISI), tes Alternate Binaural Loudness
Balance (ABLB), audiometri tutur, audiometric Bekessy), audiometri obyektif
(audiometri

impedans,elektrokokleograf,

brain

evoked

response

audiometry/BERA), pemeriksaan tuli organik, dan pemeriksaan audiometri anak.13


12

II.5.

GEJALA GANGGUAN PENDENGARAN PADA ANAK


Beberapa

gejala

pada

anak

dengan

kemungkinan

mengalami

gangguan pendengaran yang bisa diamati sehari-hari oleh orang tua untuk anak
usia prasekolah atau usia yang lebih besar dari 24 bulan:1
1. Kurang responsif terhadap suara-suara yang ada di sekitarnya: vacuum cleaner ,
klakson mobil, petir.
2. Anak kelihatannya kurang perhatian terhadap apa yang terjadi disekitarnya,
kecuali yang bisa dinikmati dengan melihat. Anak tidak mudah tertarik dengan
pembicaraan atau suara-suarayang ada di sekelilingnya.
3. Cenderung berusaha melihat muka lawan bicara dengan tujuan mencaripetunjuk dari
gerak bibir dan ekspresi muka guna mendapat informasi tambahan apa yang diucapkan.
4. Anak kurang responsif apabila diajak bicara tanpa diberi kesempatan
5.
6.
7.
8.

melihat muka lawan bicara.


Sering minta kata-kata diulang lagi.
Jawaban yang salah dengan pertanyaan atau perintah sederhana.
Kesulitan menangkap huruf mati atau konsonan.
Anak hanya memberikan respons terhadap suara tertentu atau dengan

kekerasan tertentu.
9. Anak memberikan respons yang tidak konsisten pada waktu yang berbeda,
kemungkinan mengalami gangguan pendengaran yang hilang timbul sebagai akibat
otitis media serosa. Orang tua sering menganggap karena anak cuek atau bandel, hanya
memberikan respons kalau anak sedang mau saja.
10. Kesulitan menangkap pembicaraan di dalam ruangan yang ramai.
Anak dengan gangguan pendengaran ringan atau sedang masih mampu menangkap
pembicaraan di lingkungan yang ribut seperti di kelas atau di rumah dengan
suara-suara TV yang cukup mengganggu. Anak dengan pendengaran yang normal
mempunyai kemampuan mengatasi kesulitan dilingkungan mendengar yang sulit.
11. Ucapan anak yang sulit dimengerti merupakan salah satu kemungkinan anak
mengalami gangguan pendengaran. Hal ini disebabkan anak tidak mampu menangkap
semua elemen pembicaraan dengan jelas sehingga anak akan mengalami kesulitan
meniru ucapan dengan betul dan baik.. Anak juga akan mengalami gangguan pola
berbicara yang sering rancu dengan masalah intelegensinya.
12. Bicara anak lemah atau bahkan terlalu keras. Hal ini menunjukkan bahwa anak tidak
mendengar suaranya sendiri. Anak yang bicaranya pelan kemungkinan mengalami tuli
13

konduktif karena anak dapat menangkap suaranya sendiri melalui jalur hantaran tulang
sekalipun hantaran udaranya mengalami gangguan. Anak dengan tuli
sensorineural akan berbicara lebih keras supaya bisa menangkap suaranya sendiri.
13. Kemampuan berbicara dan pemahaman kata-kata terbatas. Anak dengan
gangguan pendengaran akan mengalami penurunan kemampuan mendengar dan
memahami arti kata-kata sehingga menghambat proses perkembangan bicara.
14. Nilai di sekolah menurun atau di bawah rata-rata kelas.
15. Masalah tingkah laku, baik di sekolah maupun di rumah.
II.6.

PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA ANAK


Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Walaupun

derajat ketulian yang dialami seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam
perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan
berbahasa. Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan
skrining pendengaran pada anak.14
Perubahan perilaku anak terhadap stimulus suara tergantung pada beberapa
faktor antara lain faktor usia, status mental yang mencakup kondisi mental anak, kemauan
melakukan tes, rasa takut, status neurologik yang berhubungan dengan perkembangan motorik
dan persepsi.1
Selama ini masih ada yang beranggapan bahwa tes pendengaran tidak bisa
dilakukan saat masih bayi, harus menunggu hingga anak bisa berbicara (usia 5-6 tahun),
padahal kini tes pendengaran bahkan sudah bisa dilakukan saat beberapa jam setelah anak
lahir. Bahkan 10 negara bagian di Amerika Serikat telah mewajibkan tes pendengaran
dilakukan pada bayi baru lahir.1
Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
II.7.

