SKIZOFRENIA
(Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Patofisiologi)
DOSEN
OLEH
LUSY ANDRIANI
12/333368/ FA/09314
ANITA KURNIAWATI
12/333371/FA/09317
ANNISAFIA RIZKY D
12/333390/ FA/09320
PRIDIYANTO
12/333415/ FA/09323
MERCY ARIZONA
12/333447/ FA/09326
12/333456/ FA/09329
ANINDITA KASYAFI
12/336340/ FA/09332
AMALUL KHAIR
12/340721/ FA/09359
KHAIRUNNISA KHAIRUDDIN
12/340737/ FA/09360
12/340738/ FA/09361
KELAS C 2012
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014
SKIZOFRENIA
I. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik kronis yang ditandai oleh episode akut yang
mencakup kondisi terputus dengan realitas yang ditampilkan dalam ciri-ciri seperti waham,
halusinasi, pikiran tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku yang aneh.
Defisit residual dalam area kognitif, emosional, dan sosial dari fungsi-fungsi yang ada
sebelum episode akut (Nevid, 2003).
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala
positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh
gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek)
tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, miskin kontak emosional
(pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan
kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif.
II. Epidemiologi
Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia
remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia
lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35
tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di
daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).
Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia prevalensi seumur
hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%1,5%. Meskipun ada beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara lakilaki dan perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya
jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36
tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan
yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki
(Durand, 2007).
III.
berasal
dari
aktivitas
sensitivitas
yang
abnormal
terhadap
dopamine.
Beberapa
transference.
2. Pandangan Harry Stack Sullivan
- Skizofrenia muncul saat tampilnya kembali self yang terdisosiasi yang
mengakibatkan panic dan disorganisasi psikotik. Self yang terdisosiasi berwal
dari kegagalan pengasuhan oleh ibu yang mebuat anak kurang dapat
memuaskan kebutuhannya.
3. Pandangan Aliran Ego Psychology
- Psikolog ego awal mengamati bahwa kegagalan ego boundary adalah defisit
utama pada klien skziofrenia. Ego boundary berkembang dari kontak fisik
antara bayi dan ibu. Tidak adanya stimulasi ini pada dyad ibu-bayi
mengakibatkan penderita skozofrenia sulit membedakan diri dan orang lain.
4. Pandangan Grotstein
- Skizofrenia muncul karena adanya hipersensitivitas pada stimulasi perceptual.
Ketidakmampuan untuk menyeleksi berbagai stimuli dan memfokuskan pada
satu data waktu adalah kesulitan utama pada kebanyakan penderita skizofrenia.
Kurangnya stimulus barrier dan tak terolahnya impuls primitive destruktif
mengakibatkan keadaan emergency.
5. Pandangan Heinz kohut
- Psikosis merupakan akibat adanya gangguan yang serius pada self, dimana
tidak ada struktur defensive yang dapat mengatasinya. Inti self dapat menjadi
noncohesive (keadaan skizofrenia) baik karena kecenderungan biologis
bawaan, maupun karena totalitas dan kontinuitasnya tidak direspon oleh
effective mirroring di awal kehidupan.
residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan
afek datar.
V. Patofosiologi
Perjalanan berkembangnya skizofrenia sangatlah beragam pada setiap kasus. Namun,
secara umum melewati tiga fase utama, yaitu :
a. Fase prodromal
Fase prodromal ditandai dengan deteriorasi yang jelas dalam fungsi kehidupan,
sebelum fase aktif gejala gangguan, dan tidak disebabkan oleh gangguan afek atau
akibat gangguan penggunaan zat, serta mencakup paling sedikit dua gejala dari kriteria
A pada kriteria diagnosis skizofrenia. Awal munculnya skizofrenia dapat terjadi
setelah melewati suatu periode yang sangat panjang. Yaitu ketika seorang individu
mulai menarik diri secara social dari lingkungannya (Prabowo, 2007).
