Anda di halaman 1dari 201

Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012-2013

MEMPERKUAT PEREKONOMIAN DOMESTIK BAGI PENINGKATAN


DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Agustus 2012

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan


Pembangunan Nasional

Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah Tahun 2012-2013: Memperkuat


Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan


Pembangunan Nasional, Republik Indonesia

Foto cover
Desain cover

: Pras Widjojo
: Ivan W. Sjafary

Diterbitkan oleh:
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional

KATA SAMBUTAN

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan terbitnya Buku
Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah untuk tahun 2012-2013. Buku pegangan ini
mengambil tema mengenai: Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan
Perluasan Kesejahteraan Rakyat, sebagai rujukan dalam merencanakan berbagai strategi,
program, dan kegiatan pembangunan di seluruh Wilayah Nusantara.
Momentum pertumbuhan ekonomi perlu tetap dijaga agar peningkatan kesejahteraan rakyat
terutama pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran dapat dipercepat. Upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pun perlu dilakukan tanpa mengesampingkan
persoalan lingkungan. Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN 2010-2014) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan, pelaksanaan
pembangunan di pusat dan di daerah perlu dilaksanakan melalui empat jalur strategi, yaitu
pertumbuhan (pro-growth), kesempatan kerja (pro-job), pengentasan kemiskinan (pro-poor)
dan pelestarian lingkungan hidup (pro-environment).
Di tengah kondisi persaingan ekonomi global yang masih tidak menentu, penguatan ekonomi
domestik menjadi syarat mutlak agar Indonesia dapat tetap menjaga pertumbuhan yang
berkualitas. Sinergi antara pusat dan daerah untuk menjaga momentum pertumbuhan
ekonomi dan meningkatkan kualitas pertumbuhan merupakan aspek prioritas yang perlu kita
lakukan bersama-sama. Keberhasilan pembangunan nasional merupakan agregasi dari
keberhasilan pembangunan daerah. Oleh karena itu, penguatan ekonomi nasional adalah
hasil akumulasi dari penguatan ekonomi di daerah. Dengan demikian, komunikasi, koordinasi
dan sinergi kebijakan antara pusat dan daerah harus terus dipertahankan untuk menjaga
momentum pembangunan. Konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah akan tercapai jika
dijembatani oleh sinergi pusat-daerah oleh berbagai pemangku kepentingan. Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah memiliki tugas dan fungsi yang penting untuk
mengkoordinasikan kebijakan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya dan menjaga
konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah.
Saya berharap, buku ini dapat menjadi pegangan bagi segenap aparatur pemerintah dalam
proses perencanaan dan penyusunan strategi pembangunan di daerah. Melalui pemahaman

konsep dan faktor-faktor penentu penguatan perekonomian domestik bagi peningkatan dan
perluasan kesejahteraan rakyat, segenap jajaran Pemerintah Pusat dan Daerah serta
pemangku kepentingan lainnya dapat bersama-sama menyamakan langkah untuk menyusun
strategi yang terintegrasi dalam mendorong dan menjaga ekonomi domestik yang lebih
berdaya tahan tinggi.
Dengan terbitnya Buku Pegangan Tahun 2012-2013 ini, saya menyampaikan terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas yang telah bekerja dengan itikad dan dedikasi yang baik
dalam menyusunnya.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan kemudahan dan bimbingan Nya
dalam setiap upaya untuk menguatkan perekonomian nasional, agar pembangunan ekonomi
Indonesia dapat lebih cepat dan lebih luas demi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Terima Kasih.

Jakarta, 6 Agustus 2012


Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

RINGKASAN EKSEKUTIF

Penyusunan Buku Pegangan (Handbook) Perencanaan Pembangunan Daerah ini dimaksudkan


untuk memberikan penjelasan tentang pentingnya peran perencanaan dan strategi
pembangunan daerah untuk mendukung penguatan perekonomian domestik bagi
peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat, serta memberikan panduan bagi
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah tahun 2012 2013 dalam
menentukan strategi-strategi yang dapat memberikan kontribusi terhadap penguatan
ekonomi domestik.
Kondisi ekonomi global di tahun 2012 diperkirakan masih belum membaik, karena masih
rentannya proses pemulihan negara-negara Eropa yang terlilit krisis utang dan terjadinya
perlambatan ekonomi negara-negara maju dan emerging market. Krisis yang dialami negaranegara Eropa terkait utang dan defisit fiskal masih belum teratasi dengan baik sehingga kondisi
ekonomi global akan masih diliputi oleh ketidakpastian, sementara pemulihan ekonomi AS
masih rentan terhadap guncangan.
Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat menjadi 3,5 persen pada tahun 2012 dan
3,9 persen pada tahun 2013 (IMF, World Economic Outlook, Juli 2012) disebabkan oleh proses
pemulihan AS yang rentan, keberlanjutan krisis keuangan Eropa, serta kemampuan ekonomi
Asia yang menurun. Negara maju diperkirakan hanya tumbuh sebesar 1,4 persen pada tahun
2012 dan 1,9 persen pada tahun 2013. Bahkan ekonomi di beberapa negara Eropa, seperti:
Italia, Spanyol dan Yunani, diproyeksi tumbuh negatif pada tahun 2012.
Sementara itu, negara berkembang Asia akan menjadi penopang pertumbuhan dunia ditengah
krisis global, yang diperkirakan tumbuh mencapai 7,1 persen pada tahun 2012. China dan India
sebagai negara emerging diperkirakan tumbuh masing-masing sebesar 8,0 persen dan 6,1
persen pada tahun 2012. ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina)
diproyeksi mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen pada tahun 2012.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

Di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, perekonomian domestik harus tetap
terjaga dengan fundamental ekonomi yang tetap kokoh dan daya saing yang lebih baik.
Kondisi ini tentunya akan menjadi suatu keharusan bagi Indonesia dan masing-masing daerah
untuk terus bekerja keras dan bersaing dengan negara lain. Langkah ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan daya saing bangsa, memperbaiki kinerja ekonomi nasional yang
didukung struktur ekonomi yang kuat, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan yang
tersebar di seluruh Wilayah Nusantara dan meningkatkan pembangunan wilayah tertinggal
dan wilayah perbatasan.
Momentum pertumbuhan ekonomi perlu tetap dijaga agar peningkatan kesejahteraan rakyat
terutama pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran dapat dipercepat. Upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pun perlu dilakukan tanpa mengesampingkan
persoalan lingkungan. Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN 2010-2014) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan, pelaksanaan
pembangunan di pusat dan di daerah perlu dilaksanakan melalui empat jalur strategi, yaitu
pertumbuhan (pro-growth), kesempatan kerja (pro-job), pengentasan kemiskinan (pro-poor)
dan pelestarian lingkungan hidup (pro-environment).
Dengan berbagai tantangan yang ada, sasaran pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 adalah
sebesar 6,5 persen. Sementara itu, pada tahun 2013, diharapkan perekonomian dapat lebih
baik lagi dengan sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 7,0 persen. Investasi dan konsumsi
masyarakat pada tahun 2012 dan 2013 diharapkan akan menjadi sumber pertumbuhan
ekonomi, dengan target pertumbuhan untuk investasi adalah sebesar 10,9 persen pada tahun
2012 dan 12,1 persen pada tahun 2013.
Pemerintah melalui mekanisme perencanaannya telah menyusun langkah-langkah
pembangunan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), baik yang sedang berjalan yaitu RKP
2012 maupun perencanaan tahun depan dalam RKP 2013. Hal ini demi mencapai sasaran
pembangunan 5 (lima) tahun dalam RPJMN 2010-2014 yaitu Mewujudkan Indonesia yang
Demokratis, Sejahtera dan Berkeadilan. Adapun tema dari RKP, ditunjukkan pada Gambar
berikut.
Tema Pembangunan Yang Tertuang Dalam RKP
2010

Pemulihan Perekonomian Nasional Dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat

2011

Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkeadilan Didukung Oleh Pemantapan Tatakelola Dan
Sinergi Pusat Dan Daerah

2012

Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkualitas, Inklusif dan Berkeadilan Bagi
Peningkatan Kesejahteraan Rakyat

2013

MEMPERKUAT PEREKONOMIAN DOMESTIK BAGI PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN


RAKYAT

ii

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Kebijakan pemerintah dalam rangka perkuatan ekonomi domestik yang pada RKP 2013
difokuskan pada empat aspek, yang merupakan komponen penting untuk mendukung
penguatan ekonomi domestik, seperti yang tercantum dalam gambar berikut.
Faktor Pendukung Penguatan Ekonomi Domestik

Peningkatan
Daya Saing

Peningkatan dan
Perluasan
Kesejahteraan
Rakyat

PENGUATAN
EKONOMI
DOMESTIK

Peningkatan
Daya Tahan
Ekonomi

Pemantapan
Stabilitas Politik

Peningkatan daya saing untuk mendukung penguatan ekonomi domestik akan dititikberatkan
kepada isu strategis: Peningkatan Iklim Investasi dan Usaha, Percepatan Pembangunan
Infrastruktur, Peningkatan Pembangunan Industri di Berbagai Koridor Ekonomi dan
Penciptaan Kesempatan Kerja khususnya Tenaga Kerja Muda. Adapun Peningkatan Daya
Tahan Ekonomi akan dititikberatkan pada isu strategis: Peningkatan Ketahanan Pangan
Menuju Pencapaian Surplus Beras 10 juta Ton dan Peningkatan Rasio Elektrifikasi dan
Konversi Energi. Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat akan dititikberatkan pada
isu strategis: Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Percepatan Pengurangan
Kemiskinan Sinergi Klaster 1-4. Sedangkan, Pemantapan Stabilitas Sosial Politik akan
dititikberatkan pada isu strategis: Persiapan Pemilu 2014, Perbaikan Kinerja Birokrasi dan
Pemberantasan Korupsi dan Percepatan Pembangunan Minimum Essential Force.
Masing-masing faktor pendukung penguatan ekonomi tersebut memiliki kerangka dan jalur
keterkaitan yang berbeda-beda untuk menghasilkan ekonomi domestik yang lebih berdaya
saing dan lebih berdaya tahan. Untuk itu, kerangka keterkaitan isu strategis dengan
penguatan ekonomi domestik telah dijabarkan secara rinci di dalam Bab IV dan dapat
dijadikan sebagai referensi dalam memahami arti pentingnya isu strategis terhadap
pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Dengan memahami kerangka keterkaitan
ini, diharapkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki pemahaman yang sama,
sehingga dapat secara bersama-sama mensinergikan pembangunan di pusat dan di daerah

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

iii

dalam rangka memperkuat ekonomi domestik di tengah-tengah kondisi global yang masih
belum menentu.
Kemudian, di dalam Bab V telah dijabarkan secara rinci strategi yang perlu dilakukan dalam
setiap isu strategis serta peran Pemerintah Daerah yang perlu dilaksanakan, agar proses dan
upaya penguatan perekonomian domestik serta peningkatan dan perluasan kesejahteraan
rakyat di pusat dan di daerah dapat lebih sinergi sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih
maksimal. Sebagai contoh, dalam upaya meningkatkan daya saing nasional diperlukan
langkah-langkah konkrit untuk melakukan harmonisasi kebijakan dan peraturan di tingkat
pusat dan daerah, serta melakukan sinergi peraturan dan kebijakan antara pusat dan daerah.
Untuk itu diperlukan upaya di setiap kementerian/lembaga dan daerah untuk dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan melakukan koordinasi dengan berbagai
pemangku kepentingan.
Sementara itu, sinergi kebijakan pembangunan antara pusat dan daerah dan antar daerah,
khususnya dalam kerangka perencanaan kebijakan dapat dilakukan melalui:
1. Memperkuat koordinasi antar pelaku pembangunan di pusat dan daerah;
2. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar
ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan;
4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat di semua tingkatan pemerintahan; serta
5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan
dan berkelanjutan.
Sedangkan upaya bersama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dapat dilakukan
antara lain:
1. Sinergi berbagai dokumen perencanaan pembangunan (RPJPN dan RPJPD, RPJM dan
RPJMD, RKP dan RKPD);
2. Sinergi dalam penetapan target pembangunan;
3. Standarisasi indikator pembangunan yang digunakan oleh kementerian/lembaga dan
satuan perangkat kerja daerah;
4. Pengembangan database dan sistem informasi pembangunan yang lengkap dan
akurat;
5. Sinergi dalam kebijakan perijinan investasi di daerah; dan
6. Sinergi dalam kebijakan pengendalian tingkat inflasi.
Isu strategis lainnya yang menjadi fokus perhatian setiap Pemerintah Daerah adalah
pembangunan infrastruktur, dimana infrastruktur menjadi bagian penting untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik karena dapat menekan ekonomi biaya tinggi,
menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup. Namun demikian, adanya
keterbatasan dana yang dimiliki menjadikan peran bersama antara pemerintah pusat,

iv

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

pemerintah daerah dan swasta perlu disinergikan dengan baik. Koordinasi dan sinergi yang
dilaksanakan dalam keterhubungan antar wilayah (domestic connectivity) mencakup
pembagian peran dan kewenangan, pengembangan kerangka kerja bersama dan pembagian
tugas dan tanggungjawab termasuk pembiayaan.
Di sisi peningkatan daya tahan ekonomi, masyarakat dan pemerintah daerah memiliki
peranan penting dalam membangun ketahanan pangan dimulai dari proses produksi,
distribusi, pengolahan pangan dan pemasaran. Sementara peran pemerintah juga sangat
penting dalam pemberian insentif untuk tetap menjaga ketahanan pangan melalui regulasi,
penciptaan iklim investasi dan pembangunan fasilitas/prasarana publik. Untuk itu,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu memiliki strategi bersama, dengan
memainkan peran masing-masing dalam menjalankan strategi tersebut. Sebagai contoh,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara bersama-sama memiliki peran untuk
peningkatan perluasan areal tanam, kemudian peran Pemerintah Daerah dan Petani sangat
diperlukan dalam menerapkan System of Rice Intensification, menjalankan Gerakan
Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi secara intensifikasi, pengamanan pasca
panen, penguatan penyuluhan dan lain-lain.
Pengembangan SDM menjadi salah satu isu sentral pembangunan daerah untuk mendukung
upaya meningkatkan dan memperluas kesejahteraan rakyat, dimana pemerintah pusat dan
pemerintah daerah harus memastikan bahwa layanan pendidikan tersedia secara memadai
dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Satuan pendidikan mulai dari jenjang pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi harus dapat mengakomodasi setiap anak usia sekolah yang
memerlukan layanan pendidikan. Bahkan, layanan pendidikan harus dapat menjangkau
seluruh lapisan masyarakat, yang bermukim di daerah tertinggal, kepulauan, terpencil dan
perbatasan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib membangun infrastruktur
pendidikan untuk mendukung peningkatan layanan pendidikan yang bermutu bagi
masyarakat di wilayah tersebut. Untuk itu, pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota harus bersinergi dalam memberikan layanan pendidikan agar
kinerja pendidikan di setiap daerah makin meningkat.
Untuk meningkatkan efektivitas upaya percepatan pengurangan kemiskinan dalam kerangka
penguatan perekonomian domestik juga diperlukan sinergi antara pusat dan daerah. Secara
makro, peran pemerintah pusat lebih dititikberatkan kepada upaya untuk mewujudkan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan melalui pelaksanaan rencana
investasi dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Sementara, pemerintah
daerah diharapkan dapat memperlancar pelaksanaan seluruh kegiatan investasi di koridorkoridor ekonomi yang berada di daerahnya masing-masing. Dengan sinergi yang tepat dan
koordinasi yang intensif diharapkan pelaksanaan rencana investasi MP3EI akan mampu
menggerakkan pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan lapangan kerja baru dan
memperluas kesempatan kerja secara nasional. Selanjutnya, secara makro pemerintah pusat
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

dan pemerintah daerah berperan dalam menjaga agar tingkat konsumsi masyarakat tidak
jatuh melalui upaya mempertahankan kestabilan harga bahan pangan pokok. Harga bahan
pangan pokok yang stabil merupakan kunci dalam pengendalian tingkat inflasi. Oleh karena
itu diperlukan koordinasi yang lebih intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam upaya menjaga dan mengamankan ketersediaan stok bahan pangan pokok serta
pengamanan distribusi bahan pangan pokok.
Dalam rangka pemantapan stabilitas politik, langkah utama yang diperlukan dan sangat
mendesak dilakukan adalah memberikan fasilitasi dan dukungan sepenuhnya kepada
Penyelenggaraan Pemilu dalam melaksanakan amanat perundang-undangan untuk
menyelenggarakan Pemilu 2014. Hal ini dengan mengingat amanat Pasal 126 UU No 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
memberikan bantuan dan fasilitas kepada Penyelenggara Pemilu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sementara itu, perbaikan kinerja birokrasi dan
pemberantasan korupsi merupakan hal penting yang juga perlu mendapatkan perhatian
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang salah satunya adalah melalui penerapan eprocurement atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di seluruh instansi
pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Strategi perencanaan dan penganggaran untuk menguatkan perekonomian domestik dapat
dicapai dengan adanya sinergi antar pusat-daerah yang baik. Sinergi dalam kerangka
kebijakan pembangunan Pusat-Daerah dan antar daerah diperlukan untuk menjamin: (1)
koordinasi antar pelaku pembangunan di pusat dan daerah; (2) terciptanya integrasi,
sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah
maupun antara Pusat dan Daerah; (3) keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; (4) optimalnya partisipasi masyarakat di semua
tingkatan pemerintahan; dan (5) tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan dan berkelanjutan.
Langkah-langkah yang diperlukan pemerintah daerah melalui sinergi pusat-daerah adalah: (i)
melakukan sinkronisasi RPJMD dan RKPD dengan prioritas nasional yang tercantum dalam
RPJMN 2010 2014 dan RKP; (ii) menitikberatkan penganggaran pada peningkatan belanja
modal, terutama untuk meningkatkan daya saing daerah; dan (iii) memonitor pelaksanaan
rencana pembangunan dan realisasi anggaran, terutama yang terkait dengan upaya untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, menjaga iklim investasi, meningkatkan hubungan
kerjasama antar daerah dan kemitraan pemerintah-swasta, serta meningkatkan akses
terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung ekonomi daerah.
Untuk itu, buku ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi daerah dalam menentukan
strateginya dalam rangka memperkuat perekonomian domestik bagi peningkatan dan
perluasan kesejahteraan rakyat.

vi

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Foto: Humas
Foto: Bappenas
Humas Bappenas

Foto: Humas Bappenas

DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. 2
1.1 Latar Belakang

1.1.1 Perkembangan Kondisi Ekonomi Global

1.1.2 Perkembangan Ekonomi Regional

1.1.3 Perkembangan Ekonomi Nasional dan Pentingnya Peningkatan Ekonomi


Domestik Untuk Meredam Dampak Krisis Global

1.2 Maksud dan Tujuan

BAB II KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2013 ................................................... 8


2.1 Target Pertumbuhan Ekonomi

2.2 Tujuh Arahan Presiden

2.3 Tema dan Prioritas RKP 2013

2.4 Isu Strategis 2013

11

BAB III KONDISI TERKINI DAERAH ......................................................................................... 22


3.1 Kondisi Ekonomi Nasional

22

3.1.1 Pertumbuhan Ekonomi

22

3.1.2 Tingkat Kemiskinan

23

3.1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka

26

3.2 Kondisi Ekonomi Daerah

27

3.2.1 Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Daerah

27

3.2.2 Tingkat Kemiskinan Per Provinsi

28

3.2.3 Tingkat Pengangguran Per Provinsi

30

3.3 Kondisi Daya Beli Masyarakat

32

3.3.1 Pertumbuhan Konsumsi Masyarakat

32

3.3.2 Peran Konsumsi Masyarakat Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah

33

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

ix

3.4 Kondisi Perdagangan dan Investasi

34

3.4.1 Kontribusi Ekspor Daerah Terhadap Nasional

34

3.4.2 Investasi (PMTB) Per Provinsi

35

3.5 Kondisi Infrastruktur Daerah

37

3.5.1 Infrastruktur Jalan

37

3.5.2 Infrastruktur Udara

40

3.5.3 Infrastruktur Laut

41

3.5.4 Infrastruktur Listrik

45

3.5.5 Infrastruktur Telekomunikasi

46

3.6 Kondisi Produksi dan Konsumsi Beras

47

3.7 Kondisi Sumber Daya Manusia

50

3.7.1 Pendidikan

50

3.7.2 Kesehatan

55

3.8 Kondisi Ketenagakerjaan

61

3.8.1 Tenaga Kerja Per Provinsi

61

3.8.2 Upah Minimum Regional Per Provinsi

63

3.8.3 Produktivitas Tenaga Kerja

65

3.9 Perkembangan Reformasi Birokrasi dan Politik

67

3.9.1 Kualitas SDM Aparatur

68

3.9.2 LPSE dan E-Procurement

69

3.9.3 Opini LKPD

71

3.9.4 Implementasi SAKIP

72

3.9.5 Perkembangan Politik

74

3.10 Pelaksanaan Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi


Indonesia (MP3EI)

82

3.10.1 Pelaksanaan MP3EI Tahun 2011 dan 2012

82

3.10.2 Rencana MP3EI Tahun 2013

84

3.11 Postur Pendapatan dan Belanja Daerah

87

3.11.1 Postur Pendapatan Daerah

87

3.11.2 Postur Belanja Daerah

90

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

BAB IV KERANGKA PENGUATAN PEREKONOMIAN DOMESTIK SERTA PENINGKATAN DAN


PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT ....................................................................... 96
4.1 Pengantar Penguatan Ekonomi Domestik

96

4.2 Aspek Peningkatan Daya Saing

97

4.2.1 Peningkatan Iklim Investasi dan Iklim Usaha

97

4.2.2 Percepatan Pembangunan Infrastruktur

99

4.2.3 Peningkatan Pembangunan Industri di 6 Koridor Ekonomi

101

4.3 Aspek Peningkatan Daya Tahan Ekonomi (Food Security dan Energy Security)

105

4.3.1 Peningkatan Ketahanan Pangan

105

4.3.2 Peningkatan Rasio Elektrifikasi Dan Konversi Energi

109

4.4 Aspek Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

110

4.4.1 Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia

110

4.4.2 Percepatan Pengurangan Kemiskinan

111

4.5 Aspek Pemantapan Stabilitas Politik

113

4.5.1 Persiapan Pemilu 2014

113

4.5.2 Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi

114

BAB V LANGKAH-LANGKAH PENGUATAN EKONOMI DOMESTIK SERTA PENINGKATAN DAN


PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT...................................................................... 120
5.1 Peningkatan Daya Saing

120

5.1.1 Peningkatan Iklim Investasi dan Iklim Usaha

121

5.1.2 Percepatan Pembangunan Infrastruktur

127

5.1.3 Peningkatan Pembangunan Industri di 6 Koridor Ekonomi

132

5.1.4 Penciptaan Kesempatan Kerja Khususnya Tenaga Kerja Muda

134

5.2 Peningkatan Daya Tahan Ekonomi

137

5.2.1 Peningkatan Ketahanan Pangan

137

5.2.2 Peningkatan Rasio Elektifikasi dan Konversi Energi

142

5.3 Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

143

5.3.1 Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia

143

5.3.2 Percepatan Pengurangan Kemiskinan

145

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

xi

5.4 Pemantapan Stabilitas Politik

147

5.4.1 Persiapan Pemilu 2014 dan Pilkada

147

5.4.2 Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi

148

5.5 Pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi


Indonesia (MP3EI)

154

5.5.1 Regulasi

154

5.5.2 Konektivitas

155

5.5.3 Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

156

5.6 Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah Untuk Mendukung Penguatan


Ekonomi Domestik

158

BAB VI PENUTUP ................................................................................................................ 176


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 178

xii

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 2.5
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 3.5
Tabel 3.6
Tabel 3.7
Tabel 3.8
Tabel 3.9
Tabel 3.10
Tabel 3.11
Tabel 3.12
Tabel 3.13
Tabel 3.14
Tabel 3.15
Tabel 3.16
Tabel 3.17
Tabel 3.18
Tabel 3.19
Tabel 3.20
Tabel 3.21
Tabel 3.22
Tabel 3.23
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3

Sasaran Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2012 2013


8
Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan Daya Saing
13
Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan Daya Tahan Ekonomi
14
Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat 15
Sasaran Pokok Isu Strategis Pemantapan Stabilitas Sosial dan Politik
17
Gambaran Ekonomi Makro Tahun 2010 2012
23
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kawasan
24
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Wilayah (Maret 2012)
25
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Menurut Kawasan
26
Kabupaten/Kota Dengan Persentase Penduduk Miskin Tertinggi dan
Terendah Per Provinsi Tahun 2010
29
Kondisi Mantap Jalan Tahun 2010
37
Kondisi Jalan Nasional Pada Tahun 2005 dan 2011
38
Kondisi Jalan Provinsi dan Jalan Kabupaten/Kota Tahun 2010
39
Jumlah Bandara Per Provinsi Tahun 2010
40
Jumlah Pelabuhan di Indonesia Berdasarkan Jenisnya Tahun 2004
41
Pertumbuhan Produksi Padi Menurut Kawasan (Ribu Ton) Tahun 2009-2011 47
Pertumbuhan Produksi Beras Menurut Kawasan (Ribu Ton) Tahun 2009-2011 47
Alasan Tidak/Belum Bersekolah Tahun 2010
53
Peringkat Indonesia Dalam Pilar Daya Saing Efisiensi Pasar Tenaga Kerja
(Dari 142 Negara) Tahun 2008 2011
63
Persentase Perubahan UMP Dibandingkan Dengan Laju Inflasi di Provinsi
Unggulan Industri Tahun 2000 2012
63
Peta Sebaran Daerah Dengan LPSE Tahun 2012
69
Peta Sebaran Daerah Yang Sudah Menerapkan E-Proc Tahun 2012
70
Pengkategorian Penilaian Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
73
Pencapaian Skor LAKIP di Level Provinsi Tahun 2011
74
Rekapitulasi Kegiatan MP3EI Yang Telah Groundbreaking (Sampai Akhir
Desember 2011)
82
Status Penyempurnaan Regulasi (per April 2012)
84
Alokasi dan Kebutuhan Tambahan Konektivitas Tahun 2013 (Miliar Rupiah) 85
Daerah Dengan Postur APBD Yang Baik
93
Pemetaan Untuk Kegiatan-Kegiatan Ekonomi Utama Dari
Masing-Masing Koridor
132
Capaian dan Target Produksi Padi Tahun 2010 -2014
138
Sasaran Produksi Padi Tahun 2012-2013 Menurut Provinsi
140

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

xiii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.5
Gambar 3.6
Gambar 3.7
Gambar 3.8
Gambar 3.9
Gambar 3.10
Gambar 3.11
Gambar 3.12
Gambar 3.13
Gambar 3.14
Gambar 3.15
Gambar 3.16
Gambar 3.17
Gambar 3.18
Gambar 3.19
Gambar 3.20
Gambar 3.21
Gambar 3.22
Gambar 3.23
Gambar 3.24
Gambar 3.25

xiv

Tema Pembangunan Yang Tertuang Dalam RKP


Prioritas Pembangunan Nasional RPJMN 2010-2014
Isu Strategis Pembangunan Nasional Dalam RKP 2013
Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin
Tahun 2006 - 2012
Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Tahun 2008 2012
PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2010
Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin Per Provinsi
Tahun 2011
Tingkat Pengangguran Terbuka Per Provinsi (%) Tahun 2010 - 2011
Jumlah Penganggur Berdasarkan Perkotaan dan Perdesaan (Ribu Orang)
Pertumbuhan Konsumsi dan Konsumsi per Kapita Menurut Provinsi
Tahun 2009
Rata-rata Peran Konsumsi Rumah Tangga Dalam Sumber Pertumbuhan
PDRB Tahun 2006 - 2009
Kontribusi Ekspor Daerah Terhadap Nasional Tahun 2011
PMTB dan Jumlah Penduduk Tahun 2005 2009
PMTB dan Kepadatan Penduduk Tahun 2005 2009
Share Industri Pengolahan Dalam PDRB
Rasio Kerapatan Jalan (km/km2) Tahun 2011
Rasio Kapasitas Jalan (km/unit) Tahun 2011
Perbandingan Kondisi Jalan Nasional dan Daerah (%)
Jumlah Penumpang Pesawat Udara Per Provinsi Tahun 2010
Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Dermaga Pelabuhan
Tahun 2010 dan 2011
Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Gudang Pelabuhan
Tahun 2010 dan 2011
Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Lapangan Penumpukan
Pelabuhan Tahun 2010 dan 2011
Rasio Elektrifikasi Tahun 2011
Persentase Kota/Kabupaten yang Dijangkau Layanan Broadband
Tahun 2011
Kontribusi Kawasan Per Pulau Terhadap Total Produksi Beras Tahun 2011
Produksi Padi di Indonesia Tahun 2009 2011
Konsumsi Beras Langsung di Rumah Tangga (Kg/Kapita/Tahun)
Pada Tahun 2008-2010
Produksi dan Kebutuhan Beras (Ribu Ton) Tahun 2011

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

10
11
12
24
26
27
28
30
31
32
33
34
35
35
36
37
38
39
41
42
44
45
46
46
48
48
49
50

Gambar 3.26
Gambar 3.27
Gambar 3.28
Gambar 3.29
Gambar 3.30
Gambar 3.31
Gambar 3.32
Gambar 3.33
Gambar 3.34
Gambar 3.35
Gambar 3.36
Gambar 3.37
Gambar 3.38
Gambar 3.39
Gambar 3.40
Gambar 3.41
Gambar 3.42
Gambar 3.43
Gambar 3.44
Gambar 3.45
Gambar 3.46
Gambar 3.47
Gambar 3.48
Gambar 3.49
Gambar 3.50
Gambar 3.51
Gambar 3.52
Gambar 3.53
Gambar 3.54

Rata-Rata Lama Sekolah (Usia Penduduk >15 Tahun) Tahun 2010


51
Tingkat Pendidikan dan Tingkat Partisipasi Sekolah Tahun 2010
52
Persentase Jenjang Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan
Oleh Penduduk Berusia 10 Tahun Ke Atas Tahun 2010
52
Angka Melek Aksara Penduduk (Berusia > 15 Tahun) Tahun 2010
54
Persentase Guru Belum Berkualifikasi S1/D4 Tahun 2011
55
Persentase Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Terlatih
Menurut Provinsi Tahun 2010
56
Cakupan Pelayanan Antenatal (K4) Tahun 2010
57
Persentase Bayi Usia 0-11 Bulan Yang Mendapat Imunisasi Dasar Lengkap
Tahun 2010
58
Persentase Bayi Yang Melakukan Kunjungan Neonatus 6-48 Jam (KN1)
Tahun 2010
58
Prevalensi Pendek (TB/U) Pada Anak 0-59 Bulan Tahun 2010
59
Keragaman Angka Kejadian Malaria Tahun 2010
60
Perkembangan Jumlah Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan
Tahun 2010
61
Perkembangan Rasio Tempat Tidur RS per 100.000 Penduduk
Tahun 2010
61
Persentase Serta Pertumbuhan Pekerja Sektor Formal dan Informal
Tahun 2005 2011
62
Komposisi Pekerja Formal dan Informal di Setiap Provinsi
Tahun 2008 dan 2011
62
UMP Wilayah Sumatera
64
UMP Wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara
64
UMP Wilayah Kalimantan dan Sulawesi
64
UMP Wilayah Gorontalo-Maluku-Papua
64
Pertumbuhan Produktivitas Untuk Tiga Sektor Tahun 2006 2011
65
Produktivitas per Tenaga Kerja Tahun 2005 dan 2010 (Menurut
Harga Konstan 2000)
66
Persentase Pekerja Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011
67
Persentase Pekerja Profesional/Semi Skill Terhadap Jumlah Pekerja
Tahun 2011
67
Persentase Pegawai Negeri Sipil (PNS) Berdasarkan Pendidikan
(per Januari 2012)
68
Peta Kepatuhan Penyampaian LKPD Tahun 2010
71
Pencapaian Opini BPK Atas Laporan Keuangan Pemda Tahun 2012
72
Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2009 dan 2010
74
Indeks Demokrasi Indonesia Berdasarkan Provinsi Tahun 2010
75
Indeks Demokrasi Indonesia Berdasarkan Kepulauan Tahun 2010
76
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

xv

Gambar 3.55
Gambar 3.56
Gambar 3.57
Gambar 3.58
Gambar 3.59
Gambar 3.60
Gambar 3.61
Gambar 3.62
Gambar 3.63
Gambar 3.64
Gambar 3.65
Gambar 3.66
Gambar 3.67
Gambar 3.68
Gambar 3.69
Gambar 3.70
Gambar 3.71
Gambar 3.72
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Gambar 4.10

xvi

Jumlah Kabupaten/Kota dan Jumlah Pemilih Pada Pemilu


Anggota DPR, DPD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009
Tingkat Partisipasi Politik dalam Pemilu Tahun 1971 2009
Tingkat Partisipasi Politik Pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009
Tingkat Partisipasi Pemilih Pada Pilpres di Berbagai Wilayah Tahun 2009
Tingkat Partisipasi Politik pada Pemilukada Tahun 2010-2011
Jumlah dan Nilai Program Bidang SDM di setiap Koridor Ekonomi
Tahun 2012
Jumlah dan Nilai Program Bidang IPTEK di setiap Koridor Ekonomi
Rekapitulasi Alokasi Indikatif Kegiatan Konektivitas Tahun 2013
Menurut Kementerian/Lembaga (Miliar Rupiah)
Komposisi Pendapatan Daerah Tahun 2007 2011
Rasio Pendapatan Daerah Menurut Wilayah Tahun 2011
Rasio PAD Terhadap Total Pendapatan Kabupaten Dan Kota Se-Provinsi
Tahun 2011
Rasio PAD Terhadap Total Pendapatan Provinsi Tahun 2011
Komposisi Belanja Daerah Tahun 2007 2011
Rasio Belanja Daerah Menurut Wilayah Tahun 2011
Rasio Belanja Pegawai Kabupaten/Kota Terhadap Total Belanja
Menurut Provinsi Tahun 2008 dan 2011
Rasio Belanja Pegawai Provinsi Terhadap Total Belanja
Tahun 2008 dan 2011
Komposisi Belanja Kabupaten/Kota Menurut Fungsi dan Provinsi
Komposisi Belanja Provinsi Menurut Fungsi
Faktor Pendukung Penguatan Ekonomi Domestik
Kerangka Peningkatan Iklim Investasi dan Usaha dalam Rangka
Peningkatan Ekonomi Domestik
Kerangka Pembangunan Infrastruktur dalam Rangka
Peningkatan Ekonomi Domestik
Kerangka Pengembangan Koridor Ekonomi
Pengembangan Koridor Ekonomi Indonesia
Sistem Ketahanan Pangan
Skema Pencapaian Surplus Beras 10 Juta Ton
Kerangka Pembangunan Ketenagalistrikan Terhadap Peningkatan
Perekonomian Domestik
Kerangka Peningkatan Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Yang
Berkualitas
Kerangka Penguatan Ekonomi Domestik Melalui Upaya Percepatan
Pengurangan Kemiskinan

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

77
78
79
80
81
83
83
85
88
88
89
89
90
90
91
91
92
92
96
98
99
102
104
106
108
109
111
112

Gambar 4.11
Gambar 4.12
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4

Skema Pencapaian Stabilitas Politik


Kerangka Peningkatan Kinerja Birokrasi Terhadap Peningkatan
Kesejahteraan Rakyat
Peran Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Mekanisme Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Melalui Skema
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
Tahapan Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
Tahun 2014
Faktor Pendukung Daya Saing Daerah

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

114
115
122
128
148
158

xvii

BAB I
PENDAHULUAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Perkembangan Kondisi Ekonomi Global
Kondisi ekonomi global di tahun 2012 diperkirakan masih belum membaik, karena masih
rentannya proses pemulihan negara-negara Eropa yang terlilit krisis utang dan terjadinya
perlambatan ekonomi negara-negara maju dan emerging market. Krisis yang dialami negaranegara Eropa terkait utang dan defisit fiskal masih belum teratasi dengan baik sehingga kondisi
ekonomi global akan masih diliputi oleh ketidakpastian. Sementara itu, pemulihan ekonomi AS
masih rentan terhadap guncangan. Spanyol yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar
keempat di Eropa diprediksi akan menjadi anggota keempat Uni Eropa yang membutuhkan
dana talangan. Utang negara Spanyol mencapai 709 miliar atau sekitar 2 kali jumlah utang
gabungan tiga negara yang mendapat dana talangan sebelumnya (Yunani, Irlandia dan
Portugal), sehingga dana talangan untuk menyelamatkan perekonomian Spanyol akan menjadi
beban yang berat bagi zona Eropa. Namun demikian, dampak krisis Eropa maupun AS
terhadap ekonomi Indonesia ini secara keseluruhan relatif terkendali hingga saat ini.
Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat menjadi 3,5 persen pada tahun 2012 dan
3,9 persen pada tahun 2013 (IMF, World Economic Outlook, Juli 2012) disebabkan oleh proses
pemulihan AS yang rentan, keberlanjutan krisis keuangan Eropa, serta kemampuan ekonomi
Asia yang menurun. Negara maju diperkirakan hanya tumbuh sebesar 1,4 persen pada tahun
2012 dan 1,9 persen pada tahun 2013. Bahkan ekonomi di beberapa negara Eropa, seperti:
Italia, Spanyol dan Yunani, diproyeksi tumbuh negatif pada tahun 2012.
Sementara itu, negara berkembang Asia akan menjadi penopang pertumbuhan dunia ditengah
krisis global, yang diperkirakan tumbuh mencapai 7,1 persen pada tahun 2012. China dan India
sebagai negara emerging diperkirakan tumbuh masing-masing sebesar 8,0 persen dan 6,1
persen pada tahun 2012. ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina)
diproyeksi mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen pada tahun 2012.
Sisi permintaan yang menurun di Kawasan Eropa dan Amerika Serikat telah menyebabkan
volume perdagangan dunia cenderung tumbuh melambat. Akibatnya, aktivitas ekonomi
negara-negara berkembang dan emerging market cenderung menurun, karena sebagian
negara berkembang merupakan pemasok utama pasar Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini
kemudian berdampak terhadap menurunnya harga komoditas global non-energi terutama
komoditas yang digunakan sebagai bahan baku untuk industri.

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

1.1.2 Perkembangan Ekonomi Regional


Pergeseran geopolitik dan geoekonomi dunia yang ditandai dengan menguatnya peran Asia
sebagai pusat kekuatan ekonomi global telah terjadi dalam satu dekade terakhir. Beberapa
negara di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan, telah lebih dulu maju dengan mengandalkan
perkembangan sektor industrinya. Selanjutnya, China dan India menyusul sebagai penggerak
pertumbuhan ekonomi regional dengan statusnya sebagai negara emerging dengan populasi
terbesar dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sementara itu, Indonesia dan negara anggota
ASEAN lainnya yang memiliki total jumlah penduduk sekitar 598 juta jiwa dan nilai PDB
mencapai US$ 1,85 triliun atau sekitar tiga persen dari PDB dunia menjadi kawasan strategis
dalam tatanan ekonomi global.
Dalam rangka mewujudkan ASEAN sebagai kawasan yang stabil, makmur, serta memiliki daya
saing yang ditandai dengan kemampuan menjalankan perdagangan barang, jasa, investasi dan
modal yang bebas, para kepala negara ASEAN telah mencanangkan ASEAN VISION 2020.
Sasaran akhir ASEAN VISION 2020 adalah kerjasama dalam bidang politik dan keamanan,
ekonomi, serta sosial budaya yang tertuang dalam perwujudan Masyarakat ASEAN tahun
2020 dengan berlandaskan pada tiga pilar yaitu: (i) Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN
Security Community); (ii) Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community); dan (iii)
Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community). Pada Pertemuan 12th
ASEAN Summit di Cebu, Filipina, bulan Januari 2007 dideklarasikan Percepatan untuk
Membangun Masyarakat Bersama ASEAN (ASEAN Community) dari tahun 2020 menjadi tahun
2015 (Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina), 2020 (Kamboja, Laos, Myanmar dan
Vietnam) dan 2010 (Singapura dan Brunei Darussalam). Kemudian pada Pertemuan 13th
ASEAN Summit di Singapura bulan November 2007 ditandatangani ASEAN Charter dan Cetak
Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC Blueprint) yang
merupakan momentum perkuatan komitmen bersama dari negara-negara ASEAN yang
mengikat secara hukum bagi terwujudnya AEC. Dalam perkembangannya, pelaksanaan AEC
berjalan relatif lebih cepat dibandingkan dengan kerjasama di bidang politik-keamanan dan
sosial budaya.
Pembentukan AEC 2015 menjadikan ASEAN sebagai kawasan dengan arus barang, jasa,
investasi, pekerja terampil dan arus modal yang lebih bebas, mempunyai daya saing tinggi,
dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata, serta terintegrasi dalam ekonomi global.
Pembentukan AEC 2015 menimbulkan tantangan bagi Indonesia berupa keharusan untuk
meningkatkan pemahaman publik dalam negeri mengenai ASEAN baik bagi kalangan
Pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat baik di tingkat Pusat maupun Daerah; serta
meningkatkan daya saing nasional. Disamping itu, pembentukan AEC akan memberikan
peluang bagi Indonesia dengan terbukanya pasar baru bagi barang, jasa, investasi, pekerja
terampil dan arus modal di kawasan ASEAN. Dalam menghadapi AEC 2015, bangsa Indonesia
harus bekerja keras untuk memperkuat ketahanan nasional sebagai prasyarat untuk dapat
bersaing dengan bangsa lain. Langkah ini hanya dapat dilakukan dengan memperbaiki kinerja
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

ekonomi nasional yang didukung struktur ekonomi yang kuat, pelaku ekonomi yang berdaya
saing tinggi, berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan yang tersebar di seluruh Wilayah
Nusantara dan meratanya pembangunan wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan. Dengan
demikian, diharapkan Indonesia akan dapat menarik manfaat dari integrasi ekonomi kawasan
yang berdaya saing tinggi dan terintegrasi dalam ekonomi global, sehingga pada gilirannya
akan memberikan manfaat ekonomi secara luas bagi seluruh rakyat Indonesia.

1.1.3 Perkembangan Ekonomi Nasional dan Pentingnya Peningkatan Ekonomi


Domestik Untuk Meredam Dampak Krisis Global
Saat ini, tingkat persaingan di antara negara-negara berkembang semakin tinggi. Era
globalisasi dan kesepakatan perdagangan bebas telah menyebabkan tipisnya batas antar
negara, rendahnya hambatan perdagangan barang dan jasa, serta semakin mudahnya arus
masuk dan keluar investasi dari suatu negara. Globalisasi telah mendorong semangat
persaingan antar negara, sehingga setiap negara dituntut untuk meningkatkan daya saingnya
dengan cara lebih produktif dan efisien. Hal ini menyebabkan produk barang dan jasa
domestik akan mengalami tingkat persaingan yang cenderung semakin tinggi, baik di pasar
global maupun di pasar domestik. Persaingan yang semakin ketat ini tidak hanya dirasakan di
tingkat nasional, tetapi juga akan sangat terasa di tingkat daerah.
Di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, perekonomian domestik harus tetap
terjaga dengan fundamental ekonomi yang tetap kokoh dan daya saing yang lebih baik.
Kondisi ini tentunya akan menjadi suatu keharusan bagi Indonesia dan masing-masing daerah
untuk terus bekerja keras dan bersaing dengan negara lain. Langkah ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan daya saing bangsa, memperbaiki kinerja ekonomi nasional yang
didukung struktur ekonomi yang kuat, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan yang
tersebar di seluruh Wilayah Nusantara dan meningkatkan pembangunan wilayah tertinggal
dan wilayah perbatasan.
Momentum pertumbuhan ekonomi perlu tetap dijaga agar peningkatan kesejahteraan rakyat
terutama pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran dapat dipercepat. Upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pun perlu dilakukan tanpa mengesampingkan
persoalan lingkungan. Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN 2010-2014) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan, pelaksanaan
pembangunan di pusat dan di daerah perlu dilaksanakan melalui empat jalur strategi, yaitu
pertumbuhan (pro-growth), kesempatan kerja (pro-job), pengentasan kemiskinan (pro-poor)
dan pelestarian lingkungan hidup (pro-environment).
Perekonomian domestik yang kuat, berdaya saing, berdaya tahan, menyejahterakan rakyat
serta stabil secara keseluruhan akan bergantung kepada daerah, terutama karena era otonomi
daerah. Dengan kata lain, tingginya daya saing daerah di Indonesia secara keseluruhan akan

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

menjadi ujung tombak daya saing nasional, yang akan menjadi faktor terpenting untuk
Indonesia dalam bersaing di tingkat global (PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE-UNPAD, 2008).
Peningkatan daya tahan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat serta pemantapan
stabilitas sosial politik tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga
menjadi tanggung jawab daerah.
Peningkatan perekonomian domestik, baik oleh daerah dan nasional akan menjadi modal
utama untuk menjaga momentum pembangunan dan melakukan percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi untuk menuju ke arah transformasi ekonomi menjadi negara maju
dan berdaya saing. Oleh sebab itu, peran daerah untuk meningkatkan daya saing daerahnya
akan sangat bergantung kepada kemampuan daerah untuk melakukan identifikasi faktor
penentu daya saing dan strategi untuk meningkatkan daya saing.
Sementara itu untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi, Pemerintah
telah meluncurkan berbagai kebijakan untuk mendorong implementasi dari Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Keberhasilan
pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut sangat ditentukan oleh peran aktif Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, bersama-sama dengan Pemerintah Pusat. Oleh
sebab itu, penguatan sinergi dan koordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi sangat penting untuk mendorong peningkatan daya
saing dan penguatan ekonomi domestik.

1.2 Maksud dan Tujuan


Buku Pegangan (Handbook) Perencanaan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah ini
dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang pentingnya peran perencanaan daerah
untuk mendukung penguatan perekonomian domestik, serta memberikan panduan bagi
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah tahun 2012 2013 dalam
menentukan strategi-strategi yang dapat memberikan kontribusi terhadap penguatan
perekonomian domestik bagi peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat.
Secara rinci, tujuan penyusunan Buku Pegangan (Handbook) Perencanaan Pemerintahan dan
Pembangunan Daerah Tahun 2012 2013 adalah sebagai berikut:
1.

Membangun kesepahaman tentang pentingnya dukungan daerah dalam mendorong


dan meningkatkan penguatan perekonomian domestik bagi peningkatan dan
perluasan kesejahteraan rakyat;

2.

Menjelaskan langkah-langkah perencanaan dan strategi yang perlu dilakukan oleh


pemerintah daerah dalam rangka mendukung penguatan perekonomian domestik
bagi peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat di daerah.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

BAB II
KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN
NASIONAL TAHUN
2013

BAB II
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2013
2.1 Target Pertumbuhan Ekonomi
Dengan berbagai tantangan yang ada, sasaran pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 adalah
sekitar 6,5 persen. Sementara itu, pada tahun 2013, diharapkan perekonomian dapat lebih
baik lagi dengan sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 - 7,2 persen. Investasi dan
konsumsi masyarakat pada tahun 2012 dan 2013 diharapkan akan menjadi sumber
pertumbuhan ekonomi, dengan target pertumbuhan untuk investasi adalah sebesar 10,9
persen pada tahun 2012 dan 11,9 - 12,3 persen pada tahun 2013.
Tabel 2.1
Sasaran Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2012 2013
PERTUMBUHAN EKONOMI ( persen)
Sisi Pengeluaran
Konsumsi Masyarakat
Konsumsi Pemerintah
PMTB
Ekspor Barang dan Jasa
Impor Barang dan Jasa
Sisi Produksi
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Bangunan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan, Jasa Usaha
Jasa-jasa
LAJU INFLASI ( persen)
PENGANGGURAN TERBUKA ( persen)
PENDUDUK MISKIN ( persen)
Sumber: Bappenas (RKP 2013 )

2012
6,5

2013
6,8 - 7,2

4,9
6,8
10,9
9,9
11,4

4,8 - 5,2
6,7 - 7,1
11,9 - 12,3
11,7 - 12,1
13,5 - 13,9

3,5
2,0
6,1
6,2
7,0
8,9
11,2
6,3
6,2
6,8
6,4-6,6
10,5-11,5

3,7 - 4,1
2,8 - 3,2
6,5 - 6,9
6,6 - 7,0
7,5 - 7,9
8,9 - 9,3
12,1 - 12,5
6,1 - 6,5
6,0 - 6,4
4,5 - 5,5
5,8 - 6,1
9,5 - 10,5

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 didorong dengan upaya meningkatkan investasi,
menjaga ekspor nonmigas, serta memberi dorongan fiskal dalam batas kemampuan keuangan
negara dengan mempertajam belanja negara. Koordinasi antara kebijakan fiskal, moneter dan
sektor riil, ditingkatkan untuk mendorong peran masyarakat dalam pembangunan ekonomi.
Sementara itu, daya beli masyarakat perlu dijaga untuk dapat tetap menjaga peran konsumsi
masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
dan stabilitas ekonomi yang terjaga tersebut, pengangguran terbuka akan menurun menjadi
5,8 - 6,1 persen dari angkatan kerja dan jumlah penduduk miskin menjadi 9,5 10,5 persen
pada tahun 2013.

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

2.2 Tujuh Arahan Presiden


Dalam mencapai sasaran pembangunan nasional yang tinggi, ditengah berbagai tantangan
yang ada, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya khusus. Untuk itu pada Sidang Kabinet
Paripurna 24 April 2012, Presiden memberikan 7 (tujuh) arahan pokok dalam upaya
mencapai target pertumbuhan ekonomi 2012 sebesar 6,5 persen. Adapun arahan tersebut
adalah:
1. Mendorong percepatan belanja pemerintah sehingga dapat menstimulasi
pertumbuhan ekonomi, termasuk didalamnya menyelesaikan perubahan Peraturan
Presiden (Perpres) No 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa Pemerintah;
2. Menjaga tingkat daya beli masyarakat dengan menjaga laju inflasi pada tingkat yang
rendah;
3. Mengoptimalkan program perlindungan sosial antara lain Jamkesmas, Program
Keluarga Harapan, PNPM, BOS dan Raskin;
4. Menerbitkan kebijakan yang mendorong pertumbuhan investasi;
5. Peningkatan daya saing ekspor, terutama produk ekspor non migas melalui
diversifikasi tujuan ekspor dengan meningkatkan keberagaman dan kualitas produk;
6. Penguatan perdagangan dalam negeri untuk menjaga kestabilan harga, kelancaran
barang serta menciptakan iklim usaha yang sehat;
7. Mengendalikan impor produk-produk yang berpotensi menurunkan daya saing
produk domestik di pasar dalam negeri.