Behavioral Observation Audiometry (BOA)


Otoacoustic Emission (OAE)
Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
Timpanometri
Auditory Steady-State Response (ASSR)
Pure Tone Audiometri (PTA)
Auditory Steady-State Response (ASSR)

II.7.1. Sejarah ASSR

14

ASSR pertama kali diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980-anyang


merupakan rekamanaktvitas electroencephalography dengan

menggunakan

bangkitan stimulasi sinusoidal secara terus-menerus baik amplitudo atau frekuensi


yang dimodulasi. Pada tahun 1981, Galambos dan rekannya melaporkan bahwa
pada potensi pendengaran 40 Hz yang kemudian dilanjutkan hingga 400 Hz secara
sinosoidal, aplitudo dimodulasi pada 40 Hz dan pada 70 dB SPL. Hal ini
menghasilkan respon frekuensi yang sangat spesifik tetapi respon yang dihasilkan
sangat rentan terhadap getaran yang telah ditetapkan. Pada tahun 1991, Cohen dan
rekannya mengatakan bahwa pada tingakat yang lebih tinggi dari stimulasi 40 Hz
(>70 Hz), respon tersebut lebih kecil tetapi tidak terpengaruh oleh tidur.
Sedangkan pada tahun 1994, Rickarts dan rekannya menunjukan bahwa hal
tersbut sangat mungkin untuk mendapatkan respon pada bayi yang baru lahir.
Pada tahun 1995, Lins dan Picton menemukan bahwa stimulasi yang simultan
pada kisaran 80-100 Hz bisa mendapatkan ambang batas pendengaran.19,20
II.7.2. Definisi
ASSR merupakan tes yang bersifat objektif untuk mengukur kemampuan
mendengar anak yang masih belum mampu menjalani prosedur tes subjektif
seperti play audiometri atau audiometri nada murni.ASSR juga merupakan tes
obyektif yang digunakan untuk evaluasi kemampuan mendengar pada anak-anak
untuk pengujian audiometri tradisional.15,16

Gambar 7.ASSR (Dikutip dari kepustakaan 23)

Gambar 8. Pemeriksaan
ASSR
(Dikutip dari kepustakaan
23)

II.7.3. Indikasi
15

Seperti pada ABR, ASSR juga dapat digunakan untuk memperkirakan


ambang batas pendengaran bagi mereka yang tidak dapat berpartisipasi dalam
langkah-langkah yang tradisional. Oleh karena itu, manfaat utama untuk ASSR
termasuk: pada bayi untuk tindak lanjut diagnostik penilaian, bayi dalam neonatal
unit perawatan intensif (NICU), pasien tidak responsif dan/atau koma, dan lainlain.17
II.7.4. Cara Kerja Alat
Cara kerja ASSR diperoleh dengan mengukur aktivitas otak saat orang
mendengarkan nada frekuensi yang berbeda-beda (pitch) dan intensitas
(kenyaringan).17
Aktivitas otak dicatat menggunakan elektroda ditempelkan pada dahi dan
di belakang telinga masing-masing.Penggunaan elektroda menghilangkan
kebutuhan untuk partisipasi aktif dari pasien (misalnya, menekan tombol respon
setiap kali nada diaktifkan).Hasil terdeteksi obyektif menggunakan formula
statistik yang menentukan ada atau tidak adanya respon yang benar.Mirip dengan
pengujian audiometri tradisional, ambang batas ditentukan sebagai tingkat
terendah pada setiap frekuensi di mana respon hadir. ASSR memberikan akurat
frekuensi-spesifik perkiraan audiogram murni-nada perilaku.16
Pada dasarnya, cara pemeriksaan pada tes ASSR ini sama dengan
pemeriksaan pada BERA. Yang membedakan adalah frekuensi yang diperiksa
serta gambaran hasil tes.Hasil tes BERA gambarannya berupa gelombanggelombang sedangkan hasil tes ASSR berupa audiogram.16
II.7.5. Interpretasi ASSR
Aktivitas gelombang otak yang tercatat dari permukaan elektroda pada
kulit

kepala

berisi

amplitudo

periodik

atau

variasi

frekuensi

yang

mengikutimodulasi yang lambat dalam gelombang stimulus.Rekaman dianalisis


dalam frekuensi daripada waktu domain. Perangkat lunak statistik berbasis telah
dikembangkan memungkinkan ada tidaknya respon yang ditentukan secara
otomatis.20
16