Individu yang mengalami fase prodormal dapat berlangsung selama bebearapa minggu
hingga bertahun-tahu, sebeum gejala lain yang memenuhi kriteria untuk menegakkan
diagnosis skizofrenia muncul. Individu dengan fase prodromal singkat, perkembangan
gejala gangguannya lebih
besar
penderita
gangguan
skizofrenia
memiliki
kelainan
pada
kemampuannya untuk melihat realitas dan kesulitan dalam mencapai insight. Sebagai
akibatnya episode psikosis dapat ditandai oleh adanya kesenjangan yang semakin
besar antara individu dengan lingkungan sosialnya (Prabowo, 2007)
c. Fase residual
Fase residual terjadi setelah fase aktif gejala paling sedikit terdapat dua gejala dari
kriteria A pada kriteria diagnosis skizofrenia yang bersifat mentap dan tidak
disebabkan oleh gangguan afek atau gangguan penggunaan zat. Dalam perjalanan
gangguannya, beberapa pasien skizofrenia mengalami kekambuhan hingga lebih dari
lima kali. Oleh karena itu, tantangan terapi saat ini adalah untuk mengurangi dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
Hipotesis/teori tentang patofisiologi skizoprenia :
Pada pasien skizoprenia terjadi hiperreaktivitas system dopaminergik
Hiperdopaminergia pada sistem mesolimbik berkaitan dengan gejala positif
Hipodopaminergia pada sistem mesocortis dan nigrostriatal bertanggungjawab terhadap
gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal
1. Jalur nigrostriatal: dari substantia nigra ke basal ganglia yang mengatur fungsi gerakan,
EPS
2. jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik yang mengatur memori,
sikap,kesadaran, proses stimulus
3. jalur mesocortical : dari tegmental area menuju ke frontal cortex mengatur kognisi,
fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap stress
4. jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary berkaitan dengan
pelepasan prolaktin
Dalam anatomi manusia , sistem ekstrapiramidal adalah jaringan saraf yang terletak di
otak yang merupakan bagian dari sistem motor yang terlibat dalam koordinasi gerakan .
Sistem ini disebut " ekstrapiramidal " untuk membedakannya dari saluran dari korteks syaraf
motorik yang mencapai targetnya dengan mekanisme melalui" piramida " dari medula . Jalur
piramidal (kortikospinalis dan beberapa saluran kortikobulbar ) dapat langsung menginervasi
saraf motorik dari sumsum tulang belakang atau batang otak ( sel tanduk anterior atau inti
saraf kranial tertentu ) , sedangkan pusat sistem ekstrapiramidal mengatur modulasi dan
regulasi (kontrol secara tidak langsung) dari sel-sel tanduk anterior .
Sistem ekstrapiramidal yang terutama ditemukan dalam formasi reticular pons dan
medulla , dan neuron target di sumsum tulang belakang yang terlibat dalam refleks , gerak ,
gerakan yang kompleks , dan kontrol postural . Traktat ini pada gilirannya dipengaruhi oleh
berbagai bagian dari sistem saraf pusat , termasuk jalur nigrostriatal , ganglia basal ,
serebelum , inti vestibular , dan daerah sensorik yang berbeda dari korteks serebral . Semua
ini peraturan komponen dapat dianggap sebagai bagian dari sistem ekstrapiramidal , dalam
arti bahwa mereka memodulasi aktivitas motor tanpa langsung innervating neuron motor .
Pathway skizofrenia
masih
belum
diketahui
dengan
jelas.
Banyak
hal
yang
bisa
mempengaruhi
dermatoglifi/jumlah rigi sidik jari, tetapi yang diduga berperan adalah saraf-saraf di epidermis
(Matthew, 2003). Kejadian cacat penyakit bawaan menunjukan adanya pola hubungan yang
erat dengan pola sidik jari tertentu (Murthy dkk, 1997), misalnya, prolapsus valvula mitralis
dilaporkan berhubungan dengan tipe Arch (Nussbaum, 2001), hipertensi essensial dengan tipe
Whorl (Wertheim, 1983), dan abnormalitas sulur-sulur dermatoglifik pada jari tangan
mempunyai kaitan dengan kejadian penyakit trombosis pada pembuluh darah (Kennedy,
1996).
Terapi
A. Psikofarmaka
Obat psikofarmaka yang ideal yaitu memenuhi syarat-syarat antara lain sebagai berikut :
Dosis rendah dengan efektifitas terapi dalam waktu relative singkat.
Tidak ada efek samping, kalaupun ada relative kecil.
Dapat menghilangkan dalam waktu relative singkat baik gejala positif maupun negatif
skizofrenia.
Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat).
Tidak menyebabkan kantuk.
Memperbaiki pola tidur.
Tidak menyebabkan habituasi, adiksi, dan dependensi.
Tidak menyebabkan lemas otot.
Kalau mungkin pemakaiannya dosis tunggal (singel dose).