2.3 Tema dan Prioritas RKP 2013


Dengan berbagai kondisi perkembangan ekonomi terkini tersebut, pemerintah melalui
mekanisme perencanaannya telah menyusun langkah-langkah pembangunan dalam Rencana
Kerja Pemerintah (RKP), baik yang sedang berjalan yaitu RKP 2012 maupun perencanaan
tahun depan dalam RKP 2013. Hal ini demi mencapai sasaran pembangunan 5 (lima) tahun
dalam RPJMN 2010-2014 yaitu Mewujudkan Indonesia yang Demokratis, Sejahtera dan
Berkeadilan. Adapun tema dari RKP, ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Pada tahun 2012, tema pembangunan nasional adalah: Percepatan dan Perluasan
Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas, Inklusif dan Berkeadilan bagi Peningkatan
Kesejahteraan Rakyat. Indonesia harus siap menghadapi situasi yang dinamis dan penuh
tantangan tersebut, menjaga momentum pertumbuhan yang telah dicapai, bahkan
mempercepat dan memperluas pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif serta
berkeadilan. Pertumbuhan ekonomi tersebut pada gilirannya harus dapat menciptakan

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

lapangan kerja yang lebih banyak dan pada gilirannya mempercepat pengurangan
kemiskinan.
Gambar 2.1
Tema Pembangunan Yang Tertuang Dalam RKP
2010

Pemulihan Perekonomian Nasional Dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat

2011

Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkeadilan Didukung Oleh Pemantapan Tatakelola Dan
Sinergi Pusat Dan Daerah

2012

Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkualitas, Inklusif dan Berkeadilan Bagi
Peningkatan Kesejahteraan Rakyat

2013

MEMPERKUAT PEREKONOMIAN DOMESTIK BAGI PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN


RAKYAT

Sumber: RKP 2013, Bappenas

Pada tahun 2013, tema pembangunan yang dituangkan dalam RKP adalah: Memperkuat
Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi, perlu didorong dengan kemampuan
pemerataan pembangunan yang lebih luas. Dalam kaitan dengan itu, potensi perekonomian
domestik yang besar akan ditumbuhkembangkan guna menghadapi berbagai tantangan
eksternal perlambatan perekonomian dunia. Daya tahan perekonomian terus diperkuat,
dengan peningkatan daya saing nasional terutama di sektor-sektor produksi, yaitu industri,
pertanian dan pariwisata. Semua ini perlu didorong dengan pembangunan infrastruktur,
penguatan kelembagaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta penyelesaian
berbagai hambatan perekenomian terutama melalui reformasi birokrasi dan pemberantasan
korupsi.
Sebagai penjabaran RPJMN 2010-2014, pembangunan nasional dalam RKP 2012 dan RKP 2013
dituangkan ke dalam 11 Prioritas Nasional dan 3 Prioritas Lainnya, termasuk di dalamnya
prakarsa-prakarsa baru yang terintegrasi dengan RPJMN dan RKP untuk menanggapi situasi
kekinian dan menjaga momentum positif yang telah dicapai sebagai hasil pembangunan
selama ini. Prakarsa-prakarsa baru tersebut menunjukkan bahwa Indonesia selalu siap dalam
mengantisipasi dan merespon berbagai perkembangan yang terjadi serta melakukan
perubahan untuk mencapai kemajuan dan hasil pembangunan yang lebih baik. Selanjutnya,
11 Proritas Nasional dan 3 Prioritas Lainnya ditunjukkan pada Gambar 2.2.

10

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Gambar 2.2
Prioritas Pembangunan Nasional RPJMN 2010-2014
Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola
Pendidikan
Kesehatan

Penanggulangan Kemiskinan
Ketahanan Pangan
Infrastruktur
Iklim Investasi dan Iklim Usaha
Energi
Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana
Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, & Pasca-konflik
Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi

Bidang Politik, Hukum dan Keamanan


Bidang Perekonomian
Bidang Kesejahteraan Rakyat

Sumber: RKP 2013, Bappenas

2.4 Isu Strategis 2013


Dalam tahun 2013, perekonomian domestik akan lebih ditingkatkan guna menghadapi
perekonomian dunia yang masih beresiko dan persaingan yang semakin ketat. Potensi
perekonomian domestik yang besar akan lebih didorong untuk berkembang. Investasi akan
terus didorong, baik investasi yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri, yang akan
didukung oleh pembangunan infrastruktur dan perbaikan iklim investasi. Pembangunan
infrastruktur dibangun untuk memperkuat national connectivity dan ketahanan energi,
melalui pembiayaan pemerintah, dunia usaha dan kerjasama pemerintah dan swasta. Untuk
itu hambatan perekonomian, terutama inefisiensi/hambatan-hambatan birokrasi, korupsi dan
pelayanan perijinan akan ditangani secara serius agar tercipta iklim investasi dan usaha yang
lebih baik. Pembangunan infrastruktur, penguatan kelembagaan, serta peningkatan
kesehatan dan pendidikan sangat penting untuk mendorong produktivitas ekonomi.
Kebijakan pemerintah dalam perkuatan ekonomi domestik telah dituangkan pada RKP 2013,
dimana terdapat empat isu strategis yang menjadi fokus pemerintah. Isu strategis tersebut
adalah peningkatan daya saing nasional, peningkatan daya tahan ekonomi, peningkatan dan
perluasan kesejahteraan rakyat dan pemantapan stabilitas sosial politik. Isu strategis yang
menjadi fokus pemerintah pada tahun 2013 ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

11

Gambar 2.3
Isu Strategis Pembangunan Nasional Dalam RKP 2013
Peningkatan Daya Saing

Peningkatan Iklim Investasi


dan Usaha;

Percepatan Pembangunan
Infrastruktur;

Peningkatan Pembangunan

Peningkatan Daya Tahan


Ekonomi

Peningkatan Ketahanan
Pangan: Menuju
Pencapaian Surplus Beras

10 juta ton;

Peningkatan Rasio

Industri di Berbagai Koridor

Elektrifikasi dan Konversi

Ekonomi;

Energi;

Peningkatan Dan
Perluasan Kesejahteraan

Pemantapan Stabilitas
Sospol

Rakyat

Peningkatan Pembangunan
Sumber Daya Manusia;

Percepatan Pengurangan
Kemiskinan: Sinergi Klaster
1-4;

Persiapan Pemilu 2014;


Perbaikan Kinerja Birokrasi
dan Pemberantasan

Korupsi;

Percepatan Pembangunan
Minimum Essential Force.

Penciptaan Kesempatan
Kerja khususnya Tenaga
Kerja Muda;

Sumber: RKP 2013 (diolah)

Peningkatan Daya Saing


Peningkatan daya saing nasional perlu ditingkatkan pada sektor-sektor produksi, utamanya
industri, pertanian dan pariwisata. Pembangunan industri didorong untuk meningkatkan nilai
tambah berbagai komoditi unggulan di berbagai Wilayah Indonesia, khususnya koridorkoridor ekonomi dalam kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Namun demikian, daya saing nasional dapat meningkat, jika daya saing daerah lebih baik.
Peningkatan daya saing nasional tidak dapat lepas dari kemampuan daerah untuk
meningkatkan daya saingnya. Oleh sebab itu, peningkatan daya saing nasional perlu dilakukan
melalui peningkatan daya saing daerah secara merata dan terintegrasi.
Dalam rangka peningkatan daya saing, iklim investasi akan terus diperbaiki, dengan indikator
pencapaiannya adalah target pertumbuhan investasi (Pembentukan Modal Tetap
Bruto/PMTB) sebesar 10,9 persen pada tahun 2012 dan 12,1 persen pada tahun 2013. Selain
itu, untuk peningkatan daya saing nasional akan dilakukan juga peningkatan iklim usaha,
dimana sasarannya adalah membaiknya indikator-indikator kemudahan berusaha yang ada
pada Ease of Doing Business. Target perbaikan iklim usaha pada tahun 2013 adalah: (1) waktu
memulai usaha turun menjadi 20 hari; (2) waktu perijinan mendirikan bangunan yang turun
menjadi 137 hari; (3) waktu perolehan akses listrik menjadi 90 hari; serta (4) waktu
pendaftaran properti menjadi 20 hari.
Sementara itu, langkah-langkah pemerintah untuk mencapai hal tersebut dituangkan pada
Prioritas Nasional 7, dengan upaya yang difokuskan pada: (1) penyederhanaan prosedur
investasi dan prosedur berusaha; (2) peningkatan efisiensi logistik nasional; (3)

12

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

pengembangan kawasan ekonomi


ketenagakerjaan.

khusus

(KEK); dan

(4)

harmonisasi

kebijakan

Percepatan pembangunan infrastruktur dilakukan untuk mendukung penguatan konektivitas


di dalam wilayah maupun antar wilayah. Selama ini telah diketahui bahwa arus barang di
Indonesia harus mengeluarkan biaya transportasi yang relatif tinggi sehingga tidak mampu
bersaing dengan komoditas impor. Melalui penguataan konektivitas antar wilayah dan di
dalam wilayah itu sendiri diharapkan akan menurunkan biaya transportasi barang dan jasa
khususnya ke daerah-daerah yang berada jauh dari lokus produksi barang yang nantinya akan
menguntungkan para pelaku usaha (produsen), masyarakat (konsumen) dan pemerintah.
Sasaran yang akan dicapai dalam percepatan pembangunan infrastruktur adalah kondisi
mantap jalan nasional yang mencapai 92,5 persen pada tahun 2013 dan pangsa angkutan laut
ekspor impor yang mencapai 12 persen.
Tabel 2.2
Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan Daya Saing
2011

ISU STRATEGIS
Peningkatan Iklim Investasi dan Usaha
a.
Peningkatan Investasi (%)
1
b.
Tingkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) :
Waktu untuk memulai usaha (hari)
Perijinan mendirikan bangunan (hari)
Perolehan akses listrik (hari)
Pendaftaran properti (hari)
2.
Percepatan Pembangunan Infrastruktur: Domestic Connectivity
a.
Kondisi Mantap Jalan Nasional (%)
b.
Pangsa Angkutan Laut Ekspor Impor (%)
c.
Pangsa Angkutan KA Barang (%)
d.
Pangsa Angkutan KA Penumpang terhadap Total Angkutan
Umum (%)
e.
Pertumbuhan Penumpang Angkutan Udara Dalam Negeri
(%/tahun)
f.
Pertumbuhan Penumpang Angkutan Udara Luar Negeri
(%/tahun)
g.
Ibukota Babupaten/Kota yang dilayani Jaringan Broadband
(%)
3.
Peningkatan Pembangunan Industri di Berbagai Koridor
Ekonomi
a.
Peningkatan Industri Pengolahan (%)
b.
Peningkatan Industri Pengolahan Nonmigas (%)
4.
Penciptaan Kesempatan Kerja khususnya Tenaga Kerja Muda
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
Peningkatan Keahlian untuk Bekerja (orang)
Peningkatan Kualitas Pemagangan Berdasarkan
Kebutuhan Industri (orang)
Peningkatan Akses Berusaha dan Berwirausaha bagi
Tenaga Kerja Muda (orang)
Sumber: RKP 2013, Bappenas

2012

2013

1.

8,8

10,9

11,1

45
158
108
22

36
145
108
22

20
137
90
20

88,50
11
1
6

90,50
11,5
2
8

92,50
12
3
10

9,78

10,50

11,50

12,30

12,50

13,00

66

76

83

6,2
6,8

6,1
6,6

6,7
7,2

6,6
449.099
34.150

6,4-6,6
395.434
58.500

6,0-6,4
502.880
34.750

40.367

32.530

52.080

Data pencapaian target kemudahan berusaha tahun ke-n akan diperoleh di awal tahun ke-n+1.
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

13

Peningkatan pembangunan industri di berbagai koridor ekonomi pada tahun 2013 akan
dilakukan dengan sasaran peningkatan industri pengolahan sebesar 6,7 persen dan
peningkatan industri pengolahan non migas sebesar 7,2 persen. Selain itu, peningkatan daya
saing ditargetkan pula dengan menurunnya tingkat pengangguran terbuka menjadi 6,0-6,4
persen pada tahun 2013.
Peningkatan Daya Tahan Ekonomi
Kebutuhan penyediaan pangan terus meningkat baik jumlah maupun kualitasnya seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk setiap tahun dan peningkatan pendapatan
masyarakat. Penyediaan pangan pokok seperti beras tidak bisa mengandalkan dari luar
negeri, oleh karena itu produksi dalam negeri harus ditingkatkan. Ketahanan pangan yang
kuat akan menjadi salah satu pendorong dalam menciptakan perekonomian yang berdaya
tahan. Dalam hal ini, beberapa langkah yang akan dilakukan pemerintah yang dimasukkan
dalam isu strategis ketahanan pangan adalah: (1) peningkatan produksi pangan, termasuk
upaya menuju surplus beras 10 juta ton per tahun mulai tahun 2014 serta pencapaian
produksi perikanan 22,39 juta ton pada tahun 2014; (2) pengembangan diversifikasi pangan;
(3) stabilisasi harga bahan pangan dalam negeri; dan (4) peningkatan kesejahteraan petani.
Selain itu, tersedianya energi juga merupakan salah satu faktor pendukung daya tahan
ekonomi nasional. Ketersediaan listrik di seluruh wilayah Indonesia merupakan suatu
keharusan, untuk itu pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi (RE) sebesar 77,6 persen.
Konversi energi dalam upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM, mengurangi
subsidi energi, meningkatkan aksesibilitas terhadap infrastruktur energi dan meningkatkan
pasokan energi domestik juga menjadi fokus pemerintah. Dalam kaitan itu, pemerintah akan
terus melanjutkan pembangunan infrastruktur energi dalam bentuk gas serta jaringan
distribusinya.
Tabel 2.3
Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan Daya Tahan Ekonomi
ISU STRATEGIS
Peningkatan Ketahanan Pangan: Menuju Pencapaian Surplus
Beras 10 juta ton
a. Produksi Padi (juta ton GKG)
b. PenurunanKonsumsi Beras (%/tahun)
c. Pencetakan Sawah Baru (ribu ha)
2.
Peningkatan Rasio Elektrifikasi dan Konversi Energi
Peningkatan Rasio Elektrifikasi
a. Rasio Elektrifikasi (%)
b. Rasio Desa Berlistrik (%)
c. Kapasitas Pembangkit (MW)
Pelaksanaan Konversi Gas
a. Pembangunan Jaringan Distribusi Gas untuk Rumah Tangga
(kota)
b. Sambungan Gas ke Rumah Tangga
Sumber: RKP 2013, Bappenas

2011

2012

2013

1.

14

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

65,7
1,5
62,1

67,8
1,5
100

72,1
1,5
100

72,95
96,02
37.353

73,60
96,70
43.653

77,60
97,80
48.555

17.939

16.000

16.000

Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat


Perekonomian domestik yang kuat tentunya ditujukan untuk peningkatan dan perluasan
kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini perlu didorong dengan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas, yaitu berpendidikan dan sehat. Layanan pendidikan yang berkualitas, terjangkau,
relevan dan efisien menjadi kebutuhan mendasar dalam menciptakan SDM yang cerdas,
terampil, produktif, mandiri, berbudi pekerti luhur, serta memiliki karakter bangsa yang kuat.
Isu strategis pendidikan diarahkan untuk pemenuhan layanan pendidikan dasar, menengah,
tinggi yang berkualitas, berdaya saing dan selaras dengan kebutuhan pembangunan.
Sementara itu, peningkatan kualitas SDM yang sehat juga perlu diraih dengan peningkatan
akses dan layanan kesehatan yang berkualitas, merata, terjangkau dan terlindungi bagi
penduduk Indonesia. Antara lain dengan: (1) peningkatan akses pelayanan kesehatan dan gizi
yang berkualitas bagi ibu dan anak; (2) peningkatan pengendalian penyakit menular dan tidak
menular serta penyehatan lingkungan; (3) peningkatan profesionalisme dan pendayagunaan
tenaga kesehatan yang merata; (4) peningkatan jaminan pembiayaan kesehatan; (5)
peningkatan ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan, jaminan keamanan, khasiat/manfaat
dan mutu obat, alat kesehatan dan makanan, serta daya saing produk dalam negeri; (6)
peningkatan akses pelayanan KB berkualitas yang merata.
Peningkatan dan perluasan kesejahteraan masyarakat perlu didukung dengan upaya-upaya
penanggulangan kemiskinan. Saat ini pemerintah sedang menyusun dokumen Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) 2011-2025. MP3KI
diarahkan untuk mendorong perwujudan pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan,
khususnya bagi masyarakat miskin dan marjinal sehingga dapat terlibat langsung dan
menerima manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. MP3KI merupakan kebijakan
afirmatif dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi yang pro-growth, pro-poor, projob dan pro-environment.
Tabel 2.4
Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
1.

ISU STRATEGIS
Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia
Pendidikan
a.
Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15 Tahun ke
Atas (tahun)
b.
Angka Buta Aksara Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas (%)
c.
APM SD/SDLB/MI/Paket A (%)
d.
APM SMP/SMPLB/MTs/Paket B (%)
e.
APK SD/SDLB/MI/Paket A (%)
f.
APK SMP/SMPLB/MTs/Paket B (%)
g.
APK SMA/SMK/MA/Paket C (%)
h.
APK PT usia 19-23 Tahun (%)
i.
APS Penduduk Usia 7-12 Tahun (%)
j.
APS Penduduk Usia 13-15 Tahun (%)

2011

2012

2013

7,75

7,85

8,25

5,17
95,3
74,7
117,6
101,5
76,0
26,1
98,1
90,3

4,8
95,7
75,4
118,2
103,9
79,0
27,4
98,7
93,6

4,40
95,80
76,00
118,6
106,8
82,0
28,24
99,0
95,0

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

15

ISU STRATEGIS
Kesehatan
a.
Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan dan Gizi yang Berkualitas
bagi Ibu dan Anak

Persentase Ibu Bersalin yang Ditolong oleh Tenaga Kesehatan


Terlatih (cakupan PN)

Persentase Bayi Usia 0-11 Bulan yang Mendapat Imunisasi


Dasar Lengkap

Persentase Balita Ditimbang Berat Badannya (D/S)

Jumlah Puskesmas yang Mendapatkan Bantuan Operasional


Kesehatan
b.
Peningkatan Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak Menular
serta Penyehatan Lingkungan

Persentase Kasus Baru TB Paru (BTA positif) yang


Disembuhkan

Angka Penemuan Kasus Malaria per 1.000 Penduduk

Persentase Provinsi yang memiliki Perda tentang Kawasan


Tanpa Rokok (KTR)

Jumlah Desa yang Melaksanakan Sanitasi Total Berbasis


Masyarakat (STBM)
c.
Peningkatan Profesionalisme dan PendayagunaanTenaga
Kesehatan yang Merata

Persentase Pemenuhan Kebutuhan SDM Aparatur (PNS dan


PTT)

Jumlah Tenaga Kesehatan yang Didayagunakan dan Diberi


Insentif di DTPK dan di DBK
d.
Peningkatan Jaminan Pembiayaan Kesehatan

Jumlah TT Kelas III RS yang Digunakan untuk Pelayanan


Kesehatan (new initiave)

Jumlah Puskesmas yang Memberikan Pelayanan Kesehatan


Dasar bagi Penduduk Miskin
e.
Peningkatan Ketersediaan, Pemerataan, Keterjangkauan, Jaminan
Keamanan, Khasiat/Manfaat dan Mutu Obat, Alat Kesehatan dan
Makanan, serta Daya Saing Produk Dalam Negeri

Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin


f.
Peningkatan Akses Pelayanan KB Berkualitas yang Merata

Jumlah Peserta KB baru dari Keluarga Miskin (KPS dan KS-I)


yang Mendapatkan Jaminan Ketersediaan Kontrasepsi (juta
akseptor)

Jumlah Klinik KB Pemerintah dan Swasta yang Mendapatkan


Dukungan Sarana dan Prasarana Pelayanan KB

Jumlah Klinik KB Pemerintah dan Swasta yang Mendapat


Dukungan Penggerakan Pelayanan KB

Persentase Komplikasi Berat dan Kegagalan KB yang Dilayani

Jumlah PPLKB, PLKB/PKB dan IMP yang Mendapatkan


Dukungan Operasional dan Mekanisme Operasional
Lapangan

Jumlah Peserta KB yang Berasal dari Anggota Kelompok BKB


yang Mendapatkan Penggerakan Rintisan BKB dan Penguatan
Kelembagaan BKB (New Inisiative)
- Kelompok Rintisan
- Kelompok Paripurna

Jumlah provinsi sebagai model manajemen pelayanan KB dan


kesehatan reproduksi (program KB Kencana) (New Inisiative)

16

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

2011

2012

2013

86,3

88

89

84,7

85

88

71,4
8.608

75
9.236

80
9.323

86,2

87

87

1,75
63,6

1,5
80

1,25
90

6.235

11.000

16.000

62,2

80

85

1.376

3.820

5.320

9.600

9.125

9.236

9.323

87

90

95

4,29

3,89

3,97

4.700

4.700

4.700

23.500

23.500

23.500

0,11
-

0,11
501.593

0,11
745.491

702
444
4

ISU STRATEGIS
2. Percepatan Pengurangan Kemiskinan: Sinergi klaster 1-4
a.
Penurunan Angka Kemiskinan (%)

Klaster I
- PKH (juta RTSM)
- Raskin (juta RTS)

2011

- Jamkesmas (juta RTS)


- Beasiswa Miskin
i. SD/MI s/d SMA/MA/SMK (ribu siswa)
ii. PT Umum dan Islam (ribu mahasiswa)

Klaster II
- PNPM Perdesaan (Kecamatan)
- PNPM Perkotaan (Desa/Kelurahan)

Klaster III
- Perluasan Kredit Usaha Rakyat
i. Jumlah Provinsi
ii. Jumlah UMKM

Klaster IV
- Pembangunan Perumahan Swadaya/Rumah Sangat Murah
(ribu unit)
Sumber: RKP 2013, Bappenas

2012

2013

12,5

10,5-11,5

9,5-10,5

1,116
17,5

1,516
17,5

8,61

9,24

2,4
2
17,5
3
15,5
9,33

4.950,5
239,5

7.698,6
303,9

14.068,0
186,0

5.020
10.948

5.100
10.948

5.230
10.922

33

33
27.520

33
27.520

60

298,25

Pemantapan Stabilitas Sosial dan Politik


Perekonomian domestik yang kuat perlu didukung oleh kemantapan stabilitas sosial dan
politik. Dalam rangka hal tersebut, reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan perlu
terus ditingkatkan baik di pusat dan daerah. Reformasi birokrasi di daerah harus sejalan
dengan pemantapan penataan otonomi daerah agar kapasitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah makin meningkat, khususnya dalam pengelolaan pemerintahan dan
pembangunan.
Sementara itu, kondisi sosial dan politik menuju pemilu 2014 juga perlu terus dijaga.
Tantangan penyelenggaraan pemilu sangat besar dan masyarakat menaruh harapan luar biasa
pada penyelenggaraan pemilu agar dapat berlangsung secara jujur, adil, demokratis dan
aman.
Tabel 2.5
Sasaran Pokok Isu Strategis Pemantapan Stabilitas Sosial dan Politik
1.
2.

ISU STRATEGIS
Persiapan Pemilu 2014
Tingkat Partisipasi Politik Tahun 2014 (%)
Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi
a. Indeks Persepsi Korupsi
b. Opini WTP atas Laporan Keuangan (%)
Kementerian/Lembaga
Provinsi
Kabupaten/Kota
2
3

2011

2012

2013
75

1)

3,0

3,2

4,0

63
18
8,5

80
40
20

100
60
40

Jan-Jun, PPLS 2008


Jul-Des, PPLS 2011
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

17

ISU STRATEGIS
Integritas Pelayanan Publik (Pusat)
Integritas Pelayanan Publik (Daerah)
Jumlah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Daerah (%)
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (%)
Kementerian/Lembaga
Provinsi
Kabupaten/Kota
g. Instansi Pemerintah yang Akuntabel (%)
Kementerian/Lembaga
Provinsi
Kabupaten/Kota
3.
Percepatan Pembangunan Minimum Essential Force
Peningkatan Alutsista (%)
a. Matra Darat
b. Matra Laut
c.
Matra Udara
Sumber: RKP 2013, Bappenas
c.
d.
e.
f.

18

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

2011
7,07
6,00
85

2012
7,25
6,5
90

2013
7,5
7,0
100

21
-

80
100
15

100
100
40

82,93
63,33
12,78

85
65
30

90
70
50

17
15
22

30
19
24

37
21
31

Foto: Humas Bappenas

BAB III
KONDISI TERKINI
DAERAH

BAB III
KONDISI TERKINI DAERAH
3.1 Kondisi Ekonomi Nasional
3.1.1 Pertumbuhan Ekonomi
Pada tahun 2011, kinerja ekonomi Indonesia sangat baik dengan pertumbuhan ekonomi yang
mencapai 6,5 persen, atau lebih tinggi dari tahun 2010 yang tumbuh 6,2 persen. Sementara
itu, inflasi bisa ditekan hingga 3,8 persen, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 7,0
persen. Tingkat pengangguran terbuka serta penduduk miskin juga menurun hingga mencapai
masing-masing sebesar 6,6 persen dan 12,5 persen.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 terutama ditopang oleh ketahanan domestik berupa
investasi yang meningkat dan daya beli masyarakat yang terjaga serta ekspor barang dan jasa
yang tetap tumbuh. Stabilitas ekonomi Indonesia pada tahun 2011 masih terjaga di tengah
berbagai krisis eksternal.
Di sisi pengeluaran, investasi berupa Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada tahun
2011 meningkat dengan pertumbuhan sebesar 8,8 persen. Pengeluaran pemerintah juga
meningkat sebesar 3,2 persen. Sementara itu, konsumsi masyarakat tetap tumbuh sebesar
4,7 persen, sama dengan tahun sebelumnya. Di lain pihak, ekspor dan impor tumbuh
melambat karena dampak dari krisis global, dimana pertumbuhannya masing-masing sebesar
13,6 persen dan 13,3 persen.
Di sisi produksi, sektor pertanian tumbuh 3,0 persen dan sektor industri pengolahan
diperkirakan tumbuh 6,2 persen. Sektor tersier yang meliputi listrik, gas dan air bersih;
konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan telekomunikasi; keuangan,
real estat dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa tumbuh masing-masing sebesar 4,8 persen; 6,7
persen; 9,2 persen; 10,7 persen; 6,8 persen; serta 6,7 persen.
Kemudian pada Triwulan I tahun 2012, perekonomian Indonesia tetap tumbuh baik dengan
laju sebesar 6,3 persen. Konsumsi masyarakat dan investasi menjadi pendorong utama
pertumbuhan ekonomi di sisi pengeluaran, dimana kontribusi keduanya terhadap
pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5,1 persen. Di sisi produksi, sektor yang memberikan
sumbangan terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran; Sektor Industri Pengolahan dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi.
Pada tahun 2012 ini, sasaran pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 6,5 persen. Tingkat
pertumbuhan ini diperkirakan dikontribusikan oleh antara lain pertumbuhan konsumsi
masyarakat sebesar 4,9 persen, konsumsi pemerintah sebesar 6,8 persen dan PMTB sebesar
10,9 persen. Sementara itu ekspor dan impor diperkirakan hanya tumbuh sebesar 9,9 persen

22

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

dan 11,4 persen dikarenakan kondisi ekonomi dunia yang masih belum pulih.
Tabel 3.1
Gambaran Ekonomi Makro Tahun 2010 2012
PERTUMBUHAN EKONOMI ( persen)
Sisi Pengeluaran
Konsumsi Masyarakat
Konsumsi Pemerintah
PMTB
Ekspor Barang dan Jasa
Impor Barang dan Jasa
Sisi Produksi
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Bangunan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan, Jasa Usaha
Jasa-jasa
LAJU INFLASI ( persen)
PENGANGGURAN TERBUKA ( persen)
PENDUDUK MISKIN ( persen)
Sumber: Bappenas (RKP 2013)

2010
6,2

2011
6,5

2012 (Sasaran)
6,5

4,7
0,3
8,5
15,3
17,3

4,7
3,2
8,8
13,6
13,3

4,9
6,8
10,9
9,9
11,4

3,0
3,6
4,7
5,3
7,0
8,7
13,4
5,7
6,0
7,0
7,1
13,3

3,0
1,4
6,2
4,8
6,7
9,2
10,7
6,8
6,7
3,8
6,6
12,5

3,5
2,0
6,1
6,2
7,0
8,9
11,2
6,3
6,2
6,8
6,4-6,6
10,5-11,5

Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi tahun 2012 diperkirakan dikontribusikan oleh
antara lain pertumbuhan sektor pertanian, pertambangan dan industri pengolahan masingmasing sebesar 3,5 persen, 2,0 persen dan 6,1 persen. Sementara itu sektor listrik, gas dan air
bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan telekomunikasi;
keuangan, real estat dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa masing-masing diperkirakan tumbuh
sebesar 6,2 persen; 7,0 persen; 8,9 persen; 11,2 persen; 6,3 persen dan 6,2 persen.

3.1.2 Tingkat Kemiskinan


Secara nasional, jumlah penduduk miskin selama periode 2006-2012 mengalami penurunan
yang signifikan, dari 39,3 juta jiwa pada 2006 menjadi 29,13 juta jiwa pada 2012 sehingga
selama periode tersebut jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 10,17 juta jiwa atau
secara rata-rata sebesar 1,45 juta jiwa per tahun (Gambar 3.1). Tren yang serupa juga terjadi
dalam perkembangan persentase penduduk miskin dalam periode yang sama, dimana terjadi
penurunan yang tajam dari sekitar 17,75 persen pada 2006 menjadi sekitar 11,96 persen pada
2012. Dengan demikian, selama periode 2006-2012 terjadi penurunan persentase penduduk
miskin sekitar 32,6 persen atau secara rata-rata sekitar 4,65 persen per tahun.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

23

Gambar 3.1
Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin Tahun 2006 - 2012
45

39,3

40

37,17

35

34,96

32,53

31,02

30,02

29,13

14,15

13,33

12,49

11,96

2009

2010

2011

2012

30
25

17,75

20

16,58

15,42

15
10
5
0
2006

2007

2008

Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa)

Persentase Penduduk Miskin (%)

Sumber: BPS

Dengan menggunakan data kemiskinan yang mutakhir (Susenas, Maret 2012), jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada Maret tahun 2012 sebesar 29,13 juta orang (11,96
persen). Apabila dibandingkan dengan perhitungan jumlah penduduk miskin berdasarkan
Susenas Maret 2011 yang berjumlah 30,02 juta (12,49 persen) maka terjadi penurunan
jumlah penduduk miskin sebesar 0,13 juta orang selama periode Maret 2011 Maret 2012.
Selama periode tersebut, jumlah penduduk miskin menurut kawasan baik perkotaan maupun
perdesaan masing-masing turun menjadi 3,61 persen dan 2,6 persen. Jumlah penduduk
miskin di perkotaan berkurang sebesar 0,40 juta orang, sementara di perdesaan berkurang
sebesar 0,49 juta orang (Tabel 3.2). Selama periode tersebut, persentase penduduk miskin di
perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah.
Tabel 3.2
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kawasan
Kawasan
Perkotaan
Maret 2011
September 2011
Maret 2012
Perdesaan
Maret 2011
September 2011
Maret 2012
Perkotaan+Perdesaan
Maret 2011
September 2011
Maret 2012
Sumber: BPS

24

Jumlah Penduduk Miskin (Juta)

Persentase Penduduk Miskin (%)

11,05
10,95
10,65

9,23
9,09
8,78

18,97
18,94
18,48

15,72
15,59
15,12

30,02
29,89
29,13

12,49
12,36
11,96

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: (1) inflasi umum yang relatif rendah, (2) penurunan harga eceran
beberapa komoditas bahan pokok, (3) perbaikan penghasilan petani yang ditunjukkan dengan
naiknya nilai tukar petani, (4) terjaganya kinerja pertumbuhan ekonomi nasional sampai
dengan triwulan III dan (5) penurunan tingkat pengangguran terbuka.
Berdasarkan wilayah, persentase penduduk miskin terbesar di Wilayah Maluku dan Papua,
yaitu sebesar 24,77 persen, sementara persentase penduduk miskin terkecil di Wilayah
Kalimantan, yaitu sebesar 6,69 persen. Namun demikian, apabila dilihat dari jumlah penduduk
maka sebagian besar penduduk miskin terkonsentrasi di Wilayah Jawa, yaitu sebesar 16,11
juta orang, sementara jumlah penduduk miskin terkecil berada di Wilayah Kalimantan, yaitu
sebesar 0,95 juta orang (Tabel 3.3).
Tabel 3.3
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Wilayah (Maret 2012)
Pulau
Sumatera
Jawa
Bali dan Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Papua
Indonesia

Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa)


Kota
Desa
Kota+Desa
2.075,54
4.225,33
6.300,87
7.209,94
8.897,26
16.107,20
640,23
1.393,71
2.033,94
266,15
688,42
954,57
341,04
1.756,20
2.097,24
114,33
1.524,27
1.638,60
10.647,23
18.485,19
29.132,42

Persentase Penduduk Miskin (%)


Kota
Desa
Kota+Desa
10,15
13,30
12,07
8,84
15,46
11,57
12,13
17,03
15,11
4,41
8,37
6,69
5,70
14,86
11,78
5,88
32,64
24,77
8,78
15,12
11,96

Sumber: BPS

Pada periode Maret 2011Maret 2012 secara umum terjadi perbaikan kondisi penduduk
miskin yang ditunjukkan adanya penurunan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2). Nilai P1 turun dari 2,08 pada Maret 2011 menjadi 1,88 pada
Maret 2012, sementara nilai P2 turun dari 0,55 menjadi 0,47 pada periode yang sama (Tabel
3.4). Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran
penduduk miskin cenderung semakin mendekati garis kemiskinan serta berkurangnya
ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Berdasarkan kawasan, nilai P1 dan P2 di
perdesaan masih tetap lebih tinggi daripada di perkotaan. Pada Maret 2012, nilai P1 untuk
perkotaan hanya 1,40 sementara di perdesaan mencapai 2,36. Selanjutnya, nilai P2 untuk
perkotaan hanya 0,36 sementara di perdesaan mencapai 0,59. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa tingkat kemiskinan di perdesaan lebih buruk daripada di perkotaan.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

25

Tabel 3.4
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Menurut Kawasan
Indeks

Kota

Desa

Kota+Desa

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)


Maret 2011
September 2011
Maret 2012

1,52
1,48
1,40

2,63
2,61
2,36

2,08
2,05
1,88

0,39
0,39
0,36

0,70
0,68
0,59

0,55
0,53
0,47

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)


Maret 2011
September 2011
Maret 2012
Sumber: BPS

3.1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka


Secara nasional, tingkat pengangguran terbuka (TPT) cenderung terus menurun selama lima
tahun terakhir. Pada bulan Februari 2012 TPT nasional telah mencapai 6,32 persen, menurun
cukup tinggi dari TPT pada tahun 2008 yang masih sebesar 8,46 persen. Antara 2011 2012,
jumlah angkatan kerja bertambah 1,01 juta orang menjadi sebesar 120,41 juta. Dalam kurun
waktu tersebut jumlah kesempatan kerja baru yang tercipta sebesar 1,52 juta orang, sehingga
dengan demikian jumlah penganggur menurun sekitar 500 ribu orang.

Juta Orang

Gambar 3.2
Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Tahun 2008 2012
140

14%

120

12%

100

10%

80

8,46%

8%
8,14%

7,41%

60

6,80%

6%
6,32%

40

4%

20

2%

0%
2008

2009

Angkatan Kerja

2010

Bekerja

Sumber: Sakernas, BPS

26

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

2011

Penganggur Terbuka

2012

TPT

3.2 Kondisi Ekonomi Daerah


3.2.1 Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Daerah
Ukuran pasar domestik di dalam perekonomian daerah tergambar dari besarnya nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) dan jumlah penduduk. Pasar yang besar memiliki daya tarik
yang lebih tinggi bagi investor karena menawarkan beberapa keuntungan (agglomeration
economies). Pertama, pasar yang besar memfasilitasi para pelaku usaha untuk berproduksi
pada skala ekonomi yang optimal. Kondisi ini akan meningkatkan daya saing perusahaanperusahaan di daerah tersebut karena mampu berproduksi secara lebih efisien. Kedua,
semakin besar ukuran pasar semakin besar pula kemungkinan terjadinya linkages atau
keterkaitan, baik keterkaitan ke belakang maupun keterkaitan ke depan. Di perekonomian
yang besar, para pelaku usaha akan lebih mudah menemukan pembeli, penyuplai bahan
baku, maupun industri pengguna produknya untuk diolah lebih lanjut. Ketiga, daerah-daerah
dengan populasi besar juga memfasilitasi berfungsinya pasar tenaga kerja secara lebih efisien.
Dalam hal ini pengusaha akan lebih mudah menemukan tenaga kerja dengan spesialisasi yang
sesuai dengan kebutuhan di daerah padat penduduk dibandingkan dengan di daerah
berpenduduk sedikit. Bagi pekerja kondisi ini juga memberikan manfaat bagi peningkatan
spesialisasi. Kondisi ini berpotensi meningkatkan produktivitas dalam perekonomian.
Keuntungan aglomerasi yang terakhir adalah adanya eksternalitas positif dari
terkonsentrasinya industri dan investasi di suatu lokasi, berupa limpahan (spillover) informasi
dan pengetahuan.
Gambar 3.3
PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2010
12
8

600

4
300

Persen

Rp Triliun

900

NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua

PDRB ADHB Th. 2010 (Rp Trilyun)

(4)

Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi 2005-2010

Sumber: BPS

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

27

Pola di atas juga nampak dalam kinerja perekonomian daerah (provinsi) di Indonesia. PDRB
provinsi-provinsi di Jawa mendominasi PDRB provinsi-provinsi lainnya dalam hal peran PDRB
terhadap perekonomian nasional. DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat adalah tiga provinsi
dengan PDRB terbesar, masing-masing berperan sebesar 16,4 persen, 14,8 persen dan 14,7
persen terhadap perekonomian nasional (total PDRB 33 provinsi). Sementara itu Maluku
Utara, Gorontalo dan Maluku merupakan tiga provinsi dengan PDRB terkecil secara nasional
dengan peran masing-masing kurang dari 0,2 persen.
Provinsi-provinsi di Jawa juga masih merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Wilayah lain yang memiliki kinerja pertumbuhan baik adalah Sulawesi. Bahkan dalam lima
tahun terakhir kinerja pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Sulawesi termasuk yang
paling tinggi di antara provinsi-provinsi lainnya. Bila kecenderungan ini terus berlanjut maka
peran Wilayah Sulawesi yang saat ini relatif kecil akan semakin meningkat dan semakin
penting sebagai pendorong pertumbuhan Wilayah Kawasan Timur Indonesia.

3.2.2 Tingkat Kemiskinan Per Provinsi


Secara geografis, konsentrasi penduduk miskin pada tahun 2011 masih berada di Wilayah
Jawa, terutama di Jawa Barat (4,7 juta jiwa), Jawa Tengah (5,1 juta jiwa) dan Jawa Timur (5,4
juta jiwa). Diluar ketiga provinsi tersebut masih terdapat provinsi-provinsi lain dengan jumlah
penduduk miskin lebih dari 1 juta orang, yaitu Sumatera Utara (1,4 juta jiwa), Sumatera
Selatan (1,07 juta jiwa), Lampung (1,2 juta jiwa) dan Nusa Tenggara Timur (1,01 juta jiwa).
Secara nasional, Jawa Timur memiliki jumlah penduduk miskin terbesar, sedangkan Papua
memiliki persentase penduduk miskin terbesar (Gambar 3.4).
Gambar 3.4
Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin Per Provinsi Tahun 2011
6,0

35

5,0

30
25

4,0

20

3,0

15

2,0

10

0,0

0
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua

1,0

Jumlah Penduduk Miskin (Juta Jiwa)


Sumber: BPS

28

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Persentase Penduduk Miskin (%)

Dalam publikasi yang berjudul Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi


Indonesia, 2012, Badan Pusat Statistik (BPS) telah memetakan kabupaten/kota di masingmasing provinsi yang memiliki persentase penduduk miskin tertinggi dan terendah pada 2010.
Dari pemetaan tersebut tercatat bahwa kabupaten Deyai di provinsi Papua memiliki
persentase penduduk miskin tertinggi secara nasional, yaitu sekitar 49,58 persen, sedangkan
kota Tangerang Selatan memiliki persentase penduduk miskin terendah, yaitu sekitar 1,67
persen.
Tabel 3.5
Kabupaten/Kota Dengan Persentase Penduduk Miskin Tertinggi dan Terendah
Per Provinsi Tahun 2010
Provinsi

Kabupaten/Kota

NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara

Kab. Bener Meriah


Kota Gunungsitoli
Kab. Kepulauan Mentawai
Kab. Kepulauan Meranti
Kab. Lingga
Kab. Tanjung Jabung Timur
Kab. Musi Banyuasin
Kab. Belitung Timur
Kab. Bengkulu Selatan
Kab. Lampung Utara
Kab. Kepulauan Seribu
Kota Tasikmalaya
Kab. Pandeglang
Kab. Purbalingga
Kab. Kulon Progo
Kab. Sampang
Kab. Jembrana
Kab. Lombok Utara
Kab. Sabu Raijua
Kab. Landak
Kab. Barito Timur
Kab. Hulu Sungai Utara
Kab. Malinau
Kab. Bolaang Mongondow
Selatan
Kab. Boalemo
Kab. Tojo Una Una
Kab. Pangkajene Kepulauan
Kab. Polewali Mamasa
Kab. Kolaka Utara
Kab. Maluku Barat Daya
Kab. Halmahera Tengah
Kab. Deiyai
Kab. Teluk Bintuni

Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat

Tertinggi
%
26,23
33,87
19,77
42,57
15,83
12,41
20,06
10,36
22,64
28,19
13,07
20,71
11,14
24,58
23,15
32,47
8,11
43,14
41,16
14,06
10,51
7,76
15,31
18,84
19,84
24,07
19,26
21,24
20,06
39,28
24,57
49,58
47,62

Kabupaten/Kota
Kota Banda Aceh
Kab. Deli Serdang
Kota Sawahlunto
Kota Pekan Baru
Kab. Kepulauan Anambas
Kota Sungai Penuh
Kab. OKU Timur
Kab. Bangka Barat
Bengkulu Tengah
Kab. Tulangbawang Barat
Kota Jakarta Timur
Kota Depok
Kota Tangerang Selatan
Kota Semarang
Kota Yogyakarta
Kota Batu
Kota Denpasar
Kota Bima
Kab. Flores Timur
Kab. Sanggau
Kota Palangka Raya
Kab. Banjar
Kota Balikpapan
Kota Manado
Kota Gorontalo
Kota Palu
Kota Makassar
Kab. Mamuju Utara
Kota Kendari
Kota Ambon
Kota Ternate
Kab. Merauke
Kota Sorong

Terendah
%
9,19
5,34
2,48
4,20
4,80
3,64
9,81
5,25
6,43
7,63
3,40
2,84
1,67
5,12
9,75
5,11
2,21
12,80
9,61
5,02
5,31
3,34
4,07
6,51
5,49
9,98
5,86
6,20
8,02
7,67
4,53
14,54
14,03

Sumber : BPS

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

29

Dari data tersebut terlihat pula bahwa terdapat 5 (lima) provinsi yang memiliki
kabupaten/kota dengan persentase penduduk miskin tertinggi diatas 40 persen, yaitu Riau,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat. Selanjutnya, nilai
terendah persentase penduduk miskin kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat sekitar 14
persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai persentase penduduk
miskin kabupaten/kota baik nilai tertinggi maupun terendah, tingkat kemiskinan di Wilayah
Indonesia Timur sangat serius sehingga memerlukan perhatian yang khusus baik dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

3.2.3 Tingkat Pengangguran Per Provinsi


Distribusi Regional
Berdasarkan Sakernas Agustus 2011, jumlah tenaga kerja yang berstatus penganggur di
Indonesia adalah sebanyak 7,7 juta orang, yang merupakan 6,56 persen dari keseluruhan
angkatan kerja yang berjumlah sekitar 117,37 juta orang. Distribusi jumlah penganggur
menurut masing-masing provinsi dapat dilihat pada Gambar 3.5.

Banten

Jawa Barat

DKI Jakarta

Maluku

Kalimantan Timur

Riau

Sulawesi Utara

NAD

Sulawesi Selatan

Papua Barat

INDONESIA

Sumatera Utara

Kep. Riau

Sumatera Barat

Sumatera Selatan

Maluku Utara

TPT 2010

Jawa Tengah

DI Yogyakarta

Kep. Bangka Belitung

Jambi

Lampung

Nusa Tenggara Barat

Gorontalo

Kalimantan Selatan

Kalimantan Barat

Sulawesi Tenggara

Bengkulu

Sulawesi Tengah

Jawa Timur

Papua

Kalimantan Tengah

Nusa Tenggara Timur

Bali

Sulawesi Barat

3,06
3,25
3,34
3,55
4,14
4,25
4,59
4,61
4,61
4,62
5,16
5,25
5,29
5,39
5,57
5,63
5,69
6,03
6,21
6,65
6,90
6,95
7,14
7,43
7,68
8,37
8,37
8,72
9,61
9,97
10,10
10,33
11,05
13,68

2,86
2,70
2,67
3,72
3,66
4,18
3,41
4,27
4,34
4,99
4,61
5,62
5,35
3,85
5,24
3,25
5,47
5,62
6,07
6,07
7,04
7,14
6,56
7,18
8,28
8,27
6,69
7,17
9,19
7,72
10,21
9,84
10,83
13,50

Gambar 3.5
Tingkat Pengangguran Terbuka Per Provinsi (%) Tahun 2010 - 2011

TPT 2011

Sumber: Sakernas, BPS

Konsentrasi penganggur di Indonesia berada di Wilayah Indonesia Barat. Mayoritas


penganggur yang berada di Pulau Jawa dan Bali berjumlah 5,08 juta orang atau sekitar 64,0
persen dari total penganggur Indonesia. Sementara itu penganggur di Pulau Sumatera

30

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

berjumlah sekitar 1,44 juta orang, atau sekitar 18,5 persen dari total penganggur Indonesia.
Dua bagian kawasan barat Indonesia ini telah menampung sekitar 85,0 persen total
penganggur Indonesia atau 6,52 juta. Provinsi dengan jumlah penganggur terbesar adalah
Jawa Barat (1,9 juta orang), diikuti oleh Jawa Tengah (1,0 juta orang) dan juga Jawa Timur
(821,6 ribu orang). Tiga provinsi ini memberikan kontribusi hampir sekitar 50 persen
penganggur yang ada di Indonesia.
Distribusi Pengangguran Kota-Desa
Berdasarkan distribusi pengangguran kota-desa di setiap provinsi, konsentrasi pengangguran
di daerah perkotaan secara umum terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah
perdesaan. Tingkat pengangguran di daerah perkotaan secara nasional adalah 8,22 persen
sementara di daerah perdesaan adalah 4,96 persen. Kecuali provinsi Jambi dan NAD, yang
memiliki tingkat penganggurannya lebih tinggi di daerah perdesaan.
Gambar 3.6
Jumlah Penganggur Berdasarkan Perkotaan dan Perdesaan (Ribu Orang)
Sulawesi Barat
Bengkulu
Gorontalo
Maluku Utara
Kalimantan Tengah
Kep. Bangka Belitung
Jambi
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Papua Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Papua
NAD
Kalimanta Barat
Bali
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Utara
Kep. Riau
DI Yogyakarta
Sumatera Barat
Riau
Sulawesi Selatan
Lampung
Sumatera Selatan
Kalimantan Timur
Sumatera Utara
Jawa Timur
Banten
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Jawa Barat

11,461
13,651
11,315
15,499
17,488
8,297
46,194
18,357
37,064
13,429
33,174
25,320
28,762
111,594
46,083
11,599
61,658
47,211
36,225
7,855
14,844
65,620
56,147
135,811
104,609
99,410
50,740
134,992
404,509
187,112

4,122
7,564
Perdesaan
8,502
10,235
11,398
13,767
13,975
14,094
15,617
19,602
24,825
26,461
31,739
37,192
40,54
40,785
48,884
53,544
57,258
58,318
59,473
77,168
80,075
101,115
109,156
118,159
122,953
267,133
417,037
493,452
504,551
555,408

619,734

1.000,000

Perkotaan

1282,109

500,000

0,000

500,000

1.000,000

1.500,000

Sumber: Sakernas, BPS


Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

31

Untuk daerah-daerah tertentu, seperti provinsi Papua Barat, Banten, Lampung, Sulawesi
Utara, Kalimantan Timur, Maluku, DKI Jakarta dan Jawa Barat, tingkat penganggurannya
diatas 10,0 persen. Sementara daerah yang tingkat penganggurannya dibawah 5,0 persen
adalah DI Yogyakarta, Kep. Bangka Belitung, Jawa Timur, Sulawesi Barat, Jambi, Kalimantan
Tengah, Bali dan Bengkulu.
Provinsi Banten, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat memiliki tingkat pengangguran yang
hampir sama antara di kota dan desa. Gambaran daerah lainnya, seperti Papua, Lampung,
Sumatera utara, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Utara,
merupakan provinsi dengan tingkat pengangguran antara kota dan desa yang perbedaannya
sangat besar.

3.3 Kondisi Daya Beli Masyarakat


3.3.1 Pertumbuhan Konsumsi Masyarakat
Konsumsi masyarakat mengalami pertumbuhan positif di semua provinsi selama periode
2006-2009, namun dengan kisaran yang cukup lebar. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga
tertinggi terjadi di provinsi Kepulauan Riau dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 14,2
persen, sedangkan pertumbuhan konsumsi terendah terjadi di NAD sebesar 0,82 persen.
Sebanyak dua belas provinsi mengalami pertumbuhan konsumsi cukup tinggi di atas 7 persen,
sebagian besar di Wilayah luar Jawa. Hal ini menandakan meningkatnya daya beli masyarakat
secara riil di wilayah-wilayah tersebut.

16

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
-

14

Persen

12
10
8
6
4
2
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kepulauan Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua

Juta Rp

Gambar 3.7
Pertumbuhan Konsumsi dan Konsumsi per Kapita Menurut Provinsi Tahun 2009

Konsumsi Rumah Tangga Per Kapita (ADHB) Tahun 2009 (Juta Rp)

Sumber : BPS diolah

32

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Rata-rata pertumbuhan konsumsi 2006-2009 (%) - sisi kiri

Sementara itu enam provinsi mengalami pertumbuhan konsumsi relatif rendah, kurang dari 4
persen per tahun dan lima belas provinsi sisanya mengalami pertumbuhan konsumsi relatif
moderat antara 4 sampai 7 persen. Bila kinerja pertumbuhan ini dikaitkan dengan tingkat
konsumsi per kapita maka terlihat kecenderungan pemerataan daya beli masyarakat. Hal ini
ditunjukkan oleh relatif tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada provinsiprovinsi dengan tingkat konsumsi per kapita relatif rendah, khususnya di Wilayah Indonesia
Timur. Namun demikian di daerah-daerah tersebut investasi dan perdagangan perlu tumbuh
lebih tinggi agar pertumbuhan konsumsi ini berkelanjutan.