II.7.6. Perbandingan ASSR dan BERA


ASSR dan BERA banyak menggunakan peralatan dasar dan protokol yang
sama. Jadi, hal inilah yang kemudian menjadi alasan untuk membuat
perbandingan di antara keduanya.18
a.

Persamaan yang Terdapat pada ASSR dan BERA


1.
Keduanya memberikan gambaran tentang stimulus pendengaran.
2.
Keduanya menstimulasi sistem pendengaran.
3.
Keduanya merekam aktivitas bioelektrik dari system pendengaran
4.
Di setiap protocol, pasien tidak diharuskan untuk memberikan respon
sesuai dengan kemauan.

Gambar 9. Bentuk Gelombang BERA yang Normal


(Dikutip dari kepustakaan 22)
b.

Perbedaan yang Terdapat pada ASSR dan BERA


1. ABR merupakan stimulus yang biasanya disajikan pada tingkat yang
lebih lambat, sedangkan ASSR menggunakan amplitudo atau suara
frekuensi dimodulasi disajikan dengan cepat untuk sistem pendengaran
serta merangsang empat frekuensi dan kedua telinga secara bersamaan.
2. ABR sangat bergantung pada analisis relatif subjektif dari, sedangkan
ASSR bergantung pada analisis statistik kemungkinan jawaban,
biasanya pada tingkat keyakinan 95%.
3. Respon ABR diukur dalam sepersejuta volt (microvolts), dan ASSR
diukur dalam billionths volt (nanovolts).18
Biasanya jika dalam pemeriksaan BERA tidak ditemukan gelombang V di

intensitas 80 dB, maka disarankan untuk melakukan tes ASSR untuk mengetahui
derajat gangguan pendengaran bayi dan anak.16

17

Gambar 10.Audiogram ASSR


(Dikutip dari kepustakaan 23)

18

BAB III
KESIMPULAN
Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi seawal mungkin
mengingat pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan
bicara. Identifikasi gangguan pendengaran pada anak secara awal dengan cara
pengamatan reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran dengan
metode dan peralatan yang sederhana, perlu dipahami oleh semua profesi di
bidang kesehatan yang banyak menghadapi bayi dan anak. Penilaian fungsi
pendengaran pada anak-anak memerlukan pemahaman, latihan dan pengalaman
klinis yang cukup luas.Hasil pemeriksaan berdasarkan pengamatan tingkah laku
anak terhadap stimulus suara sangat dipengaruhi oleh keterbatasan perkembangan
dan kematangan bayi/ anak.
Saat ini sudah banyak metode untuk menilai fungsi pendengaran anak baik
secara subyektif maupun obyektif Tes pendengaran secara obyektif dibidang
audiologi dengan peralatan elektrofisiologik saat ini sudah banyak dikembangkan
di beberapa Rumah Sakit salah satunya adalah ASSR (Auditory Steady State
Response) yang merupakan tes yang bersifat objektif untuk mengukur
kemampuan mendengar anak yang masih belum mampu menjalani prosedur tes
subjektif seperti play audiometri atau audiometri nada murni.Pada dasarnya, cara
pemeriksaan pada tes ASSR ini sama dengan pemeriksaan pada BERA. Yang
membedakan adalah frekuensi yang diperiksa serta gambaran hasil tes.Hasil tes
BERA gambarannya berupa gelombang-gelombang sedangkan hasil tes ASSR
berupa audiogram.
Yang perlu dipertimbangkan adalah penilaian fungsi pendengaran pada
anak-anak merupakan proses yang dilakukan secara berkelanjutan dan harus
dipandang sebagai bagian yang integral dalam menangani gangguan pendengaran
pada anak .

