Buku Pegangan Dan Perencanaan Pemerintah
Buku Pegangan Dan Perencanaan Pemerintah
Foto cover
Desain cover
: Pras Widjojo
: Ivan W. Sjafary
Diterbitkan oleh:
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional
KATA SAMBUTAN
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan terbitnya Buku
Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah untuk tahun 2012-2013. Buku pegangan ini
mengambil tema mengenai: Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan
Perluasan Kesejahteraan Rakyat, sebagai rujukan dalam merencanakan berbagai strategi,
program, dan kegiatan pembangunan di seluruh Wilayah Nusantara.
Momentum pertumbuhan ekonomi perlu tetap dijaga agar peningkatan kesejahteraan rakyat
terutama pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran dapat dipercepat. Upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pun perlu dilakukan tanpa mengesampingkan
persoalan lingkungan. Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN 2010-2014) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan, pelaksanaan
pembangunan di pusat dan di daerah perlu dilaksanakan melalui empat jalur strategi, yaitu
pertumbuhan (pro-growth), kesempatan kerja (pro-job), pengentasan kemiskinan (pro-poor)
dan pelestarian lingkungan hidup (pro-environment).
Di tengah kondisi persaingan ekonomi global yang masih tidak menentu, penguatan ekonomi
domestik menjadi syarat mutlak agar Indonesia dapat tetap menjaga pertumbuhan yang
berkualitas. Sinergi antara pusat dan daerah untuk menjaga momentum pertumbuhan
ekonomi dan meningkatkan kualitas pertumbuhan merupakan aspek prioritas yang perlu kita
lakukan bersama-sama. Keberhasilan pembangunan nasional merupakan agregasi dari
keberhasilan pembangunan daerah. Oleh karena itu, penguatan ekonomi nasional adalah
hasil akumulasi dari penguatan ekonomi di daerah. Dengan demikian, komunikasi, koordinasi
dan sinergi kebijakan antara pusat dan daerah harus terus dipertahankan untuk menjaga
momentum pembangunan. Konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah akan tercapai jika
dijembatani oleh sinergi pusat-daerah oleh berbagai pemangku kepentingan. Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah memiliki tugas dan fungsi yang penting untuk
mengkoordinasikan kebijakan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya dan menjaga
konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah.
Saya berharap, buku ini dapat menjadi pegangan bagi segenap aparatur pemerintah dalam
proses perencanaan dan penyusunan strategi pembangunan di daerah. Melalui pemahaman
konsep dan faktor-faktor penentu penguatan perekonomian domestik bagi peningkatan dan
perluasan kesejahteraan rakyat, segenap jajaran Pemerintah Pusat dan Daerah serta
pemangku kepentingan lainnya dapat bersama-sama menyamakan langkah untuk menyusun
strategi yang terintegrasi dalam mendorong dan menjaga ekonomi domestik yang lebih
berdaya tahan tinggi.
Dengan terbitnya Buku Pegangan Tahun 2012-2013 ini, saya menyampaikan terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas yang telah bekerja dengan itikad dan dedikasi yang baik
dalam menyusunnya.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan kemudahan dan bimbingan Nya
dalam setiap upaya untuk menguatkan perekonomian nasional, agar pembangunan ekonomi
Indonesia dapat lebih cepat dan lebih luas demi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Terima Kasih.
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
RINGKASAN EKSEKUTIF
Di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, perekonomian domestik harus tetap
terjaga dengan fundamental ekonomi yang tetap kokoh dan daya saing yang lebih baik.
Kondisi ini tentunya akan menjadi suatu keharusan bagi Indonesia dan masing-masing daerah
untuk terus bekerja keras dan bersaing dengan negara lain. Langkah ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan daya saing bangsa, memperbaiki kinerja ekonomi nasional yang
didukung struktur ekonomi yang kuat, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan yang
tersebar di seluruh Wilayah Nusantara dan meningkatkan pembangunan wilayah tertinggal
dan wilayah perbatasan.
Momentum pertumbuhan ekonomi perlu tetap dijaga agar peningkatan kesejahteraan rakyat
terutama pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran dapat dipercepat. Upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pun perlu dilakukan tanpa mengesampingkan
persoalan lingkungan. Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN 2010-2014) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan, pelaksanaan
pembangunan di pusat dan di daerah perlu dilaksanakan melalui empat jalur strategi, yaitu
pertumbuhan (pro-growth), kesempatan kerja (pro-job), pengentasan kemiskinan (pro-poor)
dan pelestarian lingkungan hidup (pro-environment).
Dengan berbagai tantangan yang ada, sasaran pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 adalah
sebesar 6,5 persen. Sementara itu, pada tahun 2013, diharapkan perekonomian dapat lebih
baik lagi dengan sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 7,0 persen. Investasi dan konsumsi
masyarakat pada tahun 2012 dan 2013 diharapkan akan menjadi sumber pertumbuhan
ekonomi, dengan target pertumbuhan untuk investasi adalah sebesar 10,9 persen pada tahun
2012 dan 12,1 persen pada tahun 2013.