3.3.2 Peran Konsumsi Masyarakat Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah


Peran konsumsi masyarakat dalam pertumbuhan ekonomi daerah dapat dilihat dari
pangsanya dalam PDRB dan laju pertumbuhannya. Pangsa konsumsi rumah tangga dalam
PDRB bervariasi antar provinsi, dari yang terkecil 15,8 persen di Kalimantan Timur hingga yang
terbesar 86,4 persen di Nusa Tenggara Timur. Pangsa konsumsi yang rendah di Kalimantan
Timur disebabkan oleh tingginya pangsa ekspor sumber daya alam dalam PDRB. Kondisi
serupa ditemui di Provinsi NAD dan Riau. Sementara itu tingginya pangsa konsumsi rumah
tangga dalam perekonomian Nusa Tenggara Timur menggambarkan relatif belum
berkembangnya kegiatan investasi dan kegiatan produktif yang menghasilkan komoditi
ekspor daerah. Hal serupa juga terjadi di Provinsi Maluku Utara, Maluku dan Sulawesi Barat.
Gambar 3.8
Rata-rata Peran Konsumsi Rumah Tangga Dalam Sumber Pertumbuhan PDRB
Tahun 2006 - 2009
120

Persen

100
80
60
40
20
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua

Rata-Rata Peran Konsumsi dalam Sumber Pertumbuhan PDRB (persen)


Sumber: BPS diolah

Selama periode 2006-2009 peran konsumsi rumah tangga dalam sumber pertumbuhan
daerah sangat bervariasi antar provinsi. Namun demikian di sebagian besar provinsi, konsumsi
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

33

rumah tangga berperan besar dalam mendorong perekonomian daerah. Pada 24 provinsi,
lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi daerah bersumber dari pertumbuhan konsumsi
rumah tangga. Bahkan di tiga provinsi, yakni Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan
Kepulauan Riau, peran konsumsi rumah tangga dalam sumber pertumbuhan daerah melebihi
100 persen. Sementara itu di provinsi NAD dan Papua yang mengalami pertumbuhan ratarata negatif pada periode tersebut, pertumbuhan konsumsi berperan sangat besar dalam
mencegah perekonomian berkontraksi lebih parah. Hal ini menandakan pentingnya peran
konsumsi masyarakat dalam menyangga kinerja perekonomian domestik. Implikasi kebijakan
yang bisa dipetik adalah pentingnya mempertahankan dan meningkatkan daya beli
masyarakat secara berkelanjutan. Oleh karena itu, investasi dan pertumbuhan sektor riil perlu
terus digalakkan di daerah.

3.4 Kondisi Perdagangan dan Investasi


3.4.1 Kontribusi Ekspor Daerah Terhadap Nasional
Pada tahun 2011, ekspor nasional mencapai 203,5 miliar USD. Provinsi yang memberikan
kontribusi terbesar dalam ekspor adalah Kalimantan Timur, Jawa Barat dan Riau dengan
kontribusi masing-masing sebesar 18,8 persen, 13,4 persen dan 10,4 persen. Ketiga provinsi
tersebut menyumbang ekspor nasional mencapai 42,5 persen.
Adapun ekspor Kalimantan Timur, Riau dan beberapa provinsi lainnya melakukan sebagian
besar ekspornya di pelabuhan muat provinsi asal. Sementara Jawa Barat dan Banten
merupakan daerah yang sebagian besar ekspornya dimuat di pelabuhan provinsi lain.
Gambar 3.9
Kontribusi Ekspor Daerah Terhadap Nasional Tahun 2011
18,8

20,0
16,0

13,4
10,4

12,0
8,0
4,0

5,6
0,7

8,7
6,8

1,2

5,4
2,3 2,5

1,5

0,2

1,6

5,0

4,8
2,6
0,1

0,5 - 0,2 1,0 - 0,5 0,1 0,3

1,8 1,5

NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kep. Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
Di Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat

0,3 0,6 0,0 1,0 0,7

Pelabuhan Muat Prov. Asal

Pelabuhan Muat Prov. Lain

Sumber: BPS

34

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Ekspor Berdasarkan Provinsi

3.4.2 Investasi (PMTB) Per Provinsi


Daerah-daerah dengan populasi besar dan kepadatan tinggi serta memiliki kinerja
pertumbuhan tinggi mampu menarik investasi relatif besar dibandingkan daerah lain. Hal ini
tampak dari distribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menurut provinsi, di mana
secara rata-rata antara tahun 2005-2009 DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan
tiga provinsi penyerap investasi terbesar dengan pangsa sebesar 26,9 persen, 12,1 persen dan
11,4 persen.

300

50

240

40

180

30

120

20

60

10
-

NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua

Juta Jiwa

Triliun Rp

Gambar 3.10
PMTB dan Jumlah Penduduk Tahun 2005 2009

Pembentukan Modal Tetap Bruto Th. 2009

Jumlah Penduduk (Juta Jiwa)

Sumber: BPS

10

240

180

120

60

Log Kepadatan Penduduk

300

NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua

Triliun Rp

Gambar 3.11
PMTB dan Kepadatan Penduduk Tahun 2005 2009

Pembentukan Modal Tetap Bruto Th. 2009 (Trilyun Rp)

Log Kepadatan Penduduk (Jiwa/km persegi)

Sumber: BPS
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

35

Provinsi-provinsi lainnya yang memiliki peranan investasi relatif besar adalah Riau, Sumatera
Utara dan Sumatera Selatan di Kawasan Barat Indonesia, serta Kalimantan Timur dan Sulawesi
Selatan di Kawasan Timur Indonesia.
Kinerja perekonomian daerah juga tampak dari pangsa industri pengolahan dalam PDRB yang
menggambarkan tingkat industrialisasi daerah. Secara umum provinsi-provinsi di Wilayah
Jawa memiliki pangsa industri pengolahan relatif tinggi yang menggambarkan perannya
sebagai pusat industri nasional. Pangsa industri pengolahan di DKI Jakarta terlihat cukup
rendah, namun hal ini lebih karena struktur perekonomian Jakarta lebih didominasi sektorsektor jasa, khususnya keuangan dan perdagangan. Di samping itu, perkembangan kawasan
perkotaan Jakarta yang semakin padat membuat kawasan industri menyebar di kota-kota di
sekitar Jakarta dan membentuk kawasan metropolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi).
Gambar 3.12
Share Industri Pengolahan Dalam PDRB
50
40
30
20
10

Papua

Papua Barat

Maluku

Maluku Utara

Gorontalo

Sulawesi Barat

Sulawesi Selatan

Sulawesi Tenggara

Sulawesi Utara

Sulawesi Tengah

Kalimantan Timur

Kalimantan Selatan

Kalimantan Barat

Kalimantan Tengah

Nusa Tenggara Timur

Bali

Nusa Tenggara Barat

Banten

Jawa Timur

DI. Yogyakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah

Kep. Riau

DKI Jakarta

Lampung

Kep. Bangka Belitung

Bengkulu

Sumatera Selatan

Riau

Jambi

Sumatera Barat

NAD

Sumatera Utara

Share Industri Pengolahan dalam PDRB (%)


Sumber: BPS

Beberapa daerah di luar Jawa yang memiliki pangsa industri pengolahan cukup tinggi adalah
Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kepulauan Riau. Hal ini menunjukkan potensi
pengembangan industri pengolahan di daerah-daerah tersebut cukup besar. Beberapa daerah
seperti Kalimantan Timur dan Papua Barat juga memiliki pangsa industri pengolahan cukup
tinggi, namun hal itu karena besarnya kegiatan industri pengolahan migas.

36

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

3.5 Kondisi Infrastruktur Daerah


3.5.1 Infrastruktur Jalan
Panjang Jalan di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 458.828,07 km yang terdiri dari jalan
tol 761,45 km, jalan nasional sepanjang 38.569,84 km, jalan provinsi sepanjang 49.280,93 km
dan jalan kabupaten/kota sepanjang 370.215,85 km. Dari total panjang jalan yang ada, 50,8
persen dalam kondisi tidak mantap (rusak ringan dan rusak berat).
Tabel 3.6
Kondisi Mantap Jalan Tahun 2010
Jalan

Panjang Total (km)

Jalan Tol
Jalan Nasional
Jalan Provinsi

Kondisi Mantap

Kondisi Tidak Mantap

761,45

761,45

100,0%

0,0%

38.569,84

33.833,78

87,7%

4.736,06

12,3%

49.280,93

19.742,31

40,1%

29.538,62

59,9%

Jalan Kabupaten/Kota

370.215,85

171.361,68

46,3%

198.854,17

53,7%

TOTAL

458.828,07

225.699,21

49,2%

233.128,85

50,8%

Sumber: Direktorat Bina Program, Kementerian PU, 2010

Wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan Maluku menghadapi
keterbatasan prasarana dan sarana transportasi terutama jalan. Rasio kerapatan jalan (rasio
panjang jalan dan luas wilayah daratan) di Wilayah Papua, Maluku dan Kalimantan relatif
rendah sehingga perlu percepatan pembangunan jalan. Sementara, rasio kapasitas jalan (rasio
panjang jalan dan jumlah unit kendaraan roda 4) di Wilayah Jawa-Bali relatif rendah sehingga
perlu pengembangan transportasi masal untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
Gambar 3.13
Rasio Kerapatan Jalan (km/km2) Tahun 2011
1,80
1,60

1,52

1,40
1,20
1,00
0,80
0,60

0,42

0,40

0,06

0,20

Papua

Kalimantan Timur

Kalimantan Tengah

Maluku

Kalimantan Barat

Maluku Utara

Sumatera Selatan

Jambi

Sulawesi Tenggara

Kep. Bangka Belitung

Riau

Sualwesi Tengah

NAD

Kalimantan Selatan

Bengkulu

Nusa Tenggara Timur

Gorontalo

Nusa Tenggara Barat

Lampung

Sumatera Barat

Sumatera Utara

Sulawesi Selatan

Sulawesi Utara

Kepulauan Riau

Banten

Jawa Barat

Jawa Timur

Bali

Jawa Tengah

DI Yogyakarta

Sumber: Direktorat Bina Program, Kementerian PU, 2011


Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

37

Gambar 3.14
Rasio Kapasitas Jalan (km/unit) Tahun 2011
180,00

175,64

160,00
140,00
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00

18,38
Sulawesi Tengah

Papua

Gorontalo

Sulawesi Tenggara

Kalimantan Selatan

NAD

Kalimantan Barat

Sulawesi Selatan

Maluku

Sumatera Barat

Lampung

Bengkulu

Nusa Tenggara Barat'

Banten

Sumatera Utara

Sulawesi Utara

Kalimantan Timur

Riau

Kepulauan Riau

DI Yogyakarta

Kalimantan Tengah

Bali

Jawa Timur

Jawa Barat

Jawa Tengah

Jambi

Sumatera Selatan

Kep. Bangka Belitung

Maluku Utara

0,45

Nusa Tenggara Timur

20,00

Sumber: Direktorat Bina Program, Kementerian PU, 2011

Berdasarkan kondisi kualitas jalan nasional, sebagian besar kondisi mantap jalan telah
mengalami peningkatan dengan rata-rata di atas 86 persen, walaupun selama periode 20052011 kondisi jalan tidak mantap (rusak ringan dan rusak berat) cenderung meningkat. Kondisi
tersebut akibat adanya penambahan panjang jalan nasional sepanjang 5.439,63 km, baik
karena pembangunan baru, juga adanya perubahan status jalan provinsi menjadi jalan
nasional. Namun secara umum kondisi kemantapan jalan nasional sangat memadai.
Tabel 3.7
Kondisi Jalan Nasional Pada Tahun 2005 dan 2011
Panjang Jalan
(km)

Pulau

Sumatera
Jawa+Bali
Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
Nasional

2005
10.429,8
5.389,5
1.795,8
5.538,2
6.844,8
1.255,5
1.876,5
33.130,2

2011
11.568,1
6.146,2
2.038,9
6.363,6
7.799,8
1.578,6
3,074,7
38.659,8

Jalan Tidak Mantap


Tahun 2005
Km
724,85
341,86
118,52
609,83
175,75
68
260,26
2.299,07

%
6,9
6,3
6,6
11,0
2,6
5,4
13,9
6,9

Jalan Tidak Mantap


Tahun 2011
Km
1.370,17
386,54
114,89
657,90
936,51
267,81
1.002,28
4.736,10

%
11,8
6,3
5,6
10,3
12,0
17,0
32,60
12,3

Sumber: Direktorat Bina Program, Kementerian PU, 2011

Kondisi sebaliknya terjadi pada kualitas jalan daerah (provinsi dan kabupaten/kota), dimana
seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, jalan tersebut menjadi kewenangan pemerintah
daerah untuk pelaksanan pemeliharaan dan pembangunannya. Berdasarkan data kondisi

38

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

kualitas jalan, jalan provinsi dengan total panjang jalan mencapai 49.280,93 km memiliki ratarata kondisi jalan tidak mantap 40,1 persen dan jalan kabupaten/kota dengan total panjang
jalan mencapai 370.215,85 km memiliki rata-rata kondisi jalan tidak mantap 46,3 persen.
Berdasarkan perbandingan jalan tidak mantap antar wilayah, jalan tidak mantap baik jalan
provinsi maupun jalan kabupaten/kota, tertinggi terdapat di Wilayah Papua, Maluku dan
Sulawesi dengan kondisi jalan tidak mantap rata-rata di atas 55 persen. Kondisi akan sangat
menghambat mobilitas barang dan penumpang dan berdampak terhadap kinerja
perekonomian daerah.
Tabel 3.8
Kondisi Jalan Provinsi dan Jalan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Pulau

Panjang Jalan
Provinsi

Jalan Tidak
Mantap 2010

16.046,07
9.521,81
6.888,13
6.274,65
4.462,77
2.766,80
3.320,70
49.280,93

7.189,51
1.148,21
2.997,30
3.246,65
1.615,04
1.976,21
1.569,39
19.742,31

Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Bali-NT
Maluku
Papua
TOTAL

Panjang Jalan
Kabupaten/Kota

44,8
12,1
43,5
51,7
36,2
71,4
47,3
40,1

Jalan Tidak
Mantap 2010

134.097,0
83.999,1
40.929,4
57.611,7
26.602,5
8.853,3
18.123,0
370.215,85

65.163,31
28.586,76
18.674,02
30.345,79
12.622,17
4.461,86
11.507,78
171.361,68

48,6
34,0
45,6
52,7
47,4
50,4
63,5
46,3

Sumber: Direktorat Bina Program, Kemen PU, 2010

Gambar 3.15
Perbandingan Kondisi Jalan Nasional dan Daerah (%)
100,0%
90,0%
80,0%
70,0%
60,0%
50,0%
40,0%
30,0%
20,0%
10,0%
0,0%

Sumatera

Jawa

Bali-Nusa
Tenggara

Jalan Nasional Kondisi Mantap

Kalimantan

Sulawesi

Maluku

Papua

Jalan Daerah Kondisi Mantap

Sumber: Kementerian PU

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

39

Panjang jalan nasional yang hanya 8,4 persen dari total panjang jalan yang ada, memiliki
kondisi mantap mencapai 87,7 persen. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi jalan daerah
(jalan provnsi dan jalan kabupaten/kota), dengan panjang total mencapai 419.496,78 km
(91,4 persen dari total panjang jalan yang ada), kondisi kemantapan jalan hanya mencapai
54,4 persen. Kondisi tersebut mengakibatkan kurang efektif dan efisiennya distribusi barang
dan orang serta sistem logistik di daerah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi
di deerah. Sementara perbandingan kondisi jalan nasional dan daerah ditunjukkan pada
Gambar 3.15.

3.5.2 Infrastruktur Udara


Jumlah bandar udara di Indonesia adalah sebanyak 514 bandara, dimana jumlah bandara
terbesar terdapat di Provinsi Papua yang mencapai 202 bandara termasuk bandara perintis
dan Papua Barat sebanyak 36 bandara. Moda transportasi udara merupakan alat transportasi
utama untuk daerah dengan kondisi alam pegunungan dan kepulauan seperti Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur, Papua dan Papua Barat. Tabel 3.9 menerangkan jumlah bandara di
Indonesia berdasarkan per provinsi.
Tabel 3.9
Jumlah Bandara Per Provinsi Tahun 2010
Provinsi
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali

Jumlah Bandara
14
10
5
7
3
5
2
5
2
7
1
13
5
2
7
3
2

Provinsi
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timus
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Total

Sumber: Ditjen Perhubungan Udara, Kemenhub, 2010

40

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Jumlah Bandara
5
15
52
14
46
5
8
8
5
1
1
12
11
36
202
514

Jumlah penumpang angkutan


udara terus meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah
penerbangan yang menerapkan
Low Cost Carrier (LCC). Jumlah
penumpang
domestik
dan
internasional pada tahun 2010 di
Indonesia sebesar 108 juta
penumpang. Bandara SoekarnoHatta
di
Provinsi
Banten
menempati posisi teratas sebesar
41
persen
dengan
jumlah
penumpang sebesar 43,9 juta
penumpang. Hal ini disebabkan
bahwa Bandara Soekarno-Hatta
terletak dekat dengan ibukota
negara dan juga merupakan hub
Internasional maupun domestik.
Penumpang tersebut berasal dari
Jakarta, Banten dan Jawa Barat.

Gambar 3.16
Jumlah Penumpang Pesawat Udara Per Provinsi
Tahun 2010
Sumatra Utara Sumatra
Selatan
6%
2%
Bandara
Lainnya
26%

Sulawesi
Selatan
2%

Banten
41%

Bali
11%

Jawa Timur
7%
DI Yogyakarta
3%

Jawa Tengah
2%

Sumber: Ditjen Perhubungan Udara, Kemenhub, 2010

Posisi kedua ditempati oleh Bandara Ngurah Rai di provinsi Bali sebesar 11 persen, kemudian
diikuti oleh Jawa timur 7 persen dan Sumatera Utara 6 persen. Jumlah penumpang yang besar
di Bandara Ngurah Rai, yaitu sebesar 11,3 juta penumpang, disebabkan oleh pesatnya
kemajuan industri pariwisata di Bali dengan banyaknya wisatawan Nusantara dan wisatawan
mancanegara.

3.5.3 Infrastruktur Laut


Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 17 tahun 2004, total jumlah pelabuhan
yang diusahakan berjumlah 725 pelabuhan. Terdapat 2 pelabuhan hub (pengumpul)
Internasional yaitu Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak. Pelabuhan
Internasional berjumlah 18, pelabuhan nasional sebagai feeder (pengumpan) antar provinsi
berjumlah 245, pelabuhan regional sebagai penghubung antar kabupaten berjumlah 139
pelabuhan dan pelabuhan lokal setempat berjumlah 321 pelabuhan.
Tabel 3.10
Jumlah Pelabuhan di Indonesia Berdasarkan Jenisnya Tahun 2004
Provinsi
NAD
Sumatera Utara
Riau
Sumatera Barat
Jambi
Bengkulu
Kep. Bangka Belitung

Int'l Hub Port

Int' Port

National Port

Regional Port

Local Port

1
1
1
-

10
13
44
3
4
1
6

4
10
4
5
4
2
8

3
30
20
3
6
1
0

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

41

Provinsi

Int'l Hub Port

Int' Port

National Port

Regional Port

Local Port

Sumatera Selatan
Lampung
Jawa Barat
Banten
DKI Jakarta
Jawa Tengah
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Maluku
Papua

1
1
-

1
1
1
1
2
1
1
1
2
1
1
1
1

1
2
1
2
5
1
11
3
6
9
8
6
5
14
9
3
12
15
6
3
15
27

2
11
7
2
1
6
7
3
5
12
1
5
2
3
1
1
6
6
3
10
7
1

0
5
1
2
0
3
7
4
5
21
1
1
0
1
18
9
9
21
25
9
26
90

Sumber : Keputusan Menteri no. 17 tahun 2004

Terdapat 3 indikator kinerja pelabuhan Indonesia berdaraskan Tingkat Penggunaan Dermaga


(BOR), Tingkat penggunaan gudang (SOR) dan Tingkat Penggunaan Lapangan Penumpukan
(YOR) untuk pelabuhan Internasional hub, pelabuhan Internasional dan pelabuhan nasional.
Gambar 3.17
Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Dermaga Pelabuhan Tahun 2010 dan 2011
90
80
70

60
50
40
30
20
10
0

Utilisasi BOR 2010

Standar BOR %

Sumber Data: PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I, II, III dan IV

42

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Utilisasi BOR 2011

Persentase tingkat utilisasi penggunaan dermaga pada tahun 2010 di pelabuhan Belawan,
Panjang, Kupang dan Samarinda telah melewati batas standar BOR yaitu 70% (Gambar 3.17).
Namun pada tahun 2011 utilisasi BOR di keempat pelabuhan ini menurun, artinya sudah ada
perbaikan dan penambahan fasilitas baru untuk memperlancar bongkar muat di pelabuhan
tersebut. Pada tahun 2011 Pelabuhan Teluk Bayur dan Pelabuhan Dumai mengalami kenaikan
utilisasi BOR cukup tinggi, yaitu sebesar 12%, dimana artinya terjadi tingkat keterlambatan
kegiatan bongkar muat di pelabuhan tersebut dan perlu penambahan fasilitas pelabuhan.

Boks 3.1
Perhitungan Indikator Kinerja Pelabuhan
Berth Occupancy Ratio (BOR) atau atau tingkat penggunaan dermaga 2010 - 2011
Berdasarkan Kep. Dirjen Perhubungan Laut No. UM.002/38/18/DJPL-II tanggal 5 Desember 2011.
Tingkat Penggunaan Dermaga (BOR) merupakan perbandingan antara waktu penggunaan dermaga
dengan waktu yang tersedia (dermaga siap operasi) dalam periode tertentu yang dinyatakan dalam
persentase. Dalam Keputusan tersebut standarisasi BOR = 70%. Artinya, < 70 = baik, 70 sampai
dengan 77 % = cukup baik dan >78% = kurang baik.
BOR =

Shed Occupancy Ratio (SOR) atau tingkat penggunaan gudang 2010 2011
Tingkat penggunaan gudang (Shed Occupancy Ratio/ SOR) merupakan perbandingan antara jumlah
pengguna ruang penumpukan dengan ruang penumpukan yang tersedia yang dihitung dalam
satuan ton hari/ satuan
hari.
SOR =

Berdasarkan Kep. Dirjen Perhubungan Lautb No. UM.002/38/18/DJPL-II tanggal 5 Desember 2011.
Dalam Keputusan tersebut standarisasi SOR = 65%. Artinya, < 65 = baik, 65 sampai dengan 72 % =
cukup baik dan >72% = kurang baik.
Yard Occupancy Ratio (YOR) atau tingkat penggunaan lapangan penumpukan atau Kesiapan
operasi peralatan 2010 2011
Tingkat Penggunaan Lapangan Penumpukan (YOR) merupakan perbandingan antara jumlah
penggunaan ruang penumpukan dengan ruang penumupukan yang tersedia (siap operasi) yang
dihitung dalam satuan ton hari. Berdasarkan Kep. Dirjen Perhubungan Laut No.
UM.002/38/18/DJPL-II tanggal 5 Desember 2011. Dalam Keputusan tersebut standarisasi YOR =
50%. Artinya, < 50 = baik, 50 sampai dengan 55 % = cukup baik dan >55% = kurang baik.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

43

Berikutnya untuk persentase tingkat utilisiasi penggunaan gudang pelabuhan tahun 2010 dan
2011 di indonesia, kondisinya masih dalam taraf baik (Gambar 3.18). Artinya utilisasi
penggunaan gudang pelabuhan masih memadai. Pada tahun 2011 Pelabuhan Belawan
mengalami kenaikan utilisasi penggunaan gudang yang tinggi, yaitu sekitar 60%. Terdapat tiga
faktor yang mempengaruhi kenaikan tersebut yaitu karena peningkatan jumlah tonase kargo
curah, dwelling time (masa proses/ waktu tunggu) di pelabuhan dan kapasitas efektif di
pelabuhan. Pelabuhan lainnya yang mengalami kenaikan tingkat utilisasi pada tahun 2011
adalah Pelabuhan Tanjung Priok, Palembang, Pontianak, Benoa, Kupang, Makassar, Ambon,
Jayapura, Tanjung Intan, Samarinda dan Dumai.
Gambar 3.18
Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Gudang Pelabuhan Tahun 2010 dan 2011
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Utilisasi SOR 2010

Standar SOR %

Utiliasi SOR 2011

Sumber Data: PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I, II, III dan IV

Kemudian Gambar 3.19 menunjukkan persentase tingkat utilisasi penggunaan lapangan


penumpukan di pelabuhan tahun 2010 dan 2011 yang didominasi oleh kontainer dan
kendaraan. Terdapat beberapa pelabuhan yang perlu penambahan fasilitas dan perluasan
lapangan penumpukan diantaranya pelabuhan Pontianak, Benoa, Balikpapan, Ambon,
Jayapura dan Samarinda. Tahun 2011 Pelabuhan Palembang, Pontianak dan Banjarmasin
mengalami kenaikan tingkat utilisasi lapangan penumpukan cukup tinggi. Artinya pelabuhan
tersebut mengalami kenaikan jumlah arus kontainer/kendaraan yang tinggi pada tahun
tersebut.

44

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Gambar 3.19
Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Lapangan Penumpukan Pelabuhan
Tahun 2010 dan 2011
140
120
100
80
60
40
20
0

Utilisasi YOR 2010

Standar YOR %

Utiliasi YOR 2011

Sumber Data: PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I, II, III dan IV

3.5.4 Infrastruktur Listrik


Salah satu indikator daya saing di sektor ketenagalistrikan adalah rasio elektrifikasi. Rasio
elektrifikasi menunjukkan tingkat perbandingan jumlah penduduk yang memperoleh
sambungan listrik terhadap total penduduk di wilayah itu. Rasio elektrifikasi sangat
berhubungan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Peningkatan elektrifikasi
merupakan salah satu prioritas Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia 2011-2025, dengan pembangunan pembangkit listrik dan jaringan transmisi yang
dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara serta swasta.
Sesuai data BPS hingga tahun 2011, rasio elektrifikasi Indonesia adalah sebesar 72,95 persen,
artinya 27,05 persen penduduk Indonesia belum memperoleh sambungan listrik. Beberapa
penyebabnya adalah kondisi daerah yang terisolasi serta kurangnya fasilitas transmisi dan
distribusi yang membuat transfer kelebihan daya menjadi sangat mahal. Sementara itu,
provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua merupakan provinsi dengan rasio elektrifikasi
terendah dibandingkan dengan provinsi lainnya, yang masing-masing sebesar 39,9 persen dan
29,3 persen.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

45

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

39,92

29,25

NAD
Sumatera Utara
Riau
Kep. Riau
Sumatera Barat
Jambi
Bengkulu
Sumatera Selatan
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Banten
Jawa Barat
DKI Jakarta
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Maluku Utara
Maluku
Papua
Papua Barat

Dalam %

Gambar 3.20
Rasio Elektrifikasi Tahun 2011

Sumber: Capaian KESDM Tahun 2011

3.5.5 Infrastruktur Telekomunikasi


Salah satu indikator daya saing di sektor komunikasi dan informatika adalah ketersediaan
jaringan broadband. Berbagai literatur internasional menunjukkan korelasi positif antara
jaringan broadband dan pertumbuhan ekonomi. Di negara berkembang, kenaikan 10 persen
tingkat penetrasi broadband akan memicu pertumbuhan ekonomi sebesar 1,38 persen. Angka
ini lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan 10 persen tingkat penetrasi fixed line, seluler
dan internet yang masing-masing hanya memicu kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar
0,73 persen, 0,81 persen dan 1,12 persen.
Gambar 3.21
Persentase Kota/Kabupaten yang Dijangkau Layanan Broadband Tahun 2011
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

98% 98%

70% 70%
60% 60%

66% 66%

23%
0% 0%
Sumatera

Jawa

Kalimantan

Sulawesi
2010

Sumber: PT Telkom dan Kominfo, 2011 (diolah)

46

65%

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

2011

Bali Nusra

Maluku

0% 0%
Papua

Dengan memperhatikan masih sangat terbatasnya jaringan broadband nasional, percepatan


pembangunan jaringan broadband menjadi salah satu agenda utama sektor komunikasi dan
informatika, serta menjadi salah satu prioritas Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Pembangunan jaringan broadband dilakukan
baik berbentuk jaringan backbone untuk menghubungkan antar pulau (antar koridor),
jaringan ekstension hingga ke ibukota kabupaten/kota (dalam koridor), maupun jaringan
homepass hingga ke rumah tangga.
Hingga tahun 2010, pembangunan jaringan broadband sudah menjangkau 311
kabupaten/kota atau sekitar 63 persen dari total 497 kabupaten/kota dengan sebagian besar
lokasi terdapat di bagian barat Indonesia. Adapun jangkauan jaringan broadband pada tahun
2011 mencapai 328 kabupaten/kota atau 66 persen dari total kabupaten/kota. Pembangunan
di Wilayah Timur Indonesia akan dimulai pada tahun 2012. Hingga tahun 2014 diperkirakan 88
persen kabupaten/kota di Indonesia sudah dijangkau oleh jaringan broadband.

3.6 Kondisi Produksi dan Konsumsi Beras


Dalam rangka memperkuat perekonomian domestik dan peningkatan produksi pangan
terutama padi, serta seiring dengan peningkatan penduduk dan pendapatan masyarakat,
diperlukan jumlah penyediaan pangan (terutama padi) yang mencukupi di setiap tahunnya.
Kondisi produksi padi menurut kawasan pada tahun 2009-2011 ditunjukkan dalam Tabel 3.11.
Tabel 3.11
Pertumbuhan Produksi Padi Menurut Kawasan (Ribu Ton) Tahun 2009-2011
No.
1
2
3
4
5

Kawasan

2009

Sumatera
Jawa dan Bali
Kalimantan
Sulawesi
Maluku , Nusa Tenggara dan Papua
Total
Sumber : BPS (diolah) , Keterangan:*) Angka Sementara

14.696,2
35.758,7
4.392,1
6.801,5
2.749,7
64.398,2

2010

2011*

15.200,0
37.243,8
4.425,2
6.994,6
2.605,3
66.469,4

15.664,1
35.262,6
4.577,3
7.277,2
2.959,5
65.740,9

Tabel 3.12
Pertumbuhan Produksi Beras Menurut Kawasan (Ribu Ton) Tahun 2009-2011
No.
1
2
3
4
5

Kawasan
Sumatera
Jawa dan Bali
Kalimantan
Sulawesi
Maluku , Nusa Tenggara dan Papua
Total

2009
8.262,2
20.103,5
2.469,2
3.823,8
1.545,9
36.204,5

2010
8.545,4
20.938,4
2.487,9
3.932,4
1.464,7
37.368,8

2011
8.806,3
19.824,6
2.573,3
4.091,2
1.663,8
36.959,2

Sumber : BPS (diolah )

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

47

Pada Tabel 3.12 terlihat bahwa total produksi beras pada tahun 2011 mengalami penurunan
sebesar 409,6 ribu ton atau turun sekitar 1,1 persen. Dimana, penurunan produksi beras ini
berasal dari penurunan produksi beras di Kawasan Jawa dan Bali dari 20,9 juta ton pada
Tahun 2010 menjadi 19,8 juta ton pada Tahun 2011; atau turun sebesar 5,3 persen.
Gambar 3.22
Kontribusi Kawasan Per Pulau Terhadap Total Produksi Beras Tahun 2011

11%

7%

5%

24%

Sumatera
Jawa & Bali
Kalimantan
Sulawesi

54%

Maluku, Nusa Tenggara dan


Papua

Sumber: BPS (diolah)

Sebagian besar produksi beras berasal dari Wilayah Jawa dan Bali, atau mencapai 54 persen;
kemudian disusul dengan Wilayah Sumatera sebesar 24 persen dan Wilayah Sulawesi sebesar
11 persen (Gambar 3.22).
Gambar 3.23
Produksi Padi di Indonesia Tahun 2009 2011
67000

8,00%

66.469,4

66500
66000

7,00%

6,80%

65.740,9

65500

3,00%
64.389,9

3,20%

2,00%
1,00%

64000

-1,10%

63500

-2,00%
2009

2010
Produksi

2011*
Pertumbuhan

Sumber : BPS diolah ; *) Keterangan: Angka Sementara


Konversi padi ke beras adalah dengan mengalikan produksi padi dengan 0,562

48

0,00%
-1,00%

63000

5,00%
4,00%

65000
64500

6,00%

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Untuk memperkuat perekonomian nasional daerah serta meningkatkan ketahanan pangan


nasional dan daerah, total produksi beras maupun padi harus selalu dijaga dan meningkat
setiap tahunnya guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dan mendukung pencapaian
Surplus Beras 10 juta ton di mulai pada tahun 2014. Perkembangan pertumbuhan produksi
padi tahun 2009-2011 ditunjukkan pada Gambar 3.23.
Pertumbuhan produksi padi pada tahun 2009 dan 2010 mengalami peningkatan masingmasing sebesar 6,8 persen dan 3,2 persen. Pada tahun 2011 produksi padi mengalami
penurunan sebesar 1,1 persen. Penurunan produksi padi tersebut lebih disebabkan karena
penurunan luas panen dan produktivitas akibat terjadinya kekeringan, banjir serta serangan
hama penyakit. Penurunan produksi padi tersebut terjadi terutama di Wilayah Jawa. Pada
tahun 2012 produksi padi diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 4,3 persen atau
produksi mencapai 68.594,90 juta ton (ARAM I, 2012 ).
Berdasarkan data Susenas (Gambar 3.24), konsumsi beras langsung di rumah tangga pada
tahun 2008 sebesar 104,85 kg/kapita/tahun, tahun 2009 102,22 kg/kapita/tahun dan pada
tahun 2010 sebesar 100,76 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2011 turun menjadi 100,69
kg/kapita/tahun. Adapun kebutuhan beras total per kapita (yaitu: konsumsi beras langsung di
rumah tangga ditambah dengan konsumsi beras diluar rumah tangga) adalah sebesar 139,15
kg/kapita/tahun pada tahun 2010 dan 137,06 kg/kapita/tahun pada tahun 2011. Dengan
demikian, total kebutuhan beras nasional pada tahun 2010 dan 2011 adalah sebesar 33,06
juta ton pada tahun 2010 dan 33,05 juta ton pada tahun 20115.
Gambar 3.24
Konsumsi Beras Langsung di Rumah Tangga (Kg/Kapita/Tahun) Pada Tahun 2008-2010
106
105

104

Kg/Kapita/Th

103
102
101

100
99
98
97

96
95
Beras

2008

2009

2010

2011

2012

104,85

102,22

100,76

102,82

98,57

Sumber: Susenas BPS


5

Dihitung dengan asumsi jumlah penduduk pada tahun 2010 dan 2011 masing-masing sebanyak 237.641.326
jiwa dan 241.182.182 jiwa
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

49

Gambar 3.25 menunjukkan produksi dan kebutuhan beras di masing-masing provinsi pada
tahun 2011. Provinsi yang memiliki surplus beras cukup besar adalah Sulawesi Selatan,
Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Kemudian, terdapat 15
provinsi yang jumlah produksi berasnya lebih kecil dari jumlah kebutuhannya. Perhitungan
kebutuhan beras menggunakan asumsi konsumsi per kapita rata-rata sebesar 137,06 kg.
Gambar 3.25
Produksi dan Kebutuhan Beras (Ribu Ton) Tahun 2011
7.000
6.000
5.000
4.000

3.000
2.000
1.000
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kep. Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat

Produksi

konsumsi

Sumber: BPS (diolah)

3.7 Kondisi Sumber Daya Manusia


3.7.1 Pendidikan
Kualitas SDM merupakan faktor kunci dalam mencapai keberhasilan pembangunan daerah
dan keunggulan daya saing lokal. Ketersediaan SDM bermutu sangat menentukan
kemampuan suatu daerah dalam memasuki era ekonomi pasar bebas, yang menuntut
kemampuan daya saing tinggi. Untuk itu, peran pendidikan sangat penting dan strategis
dalam upaya melahirkan SDM berkualitas, yang ditandai oleh penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK) serta memiliki keterampilan teknikal memadai. Pendidikan terutama
pada jenjang menengah dan tinggi mutlak diperlukan untuk mendukung pengembangan SDM
dan tenaga kerja yang berdaya saing tangguh dalam menghadapi kompetisi yang ketat baik di
tingkat lokal, nasional, maupun global. Terkait dengan kualitas pendidikan, beberapa indikator
penting perlu dilihat yaitu: (1) rata-rata lama sekolah, (2) jenjang pendidikan tertinggi yang
ditamatkan penduduk, (3) tingkat keberaksaraan dan (4) jumlah dan kualifikasi guru.

50

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Rata-rata Lama Sekolah


Indikator pertama kualitas pendidikan adalah rata-rata lama sekolah (average years of
schooling). Rata-rata lama sekolah menunjukkan rata-rata jumlah tahun efektif bersekolah
yang dicapai penduduk berusia 15 tahun ke atas. Pembangunan bidang pendidikan telah
berhasil meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia, yang antara lain ditandai
dengan meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas dari 7,09
tahun pada tahun 2003 menjadi 7,92 tahun pada tahun 2010. Hal ini menandakan rata-rata
tingkat pendidikan penduduk adalah pada jenjang SMP/sederajat kelas 2. Data persebaran
angka rata-rata lama sekolah menurut provinsi menunjukkan bahwa capaian rata-rata lama
sekolah penduduk di Indonesia masih cukup bervariasi. Pada tahun 2010, rata-rata lama
sekolah penduduk di 19 provinsi sudah berada di atas rata-rata nasional atau lebih dari 7,92
tahun. Data yang sama juga menunjukkan bahwa penduduk di Provinsi DKI Jakarta telah
mencapai rata-rata lama sekolah paling tinggi yakni 10,41 tahun atau setingkat dengan
jenjang SMA/sederajat kelas 1. Sebaliknya, rata-rata lama sekolah penduduk di Provinsi Papua
masih berada di tingkat terendah yaitu 6,27 tahun (Gambar 3.26).
Gambar 3.26
Rata-Rata Lama Sekolah (Usia Penduduk >15 Tahun) Tahun 2010
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Papua Barat
DI Yogyakarta
Maluku
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Kalimantan Timur
Aceh
Riau
Sumatera Barat
Maluku Utara
Banten
Bengkulu
Bali
Sulawesi Tenggara
Jawa Barat
Sulawesi Tengah
Kalimantan Tengah
INDONESIA
Sulawesi Selatan
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
Kalimantan Selatan
Bangka Belitung
Gorontalo
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Barat
Papua

10,41
9,59
9,16
9,07
9,02
8,89
8,85
8,83
8,81
8,58
8,48
8,36
8,32
8,25
8,21
8,11
8,02
8,00
7,96
7,92
7,84
7,84
7,82
7,75
7,65
7,45
7,38
7,24
7,24
7,11
6,99
6,82
6,62
Tahun
6,27

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

Sumber: Susenas, BPS, 2010


Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

51

Gambar 3.27
Tingkat Pendidikan dan Tingkat Partisipasi Sekolah Tahun 2010

SMA/Sederajat
20%

Tidak/Belum
Sekolah
6%

PT
6%

Belum Tamat
SD
19%
SMP/Sederajat
18%

SD/Sederajat
31%

Sumber: Susenas 2010

Gambar 3.28
Persentase Jenjang Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan
Oleh Penduduk Berusia 10 Tahun Ke Atas Tahun 2010
DKI Jakarta
Kep. Riau
DI Yogyakarta
Papua Barat
Kalimantan Timur
Bali
Sulawesi Utara
Maluku
Sumatera Utara
Aceh
Banten
Sumatera Barat
Riau
Bengkulu
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
INDONESIA
Jawa Barat
Jambi
Sumatera Selatan
Sulawesi Tengah
Kalimantan Selatan
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Tengah
Gorontalo
Jawa Timur
Papua
Lampung
Jawa Tengah
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Barat
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Timur

10

Tidak/ Belum sekolah

20

30

40

Belum Tamat SD

Sumber: Susenas 2010

52

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

50

60

SD-SMP/ sederajat

70

80

90

100

SM - PT/ sederajat

Bila diuraikan menurut provinsi, pendidikan tertingggi yang ditamatkan penduduk di sebagian
besar provinsi relatif masih rendah yakni setingkat SD/SMP. Namun, beberapa provinsi seperti
Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, DKI dan DIY sudah memiliki persentase
penduduk 10 tahun ke atas dengan pendidikan terakhir sekolah menengah (SM) ke atas yang
cukup baik dan sudah di atas rata-rata nasional per jenjang pendidikan (Gambar 3.28).
Data Susenas 2010 menunjukkan variasi alasan mengapa mereka tidak/belum pernah
bersekolah atau tidak bersekolah lagi yaitu: (1) tak ada biaya, (2) menikah/mengurus rumah
tangga (RT), (3) sekolah jauh, (4) malu, (5) tidak diterima, (6) cacat dan lain-lain. Alasan
ketiadaan biaya berkaitan erat dengan faktor kemiskinan (kesulitan ekonomi). Sementara
alasan sekolah jauh berkaitan dengan ketersediaan jumlah sekolah yang minim atau kondisi
geografis suatu daerah yang menyebabkan akses menjadi sulit.
Tabel 3.13
Alasan Tidak/Belum Bersekolah Tahun 2010
Alasan Tidak/Belum
Pernah Bersekolah atau
Tidak Bersekolah Lagi

L+P

L+P

L+P

Tidak ada biaya


Bekerja/mencari nafkah
Menikah/mengurus RT
Merasa pendidikan cukup
Malu karena ekonomi
Sekolah jauh
Cacat
Menunggu Pengumuman
Tidak Diterima
Lainnya
Jumlah

52,68
12,94
0,30
6,08
1,58
0,44
3,10
3,25
0,72
18,90
100,0

6,64
13,45
4,57
6,08
0,94
0,53
1,99
4,27
0,46
11,08
100,0

54,66
13,19
2,43
6,08
1,26
0,49
2,55
3,76
0,59
15,00
100,0

53,82
9,09
0,30
4,61
1,55
4,69
2,60
0,99
0,51
21,84
100,0

56,48
4,96
8,12
5,49
1,20
4,73
2,37
1,51
0,42
14,72
100,0

55,05
7,18
3,92
5,02
1,39
4,71
2,49
1,23
0,47
18,54
100,0

53,38
10,57
0,30
5,18
1,56
3,06
2,79
1,86
0,59
20,71
100,0

56,55
8,52
6,63
5,73
1,09
2,97
2,21
2,67
0,44
13,19
100,0

54,89
9,59
3,32
5,44
1,34
3,01
2,51
2,25
0,52
17,12
100,0

Perkotaan

Perdesaan

Total

Sumber : Susenas BPS, 2010

Kemampuan Keberaksaraan Penduduk


Indikator ketiga kualitas pendidikan adalah kemampuan keberaksaraan yang ditandai oleh
kemampuan membaca dan menulis. Angka melek aksara merupakan hasil proporsi antara
jumlah penduduk usia tertentu yang bisa membaca dan menulis huruf latin dan lainnya
dengan jumlah penduduk pada kelompok usia yang sama.
Data persebaran pada tingkat wilayah menunjukkan bahwa disparitas angka melek aksara
penduduk berusia 15 tahun ke atas antar provinsi hampir tidak ditemukan. Hampir semua
provinsi telah mendekati sasaran 100 persen, kecuali Provinsi Papua. Peningkatan partisipasi
pada jenjang pendidikan dasar telah mendorong peningkatan kemampuan penduduk dalam
membaca dan menulis.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

53

Gambar 3.29
Angka Melek Aksara Penduduk (Berusia > 15 Tahun) Tahun 2010
92,91

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10

Sulawesi Utara
DKI Jakarta
Riau
Kalimantan Tengah
Maluku
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Kep. Riau
Sumatera Barat
Kalimantan Timur
NAD
Banten
Jawa Barat
Maluku Utara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Kalimantan Selatan
Jambi
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Papua Barat
Lampung
INDONESIA
Sulawesi Tenggara
DI Yogyakarta
Kalimantan Barat
Jawa Tengah
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Barat
Bali
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Barat
Papua Barat

Sumber: Susenas 2010

Jumlah dan Kualifikasi Guru


Indikator keempat kualitas pendidikan adalah guru berkualifikasi dan tersertifikasi. UndangUndang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa guru dari
jenjang pra-sekolah sampai dengan sekolah menengah, temasuk sekolah keagamaan, minimal
harus berpendidikan Diploma 4 atau Sarjana.
Pada tahun 2011, juga dilakukan peningkatan kualifikasi bagi 124 ribu guru yang belum
berpendidikan S1/D4. Secara nasional, jumlah guru yang telah berkualifikasi minimal S1/D4
meningkat dari 50,3 persen pada tahun 2010 menjadi 58 persen pada tahun 2011. Pada tahun
2012, upaya percepatan peningkatan profesionalisme guru akan tetap dilanjutkan dengan
melakukan sertifikasi bagi 300 ribu guru dan meningkatkan kualifikasi pendidikan minimal
S1/D4 bagi 134 ribu guru. Dengan tetap berupaya melaksanakan program peningkatan
kualifikasi dan sertifikasi guru, data yang ada menunjukkan bahwa persentase guru menurut
kualifikasi akademik bervariasi antar daerah (Gambar 3.30).

54

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Gambar 3.30
Persentase Guru Belum Berkualifikasi S1/D4 Tahun 2011
Maluku
Kalimantan Barat
NTT
Bangka Belitung
Kalimantan Tengah
Lampung
Maluku Utara
Papua Barat
Sulawesi Tengah
Kalimantan Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Papua
Jambi
Gorontalo
Sulawesi Utara
Sumatera Selatan
Aceh
NTB
Kep.Riau
Riau
Sumatera Barat
Bengkulu
Sumatera Utara
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan
Jawa Tengah
Jawa Barat
Banten
Bali
DI Yogyakarta
Jawa Timur
DKI Jakarta

77,05
74,61

74,63
72,71
70,65
69,63
69,62
69,24
69,17
68,93
68,05
67,12
66,78
66,20
66,15

65,32
65,13
62,61
62,27
61,92
61,39
60,71
59,01

Rata-Rata Nasional
57,40 %

57,75
57,53
57,14
53,79
53,62
53,56

51,32
49,03
46,15
40,14
0

20

40

60

80

100

Sumber: Kemendikbud, 2009

3.7.2 Kesehatan
Status kesehatan dan gizi masyarakat terus menunjukkan kemajuan yang ditandai dengan
meningkatnya umur harapan hidup (UHH) menjadi 71,1 tahun (2011), menurunnya Angka
Kematian Ibu (AKI) menjadi sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup (2007), menurunnya
Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup (2007),

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

55

menurunnya prevalensi kekurangan gizi menjadi sebesar 17,9 persen (2010) dan menurunnya
prevalensi anak balita yang pendek (stunting) menjadi sebesar 35,6 persen (2010).
Selain pembangunan kesehatan, upaya pengendalian kuantitas penduduk yang dilaksanakan
melalui Program Keluarga Berencana (KB) berkontribusi signifikan di dalam peningkatan
kualitas sumber daya manusia Indonesia. Upaya ini menjadi sangat penting mengingat jumlah
penduduk yang besar dengan kualitas rendah akan menjadi beban pembangunan, sebaliknya
penduduk besar dengan kualitas baik akan menjadi modal pembangunan. Hasil Sensus
Penduduk (SP) 2010 menunjukkan bahwa dalam periode 10 tahun (20002010), laju
pertumbuhan penduduk (LPP) Indonesia meningkat dari 1,45 persen menjadi 1,49 persen dan
secara absolut jumlah penduduk meningkat sebanyak 32,5 juta jiwa, yaitu dari 205,8 juta jiwa
pada tahun 2000 (SP 2000) menjadi 237,6 juta jiwa pada tahun 2010 (SP 2010).
Gambar 3.31
Persentase Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Terlatih Menurut Provinsi
Tahun 2010
100

82,2
80
60
40

Maluku Utara
Maluku
Sulawesi Tengah
Papua Barat
Kalimantan Tengah
Papua
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Jambi
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Timur
Banten
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
Jawa Barat
Kalimantan Selatan
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Timur
Lampung
Bengkulu
Indonesia
Sulawesi Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Riau
Sumatera Utara
NAD
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kep. Bangka Belitung
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Bali
DI. Yogyakarta

20

Sumber: Riskesdas, 2010

Sementara itu, upaya yang terbukti efektif untuk menurunkan AKI yaitu pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih terus meningkat dari 77,34 persen (2009) menjadi
82,2 persen (2010). Namun demikian, disparitas cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan masih cukup lebar. Berdasarkan data Riskesdas (2010), secara umum cakupan
pelayanan pada kawasan Indonesia bagian timur lebih rendah jika dibandingkan dengan
kawasan Indonesia bagian barat. Capaian tertinggi sebesar 98,6 persen di Provinsi DI
Yogyakarta diikuti Provinsi Bali, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta, sementara capaian terendah
sebesar 26,6 persen di Provinsi Maluku Utara (Gambar 3.31).

56

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Gambar 3.32
Cakupan Pelayanan Antenatal (K4) Tahun 2010
Papua
Papua Barat
Kalimantan Timur
DKI Jakarta
Sulawesi Tengah
Kep. Bangka Belitung
Maluku Utara
Kalimantan Tengah
Banten
Kalimantan Barat
Kepulauan Riau
Bengkulu
Sulawesi Barat
Maluku
Riau
Sumatera Selatan
Kalimantan Selatan
Lampung
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
INDONESIA
Sulawesi Selatan
Sumatera Barat
Jambi
Sumatera Utara
Nusa Tenggara Barat
DI Yogyakarta
NAD
Jawa Barat
Bali
Nusa Tenggara Timur
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sulawesi Utara

31
33,23
35,96
42,73
43,1
45,83
46,9
50,07
50,53
52,01
52,13
52,5
55,23
57,84
62,29
63,22
63,91
65,58
65,66
66,68
67,87
68
68,44
71,6
71,75
73,86
74,18
74,4
74,43
75,93
77,23
77,7
82,54
84,89

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Sumber: Riskesdas, 2010

Pelayanan antenatal (antenatal care) juga penting untuk memastikan kesehatan ibu selama
kehamilan dan menjamin ibu melakukan persalinan ditolong tenaga kesehatan. Kunjungan ibu
hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal pada
trimester pertama kehamilan (K1) mencapai 72,3 persen, lebih tinggi dari kunjungan keempat
yaitu sebesar 67,87 persen (Riskesdas, 2010). Cakupan pelayanan antenatal tertinggi terdapat
di Sulawesi Utara, yang mencapai 84,9 persen. Sedangkan cakupan pelayanan antenatal yang
terendah terdapat di Provinsi Papua yang hanya mencakup sebesar 31,0 persen.
Selanjutnya, upaya untuk mencapai target penurunan kematian bayi menjadi 24 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2014 juga terus dilakukan melalui perbaikan status kesehatan
anak. Secara nasional, cakupan imunisasi lengkap pada anak usia 12-23 bulan terus meningkat
mencapai 53,8 persen dan yang mendapat imunisasi campak mencapai 74,4 persen

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

57

Maluku Utara
Papua Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Gorontalo
Papua Barat
Kalimantan Barat
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Tengah
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Banten
Jawa Barat
Riau
Sulawesi Selatan
Sumatera Selatan
INDONESIA
Lampung
NAD
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Timur
Bengkulu
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Selatan
Jawa Timur
Jambi
Kepulauan Riau
Sulawesi Utara
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Bali
DI Yogyakarta
Papua
Sulawesi Barat
Sumatera Utara
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Tengah
NAD
Riau
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Sumatera Selatan
Maluku Utara
Bengkulu
Maluku
Sumatera Barat
Banten
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Barat
Kalimantan Selatan
DKI Jakarta
Indonesia
Gorontalo
Kalimantan Tengah
Kep. Bangka Belitung
Jambi
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Timur
Lampung
Sulawesi Utara
Jawa Timur
Bali
Jawa Tengah
Kepulauan Riau
DI Yogyakarta

(Riskesdas, 2010). Sementara itu, kunjungan ke pelayanan kesehatan pada saat bayi berumur
6-48 jam (kunjungan neonatal pertama/KN1) mencapai 71,4 persen (Riskesdas, 2010).
Gambar 3.33
Persentase Bayi Usia 0-11 Bulan Yang Mendapat Imunisasi Dasar Lengkap Tahun 2010

100

80

60

53,8

40

20

Sumber: Riskesdas, 2010

Gambar 3.34
Persentase Bayi Yang Melakukan Kunjungan Neonatus 6-48 Jam (KN1) Tahun 2010

120

100

80

71,4

60

40

20

Sumber: Riskesdas, 2010

Data Riskesdas menunjukkan bahwa prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menurun
dari 18,4 persen (2007) menjadi 17,9 persen (2010), yang terdiri dari gizi kurang sebesar 13,0
persen dan gizi buruk sebesar 4,9 persen. Kemajuan juga terjadi pada upaya penurunan

58

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

kekurangan gizi kronis yang diukur dengan prevalensi anak balita yang pendek (stunting),
menurun dari 36,8 persen (2007) menjadi 35,6 persen (2010).
Sampai dengan tahun 2011, prevalensi TB mencapai 289 per 100.000 penduduk sedangkan
persentase kasus baru TB Paru (BTA positif) yang ditemukan dan yang disembuhkan masingmasing mencapai 75,26 persen dan 86,22 persen (Kemkes, 2011). Sementara itu, prevalensi
HIV pada populasi dewasa terus dikendalikan untuk berada di bawah 0,5 persen, yaitu
mencapai sebesar 0,3 persen (Kemkes, 2011). Angka penemuan kasus malaria yang diukur
dengan annual parasite index (API) dapat diturunkan dari 1,96 (2010) menjadi 1,75 per 1.000
penduduk (2011). Selanjutnya, terkait aspek penyehatan lingkungan, penyediaan akses air
minum dan sanitasi layak masih rendah yaitu sebesar 44,19 persen dan 55,53 persen
(Susenas, 2010).