19

DAFTAR PUSTAKA
1. American academy of audiology. Childhood hearing screening guidelines.
[online]url:http://www.cdc.gov/ncbddd/hearingloss/documents/aaa_childh
ood-hearing-guidelines_2011.pdf [diakses tanggal 28 juli 2013].
2. Inspektorat Jenderal Kementrian Kesehatan. Hari Kesehatan Telinga dan
Pendengaran Nasional 2013.[Accessed on 31st July 2013]; Available from:
http://www.itjen.depkes.go.id/berita/read/28/15/HARI-KESEHATANTELINGA-DAN-PENDENGARAN-NASIONAL-2013.
3. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Strategi Nasional
Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian untuk Mencapai
Sound Hearing 2030.
4. Hendarmin H, Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak.
Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher, edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007. 32-36.
5. Feldman M.H.Children Evaluation and Management of Language and
Speech Disorders in Preschool. In : pediatrics in review. Vol 26. American
academy of pediatrics.page 131-142.
6. Soepardi, Efiaty Arsyad et al. Gangguan Pendengaran dan Kelainan
Telinga. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala Leher. Jakarta. Balai Penerbit FKUI; 2008; 10-22.
7. Moller, Aage R. Hearing : Anatomy, Physiology, and Disorders of The
Auditory System. 2nd ed. United States of America: Elsevier. 2006.
8. Dhingra PL. Assesment of Hearing. In: Disease of Ear, Nose and Throat.4 th
Edition. New Delhi: Elsevier; 2007. Page 22-29.
9. Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia dari sel ke sel. Edisi 2.
EGC: Virginia; 2001. Hal.176-189.
10. Feldman AS, Grimes CT. Audiologi. Dalam: Ballenger JJ. Penyakit
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 2. Jakarta:
Binarupa Aksara; 1997. Hal.273-303.
20

11. Lassman AS, Grimes CT. Audiologi.Dalam: BOIES. Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997. Hal. 46-73.
12. Lalwani AK. In Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology - Head
and Neck Surgery. 2nd Edition. McGraw-Hill; 2008. Page 595-600.
13. Mansjoer, Arif, Kuspuji T, Rakhmi S, Wahyu I, Wiwiek. Kapita Selekta.
Edisi III Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius 3. 2001. Hal. 85-87.
14. Workshop proceedings. National workshop on mild and unilateral hearing
loss.[online] url:www.cdc.gov/ncbddd/ehdi [diakses tanggal 31 juli 2013]
15. Sowita
Hearing
Center.
Audiometri
Nada
Murni.
http://pedulipendengaran.com/index.php/aunm[diakses tanggal 31 juli
2013.]
16. California

Ear

Institute.

Auditory

Steady

State

Response

(ASSR).http://www.californiaearinstitute.com/audiology-services-assr-bayarea-ca.php[diakses tanggal 4 juli 2013.]


17. Innovations InTechnology Auditory Steady-State Response: A Beginner's
Guide by Douglas L. Beck, AUD, David P. Speidel, MS, and Michelle
Petrak, PhD An orientation to ASSR based on refinements and offerings
from Interacoustics.
18. Hearing Technology Developments in Auditory Steady-State Responses
(ASSR): 2009 by Douglas L. Beck, AuD; David P. Speidel, MS; and Jill
Gordon Craig, MA A review of recent findings and new developments
with regard to ASSR, as well as new.
19. Auditory Brainstem Response Online. [Accessed on 9th August 2013];
Available from : http://en.wikipedia.org/wk/auditory brainst em response.
20. Brown, CJ, Johnson Tiffany A.2010. Electrophysiologic Assessment of
Hearing in Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery 5th
Edition.Philadelphia : Mosby Elsevier. p.1911-1912.
21. Ear: Structure of The Human Ear. In: Encyclopedia Brittanica Online.
[Accessed

31st

on

July

2013];Available

from:

http://www.britannica.com/EBchecked/media/530/Structure-of-the-humanear.
22. Auditory Brainstem Response Online. [Accessed on 10th August 2013];
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/836277-overview
23. SmartEP-ASSR Quick and Objective Auditory Treshold Detection.
[Accessed

on

10th

August

2013];

Available

from

http://www.ihsys.com/site/SmartEPASSR.asp
21

24. Fasilitas Hearing Center. [Accessed on 10th August 2013]; Available


from

http://www.luminaabc.co.id/hearing-center/fasilitas-hearing-

center.html

22

23

Anda mungkin juga menyukai