Pemilihan Obat
Obat Anti-Psikosis Tipikal :
1. Phenotiazine
Clorpromazine,
Levomepromazine,
Perphenazine,
efektif mengatasi gejala negative. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah Clozapine,
Olanzapine, Quetiapine dan Risperidon.
B. Psikoterapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan
apabila penderita dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan
menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dapat kembali pulih dan pemahaman diri
(insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap
mendapat terapi psikofarmaka. Contoh psikoterapi :
1. Psikoterapi Suportif.
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat, dan motivasi
agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya menghadapi hidup tidak
menurun.
2. Psikoterapi Re-eduktif
Dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang, memperbaiki kesalahan pendidikan
di waktu lalu dengan yang baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap dunia luar.
3. Psikoterapi Re-konstruktif
Untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi
kepribadian yang utuh seperti semula sebelum sakit.
4. Psikoterapi Kognitif
Untuk memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional, sehingga
penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika, mana yang baik dan yang buruk
dan sebagainya.
5. Psikoterapi Perilaku
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu
menjadi perilaku yang adaptif, agar penderita mampu berfungsi kembali secara wajar.
6. Psikoterapi Keluarga
Dimaksudkan untuk memulihkan hubungan penderita dengan keluarganya. Diharapkan
keluarga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan penderita.
C. Terapi Psikosoial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan agar penderita mampu kembali beradaptasi
dengan lingkunga sosial sekitarnya, dan mampu merawat diri, sehingga tidak menjadi beban
bagi keluarga dan masyarakat. Dalam menjalani terapi psikososial ini hendaknya penderita
masih mengkonsumsi obat psikofarmaka. Kepada penderita diupayakan untuk tidak
menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan serta banyak bergaul/bersosial.
D. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai
manfaat. Terapi keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa ritual keagamaan seperti shalat,
berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dan
lain-lain. Dengan terapi psikoreligius ini gejala patologis dengan pola sentral keagamaan
dapat diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan
kembali di jalan yang benar.
VII.
Daftar Pustaka
Arrieta MI, Salazar L, Criado B, Martinez B, and Lactao CM (1991). Twin study of digital
dermatoglyphic trait. investigation of heretability. J Hum Biol 3:11-15.
Babler (1979). Quantitative differences inmorphogenesis of humanepi dermalrigdesbrith
defects. Original Journal Series 15: 199-208
Balgir RS, RS Murthy, and NN Wig 1980. Manicdepressivepsychosis and schizophrenia:
adermatoglyphicstudy. Brit.J. Psychiat 136: 558-561.
Davies, T. 1994. Psychosocial factors and relapse of schizophrenia.309, 353 from http://
www.ncbi.nlm.nih.90v/pmc/articles/PMC2541203/Pdf/bmj00452-007.pdf.
Kamali MS, Mavalwala, and Khaneqah AA 1991.Qualitative dermatoglyphic traits as
measure of population distance. Am J Phys Anthropol85:429-50.
Keliat BA (1992). Peran serta keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa. Jakarta:
EGC.
Kennedy JMD (1996). Schizophrenia genetics: the quest for an anchor.Am J Psychiatry 153 :
1513-4.
Luana NA (2007). Skizofrenia dan gangguan psikotiklainya. Diajukan pada Simposium
Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut Hari Kesehatan Jiwa
Sedunia,
27 Oktober 2007,
Matthew TA, Jay S, Leanne EV, Teresa AB, and Qurwant KT (2003). Neuro developmental
interaction sconferring risk for schizophrenia: astudy of dermatoglyphic markers in
patients andrelatives. Schizophrenia Bulletin 29(3):595-605.
Murthy RS and NN Wig (1997). Dermatoglyphics in schizophrenia: the relevance of positive
family history. Brit.J. Psychiat 130: 56-8.
Morgan, H.G. & Morgan, M.H. 1991. Segi praktis psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara
Nurdiana, Syafwani, dan Umbransyah (2007).Korelasi peran serta keluarga terhadap tingkat
kekambuhan klien skizofrenia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan 3(1): 1-10.
Quazi KH, Masakawa A, Mc Grann B, Wood J(1980). Dermatoglyphicc in the fetal alcohol
syndrome. Teratology Journal 21: 157 160.
Rife DC (1943). Genetic interrelationships of dermatoglyphics and functional handedness.
Genetics 28: 41-8.
William H, Pippa T, and Leena P (2006). Beyond schizophrenia: the role of DISC1 in major
mentalillness. Schizophrenia Bulletin 32(3):40916.