60
50
40
30

22,5
26,6
26,9
27,8
28,3
29,0
29,1
29,3
29,4
30,2
31,6
32,2
32,8
33,5
33,6
33,9
35,3
35,6
35,9
36,2
36,3
37,5
37,8
38,9
38,9
39,6
39,7
40,3
40,4
41,6
42,3
48,2
49,2
58,4

Gambar 3.35
Prevalensi Pendek (TB/U) Pada Anak 0-59 Bulan Tahun 2010

20

10
DI. Yogyakarta
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Sulawesi Utara
Papua
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Bali
Maluku Utara
Jambi
Bengkulu
Riau
Sumatera Barat
Banten
Jawa Barat
Jawa Tengah
Kalimantan Selatan
Indonesia
Jawa Timur
Sulawesi Tengah
Lampung
Maluku
Sulawesi Tenggara
NAD
Sulawesi Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Gorontalo
Sumatera Selatan
Sulawesi Barat
Sumatera Utara
Nusa Tenggara Barat
Papua Barat
Nusa Tenggara Timur

Sangat pendek

Pendek

Pendek+ Sangat pendek

Sumber: Riskesdas, 2010

Laporan kasus AIDS dapat disampaikan bahwa secara kumulatif sampai dengan Desember
2011 jumlah kasus AIDS sebanyak 29.879 kasus dengan AIDS case rate tertinggi adalah Papua
sedangkan AIDS case rate secara nasional adalah 12,51. Dari sisi lain, angka kumulatif kasus
per 100.000 penduduk menunjukkan keadaan yang berbeda karena sebaran jumlah penduduk
per provinsi yang sangat beragam. Dengan dipengaruhi oleh jumlah penduduk, maka karena
jumlah penduduknya yang sangat kecil, Papua menduduki urutan pertama, sedangkan DKI
Jakarta dengan angka kumulatif yang jauh lebih besar hanya pada urutan ketiga. Sementara
itu Kepulauan Riau dengan hanya 404 kasus komulatif menduduki urutan ke lima, lebih tinggi
dibanding dengan Jawa Timur dengan 4.598 kasus.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

59

Upaya pengurangan angka kejadian malaria sudah menunjukan keadaan yang positif. Terjadi
penurunan yang signifikan dari tahun 1990 sampai 2011, yaitu dari 4,68 per 1.000 penduduk
beresiko menjadi tinggal 1,75 per 1.000 penduduk saja. Namun demikian, dalam angka
mutlak cukup besar, yaitu 256.592 orang penderita dan hanya Provinsi DKI Jakarta yang tidak
ditemukan kejadiannya. Keragaman angka kejadian malaria sangat besar, namun
terkonsentrasi pada 3 provinsi endemik, yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat.
Angka kejadian malaria berkisar dari yang terendah (di luar DKI) yaitu Bali dengan hanya 7
kejadian dan tertinggi adalah 3 provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat
dengan masing-masing 69.645, 66.577 dan 25.287 kejadian. Pada ketiga provinsi ini saja
proporsinya sudah mencakup hampir 63 persen dari seluruh kejadian pada tahun 2011.

80000
70000

69465
66577

Gambar 3.36
Keragaman Angka Kejadian Malaria Tahun 2010

60000

30000
20000

10000

8613
8613
7914
6663
6661
6356
6355
6175
5028
3744
3523
3140
3136
2667
2450
2352
2331
2247
2045
1973
1430
957
743
517
196
88
45
14
7
0

40000

25287

50000

Nusa Tenggara Timur


Papua
Papua Barat
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Kalimantan Selatan
Maluku
Kalimantan Tengah
Sumatera Utara
Bengkulu
Sulawesi Utara
Jambi
Kalimantan Timur
Lampung
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Kep. Bangka Belitung
Maluku Utara
Nusa Tenggara Barat
Kepulauan Riau
Sulawesi Barat
Gorontalo
NAD
Sumatera Selatan
Riau
Sumatera Barat
Jawa Barat
Jawa Tengah
Banten
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Bali
DKI Jakarta

Sumber: Kemenkes, 2011

Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sebagai salah satu komponen
untuk perbaikan upaya kesehatan juga terus ditingkatkan. Jumlah puskesmas pada tahun
2010 mencapai 9.005 puskesmas dengan rasio sebesar 3,79 per 100.000 penduduk. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 1.920 tergolong puskesmas perawatan dan 6.085 termasuk
puskesmas non-perawatan. Sementara itu, jumlah rumah sakit pemerintah meningkat
menjadi 794, sedangkan rumah sakit swasta meningkat menjadi 838 rumah sakit dengan rasio
tempat tidur (TT) rumah sakit terhadap penduduk sebesar 68,88 TT per 100.000 penduduk
(Profil Kesehatan, 2010). Rasio tempat tidur Rumah Sakit (per 100 ribu penduduk) yang
terbesar adalah di Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan DI Yogyakarta; sedangkan yang
terendah adalah di Provinsi Sulawesi Barat, Banten dan Nusa Tenggara Barat.

60

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Gambar 3.37
Perkembangan Jumlah Puskesmas
Perawatan dan Non-Perawatan Tahun 2010
10.000
7.669

9.005
8.548 8.737

160.000

8.000

65,44

70

2.077

2.497

2.683

2.438

2.704

2.920

2005

2006

2007

2008

2009

2010

166.288

163.680

149.538

142.707

138.451

60.000

2.000

50

136.766

80.000

Sumber: Profil Kesehatan, 2010

30

10

20.000

Puskesmas Perawatan
Puskesmas Non Perawatan
Jumlah Puskesmas

40

20

40.000

80

60

100.000

3.000
1.000

63,25
60,92 62,49 62,27

120.000

6.085

6.033

6.110

5.551

5.518

5.592

6.000
4.000

70,74 69,97

140.000

7.000
5.000

180.000

132.231

9.000

8.015 8.234

Gambar 3.38
Perkembangan Rasio Tempat Tidur RS
per 100.000 Penduduk Tahun 2010

0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah TT

Rasio

Sumber: Profil Kesehatan, 2010

3.8 Kondisi Ketenagakerjaan


3.8.1 Tenaga Kerja Per Provinsi
Pasar kerja Indonesia dapat digambarkan sebagai suatu perekonomian dualistis yang ditandai
oleh sektor modern atau formal yang relatif kecil dan sektor tradisional atau informal yang
sangat besar, yang mencerminkan surplus tenaga kerja. Sektor formal rata-rata memberikan
upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik kepada pekerja dibandingkan dengan
sektor informal yang dipadati oleh pekerja. Pekerja di sektor formal mempunyai kesempatan
yang lebih besar untuk mendapatkan keterampilan di tempat kerja mereka (keterampilan
yang memungkinkan mereka mendapatkan pekerjaan di sektor formal) dan akses untuk
memperoleh pelatihan sehingga mereka mempunyai posisi yang lebih baik untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, sebagian besar pekerja
(tetapi tidak semua pekerja) di sektor informal merupakan kegiatan-kegiatan yang rendah
tingkat produktivitasnya dengan pendapatan pekerja informal yang umumnya rendah dan
kurang menentu. Pertumbuhan pekerja formal dan informal tahun 2006-2011 dan jumlah
pekerja formal dan informal dari waktu ke waktu dapat digambarkan pada Gambar 3.39.
Sedangkan komposisi pekerja formal dan informal untuk seluruh Provinsi digambarkan pada
Gambar 3.40.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

61

Gambar 3.39
Persentase Serta Pertumbuhan Pekerja Sektor Formal dan Informal Tahun 2005 2011
100% pertumbuhan

100,00%

0,2

80,00%

0,15
0,1

60,00%

0,05
40,00%

20,00%

-0,05

0,00%

-0,1
2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Persentase Pekerja Formal

Persentase Pekerja Informal

Pertumbuhan Jumlah Pekerja Formal

Pertumbuhan Jumlah Pekerja Informal

Sumber: Sakernas

Gambar 3.40
Komposisi Pekerja Formal dan Informal di Setiap Provinsi Tahun 2008 dan 2011
Nasional 2008
Nasional 2011
NAD 2008
NAD 2011
Sumatera Utara 2008
Sumatera Utara 2011
Sumatera Barat 2008
Sumatera Barat 2011
Riau 2008
Riau 2011
Kep. Riau 2008
Kep. Riau 2011
Kep. Babel 2008
Kep. Babel 2011
Lampung 2008
Lampung 2011
Bengkulu 2008
Bengkulu 2011
Sumatera Selatan 2008
Sumatera Selatan 2011
Jambi 2008
Jambi 2011
DKI Jakarta 2008
DKI Jakarta 2011
Jawa Barat 2008
Jawa Barat 2011
Jawa Tengah 2008
Jawa Tengah 2011
DI Yogyakarta 2008
DI Yogyakarta 2011
Jawa Timur 2008
Jawa Timur 2011
Banten 2008
Banten 2011
Bali 2008
Bali 2011

Nasional 2008
Nasional 2011
NTB 2008
NTB 2011
NTT 2008
NTT 2011
Kalimantan Tengah 2008
Kalimantan Barat 2011
Kalimantan Tengah 2008
Kalimantan Tengah 2011
Kalimantan Selatan 2008
Kalimantan Selatan 2011
Kalimantan Timur 2008
Kalimantan Timur 2011
Sulawesi Utara 2008
Sulawesi Utara 2011
Sulawesi Tengah 2008
Sulawesi Tengah 2011
Sulawesi Selatan 2008
Sulawesi Selatan 2011
Sulawesi Tenggara 2008
Sulawesi Tenggara 2011
Sulawesi Barat 2008
Sulawesi Barat 2011
Gorontalo 2008
Gorontalo 2011
Maluku 2008
Maluku 2011
Maluku Utara 2008
Maluku Utara 2011
Papua 2008
Papua 2011
Papua Barat 2008
Papua Barat 2011
0%

20%

40%

Formal

60%

80% 100%

Informal

Sumber: Sakernas, BPS (diolah)

62

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

0%

20%

40%

Formal

60%

80% 100%

Informal

3.8.2 Upah Minimum Regional Per Provinsi


Salah satu ukuran tingkat daya saing Negara adalah efisiensi pasar tenaga kerja. Menurut
Indeks Daya Saing dalam Global Competitiveness Report, pasar kerja Indonesia belum cukup
efisien, karena masih ditandai oleh berbagai hal, diantaranya adalah tingginya biaya
redundansi, kekakuan pasar kerja, fleksibilitas penentuan upah dan beberapa indikator pasar
kerja lainnya.
Tabel 3.14
Peringkat Indonesia Dalam Pilar Daya Saing Efisiensi Pasar Tenaga Kerja (Dari 142 Negara)
Tahun 2008 2011
No.
1
2
3
4
5

Indikator Indeks Daya Saing


Biaya redundansi
Kekakuan lapangan kerja (PHK, kontrak Kerja, outsourcing)
Praktek penerimaan dan pemutusan kerja
Fleksibilitas penentuan upah
Kerjasama hubungan karyawan pengusaha

2008

2009

2010

2011

117
87
19
79
19

119
82
34
92
42

127
100
38
98
47

131
104
51
113
68

Sumber: IMD World Competitiveness Yearbook

Tabel 3.15
Persentase Perubahan UMP Dibandingkan Dengan Laju Inflasi di Provinsi Unggulan Industri
Tahun 2000 2012
Tahun

Jawa
Timur

DKI
Jakarta

Jawa
Barat

Banten

2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

22,57
2,56
11,36
11,84
13,14
9,68
14,71
15,00
11,48
14,0
10,5
11.90

23,81
49,04
38,71
6,81
6,33
6,00
15,07
-0,37
19,18
10,0
4,5
15.38
18.53

10,26
6,52
14,60
13,97
14,53
11,39
9,65
0,00
26,93
10,6
6,9
9.01

10,15
6,52
46,94
31,94
8,42
13,59
13,10
0,00
26,51
9,6
4,1
4.68
4.20

Jawa
Tengah
20,92
32,43
28,37
8,24
7,23
6,85
15,38
11,11
9,40
5,1
14,8
2.27

DIY

Sumatera
Utara

Sulawesi
Selatan

Laju inflasi
tahun
sebelumnya

49,62
22,11
35,47
11,89
1,39
9,59
15,00
0,00
27,39
19,5
6,5
8.36
10.48

20,95
33,86
36,47
8,84
6,34
11,73
22,97
3,15
8,04
10,1
6,6
7.31
15.89

35,14
50,00
25,00
10,67
9,64
12,09
20,00
10,00
10,00
22,2
10,5
10.00
9.09

2,01
9,35
12,55
10,03
5,06
6,40
17,11
6,60
6,59
11,06
2,78
6.96
3.79

Sumber: BPS (diolah)


Keterangan:
Angka yang berwarna merah menunjukkan angka persentase perubahan UMP yang lebih rendah dari laju inflasi
tahun sebelumnya. Sedangkan yang masih kosong, belum menetapkan UMP.

Pergerakan upah di Indonesia, lebih banyak ditentukan oleh aspek kenaikan tingkat harga
dibandingkan dengan kenaikan produktivitas. Produktivitas belum menjadi determinan utama
dalam penentuan upah. Sebaiknya, komponen penentuan Upah Minimum Regional (UMR)
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

63

tidak hanya melihat pada sisi kenaikan inflasi saja, tetapi perlu diimbangi dengan aspek
produktivitas dan pencapaian target pekerjaan. Berikut digambarkan persentase perubahan
UMP dibandingkan dengan laju inflasi di provinsi unggulan industri.
Gambar 3.41
UMP Wilayah Sumatera

Gambar 3.42
UMP Wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara

NAD

DKI Jakarta

Sumatera Utara

Jawa Barat

Sumatera Barat

Jawa Tengah

Riau

Di Yogyakarta

Kep. Riau

Jawa Timur

Kep. Bangka Belitung

Banten

Lampung
Bengkulu

Bali

Sumatera Selatan

Nusa Tenggara Barat

Jambi

Nusa Tenggara Timur

0,0
2010

2011

0,5

1,0

1,5

0,0
2010

Juta Rupiah

2012

Sumber: BPS

2011

1,0
2012

2,0
Juta Rupiah

Sumber: BPS

Gambar 3.43
UMP Wilayah Kalimantan dan Sulawesi

Gambar 3.44
UMP Wilayah Gorontalo-Maluku-Papua

Kalimantan Barat
Gorontalo

Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan

Maluku

Kalimantan Timur
Sulawesi Utara

Maluku Utara

Sulawesi Tengah
Papua

Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara

Papua Barat

Sulawesi Barat

0,0
2010

2011

0,5
2012

1,0

1,5
Juta Rupiah

Sumber: BPS

0,0

0,5

2010

2011

1,0
2012

1,5

2,0
Juta Rupiah

Sumber: BPS

Tiap-tiap daerah memiliki tingkat upah yang tidak sama, seperti Banten dan Jawa Tengah,
dimana upah di Provinsi Banten lebih tinggi. Perbedaan tingkat upah yang cukup besar antara
Banten dan Jawa Tengah dalam jangka menengah dan panjang akan merugikan posisi Banten.
Terdapat indikasi adanya relokasi industri ke Provinsi Jawa Tengah, terutama industri yang
tergolong padat tenaga kerja. Perbedaan rata-rata upah yang cukup besar juga dialami oleh

64

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

usaha mikro dan kecil dengan usaha menengah dan besar, sebagaimana digambarkan
sebelumnya. Menjadi tantangan ke depan adalah mengupayakan agar upah minimum
meningkat sebesar peningkatan inflasi dan mendorong upah individu melalui hasil negosiasi
antara serikat pekerja dan pengusaha. Berikut gambaran upah minimum provinsi yang
dikelompokkan ke dalam 4 bagian, tahun 2010, 2011 dan 2012.

3.8.3 Produktivitas Tenaga Kerja


Kemampuan tenaga kerja Indonesia untuk meningkatkan daya saing dalam pasar kerja salah
satunya ditunjukkan oleh meningkatnya produktivitas tenaga kerja. Secara berarti dalam lima
tahun terakhir ini, pertumbuhan produktivitas tenaga kerja untuk seluruh sektor
perekonomian menunjukkan peningkatan. Terkecuali sektor pertanian di tahun 2007 dan
sektor jasa di tahun 2008. Peningkatan ini didorong oleh adanya perpindahan lapangan kerja
dari aktivitas bernilai tambah rendah ke aktivitas bernilai tambah lebih tinggi. Sektor jasa
telah memberikan kontribusi yang berarti dalam peningkatan produktivitas. Gambaran
pertumbuhan produktivitas secara nasional menurut 3 sektor utama, diikuti pula dengan
produktivitas per pekerja tahun 2005 dan 2010 untuk seluruh Provinsi di Indonesia
ditunjukkan sebagai berikut.
Gambar 3.45
Pertumbuhan Produktivitas Untuk Tiga Sektor Tahun 2006 2011

Persen (%)

8
6
4
2
0
-2
-4

2006

2007

2008

2009

2010

2011

PERTANIAN

5,37

-2,79

6,24

5,07

3,47

4,20

INDUSTRI

3,64

0,78

1,35

0,05

0,29

0,09

JASA DAN LAINNYA

6,31

4,54

-2,15

1,44

1,60

0,70

Sumber: BPS (diolah)

Perekonomian nasional akan berkembang lebih tinggi untuk memastikan bahwa penduduk
yang lebih berpendidikan dan berketerampilan memiliki akses ke pekerjaan yang baik dan
lebih produktif. Pada saat yang bersamaan terdapat keperluan untuk memastikan bahwa

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

65

pekerja selain mempunyai pendidikan yang lebih tinggi juga memperoleh pelatihan yang lebih
baik. Secara nasional, sekitar 3 persen di antaranya merupakan profesional dengan tingkat
pendidikan sarjana, sedangkan sekitar 5 persen di antaranya semi-skilled worker
berpendidikan diploma dan kejuruan.
Gambar 3.46
Produktivitas per Tenaga Kerja Tahun 2005 dan 2010
(Menurut Harga Konstan 2000)
100,00
90,00
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00

NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
INDONESIA

PDRB/TK 2005

PDRB/TK 2010

Sumber: BPS (diolah)

Proporsi tertinggi untuk pekerja dengan pendidikan SD/SMP terdapat di Provinsi NTT,
Kalimantan Barat dan Jateng. Sebaliknya, Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Kepulauan
Riau memiliki proporsi pekerja berpendidikan Universitas yang paling tinggi dibandingkan
dengan Provinsi lainnya.
Sementara itu, di seluruh provinsi di Indonesia mayoritas tenaga kerjanya merupakan semiskilled, dengan persentase lulusan SMP dan SMU yang relatif besar. Oleh sebab itu, peran
pemerintah menjadi sangat penting untuk memacu produktivitas pekerja baik secara
langsung yaitu menciptakan lingkungan kebijakan yang kondusif serta tidak langsung yaitu
meningkatkan kualitas dan keterampilan angkatan kerja.

66

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Gambar 3.47
Persentase Pekerja Menurut Tingkat
Pendidikan Tahun 2011

Papua
Papua Barat
Maluku Utara
Maluku
Sulawesi Barat
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bali
Banten
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
NAD

Papua
Papua Barat
Maluku Utara
Maluku
Sulawesi Barat
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bali
Banten
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
NAD
0%

SMP

Gambar 3.48
Persentase Pekerja Profesional/Semi Skill
Terhadap Jumlah Pekerja Tahun 2011

SMU

Sumber: Sakernas, BPS

20%

SMK

40%

60%

Diploma

80% 100%

Universitas

Profesional

10

20

30

40

50

60

Semi Skill

Sumber: Sakernas, BPS (diolah)

3.9 Perkembangan Reformasi Birokrasi dan Politik


Birokrasi memiliki peranan yang sangat strategis untuk mendukung manajemen
pemerintahan yang efektif, efisien, bersih, akuntabel dan melayani kepentingan publik. Di era
kompetisi global, peranan birokrasi menjadi lebih signifikan untuk memberikan respon berupa
formulasi dan implementasi kebijakan secara tepat; menyediakan pelayanan publik yang
berkualitas; mendorong terwujudnya iklim investasi yang kondusif; mendukung terwujudnya
daya saing perekonomian nasional di tengah persaingan global.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

67

Uraian berikut ini menggambarkan peta kondisi birokrasi di daerah ditinjau dari beberapa
indikator, yakni: (1) Kualitas SDM Aparatur, khususnya dilihat dari aspek tingkat pendidikan,
diharapkan dapat mencerminkan kualifikasi, kompetensi dan profesionalisme, (2) Penerapan
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) atau e-procurement, sebagai salah satu indikator
pelayanan dan transparansi dalam pengelolaan keuangan dilihat dari proses pengadaan
barang dan jasa, (3) Pencapaian opini BPK atas audit LKPD, yang mencerminkan kualitas
pengelolaan keuangan daerah secara tertib dan upaya menuju terwujudnya birokrasi yang
bersih, (4) Implementasi SAKIP, sebagai gambaran perkembangan akuntabilitas kinerja
birokrasi dan (5) Perkembangan politik Indonesia, yang digambarkan melalui Indeks
Demokrasi Indonesia serta angka pemilih dan angka partisipasi pemilih.

3.9.1 Kualitas SDM Aparatur


Salah satu bagian penting dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah pengembangan
manajemen SDM Aparatur untuk mewujudkan aparatur negara yang profesional. Dalam
rangka itu, penataan PNS mulai dari sistem rekruitmen, penempatan, promosi dan mutasi dan
evaluasi kinerjanya masih harus dibenahi. Sampai saat ini, masih sulit untuk menentukan
jumlah kebutuhan pegawai secara tepat pada suatu instansi, berdasarkan kebutuhan
organisasi dan kompetensi yang ada. Di sisi lain jumlah tenaga analis jabatan di K/L/pemda
masih sangat terbatas, sehingga peta jabatan dan profil kebutuhan pegawai belum tersedia
secara rinci dan valid. Berdasarkan data per 1 Januari 2012, jumlah PNS berdasarkan daerah
adalah sebanyak 4.570.818 orang. Adapun komposisi PNS per provinsi berdasarkan tingkat
pendidikan sebagaimana digambarkan dalam Gambar 3.49.
Gambar 3.49
Persentase Pegawai Negeri Sipil (PNS) Berdasarkan Pendidikan (per Januari 2012)
100%
80%
60%
40%
20%
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Papua
Maluku Utara
Papua Barat

0%

SD-SMA

D1-D3

Sumber: BKN, Januari 2012

68

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

S1/D4-S3

Melihat dari komposisi data tersebut terlihat bahwa PNS yang berpendidikan SLTA kebawah
masih menempati persentase yang tertinggi yaitu 37,68 persen dari jumlah PNS, sedangkan
PNS dengan tingkat pendidikan Diploma (1-3) sebesar 26,23 persen dan PNS dengan
pendidikan setara Sarjana ke atas sebesar 36.09 persen. Dilihat komposisi PNS yang
berpendidikan SLTA ke bawah berdasarkan provinsi, dapat diinformasikan bahwa terdapat
beberapa provinsi yang memiliki PNS berpendidikan SLTA ke bawah diatas 40 persen, yakni
Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua, Provinsi Maluku, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi
Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan
provinsi yang memiliki PNS dengan pendidikan setara S1 ke atas dengan persentase di atas 40
persen, antara lain Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Utara,
Provinsi Jawa Timur, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Bengkulu dan
Provinsi Sumatera Barat.

3.9.2 LPSE dan E-Procurement


Upaya reformasi birokrasi dilakukan di berbagai bidang, termasuk dalam bidang pengadaan
barang dan jasa. Reformasi dalam bidang pengadaan barang dan jasa, salah satunya dilakukan
melalui penerapan pelaksanaan lelang secara elektronik (e-procurement) berbasis
web/internet dengan memanfaatkan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) yang
dikembangkan LKPP dan diselenggarakan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
yang ada di instansi pemerintah. Hal ini selaras dengan mandat Perpres No. 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bahwa Kementerian/Lembaga/Pemerintah
Daerah/Instansi Lainnya wajib melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik untuk
sebagian/seluruh paket-paket pekerjaan, paling lambat pada tahun 2012.
Tabel 3.16
Peta Sebaran Daerah Dengan LPSE Tahun 2012
No

Daerah

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Prov. NAD
Prov. Bali
Prov. Bangka Belitung
Prov. Banten
Prov. Bengkulu
Prov. D. I. Yogyakarta
Prov. DKI Jakarta
Prov. Gorontalo
Prov. Jambi
Prov. Jawa Barat
Prov. Jawa Tengah
Prov. Jawa Timur
Prov. Kalbar
Prov. Kalsel
Prov. Kalteng
Prov. Kaltim
Prov. Kepulauan Riau

Status LPSE
Provinsi Kab/Kota(%)
sudah
43,4
sudah
66,7
sudah
100,0
sudah
100,0
sudah
80,0
sudah
100,0
sudah
0,0
sudah
50,0
sudah
90,9
sudah
73,1
sudah
97,1
sudah
92,1
sudah
78,6
sudah
100,0
sudah
85,7
sudah
92,9
sudah
100,0

No

Daerah

18
Prov. Lampung
19
Prov. Maluku
20
Prov. Maluku Utara
21
Prov. NTB
22
Prov. NTT
23
Prov. Papua
24
Prov. Papua Barat
25
Prov. Riau
26
Prov. Sulbar
27
Prov. Sulsel
28
Prov. Sulteng
29
Prov. Sultra
30
Prov. Sulut
31
Prov. Sumbar
32
Prov. Sumsel
33
Prov. Sumut
Total (Rata-rata)

Status LPSE
Provinsi Kab/Kota(%)
sudah
60,0
sudah
0,0
sudah
33,3
sudah
60,0
sudah
14,3
sudah
3,5
belum
9,1
sudah
91,7
sudah
60,0
sudah
41,7
sudah
63,6
sudah
41,7
sudah
57,1
sudah
95,0
sudah
86,7
sudah
35,3
97
62,8

Sumber: LKPP, Data Per April 2012


Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

69

Perkembangan pembentukan LPSE di daerah memperlihatkan hasil yang cukup baik. Hingga
April 2012, hampir seluruh provinsi di Indonesia telah memiliki LPSE. Dari 33 provinsi yang
ada, 32 provinsi (97 persen) telah memiliki LPSE. Hanya 1 provinsi yang belum memiliki LPSE,
yaitu Provinsi Papua Barat. Sedangkan untuk pengimplementasian e-Procurement dalam
proses lelang (operasional lelang), dari 33 provinsi, 31 provinsi (94 persen) telah
mengimplementasikan e-procurement dalam proses lelang (operasional lelang), terdapat 2
provinsi yang belum mengimplementasikan, yaitu provinsi Papua Barat dan Maluku Utara.
Sementara itu, untuk kabupaten/kota, sebagian besar telah memiliki LPSE. Dari 497
kabupaten/kota yang ada di Indonesia, sebanyak 312 kabupaten/kota (62,78 persen) telah
memiliki LPSE. Namun, perkembangan pembentukan LPSE tersebut belum sejalan dengan
pengimplementasian e-Procurement dalam proses lelang (operasional lelang). Dari total 497
kabupaten/kota, hanya 223 kabupaten/kota (44,87 persen) yang telah mengimplementasikan
e-Procurement dalam proses lelang (operasional lelang).
Hingga saat ini, baru 2 provinsi yaitu Provinsi Kep. Bangka Belitung dan DI Yogyakarta yang
seluruh kabupaten/kotanya telah memiliki LPSE dan mengimplementasikan e-Procurement
dalam proses lelang (operasional lelang). Sementara itu, terdapat 2 provinsi yaitu Provinsi DKI
Jakarta dan Provinsi Maluku yang seluruh kabupaten/kotanya belum memiliki LPSE dan belum
mengimplementasikan e-Procurement dalam proses lelang (operasional lelang).
Tabel 3.17
Peta Sebaran Daerah Yang Sudah Menerapkan E-Proc Tahun 2012
No

Daerah

Status E-PROC
Provinsi

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Prov. NAD
Prov. Bali
Prov. Bangka Belitung
Prov. Banten
Prov. Bengkulu
Prov. D. I. Yogyakarta
Prov. DKI Jakarta
Prov. Gorontalo
Prov. Jambi
Prov. Jawa Barat
Prov. Jawa Tengah
Prov. Jawa Timur
Prov. Kalbar
Prov. Kalsel
Prov. Kalteng
Prov. Kaltim
Prov. Kepulauan Riau

sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah

No

Kab/Kota(%)
17,4
44,4
100,0
75,0
40,0
100,0
0,0
16,7
45,5
92,3
82,9
63,2
50,0
84,6
21,4
57,1
85,7

Sumber: LKPP, Data Per April 2012

70

Daerah

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Status E-PROC
Provinsi

18 Prov. Lampung
19 Prov. Maluku
20 Prov. Maluku Utara
21 Prov. NTB
22 Prov. NTT
23 Prov, Papua
24 Prov. Papua Barat
25 Prov. Riau
26 Prov. Sulbar
27 Prov. Sulsel
28 Prov. Sulteng
29 Prov. Sultra
30 Prov. Sulut
31 Prov. Sumbar
32 Prov. Sumsel
33 Prov. Sumut
Total (Rata-rata)

sudah
sudah
belum
sudah
sudah
sudah
belum
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
94%

Kab/Kota(%)
42,9
0,0
33,3
50,0
9,5
3,5
0,0
58,3
60,0
25,0
36,4
0,0
21,4
95,0
53,3
5,9
44,9%

3.9.3 Opini LKPD


Terkait dengan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2010, hasil pemeriksaan
BPK selama tahun 2011 atas 516 LKPD dari keseluruhan 524 pemerintah daerah di Indonesia
memperlihatkan bahwa mayoritas pemerintah daerah di Indonesia masih mendapatkan opini
6
WDP , baik untuk level provinsi maupun kabupaten/kota. Dari total 516 LKPD, BPK
memberikan opini WTP atas 34 LKPD (7 persen), opini WDP atas 341 LKPD (66 persen), TW
atas 26 LKPD (5 persen) dan TMP atas 115 LKPD (22 persen). Di level provinsi, dari 33
pemprov yang menyerahkan LKPD, terdapat 18 persen yang mendapatkan opini WTP atau
sebanyak 6 provinsi, yakni Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi DI Yogyakarta,
Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya
terdapat 22 provinsi atau 67 persen yang mendapatkan opini WDP dan yang mendapatkan
opini TMP sebanyak 15 persen. Untuk kabupaten, terdapat 16 kabupaten atau baru sebesar 4
persen yang mendapatkan opini WTP. Sedangkan yang mendapatkan opini WDP sebanyak
252 pemda atau 65 persen. Untuk pemerintah kota, perkembangannya lebih baik
dibandingkan dengan pemerintah kabupaten, yakni terdapat 12 kota atau sebesar 13 persen
yang berhasil mendapatkan opini WTP. Selebihnya, terdapat 67 kota atau 72 persen yang
mendapatkan opini WDP.

45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat

Gambar 3.50
Peta Kepatuhan Penyampaian LKPD Tahun 2010

Jumlah Kab/Kota

Jumlah LKPD

Sumber: BPK, IHPS II 2011, Maret 2012

Terdapat empat kategori hasil penilaian BPK, yaitu


a. Opini Wajar Tanpa Pengecualian WTP (unqualified opinion);
b. Opini Wajar Dengan Pengecualian WDP (qualified opinion);
c. Opini Tidak Wajar TW (adverse opinion);
d. Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat TMP (disclaimer of opinion).
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

71

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II tahun 2011 yang diterbitkan BPK
pada bulan maret 2012, mayoritas pemerintah daerah telah menyerahkan laporan keuangan
pemerintah daerah. Untuk level provinsi, 33 pemerintah daerah telah menyampaikan laporan
keuangannya. Hanya saja, untuk level kabupaten/kota terdapat 4 (empat) kabupaten yang
dikarenakan statusnya sebagai daerah otonom baru sehingga belum berkewajiban menyusun
dan menyampaikan laporan keuangan. Keempat daerah tersebut berada di Provinsi Papua,
yakni Kabupaten Deiyai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Mamberamo Tengah dan
Kabupaten Puncak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh daerah telah memiliki
kepatuhan yang tinggi untuk menyusun dan menyampaikan laporan keuangan setiap
tahunnya. Adapun rekapitulasi capaian opini atas LKPD secara rinci diilustrasikan sebagaimana
gambar di bawah ini.
Gambar 3.51
Pencapaian Opini BPK Atas Laporan Keuangan Pemda Tahun 2012
1

35
30

WTP

WDP

TMP

Papua

7
5

Papua Barat

10 9
Maluku

Maluku Utara

5
1

Gorontalo

10

Sulawesi Barat

2
1

Sulawesi Selatan

19
2 18

Sulawesi Tenggara

13 3

Sulawesi Utara

Sulawesi Tengah

Kalimantan Timur

13

Kalimantan Selatan

Kalimantan Barat

Kalimantan Tengah

14 2

Nusa Tenggara Timur

1
2

Bali

2
4
Banten

4
1

Jawa Timur

7
Jawa Barat

Jawa Tengah

Kep. Riau

DI Yogyakarta

1
3

Nusa Tenggara Barat

26

DKI Jakarta

Lampung

11 12

15

Bengkulu

NAD

1
Sumatera Utara

11
5

18

Sumatera Selatan

10
5

Kep. Bangka Belitung

17 2

33

Riau

15

32
2

Jambi

20

1
11

Sumatera Barat

25

TW

Sumber: BPK, IHPS II 2011, Maret 2012

3.9.4 Implementasi SAKIP


Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) merupakan upaya untuk
memperkuat dan meningkatkan akuntabilitas kinerja. Implementasi SAKIP dimaksudkan untuk
mendorong peningkatan kualitas akuntabilitas kinerja seluruh instansi pemerintah dan
melihat komitmen penerapan manajemen pemerintahan berbasis kinerja. Implementasi ini,
sekaligus untuk mengawal peningkatan kualitas reformasi birokrasi, khususnya birokrasi yang
berorientasi pada hasil (outcome oriented).

72

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Setiap tahun, melalui koordinasi Kementerian PAN dan RB, dilakukan Evaluasi Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah, atas penyelenggaraan manajemen kinerja pada birokrasi
pemerintah, pada seluruh instansi pemerintah pusat (Kementerian/Lembaga) dan pemerintah
daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Evaluasi ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi
kelemahan dalam penerapan sistem akuntabilitas kinerja di lingkungan instansi pemerintah
(SAKIP), (2) memberikan rekomendasi untuk peningkatan dan penguatan akuntabilitas
instansi pemerintah dan (3) menyusun peringkat hasil evaluasi guna kepentingan penetapan
kebijakan di bidang pendayagunaan aparatur Negara. Adapun kategorisasi penilaian
sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 3.18.
Tabel 3.18
Pengkategorian Penilaian Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
No

Predikat

Nilai
Absolut

Interpretasi

Karakteristik Instansi

1.

AA

>85-100

Memuaskan

Memimpin perubahan, berbudaya kinerja, berkinerja


tinggi dan sangat akuntabel

2.

>75-85

Sangat Baik

Akuntabel, berkinerja baik,


manajemen kinerja yang andal.

3.

>65-75

Baik dan perlu sedikit


perbaikan

Akuntabilitas kinerjanya sudah baik, memiliki sistem


yang dapat digunakan untuk manajemen kinerja dan
perlu sedikit perbaikan.

4.

CC

>50-65

Cukup baik (memadai),


perlu banyak perbaikan
yang tidak mendasar

Akuntabilitas kinerjanya cukup baik, taat kebijakan,


memiliki sistem yang dapat digunakan untuk
memproduksi informasi kinerja untuk pertanggung
jawaban, perlu beberapa perbaikan tidak mendasar.

5.

>30-50

Agak kurang, perlu


banyak perbaikan,
termasuk perubahan
yang mendasar

Sistem dan tatanan kurang dapat diandalkan,


memiliki sistem untuk manajemen kinerja tapi perlu
banyak perbaikan minor dan perbaikan yang
mendasar.

6.

0-30

Kurang, perlu banyak


sekali perbaikan dan
perubahan yang sangat
mendasar.

Sistem dan tatanan tidak dapat diandalkan untuk


manajemen kinerja, perlu banyak perbaikan,
sebagian perubahan yang sangat mendasar.

memiliki

sistem

Sumber: Kementerian PAN & RB, 2012

Berdasarkan hasil evaluasi akuntabilitas kinerja tahun 2011, sebanyak 32 dari 33 provinsi
telah menyampaikan laporan. Dari jumlah itu hanya 30 provinsi yang dievaluasi dikarenakan 2
provinsi lain terlambat dalam menyampaikan laporan. Sedangkan untuk level
kabupaten/kota, sebanyak 422 dari 497 kabupaten/kota telah menyampaikan laporan dan
dari jumlah itu hanya 180 kabupaten/kota yang dinilai. Penilaian diprioritaskan bagi daerahdaerah yang pada tahun sebelumnya belum dinilai. Adapun rincian skor LAKIP untuk masingmasing provinsi sebagaimana Tabel 3.19.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

73

Tabel 3.19
Pencapaian Skor LAKIP di Level Provinsi Tahun 2011
No

Provinsi

Predikat

No

1
Jateng
B
11
2
Kaltim
B
12
3
Bali
CC
13
4
DIY
CC
14
5
DKI Jakarta
CC
15
6
Jabar
CC
16
7
Jatim
CC
17
8
Kalbar
CC
18
9
Kalsel
CC
19
10
Kep. Riau
CC
20
Sumber: Kementerian PAN & RB, 2012

Provinsi
Maluku
NTB
NTT
Riau
Sulteng
Sulut
Sulbar
Sulsel
Sumut
NAD

Predikat

No

CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
C

21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Provinsi

Predikat

Banten
Bengkulu
Gorontalo
Jambi
Kalteng
Kep. Babel
Lampung
Papua
Sulbar
Sulsel

C
C
C
C
C
C
C
C
C
C

3.9.5 Perkembangan Politik


Indeks Demokrasi Indonesia
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) adalah alat untuk mengukur perkembangan demokrasi di
setiap provinsi di Indonesia. Terdapat 3 aspek yang diukur, yaitu aspek kebebasan sipil, hakhak politik dan lembaga demokrasi.
Gambar 3.52
Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2009 dan 2010
100,00
86,97

90,00

82,53

80,00
70,00

67,30

62,72

63,17

63,11

54,60

60,00

47,87

50,00
40,00
30,00
20,00
10,00

0,00
IDI

Kebebasan Sipil
2009

Hak Politik

Lembaga Demokrasi

2010

Sumber: IDI 2010, Bappenas, UNDP; IDI 2012, BPS

Pada tahun 2009 tingkat kinerja demokrasi rata-rata provinsi di Indonesia mencapai 67,30
atau kategori sedang (Indeks 60<80). Namun terjadi penurunan menjadi 63,7 pada tahun
2010. Penurunan ini disebabkan turunnya Indeks Kebebasan Sipil dari 86,97 pada tahun 2009

74

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

menjadi 82,53 atau kategori tinggi (Indeks >80) pada tahun 2010; dan menurunnya Indeks
Hak-hak Politik dari 54,60 atau kategori rendah (Indeks <60) pada tahun 2009 menjadi 47,87
di tahun 2010. Berbeda dengan kedua Indeks Kebebasan Sipil dan Hak-hak Politik, Indeks
Lembaga Demokrasi mengalami kenaikan dari 62,72 tahun 2009 menjadi 63,11 (kategori
sedang) pada tahun 2010. Turunnya angka Indeks rata-rata seluruh provinsi Indonesa pada
tahun 2010 dikontribusi oleh menaiknya jumlah aksi atau tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh aparat terhadap masyarakat dan antar kelompok masyarakat.
Berdasarkan IDI tahun 2010, sebanyak 6 provinsi memiliki indeks dengan kategori rendah
(indeks < 60) dan sebanyak 27 provinsi termasuk ke dalam kategori sedang (60< indeks <80).
Tidak ada satu pun provinsi di Indonesia memiliki indeks dengan kategori tinggi (indeks > 80).
Gambar 3.53
Indeks Demokrasi Indonesia Berdasarkan Provinsi Tahun 2010
63,17

NASIONAL

65,36
63,45
63,04
71,45
65,88
73,65
70,78
67,80
65,94
62,89
77,44
59,41
63,42
74,33
55,12
60,60
72,44
58,13
72,05
69,32
71,10
70,94
73,04
65,94
66,63
56,67
54,79
64,97
67,57
69,51
59,92
67,75
60,26

NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua

IDI

Kebebasan Sipil

Hak Politik

Lembaga Demokrasi

Sumber : BPS 2012


Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

75

Pada aspek lembaga demokrasi, sebanyak 3 provinsi (9 persen) memiliki indeks kategori
tinggi, 24 provinsi (73 persen) memiliki indeks dengan kategori sedang dan 6 provinsi (9
persen) termasuk dalam kategori rendah. Pada aspek hak-hak politik, hanya 4 provinsi
memiliki indeks sedang dan sisanya 29 provinsi termasuk kedalam kategori rendah. Berbeda
dengan kedua aspek lainnya, aspek kebebasan sipil telah berkembang pesat di seluruh
provinsi di Indonesia, yang dapat mencapai rata-rata 82,53 atau kategori tinggi. Untuk
kebebasan sipil ini, sebanyak 25 provinsi berada pada peringkat tinggi, 7 provinsi termasuk
kategori sedang dan 1 provinsi yang mendapatkan indeks rendah. Dengan tingginya Indeks
Kebebasan Sipil dan rendahnya Indeks Hak-hak Politik dan Lembaga Demokrasi menunjukkan
adanya kesenjangan antara tuntutan masyarakat dan pelayanan yang dapat diberikan oleh
penyelenggara pemerintahan daerah. Kesenjangan ini harus direspon dan diatasi agar tidak
menimbulkan ketidakpuasan masyarakat lebih lanjut dan dapat memicu timbulnya aksi
kekerasan.
Gambar 3.54
Indeks Demokrasi Indonesia Berdasarkan Kepulauan Tahun 2010
100,00
90,00

84,29

82,53

80,00
70,00
60,00
50,00

63,17

63,11
47,87

67,02

84,10
65,85

54,09

65,05

68,73

67,54

70,59
51,30

47,66

94,84

89,80

85,62

71,10

85,71
70,06

66,41

56,95

67,05

64,36

66,73

50,73

38,74

40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
NASIONAL

Sumatera
IDI

Jawa
Kebebasan Sipil

Bali-NTB-NTT
Hak Politik

Kalimantan

Sulawesi

Maluku-Papua

Lembaga Demokrasi

Sumber : BPS 2012

Indeks Demokrasi Indonesia 2010 berdasarkan Kepulauan menunjukkan seluruh kelompok


wilayah mencapai indeks (IDI) rata-rata di atas indeks Nasional (63,17). Dari seluruh wilayah
kepulauan, angka indeks Kalimantan adalah yang tertinggi (71,10), sementara angka indeks
terendah ada di Wilayah Maluku-Papua (64,36). Demikian pula halnya dengan indeks
Kebebasan Sipil. Seluruh Wilayah Kepulauan menunjukkan angka indeks di atas rata-rata
nasional (82,53). Niilai indeks Kebebasan Sipil tertinggi adalah di Wilayah Maluku-Papua dan
terendah di Wilayah Jawa. Sementara itu, bila melihat indeks Hak-hak Politik, hanya Wilayah
Maluku-Papua yang nilai indeksnya di bawah rata-rata nasional, yakni 38,74. Pada indeks
Lembaga Demokratis, seluruh Wilayah Kepulauan menunjukkan angka indeks di atas rata-rata
nasional.

76

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Angka Pemilih Dan Partisipasi Pemilih


Salah satu indikator yang diukur dalam demokrasi adalah tingkat partisipasi politik dalam
pemilu dan pemilukada. Pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009, jumlah
pemilih dalam berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) SK 164 berjumlah 171.265.442 orang
(Pemilu 2009 dalam Angka, KPU). Sedangkan jumlah pemilih tetap dalam Pemilu Umum
Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 berjumlah 176.411.434 orang (Pemilu 2009 dalam
Angka, KPU). Pada Pemilu Presiden/Wakil Presiden 2009, persentasi jumlah pemilih terbesar
berada di Jawa yang mencapai 59,8 persen. Keseluruhan provinsi yang berada di Jawa
memiliki kurang lebih total 24,9 persen jumlah kabupaten/kota.
Gambar 3.55
Jumlah Kabupaten/Kota dan Jumlah Pemilih Pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009
Papua Barat
Papua
Maluku Utara
Maluku
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bali
Banten
Jawa Timur
D.I. Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kep. Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Kepulauan Riau
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
NAD

0,3
1,2
0,4
0,6
0,4
0,9
0,4
3,3
1,0
1,0
1,4
1,4
0,9
1,8
1,6
1,8
1,6
3,8
17,2
1,6
15,3
16,9
5,0
0,5
3,1

0,7
3,0
1,2
0,7
2,0
1,8
5,4
1,8
0

Kab/kota

10

20

30

Pemilih pemilu legislatif (%)

40

50

60

70

80

Pemilih pemilu presiden (%)

Sumber: KPU; Pemilu dalam Angka, 2010

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

77

Pada Pemilu legislatif, persentasi jumlah pemilih di Jawa tidak jauh berbeda, yaitu 60,7
persen. Dua puluh tujuh (27) provinsi lain dengan 75,1 persen jumlah kabupaten/kota di
Indonesia memiliki persentasi jumlah pemilih sebanyak 40,2 persen pada Pemilu
Presiden/Wapres dan 39,3 persen pada Pemilu Legislatif. Persentasi jumlah kabupaten/kota
dan jumlah pemilih pada masing-masing provinsi pada Pemilu Anggota Legislatif dan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden disajikan dalam Gambar 3.55.
Tingkat partisipasi politik pada pemilu legislatif tahun 2009 rata-rata seluruh Indonesia
mencapai 70,9 persen, lebih rendah dari pemilu tahun 2004 yang mencapai 77,4 persen.
Sedangkan untuk Pemilu Presiden 2009 tingkat partisipasinya mencapai 72,6 persen, juga
lebih rendah dari pemilu tahun 2004 yang mencapai 84,1 persen. Dibandingkan pelaksanaan
tahun 2004 dan 2009, tingkat partisipasi politik pada pemilu 2009 cenderung mengalami
penurunan. Agar tidak terjadi penurunan lebih lanjut pada Pemilu 2014 mendatang, upaya
keras harus dilakukan melalui pendidikan politik dengan metode yang tepat sasaran.
Gambar 3.56
Tingkat Partisipasi Politik dalam Pemilu Tahun 1971 2009
94,0%

1971

90,6%

1977

91,2%

1982

91,3%

90,9%

1987

1992

Tingkat Partisipasi Pemilu Legislatif

88,9%

1997

93,3%
84,1%
77,4% 71,0%

1999

2004

72,6%

2009

Tingkat Partisipasi Pemilu Presiden

Sumber: IDEA dan KPU, 2011

Tingkat partisipasi pemilih tertinggi dalam Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD diperoleh
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan terendah diperoleh provinsi DKI Jakarta. Sedangkan
pada Pemilu Presiden/Wapres, Provinsi Papua mencapai tingkat partisipasi pemilih tertinggi
yaitu 85 persen dan Provinsi Kepulauan Riau yang mencapai 61 persen.