Pemerintah melalui mekanisme perencanaannya telah menyusun langkah-langkah
pembangunan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), baik yang sedang berjalan yaitu RKP
2012 maupun perencanaan tahun depan dalam RKP 2013. Hal ini demi mencapai sasaran
pembangunan 5 (lima) tahun dalam RPJMN 2010-2014 yaitu Mewujudkan Indonesia yang
Demokratis, Sejahtera dan Berkeadilan. Adapun tema dari RKP, ditunjukkan pada Gambar
berikut.
Tema Pembangunan Yang Tertuang Dalam RKP
2010
2011
Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkeadilan Didukung Oleh Pemantapan Tatakelola Dan
Sinergi Pusat Dan Daerah
2012
Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkualitas, Inklusif dan Berkeadilan Bagi
Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
2013
ii
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Kebijakan pemerintah dalam rangka perkuatan ekonomi domestik yang pada RKP 2013
difokuskan pada empat aspek, yang merupakan komponen penting untuk mendukung
penguatan ekonomi domestik, seperti yang tercantum dalam gambar berikut.
Faktor Pendukung Penguatan Ekonomi Domestik
Peningkatan
Daya Saing
Peningkatan dan
Perluasan
Kesejahteraan
Rakyat
PENGUATAN
EKONOMI
DOMESTIK
Peningkatan
Daya Tahan
Ekonomi
Pemantapan
Stabilitas Politik
Peningkatan daya saing untuk mendukung penguatan ekonomi domestik akan dititikberatkan
kepada isu strategis: Peningkatan Iklim Investasi dan Usaha, Percepatan Pembangunan
Infrastruktur, Peningkatan Pembangunan Industri di Berbagai Koridor Ekonomi dan
Penciptaan Kesempatan Kerja khususnya Tenaga Kerja Muda. Adapun Peningkatan Daya
Tahan Ekonomi akan dititikberatkan pada isu strategis: Peningkatan Ketahanan Pangan
Menuju Pencapaian Surplus Beras 10 juta Ton dan Peningkatan Rasio Elektrifikasi dan
Konversi Energi. Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat akan dititikberatkan pada
isu strategis: Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Percepatan Pengurangan
Kemiskinan Sinergi Klaster 1-4. Sedangkan, Pemantapan Stabilitas Sosial Politik akan
dititikberatkan pada isu strategis: Persiapan Pemilu 2014, Perbaikan Kinerja Birokrasi dan
Pemberantasan Korupsi dan Percepatan Pembangunan Minimum Essential Force.
Masing-masing faktor pendukung penguatan ekonomi tersebut memiliki kerangka dan jalur
keterkaitan yang berbeda-beda untuk menghasilkan ekonomi domestik yang lebih berdaya
saing dan lebih berdaya tahan. Untuk itu, kerangka keterkaitan isu strategis dengan
penguatan ekonomi domestik telah dijabarkan secara rinci di dalam Bab IV dan dapat
dijadikan sebagai referensi dalam memahami arti pentingnya isu strategis terhadap
pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Dengan memahami kerangka keterkaitan
ini, diharapkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki pemahaman yang sama,
sehingga dapat secara bersama-sama mensinergikan pembangunan di pusat dan di daerah
iii
dalam rangka memperkuat ekonomi domestik di tengah-tengah kondisi global yang masih
belum menentu.
Kemudian, di dalam Bab V telah dijabarkan secara rinci strategi yang perlu dilakukan dalam
setiap isu strategis serta peran Pemerintah Daerah yang perlu dilaksanakan, agar proses dan
upaya penguatan perekonomian domestik serta peningkatan dan perluasan kesejahteraan
rakyat di pusat dan di daerah dapat lebih sinergi sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih
maksimal. Sebagai contoh, dalam upaya meningkatkan daya saing nasional diperlukan
langkah-langkah konkrit untuk melakukan harmonisasi kebijakan dan peraturan di tingkat
pusat dan daerah, serta melakukan sinergi peraturan dan kebijakan antara pusat dan daerah.
Untuk itu diperlukan upaya di setiap kementerian/lembaga dan daerah untuk dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan melakukan koordinasi dengan berbagai
pemangku kepentingan.
Sementara itu, sinergi kebijakan pembangunan antara pusat dan daerah dan antar daerah,
khususnya dalam kerangka perencanaan kebijakan dapat dilakukan melalui:
1. Memperkuat koordinasi antar pelaku pembangunan di pusat dan daerah;
2. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar
ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan;
4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat di semua tingkatan pemerintahan; serta
5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan
dan berkelanjutan.