78

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Gambar 3.57
Tingkat Partisipasi Politik Pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden Tahun 2009
Papua Barat

81

Papua
Maluku Utara
Maluku
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bali
Banten
Jawa Timur
D.I. Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kep. Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Kepulauan Riau
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
NAD

90
80
81
83
75
78
73
78
79
67

71
69
73
81
75
77
72
68
73
71
73
51
70
74
75
77
75
60
68
70
66
75
0

20

Pemilih pemilu presiden (%)

40

60

80

100

Pemilih pemilu legislatif (%)

Sumber: Pemilu 2009 dalam Angka, KPU

Berdasarkan wilayah, tingkat partisipasi Pilpres 2009 di Maluku dan Papua adalah sebesar 80
persen, lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat partisipasi di Sumatera 70,0 persen, Jawa
72,0 persen, Bali, NTB dan NTT 76,0 persen, Kalimantan 70,0 persen dan Sulawesi 75,0
persen. Tingkat partisipasi ini dihitung dari pemilih di DPT yang menggunakan hak pilih.
Sedangkan, persentasi jumlah pemilih di DPT yang tidak menggunakan hak pilihnya di
Sumatera adalah tertinggi sebesar 30,0 persen dan di Maluku dan Papua mencapai 20,0
persen lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

79

Gambar 3.58
Tingkat Partisipasi Pemilih Pada Pilpres di Berbagai Wilayah Tahun 2009
30.000.000

80.000.000

Sumatera

25.000.000

60.000.000

20.000.000
15.000.000

50.000.000

70,0%

40.000.000
30.000.000

10.000.000

Pemilih di DPT yang


Pemilih di DPT yang
Menggunakan Hak Pilih Tidak Menggunakan Hak
Pilih

Pemilih di DPT yang


Pemilih di DPT yang
Menggunakan Hak Pilih Tidak Menggunakan Hak
Pilih

Jumlah DPT: 35.826.186 orang

7.000.000

Jumlah DPT: 103.821.470 orang

8.000.000

Bali - NTT - NTB

6.000.000

Kalimantan

7.000.000
6.000.000

5.000.000

5.000.000

4.000.000

4.000.000

76,0%

3.000.000

2.000.000

70,0%

2.000.000

24,0%

1.000.000

30,0%

1.000.000

0
Pemilih di DPT yang Pemilih di DPT yang Tidak
Menggunakan Hak Pilih Menggunakan Hak Pilih

Pemilih di DPT yang Pemilih di DPT yang Tidak


Menggunakan Hak Pilih Menggunakan Hak Pilih

Jumlah DPT: 8.750.838 orang

Jumlah DPT: 9.894.265 orang

Sulawesi

4.000.000

Maluku - Papua

3.500.000
3.000.000
2.500.000

75,0%

2.000.000

80,0%

1.500.000

25,0%

1.000.000
500.000

Pemilih di DPT yang


Pemilih di DPT yang
Menggunakan Hak Pilih Tidak Menggunakan Hak
Pilih

Jumlah DPT: 12.405.626 orang


Sumber: Pemilu 2009 dalam Angka, KPU

80

28,0%

10.000.000

10.000.000
9.000.000
8.000.000
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
1.000.000
0

72,0%

20.000.000

30,0%

5.000.000

3.000.000

Jawa

70.000.000

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

20,0%

0
Pemilih di DPT yang Pemilih di DPT yang Tidak
Menggunakan Hak Pilih Menggunakan Hak Pilih

Jumlah DPT: 4.565.389 orang

Pada Pemilukada yang dilaksanakan di seluruh Provinsi di Indonesia, rata-rata tingkat


partisipasi politiknya mencapai 75,6 persen. Dari seluruh provinsi tersebut, sebanyak 16
provinsi memiliki tingkat partisipasi politik di atas rata-rata 75,6 persen dan 17 provinsi di
bawah rata-rata.
Gambar 3.59
Tingkat Partisipasi Politik pada Pemilukada Tahun 2010-2011
RATA - RATA PARTISIPASI PEMILIH

75,6

Papua Barat

84,7

Papua

84,0

Maluku Utara

83,0

Maluku

83,3

Nusa Tenggara Timur

83,1

Nusa Tenggara Barat

79,9

Bali

76,7

Sulawesi Barat

77,0

Gorontalo

82,4

Sulawesi Tenggara

83,6

Sulawesi Selatan

76,0

Sulawesi Tengah

81,7

Sulawesi Utara

82,0

Kalimantan Timur

70,2

Kaliamantan Selatan

71,4

Kalimantan Tengah

71,5

Kalimantan Barat

74,8

Banten

67,3

Jawa Timur

70,7

DI. Yogyakarta

73,9

Jawa Tengah

68,7

Jawa Barat

69,8

Kepualauan Riau

56,5

Kep. Bangka Belitung

81,9

Bengkulu

72,3

Lampung

71,7

Sumatera Selatan

75,7

Jambi

75,1

Riau

68,3

Sumatera Barat

71,6

Sumatera Utara

69,5

NAD

79,7

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

Sumber : Ditjen Otonomi Daerah-Kemdagri, 2011

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

81

3.10 Pelaksanaan Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi


Indonesia (MP3EI)
3.10.1 Pelaksanaan MP3EI Tahun 2011 dan 2012
MP3EI berisi arahan pengembangan kegiatan ekonomi utama yang sudah lebih spesifik untuk
mendorong
percepatan
dan
perluasan
pembangunan
ekonomi.
Untuk
mengimplementasikannya, Pemerintah juga sudah membentuk Komite Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI). Sejak MP3EI diluncurkan sampai dengan
akhir Desember 2011, telah dilaksanakan groundbreaking proyek yang mendukung
pelaksanaan MP3EI sebanyak 94 proyek dengan total nilai investasi Rp. 499,5 Triliun.
Selengkapnya rekapitulasi kegiatan MP3EI yang telah groundbreaking hingga Desember 2011
terdapat dalam Tabel 3.20.
Tabel 3.20
Rekapitulasi Kegiatan MP3EI Yang Telah Groundbreaking (Sampai Akhir Desember 2011)
Koridor Ekonomi

Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Bali-NT
Papua-Kep.Maluku
Total

Jumlah Proyek

Nilai Investasi

Total

Infrastruktur

Sektor Riil

Infrastruktur
(Rp. Miliar)

Sektor Riil
(Rp. Miliar)

Proyek

Investasi
(Rp. Miliar)

17
8
3
1
6
3
38

2
8
12
26
1
7
56

35.429
64.674
1.586
3.000
36.065
1.011
141.765

62.505
71.397
14.644
142.267
829
66.120
357.762

19
16
15
27
7
10
94

97.934
136.071
16.230
145.267
36.894
67.131
499.527

Sumber: Sekretariat KP3EI

Proyek MP3EI tersebut tersebar di 6 (enam) koridor ekonomi yang terdiri dari investasi untuk
proyek sektor riil senilai Rp.357,8 triliun (56 proyek) dan pembangunan infrastruktur Rp.141,7
triliun (38 proyek). Proyek-proyek tersebut akan dibiayai oleh Pemerintah dengan nilai
investasi sebesar Rp.71,6 triliun (24 proyek), BUMN sebesar Rp.131 triliun (24 proyek), swasta
sebesar Rp.168,6 triliun (38 proyek) dan melalui Kerjasama Pemerintah Swasta/KPS sebesar
Rp.128,3 triliun (8 proyek).
Pada tahun 2012, MP3EI melalui KP3EI juga telah merencanakan untuk melakukan
groundbreaking terhadap 84 proyek yang terdiri dari investasi sektor riil dan pembangunan
infrastruktur dengan nilai total Rp.536,3 triliun. Adapun proyek-proyek tersebut akan dibiayai
oleh Pemerintah sebesar Rp.66,2 triliun (15 proyek), BUMN sebesar Rp.90,3 triliun (20
proyek), swasta sebesar Rp.301,6 triliun (38 proyek) dan campuran sebesar Rp.78,2 triliun (11
proyek).

82

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Dalam rangka penguatan SDM dan IPTEK, pada tahun 2012 telah direncanakan program
penguatan SDM sebanyak 76 program dengan nilai total investasi Rp.580 miliar. Sedangkan
untuk program pengembangan IPTEK, direncanakan untuk melaksanakan 134 program
dengan nilai total investasi Rp.3,8 triliun. Selengkapnya jumlah dan nilai program bidang SDM
IPTEK di setiap koridor ekonomi terdapat dalam Gambar 3.60 dan Gambar 3.61.
Gambar 3.60
Jumlah dan Nilai Program Bidang SDM di setiap Koridor Ekonomi Tahun 2012
100

700

90

Jumlah Program SDM

76

70

16

6
11

60
50

15

23

40
30

22

45

20
10

47

600

Nilai Program SDM (IDR Miliar)

80

91

500

218

116

400

300

22

579

31

272

170

200

191

100
0

Community College

Politeknik

Universitas

Community College

Politeknik

Universitas

Sumber: Sekretariat KP3EI

Gambar 3.61
Jumlah dan Nilai Program Bidang IPTEK di setiap Koridor Ekonomi
180

Jumlah Program IPTEK

22

140

11

120

15

100

65

12
54

80
60
40

134

35

Nilai Program IPTEK (IDR Miliar)

5000

160

4500

34

320

3500

315

1449

295

3000

1832

2500
2000

1330

1500
1000

20

20

572 3832

4000

498

1053

500
0

Litbang

Centre of Exellence

Fasilitas Riset

Litbang

Centre of Exellence

Fasilitas Riset

Sumber: Sekretariat KP3EI


Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

83

Selain pembangunan infrastruktur dan penguatan SDM dan IPTEK, Pemerintah juga akan
terus melakukan sejumlah perbaikan iklim investasi, antara lain melalui debottlenecking
regulasi (deregulasi) terhadap peraturan yang dinilai menjadi penghambat bagi pelaksanaan
investasi. Sampai April 2012, Pemerintah telah selesai melakukan revisi terhadap 31 regulasi
dan sedang menyelesaikan 16 regulasi lainnya (lihat Tabel 3.21). Upaya-upaya
debottlenecking di atas tentunya tidak akan berhasil tanpa ada dukungan dari pemerintah
daerah terutama untuk melakukan upaya debottlenecking guna memperbaiki iklim investasi
di daerah masing-masing. Hal ini juga terkait untuk memastikan penetapan peraturanperaturan daerah yang dapat mendukung terciptanya iklim investasi dan kepastian berusaha.
Tabel 3.21
Status Penyempurnaan Regulasi (per April 2012)
No.

Jenis Regulasi

Undang-Undang (UU)

Peraturan Pemerintah
(PP)
3
Peraturan Presiden
(Perpres)
4
Keputusan Presiden
(Keppres)
5
Instruksi Presiden
(Inpres)
6
Peraturan
Menteri/Kepala
TOTAL
Sumber: Sekretariat KP3EI

Telah
Diperbaiki
1
6
14
1
1
8
31

Jenis Regulasi
Rancangan UndangUndang (RUU)
Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP)
Rancangan Peraturan
Presiden (RPerpres)
Rancangan Keputusan
Presiden (RKeppres)
Rancangan Instruksi
Presiden (RInpres)
Rancangan Peraturan
Menteri/Kepala
TOTAL

Sedang
Diperbaiki
2

Akan Diperbaiki

3.10.2 Rencana MP3EI Tahun 2013


Suksesnya pelaksanaan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia sangat
tergantung pada kuatnya derajat konektivitas ekonomi nasional (intra dan inter wilayah)
maupun konektivitas ekonomi Internasional Indonesia dengan pasar dunia. Untuk itu,
Pemerintah akan terus melakukan upaya pembangunan infrastruktur dalam rangka
penguatan konektivitas nasional. Adapun Isu strategis terkait infrastruktur pada tahun 2013
dalam mendukung pelaksanaan MP3EI adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.

84

Peningkatan konektivitas (domestic connectivity) untuk menunjang pertumbuhan


dan pemerataan;
Peningkatan keselamatan transportasi;
Pengembangan transportasi di Kota Metropolitan;
Penyediaan infrastruktur Sumber Daya Air (SDA) untuk peningkatan ketahanan dan
ketersediaan air;
Percepatan pembangunan infrastruktur melalui skema Kerjasama Pemerintah dan
Swasta (KPS).
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Dengan mempertimbangkan beberapa isu strategis dimaksud, Pemerintah akan terus


mengupayakan peningkatan rencana alokasi pembiayaan pembangunan infrastruktur. Pada
rencana pembangunan infrastruktur tahun 2013, Pemerintah sudah melakukan peningkatan
alokasi indikatif pembangunan infrastruktur sekitar 17,1 triliun rupiah dari TA 2012. Meskipun
demikian, kebutuhan anggaran untuk pembangunan infrastruktur masih terdapat kekurangan
sekitar 12,9 triliun rupiah dari kebutuhan anggaran yang sudah diidentifikasi sampai tahun
2013 sebesar 52.5 triliun rupiah.
Untuk lebih jelasnya, rekapitulasi alokasi indikatif kegiatan konektivitas tahun 2013 menurut
kementerian/lembaga (dalam miliar rupiah) dapat dilihat pada Tabel 3.22 dan Gambar 3.62.
Tabel 3.22
Alokasi dan Kebutuhan Tambahan Konektivitas Tahun 2013 (Miliar Rupiah)
Kebutuhan
Kementerian PU
Ditjen Bina Marga
Ditjen SDA
Ditjen Cipta Karya
Kementerian Perhubungan
Ditjen Perkeretaapian
Ditjen Perhubungan Darat
Ditjen Perhubungan Laut
Ditjen Perhubungan Udara
Kementerian ESDM
Ditjen Ketenagalistrikan
Kementerian Kominfo
Ditjen Penyelenggaraan Pos Dan
Informatika
Kementerian Perdagangan
TOTAL

21.579,18
15.680,41
5.700,29
198,49
18.390,52
10.383,06
660,00
5.373,02
1.974,44
11.443,01
11.443,01
1.040,00
1.040,00

Alokasi
(Pagu Indikatif)
18.428,54
13.091,27
5.157,29
179,99
14.310,76
7.130,77
454,47
4.930,98
1.794,54
6.819,90
6.819,90
5,00
5,00

51,00
52.503,71

51,00
39.615,20

Kebutuhan
Tambahan
3.215,89
2.589,14
543,00
18,50
4.079,76
3.252,29
205,53
442,04
179,90
4.623,11
4.623,11
1.035,00*
1.035,00*
12.953,76

Sumber
: Sekretariat Timja Konektivitas, 2012
Keterangan (*) : Kebutuhan tambahan akan dipenuhi dari ICT Fund.

Gambar 3.62
Rekapitulasi Alokasi Indikatif Kegiatan Konektivitas Tahun 2013
Menurut Kementerian/Lembaga (Miliar Rupiah)
Kementerian
Kominfo
5,00

Kementerian
ESDM
6.819,90

Kementerian
Perdagangan
51.00
Kementerian
Perhubungan
14.310,76

Kementerian PU
18.428,54

Sumber: Sekretariat Timja Konektivitas, 2012


Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

85

Untuk penguatan konektivitas di setiap koridor ekonomi, Pemerintah melalui Tim Kerja
Konektivitas telah menetapkan kebijakan untuk pengalokasian MP3EI dalam RKP 2013, yaitu:
Koridor Ekonomi Sumatera
a.

b.
c.
d.

Penanganan jalan wilayah dalam mendukung pengembangan kawasan ekonomi


antara lain ke Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangke, Dumai dan Kawasan Industri
Muara Enim;
Memberikan alternatif moda transportasi darat dengan pembangunan jalan kereta
api di NAD dan Sumatera Utara;
Memperkuat transportasi udara terutama provinsi Jambi, Sumatera Utara dan
Palembang;
Memperkuat transportasi moda laut melalui peningkatan kapasitas penyeberangan
Bakauheni sisi Barat.

Koridor Ekonomi Jawa


a.
b.
c.

Penanganan moda transportasi kereta api wilayah utara Jawa antara lain dengan
pembangunan jalur ganda lintas utara Jawa dan jalur ganda di Wilayah Jabodetabek;
Pengembangan beberapa pelabuhan, antara lain pengembangan pelabuhan di Pulau
Madura, Pelabuhan Pamanukan dan Perluasan pelabuhan Tanjung Mas;
Memperkuat dan meningkatkan kualitas jalan lintas utara Jawa dengan bagian
selatan Jawa.

Koridor Ekonomi Kalimantan


a.
b.

Penanganan jalan dan jembatan di Kalimatan Barat, Kalimantan Tengah dan


Kalimantan Timur;
Dalam meningkatkan ekspor migas dan pertanian, penguatan kapasitas pelabuhan
menjadi prioritas, antara lain peningkatan kapasitas Pelabuhan Maloy dan
Pengembangan Pelabuhan Pontianak.

Koridor Ekonomi Sulawesi


a.
b.

Pembangunan jalan dalam memperkuat sistem distribusi komoditas dari Makasar ke


wilayah lainnya dan jalan pertambangan nikel di Wilayah Kendari;
Meningkatkan hubungan dari Wilayah Sulawesi ke wilayah lainnya, akan didukung
dengan pengembangan beberapa pelabuhan laut, antara lain Bitung sebagai Hub
Internasional dan pelabuhan regional lainnya.

Koridor Ekonomi Bali-NT


a.

86

Infrastruktur jalan dalam mendukung pengembangan pariwisata dan pusat


peternakan di Sumbawa menjadi salah satu prioritas di Wilayah Nusa Tenggara;
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

b.

c.

Penguatan konektivitas dan sistem logistik di Nusa Tenggara Timur dilakukan dengan
mengembangkan kapasitas pelabuhan peti kemas Tenau serta pelabuhan rakyat
Nomainsain;
Memperkuat pengembangan Wilayah Bali sebagai pusat pariwisata Internasional.

Koridor Ekonomi Papua - Kepulauan Maluku


a.
b.
c.
d.

Memperkuat kapasitas pelabuhan di Maluku Utara dan Kepulauan Maluku sebagai


tulang punggung konektivitas di kepulauan tersebut;
Penanganan jalan difokuskan dalam rangka mendukung pengembangan wilayah
ekonomi, antara lain Kawasan Perikanan Morotai;
Rehabilitasi Bandar Udara Morotai;
Meningkatkan konektivitas:
Antara Manokwari dan Sorong sehingga dapat meningkatkan distribusi barang dari
pusat pertumbuhan tersebut ke wilayah pedalaman;
Menuju Wilayah MIFEE maupun ke wilayah pegunungan di bagian tengah Wilayah
Papua.

Peningkatan kapasitas pelabuhan yang dapat mengurangi beban jalan dan meningkatkan
efisiensi distribusi komoditas di Wilayah Papua akan menjadi lebih efektif (short-sea shipping).

3.11 Postur Pendapatan dan Belanja Daerah


3.11.1 Postur Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah meningkat dengan laju rata-rata sebesar 11,4 persen per tahun. Pada
tahun 2011 nilai total pendapatan daerah mencapai Rp 459,86 triliun, atau meningkat sebesar
18 persen dari tahun 2010 yang nilainya sebesar Rp 386,34 triliun. Sementara itu belanja
daerah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 11,8 persen per tahun. Pada tahun 2011
nilai total belanja daerah mencapai Rp 495,23 triliun, atau meningkat sebesar 17 persen dari
tahun 2010 yang nilainya sebesar Rp 426,86 triliun. Defisit anggaran cenderung menurun dan
pada tahun 2011 secara keseluruhan besarnya 1,1 persen, jauh menurun dari kondisi tahun
2010 sebesar 3,6 persen (DJPK Kemenkeu, 2011).
Berdasarkan komposisi pendapatan daerah secara agregat (provinsi dan kabupaten/kota)
selama periode 2007-2011, terlihat bahwa porsi dana perimbangan (DAU, DAK dana Bagi
Hasil) masih lebih besar dibandingkan sumber pendapatan yang lain. Hal ini menunjukkan
masih besarnya ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber pendanaan dari pusat;
walaupun secara agregat porsi Pendapatan Asli Daerah terus meningkat.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

87

Gambar 3.63
Komposisi Pendapatan Daerah Tahun 2007 2011

Persen

90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

2007

2008

2009

2010

2011

PAD

16,8

17,8

17,8

18,6

19,7

Daper

78,6

76,0

74,4

75,7

71,2

Lain2

4,6

6,2

7,8

5,8

9,2

Sumber: DJPK Kemenkeu, 2011

Secara kewilayahan, Jawa-Bali memiliki rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total
pendapatan yang relatif tinggi dibandingkan wilayah lain, khususnya Indonesia Bagian Timur.
Semakin besar rasio PAD terhadap total pendapatan daerah menunjukkan tingkat
kemandirian daerah yang semakin tinggi. Tingginya rasio PAD/total pendapatan di Wilayah
Jawa menggambarkan kapasitas daerah yang lebih baik dalam menggali sumber pendapatan
di tingkat lokal (pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah). Hal ini sekaligus juga menggambarkan relatif
berkembangnya perekonomian daerah di Jawa dan Bali. Sebaliknya Wilayah Indonesia Bagian
Timur memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap dana transfer dari pusat.

Persen

Gambar 3.64
Rasio Pendapatan Daerah Menurut Wilayah Tahun 2011
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

PAD/Tot

Daper/Tot

Trans/Tot

Sumatera

14,4

75,3

84,0

Jawa Bali

32,9

59,2

65,6

Kalimantan

14,7

80,9

83,6

Sulawesi

12,5

80,2

86,7

NT Maluku Papua

6,3

76,9

92,4

Sumber: DJPK Kemenkeu, 2011

88

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Gambar 3.65
Rasio PAD Terhadap Total Pendapatan
Kabupaten Dan Kota Se-Provinsi Tahun 2011
8,9
5,4
6,8
4,4
6,7
4,4
7,8
3,5
7,0
2,6
2,8
5,5
8,2
7,2
3,5
3,7

Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
Di Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Bali
NAD

14,9
7,9
6,3
4,6
6,1
4,8
13,4
9,9
12,8
5,0
5,9
14,2
4,0
16,5
26,1
5,6
-

5,0

10,0 15,0 20,0 25,0 30,0

2011

2008

Gambar 3.66
Rasio PAD Terhadap Total Pendapatan
Provinsi Tahun 2011
71,0
45,5
54,7
35,9
34,5
27,9
62,0

Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
Di Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Bali
NAD

15,9
35,1
2,9
5,7
28,5
44,4
11,1
20,1
50,2
28,7
32,8
41,0
39,0
56,8
42,2
76,9
71,2
75,0
40,8
19,3
61,4
49,3
36,8
71,1
58,3
11,2
-

20,0

40,0

2011

2008

60,0

80,0

100,0

Sumber: DJPK Kemenkeu, 2011

Bila dianalisis lebih rinci berdasarkan APBD kabupaten/kota di setiap provinsi, maka
kabupaten/kota di Bali memiliki kemandirian fiskal tertinggi, sedangkan kabupaten/kota di
Papua dan Papua Barat memiliki kemandirian fiskal terendah. Hal ini berkaitan dengan
berkembangnya industri pariwisata di Bali yang memberikan sumber pendapatan asli daerah
yang cukup besar. Sementara itu untuk APBD provinsi, Jawa Timur memiliki kemandirian fiskal
tertinggi, diikuti provinsi-provinsi lain di Wilayah Jawa-Bali. Sebaliknya Provinsi Papua Barat
dan Papua memiliki ketergantungan fiskal yang sangat tinggi.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

89

3.11.2 Postur Belanja Daerah


Secara umum porsi belanja daerah terbesar dialokasikan untuk belanja pegawai, diikuti
belanja modal dan belanja barang dan jasa. Selama periode 2007-2011 komposisi belanja
daerah justru semakin jauh dari ideal. Hal ini ditunjukkan dengan makin meningkatnya porsi
belanja pegawai di satu sisi dan semakin mengecilnya porsi belanja modal. Jika pada tahun
2007 rasio antara belanja pegawai dan belanja modal hanya 4:3 maka pada tahun 2011
belanja pegawai mencapai lebih dari dua kali lipat belanja modal. Peningkatan belanja
pegawai ini berjalan seiring dengan meningkatnya jumlah pegawai di daerah, khususnya di
kabupaten. Hal ini patut mendapat perhatian mengingat belanja modal merupakan kunci
daya ungkit APBD dalam menggerakkan perekonomian daerah melalui pembangunan
infrastruktur publik.

Persen

Gambar 3.67
Komposisi Belanja Daerah Tahun 2007 2011
50,0
45,0
40,0
35,0
30,0
25,0
20,0
15,0
10,0
5,0
0,0

2007

2008

2009

2010

2011

Pegawai

39,9

42,0

43,1

46,5

46,3

Barang/Jasa

18,9

18,8

19,3

19,2

21,0

Modal

30,0

27,7

26,3

22,5

22,9

Lain-lain

11,2

11,5

11,3

11,7

9,8

Sumber: DJPK Kemenkeu, 2011

Gambar 3.68
Rasio Belanja Daerah Menurut Wilayah Tahun 2011
60

50

Persen

40
30
20
10
0

BP/Tot

BBJ/Tot

BM/Tot

Sumatera

45,5

21,1

24,2

Jawa Bali

50,6

22,0

18,3

Kalimantan

37,5

21,1

32,3

Sulawesi

52,5

18,1

22,2

NT Maluku Papua

38,4

21,5

26,6

Sumber: DJPK Kemenkeu, 2011

90

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Secara kewilayahan, Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, sebaliknya Wilayah
Kalimantan memiliki porsi belanja pegawai terendah. Hal ini berkaitan dengan rasio pegawai
terhadap penduduk, di mana di Sulawesi mencapai 1,38 persen sedangkan di Kalimantan
hanya 1,26 persen. Sementara itu Wilayah Kalimantan memiliki rasio belanja modal tertinggi
di antara wilayah-wilayah lainnya. Hal ini didukung oleh besarnya pendapatan daerah yang
berasal dari dana perimbangan, khususnya Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam.
Gambar 3.69
Rasio Belanja Pegawai Kabupaten/Kota
Terhadap Total Belanja Menurut Provinsi
Tahun 2008 dan 2011

Gambar 3.70
Rasio Belanja Pegawai Provinsi Terhadap
Total Belanja Tahun 2008 dan 2011

Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
Di Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Bali
NAD

Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
Di Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Bali
NAD
-

20,0
2011

40,0
2008

60,0

80,0

10,0
2011

20,0

30,0

40,0

50,0

2008

Sumber: DJPK Kemenkeu, 2011

Berdasarkan analisis menurut provinsi, terlihat bahwa peningkatan rasio belanja pegawai
kabupaten/kota di hampir semua provinsi antara tahun 2008 dan 2011. Hanya di Provinsi
Kepulauan Riau dan Jawa Barat yang kabupaten/kotanya relatif tidak mengalami perubahan.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

91

Pada tahun 2011 kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio
belanja pegawai tertinggi, sedangkan kabupaten/kota di Papua Barat memiliki rasio terendah.
Di tingkat provinsi, rasio belanja pegawai tertinggi dimiliki Provinsi Bengkulu dan Nusa
Tenggara Timur, sedangkan rasio terendah dimiliki Provinsi Papua Barat.
Gambar 3.71
Komposisi Belanja Kabupaten/Kota
Menurut Fungsi dan Provinsi
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
NAD
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
DI Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Kep. Bangka Belitung
Bali

Gambar 3.72
Komposisi Belanja Provinsi Menurut Fungsi
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
NAD
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
DI Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Kep. Bangka Belitung
Bali

20

40

60

80

100

Pendidikan

Kesehatan

Ketertiban dan
Ketentraman
Lingkungan
Hidup
Pariwisata dan
Budaya
Pelayanan
Umum
Perlindungan
Sosial
Ekonomi

Perumahan dan
Fasilitas Umum

20

40

60

80

100

Sumber: DJPK Kemenkeu, 2011

Sementara itu, rasio belanja modal terhadap total belanja daerah cenderung menurun di
hampir semua provinsi bila dibandingkan antara APBD tahun 2008 dan 2011. Penurunan rasio
ini terjadi baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Hal ini perlu mendapat perhatian
bila mengingat sebagain besar jaringan jalan yang mengalami kerusakan merupakan tanggung
jawab pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Pada tahun 2011 Kabupaten/kota di Provinsi
Kalimantan Timur memiliki rasio belanja modal tertinggi, sedangkan kabupaten/kota di
Provinsi DI Yogyakarta memiliki rasio terendah. Di tingkat provinsi, pada tahun 2011 Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung memiliki rasio belanja modal tertinggi, sedangkan Jawa Tengah,
Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki rasio terendah kurang dari 10 persen.

92

Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013

Jika belanja daerah dianalisis berdasarkan fungsi, maka secara umum alokasi belanja
pemerintah kabupaten/kota yang terbesar adalah untuk fungsi pendidikan, kemudian diikuti
alokasi fungsi pelayanan umum. Kabupaten/kota di Jawa Tengah mengalokasikan 51 persen
belanjanya untuk fungsi pendidikan yang merupakan alokasi tertinggi, sedangkan
kabupaten/kota di Papua hanya mengalokasikan sebesar 17 persen untuk fungsi pendidikan.
Namun demikian kabupaten/kota di Papua mengalokasikan 43 persen belanjanya untuk
mendukung fungsi pelayanan umum. Di tingkat provinsi, hampir semua provinsi memberi
alokasi terbesar untuk fungsi pelayanan umum, dengan porsi terbesar dialokasikan Provinsi
Papua Barat yang mencapai 73 persen. Alokasi belanja untuk mendukung fungsi ekonomi
hanya berkisar antara 5-16 persen di kabupaten/kota dengan alokasi tertinggi terjadi di
Kalimantan Tengah dan berkisar antara 7-22 persen di provinsi dengan Provinsi Gorontalo
memberikan alokasi paling tinggi.
Berdasarkan analisis pendapatan dan keuangan daerah di atas, dapat diidentifikasi daerahdaerah yang memiliki postur APBD relatif baik. Kriteria yang dipakai untuk menilai postur
APBD adalah: (1) rasio PAD terhadap total pendapatan daerah, (2) rasio belanja pegawai
terhadap total belanja dan (3) rasio belanja modal terhadap total belanja. Daerah-daerah
yang memiliki postur APBD yang baik ditandai oleh ketiga rasio tersebut yang lebih baik dari
rata-rata seluruh daerah.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menunjukkan kinerja pengelolaan terbaik antar provinsi,
yakni memiliki kondisi rasio PAD dan rasio belanja modal diatas rata-rata dan rasio belanja
pegawai di bawah rata-rata seluruh provinsi. Berikutnya adalah Provinsi Sumatera Selatan
yang memiliki rasio belanja modal di atas rata-rata, rasio belanja pegawai di bawah rata-rata,
namun memiliki rasio PAD terhadap pendapatan sedikit di bawah rata-rata.
Sementara untuk perbandingan antar kabupaten/kota se-Indonesia, dengan menggunakan
kriteria yang sama terdapat 22 kabupaten/kota yang memiliki profil lebih baik dari rata-rata.
Kabupaten Sumbawa Barat dan Halmahera Timur menunjukkan rasio yang lebih baik,
khususnya pada komponen rasio belanja modal yang sudah memiliki persentase relatif tinggi.
Tabel 3.23
Daerah Dengan Postur APBD Yang Baik
Rasio PAD
Terhadap
Pendapatan

Rasio Belanja
Pegawai
Terhadap Total
Belanja

Rasio Belanja
Modal Terhadap
Total Belanja

Provinsi Sumatera Utara

71

17

28

Provinsi Sumatera Selatan

46

19

29

RATA-RATA PROVINSI (33 PROVINSI)

50

25

21

Kabupaten Sumbawa Barat

19

33

40

Kabupaten Halmahera Timur

11

25

45

RATA-RATA KABUPATEN/KOTA

51

23

Daerah

Sumber: DJPK (diolah)

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

93

BAB IV
KERANGKA
PENGUATAN
PEREKONOMIAN
DOMESTIK SERTA
PENINGKATAN
DAN PERLUASAN
KESEJAHTERAAN
RAKYAT

BAB IV
KERANGKA PENGUATAN PEREKONOMIAN DOMESTIK SERTA
PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
4.1 Pengantar Penguatan Ekonomi Domestik
Krisis utang di sejumlah negara-negara Eropa, ketegangan politik di beberapa kawasan dunia
seperti di Timur Tengah, Afrika Utara dan Semenanjung Korea, perubahan iklim dan bencana
alam, serta kecenderungan meningkatnya harga komoditas dan minyak dunia dapat
mempengaruhi stabilitas keuangan global dan pemulihan ekonomi dunia yang pada gilirannya
akan berpengaruh pada perekonomian nasional. Situasi tersebut berpotensi meningkatkan
proteksi pada banyak negara serta langkah tidak sehat untuk mempertahankan pasar
domestik dan ekspornya. Persaingan antar negara untuk memenangkan pasar perdagangan
dan investasi semakin ketat. Keseluruhan ini menuntut perekonomian domestik harus
semakin diperkuat.
Gambar 4.1
Faktor Pendukung Penguatan Ekonomi Domestik
Peningkatan
Daya Saing

Peningkatan dan
Perluasan
Kesejahteraan
Rakyat

PENGUATAN
EKONOMI
DOMESTIK

Peningkatan
Daya Tahan
Ekonomi

Pemantapan
Stabilitas Politik

Perekonomian domestik harus ditingkatkan dengan fundamental ekonomi yang tetap kokoh
dan daya saing yang lebih baik (Gambar 4.1). Momentum pertumbuhan ekonomi melalui
peningkatan daya tahan ekonomi tetap dijaga agar peningkatan kesejahteraan rakyat
terutama pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran dapat dipercepat. Upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terus dilaksanakan tanpa melalaikan persoalan
lingkungan. Pelaksanaan pembangunan tetap dilaksanakan melalui empat jalur strategi, yaitu

96

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

pertumbuhan (pro-growth), kesempatan kerja (pro-job), pengentasan kemiskinan (pro-poor)


dan pelestarian lingkungan hidup (pro-environment).
Situasi global yang tidak pasti juga tercermin dari berbagai ketegangan politik dan potensi
konflik di berbagai kawasan dunia yang dapat berpengaruh pada Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Untuk itu kemampuan pertahanan perlu ditingkatkan guna menjaga kepentingan
nasional dan keamanan regional. Stabilitas sosial politik dan keamanan terus dijaga agar
momentum pembangunan terus berkelanjutan.
Secara lebih rinci, uraian di bawah ini merupakan gambaran penguatan ekonomi domestik
yang ditunjang oleh kebijakan komprehensif yang bertujuan untuk mencapai peningkatan
daya saing, peningkatan daya tahan ekonomi, peningkatan dan perluasan kesejahteraan
rakyat, serta pemantapan stabilitas politik.

4.2 Aspek Peningkatan Daya Saing


Daya saing dapat dinilai dengan berbagai macam pendekatan dan indikator yang pada
prinsipnya menunjukkan kemampuan yang lebih unggul secara kuantitas ataupun kualitas
pada skala nasional antar daerah ataupun pada skala internasional antar negara. Sementara
itu, Abdullah, et.al (2002) mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan daerah
dalam mencapai pertumbuhan ekonomi untuk menciptakan tingkat kesejahteraan yang tinggi
dan berkelanjutan, sehingga mampu untuk bersaing di tingkat domestik dan internasional.
Dengan demikian, daya saing merupakan akumulasi dari berbagai faktor yang dimulai dari
penyusunan kebijakan, sampai dengan implementasi berupa kelembagaan dan tata kelola dan
berupa pembangunan infrastruktur. Muara dari implementasi kebijakan-kebijakan tersebut
adalah tercapainya produktivitas suatu negara/daerah sehingga akan meningkatkan
kesejahteraan rakyat pada skala perekonomian nasional/daerah. Semakin kompetitif daya
saing sebuah sistem perekonomian, maka pembangunan akan tumbuh lebih cepat.

4.2.1 Peningkatan Iklim Investasi dan Iklim Usaha


Peningkatan iklim investasi dan iklim usaha sangat penting untuk dapat mendorong arus
investasi masuk (baik investasi domestik maupun investasi asing) dan mendorong
berkembangnya usaha di Indonesia. Meningkatnya investasi dan berkembangnya usaha akan
sangat penting untuk mendorong aktivitas perekonomian, karena dapat menggerakkan usaha
lain yang terkait dan dapat menciptakan lapangan kerja baru. Pada akhirnya, pengembangan
investasi dan usaha ini akan dapat mendorong peningkatan daya beli masyarakat, yang
kemudian dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, peningkatan iklim investasi dan iklim usaha menjadi sangat penting bagi
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

97

perekonomian daerah karena dapat memberikan efek ganda (multiplier effect) terhadap
perekonomian yang cukup besar.
Gambar 4.2
Kerangka Peningkatan Iklim Investasi dan Usaha dalam Rangka Peningkatan Ekonomi
Domestik

Mendorong penguatan ekonomi domestik


(melalui pertumbuhan dan dan peningkatan
kesejahteraan rakyat)

Pemerintah

Mendorong peningkatan kesempatan kerja


dan daya beli masyarakat

Meningkatkan investasi dan usaha

Iklim investasi
dan iklim usaha
yang kondusif
Kemudahan dan
transparansi proses
perijinan di PTSP
provinsi dan
kab/kota

Kepastian lahan dan


peruntukannya

Investor/Pengusaha

Peningkatan iklim investasi dan iklim usaha di daerah sebaiknya difokuskan pada: (i)
penyederhanaan dan harmonisasi berbagai regulasi yang bertujuan untuk memberikan
transparansi, kepastian dan kemudahan untuk melakukan investasi dan berusaha; (ii)
penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk mempercepat dan
mempermudah proses perijinan dan non perijinan untuk berinvestasi dan mengembangkan
usaha di daerah; serta (iii) kemudahan dalam proses pembebasan dan perolehan lahan.
Regulasi yang jelas dan prosedur yang lebih sederhana akan memudahkan investor dan
pengusaha dalam melaksanakan regulasi tersebut, karena tidak akan menimbulkan salah
persepsi dan dapat mengurangi biaya ekonomi tinggi. Sementara itu, penyelenggaraan PTSP
yang baik akan memberikan kepastian berusaha, memudahkan investor dan pengusaha dalam
memproses perijinan, serta meningkatkan efisiensi proses pengurusan perijinan karena
perijinan dapat diproses dengan lebih cepat dengan biaya yang lebih transparan. Hal ini
tentunya akan berdampak pada meningkatnya kenyamanan berusaha dan berinvestasi; yang

98

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan asli daerah serta mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah.

4.2.2 Percepatan Pembangunan Infrastruktur


Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Kegiatan sektor
transportasi merupakan tulang punggung pola distribusi baik barang maupun penumpang.
Infrastruktur lainnya seperti kelistrikan dan telekomunikasi terkait dengan upaya modernisasi
bangsa dan penyediaannya merupakan salah satu aspek terpenting untuk meningkatkan
produktivitas sektor produksi. Ketersediaan sarana perumahan dan permukiman, antara lain
air minum dan sanitasi, secara luas dan merata, serta pengelolaan sumber daya air yang
berkelanjutan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Gambar 4.3
Kerangka Pembangunan Infrastruktur dalam Rangka Peningkatan Ekonomi Domestik
Sistem
Transportasi
Nasional
Sistem Informasi
dan Komunikasi

Sistem
Logistik

Pengembangan
Wilayah

Peningkatan Konektivitas
antar wilayah

Penguatan ekonomi
domestik

Selain itu, infrastruktur mempunyai peran yang tak kalah pentingnya untuk memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa. Jaringan transportasi dan telekomunikasi dari Sabang sampai
Merauke serta Sangir Talaud ke Rote merupakan salah satu perekat utama Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sejak lama infrastruktur diyakini merupakan pemicu pembangunan suatu

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

99

kawasan. Dapat dikatakan disparitas kesejahteraan antar kawasan juga dapat diidentifikasi
dari kesenjangan infrastruktur yang terjadi diantaranya. Dalam konteks ini, ke depan
pendekatan pembangunan infrastruktur berbasis wilayah semakin penting untuk diperhatikan.
Pengalaman menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi berperan besar untuk membuka
isolasi wilayah. Sementara itu, ketersediaan infrastruktur pengairan merupakan prasyarat
kesuksesan pembangunan pertanian dan sektor-sektor lainnya.
Percepatan pembangunan infrastruktur memiliki empat elemen kebijakan yang terintegrasi
yaitu Sistem Logistik Nasional, Sistem Transportasi Nasional, Pengembangan Wilayah dan
Sistem Informasi dan Komunikasi dengan visi Terintegrasi secara Lokal, Terhubung Secara
Global (locally integrated, globally connected). Konektivitas nasional menghubungkan pusat
perekonomian lokal, nasional dan dunia (global) secara efektif, efisien dan terpadu.
Oleh sebab itu, percepatan pembangunan infrastruktur memegang peran penting dalam
meningkatkan daya saing perekonomian domestik terutama dengan perekonomian dunia
(global). Faktor keempat elemen tersebut merupakan rangkaian sistem kebijakan yang harus
saling terintegrasi agar dapat meningkatkan daya saing perekonomian domestik.
Infrastruktur Transportasi
Infrastruktur transportasi darat, laut dan udara menjadi sangat penting untuk disediakan
mengingat kondisi geografis Indonesia berupa kepulauan dengan disparitas ekonomi daerah
Indonesia yang sangat beragam. Tersedianya infrastruktur transportasi akan memperlancar
arus barang, manusia dan jasa, serta dapat menjadi penghubung yang efisien antara sumber
bahan baku (resource), pusat produksi dan pasar.
Selain itu, ketersediaan infrastruktur transportasi yang memadai akan menciptakan
konektivitas antar daerah bahkan antar pulau, termasuk daerah terpencil dengan daerah
terdekat bahkan dengan pusat pertumbuhan ekonomi, sehingga dapat menumbuhkan
perdagangan antar wilayah dan antar negara, perluasan usaha dan perluasan pasar. Selain itu,
ketersediaan infrastruktur akan memudahkan aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh
pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan. Pada akhirnya tersedianya infrastruktur akan
banyak membawa dampak posistif bagi produktivitas industri, kesejahteraan masyarakat dan
meningkatkan daya saing.
Ketersediaan Listrik
Energi listrik merupakan unsur penting bagi pembangunan dalam segala bidang. Aktivitas
ekonomi membutuhkan listrik sebagai sumber energi gerak dan cahaya. Listrik dalam industri
dibutuhkan untuk memproduksi barang, melalui proses peningkatan nilai tambah bahan
mentah menjadi produk olahan setengah jadi atau jadi. Ketersediaan listrik yang memadai di
suatu daerah akan menjadi insentif untuk membangun industri, serta memperluas jangkauan
pemasaran dan distribusi.

100

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Listrik juga berperan dalam meningkatkan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kesehatan.
Berbagai informasi akan mudah dan cepat diperoleh dan disebarkan dengan bantuan media
pendidikan yang tersedia secara elektronik.
Ketersediaan Sarana Telekomunikasi
Telekomunikasi akan memudahkan arus informasi dengan lebih luas dan cepat. Daya saing
dalam bidang telekomunikasi ditentukan oleh tersedianya jaringan telepon tetap (fixed-line),
jaringan serat optik dan broadband. Ketersediaan telepon tetap memudahkan komunikasi
antar daerah dan wilayah. Sementara itu, keberadaan teknologi serat optik semakin mampu
memperluas lebar jalur (bandwidth), sehingga komunikasi data dapat dilakukan dengan
kecepatan tinggi. Ketersediaan serat optik dan broadband akan meningkatkan produktivitas
dalam berbagai bidang karena akan mempermudah penyampaian informasi dan proses data.

4.2.3 Peningkatan Pembangunan Industri di 6 Koridor Ekonomi


Indonesia adalah negara yang dikarunia dengan hampir semua prasyarat untuk mampu
menjadikan dirinya sebagai kekuatan besar perekonomian dunia. Dengan kekayaan sumber
daya alam, jumlah kelas menengah yang besar dan semakin meningkat, serta akses yang
strategis ke jaringan mobilitas global, Indonesia mempunyai aset dan akses yang mendukung
terwujudnya negara ini sebagai kekuatan yang diperhitungkan dalam tata pergaulan antar
negara. Perspektif ini didukung oleh banyak lembaga internasional yang mengatakan bahwa
Indonesia memang layak dan berkemampuan untuk menjadi big player dalam perekonomian
global.
Namun demikian, memang harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi yang kita capai selama
ini belum mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Sebagai negara yang berada di tengahtengah persaingan global yang semakin ketat, Indonesia menghadapi banyak tantangan ke
depan yang semakin berat. Keberadaan Indonesia di pusat baru gravitasi ekonomi global,
yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan Indonesia mempersiapkan diri
lebih baik lagi untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan hasil
pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh
masyarakat.
Untuk itu diperlukan langkah-langkah yang lebih cerdas, fokus dan sistematis dalam
perencanaan pembangunan nasional ke depan. Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang telah diluncurkan oleh Presiden hampir satu
tahun yang lalu (27 Mei 2012) diperlukan untuk menjawab tantangan tersebut.
MP3EI dirumuskan dengan perubahan pola pikir (mindset) dalam pemahaman bahwa
pembangunan ekonomi membutuhkan kolaborasi bersama antara Pemerintah Pusat Dan
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

101

Daerah, BUMN, BUMD dan Dunia Usaha dalam semangat Indonesia Incorporated. MP3EI
dilakukan dengan pendekatan terobosan (breakthrough) bukan Business As Usual, melalui:
pertama, pihak swasta akan diberikan peran penting dalam pengembangan MP3EI,
sedangkan pihak pemerintah akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan katalisator. Dari
sisi regulasi, Pemerintah Pusat dan Daerah akan melakukan deregulasi (debottlenecking)
terhadap regulasi yang menghambat pelaksanaan investasi. Fasilitasi dan katalisasi akan
diberikan oleh Pemerintah melalui penyediaan infrastruktur maupun pemberian insentif fiskal
dan non fiskal.
Kedua, dalam rangka penguatan kebijakan, pemerintah akan melakukan penguatan
koordinasi, sinkronisasi dan sinergi kebijakan antar Kementerian/Lembaga dan antara
Kementerian/Lembaga dengan pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan MP3EI, dunia usaha
akan menjadi aktor utama dalam kegiatan investasi, produksi dan distribusi.
Tujuan dari pelaksanaan MP3EI adalah untuk mempercepat dan memperluas pembangunan
ekonomi melalui pengembangan 8 (delapan) program utama yang meliputi sektor industri
manufaktur, pertambangan, pertanian, kelautan, pariwisata, telekomunikasi, energi dan
pengembangan kawasan strategis nasional.
Fokus dari 8 (delapan) program utama tersebut meliputi 22 (dua puluh dua) kegiatan utama
yaitu industri besi-baja, makanan-minuman, tekstil, peralatan transportasi, perkapalan,
perkayuan, nikel, tembaga, bauksit, kelapa sawit, karet, kakao, peternakan, perikanan, food
estate, pariwisata, telematika, batubara, alutsista, minyak dan gas, serta pengembangan
Metropolitan Jabodetabek dan pembangunan Kawasan Selat Sunda.
Gambar 4.4
Kerangka Pengembangan Koridor Ekonomi

Sumber: MP3EI 2011 2015

102

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia diselenggarakan berdasarkan


pendekatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, baik yang telah ada maupun
yang baru. Pendekatan ini pada intinya merupakan integrasi dari pendekatan sektoral dan
regional. Setiap wilayah mengembangkan produk yang menjadi keunggulannya. Tujuan
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tersebut adalah untuk memaksimalkan
keuntungan aglomerasi, menggali potensi dan keunggulan daerah serta memperbaiki
ketimpangan spasial pembangunan ekonomi Indonesia. Secara keseluruhan, pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi tersebut akan menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia sebagaimana
dapat dijelaskan dalam kerangka pengembangan Koridor Ekonomi pada Gambar 4.4.
Pembangunan koridor ekonomi dilakukan sebagai pengembangan wilayah untuk menciptakan
dan memberdayakan basis ekonomi terpadu dan kompetitif serta berkelanjutan.
Pembangunan Koridor Ekonomi Indonesia diharapkan akan dapat mendukung peningkatan
daya saing dalam rangka penguatan ekonomi domestik karena pembangunan Koridor
Ekonomi Indonesia memberikan penekanan baru bagi pembangunan ekonomi wilayah, antara
lain:
1. Koridor ekonomi diarahkan pada pembangunan yang menekankan pada peningkatan
produktivitas dan nilai tambah pengelolaan sumber daya alam melalui perluasan dan
penciptaan rantai kegiatan dari hulu sampai hilir secara berkelanjutan.
2. Koridor ekonomi diarahkan pada pembangunan ekonomi yang beragam dan inklusif
dan dihubungkan dengan wilayah-wilayah lain di luar koridor ekonomi, agar semua
wilayah di Indonesia dapat berkembang sesuai dengan potensi dan keunggulan
masing-masing wilayah.
3. Koridor ekonomi diarahkan pada sinergi pembangunan sektoral dan wilayah untuk
meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif secara nasional, regional
maupun global.
4. Koridor ekonomi diarahkan pada pembangunan konektivitas yang terintegrasi antara
sistem transportasi, logistik serta komunikasi dan informasi untuk membuka akses
daerah.
5. Koridor ekonomi akan didukung dengan pemberian insentif fiskal dan non-fiskal,
kemudahan peraturan, perijinan dan pelayanan publik dari Pemerintah Pusat
maupun Daerah untuk meningkatkan iklim usaha dan iklim investasi.
Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut disertai dengan penguatan konektivitas
antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan
lokasi kegiatan ekonomi serta infrastruktur pendukungnya. Koridor Ekonomi Indonesia akan
dilaksanakan melalui strategi utama pelaksanaan MP3EI. Strategi pelaksanaan MP3EI
dilakukan dengan mengintegrasikan 3 (tiga) elemen utama yaitu:
1.

Mengembangkan 6 (enam) koridor ekonomi indonesia, yaitu: Koridor Sumatera,


Koridor Jawa, Koridor Kalimantan, Koridor Sulawesi, Koridor Bali Nusa Tenggara
dan Koridor Papua Kepulauan Maluku. Pembangunan 6 (enam) koridor ekonomi
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

103

dilakukan melalui pembangunan pusat-pusat pertumbuhan di setiap koridor dengan


mengembangkan klaster industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang berbasis
sumber daya unggulan di setiap koridor ekonomi, sebagaimana tertuang dalam
Gambar 4.5.
Gambar 4.5
Pengembangan Koridor Ekonomi Indonesia

Sumber: MP3EI 2011 - 2015

2.

Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung


secara internasional (locally integrated, internationally connected). Penguatan
konektivitas nasional ditujukan untuk memperlancar distribusi barang dan jasa dan
mengurangi biaya transaksi (transaction cost) logistik. Hal ini akan dilakukan melalui:
Penguatan konektivitas intra dan antar pusat-pusat pertumbuhan dalam koridor
ekonomi untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan;
Penguatan konektivitas antar koridor (pulau) untuk memperlancar pengumpulan
dan pendistribusian (collection and distribution) bahan baku, bahan setengah
jadi dan produk akhir dari dan keluar koridor (pulau); dan
Penguatan konektivitas internasional sebagai pintu keluar dan masuk
perdagangan dan pariwisata antar negara.

3.

Mempercepat peningkatan kemampuan SDM dan IPTEK untuk mendukung


pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi. Elemen utama untuk
percepatan kemampuan SDM dan IPTEK meliputi:
Meningkatkan kualitas pendidikan termasuk pendidikan tinggi, kejuruan dan
pelatihan terutama untuk yang terkait dengan pengembangan program utama;

104

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Meningkatkan kompetensi teknologi dan ketrampilan/ keahlian tenaga kerja;


Meningkatkan kegiatan dan membangun pusat-pusat pengembangan R&D di
pusat-pusat pertumbuhan (KEK dan Klaster Industri) di setiap koridor ekonomi
melalui kolaborasi antar Pemerintah, Dunia Usaha dan Perguruan Tinggi; dan
Mengembangkan institusi sistem inovasi nasional yang berkelanjutan.

MP3EI merupakan produk dari hasil kerjasama dan kemitraan antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, BUMN, BUMD, swasta dan akademisi. Sementara itu, pendanaan
kegiatan MP3EI dilakukan melalui keterpaduan pendanaan dari APBN, APBD, BUMN, BUMD,
serta pihak swasta dan masyarakat. Pelaksanaan MP3EI ini semaksimal mungkin memberikan
peran yang besar kepada pelaku usaha domestik terutama untuk dapat meningkatkan nilai
tambah pemanfaatan sumberdaya dalam negeri. BUMN, BUMD dan swasta diharapkan dapat
menjadi pilar dan kontributor utama investasi dalam pelaksanaan MP3EI.

4.3 Aspek Peningkatan Daya Tahan Ekonomi (Food Security dan Energy Security)
4.3.1 Peningkatan Ketahanan Pangan
Salah satu langkah dalam peningkatan daya tahan ekonomi untuk memperkuat ekonomi
domestik adalah melalui peningkatan ketahanan pangan terutama yang berbasis sumber daya
lokal. Peningkatan ketahanan pangan harus terus didorong untuk mampu menggerakkan
perekonomian daerah. Ketahanan Pangan memegang peranan penting dalam perekonomian
nasional karena dapat menjaga stabilitas ekonomi nasional dan juga mempengaruhi
pembangunan sektor lain. Selain itu, nilai ekonomi dari usaha tani yang cukup besar,
contohnya nilai hasil produksi padi setiap tahunnya kurang lebih sebesar 300 triliun rupiah
dan jumlah rumah tangga petani padi yang terlibat sekitar 15 juta rumah tangga, memberikan
kontribusi cukup besar dalam perekonomian nasional. Jumlah penduduk Indonesia yang
cukup besar juga menjadi tantangan berat untuk terus meningkatkan ketahanan pangan.
Pada dasarnya ketahanan pangan mencakup 4 aspek utama yang terdiri atas: (1) aspek
ketersediaan pangan; (2) aspek aksesibilitas pangan, distribusi dan stabilisasi harga pangan
yang terjangkau; (3) aspek konsumsi pangan yang memenuhi kaidah mutu, keragaman,
kandungan gizi, keamanan dan kehalalan; serta (4) aspek penanggulangan masalah pangan.
Keempat aspek tersebut akan membangun sistem ketahanan pangan seperti yang
digambarkan pada Gambar 4.7. Masyarakat dan pemerintah daerah memiliki peranan penting
dalam membangun ketahanan pangan dimulai dari proses produksi, distribusi, pengolahan
pangan dan pemasaran. Sementara peran pemerintah juga sangat penting dalam menjaga
insentif untuk tetap menjaga ketahanan pangan melalui regulasi, penciptaan iklim investasi
dan pembangunan fasilitas/prasarana publik, serta penyediaan sarana tekonologi dari
penyuluhan.
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

105

Gambar 4.6
Sistem Ketahanan Pangan

Ketahanan Pangan

Ketersediaan
Pangan (Produksi
Dalam Negeri,
Cadangan, Impor)

Distribusi Dan
Stabilisasi
Harga

Konsumsi
Pangan Dan
Gizi

Penanggulangan
Masalah Pangan

Kurang
Pangan

Pendapatan
Rendah/Miskin

Lonjakan
Harga

Bencana

Insentif Produksi :
Harga Pembelian Pemerintah (HPP)
Gabah Beras

RASKIN

Cadangan Beras
Pemerintah

Subsidi Input: Pupuk dan Benih


Subsidi Suku Bunga KKP

Aspek ketersediaan pangan berfungsi untuk menjamin ketersediaan pangan guna memenuhi
kebutuhan seluruh penduduk dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya.
Ketersediaan pangan tersebut terdiri atas produksi dalam negeri, cadangan dan impor. Untuk
menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan, maka produksi dalam negeri harus menjadi
sumber utama untuk ketersediaan pangan tersebut. Peningkatan produksi pangan dalam
negeri dapat dilakukan melalui: (1) Meningkatkan ketersediaan input produksi (benih/bibit,
pupuk, irigasi, pakan, obat-obatan, lahan, alat dan mesin) dengan kualitas yang baik dan
jumlah yang memadai serta tersedia setiap saat dibutuhkan serta kebijakan subsidi input yang
lebih efisien; (2) Meningkatkan dukungan penelitian, IPTEK dan penyuluhan; (3)
Meningkatkan efektifitas pengendalian organisme pengganggu tanaman dan penyakit hewan
serta pengembangan sistem perkarantinaan, (4) Mendorong investasi di sektor pertanian
yang berbasis produk lokal; (5) Mencegah atau mengurangi alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian dan melakukan konservasi sumber daya lahan dan air; (6) Memperluas areal lahan

106

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

pertanian serta mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering, lahan basah dan lahan terlantar;
(7) Melakukan penataan dan harmonisasi peraturan perundangan lahan untuk menjamin
kepastian hukum lahan pertanian; (8) Mengembangkan infrastruktur pertanian; dan, (9)
Mengembangkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di sektor
pertanian.
Aspek akesibilitas pangan berfungsi untuk menjamin seluruh level masyarakat dapat
menjangkau sumber pangan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya. Distribusi,
stabilitas harga dan pasokan merupakan indikator penting untuk menunjukkan kinerja aspek
akesibilitas pangan. Distribusi pangan dilakukan untuk memenuhi pemerataan ketersediaan
pangan keseluruh wilayah secara berkelanjutan. Stabilisasi harga pangan diselenggarakan
dengan tujuan untuk menyejahterakan petani dan nelayan, menghindari terjadinya gejolak
harga pangan, menghadapi keadaan darurat karena bencana atau paceklik, mencapai
swasembada pangan, memperhatikan daya beli masyarakat. Harga yang terlalu berfluktuasi
dapat merugikan petani, produsen, pengolah, pedagang hingga konsumen sehingga
berpotensi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi. Peningkatan efisiensi aksesibilitas pangan
dapat dilakukan melalui: (1) Meningkatkan jumlah cadangan pangan pemerintah untuk
stabilisasi harga; (2) Mengembangkan kebijakan perdagangan dan ekspor-impor yang
mendukung ketahanan pangan; (3) Meningkatkan sarana dan prasarana guna efisiensi dalam
perdagangan dan mengurangi kerusakan bahan pangan; (4) Mengembangkan kebijakan dan
peraturan daerah guna memperlancar dan mengefisienkan distribusi pangan antar daerah;
dan (5) Mengembangkan usaha pengolahan dan pemasaran produk pangan di perdesaan
yang berbasis bahan pangan lokal.
Aspek konsumsi pangan dan gizi berfungsi untuk mengarahkan agar pola pemanfaatan
pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan
kehalalan. Indikator aspek konsumsi, dapat tercermin dalam pola konsumsi masyarakat di
tingkat rumah tangga. Pola konsumsi dalam rumah tangga dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain kondisi ekonomi, sosial dan budaya setempat. Pemenuhan aspek konsumsi
dapat dilakukan melalui: (1) Mengembangkan penganekaragaman (diversifikasi) pengolahan
dan konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal; (2) Meningkatkan jumlah cadangan pangan
pemerintah; (3) Meningkatkan kemampuan masyarakat dan Pemda dalam mengembangkan
cadangan pangan; dan (4) Meningkatkan pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang
pangan yang bergizi dan seimbang, serta pola hidup sehat, terutama ibu hamil dan anak
balita.
Aspek penanggulangan masalah pangan berfungsi menjaga goncangan pangan akibat
ketidakmampuan memenuhi pangan karena kondisi ekonomi, bencana dan lonjakan harga,
yang disalurkan dalam bentuk bantuan beras miskin bagi keluarga miskin dan penyaluran
cadangan beras pemerintah terutama dalam mengantisipasi terjadinya bencana melalui
bantuan pangan.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

107

Ketahanan pangan, terutama beras, ke depan masih akan dihadapkan kepada berbagai
tantangan yang terkait dengan: (1) Menjaga peningkatan produksi pangan terutama beras
seiring dengan peningkatan penduduk dan pendapatan masyarakat. Tantangan utama yang
dihadapi dalam peningkatan produksi ini adalah alih fungsi lahan dan perluasan areal
pertanian yang semakin sulit, banyaknya infrastruktur irigasi yang rusak, dukungan sarana dan
prasarana perikanan masih kurang dan menghadapi terjadinya keragaman dan perubahan
iklim; (2) Diversifikasi konsumsi pangan berbasis bahan pangan lokal relatif lambat; (3)
Menjaga stabilitas harga agar daya beli masyarakat terhadap pangan tidak terganggu; serta
(4) terjadinya perubahan iklim yang dapat menyebabkan gangguan dalam produksi, distribusi
dan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan serta terjadinya kerawanan pangan di daerah.
Khusus untuk pengamanan produksi beras, pada awal tahun 2011 presiden memberikan
direktif untuk pencapaian surplus beras 10 juta ton setiap tahun mulai tahun 2014. Strategi
dalam pencapaian surplus beras 10 juta ton tersebut terutama meliputi pencapaian produksi
padi dan percepatan diversifikasi konsumsi untuk menurunkan konsumsi beras dan
peningkatan kualitas gizi masyarakat. Dalam upaya peningkatan produksi dilakukan terutama
melalui peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, penurunan susut dan peningkatan
rendemen (Gambar 4.7).
Gambar 4.7
Skema Pencapaian Surplus Beras 10 Juta Ton
Input/
Dukungan

Kegiatan/
Output

Indikator/
Outcome

Pupuk, Benih,
Air Irigasi

SLPTT, SRI,
GP3K

Produktivitas

Cetak Sawah,
Optimasi Lahan

Luas
Tanam

Sasaran
Antara

Sasaran
Utama

Produksi
Manajemen;
Penyuluhan;
Alsintan;
Pengendalian
HPT

Alat dan Mesin


Pasca Panen

Susut

Revitalisasi
Penggilingan

Rendemen

Diversifikasi
(P2KP), Olahan
Pangan Lokal

Konsumsi
Beras Per
Kapita

Keterangan:
SL-PTT
: Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
SRI
: System of Rice Intensification
GP3K
: Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi
P2KP
: Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan

108

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Surplus
Beras 10
Juta Ton
Per Tahun
Mulai
Tahun
2014
Konsumsi

Sementara itu, perikanan sebagai salah satu sumber protein hewani juga memiliki peranan
yang penting dalam ketahanan pangan dan merupakan sumber ekonomi bagi nelayan dan
pembudidaya ikan. Nelayan dan pembudidaya ikan merupakan mata pencaharian utama bagi
masyakat pesisir. Rumah tangga perikanan tangkap dan budidaya yang diperkirakan mencapai
2,6 juta pada tahun 2010 mempunyai kontribusi besar dalam perkembangan ekonomi
nasional dan daerah.

4.3.2 Peningkatan Rasio Elektrifikasi Dan Konversi Energi


Tenaga listrik merupakan kebutuhan yang mendasar untuk berbagai aktifitas masyarakat,
oleh karena itu tenaga listrik sangat penting dan strategis bagi peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat pada umumnya serta untuk mendorong peningkatan dan penguatan
kegiatan ekonomi domestik pada khususnya. Oleh sebab itu, usaha penyediaan tenaga listrik,
pemanfaatan dan pengelolaannya perlu ditingkatkan, agar tersedia tenaga listrik dalam
jumlah yang cukup dan merata dengan mutu pelayanan yang baik.
Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam
jumlah yang cukup, kualitas yang baik dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan. Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang
penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan prinsip
otonomi daerah. Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik, pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan,
pengawasan dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Gambar 4.8
Kerangka Pembangunan Ketenagalistrikan Terhadap Peningkatan Perekonomian Domestik

Pembangunan
Ketenagalistrikan

Peningkatan
Produktivitas

Rumah
tangga
Komersial
Industri

Peningkatan
Pendapatan
Konsumsi
Listrik

Pertumbuhan
Ekonomi
Domestik

Pembangunan ketenagalistrikan dilaksanakan secara berkesinambungan dimulai dari


pembangunan pembangkit listrik, gardu dan transmisi serta penyalurannya sampai rumah
tangga. Dengan adanya listrik maka dapat mendorong investasi khususnya untuk sektorsektor unggulan daerah sehingga dapat meningkatkan daya saing daerah tersebut. Listrik
dapat menciptakan peningkatan produktivitas baik di sektor rumah tangga, komersial dan
industri guna meningkatkan pendapatan masyarakat. Dari kerangka di atas dijelaskan bahwa

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

109

pembangunan ketenagalistrikan sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,


yang kemudian berdampak pada pengurangan kemiskinan dan pengangguran serta
menaikkan pendapatan per kapita masyarakat. Lemahnya ketersediaan pasokan listrik
berdampak pada rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Kondisi tersebut menuntut pengembangan dan pemanfaatan potensi energi baru terbarukan
(EBT) yang potensinya relatif cukup besar seperti tenaga hidro, surya, biomassa, bayu/angin
dan samudera. Potensi energi baru terbarukan (EBT) sangat sesuai dikembangkan di
Indonesia dengan kondisi geografis yang berupa pulau-pulau dengan kondisi beban (demand)
yang tersebar, sehingga pembangunan dengan skala/kapasitas kecil-menengah akan sesuai
dengan kemampuan pembiayaan dalam negeri. Pelaksanaan kebijakan konversi energi dari
BBM ke gas di sektor tranportasi dilakukan secara bertahap dalam jangka panjang dengan
angkutan umum menjadi salah satu sasaran utama program konversi untuk mengendalikan
konsumsi BBM subsidi.
Oleh karena itu, dalam mendorong penghematan anggaran dan pembangunan energi yang
berkelanjutan maka peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat besar dalam
peningkatan penyediaan listrik dan pelaksanaan konversi energi.

4.4 Aspek Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat


4.4.1 Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia
Pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan pembangunan ekonomi. Penegasan bahwa
pendidikan dapat memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi berdasarkan asumsi
pendidikan akan menciptakan tenaga kerja produktif dengan kompetensi, keahlian,
pengetahuan dan keterampilan tinggi. Tenaga kerja terdidik dengan kualitas tinggi merupakan
faktor determinan bagi peningkatan kapasitas produksi, yang memberi stimulasi pada
pertumbuhan ekonomi. Nilai ekonomi pendidikan terletak pada sumbangannya dalam
memasok tenaga kerja terampil, profesional berpengetahuan dan tenaga ahli dengan
kemahiran khusus sehingga menjadi lebih produktif.
Pendidikan juga dapat mengembangkan visi dan wawasan tentang kehidupan yang maju,
serta menanamkan etos kerja tinggi, adaptif dan inovatif. Semua itu akan melahirkan energi
yang dapat mendorong dan menggerakkan kerja-kerja produktif untuk mencapai kemajuan.
Tenaga kerja terdidik akan berpengaruh lebih signifikan lagi bilamana disertai penguasaan
teknologi, untuk mencapai apa yang disebut keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Penguasaan teknologi sangat penting karena bisa mendorong peningkatan produktivitas dan
efisiensi. Penguasaan teknologi dimungkinkan bilamana persyaratan modal manusia (SDM)
yang andal dipenuhi.

110

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Kaitan antara peningkatan SDM yang berkualitas dengan pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan dapat digambarkan dalam diagram berikut.
Gambar 4.9
Kerangka Peningkatan Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Yang Berkualitas

Peningkatan &
Penguatan
Daya Saing
Nasional/
Daerah

Peningkatan
Produktivitas
Nasional/
Daerah

Tenaga Kerja
Terampil
Profesional
dengan
Penguasaan
IPTEK

Pertumbuhan
Ekonomi yang
Berdampak Pada
Peningkatan
Kesejahteraan
Rakyat

Keunggulan
Kompetitif

Tenaga Ahli
dengan
Kemahiran
Khusus

Etos Kerja
Tinggi
Adaptif Inovatif

4.4.2 Percepatan Pengurangan Kemiskinan


Upaya percepatan pengurangan kemiskinan yang dilakukan melalui strategi dan kebijakan
makro dan strategi dan kebijakan klaster diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan
produktivitas masyarakat miskin. Secara ekonomis, peningkatan kapasitas dan produktivitas
masyarakat ini diharapkan dapat meningkatkan penguatan ekonomi domestik di daerah
(Gambar 4.10).
Secara makro, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan diharapkan dapat
memberikan landasan bagi penciptaan lapangan kerja baru dan perluasan kesempatan kerja
di masyarakat. Selanjutnya, pengendalian terhadap inflasi terutama inflasi dari aspek
makanan (flood inflation) diharapkan dapat mengamankan tingkat konsumsi masyarakat
miskin sehingga pada gilirannya kapasitas mereka akan semakin meningkat. Dalam konteks
penguatan ekonomi domestik diharapkan agregasi dari kedua upaya dan langkah secara
makro tersebut diharapkan dapat terus meningkatkan produktivitas dan kapasitas masyarakat

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

111

miskin di daerah sehingga pada akhirnya dapat memberikan kontribusi terhadap upaya
penguatan ekonomi di daerah.
Gambar 4.10
Kerangka Penguatan Ekonomi Domestik Melalui Upaya Percepatan Pengurangan
Kemiskinan
STRATEGI DAN
KEBIJAKAN MAKRO

STRATEGI DAN
KEBIJAKAN KLASTER

KLASTER 1
MENJAGA TINGKAT
PERTUMBUHAN
EKONOMI

MENGENDALIKAN
TINGKAT INFLASI

KLASTER 2

KLASTER 3

KLASTER 4

PENGURANGAN
BEBAN
PENGELUARAN

PENINGKATAN
KAPASITAS
MASYARAKAT

PENYEDIAAN
LAPANGAN KERJA

MENJAGA
TINGKAT
KONSUMSI
MASYARAKAT

PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS
MASYARAKAT

PENINGKATAN
KAPASITAS
MASYARAKAT

PENINGKATAN
PENDAPATAN

PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS
MASYARAKAT

PENGUATAN
EKONOMI
DOMESTIK DI
DAERAH

Secara teknis, 4 (empat) klaster program penanggulangan kemiskinan yang merupakan bagian
dari kebijakan afirmatif diharapkan dapat meningkatkan baik kapasitas maupun produktivitas
masyarakat miskin. Kegiatan-kegiatan pada Klaster 1 (Bantuan dan Perlindungan Sosial) dan
Klaster 4 (Program Pro-Rakyat) diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran masyarakat
miskin sehingga pada gilirannya kapasitas mereka akan terus meningkat secara sosial dan
ekonomi. Sementara, kegiatan-kegiatan pada Klaster 2 (Pemberdayaan Masyarakat) dan

112

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Klaster 3 (Pemberdayaan Usaha Mikro) diharapkan dapat memberikan landasan bagi


pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif masyarakat miskin yang berorientasi
kepada peningkatan pendapatan (income generation) dalam jangka pendek dan peningkatan
produktivitas dalam jangka panjang.

4.5 Aspek Pemantapan Stabilitas Politik


4.5.1 Persiapan Pemilu 2014
Stabilitas politik dalam sebuah negara/sistem demokrasi ditentukan oleh sejumlah faktor
penting. Pembangunan politik mensyaratkan kesuksesan penyelenggaraan pemilu dalam
menghasilkan pemimpin politik yang mampu mendorong kebijakan yang efektif dan
bermanfaat untuk rakyat. Bagan di bawah menunjukkan posisi penting pemilu dalam
keseluruhan dinamika politik di Indonesia, yakni sebagai bagian dari penataan proses politik,
yang memiliki kaitan erat dengan program pembangunan pada umumnya dan arah kebijakan
lainnya. Dengan kata lain, Pemilu memang bukan segala-galanya dalam menentukan
keberhasilan konsolidasi demokrasi, tapi merupakan syarat mutlak, untuk menuju
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berkepentingan pada penyelenggaraan pemilu
yang kredibel, yakni pemilu yang adil, jujur dan tunduk pada prinsip-prinsip umum sebuah
pemilu demokratis sehingga memberikan kontribusi nyata pada stabilitas politik. Hal ini
dengan mengingat, bahwa stabilitas politik adalah prasyarat mutlak bagi penguatan,
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Oleh karena itulah, maka pada semua tingkat, pemerintah perlu memberikan dukungan
optimal pada lembaga independen KPU, Bawaslu dan Panwaslu dalam melaksanakan tugastugas mereka menyelenggarakan pemilu maupun pemilukada. Sehingga pada gilirannya
makin jelas kaitan antara demokrasi dengan kesejahteraan masyarakat.
Persiapan Pemilu 2014 membutuhkan suatu kerangka pendanaan yang sangat besar dan
kompleks dalam setiap pentahapannya, yang seluruhnya merupakan dana dari APBN.
Kerangka pendanaan pemilu yang begitu masif perlu memberikan dampak nyata, baik pada
stabilitas politik maupun ekonomi, sehingga memberikan kepercayaan yang lebih besar
bahwa proses politik kita terus bergerak maju menuju demokrasi yang terkonsolidasi.
Melalui proses persiapan penyelenggaraan pemilu yang matang dan akuntabel yang didukung
oleh pemerintah dan pemerintah daerah, sebagai diamanatkan dalam UU No. 15 tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu, maka pada tahun 2014 mendatang Pemilu 2014 dapat
dilaksanakan secara demokratis, jujur dan adil dan dengan tingkat partisipasi politik yang
dapat mencapai rata-rata 75 persen.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

113

Gambar 4.11
Skema Pencapaian Stabilitas Politik

S
T
A
B
I
L
I
T
A
S

Penyempurnaan
Struktur Politik

Kelembagaan
Demokrasi

Penataan Peran
Negara dan
Masyarakat

Kemandirian
Masyarakat

Penataan
Proses Politik

Representasi
Kekuasaan

Pengembangan
Budaya Politik
4

Pembangunan
Infokom
5
6

Kebijakan
Demokrasi

Kapasitas
Lembaga
Negara/
Pemerintah

Hubungan
antar
lembaga

Desentralisasi
dan otonomi
daerah

KPU dan
Bawaslu

Kapaitas
OMS

Rekonsiliasi
Nasional

Pranata
Kemasyarakatan

Kapasitas
Parpol

Ruang
Publik

Kapasitas dan
Peran Adat

Seleksi Kepemimpinan
Nasional

Seleksi Pejabat
Publik/Politik

PEMILU dan PEMILUKADA

P
O
L
I
T
I
K

Konstitusi/
Peraturan
Perundangan

Penanaman
Nilai
Demokrasi

Nilai
Pancasila

Nilai
Demokrasi

Advokasi/Pendidikan Politik

Akses
Terhadap
Informasi

4.5.2 Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi


Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi iklim investasi dan perkembangan ekonomi
adalah situasi politik. Stabilitas politik berpengaruh besar dalam penciptaan iklim investasi
yang kondusif di suatu wilayah. Stabilitas politik ini berkaitan erat dengan kinerja
pemerintahan dalam memfasilitasi dan menciptakan aturan main dalam kerangka
governance. Kinerja pemerintahan ditentukan oleh kapasitas SDM aparatur dalam
memberikan pelayanan, baik kepada masyarakat maupun investor. Selain itu, akuntabilitas
pengelolaan keuangan daerah dan transparasi mekanisme pengadaan barang/jasa
(procurement) juga menjadi pertimbangan penting bagi investor yang sangat menekankan

114

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

pentingnya aspek kepastian hukum. Selanjutnya, hal ini harus diperkuat dengan komitmen
untuk memberantas praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam
pembangunan di suatu wilayah, yang antara lain dapat ditempuh melalui penerapan Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan upaya pengelolaan dan pelaporan
keuangan negara/daerah secara akuntabel menuju tercapainya opini WTP atas audit BPK.
Secara lebih sederhana sebagaimana digambarkan dalam kerangka pikir di bawah ini.
Kapasitas SDM aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat akan sangat
menentukan kualitas penyelenggaraaan pelayanan publik. Kompetensi PNS perlu terus
ditingkatkan agar dapat memberikan pelayanan yang prima, baik kepada masyarakat maupun
investor. Hal ini terutama ditujukan bagi SDM pelayanan yang menjadi pintu gerbang
masuknya investasi di suatu wilayah. Untuk itu, upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas
dan integritas SDM pelayanan harus terus dilakukan.
Gambar 4.12
Kerangka Peningkatan Kinerja Birokrasi Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
KESEJAHTERAAN RAKYAT
KUALITAS SDM
APARATUR

PENERAPAN
E-PROCUREMENT
(LPSE)

PERTUMBUHAN DAN
PERKUATAN PEREKONOMIAN
DOMESTIK

DAYA SAING DAERAH MENINGKAT


UPAYA PENCAPAIAN
WTP ATAS AUDIT LKPD
DAMPAK: PELAYANAN PUBLIK
BERKUALITAS

PENERAPAN SAKIP

SASARAN: TERWUJUDNYA TATA


KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK

Di samping itu, upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas juga dilakukan
melalui pengembangan pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement).
Dengan e-procurement maka penyelenggaraan proses pengadaan barang/jasa pemerintah

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

115

dapat lebih transparan, efektif, terbuka, bersaing, adil dan tidak diskriminatif. Mekanisme
tersebut akan menjadi daya tarik bagi investor yang seringkali mengeluhkan proses
pengadaan barang/jasa yang berbelit-belit sehingga dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi
(high cost economy).
Aspek lain yang juga menjadi tolok ukur kapabilitas pemerintah dalam menjalankan
pembangunan di daerah adalah akuntabilitas dalam pertanggungjawaban pengelolaan
keuangan daerah. Untuk mengukur akuntabilitas tersebut, BPK sebagai lembaga yang
berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, telah
mengeluarkan opini mengenai kewajaran informasi dalam laporan keuangan. Beberapa aspek
yang ditekankan dalam penilaian opini BPK, diantaranya adalah kesesuaian laporan keuangan
dengan standar akuntansi pemerintahan serta kepatuhan terhadap peraturan perundanganundangan. Selain itu, kewajiban pemerintah daerah untuk menindaklanjuti temuan BPK dapat
dijadikan tolok ukur dari komitmen pemerintah daerah akan nilai-nilai transparansi dan
kepatuhan atas peraturan perundangan.
Sejalan itu pula, penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
merupakan upaya untuk mewujudkan birokrasi yang profesional, akuntabel dan memiliki
kinerja yang optimal. Hal ini tentunya dapat secara langsung mendukung upaya peningkatan
daya saing nasional dan daerah. Implementasi SAKIP sebagai upaya pula untuk mewujudkan
manajemen birokrasi berbasis kinerja, sehingga seluruh tahapan dalam proses kerja birokrasi,
mulai dari perencanaan, penganggaran, implementasi, pengendalian kinerja, hingga
pelaporan dapat berjalan dengan terarah sesuai rencana dan menghasilkan kinerja yang
optimal.
Terkait dengan pemberantasan korupsi, hasil survey Transparency International Indonesia
(TII) tahun 2010 atas beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa korupsi menjadi
masalah utama bagi para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha. Masalah lain yang menjadi
penghambat investasi adalah infrastruktur yang tidak memadai, birokrasi yang tidak efisien
dan situasi politik yang tidak stabil. Oleh karena itu, upaya-upaya yang mengarah pada
pencegahan dan pemberantasan KKN harus terus menerus dilakukan demi menciptakan iklim
bisnis yang kondusif dan kepastian hukum.

116

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Foto: Humas Bappenas

BAB V
LANGKAHLANGKAH
PENGUATAN
PEREKONOMIAN
DOMESTIK SERTA
PENINGKATAN
DAN PERLUASAN
KESEJAHTERAAN
RAKYAT

BAB V
LANGKAH-LANGKAH PENGUATAN PEREKONOMIAN DOMESTIK
SERTA PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
5.1 Peningkatan Daya Saing
Dalam upaya mencapai keunggulan daya saing nasional diperlukan langkah-langkah konkrit
untuk melakukan harmonisasi kebijakan dan peraturan di tingkat pusat dan daerah, serta
melakukan sinergi peraturan dan kebijakan antara pusat dan daerah. Untuk itu diperlukan
upaya di setiap kementerian/lembaga dan daerah untuk dapat melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan baik dan melakukan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan.
Presiden telah menetapkan 9 (sembilan) direktif pada Raker III di Bogor tahun 2010 yang
mengamanatkan bahwa peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat perlu ditingkatkan
demi tercapainya sinergi pusat dan daerah serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
program dan kegiatan Kementerian/Lembaga di daerah. Selanjutnya telah dipersiapkan revisi
PP Nomor 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Keuangan
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Dalam hal ini peran Gubernur dalam
menjalankan fungsi koordinasi, pembinaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi serta
fasilitasi pembangunan Kabupaten/Kota di wilayah provinsinya akan diperkuat termasuk
koordinasi perencanaan pembangunan. Selanjutnya juga telah diterbitkan Surat Edaran
Bersama (SEB) Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri
Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 0442/M.PPN/11/2010; SE-696/MK 2010;
120/4693/SJ tentang Peningkatan Efektivitas Penyelenggaraan Program dan Kegiatan
Kementerian/Lembaga di Daerah serta Peningkatan Peran Aktif Gubernur Selaku Wakil
Pemerintah Pusat.
Sinergi kebijakan pembangunan antara pusat dan daerah serta antar daerah, khususnya
dalam kerangka perencanaan kebijakan diperlukan untuk:
1.
2.
3.
4.
5.

120

Memperkuat koordinasi antar pelaku pembangunan di pusat dan daerah;


Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar
ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan;
Mengoptimalkan partisipasi masyarakat di semua tingkatan pemerintahan; serta
Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan
dan berkelanjutan.

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Sedangkan upaya bersama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dapat dilakukan
antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Sinergi berbagai dokumen perencanaan pembangunan (RPJPN dan RPJPD, RPJMN


dan RPJMD, RKP dan RKPD);
Sinergi dalam penetapan target pembangunan;
Standarisasi indikator pembangunan yang digunakan oleh kementerian/lembaga dan
satuan perangkat kerja daerah;
Pengembangan database dan sistem informasi pembangunan yang lengkap dan
akurat;
Sinergi dalam kebijakan perijinan investasi di daerah; dan
Sinergi dalam kebijakan pengendalian tingkat inflasi.

5.1.1 Peningkatan Iklim Investasi dan Iklim Usaha


Dalam rangka meningkatkan iklim investasi dan iklim usaha di seluruh Wilayah Indonesia, baik
di tingkat pusat maupun daerah, perlu ditingkatkan kemudahan pelayanan perijinan dan non
perijinan yang transparan baik prosedur maupun biayanya. Untuk itu, setiap provinsi dan
kabupaten kota agar dapat segera membangun dan menyelenggarakan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (PTSP) yang menyediakan informasi dan pelayanan berbagai perijinan dan non
perijinan untuk kebutuhan investasi dan pengembangan usaha. PTSP diharapkan dapat
mempercepat dan mempermudah pelayanan perijinan, memudahkan dalam memonitor
kinerja pemrosesan perijinan terutama yang bersifat lintas sektor, mengantisipasi terjadinya
keterlambatan proses perijinan yang berlarut-larut dan mengurangi adanya pungutan pada
perijinan sektor tertentu.
Adapun peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dalam penyelenggaraan PTSP dapat
terlihat dalam Gambar 5.1.
Peran pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
Peran konkrit yang perlu dikoordinasikan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota adalah:
1.

2.

Melakukan harmonisasi peraturan perundangan dan turunannya, baik di tingkat


pusat maupun di tingkat daerah, sehingga memudahkan berbagai stake holder
untuk melaksanakannya.
Mendorong terbangunnya PTSP di seluruh Indonesia dan memfungsikan peran PTSP
sebagai pusat pelayanan berbagai perijinan dan non perijinan, dalam rangka
meningkatkan kemudahan investasi dan berusaha.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

121

Gambar 5.1
Peran Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP)
KEMENDAGRI:
Pembinaan
Implementasi OTDA
dan Monitoring

Regulasi dan perijinan


Kementerian/Lembaga

KEMENKUM HAM:
Penyusunan
Peraturan dan
Monitoring Peraturan

KEMEN PAN DAN RB:


Pembinaan Aparatur
dan Penyusunan
Struktur Organisasi

Regulasi dan perijinan


Kementerian/Lembaga

Regulasi dan perijinan


Kementerian/Lembaga

Pemerintah Provinsi:
Penyelenggaraan PTSP di 33 Provinsi
Pelimpahan wewenang penerbitan perijiinan dan
nonperijinan kepada PTSP
Penghapusan perda bermasalah di Provinsi

PTSP di kabupaten/kota
Penyelenggaraan PTSP kabupaten/kota
Pelimpahan wewenang penerbitan perijiinan dan
nonperijinan kepada PTSP
Penghapusan perda bermasalah di kabupaten/kota

Peran pemerintah pusat


Peran penting Pemerintah Pusat untuk meningkatkan iklim investasi dan iklim usaha adalah:
1.

2.
3.

122

Peraturan perundangan yang tumpang tindih agar segera diajukan dalam Prolegnas
untuk dibahas dan dilakukan revisi. Untuk itu, pemerintah pusat dalam hal ini
Kementerian KumHAM agar dapat menyederhanakan proses Prolegnas. Selain itu
juga diperlukan dukungan dari DPR agar menyederhanakan proses revisi terhadap
perundangan yang telah masuk dalam daftar Prolegnas.
Pemerintah pusat berperan untuk mendorong daerah untuk mengimplementasikan
Permendagri 24 tahun 2006 tentang PTSP.
Kementerian Dalam Negeri dan BKPM berperan untuk meningkatkan kualitas SDM
PTSP di seluruh Indonesia melalui pemberian pelatihan-pelatihan.

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

4.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN


dan RB) berperan untuk menerbitkan pedoman organisasi kantor PTSP di seluruh
Indonesia.

Peran Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota


Dengan otonomi daerah yang semakin menguat, peran Pemerintah Daerah menjadi sama
pentingnya dengan Pemerintah Pusat dalam peningkatan investasi. Pemerintah Daerah
diharapkan dapat berkreasi dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif di daerah
masing-masing melalui berbagai kebijakan. Pemerintah Daerah juga dituntut untuk dapat
mengamati dan belajar dari Pemerintah Daerah lain dalam meningkatkan daya tarik investasi
daerah. Daerah perlu membuat kebijakan yang mampu mencegah investor berpindah ke
daerah lain, karena daerah lain tersebut memiliki daya tarik investasi yang lebih tinggi.
Investor akan memilih lokasi yang menawarkan peluang keuntungan lebih besar dengan risiko
lebih kecil. Beberapa instrumen kebijakan untuk meningkatkan investasi adalah (1) peraturan
perundangan dalam kerangka regulasi; (2) pengelolaan belanja daerah dalam kerangka
investasi dan layanan publik untuk menyediakan pelayanan terpadu.
Beberapa hal yang perlu dikembangkan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dalam
rangka meningkatkan investasi di daerah antara lain adalah :
1.

2.

3.

Meningkatkan komitmen pemerintah dalam mendorong peran dunia usaha dalam


perekonomian, hal ini sangat penting karena kontribusi dunia usaha dalam
menggerakan perekonomian di daerah memiliki peran dan kontribusi yang besar
dalam mencapai kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan.
Penguatan kelembagaan pelayanan penanaman modal antara lain melalui
peningkatkan status kelembagaan PTSP sebagai contoh penguatan bentuk
kelembagaan dari kantor menjadi badan dengan syarat disesuaikan dengan kapasitas
dan beban kerja serta tugas dan fungsi yang diembannya.
Penelaahan dan perubahan kebijakan dan aturan terkait PTSP. Beberapa hal penting
terkait penelaahan dan perubahan kebijakan dan aturan terkait PTSP di daerah
antara lain adalah:
Revisi Perda-perda terkait dengan retribusi perijinan yang dianggap tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip PTSP seperti prinsip penyederhanaan, persyaratan dan
waktu pelayanan. Kegiatan ini harus dilakukan sesegera mungkin;
Telaah kebijakan dan peraturan lain dapat dilakukan secara berjenjang (satu
persatu) maupun paralel (sekaligus), tergantung prioritas dalam pembenahan
perijinan;
Penyederhanaan jumlah perijinan dengan menyatukan, atau menghapus
perijinan yang dianggap tumpang tindih dan menyulitkan pelaku usaha terutama
yang berskala menengah dan kecil;
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

123

4.

5.

6.

7.

8.

9.

124

Pembebasan biaya retribusi bagi kategori usaha tertentu misalnya pengusaha


mikro-kecil;
Penerbitan kebijakan atau peraturan untuk mencegah adanya pungutanpungutan di tingkat pemerintahan yang lebih rendah (kecamatan,
desa/kelurahan, RW, RT), terutama terkait dengan pemenuhan persyaratan ijin;
Memberikan input pada Kementerian teknis di tingkat pusat untuk membenahi
kebijakan perijinan.

Penuangan kebijakan PTSP ke dalam dokumen pembangunan jangka menengah


daerah (RPJMD) dan jangka panjang daerah (RPJPD). Mengintegrasikan kebijakan
maupun program pengembangan PTSP ke dalam Dokumen RPJMD dan RPJPD,
dengan maksud dan tujan: (1) Untuk menjamin bahwa setiap tahunnya PTSP
mendapatkan anggaran dari APBD dan (2) Untuk menjamin ketersediaan pendanaan
yang diperlukan bagi pengembangan pengelolaan PTSP secara berkelanjutan.
Meningkatkan promosi investasi daerah, melakukan promosi investasi baik di tingkat
nasional, regional maupun internasional dengan berbagai media (elektronik website,
maupun cetak) serta mengikuti berbagai kegiatan promosi melalui pameran dan lainlain;
Meningkatkan infrastruktur daerah. Selain menjadi kewajiban pemerintah pusat
dalam meningkatkan infrastruktur, sesuai dengan kewenangan yang telah diserahkan
kepada pemerintah daerah, maka pemda berkewajiban meningkatkan persentase
belanja modal dalam APBD khususnya untuk infrastruktur di daerah dan melalukan
kerjasama antar daerah (KAD) serta meningkatkan kerjasama dengan pihak swasta
(KPS) dalam membangun infrastruktur yang memerlukan dana lebih besar lagi;
Meningkatkan akses lahan usaha di daerah. Pemerintah daerah juga berkewajiban
meningkatkan akses ketersedian lahan usaha di daerah sesuai pembagian
kewenangan dalam peraturan perundang-undangan dan tidak menyalahi Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) di daerah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
penataan regulasi, koordinasi lintas sektor dan penataan kelembagaan serta
peningkatkan sumber daya aparatur yang mengelola bidang pertanahan.
Meningkatkan keamanan usaha, melalui peningkatan koordinasi dengan Muspida
termasuk unsur penegak hukum di daerah dalam menyelesaikan berbagai
konflik/sengketa di daerah.
Mendorong peran dunia usaha dalam perekonomian daerah, melalui berbagai
kebijakan pemerintah daerah yang kondusif antara lain melalui deregulasi dan
debirokrasi yang dituangkan dalam berbagai peraturan pemerintah daerah
(perda/perkada dll), sehingga dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang dalam
meningkatkan perekonomian di daerah.

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Selain itu, pemerintah daerah perlu mengevaluasi dan menghapus perda yang cenderung
membebani pengusaha dan kurang jelas tujuan serta peruntukannya. Pemda agar tidak
menyusun perda yang hanya bertujuan untuk meningkatkan PAD.
Dalam merespon pentingnya PTSP sebagaimana Permendagri 24 tahun 2006, pemerintah
daerah perlu segera menerbitkan Perda pembangunan PTSP, mendelegasikan wewenang
perijinan ke PTSP dan membangun dan mengimplementasi PPTSP sebagai pusat pelayanan
berbagai perijinan.
Strategi Peningkatan Pelayanan Perijinan dan Non Perijinan
Dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi dan iklim usaha di tingkat daerah, perlu
adanya bantuan, dukungan dan peran dari pemerintah daerah dalam meningkatkan
pelayanan perijinan dan non perijinan, melalui:
1.

2.

3.

4.

5.

Mendorong Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), yang mengacu


kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 tahun 2006 untuk mempercepat dan
memudahkan proses perijinan dan non perijinan. Penyelenggaraan PTSP perlu
ditetapkan oleh kepala daerah sebagai unit perangkat daerah.
Mendorong agar seluruh proses perijinan dan non perijinan dapat dilakukan di
PTSP, termasuk PTSP-PM (Penanaman Modal) yang sering berlokasi di tempat yang
berbeda agar dapat ditempatkan di PTSP sebagai unit perangkat daerah. Hal ini
dimaksudkan agar para investor hanya perlu datang ke satu lokasi, tidak perlu
mendatangi tempat yang terpisah.
Mengoptimalkan penyelenggaraan dan fungsi PTSP, melalui peningkatan: (1) SDM
yang profesional dan memiliki kompetensi; (2) Sarana, prasarana dan media
informasi yang memadai; (3) Mekanisme kerja yang jelas, transparan, mudah
dipahami dan diakses; dan (4) Disediakan layanan pengaduan.
Menerapkan Sistem Pelayanan Informasi dan Perijinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) di seluruh PTSP di Indonesia, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat
kabupaten/kota.
Melaksanakan harmonisasi regulasi antar daerah dan antara pusat dan daerah
yang mendukung investasi. Untuk mendukung hal ini perlu didorong langkahlangkah: (1) Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyusunan regulasi;
(2) Pemantauan dan evaluasi atas peraturan-peraturan daerah yang menghambat
investasi dan perdagangan antar daerah (dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri
dan Kementerian Keuangan); serta (3) Mekanisme pembatalan peraturan-peraturan
daerah yang bermasalah. Sejak tahun 2002 hingga 2010, total terdapat 2.285
peraturan daerah yang dibatalkan karena dianggap bermasalah (Ditjen Keuanganan
Daerah, Kemendagri).

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

125

Strategi Pengadaan Tanah untuk Pelaksanaan Pembangunan


Pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan infrastruktur dalam kenyataannya
memerlukan tanah, yang perolehannya dapat dilakukan melalui proses pengadaan tanah.
Untuk itu, perlu strategi pembenahan yang dapat mempercepat proses pengadaaan tanah,
antara lain:
1.

2.

3.

4.
5.

Kelembagaan. Pengadaan tanah selama ini dilaksanakan oleh suatu Panitia yang
bersifat ad-hoc dan belum ada lembaga yang bertanggungjawab atas pengadaan
tanah untuk kepentingan umum secara khusus;
Pendanaan. Permasalahan pendanaan untuk ganti kerugian terhadap tanah yang
dijadikan sebagai lokasi pembangunan infrastruktur kadang tidak tersedia secara
optimal karena anggaran yang ada terbatas atau karena harga tanah yang tiba-tiba
melonjak tinggi akibat adanya spekulasi terhadap harga tanah;
Besaran dan bentuk ganti kerugian. Selama ini ganti kerugian mengacu pada Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP) yang seringkali tidak mencerminkan nilai tanah yang
sebenarnya dan bentuk ganti kerugian yang lebih mengutamakan dalam bentuk
uang;
Waktu yang diperlukan untuk pembebasan lahan perlu dipercepat. Saat ini, proses
pembebasan lahan cenderung lama dan berlarut-larut; dan
Perencanaan dan koordinasi antar instansi yang perlu ditingkatkan. Selama ini,
proses perencanaan dan koordinasi antar instansi dan Pemda yang terlibat dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan masih belum baik.

Namun demikian diharapkan permasalahan proses pengadaan tanah dapat teratasi dengan
terbitnya UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
Strategi Peningkatan Kegiatan Pertanahan di Daerah
Salah satu bidang yang memerlukan bantuan, dukungan dan peran dari pemerintah daerah
adalah bidang pertanahan. Walaupun sebenarnya bidang pertanahan sudah merupakan
bagian dari urusan daerah, namun mengingat keterbatasan kemampuan daerah terutama
terkait sumber daya manusia (SDM) dan teknologi, sementara ini bidang pertanahan masih
merupakan urusan pusat dan dalam hal ini dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN). Dalam pelaksanaannya terkait dengan upaya percepatan peningkatan daya saing
daerah, bantuan pemerintah daerah untuk kegiatan bidang pertanahan sangat diperlukan.
Bentuk bantuan, dukungan dan peran dari pemerintah daerah terkait bidang pertanahan yang
diharapkan antara lain adalah:
1.

126

Memberikan Bantuan subsidi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Sejak berlakunya UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penetapan
BPHTB merupakan kewenangan pemerintah daerah. Untuk itu dalam rangka
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

mendukung peningkatan kegiatan ekonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan


dapat mengurangi besaran BPHTB bagi pelaku usaha dan masyarakat yang ingin
berusaha di daerahnya atau bahkan membebaskan BPHTB bagi masyarakat
berpenghasilan rendah melalui pemberian subsidi;
2.

Melakukan identifikasi lokasi-lokasi potensial yang menjadi obyek sertifikasi tanah.


Jaminan kepastian hukum hak atas tanah merupakan salah satu faktor penting dalam
mendukung peningkatan daya saing daerah. Dalam bidang pertanahan,
permasalahan yang dihadapi adalah masih banyaknya bidang-bidang tanah yang
belum terdaftar (tersertifikat), sehingga menimbulkan potensi sengketa, konflik dan
perkara pertanahan. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya minat investasi di
wilayah tersebut. Pada akhirnya dapat berakibat rendahnya daya saing suatu daerah.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah percepatan kegiatan pendaftaran
tanah (sertifikasi). Namun demikian, upaya ini sering terbentur dengan tidak siapnya
bidang tanah yang akan disertifikasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Untuk itu pemerintah daerah dapat melakukan bantuan identifikasi bidang-bidang
tanah yang sudah sesuai dengan kriteria perundang-undangan sehingga proses
sertifikasi dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif;

3.

Memberikan dukungan dalam pengukuran dan pemetaan wilayah. Ketersediaan


peta pertanahan yang akurat dapat membantu mempercepat kegiatan sertifikasi
tanah. Dalam pembuatan peta pertanahan pemerintah daerah diharapkan
membantu BPN di daerah melalui identifikasi awal lokasi yang akan dipetakan serta
bantuan identifikasi lokasi pada pelaksanaan survei termasuk transportasi terutama
pada wilayah-wilayah terisolasi yang sulit terjangkau.

5.1.2 Percepatan Pembangunan Infrastruktur


Pembangunan infrastruktur menjadi bagian dari pembangunan yang dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi domestik karena dapat menekan ekonomi biaya tinggi. Selain itu,
pembangunan infrastruktur juga diperlukan untuk mewujudkan pemerataan, menurunkan
tingkat kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup. Indonesia, sebagai negara kepulauan
yang memiliki wilayah luas yang terdiri dari 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota dengan
potensi sumber daya alam yang berlimpah harus didukung oleh ketersediaan infrastruktur
yang berkualitas, terjangkau dan ramah lingkungan untuk merekatkan seluruh wilayah dalam
satu kesatuan NKRI yang maju dan sejahtera.
Adanya keterbatasan dana yang dimiliki menjadikan peran bersama antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan swasta perlu disinergikan dengan baik. Koordinasi dan sinergi yang
dilaksanakan dalam keterhubungan antar wilayah (domestic connectivity) mencakup

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

127

pembagian peran dan kewenangan, pengembangan kerangka kerja bersama dan pembagian
tugas dan tanggung jawab termasuk pembiayaan.
Gambar 5.2
Mekanisme Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Melalui Skema Kerjasama Pemerintah
Swasta (KPS)
Multilateral, Bilateral,
Development Bank

APBN

Rupiah

Dukungan dan
Jaminan
Pemerintah

Proyek
BUMN/D

Penyiapan
Proyek

Pihak Swasta

Proyek KPS

PPP Book

Peran Pemerintah Pusat dan Daerah


Peran pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah yaitu agar dapat berperan sebagai
fasilitator dalam merencanakan, membangun dan mengelola infrastruktur sebagai penggerak
pembangunan; menyusun strategi dan kebijakan sektor; memberikan dana penjaminan
(guarantee fund); mengawasi aturan main (rule of the game) untuk melindungi kepentingan
swasta dan sekaligus kepentingan masyarakat/konsumen.
Baik pemerintah pusat maupun daerah mempunyai tanggung jawab untuk menyelenggarakan
pelayanan infrastruktur yang bersifat public goods sesuai prinsip Public Service Obligation
atau Universal Service Obligation (PSO dan USO). Pemerintah harus menyiapkan regulasi yang
kondusif bagi partisipasi swasta; menjamin keselamatan masyarakat pengguna; menetapkan
standar pelayanan dan sertifikasi; serta memberikan lisensi operator yang diperlukan
berdasarkan prinsip-prinsip yang optimal dan transparan bagi kepentingan publik dan
investor.
Pemerintah memberikan dukungan kerjasama dengan swasta (KPS) di bidang infrastruktur
dengan diterbitkannya Perpres No.13 Tahun 2010 yang merupakan penyempurnaan atas

128

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Keputusan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur. Pembiayaan oleh swasta terus didorong pemerintah melalui
Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Strategi Peningkatan Infrastruktur Transportasi
1.

Meningkatkan pelayanan sarana dan prasarana transportasi sesuai Standar Pelayanan


Minimal (SPM), yang dilakukan dengan upaya-upaya :
Memberikan pelayanan transportasi minimal yang memadai dan merata;
Pengembangan sarana dan prasarana transportasi perdesaan;
Pemberian subsidi transportasi dan PSO angkutan;
Mengurangi backlog pemeliharaan prasarana dan sarana transportasi;
Meningkatkan kondisi pelayanan prasarana jalan sesuai dengan SPM;
Meningkatkan keselamatan dan kualitas pelayanan transportasi;
Meningkatkan profesionalisme SDM transportasi;
Mendukung pengembangan transportasi yang berkelanjutan;
Pembenahan manajemen transportasi umum perkotaan;
Meningkatkan kemampuan dan kecepatan tindak awal pencarian dan penyelamatan
korban kecelakaan dan bencana.

2.

Mendukung peningkatan daya saing sektor riil, yang dilakukan dengan upaya-upaya:
Pengembangan outlet-outlet pelabuhan dan sarana pendukungnya;
Pengembangan sistem informasi muatan barang (cargo information system) serta
pengembangan armada pelayaran nasional;
Pengembangan sarana dan prasarana penghubung antar pulau;
Penerapan mekanisme unbundling guna mempercepat pembangunan sarana dan
prasarana transportasi;
Mengembangkan transportasi umum massal perkotaan berbasis rel di wilayah
metropolitan dan berbasis bis di wilayah perkotaan;
Meningkatkan strategi pelayanan angkutan antar moda dan intermoda;
Meningkatkan kualitas dan kapasitas pelayanan transportasi mendukung pariwisata,
sentra-sentra produksi pertanian dan industri;
Penegakan hukum, deregulasi pungutan dan retribusi di jalan, penataan jaringan dan
ijin trayek;
Meningkatkan pelayanan pada koridor jenuh dan kesinambungan dengan
transportasi sungai dan danau serta antarpulau (point to point);
Memenuhi perkembangan teknologi dan ketentuan internasional.

3.

Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan dalam kondisi yang terbatas, termasuk
mempertahankan dan meningkatkan keselamatan pengguna jasa transportasi. Dalam

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

129

rangka keterjangkauan seluruh masyarakat untuk memanfaatkan jasa transportasi perlu


dikaji ulang untuk optimalisasi kebijakan subsidi dan PSO, terutama untuk angkutan
kereta api, angkutan laut, maupun angkutan udara.
4.

Melanjutkan reformasi, restrukturisasi dan pemantapan desentralisasi


sektor
transportasi, antara lain:
Pengembangan jaringan pelayanan transportasi secara antar moda dan intermodal;
Peningkatan iklim kompetisi secara sehat agar dapat meningkatkan efisiensi dan
memberikan alternatif bagi pengguna jasa dengan tetap mempertahankan
keberpihakan pemerintah sebagai regulator terhadap pelayanan umum yang
terjangkau oleh masyarakat;
Penyusunan SPM dan pelaksanaan desentraliasasi sektor transportasi; dan
Peningkatan kelembagaan, SDM dan teknologi untuk peningkatan daya saing produk
lokal/dalam negeri di sektor transportasi.

Dengan memperhatikan peta daya saing infrastruktur daerah yang ada, maka secara garis
besar kebijakan dan strategi pengembangan infrastruktur dalam rangka meningkatkan
kualitas dan cakupan pelayanan infrastruktur di daerah perlu diarahkan kepada:
1.

Optimalisasi kinerja pelayanan infrastruktur yang ada (value creation) melalui


upaya debottlenecking permasalahan pelayanan infrastruktur yang telah terbangun,
baik dari aspek regulasi, kelembagaan maupun pengelolaan. Alokasi dana untuk
pemeliharaan prasarana jalan di daerah juga perlu ditingkatkan untuk mengatasi
jalan dengan kondisi tidak mantap yang rata-rata mencapai hampir separuh dari total
panjang jalan provinsi, kota dan kabupaten yang ada. Pembenahan sistem
pengelolaan dan pengoperasian serta peremajaan angkutan umum kota dapat
meningkatkan kapasitas angkut serta mobilitas orang serta mencegah maupun
mengatasi permasalahan kemacetan lalu-lintas yang dapat menurunkan daya saing
ekonomi kota. Debottlenecking juga perlu dititikberatkan pada titik-titik perpindahan
antar moda transportasi serta akses keluar masuk pelabuhan laut maupun bandara
yang ada. Pengoptimalan kinerja infrastruktur yang telah ada perlu diutamakan
dalam rangka efisiensi dalam investasi untuk pembangunan infrastruktur karena
dapat meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan infrastruktur di daerah melalui
investasi yang relatif rendah.

2.

Optimalisasi kinerja pelabuhan maupun bandara, yang dapat dilakukan melalui


integrasi dengan pergudangan dan kawasan industri di dalam hinterland-nya.

3.

Peningkatan kapasitas pelayanan infrastruktur (asset creation) melalui


pembangunan baru maupun peningkatan dan perluasan cakupan infrastruktur yang
ada. Peningkatan kapasitas serta cakupan wilayah pelayanan infrastruktur di daerah
diperlukan dalam rangka meningkatkan dan memperluas pelayanan infrastruktur

130

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat maupun dukungan akses kepada


pusat-pusat perekonomian daerah. Dalam rangka mendukung kelancaran arus
barang, beberapa ruas jalan provinsi, kabupaten maupun kota yang menjadi bagian
dari rute utama arus barang perlu ditingkatkan dalam bentuk pelebaran serta
peningkatan kelasnya agar mampu memikul beban lalu-lintas yang ada serta
konsisten dengan kelas jalan nasional pada rute utama arus barang tersebut.
Pembangunan jalan baru yang menjadi kewenangan daerah perlu ditingkatkan,
misalnya untuk mendukung akses hasil produk pertanian daerah ke pasar. Dukungan
daerah diperlukan, termasuk dalam hal penyediaan lahan, untuk mendukung
peningkatan kapasitas maupun pembangunan jalan, pelabuhan dan bandara baru.
4.

Pengembangan perkeretaapian untuk penumpang terutama di kota-kota besar,


sesuai dengan adanya kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan
perkeretaapian di provinsi, kabupaten maupun kota sesuai dengan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian. Pengembangan perkeretaapian di
perkotaan tersebut harus terintegrasi secara multimoda dan antar moda dengan
pengembangan sistem angkutan umum dan transportasi keseluruhan di daerah.

5.

Peningkatan dan perluasan layanan broadband di kabupaten/kota sebagai tulang


punggung arus informasi yang berkontribusi signifikan kepada pertumbuhan dan
daya saing ekonomi daerah.

6.

Peningkatan dan perluasasan infrastruktur untuk pemenuhan kebutuhan layanan


air minum dan sanitasi, termasuk kepada masyarakat di wilayah perdesaan maupun
terpencil.

7.

Peningkatan partisipasi Daerah dalam pemenuhan kebutuhan energi juga perlu


dilakukan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dan meningkatkan daya saing energi
daerah.

8.

Peningkatan sinergi pengembangan infrastruktur antar daerah dan antara daerah


dengan pusat. Sinergi pengembangan infrastruktur antar daerah maupun antara
daerah dengan pusat akan memberikan dampak serta skala yang lebih besar dan
menguntungkan bagi daerah dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi daerah.
Kerjasama dan sinergi antara Pusat dan Daerah juga diperlukan dalam peningkatan
kapasitas infrastruktur seperti pelabuhan laut, bandara maupun prasarana jalan
nasional yang ada di daerah, pelayanan transportasi keperintisan, pengembangan
angkutan umum masal berbasis jalan (Bus Rapid Transit/BRT), pelaksanaan Rencana
Umum Nasional Keselamatan Jalan (RUNK) 2011-2035, pengelolaan jaringan irigasi,
penyediaan infrastruktur dasar seperti air minum dan sanitasi dan penyediaan
infrastruktur energi dan telekomunikasi. Sinergi dan dukungan Daerah yang sangat

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

131

penting dalam pengembangan infrastruktur yang dilaksanakan Pusat di daerah


adalah dalam hal penyediaan lahan.
9.

Peningkatan investasi swasta dalam pengembangan infrastruktur daerah melalui


skema Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS). Kebutuhan pendanaan untuk
penyediaan infrastruktur yang begitu besar serta keterbatasan kemampuan investasi
pemerintah serta dalam rangka memanfaatkan efisiensi yang ditawarkan swasta,
maka perlu dirintis maupun ditingkatkan pembiayaan pembangunan infrastruktur
melalui investasi swasta melalui pola Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS).
Pemerintah Daerah perlu melakukan kajian serta memberikan fasilitas dalam bentuk
penyiapan proyek KPS baik melalui anggaran daerah maupun bekerjasama dengan
Kementerian/Lembaga. Dalam rangka mendorong pelaksanaan proyek KPS yang
telah ada di dalam PPP Book, dukungan Daerah diperlukan baik dari aspek regulasi
yang dibutuhkan maupun penyediaan lahan.

5.1.3 Peningkatan Pembangunan Industri di 6 Koridor Ekonomi


Pengembangan MP3EI berfokus pada 8 program utama, yaitu: pertanian, pertambangan,
energi, industri, kelautan, pariwisata, telematika dan pengembangan kawasan strategis.
Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama yang disesuaikan
dengan potensi dan nilai strategisnya masing-masing di koridor yang bersangkutan. Kegiatan
utama di setiap koridor ditetapkan berdasarkan unggulan di masing-masing Koridor. Untuk
itu, dalam pelaksanaan MP3EI di setiap koridor ekonomi memerlukan upaya-upaya perbaikan
iklim usaha dan iklim investasi sehingga pengembangan kegiatan ekonomi utama di setiap
koridor ekonomi dapat berjalan secara optimal sesuai dengan keunggulan masing-masing
daerah. Adapun pemetaan kegiatan-kegiatan ekonomi utama di masing-masing koridor dapat
dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Pemetaan Untuk Kegiatan-Kegiatan Ekonomi Utama Dari Masing-Masing Koridor
Kegiatan Ekonomi Utama
Besi Baja
Makanan Minuman
Tekstil
Peralatan Transportasi
Perkapalan
Nikel
Tembaga
Bauksit
Kelapa Sawit
Karet
Pertanian Pangan
Pariwisata
Telematika

132

Sumatera

Jawa

Kalimantan

Sulawesi

Bali Nusa
Tenggara

Papua Kep.
Maluku

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Kegiatan Ekonomi Utama

Sumatera

Batu Bara
Migas
Jabodetabek Area
KSN Selat Sunda
Alutsista
Peternakan
Perkayuan
Kakao
Perikanan
Sumber: MP3EI 2011 2015

Jawa

Kalimantan

Sulawesi

Bali Nusa
Tenggara

Papua Kep.
Maluku

Peran Pemerintah Pusat dan Daerah


Untuk pelaksanaan program utama dan kegiatan utama dimaksud, maka dibutuhkan
kerjasama dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menciptakan iklim usaha dan
iklim investasi yang baik di daerah sesuai dengan sektor unggulan di masing-masing daerah.
Peran Pemerintah Daerah khususnya dalam perbaikan iklim investasi dan iklim usaha,
diantaranya:
1.

2.

3.
4.

5.
6.
7.

Perbaikan kepastian hukum yang dilakukan melalui reformasi regulasi secara


bertahap di daerah sehingga terjadi harmonisasi peraturan perundang-undangan
untuk lebih meningkatkan kejelasan dan konsistensi dalam implementasinya;
Penyederhanaan prosedur dilakukan melalui Penerapan Sistem Pelayanan Informasi
dan Perijinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) pada Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PTSP) di 50 kabupaten/ kota dengan arah kebijakan yaitu penerapan SPIPISE di
PTSP sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas PTSP;
Pembatalan Perda bermasalah dan pengurangan biaya untuk memulai usaha seperti
Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP);
Perbaikan logistik nasional dan daerah dilakukan melalui pengembangan dan
penetapan Sistem Logistik Nasional yang menjamin kelancaran arus barang dan
mengurangi biaya transaksi/ekonomi biaya tinggi serta didukung oleh infrastruktur
yang memadai melalui skema pendanaan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS);
Dalam mendukung pengembangan KEK yang direncanakan di 5 lokasi sampai tahun
2012;
Pelaksanaan sinkronisasi kebijakan ketenagakerjaan dan iklim usaha di daerah;
Dukungan pertanahan untuk mendukung iklim investasi.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

133

5.1.4 Penciptaan Kesempatan Kerja Khususnya Tenaga Kerja Muda


Langkah-langkah utama yang diperlukan dan sangat mendesak untuk dilaksanakan adalah: (1)
Membangun infrastruktur pengembangan kompetensi kerja, sebagai tahap awal dalam
mempersiapkan tenaga kerja yang kompeten agar dapat bersaing dalam pasar global.
Pemerintah pusat dan daerah dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan
pelatihan (diklat) profesi, baik milik pemerintah, swasta, maupun perusahaan yang
menyelenggarakan pelatihan berbasis kompetensi. Penyiapan sarana/prasarana, instruktur,
pembiayaan dan pengelolaan lembaga pelatihan yang memenuhi aspek standar mutu
kelembagaan menjadi prioritas; (2) Menyempurnakan mekanisme seleksi pemagangan di
perusahaan; (3) Meningkatkan efektivitas pelaksanaan program/kegiatan yang mendukung
pengembangan usaha dan kewirausahaan serta mendorong jaringan lembaga keuangan
mikro termasuk ekonomi lokal, yang antara lain menargetkan kaum muda; dan (4)
Meningkatkan akses kepada informasi peluang kerja.
Peran Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
Langkah-langkah konkrit untuk peningkatan kesempatan kerja khususnya bagi tenaga kerja
muda adalah:
1.

2.

3.

4.

134

Pemerintah Pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah perlu melakukan


harmonisasi regulasi yang terkait dengan pendidikan dan pelatihan, serta
standarisasi dan sertifikasi kompetensi. Harmonisasi regulasi dilakukan pada tingkat
undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan perundang-undangan lain
yang lebih rendah, termasuk peraturan daerah.
Menerapkan konsep pelatihan berbasis kompetensi. Program pelatihan
dikembangkan mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Peningkatan kinerja lembaga
pelatihan ditujukan pada peningkatan relevansi, kualitas, efektivitas dan efisiensi
pelatihan. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, program pelatihan perlu
dikembangkan secara fleksibel dan responsif terhadap perkembangan kebutuhan
pasar kerja dan dunia usaha/industri. Infrastruktur pelatihan di lembaga pelatihan
diperkuat dengan mengacu pada standar program dan SKKNI.
Meningkatkan manajemen lembaga pelatihan agar kredibilitas dan akuntabilitasnya
terukur, di antaranya dengan menerapkan sistem manajemen mutu (total quality
management) atau standar manajemen lain yang kredibel dan akuntabel, seperti
misalnya standar manajemen ISO.
Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah perlu memetakan program/kegiatan
pemagangan yang dilaksanakan oleh berbagai kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah di tingkat nasional dan daerah. Pemetaan ini diperlukan untuk
meningkatkan sinergi antar K/L dan antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

5.

6.

program dan memastikan ketepatan sasaran. Kerjasama antara Pemerintah dengan


perusahaan penerima pemagangan juga harus diperkuat agar pemagangan yang
difasilitasi oleh pemerintah benar-benar sesuai kebutuhan dan dapat bermanfaat
bagi perusahaan.
Meningkatkan sinergi pelaksanaan berbagai program/kegiatan yang mendukung
pengembangan usaha dan kewirausahaan oleh kementerian/lembaga, pemerintah
daerah dan swasta di tingkat nasional dan daerah. Sasaran berbagai
program/kegiatan tersebut harus selaras, saling mengisi dan bidang usaha yang
dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah. Selain itu, peserta pelatihan
kewirausahaan ini harus diseleksi dengan kriteria tertentu untuk memastikan
keberlanjutannya. Selanjutnya, wirausaha muda yang telah mendapatkan pelatihan
difasilitasi untuk memulai usahanya (inkubator bisnis), termasuk kredit usaha dan
pengembangan jaringan pasar.
Mengembangkan sistem informasi pasar kerja, yang berisi antara lain informasi
lowongan pekerjaan, ketersediaan suplai tenaga kerja dengan kompetensi tertentu,
informasi penyelenggaraan pelatihan dan informasi konseling, yang menghubungkan
informasi lowongan kerja di kabupaten/kota. Jangkauan layanan informasi pasar
kerja diperluas ke daerah-daerah, terutama daerah perdesaan dalam format standar
yang dapat diakses oleh pencari kerja dan calon pemberi kerja.

Peran Pemerintah Provinsi


1.

2.

3.
4.

Menyusun perencanaan pelatihan kerja pada tingkat provinsi. Perencanaan


pelatihan ini meliputi rencana kebutuhan pelatihan, baik bidang, jenis, kualifikasi
maupun jumlahnya, serta rencana pemenuhannya melalui optimalisasi seluruh
sumber daya pelatihan pada tingkat provinsi yang bersangkutan. Rencana pelatihan
kerja provinsi ini menjadi dasar untuk penyusunan program dan kegiatan pembinaan
lembaga pelatihan, termasuk pendirian lembaga pelatihan baru.
Merencanakan dan melaksanakan program fasilitasi peningkatan kinerja lembaga
pelatihan. Fasilitasi peningkatan kinerja lembaga pelatihan dilaksanakan dengan
mengacu pada pedoman pembinaan lembaga pelatihan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat, di antaranya melalui penyelenggaraan pelatihan, bimbingan dan
konsultasi penerapan pedoman, terutama kepada pembina pelatihan di tingkat
kabupaten/kota.
Melaksanakan fungsi pengembangan program insentif pembinaan pelatihan di
tingkat kabupaten/kota, serta program insentif bagi lembaga pelatihan.
Melaksanakan monitoring, evaluasi dan pengawasan pelaksanaan program
peningkatan kinerja lembaga pelatihan di tingkat provinsi. Fungsi ini di samping
untuk keperluan pengendalian juga untuk keperluan perbaikan dan pengembangan
program fasilitasi peningkatan kinerja lembaga pelatihan tahun berikutnya.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

135

5.
6.

7.

Melaksanakan pelaporan kondisi pelatihan dan lembaga pelatihan di provinsi yang


bersangkutan kepada Pemerintah Pusat.
Mengkoordinasikan pelaksanaan program/kegiatan pengembangan kewirausahaan
dan pemagangan di tingkat kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan dan
mengintegrasikan kelompok/individu sasaran pemanfaat program sesuai dengan
kebutuhan lokal.
Meningkatkan kualitas dan kemutakhiran data informasi pasar kerja di tingkat
provinsi.

Peran Pemerintah Kabupaten/Kota


1.

2.

3.

4.
5.
6.

136

Menyusun perencanaan pelatihan kerja pada tingkat kabupaten/kota. Perencanaan


pelatihan ini meliputi rencana kebutuhan pelatihan, baik bidang, jenis, kualifikasi
maupun jumlahnya, serta rencana pemenuhannya melalui optimalisasi seluruh
sumber daya pelatihan pada tingkat kabupaten/kota yang bersangkutan. Rencana
pelatihan kerja kabupaten/kota ini menjadi dasar untuk penyusunan program dan
kegiatan pembinaan lembaga pelatihan, termasuk pendirian lembaga pelatihan baru.
Melaksanakan program fasilitasi peningkatan kinerja lembaga pelatihan. Fasilitasi
peningkatan kinerja lembaga pelatihan dilaksanakan dengan mengacu pada
pedoman pembinaan lembaga pelatihan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, di
antaranya melalui penyelenggaraan pelatihan, bimbingan dan konsultasi penerapan
pedoman, terutama kepada pembina pelatihan di tingkat kabupaten/kota. Selain itu
juga melaksanakan fungsi pengembangan program insentif bagi lembaga pelatihan.
Melaksanakan monitoring, evaluasi dan pengawasan pelaksanaan program
peningkatan kinerja lembaga pelatihan di tingkat kabupaten/kota. Fungsi ini di
samping untuk keperluan pengendalian juga untuk keperluan perbaikan dan
pengembangan program fasilitasi peningkatan kinerja lembaga pelatihan tahun
berikutnya.
Melaksanakan pelaporan kondisi pelatihan dan lembaga pelatihan di kabupaten/kota
kepada pemerintah provinsi dengan tembusan kepada Pemerintah Pusat.
Melakukan verifikasi kelompok sasaran pemanfaat program kewirausahaan dan
pemagangan.
Memutakhirkan data informasi pasar kerja di tingkat kabupaten/kota.

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

5.2 Peningkatan Daya Tahan Ekonomi


5.2.1 Peningkatan Ketahanan Pangan
Dalam Bab 4.3 telah dijelaskan bahwa ketahanan pangan memiliki 4 aspek utama sebagai
upaya membangun sistem ketahanan pangan. Masyarakat dan pemerintah daerah memiliki
peranan penting dalam membangun ketahanan pangan dimulai dari proses produksi,
distribusi, pengolahan pangan dan pemasaran. Sementara peran pemerintah juga sangat
penting dalam pemberian insentif untuk tetap menjaga ketahanan pangan melalui regulasi,
penciptaan iklim investasi dan pembangunan fasilitas/prasarana publik.
Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan
Dalam upaya mencapai 4 aspek utama ketahanan pangan, beberapa strategi dan upaya yang
perlu dilakukan antara lain sebagai berikut :
1.

2.

Menjaga peningkatan produksi pangan yang dilakukan melalui: (a) Perluasan areal
dan pengelolaan lahan pertanian; (b) Pengelolaan air irigasi untuk pertanian; (c)
Pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan
lainnya; (d) Pengelolaan dan konservasi sebanyak, serta bangunan penampung air
lainnya; (e) Pengembangan SLPTT padi; (f) Pengelolaan sistem penyediaan benih
tanaman pangan dan benih ikan; (g) Penyaluran pupuk bersubsidi; (h) Penguatan
dukungan lembaga penyuluhan bagi balai penyuluhan pertanian, tenaga penyuluh
pertanian dan perikanan dan kelembagaan petani; (i) Penyaluran bantuan sarana
penanganan pasca panen; (j) Penelitian dan pengembangan benih unggul padi
tanaman pangan lainnya; (k) Pengembangan SLPTT jagung; (l) pengadaan kapal
perikanan; (m) pengembangan kawasan perikanan budidaya yang memiliki sarana
dan prasarana memadai, antara lain saluran tambak di kawasan payau, tawar dan
laut; dan (n) Penyediaan statistik Pertanian untuk Sensus Pertanian 2013.
Menjaga aksesibilitas pangan yang dilakukan melalui upaya antara lain : (a)
pengembangan sistem distribusi pangan yang menjangkau seluruh wilayah secara
efisien; (b) pengelolaan sistem distribusi pangan yang dapat mempertahankan
keamanan, mutu dan gizi pangan; (c) penjaminan keamanan distribusi pangan; (d)
memberikan prioritas untuk kelancaran bongkar muat produk pangan; (e)
menyediakan sarana dan prasarana distribusi pangan, (f) pengembangan lembaga
distribusi pangan masyarakat; (g) koordinasi kebijakan dalam perdagangan dan
stabilisasi harga pangan; (h) menetapkan jenis pangan yang berdampak pada inflasi;
(i) pengaturan penyaluran cadangan pemerintah; (j) pengelolaan dan pemeliharaan
cadangan pangan pemerintah; (k) pengaturan dan pengelolaan pasokan pangan; dan
(l) penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

137

3.

4.

Menjaga pemenuhan konsumsi dan kualitas pangan masyarakat yang dilakukan


melalui: (a) Pengembangan diversifikasi konsumsi pangan dan peningkatan
keamanan pangan; (b) pengembangan pangan olahan yang berbasis sumber daya
lokal; dan (c) pengembangan alternatif pangan non beras.
Menanggulangi permasalahan pangan yang disebabkan karena kenaikan harga
pangan, kurangnya ketersediaan pangan, kurangnya pendapatan masyarakat, serta
gangguan akan pangan di daerah-daerah terkena bencana dilakukan melalui
pemberian raskin kepada masyarakat berpendapatan rendah dan menyediakan
cadangan beras pemerintah.

Dalam rangka menuju pencapaian surplus beras 10 juta ton mulai tahun 2014, target sasaran
produksi padi pada tahun 2012, 2013 dan 2014 adalah sebagaimana terlihat dalam Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Capaian dan Target Produksi Padi Tahun 2010 -2014
Tahun

Sasaran Produksi (juta ton)


GKG
Peningkatan
Beras
(%)

Jumlah
Penduduk
(juta jiwa)

Total
Kebutuhan
Perkapita/
Tahun
139,15
137,06
135,01
132,98
130,99

Kebutuhan
Beras
(juta ton)

2010
66,5
3,2
37,2
237,6
2
2011
65,7
(1,1)
37,0
241,2
2012
67,8
3,2
38,1
244,8
2013
72,1
6,3
40,5
248,4
2014
76,6
6,3
43,0
252,1
Sumber : Kementerian Pertanian, 2012
Catatan :
1)
Tahun 2010 merupakan Angka Tetap BPS
2)
Tahun 2011 menggunakan Angka Sementara BPS
Penurunan konsumsi perkapita 1,5%/tahun mulai 2010
Konversi Gabah Kering Giling (GKG) ke beras tersedia untuk konsumsi : 56,22%

33,07
33,06
33,05
33,03
33,02

Surplus
Beras Murni
(juta ton)
4,2
3,9
5,1
7,5
10,0

Meningkatnya produksi padi sebesar 6,3 persen pada tahun 2013 diharapkan mampu untuk
mendukung tercapainya surplus sebesar 7,5 juta ton pada tahun 2013 dan 10 juta ton pada
tahun 2014. Melalui kegiatan-kegiatan pendukung seperti Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SLPTT), System of Rice Intensification (SRI), Gerakan Peningkatan Produksi
Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) diharapkan dapat meningkatkan produktivitas produksi
padi. Selain itu pula diperlukan dukungan lain seperti pencetakkan sawah baru dan optimasi
lahan untuk memperluas areal tanam, penyediaan alat mesin (alsin) pasca panen guna
mengurangi nilai susut pada saat pasca panen, revitalisasi mesin penggilangan padi untuk
meningkatkan rendemen padi, serta Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP)
guna mengurangi konsumsi beras per kapita sehingga sasaran utama surplus beras 10 juta ton
dapat terpenuhi.

138

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong peningkatan perluasan areal tanam,
yang dilaksanakan Kementerian terkait bersama-sama dengan pemerintah daerah dan
masyarakat, meliputi antara lain:
1.

Pencetakan Lahan Sawah Baru


Pencetakan sawah baru dapat dilakukan juga melalui pemanfaatan lahan terlantar
untuk peningkatan produksi pangan sesuai peraturan perundangundangan.
Pencetakan sawah baru dikoordinasikan dan direncanakan oleh Kementerian
Pertanian, Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah. Dengan perhitungan
pencetakan sawah pada tahun 2013 seluas 100 ribu ha. Pencetakan sawah baru
tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi produksi padi pada tahun 2013
sebesar 289 ribu ton GKG.

2.

Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) secara


ekstensifikasi/ food estate
Upaya perluasan areal lahan sawah baru direncanakan oleh BUMN dan pemerintah
daerah sesuai dengan amanat Inpres 5 tahun 2011. Prakiraan kontribusi produksi
pada tahun 2013 sebesar 289 ribu ton padi GKG.

3.

Optimasi Lahan dan Peningkatan Indeks Pertanaman (IP)


Kegiatan Optimasi lahan dikoordinasikan dan direncanakan oleh Kementerian
Pertanian dan Pemerintah Daerah. Potensi optimasi pemanfaatan lahan sawah masih
cukup tinggi mulai dari Indek Pertanaman (IP) di bawah 1 (kurang dari 1 kali tanam
dalam 1 tahun) dan di bawah 2 (dua kali tanam padi dalam 1 tahun). IP dapat
ditingkatkan dengan input kegiatan optimasi lahan seperti penyediaan paket sarana
produksi lengkap, perbaikan jaringan irigasi, pompanisasi, penggunaan alsintan
prapanen dan lain-lain. Dengan perhitungan sasaran kegiatan optimal lahan seluas
80 ribu ha, prakiraan kontribusi produksi pada tahun 2013 adalah sejumlah 87 ribu
ton GKG padi.

Target produksi padi tahun 2012 dan 2013 untuk masing-masing Provinsi dalam rangka
menuju pencapaian surplus beras 10 juta ton adalah sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.3.
Selain meningkatkan produksi pertanian perlu juga dilakukan upaya untuk meningkatkan
produksi perikanan, langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk
meningkatkan produksi perikanan adalah: (1) pengembangan kawasan perikanan, antara lain
kawasan minapolitan, termasuk melakukan koordinasi lintas SKPD dalam aspek perencanaan
termasuk penyiapan masterplan, pelaksanaan dan penganggaran; (2) penetapan tata ruang
wilayah dan zonasi kawasan perairan serta kawasan konservasi laut; (3) peningkatan kapasitas
SDM daerah melalui pelatihan, pembinaan dan penyuluhan perikanan.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

139

Tabel 5.3
Sasaran Produksi Padi Tahun 2012-2013 Menurut Provinsi
No.

Provinsi

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kep Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali

Sasaran (Ribu Ton)


2012
2013
1.829,16
3.721,37
2.351,69
552,78
1,26
667,14
3.488,94
15,67
498,58
3.034,41
9,82
12.002,59
2011,51
9.689,65
869,65
10.911,78
885,52

1.943,48
3.953,95
2.498,67
587,33
1,34
708,83
3.707
16,65
529,74
3.223,63
10,43
12.752,75
2.137,23
10.295,25
924,01
11.593,77
528,96

No.

Provinsi

18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Nusa Tenggara Barat


Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Total

Sasaran (Ribu Ton)


2012
2013
2.132,66
610,12
1.417,76
630,69
2.102,92
571,00
615,12
282,60
1.071,37
4.654,33
377,27
507,15
90,24
63,38
126,74
30,23
67.824,69

2.265,95
648,25
1.506,37
670,11
2.234,35
606,69
653,57
300,27
1.138,34
4.945,22
400,85
538,85
95,88
67,34
134,66
32,12
72.063,74

Sumber : BPS (diolah )

Peran Pemerintah Daerah dan Petani


Beberapa paket teknologi dalam rangka peningkatan produktivitas yang dapat dilaksanakan
oleh pemerintah daerah bersama dengan petani, meliputi antara lain:
1.

Penerapan SRI (System of Rice Intensification)


Air merupakan kunci utama dalam budidaya tanaman termasuk padi. Dengan kondisi
ketersediaan air yang mulai terbatas baik kuantitas maupun kualitas, maka sangat
diperlukan teknologi budidaya padi hemat air. Teknologi SRI salah satunya adalah
dalam rangka menerapkan hal tersebut. SRI dapat menghemat benih (5-8 kg/ha)
karena tanam 1 batang dengan umur bibit muda (kurang dari 15 hari). Kegiatan SRI
dikoordinasikan dan direncanakan oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah
Daerah. Sasaran luas SRI pada tahun 2013 mencapai 200.000 ha dengan prakiraan
sumbangan produksi mencapai 1,1 juta ton padi.

2.

SL-PTT Padi
Menurut data BPS, produktivitas padi masih dapat ditingkatkan hingga 6 ton GKG per
Ha, maka masih terbuka peluang meningkatkan produksi melalui peningkatan
produktivitas. Untuk meningkatkan produktivitas tersebut dilakukan melalui
penerapan paket teknologi budidaya spesifik lokasi yang lebih dikenal dengan
Pengelolaan sumberdaya dan tanaman secara terpadu (PTT). Komponen PTT antara
lain: (1) penggunaan benih varietas unggul; (2) penerapan teknik budidaya jajar

140

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

legowo, tanam satu batang; (3) Penggunaan pupuk berimbang; (4) Penerapan
kalender tanam; (5) Pengendalian OPT; dan (6) Panen tepat waktu. Kegiatan SL-PTT
dikoordinasikan dan direncanakan oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah
Daerah. Untuk mendukung pencapaian sasaran produksi padi tahun 2013
direncanakan SLPTT seluas 3,75 juta ha dengan prakiraan sumbangan produksi
mencapai 21,7 juta ton padi.
3.

Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) secara


Intensifikasi
Berawal dari Inpres 5 tahun 2011, maka tugas Kementerian BUMN adalah (1)
Mengoptimalkan fungsi BUMN dalam penyediaan lahan pada kawasan hutan dengan
pola tumpang sari produksi untuk tanaman padi; (2) Mengoptimalkan fungsi BUMN
dalam penyediaan dan penyaluran sarana produksi dan distribusi gabah/beras; dan
(3) Memperkuat fungsi BUMN dalam pengadaan dan pengelolaan cadangan
gabah/beras pemerintah dengan target GP3K untuk tahun 2013 adalah 570 ribu ha,
dengan prakiraan sumbangan produksi mencapai 3 juta ton padi. Kegiatan GP3K
dikoordinasikan dan direncanakan oleh Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian
dan Pemerintah Daerah.

4.

Pengamanan Pasca Panen


Melalui penerapan penanganan pasca panen yang tepat kehilangan hasil pasca
panen dapat dikurangi. Untuk itu diperlukan pelatihan dan pengadaan sarana
penanganan pasca panen meliputi Vertical dryer, Paddy mower, Reaper, Stripper,
Sabit bergerigi, Pedal thresher, power thresher, terpal. Berdasarkan hasil survei BPS
2009 diketahui bahwa konversi GKG ke beras rata-rata adalah 62,74 persen. Hasil
kajian dan praktek perbaikan penggilingan padi yang dilakukan oleh Perpadi, mampu
meningkatkan rendemen GKG menjadi > 65 persen. Perbaikan penggilingan yang
dilakukan meliputi: (1) Mengganti alat dalam dua polisher; (2) Penambahan dua
ayakan kawat; (3) Penambahan waterpolish; dan (4) tambahan satu unit alat
pengukur kadar air (moisture tester).

5.

Penelitian dan Pengembangan


Kegiatan dan Penelitian dan pengembangan benih unggul sangat penting dilakukan
guna mendukung peningkatan produktivitas tanaman padi sehingga dapat
menghasilkan produksi yang maksimal. Kegiatan penelitian dan pengembangan
dikoordinasikan dan direncanakan oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah
Daerah.

6.

Penguatan Penyuluhan
Upaya pencapaian target surplus beras 10 juta ton sangat memerlukan peran serta
aktif penyuluh disetiap daerah. Sehingga sangat diperlukan usaha penguatan

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

141

penyuluh didaerah yang dikoordinasikan dan direncanakan oleh Kementerian


Pertanian dan Pemerintah Daerah.

5.2.2 Peningkatan Rasio Elektifikasi dan Konversi Energi


Sesuai dengan UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi dan UU No. 30 tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan maka Pemerintah Daerah (Pemda) ikut serta bertanggung jawab dalam
pengelolaan energi. Hal ini selanjutnya akan tertuang dalam kerangka kebijakan yang dimulai
dengan penyusunan rencana umum energi daerah (RUED).
Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan
kebijakan, pengaturan, pengawasan dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik
yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah. Untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam penyediaan tenaga listrik,
Undang-Undang tersebut memberi kesempatan kepada badan usaha swasta, koperasi dan
swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Sesuai
dengan prinsip otonomi daerah, Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya menetapkan ijin usaha penyediaan tenaga listrik.
Selain itu, pemda juga harus ikut serta dalam upaya mengalokasikan dana guna pembangunan
infrastruktur energi di daerahnya. Namun Pemerintah Pusat harus tetap berupaya menjaga
keadilan dan pemerataan pembangunan dengan melaksanakan Dana Alokasi Khusus (DAK)
bidang listrik perdesaan/lisdes. DAK lisdes dimulai pada tahun anggaran 2011, dengan
mengupayakan pengembangan energi mikrohidro dan tenaga surya, khususnya untuk daerah
dengan kemampuan pendanaan yang rendah serta memiliki kondisi rasio elektrifikasi yang
rendah.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk
meningkatkan potensi pembiayaan dalam pembangunan infrastruktur energi adalah melalui
pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta/KPS (public private partnership/PPP).
Proyek pembangkit listrik yang menjadi prioritas dan potensial untuk didorong melalui skema
pendanaan KPS adalah pembangkit batubara, hidro dan mulut tambang yang dikembangkan
pada skala besar. Skema KPS pembangkit listrik skala kecil-menengah akan lebih diarahkan
untuk pengembangan pembangkit dengan energi terbarukan seperti tenaga sampah (waste to
energy), terutama untuk daerah perkotaan. Adapun untuk skala kecil, seperti untuk
pengembangan biogas, lebih baik diarahkan melalui kerjasama dengan pihak koperasi, karena

142

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

hal ini terkait dengan kesesuaian aspek kapasitas, kemampuan pengelolaan, finansial dan
sosial ekonomi.
Peran Pemerintah Daerah
Dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur energi sebagai sarana pendorong
pembangunan sosial ekonomi di daerah, maka masih diperlukan peranan Pemerintah Daerah
dalam beberapa hal, seperti: (1) peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan
kelembagaan; (2) prioritasi alokasi pendanaan pembangunan di daerah termasuk efisiensi; (3)
pengembangan potensi sosial dan ekonomi sebagai fokus pengembangan industrialisasi di
daerah; dan (4) pembinaan dan pengembangan kelembagaan bisnis khususnya koperasi. Hal
ini sangat diperlukan agar infrastruktur energi yang dikembangkan tidak hanya menaikkan sisi
konsumsi semata, namun dapat memiliki nilai tambah sosial dan ekonomi.

5.3 Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat


5.3.1 Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia
Dalam rangka menjadikan SDM sebagai isu sentral pembangunan daerah untuk mendukung
upaya meningkatkan dan memperluas kesejahteraan rakyat, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah harus memastikan bahwa layanan pendidikan tersedia secara memadai
dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Satuan pendidikan mulai dari jenjang pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi harus dapat mengakomodasi setiap anak usia sekolah yang
memerlukan layanan pendidikan. Bahkan layanan pendidikan harus dapat menjangkau
seluruh lapisan masyarakat, yang bermukim di daerah tertinggal, kepulauan, terpencil dan
perbatasan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib membangun infrastruktur
pendidikan untuk mendukung peningkatan layanan pendidikan yang bermutu bagi
masyarakat di wilayah tersebut. Untuk itu, pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota harus bersinergi dalam memberikan layanan pendidikan agar
kinerja pendidikan di setiap daerah makin meningkat.
Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Langkah-langkah kongkret untuk meningkatkan kinerja pendidikan dapat ditempuh sebagai
berikut:
1.
2.

Menyediakan dan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas


dan merata di seluruh provinsi dan kabupaten/kota;
Menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang berkualitas dan merata
di seluruh provinsi dan kabupaten/kota;
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

143

3.

Memperjelas wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pemerintah pusat,


provinsi dan kabupaten/kota dalam penyediaan layanan pendidikan untuk
mendukung efektivitas pelaksanaan desentralisasi pendidikan;
4. Mengupayakan pembangunan kapasitas kelembagaan di pemerintahan lokal dan
melakukan supervisi untuk meningkatkan tata kelola satuan pendidikan di seluruh
provinsi dan kabupaten/kota, agar pelayanan pendidikan dapat berjalan efektif;
5. Meningkatkan koordinasi di antara lembaga pemerintahan pada semua tingkatan
untuk memperlancar proses pembuatan kebijakan pendidikan, yang didukung oleh
sistem informasi, kualitas dan validitas data, serta kondisi empiris di lapangan
(evidence-based decision making);
6. Menata dan memantapkan sistem pembelajaran yang efektif di setiap satuan
pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SPM), serta memperkuat
sistem evaluasi, akreditasi dan sertifikasi satuan pendidikan untuk menjaga dan
mengendalikan mutu pendidikan;
7. Menghitung proporsi anggaran yang harus disediakan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah berdasarkan kapasitas fiskal, yang disesuaikan dengan tugas dan
tanggung jawab setiap tingkatan pemerintahan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu
menghitung kemampuan keuangannya untuk membiayai pendidikan;
8. Menyusun mekanisme yang tepat terkait penggunaan anggaran pendidikan dari
pusat dan daerah agar tidak terjadi misalokasi dan inefisiensi. Untuk itu, perlu
meningkatkan efektivitas pemanfaatan anggaran pemerintah pusat yang
dialokasikan melalui dana dekonsentrasi dan tugas perbantuan;
9. Menyediakan subsidi dan berbagai skema blockgrant untuk meningkatkan
keterjangkauan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh provinsi
dan kabupaten/kota;
10. Mendorong partisipasi masyarakat, para pemangku kepentingan dan dunia usaha
dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan melalui pengembangan program
kemitraan yang saling menguntungkan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
pendidikan.
Dengan langkah-langkah kongkret yang dapat dilaksanakan secara nyata diharapkan layanan
pendidikan yang bermutu makin meningkat, yang berkontribusi langsung pada peningkatan
kesejahteraan rakyat di seluruh daerah di Indonesia.
Peran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
Agar pelayanan pendidikan lebih optimal dan pelaksanaan desentralisasi pendidikan lebih
efektif, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu meningkatkan kerjasama yang
harmonis dengan memperhatikan peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing. Untuk
itu, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu fokus dalam hal-hal sebagai berikut:

144

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Memperbaiki kesenjangan capaian pendidikan dan disparitas partisipasi pendidikan


antar daerah dengan memanfaatkan sumber daya potensial yang tersedia, sehingga
masing-masing daerah tetap dapat meningkatkan kemajuan pendidikannya, yang
diiringi dengan pengurangan disparitas partisipasi pendidikan;
Memperbaiki ketimpangan kualitas pendidikan antar daerah melalui (1) penyediaan
sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan bermutu sesuai dengan standar
pelayanan minimal; (2) memperbaiki manajemen guru dengan menata persebaran
pendidik yang lebih merata di seluruh daerah, termasuk memenuhi kebutuhan guru
di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan; (3) memfasilitasi dan
memberi kemudahan perpindahan guru antar kabupaten/kota dan antar satuan
pendidikan dalam konteks penerapan best practices dan knowledge sharing dalam
upaya meningkatkan mutu pendidikan;
Memastikan dan memperkuat institusi-institusi penyelenggara pendidikan (Dinas
Pendidikan, Kandepag) dan satuan pendidikan agar dapat menjalankan tugas dan
fungsi pelayanan pendidikan dengan baik;
Menyediakan data dan informasi yang akurat untuk dijadikan dasar dan
pertimbangan dalam perumusan dan pembuatan kebijakan pembangunan
pendidikan nasional untuk dilaksanakan di daerah;
Menghitung kebutuhan nyata anggaran pendidikan dengan menyusun satuan biaya
pendidikan per siswa pada setiap jenjang pendidikan sesuai dengan SPM. Selain itu,
menghitung pula proyeksi kebutuhan anggaran per jenjang pendidikan yang disertai
dengan perhitungan proyeksi perkembangan jumlah siswa dari tahun ke tahun
berdasarkan perkembangan jumlah penduduk di setiap daerah;
Mendorong peningkatan peran masyarakat dalam rangka pemberian beasiswa bagi
siswa miskin dan meningkatkan kapasitas pengelolaan pemberian beasiswa dalam
hal pendataan, sasaran dan mekanisme penyaluran.

5.3.2 Percepatan Pengurangan Kemiskinan


Untuk meningkatkan efektivitas upaya percepatan pengurangan kemiskinan dalam kerangka
penguatan ekonomi domestik diperlukan sinergi antara pusat dan daerah. Secara makro,
peran pemerintah pusat lebih dititikberatkan kepada upaya untuk mewujudkan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan melalui pelaksanaan rencana investasi
dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Sementara, pemerintah daerah
diharapkan dapat memperlancar pelaksanaan seluruh kegiatan investasi di koridor-koridor
ekonomi yang berada di daerahnya masing-masing. Dengan sinergi yang tepat dan koordinasi
yang intensif diharapkan pelaksanaan rencana investasi MP3EI akan mampu menggerakkan
pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan lapangan kerja baru dan memperluas
kesempatan kerja secara nasional. Selanjutnya, secara makro pemerintah pusat dan
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

145

pemerintah daerah berperan dalam menjaga agar tingkat konsumsi masyarakat tidak jatuh
melalui upaya mempertahankan kestabilan harga bahan pangan pokok. Harga bahan pangan
pokok yang stabil merupakan kunci dalam pengendalian tingkat inflasi. Oleh karena itu
diperlukan koordinasi yang lebih intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam upaya menjaga dan mengamankan ketersediaan stok bahan pangan pokok serta
pengamanan distribusi bahan pangan pokok.
Peran Pemerintah Pusat
Dalam konteks kebijakan afirmatif, pemerintah pusat berperan dalam:
1.
2.

3.

Merumuskan strategi dan kebijakan 4 (empat) klaster Program Penanggulangan


Kemiskinan, termasuk perencanaan program dan penganggarannya.
Dalam konteks peningkatan kualitas implementasi program dan kegiatan di daerah,
pemerintah pusat telah memberikan perangkat (tools) yang terkait dengan sistem
perencanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi kemiskinan (Pro-poor
Planning, Budgeting, Monitoring and evaluation system atau P3BM) yang telah
diterapkan di 66 kabupaten/kota dan program pengembangan sistem perencanaan
partisipatif (P2SPP) atau yang dikenal dengan PNPM Mandiri Integrasi yang telah
diterapkan di 75 kabupaten/kota, serta
Memberikan pengembangan kapasitas (capacity building) dan penguatan
kelembagaan (institutional strengthening) bagi Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (TKPKD).

Peran Pemerintah Daerah


Pemerintah daerah - melalui TKPKD Provinsi dan TKPKD Kabupaten/Kota - harus lebih intensif
dalam melakukan:
1.
2.
3.

146

Mengintegrasikan perencanaan seluruh program penanggulangan kemiskinan ke


dalam mekanisme dan proses perencanaan reguler melalui Musrenbang;
Meningkatkan sinkronisasi perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan kegiatan
penanggulangan kemiskinan di daerah; dan
Meningkatkan koordinasi kelembagaan lintas SKPD serta peningkatan intensitas
peran dan fungsi TKPKD dalam mengkoordinasikan, mensikronisasikan dan
mengintegrasikan seluruh lembaga, program dan kegiatan yang terkait dengan upaya
penanggulangan kemiskinan di daerah.

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

5.4 Pemantapan Stabilitas Politik


5.4.1 Persiapan Pemilu 2014 dan Pilkada
Langkah utama yang diperlukan dan sangat mendesak dilakukan adalah memberikan
memberikan fasilitasi dan dukungan sepenuhnya kepada Penyelenggaraan Pemilu dalam
melaksanakan amanat perundang-undangan untuk menyelenggarakan Pemilu 2014. Hal ini
dengan mengingat amanat Pasal 126 UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu
yang mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan bantuan dan fasilitas
kepada Penyelenggara Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Adapun dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut:
1.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan bantuan dan fasilitas
berupa:
Penugasan personel pada sekretariat Panwaslu kabupaten/kota, Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK), Panwaslu kecamatan dan Panitia Pemungutan
Suara (PPS)
Penyediaan sarana ruangan sekretariat Panwaslu kabupaten/kota, Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK), Panwaslu kecamatan dan Panitia Pemungutan
Suara (PPS);
Pelaksanaan sosialisasi;
Kelancaran transportasi pengiriman logistik;
Monitoring kelancaran penyelenggaraan Pemilu;
Kegiatan lainnya yang pelaksanaannya dilakukan setelah ada permintaan dari
Penyelenggara Pemilu.

2.

Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat membantu pendanaan untuk kelancaran


penyelenggaraan pemilihan gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku.

3.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah masing-masing perlu melakukan koordinasi


dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Kepolisian Daerah (Polda) untuk
menyiapkan pengamanan yang optimal untuk keberlangsungan pelaksanaan setiap
proses tahapan pemilu.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

147

Gambar 5.3
Tahapan Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014

Sumber: KPU, 2012

5.4.2 Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi


Strategi Peningkatan Kualitas SDM Aparatur
Optimalisasi kinerja birokrasi sangat tergantung pada kapasitas, kompetensi, integritas dan
kinerja dari SDM Aparatur, dalam hal ini adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam rangka
memperbaiki manajemen kepegawaian negara, saat ini sedang dilakukan pembahasan antara
pemerintah dengan DPR dalam rangka penyusunan RUU Aparatur Sipil Negara (ASN).
Penyusunan RUU ini untuk menggantikan UU No. 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini. Sedangkan beberapa
kebijakan yang telah berhasil diterbitkan pada tahun 2011, antara lain: (1) PP 46/2011
tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS; (2) PP 44/2011 tentang Pemberhentian PNS; dan (3)
Permenpan & RB No. 63/2011 tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai
Negeri.
Di samping itu, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan moratorium penerimaan PNS, yang
ditetapkan melalui Peraturan Bersama antara Menteri PAN & RB, Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Keuangan No. 02/SPB/M.PAN-RB/8/2011, No. 800-632 Tahun 2011, No.
141/PMK.01/2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil.
Dalam masa penundaan tersebut, instansi pusat dan daerah diharapkan dapat melakukan
penghitungan kebutuhan jumlah PNS yang tepat berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja

148

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

untuk melakukan penataan organisasi (rightsijing) dan penataan PNS dalam kerangka
pelaksanaan reformasi birokrasi. Sebagai dasarnya, telah diterbitkan PermenPAN & RB Nomor
26 tahun 2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah kebutuhan PNS untuk Daerah. Sebagai
tindak lanjutnya, pada tahun 2012 ini akan diselenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi
4.125 tenaga Analisis Jabatan (Anjab) di K/L/Pemda yang nantinya diharapkan dapat disusun
peta jabatan dan profil kebutuhan PNS pada seluruh instansi pusat dan daerah.
Berdasarkan peta SDM Aparatur dan berbagai kebijakan yang telah diterbitkan tersebut,
maka strategi yang dapat ditempuh dalam rangka peningkatan kualitas SDM Aparatur oleh
pemerintah daerah adalah antara lain:
1.
2.
3.

4.
5.

Melakukan penataan kepegawaian daerah dengan menghitung kebutuhan pegawai


sesuai dengan kebutuhan riil (right sijing);
Melakukan realokasi penempatan pegawai sesuai dengan kompetensi yang
dibutuhkan;
Memperkuat manajemen SDM pegawai dengan membangun sistem pola karir,
sistem promosi/demosi dan mutasi, model/sistem seleksi penerimaan dan
penempatan pegawai;
Memperkuat manajemen pengembangan kapasitas dan profesi pegawai dengan
membangun sistem pengembangan karir dan kapasitas pegawai yang profesional;
Meningkatkan kualitas dan kuantitas penyelenggaraan diklat pegawai, khususnya
diklat teknis terampil.

Melalui strategi tersebut, diharapkan SDM Aparatur dapat menjadi pendorong perubahan
dan peningkatan kinerja di lingkungan pemerintah daerah, sehingga secara langsung maupun
tidak langsung, turut memberikan kontribusi bagi peningkatan daya saing birokrasi daerah.
Strategi Perluasan Penerapan E-Procurement
Sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperluas penerapan e-procurement atau Layanan
Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di seluruh instansi pemerintah, baik pusat maupun
daerah, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.

2.
3.

Gubernur/Bupati/Walikota berkewajiban membentuk LPSE untuk memfasilitasi


ULP/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara
elektronik;
K/L/I dapat membentuk LPSE untuk memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam
melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik;
ULP/Pejabat Pengadaan pada Kementerian/Lembaga/PerguruanTinggi/BUMN yang
tidak membentuk LPSE, dapat melaksanakan Pengadaan secara elektronik dengan
menjadi pengguna dari LPSE terdekat.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

149

Selain langkah di atas, upaya lain yang dilakukan dalam rangka perluasan penerapan eprocurement, dilakukan melalui penetapan aksi sebagaimana tercantum dalam Inpres No. 17
Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Dalam Inpres
tersebut telah dirumuskan program aksi berupa Pelaksanaan Transparansi Proses Pengadaan
Badan Publik, dengan LKPP sebagai instansi penanggung jawab. Adapun sasaran yang ingin
dicapai adalah dalam APBN/APBD tahun 2012, sekurang-kurangnya 75 persen dari seluruh
belanja K/L dan 40 persen belanja Pemda (Prov/Kab/Kota) yang dipergunakan untuk
pengadaan barang/jasa wajib menggunakan SPSE melalui LPSE sendiri atau LPSE terdekat.
Strategi Peningkatan Opini/Kualitas Laporan Keuangan Daerah
Dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), Pemerintah telah menetapkan beberapa sasaran yang harus dicapai oleh
pemerintah daerah, antara lain meningkatnya jumlah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) menjadi 60 persen pada akhir tahun 2014. Kebijakan ini ditetapkan melalui
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Untuk mendukung pencapaian sasaran
tersebut, pemerintah juga telah menetapkan beberapa kebijakan terkait, antara lain Inpres
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan Akuntabilitas Keuangan Negara dan
Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
dan Pembinaan Aset Daerah. Dengan dicapainya opini WTP, diharapkan dapat mendorong
pencapaian kinerja pemerintah darah yang lebih baik.
Berdasarkan peta pencapaian opini BPK atas Laporan Keuangan Pemda sampai tahun 2010,
maka strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan opini dan
kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) antara lain adalah:
1.

Meningkatkan komitmen dan pemahaman dari pimpinan pemerintah daerah


(kepala daerah, DPRD, kepala SKPD) untuk mencapai kualitas terbaik laporan
keuangan pemerintah daerah (opini WTP) berikut aksi dan instruksi yang jelas atas
komitmen yang telah ditetapkan;

2.

Menyusun Rencana Aksi Menuju opini WTP dengan membangun infrastruktur


pengelolaan keuangan daerah yang kuat, antara lain (minimal) terdiri dari:
perbaikan sistem, prosedur dan pelaporan pengelolaan keuangan dan barang
milik daerah (sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah);
peningkatan kompetensi dan kapasitas SDM pengelola keuangan daerah melalui
penerimaan pegawai baru dan peningkatan kualitas pelaksanaan bimtek/diklat
bagi para pengelola keuangan negara. Kegiatan bimtek/diklat bertujuan untuk
memberikan pemahanan praktis kepada para pengelola keuangan agar mampu

150

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

dalam menyusun neraca daerah, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas
dan catatan atas laporan keuangan;
penguatan/pengefektifan fungsi APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah)
dalam mengintensifkan langkah-langkah pencegahan terhadap korupsi pada
pelaksanaan/realisasi APBD;
penguatan SPIP sesuai PP 60 tahun 2008;
penguatan manajemen aset;
penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK, dll.

3.

Melaksanakan/memperhatikan peraturan/pedoman terkait peningkatan kualitas


laporan keuangan, antara lain:
PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
PP Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah;
PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP;
PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
Inpres Nomor 4 Tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan Akuntabilitas
Keuangan Negara;
Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi dan Pembinaan Aset Daerah;
Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
Permenkeu Nomor 242 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana
Insentif Daerah Tahun Anggaran 2012 (persyaratan opini WTP dan WDP untuk
mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID) TA 2012);
Surat Keputusan Kepala BPKP Nomor Kep-420/K/2007 tentang Pedoman Review
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.

4.

Memanfaatkan kegiatan-kegiatan KL yang bertujuan memfasilitasi/membantu


pengelolaan keuangan daerah:
Asistensi yang diberikan BPKP pada pemerintah daerah untuk meningkatkan
opini laporan keuangan daerah sebagai berikut:
a. Pendampingan penyusunan laporan keuangan;
b. Pendampingan penataan aset;
c. Pendampingan penyusunan sistem akuntansi dan SOP Pengelolaan
Keuangan;
d. Bimtek Pengelolaan Keuangan;
e. Penyediaan sistem pengelolaan keuangan berbasis komputer (SIMDA
keuangan, SIMDA gaji, SIMDA BMD/aset.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

151

BPKP bersama beberapa pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang belum


berhasil memperoleh opini WTP atas LKPD, telah menandatangani nota
kesepahaman (MoU) untuk menuju opini WTP. Ruang lingkup pendampingan
dalam Mou antara lain:
a. Pengembangan dan penyelenggaraan sistem akuntansi pemerintah daerah;
b. Peningkatan kapasitas aparat pengawasan intern pemerintah daerah; dan
c. Pengembangan dan penyelenggaraan sistem pengendalian intern
pemerintah (SPIP).
Asistensi yang diberikan Kemendagri pada pemerintah daerah untuk
meningkatkan opini laporan keuangan daerah sebagai berikut:
a. Membina Pemerintah Daerah untuk menyusun Perda tentang Pokok-Pokok
Pengelolaan Keuangan Daerah;
b. Membina Pemerintah Daerah untuk menyusun Perda tentang Pengelolaan
Barang Milik Daerah;
c. Membina Pemerintah Daerah untuk menyusun Peraturan Kepala Daerah
tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah;
d. Membina Pemerintah Daerah untuk menyusun Peraturan Kepala Daerah
tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Barang Milik Daerah;
e. Membina Pemerintah Daerah untuk menyusun Peraturan Kepala Daerah
tentang Kebijakan Bantuan Sosial;
f. Membina Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan dan Penatausahaan
Pengelolaan Keuangan Daerah;
g. Membina Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan APBD.

Kementerian Dalam Negeri saat ini sedang menyusun Permendagri tentang Pedoman
Penerapan Standar Akuntansi berbasis Akrual. Setelah ditetapkan, Permendagri ini
akan disosialisasikan secara bertahap.
Strategi Penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
Akuntabilitas kinerja merupakan wujud pertanggungjawaban instansi pemerintah, baik pusat
maupun daerah, dalam mencapai misi dan tujuan organisasi, melalui serangkaian program
dan kegiatan yang dilaksanakan dengan dukungan anggaran negara, sehingga terwujud
manajemen berbasis kinerja pada lingkungan birokrasi pemerintah. Hal inilah yang mendasari
diterapkannya Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Implementasi SAKIP
pada awalnya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah. Namun demikian, seiring perkembangan dan penerapan sistem
perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja pada seluruh instansi pemerintah, pusat dan
daerah, maka implementasi SAKIP harus juga merujuk pada peraturan perundang-undangan
yang ada, antara lain:

152

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

1.
2.
3.
4.

UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;


UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN);
PP Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah.

Sebagai wujud implementasi SAKIP tersebut, maka instansi pemerintah harus menyusun
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) setiap tahunnya. LAKIP tersebut,
melalui koordinasi Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi dilakukan evaluasi dan
penilaian, yang dilaksanakan berdasarkan, yakni:
1. Surat Keputusan Menpan Nomor: KEP-135/M.PAN/2004 tentang Pedoman Umum
Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; dan
2. Permenpan dan RB Nomor 35 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2011.
Oleh karena itu, strategi yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan
akuntabilitas kinerjanya, sehingga mendapatkan predikat yang lebih baik dari hasil penilaian
LAKIP-nya, antara lain:
1.

2.

3.

4.

Memiliki dokumen perencanaan yang baik, antara lain Rencana Pembangunan


Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD), Rencana Strategis pada setiap SKPD, Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) dan Rencana Kerja dan Anggaran Daerah;
Dokumen perencanaan tersebut, harus dimanfaatkan dengan baik sehingga
terwujud konsistensi antara rencana yang telah ditetapkan dengan
implementasinya. Oleh karena itu, penting bagi setiap daerah memiliki perencanaan
kinerja tahunan secara terukur dan menerapkan kontrak kinerja di setiap unit kerja
instansi pemerintah, khususnya bagi setiap pimpinan unit kerja;
Setiap kinerja yang dihasilkan oleh instansi, harus dapat diukur secara tepat, valid
dan sedapat mungkin dalam bentuk kuantitatif. Oleh karena itu, setiap instansi
pemerintah harus merumuskan dengan baik dan telah memiliki indikator yang tepat,
dalam bentuk Indikator Kinerja Utama (IKU), Indikator Kinerja Kegiatan dan dilakukan
pengukuran hasil kinerjanya, serta dilengkapi dengan analisis hasil pengukuran.
Menyusun laporan akuntabilitas kinerja secara sistematis, komprehensif dan secara
tepat mampu menyajikan kinerja yang dihasilkan dengan indikator yang terukur,
dibandingkan dengan dokumen perencanaannya. Indikator-indikator kinerja yang
menjadi target setiap tahunnya, harus diungkapkan pencapaiannya dengan data dan
informasi yang jelas. Apabila terdapat data dan informasi tambahan, selain
pencapaian indikator tersebut, dapat dituangkan dalam Laporan atau lampiran
laporan, sebagai penjelasan atas kelengkapan kinerja yang telah dicapainya.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

153

Dalam menempuh strategi peningkatan akuntabilitas kinerjanya seperti di atas, pemerintah


daerah hendaknya dapat berkonsultasi dengan beberapa instansi, yakni Kementerian PAN
dan RB, BPKP Perwakilan di setiap provinsi, LAN dan instansi lainnya yang kegiatankegiatannya memiliki keterkaitan substansi dengan peningkatan akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah.

5.5 Pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi


Indonesia (MP3EI)
5.5.1 Regulasi
Untuk mendukung realisasi percepatan dan perluasan kegiatan ekonomi utama, selain
percepatan pembangunan dukungan infrastruktur, diperlukan dukungan non-infrastruktur
berupa pelaksanaan, penetapan atau perbaikan regulasi dan perijinan, baik di tingkat nasional
maupun daerah.
Tujuan umum yang ingin dicapai dalam perbaikan regulasi dan perijinan adalah sebagai
berikut:
1. Mempercepat penyelesaian peraturan pelaksanaan undang-undang;
2. Menghilangkan tumpang tindih antar peraturan yang sudah ada baik di tingkat pusat
dan daerah, maupun antara sektor/lembaga;
3. Merevisi atau menerbitkan peraturan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung
strategi MP3EI (seperti Bea Keluar beberapa komoditi);
4. Memberikan insentif kepada kegiatan-kegiatan ekonomi utama yang sesuai dengan
strategi MP3EI;
5. Mempercepat dan menyederhanakan proses serta memberikan kepastian perijinan.
Peran Pemerintah Daerah
Upaya-upaya debottlenecking tersebut tentunya tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan
dari pemerintah daerah terutama untuk melakukan upaya debottlenecking guna memperbaiki
iklim investasi di daerah masing-masing. Untuk itu, perlu upaya bersama untuk mengatasi
permasalahan yang membutuhkan perbaikan regulasi dan perijinan, diantaranya:
1.

154

Pembagian tanggung jawab terkait dengan regulasi/perijinan bersifat lintas


kewenangan: Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota. Hal ini dapat
menimbulkan kerancuan dari sisi administrasi. Pemerintah daerah mengeluarkan
kebijakan mereka sendiri, struktur tarif dan waktu standar untuk ijin-ijin tertentu
yang mungkin sejalan dan tidak sejalan dengan keputusan menteri yang berlaku
untuk ijin yang sama. Untuk itu, dibutuhkan koordinasi yang lebih baik antara dinasi-

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

dinas perijinan di daerah dan departemen teknis. Panduan perijinan usaha yang jelas
dan lengkap akan meniadakan inkonsistensi antara peraturan-peraturan di tingkat
pusat dan daerah dan mengurangi inefisiensi dan peluang untuk melakukan tindak
korupsi.
2.

Banyaknya pungutan/retribusi yang diterapkan di daerah. Hal ini dikarenakan


kurangnya pemahaman filosofi dan prinsip pungutan sehingga diperlukan
kejelasan subjek dan objeknya, kejelasan hak dan kewajiban wajib
pungut/pemerintah daerah, serta koneksi antara tujuan dan isi peraturan daerah
(Perda). Semua hal ini harus berpedoman pada UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.

3.

Masih banyaknya Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum merevisi RTRW sesuai
dengan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Hal ini dapat menghambat
proses pemberian ijin usaha bagi investor karena salah satu kriteria pemberian ijin
usaha adalah kesesuaian dengan tata ruang. Untuk itu, perlu adanya percepatan
penyelesaian penyusunan RTRW. Namun agar pelaksanaan pembangunan tidak
terhambat, maka daerah dapat tetap menggunakan RTRW yang berlaku, kecuali
pada kawasan yang masih konflik dengan kawasan kehutanan.

4.

Terkait debottlenecking regulasi yang menghambat proses investasi di daerah, maka


perlu upaya untuk:
Menghilangkan tumpang tindih antar peraturan yang sudah ada baik di tingkat
pusat dan daerah, maupun antara sektor/lembaga;
Merevisi atau menerbitkan peraturan daerah yang sangat dibutuhkan untuk
mendukung percepatan pelaksanaan MP3EI;
Memberikan insentif kepada kegiatan-kegiatan ekonomi utama yang sesuai
dengan MP3EI;
Mempercepat dan menyederhanakan proses serta memberikan kepastian
perijinan.

5.5.2 Konektivitas
Percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur dalam kerangka penguatan
konektivitas nasional telah ditetapkan menjadi salah satu strategi utama dalam pelaksanaan
MP3EI. Tujuan utama penguatan konektivitas nasional tersebut adalah (1) meningkatkan
kelancaran arus barang, jasa dan informasi; (2) menurunkan biaya logistik; (3) mengurangi
ekonomi biaya tinggi; (4) mewujudkan sinergi antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi; dan
(5) mewujudkan akses yang merata di seluruh wilayah.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

155

Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


Dalam rangka mensukseskan MP3EI selain berperan dalam mensinergikan kebjiakan di daerah
dengan kebijakan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah juga sangat sentral untuk:
1. Mendorong percepatan proses pembebasan lahan dalam pembangunan
infrastruktur di wilayahnya dengan berpedoman kepada UU No. 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang telah disahkan oleh
DPR.
2. Membangun komitmen untuk mensukseskan penyediaan infrastruktur dalam
mendukung MP3EI.
Komitmen untuk mensukseskan MP3EI bukan hanya antara Pemerintah Pusat,
BUMN dan swasta, namun Pemerintah daerah juga harus terlibat aktif sehingga
anggaran belanja modal daerah dapat dipakai untuk mendukung platform besar ini.
Peran Pemerintah Daerah
Untuk mempercepat pencapaian tujuan konektivitas nasional, dalam jangka pendek
Pemerintah telah memprioritaskan percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur
disetiap koridor ekonomi, dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang akan
digunakan sebagai landasan penyusunan RAPBN. Akan tetapi, untuk mengoptimalkan
pelaksanaan MP3EI perlu upaya sinergitas nasional dan daerah dalam pembangunan
infrastruktur, diantaranya:
1. Pendanaan pembangunan infrastruktur melalui APBN sangat terbatas, sehingga
pemanfaatan infrastruktur nasional perlu disertai dan disinergikan dengan
pembangunan infrastruktur provinsi dan lokal. Dengan demikian multiplier-effects
untuk mendorong pembangunan daerah akan lebih besar (contoh sinergi antara
pembangunan jalan nasional dengan jalan provinsi dan kabupaten/kota; jaringan
irigasi primer dengan irigasi sekunder dan tersier).
2. Para Gubernur perlu mengidentifikasi pembangunan infrastruktur nasional yang
"strategis dan penting untuk mempercepat pembangunan daerah yang
bersangkutan (contoh Gubernur Jawa Tengah mengusulkan pengembangan
Pelabuhan Tanjung Emas, pengembangan Bandara A. Yani, pembangunan Waduk Jati
Barang, penyelesaian pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo (Ungaran-Bawean dan
Bawean-Solo); Gubernur NTB mengusulkan pembangunan Waduk Pandan Duri dan
Jalan Trans Nusa Tenggara).

5.5.3 Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Peningkatan kemampuan SDM dan IPTEK menjadi salah satu dari 3 (tiga) strategi utama
pelaksanaan MP3EI. Hal ini dikarenakan pada era ekonomi berbasis pengetahuan, mesin

156

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada kapitalisasi hasil penemuan menjadi produk
inovasi. Dalam konteks ini, peran sumber daya manusia yang berpendidikan menjadi kunci
utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Oleh karena itu,
tujuan utama di dalam sistem pendidikan dan pelatihan untuk mendukung hal tersebut diatas
haruslah bisa menciptakan sumber daya manusia yang mampu beradaptasi dengan cepat
terhadap perkembangan sains dan teknologi.
Peran Pemerintah Daerah
Untuk itu, dalam pengembangan SDM dan IPTEK juga membutuhkan peran dari setiap
Pemerintah Daerah, diantaranya dalam:
1.

Mendukung pengembangan program pendidikan vokasi.


Program pendidikan vokasi didorong untuk menghasilkan lulusan yang terampil. Oleh
karena itu, pengembangan program pendidikan vokasi harus disesuaikan dengan
potensi di masing-masing koridor ekonomi. Di setiap kabupaten/kota minimal harus
dikembangkan pendidikan tinggi setingkat akademi (community college) atau
politeknik dengan bidang-bidang yang sesuai dengan potensi di kabupaten tersebut.
Pengembangan community college, yang menyelenggarakan program diploma 1,
diploma 2 dan diploma 3, diharapkan akan menghasilkan lulusan yang langsung
dapat diserap oleh kegiatan ekonomi di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di setiap
koridor ekonomi. Oleh karena itu pengembangan community college dilakukan
dengan secara bersama-sama antara pemerintah, dunia usaha dan universitas
sebagai pengelola community college. Mutu community college dibina oleh
politeknik yang dikembangkan di ibukota provinsi. Politeknik tersebut dikembangkan
sesuai dengan potensi dan keunggulan setiap koridor ekonomi.
Selain pengembangan pendidikan tinggi, pengembangan sumber daya manusia juga
dilakukan dengan pengembangan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
pengembangan pelatihan kerja dan pengembangan lembaga sertifikasi.

2.

Pembentukan klaster inovasi daerah untuk pemerataan pertumbuhan.


MP3EI mendorong dan memberdayakan upaya masyarakat, pelaku usaha,
pemerintah daerah yang sudah memiliki inisiatif untuk menumbuhkembangkan
potensi inovasi pada beberapa produk dan program unggulan wilayah, antara lain:
a. Model Pengembangan Kawasan Inovasi Agroindustri, di Gresik Utara Provinsi
Jawa Timur;
b. Model pengembangan kawasan industri inovasi produk-produk hilir yang
terintegrasi, untuk pengembangan kelapa sawit, kakao dan perikanan;
c. Model Pengembangan Kawasan Inovasi Energi yang berbasis non-renewable dan
renewable energy di Provinsi Kalimantan Timur.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

157

5.6 Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah Untuk Mendukung


Penguatan Ekonomi Domestik
Proses perencanaan dan penganggaran yang baik akan sangat berperan penting dalam
meningkatkan peran pemerintah untuk memperkuat ekonomi domestik. Mekanisme
perencanaan dan penganggaran pada umumnya menggunakan lima pendekatan dasar, yaitu:
(i) pendekatan teknokratik, (ii) pendekatan politik, (iii) pendekatan partisipatif, (iv)
pendekatan top down, serta (v) pendekatan bottom up. Pendekatan politik akan
menghasilkan rencana pembangunan sebagai hasil penjabaran visi misi presiden atau kepala
daerah yang dijabarkan dalam RPJMN atau RPJMD. Sementara yang melalui proses
teknokratik menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan
kerja yang secara fungsional yang menjadi tugasnya. Pendekatan partisipatif terjadi dimana
jika perencanaan dan penganggaran melibatkan semua stakeholder, salah satunya adalah
melalui musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Sedangkan pendekatan top down
dan bottom up dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Kelima pendekatan tersebut
sangat penting digunakan dalam proses perencanaan dan penganggaran pemerintah
khususnya digunakan untuk menyusun dan memformulasikan suatu kebijakan.
Gambar 5.4
Faktor Pendukung Daya Saing Daerah

Sinergi Input, Output,


Outcome

Berkelanjutan

Daya Saing
Daerah
Memperhatikan
Kemajuan Teknologi dan
Perubahan Kelembagaan

Bersaing secara nasional


maupun internasional

Sumber: Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana, SE, MA, Menteri PPN/Kepala Bappenas dalam Seminar
Nasional Peningkatan Daya Saing Daerah melalui Reformasi Birokrasi, Jakarta, 26 Juni 2012.

Strategi perencanaan dan penganggaran untuk menguatkan perekonomian domestik dapat


dicapai dengan adanya sinergi antar pusat-daerah yang baik. Sinergi dalam kerangka
kebijakan pembangunan Pusat-Daerah dan antar daerah diperlukan untuk menjamin: (1)

158

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

koordinasi antar pelaku pembangunan di pusat dan daerah; (2) terciptanya integrasi,
sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah
maupun antara Pusat dan Daerah; (3) keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; (4) optimalnya partisipasi masyarakat di semua
tingkatan pemerintahan; dan (5) tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan dan berkelanjutan.
Langkah-langkah yang diperlukan pemerintah daerah melalui sinergi pusat-daerah adalah:
1.

Melakukan sinkronisasi RPJMD dan RKPD dengan prioritas nasional yang


tercantum dalam RPJMN 2010 2014 dan RKP. Hal ini dapat dilakukan melalui: (i)
sinkronisasi tujuan, sasaran, program, kegiatan dan alokasi anggaran daerah sesuai
dengan tujuan dan sasaran RPJMN 2010 2014 dan RKP; dan (ii) sinkronisasi renstra
SKPD dengan renstra K/L sesuai dengan tujuan dan sasaran RPJMN 2010 2014 dan
RKP.

2.

Menitikberatkan penganggaran pada peningkatan belanja modal, terutama untuk


meningkatkan daya saing daerah. Daya saing daerah adalah kemampuan untuk
mensinergikan antara input, output dan outcome yang ada di daerahnya secara
berkelanjutan, dengan tetap memperhatikan perubahan teknologi dan institusi yang
ada di daerah tersebut agar dapat bersaing dengan baik di tingkat nasional maupun
internasional sehingga mampu meningkatkan standar kehidupan masyarakat.

3.

Memonitor pelaksanaan rencana pembangunan dan realisasi anggaran, terutama


yang terkait dengan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,
menjaga iklim investasi, meningkatkan hubungan kerjasama antar daerah dan
kemitraan pemerintah-swasta, serta meningkatkan akses terhadap sarana dan
prasarana fisik pendukung ekonomi daerah.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

159

Boks 5.1
Kinerja Daerah Dalam Kemudahan Berusaha
Peringkat daya saing Indonesia dalam Ease of Doing Business (EODB) tahunan yang dilaksanakan
oleh IFC Bank Dunia, jauh di bawah negara anggota ASEAN seperti Singapura, Thailand dan
Malaysia. Hasil survei tersebut menyatakan bahwa posisi Indonesia yang pada tahun 2011 berada
pada peringkat ke 126 menurun menjadi ke 129 pada tahun 2012. Sementara Singapura tetap
menduduki posisi pertama selama 4 tahun berturut-turut. Posisi Thailand dan Malaysia terus
menerus membaik, bahkan pada tahun 2012 telah berada pada peringkat tidak lebih dari 20. Survei
tersebut dilakukan terhadap pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) di kota-kota bisnis dunia.
Untuk Indonesia diwakili oleh Jakarta.
Dari hasil survei kemudahan berusaha tingkat global, daya saing berusaha di Indonesia
dibandingkan negara lain masih belum baik. Namun ternyata potret berbeda diperoleh saat survei
dilakukan di 20 kota di Indonesia dari 400 kota di dunia yang terpilih dalam survei Sub National
Doing Business (SNDB). Berdasarkan survei SNDB, kota dengan kemudahan perijinan menjadi salah
satu pertimbangan bagi para pengusaha untuk membangun atau mengembangkan usahanya.
Secara nasional, Yogyakarta adalah kota termudah dan tercepat dalam mendirikan usaha,
Balikpapan (Kalimantan Timur) merupakan kota termudah dalam mengurus ijin mendirikan
bangunan, sementara Bandung (Jawa Barat) dan DKI Jakarta adalah yang termudah dalam
mendaftarkan properti. Bahkan untuk beberapa indikator kota-kota tersebut dapat lebih cepat
dengan prosedur yang lebih pendek dibandingkan rata-rata 20 kota di Indonesia yang disurvei dan
APEC.

Tiga Kota Terbaik dan Terburuk Dalam Memberikan Izin Memulai Usaha

Modal disetor minimum (% per kapita)

Jumlah prosedur

Waktu (hari)

APEC (rata-rata)

Manado

Medan

Jambi

Indonesia (rata-rata)

Surakarta

Palangkaraya

Yogyakarta

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Biaya (% per kapita)

Balikpapan, Jambi dan Palembang dalam memberikan kemudahan mendirikan bangunan lebih
cepat dan lebih murah dari rata-rata 20 kota yang disurvei di Indonesia, bahkan dari rata-rata
anggota APEC.

160

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Boks 5.1 (Lanjutan)


Kinerja Daerah Dalam Kemudahan Berusaha

Tiga Kota Terbaik dan Terburuk Dalam Memberikan Izin Mendirikan


Bangunan
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Balikpapan

Jambi

Palembang

Waktu (hari)

Indonesia
(rata-rata)

Denpasar

Jumlah prosedur

Manado

Jakarta

APEC (ratarata)

Biaya (% per kapita)

Dalam memberikan kemudahan mendaftarkan properti, Bandung, Jakarta, Palembang lebih cepat
dari rata-rata 20 kota yang disurvei di Indonesia dan terhadap rata-rata negara Asia timur dan
Pasifik.

Tiga Kota Terbaik dan Terburuk Dalam Memberikan Izin Mendaftarkan


Properti

Jumlah prosedur

Batam

Pekanbaru

Semarang

Biaya (% per properti)

Asia timur dan Pasifik (ratarata)

Waktu (hari)

Indonesia (rata-rata)

Palembang

Jakarta

Bandung

90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Sumber: Doing Business di Indonesia 2012, IFC Bank Dunia

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

161

Boks 5.2
Kisah Sukses Pelaksanaan PTSP di Parepare dan Sragen
Fenomena membaiknya pelayanan publik dalam beberapa tahun terakhir ini bisa dijumpai di
beberapa daerah yang telah membangun pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) atau yang dikenal
dengan One Stop Services (OSS) antara lain di Kota Parepare dan Kabupaten Sragen. Daerah-daerah
tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip Good Public Governance. Dengan dicapainya ISO
9001:2000 atas kualitas manajemennya, maka kantor pelayanan perijinan Kota Parepare dan
Kabupaten Sragen merupakan sebagian contoh pelaksanaan pemberian pelayanan perijinan prima
yang berhasil disediakan pemerintah kepada masyarakat, dalam lingkup daerah yang bersangkutan.
Dengan tidak mengesampingkan prestasi dari daerah-daerah lain yang juga tengah berbenah
menuju birokrasi yang friendly, di kedua kota/kabupaten tersebut dapat memberikan pelayanan
beberapa perijinan dan non perijinan dalam waktu dan dengan biaya yang terukur jelas (lama dan
besarannya). Dengan kemajuan kualitas pelayanan dari kedua daerah tersebut telah menumbuhkan
optimisme baru terhadap kinerja birokrasi dan menyemangati adanya harapan bagi bangsa ini
untuk tampil lebih baik dan berdaya saing nantinya.

Untuk meraih status sebagai PTSP yang mampu menyediakan layanan prima, merupakan hasil kerja
yang didesain (by design) dan dilakukan terus menerus sehingga memperoleh kepercayaan
masyarakatnya. Bukan pekerjaan yang mudah untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat
karena pada awalnya, masyarakat termasuk investor enggan berhubungan langsung dengan aparat,
namun dengan berdirinya PTSP yang memberlakukan kemudahan, transparansi dan keramahan
dalam pengurusan berbagai surat, pengajuan ijin usaha dan pelaporan, dengan didukung kondisi
kantor yang nyaman, petugas dengan seragam pegawai swasta yang siap melayani dengan senang
hati maka secara perlahan PTSP mendapat kepercayaan dari masyarakat. Bahkan selanjutnya
kantor-kantor tersebut mendapat brand image baru yang positif.

162

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Boks 5.2 (lanjutan)


Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Parepare, Sulawesi Selatan
Kantor pelayanan perizinan Parepare berdiri sejak bulan Juni 2011. Di kantor tersebut dengan jelas
dipasang slogan kawasan bebas korupsi dan apabila bisa dipercepat kenapa diperlambat?.
Slogan tersebut ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas pelayanan perijinan. Waktu yang
diperlukan untuk mengurus izin atau mendapatkan surat keterangan berkisar dari 15 menit hingga
tujuh hari. Proses yang memakan waktu sampai tujuh hari biasanya hanya izin-izin yang
membutuhkan verifikasi, seperti izin tempat usaha, izin gudang, industri dan lainnya yang
memerlukan pengecekan ke lapangan untuk melihat lokasi, keterangan dari tetangga dan hal lain
yang diperlukan sesuai peraturan dan prosedur yang berlaku.
Beberapa contoh perijinan yang dapat diproses dengan cepat antara lain, untuk pengurusan KTP,
biasanya kurang dari satu hari atau setengah hari. Untuk NPWP, rata-rata hanya 15 menit. Akta
catatan sipil, izin trayek angkutan kota dan izin usaha angkutan hanya dua hari, sementara izin
pemasangan reklame sekitar tiga hari. Proses pembayaran dilakukan di Bank Sulawesi Selatan.
Untuk menjaga transparansi, maka pada besaran biaya dan angka dicantumkan pada bagian bawah
surat keterangan yang dikeluarkan sesuai dengan perda dan juga jumlah yang dibayarkan di bank,
sehingga tidak ada uang beredar di PTSP tersebut. Beberapa perijinan bahkan dibebaskan dari
biaya, antara lain: SIUP, TDP, TDI, ijin peruntukan penggunaan tanah, NPWP, ijin usaha
kepariwisataan, perijinan dan non perijinan di bidang penanaman modal.
Kualitas kinerja manajemen KPPT Parepare telah mencapai sertifikat ISO 9001 versi 2000 pada
tahun 2004, 2007 dan renewal and upgrade ke ISO 9001:2008 pada tahun 2011. Prestasi yang
diperoleh KPPT Parepare selain sertifikat ISO, antara lain adalah: Piala Citra Pelayanan Prima dari
Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) tahun 2002, 2006, 2009, Piagam dari
Mendagri sebagai narasumebr Permendagri No 24 tahun 2006 tentang PTSP tahun 2006, Piagam
sebagai PTSP kota terbaik dari Mendagri tahun 2007, Piagam Mendagri atas prestasi kontinuitas
konsekuensi dan komitmen pelaksanaan PTSP tahun 2009, investment award/PTSP kota terbaik dari
BKPM tahun 2011, piala otonomi award tahun 2009 sampai dengan 2011, penghargaan dari Komite
Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah dan penghargaan dari The Asia Foundation.
Banyaknya prestasi yang diperoleh KPPT Parepare, telah menjadikan percontohan setidaknya bagi
359 kabupaten/kota/lembaga yang datang berkunjung. Selain itu, keberhasilan pelaksanaan KPPT
Parepare telah menjadikan sumber informasi tidak kurang dari 115 daerah/lembaga pada seminar
dan sosialisasi pelayanan PTSP.
Implementasi KPPT Parepare telah membantu berperan meningkatkan iklim investasi dan iklim
usaha di Kota Parepare yang tercermin dari meningkatnya jumlah perijinan yang diproses dan
berimplikasi pada peningkatan PAD yang mencapai 442,9 persen selama periode tahun 2003 sampai
dengan 2011.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

163

Boks 5.2 (lanjutan)


Badan Pelayanan Terpadu Sragen, Jawa Tengah
Badan Palayanan Terpadu (BPT) Sragen beroperasi secara resmi pada bulan Oktober 2002 dengan
slogan: Satu hati untuk melayani. Mudah cepat, transparan dan pasti. Latar belakang berdirinya
BPT Sragen adalah adanya keinginan masyarakat akan kemudahan dan penyederhanaan pelayanan
pemerintah untuk mendorong laju perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. BPT Sragen
menerima pendelegasian kewenangan langsung dari Bupati sehingga memiliki kewenangan
menerima, memproses dan menandatangani dokumen perizinan. Penerimaan retribusi disetorkan
langsung ke kas daerah sesuai rekening dinas masing-masing.
Proses pelayanan untuk beberapa perijinan di BPT Sragen dapat dilakukan secara paralel antara
perijinan satu dengan yang lainnya dengan maksimal waktu 12 hari. Semua informasi lamanya
proses perijinan dan formulir dapat dengan mudah diakses dari website pemerintah kabupaten.
Untuk pengurusan SIUP, TDP dan TDI paling lama memakan waktu 3 hari, sementara untuk pajak
reklame hanya memerlukan 1 hari. Untuk meningkatkan kelancaran pelayanan, BPT Sragen
menerapkan sistem online yang terhubung dengan kantor-kantor kecamatan di bawahnya dan
pemohon dapat melakukan pengecekan sampai dimana berkas sudah diproses (tracking document)
melalui internet. Untuk menjaga kualitas pelayanan, BPT Sragen membuat survei kepuasan
pelanggan setiap enam bulan sekali.
Penghargaan yang diterima KPT Sragen selain sertifikat ISO 9001-2000 dari Sucofindo International
Certification Service antara lain adalah: penghargaan Satya Abdi Praja dari Gubernur Jateng, Citra
Pelayanan Prima dari Presiden, Ranking I daerah Pro Investasi di Jateng tahun 2005, investment
award/PTSP kabupaten terbaik dari BKPM tahun 2010. Selain itu, BPT Sragen juga terpilih sebagai
best practice modul oleh JICA Jepang dan dibuat film yang kemudian diedarkan ke berbagai
kabupaten/kota di Tanah Air. Bahkan, BPT Sragen direkomendasikan ADB dan IFC sebagai model
KPT di Indonesia, dengan membuat buku panduan tentang OSS yang diedarkan di seluruh
kabupaten/kota di Tanah Air.
Keberadaan BPT Sragen selama ini memberikan dampak positif bagi perkembangan dan
pembangunan Kabupaten Sragen antara lain meningkatnya jumlah pemohon, penerimaan retribusi
dan realisasi investasi sebagai berikut:
No

Tahun

Jumlah Pemohon

1
2003
39.582
2
2004
38.304
3
2005
48.272
4
2006
45.633
5
2007
57.380
6
2008
56.329
7
2009
53.110
8
2010
91.958
Sumber: Perijinan usaha, BPT Sragen

164

Penerimaan Retribusi (Rp Juta)

Realisasi Investasi (Rp Juta)

935,2
902,9
1.203,4
1.417,6
1.628,0
1.718,3
1.843,8
2.180,2

526.000,00
703.000,00
926.000,00
950.000,00
1.200.000,00
1.300.000,00
1.200.000,00
1.350.073,72

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Boks 5.3
Belajar dari Jawa Barat: Pemenang Pangripta Nusantara 2012
Anugerah Pangripta Nusantara diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/BAPPENAS bertujuan untuk mendorong setiap daerah untuk menyiapkan dokumen
rencana pembangunan secara lebih baik, konsisten, komprehensif, terukur dan dapat dilaksanakan;
serta sekaligus menciptakan insentif bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan perencanaan
pembangunan yang lebih baik dan bermutu. Pemberian penghargaan ini dilakukan melalui penilaian
terhadap dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi tahun 2012.

Sumber: Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, Bappenas

Berdasarkan SK Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Kep. 53/


M.PPN/HK/04/2012 tentang Pembentukan Tim Penyelenggara Anugerah Perencanaan Terbaik
Pangripta Nusantara Tahun 2012, tahap penilaian dilakukan oleh Tim Penilai Independen yang
terdiri dari 5 orang pakar/ahli perencanaan pembangunan dan akademisi yaitu Prof. Herman
Haeruman (IPB), Prof. Bambang Bintoro Soedjito (ITB), Dr. Kodrat Wibowo
(Unpad), Dr.
Wicaksono Sarosa (Partnership/Kemitraan) dan P. Agung Pambudhi (KPPOD).
Berdasarkan SK Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Kep.
53/M.PPN/HK/04/2012 tentang Pembentukan Tim Penyelenggara Anugerah Perencanaan Terbaik
Pangripta Nusantara Tahun 2012, tahap penilaian dilakukan oleh Tim Penilai Independen yang
terdiri dari 5 orang pakar/ahli perencanaan pembangunan dan akademisi yaitu Prof. Herman
Haeruman (IPB), Prof. Bambang Bintoro Soedjito (ITB), Dr. Kodrat Wibowo (Unpad), Dr. Wicaksono
Sarosa (Partnership/Kemitraan) dan P. Agung Pambudhi (KPPOD).

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

165

Boks 5.3 (lanjutan)


Belajar dari Jawa Barat: Pemenang Pangripta Nusantara 2012
Penilaian didasarkan pada 5 (lima) kriteria, yaitu:
1.
2.
3.

4.
5.

Keterkaitan dokumen RKPD 2012 dengan dokumen RPJMD Provinsi dan RKP 2012;
Konsistensi dokumen RKPD 2012 terutama konsistensi hasil evaluasi dengan isu strategis, isu
strategis dengan prioritas dan prioritas dengan anggaran;
Kedalaman dan kelengkapan dokumen RKPD 2012 dalam menyajikan kerangka ekonomi
daerah, kerangka kebijakan keuangan daerah, analisa, arah kebijakan dan prioritas
pengembangan wilayah dan strategi dan arah kebijakan pro-growth, pro-poor, pro-job, proenvironment, serta percepatan pencapaian tujuan MDGs;
Keterukuran tujuan dan sasaran RKPD 2012 yang dilengkapi dengan indikator kinerja dan
prakiraan maju anggaran tahun berikutnya; serta
Proses penyusunan dokumen RKPD 2012 yang dilihat dari tingkat intensitas konsultasi
dengan para pemangku kepentingan, kepemimpinan dan kesiapan pelaksanaan.

Pemberian trophy penghargaan Anugerah Perencanaan Terbaik Pangripta Nusantara Tahun 2012
oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas kepada para Kepala Bappeda yang mewakili 3 provinsi
pemenang dilakukan pada saat acara penutupan Pra-Musrenbangnas tanggal 25 Mei. Ketiga
provinsi pemenang yaitu:
1.
2.
3.

Provinsi Jawa Barat, pemenang pertama;


Provinsi DI Yogyakarta, pemenang kedua;
Provinsi Sumatera Selatan, pemenang ketiga.

Disamping itu, juga diberikan penghargaan dalam bentuk piagam kepada 3 provinsi nominasi
terbaik, yaitu: Provinsi NAD, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi DKI Jakarta.
Proses Perencanaan di Jawa Barat
Tema
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi
Jawa Barat Tahun 2012 mengusung tema
pembangunan Mengintegrasikan Peran Investasi
Dunia Usaha dalam Menghela Pembangunan
Sektoral dan Kewilayahan Bersifat Monumental
untuk Mempercepat Terwujudnya Masyarakat Jawa
Barat yang Mandiri, Dinamis dan Sejahtera.
Paparan RKPD Prov. Jawa Barat Tahun 2012 oleh
Kepala Bappeda

166

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Boks 5.3 (lanjutan)


Belajar dari Jawa Barat: Pemenang Pangripta Nusantara 2012
Prioritas Pembangunan Jawa Barat
Penyusunan RKPD 2012 Provinsi Jawa Barat memperhatikan 4 Sasaran Nasional yang ditetapkan
oleh pemerintah yaitu melalui; (1) RPJMN (2010-2014); (2) 6 Indikator Pembangunan, yaitu:
Pertumbuhan Ekonomi; Kemiskinan; Pengangguran; Angka Kematian Bayi; Angka Harapan Hidup;
Angka Pendapatan per Kapita; (3) Millenium Development Goals (MDGs); dan (4) Inpres No. 3
Tahun 2010 tentang Program Pembangunan Berkeadilan (Pro Growth, Pro Job, Pro Poor dan Pro
Environment).
Berdasarkan sasaran tersebut, Provinsi Jawa Barat menetapkan 10 (sepuluh) Prioritas
Pembangunan (Common Goals) yaitu:
1. Peningkatan kualitas pendidikan;
2. Peningkatan kualitas kesehatan;
3. Peningkatan daya beli masyarakat;
4. Kemandirian pangan;
5. Peningkatan kinerja aparatur;

6. Pengembangan infrastruktur wilayah;


7. Kemandirian energi dan kecukupan air baku;
8. Penanganan bendana dan pengendalian lingkungan
hidup;
9. Pembangunan perdesaan;
10. Pengembangan budaya lokal dan destinasi wisata.

Proses Penyusunan RKPD Tahun 2012


Proses penyusunan dokumen RKPD 2012 memadukan alur teknokratis, partisipatif/ bottom-up, topdown dan juga unsur politis. Masyarakat, dunia usaha, akademisi, pemerintah daerah dan DPRD
merupakan 4 pilar utama pembangunan Jawa Barat.
Tahap Proses Penyusunan RKPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2012

Sumber: Proses Penyusunan RKPD Tahun 2012 Provinsi Jawa Barat

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

167

Boks 5.3 (lanjutan)


Belajar dari Jawa Barat: Pemenang Pangripta Nusantara 2012
Berpijak pada prinsip pembangunan daerah untuk rakyat (Regional Development for People),
masyarakat Jawa Barat didorong untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Sementara itu,
pemerintah memfasilitasi agar masyarakat dapat beraktivitas dan meningkatkan kesejahteraannya.
Pemerintah provinsi Jawa Barat menerapkan satu basis data untuk kepentingan penyusunan
perencanaan dan kegiatan pembangunan. Dengan menggunakan basis data tersebut, program dan
kegiatan dalam RKPD dirancang melalui pendekatan SMART (Specific, Measurable, Achievable,
Resources availability, Timely).
Dalam konteks perencanaan spasial, Provinsi Jawa Barat membagi wilayahnya menjadi 4 (empat)
wilayah pengembangan berdasarkan karakteristik lokasi dan kegiatan tematik, yang terdiri dari
Bogor, Purwakarta, Cirebon dan Priangan.

168

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Boks 5.4
Kisah Sukses Program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL)
di Pacitan, Jawa Timur
Ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga. Terkait dengan hal
ini, pemanfaatan lahan perkarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah
satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga. Kementerian Pertanian
menyusun suatu konsep yang disebut dengan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (Model
KRPL) yang merupakan himpunan dari Rumah Pangan Lestari (RPL) yaitu rumah tangga dengan
prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk pemenuhan
kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, konservasi
sumberdaya genetik terutama untuk pangan lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan
melalui kebun bibit desa, serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

Program MKRPL di salah satu dusun di Desa Kayen, Kecamatan Kota Pacitan, Jawa Timur di awali
pada Februari 2011 dengan melibatkan 35 KK. Melalui berbagai tahapan mulai persiapan sampai
pelaksanaan dengan melibatkan semua pihak terkait serta pendampingan teknologi dari Badan
Litbang Pertanian, saat ini di sebagian besar rumah tangga di Kabupaten Pacitan telah mengadopsi
model RPL. Sebagai gambaran, untuk desa Kayen, rumah tangga yang telah mengadopsi model RPL
sebanyak 620 KK dari 821 KK yang ada (sekitar 77%). Selain itu, di lingkungan Kantor Kodim
(Komando Distrik Militer) dan di semua Kantor Koramil (Komando Rayon Militer) di wilayah
Kabupaten Pacitan telah pula mengembangkan model RPL. Relatif cepatnya proses adopsi model
KRPL di Kabupaten Pacitan antara lain didukung oleh adanya komitmen Pemerintah Daerah untuk
mewujudkan ketahanan pangan melalui pengembangan diversifikasi pangan dengan
mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan dengan menerapkan model KRPL.
Komitmen tersebut ditunjukkan dengan dikeluarkannya Instruksi Bupati Pacitan kepada masyarakat
di wilayah Pacitan untuk mengembangkan dan menerapkan model RPL serta Instruksi Kodam
Brawijaya Jawa Timur yang ditindaklanjuti oleh Kodim Pacitan kepada anggota untuk
mengembangkan RPL di lokasi kantor Kodim maupun Koramil.
Salah satu dampak positif yang dirasakan dari penerapan program KRPL di Pacitan ini adalah
berkurangnya pengeluaran rumah tangga petani berkisar Rp. 170.000 hingga Rp. 700.000 per bulan,
program ini menunjukkan kemampuannya dalam menaikkan pola pangan harapan terutama untuk
kemandiran desa dan rumah tangga.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

169

Boks 5.5
Keberhasilan BKAD Tegalalang Dalam Memfasilitasi Pengelolaan PNPM Mandiri
Perdesaan
Keberhasilan pengelolaan program penanggulangan kemiskinan seperti PNPM Mandiri Perdesaan
sangat tergantung kepada intensifnya fasilitasi yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan
(stakeholders) kepada masyarakat miskin di lapangan. Hal inilah yang tercermin dari keberhasilan
peran pengurus Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali.

Suasana Rakor BKAD

Fasilitasi BAKD Dalam Pengelolaan Dana Bergulir

Pada tahap perencanaan, BKAD melaksanakan tugasnya mulai dari proses sosialisasi program, yaitu
melalui rapat koordinasi (rakor) di tingkat kecamatan dengan segenap kelembagaan di kecamatan.
Selanjutnya, fasilitasi dalam tahap perencanaan dilakukan BKAD melalui proses penggalian gagasan
di dusun atau banjar, yang kemudian dilanjutkan dengan fasilitasi proses pelaksanaan musyawarah
desa sosialisasi bersama-sama dengan pelaku PNPM Mandiri Perdesaan lainnya.
Pada tahap pelaksanaan, keberhasilan BKAD Tegalalang terutama pada upaya untuk mengajak
masyarakat untuk menjadi subjek pembangunan di desanya. Setelah adanya Program Paras-paros
dari Kabupaten Gianyar dan PNPM Mandiri Integrasi, BKAD Tegalalang menciptakan kerjasama yang
baik dengan desa dinas maupun Desa Adat atau Desa Pekraman. Oleh karenanya, usulan kegiatan
dalam PNPM Mandiri justru berasal dari Subak maupun Desa Pekraman.
Dalam pengelolaan dana bergulir Simpan Pinjam Perempuan (SPP), BKAD Tegallalang melakukan
kerjasama dengan berbagai pelaku ekonomi di wilayah kecamatan, seperti Lembaga Perkreditan
Desa, Koperasi, Bank dan beberapa pengusaha kecil di bidang kerajinan tangan dan perdangan.
BKAD Tegallalang juga telah melakukan fasilitasi dan mengakomodasikan berbagai kebutuhan
masyarakat miskin seperti pembuatan rumah layak huni bagi masyarakat miskin dan program
bedah rumah yang didanai dari surplus hasil pengelolaan SPP.
Secara kelembagaan, BKAD Tegallalang merupakan kepengurusan yang ideal karena berasal dari
berbagai unsur, baik pimpinan adat atau Bendesa, praktisi ekonomi, praktisi pendidikan dan unsurunsur yang ada di dalam masyarakat tradisional Bali. Namun demikian, dengan melihat hasil nyata
yang telah ditunjukkan dari intensitas dan keseriusan BKAD Tegallalang dalam memfasilitasi upaya
penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar maka wajar apabila pada
tahun 2012 BAKD Tegallalang dipilih dan ditetapkan sebagai BKAD terbaik nasional secara
kelembagaan.

170

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Boks 5.6
Kesuksesan Pemerintah Provinsi Riau Menerapkan E-Procurement
Implementasi e-Procurement atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) menjadi upaya
strategis untuk meningkatkan efisiensi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah disamping juga
menjadi sebuah strategi untuk menata pasar pengadaan. Penataan pasar pengadaan akan
membentuk skala pasar yang lebih besar dan memungkinkan para pelaku pasar dapat mengakses
seluruh volum pengadaan barang/jasa pemerintah.
Gagasan ini memerlukan perubahan perilaku, mental dan kesiapan terhadap penerapan suatu
teknologi dari seluruh pihak yang terkait. Efektifitas perwujudan gagasan, dalam hal ini menghadapi
tantangan berkaitan dengan luas wilayah, jumlah pelaku usaha, variasi kesiapan infrastruktur TIK
maupun kesiapan SDM dalam adopsi dan adaptasi terhadap teknologi.
E-Procurement mulai diujicobakan di beberapa instansi
pemerintah pusat, provinsi dan kota pada tahun 2008.
Dari ujicoba tersebut diperoleh pelajaran berkaitan
dengan strategi implementasinya.
Keberhasilan Pemerintah Provinsi Riau (maupun
pemerintah daerah yang lain) menerapkan pengadaan
secara elektronik dan mendorong seluruh pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Riau, memerlukan komitmen
kepala daerah dan inisiator perubahan, konsistensi aktor
utama perubahan, kecepatan mengambil momentum
dan peran serta pihak-pihak yang memiliki visi yang
sama.
Meskipun LPSE Provinsi Riau dibentuk tahun 2010 setelah Pemerintah Kota Pekanbaru terlebih
dahulu menerapkan e-Procurement di tahun 2009, namun perkembangannya mampu mengikuti
perkembangan penerapan e-Procurement di provinsi lain yang terlebih dahulu membentuk LPSE
dan menerapkan e-Procurement seperti Jawa Barat, Sumatera Barat, Jawa Timur, Gorontalo,
Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, DI. Yogyakarta dan beberapa Provinsi lainnya. Tahun 2012 ini
Provinsi Riau berada pada urutan ke-7 di antara provinsi-provinsi yang memiliki kemajuan pesat
dalam penerapan e-Procurement dengan nilai pengadaan secara elektronik mencapai lebih dari Rp 1
triliun.
Proses pembentukan unit LPSE Provinsi Riau terbilang cukup singkat, hanya diperlukan waktu 1
bulan sejak pelatihan pengelola LPSE sampai dengan terbitnyaPeraturan Gubernur tentang Tim Unit
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Provinsi Riau yang dirintis oleh Biro Administrasi
Pembangunan.
Pada tahap awal, untuk dapat menyelenggarakan layanan pengadaan secara elektronik di Provinsi
Riau, LPSE Provinsi Riau belum memiliki fasilitas dan peralatan teknologi informasi yang lengkap.
LPSE Provinsi Riau mulai memberikan pelayanan dengan hanya bermodalkan 1 buah komputer
rakitan, jauh dari kebutuhan minimal suatu sistem elektronik. Dalam hal ini, pembentukan unit LPSE
tidak menunggu tersedianya peralatan dan infrastruktur TIK.

Memperkuat Perekonomian Domestik


Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat

171

Boks 5.6 (lanjutan)


Kesuksesan Pemerintah Provinsi Riau Menerapkan E-Procurement
Setelah tersedianya peralatan training, LPSE Provinsi Riau segera memberikan pelatihan kepada
penyedia yang terdaftar di LPSE Provinsi Riau secara gratis. Dalam kurun waktu November Desember 2010 (hanya dalam dua bulan), sudah dilatih 246 penyedia. Posisi saat ini, Juni 2012,
3.235 penyedia sudah dilatih oleh LPSE Provinsi Riau.
Menindaklanjuti terbitnya Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang mewajibkan penerapan
pengadaan secara elektronik mulai tahun 2012, Gubernur Riau juga menerbitkan Surat Edaran No.
500/Adm-Pemb/16.29, tanggal 14 Desember 2010 kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota di
wilayah Provinsi Riau, agar melaksanakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah secara elektronik
pada tahun 2012. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota yang belum memiliki LPSE dapat memanfaatkan
LPSE Provinsi Riau. Untuk mendorong penerapan e-Procurement oleh Satuan Kerja Perangkat
Daerah, Gubernur Provinsi Riau menerbitkan Instruksi Gubernur. Hasilnya, 427 paket dengan nilai
Rp. 1,08 Triliun dilelangkan secara elektronik pada tahun 2011. Sementara itu, efisiensi yang
dihasilkan adalah sebesar 12,14 persen.
Sejak terbentuk, secara mandiri LPSE Provinsi Riau mengambil peran mendorong dan melatih
Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Riau untuk mampu membentuk LPSE dan
mengelola sistem elektronik. Hasilnya, dalam kurun waktu 17 bulan (Mei 2012) seluruh LPSE
Pemerintah Kabupaten/Kota terbentuk dan sudah beroperasi.

172

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Foto: Pras Widjojo

Foto: Pras Widjojo

BAB VI
PENUTUP

BAB VI
PENUTUP

Kinerja pembangunan ekonomi nasional selama lima tahun terakhir menunjukkan


perkembangan yang terus meningkat. Stabilitas ekonomi yang terjaga dan pertumbuhan yang
berkelanjutan diikuti oleh perluasan kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan. Kinerja
pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika ekonomi global yang
menempatkan Asia sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi utama.
Dilain pihak, tantangan yang harus dihadapi dalam menjaga momentum pertumbuhan
ekonomi adalah tingkat persaingan di pasar global yang semakin tinggi, sementara itu
ekonomi domestik perlu diperkuat agar pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjaga.
Oleh sebab itu, kebijakan dan strategi yang lebih terarah di daerah akan menjadi modal dasar
dalam memperkuat perekonomian domestik dan sekaligus mendorong pemerataan
pembangunan dan hasil pembangunan ke seluruh daerah. Upaya dan strategi ini tidak hanya
menyangkut peningkatan produktivitas sumber daya manusia, peningkatan nilai tambah dan
efisiensi dalam pengelolaan sumber daya, tetapi juga ditentukan oleh pembangunan
infrastruktur, penciptaan iklim investasi dan iklim usaha yang lebih kondusif, penciptaan iklim
ketenagakerjaan yang lebih efisien. Beberapa daerah mampu memanfaatkan momentum
pertumbuhan bagi percepatan kemajuan dan pembangunan ekonomi daerah. Namun,
beberapa daerah lain masih harus menghadapi tantangan terbatasnya lapangan kerja, belum
memadainya infrastruktur, serta masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tata
kelola pemerintahnya.
Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi daerah dalam
menentukan strateginya dalam rangka memperkuat perekonomian domestik bagi
peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat.

176

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Foto: Pras Widjojo

DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, Piter., et.al (2002). Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia,
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, BPFE, Yogyakarta.
PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE-UNPAD (2008). Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi
Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia, RaJawali Pers, Jakarta.
Schwab, Klaus dan Xavier Sla-i-Martin (2011). The Global Competitiveness Report 2011-2012,
World Economic Forum, Geneva.
Schwab, Klaus dan Greenhill (2011). The Indonesia Competitiveness Report 2011: Sustaining
the Growth Momentum, World Economic Forum, Geneva.
--------- (2011). Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
2011-2025, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
---------- (2011). Tata Kelola Ekonomi Daerah 2011, KPPOD dan The Asia Foundationa, Jakarta
----------- (2011). Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2012, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional, Jakarta.
----------- (2012). Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013,
Pembangunan Nasional, Jakarta.

Kementerian Perencanaan

---------- (2012). Doing Business di Indonesia 2012: Memperbandingkan Kebijakan Usaha di 20


Kota dan 183 Perekonomian, IFC, World Bank.
--------- (2012). Doing Business in a More Transparent World: Comparing Regulation for
Domestic Firms in 183 Economies, IFC, World Bank.

178

Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013

Anda mungkin juga menyukai