Sedangkan upaya bersama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dapat dilakukan
antara lain:
1. Sinergi berbagai dokumen perencanaan pembangunan (RPJPN dan RPJPD, RPJM dan
RPJMD, RKP dan RKPD);
2. Sinergi dalam penetapan target pembangunan;
3. Standarisasi indikator pembangunan yang digunakan oleh kementerian/lembaga dan
satuan perangkat kerja daerah;
4. Pengembangan database dan sistem informasi pembangunan yang lengkap dan
akurat;
5. Sinergi dalam kebijakan perijinan investasi di daerah; dan
6. Sinergi dalam kebijakan pengendalian tingkat inflasi.
Isu strategis lainnya yang menjadi fokus perhatian setiap Pemerintah Daerah adalah
pembangunan infrastruktur, dimana infrastruktur menjadi bagian penting untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik karena dapat menekan ekonomi biaya tinggi,
menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup. Namun demikian, adanya
keterbatasan dana yang dimiliki menjadikan peran bersama antara pemerintah pusat,
iv
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
pemerintah daerah dan swasta perlu disinergikan dengan baik. Koordinasi dan sinergi yang
dilaksanakan dalam keterhubungan antar wilayah (domestic connectivity) mencakup
pembagian peran dan kewenangan, pengembangan kerangka kerja bersama dan pembagian
tugas dan tanggungjawab termasuk pembiayaan.
Di sisi peningkatan daya tahan ekonomi, masyarakat dan pemerintah daerah memiliki
peranan penting dalam membangun ketahanan pangan dimulai dari proses produksi,
distribusi, pengolahan pangan dan pemasaran. Sementara peran pemerintah juga sangat
penting dalam pemberian insentif untuk tetap menjaga ketahanan pangan melalui regulasi,
penciptaan iklim investasi dan pembangunan fasilitas/prasarana publik. Untuk itu,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu memiliki strategi bersama, dengan
memainkan peran masing-masing dalam menjalankan strategi tersebut. Sebagai contoh,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara bersama-sama memiliki peran untuk
peningkatan perluasan areal tanam, kemudian peran Pemerintah Daerah dan Petani sangat
diperlukan dalam menerapkan System of Rice Intensification, menjalankan Gerakan
Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi secara intensifikasi, pengamanan pasca
panen, penguatan penyuluhan dan lain-lain.
Pengembangan SDM menjadi salah satu isu sentral pembangunan daerah untuk mendukung
upaya meningkatkan dan memperluas kesejahteraan rakyat, dimana pemerintah pusat dan
pemerintah daerah harus memastikan bahwa layanan pendidikan tersedia secara memadai
dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Satuan pendidikan mulai dari jenjang pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi harus dapat mengakomodasi setiap anak usia sekolah yang
memerlukan layanan pendidikan. Bahkan, layanan pendidikan harus dapat menjangkau
seluruh lapisan masyarakat, yang bermukim di daerah tertinggal, kepulauan, terpencil dan
perbatasan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib membangun infrastruktur
pendidikan untuk mendukung peningkatan layanan pendidikan yang bermutu bagi
masyarakat di wilayah tersebut. Untuk itu, pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota harus bersinergi dalam memberikan layanan pendidikan agar
kinerja pendidikan di setiap daerah makin meningkat.
Untuk meningkatkan efektivitas upaya percepatan pengurangan kemiskinan dalam kerangka
penguatan perekonomian domestik juga diperlukan sinergi antara pusat dan daerah. Secara
makro, peran pemerintah pusat lebih dititikberatkan kepada upaya untuk mewujudkan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan melalui pelaksanaan rencana
investasi dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Sementara, pemerintah
daerah diharapkan dapat memperlancar pelaksanaan seluruh kegiatan investasi di koridorkoridor ekonomi yang berada di daerahnya masing-masing. Dengan sinergi yang tepat dan
koordinasi yang intensif diharapkan pelaksanaan rencana investasi MP3EI akan mampu
menggerakkan pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan lapangan kerja baru dan
memperluas kesempatan kerja secara nasional. Selanjutnya, secara makro pemerintah pusat
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
dan pemerintah daerah berperan dalam menjaga agar tingkat konsumsi masyarakat tidak
jatuh melalui upaya mempertahankan kestabilan harga bahan pangan pokok. Harga bahan
pangan pokok yang stabil merupakan kunci dalam pengendalian tingkat inflasi. Oleh karena
itu diperlukan koordinasi yang lebih intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam upaya menjaga dan mengamankan ketersediaan stok bahan pangan pokok serta
pengamanan distribusi bahan pangan pokok.
Dalam rangka pemantapan stabilitas politik, langkah utama yang diperlukan dan sangat
mendesak dilakukan adalah memberikan fasilitasi dan dukungan sepenuhnya kepada
Penyelenggaraan Pemilu dalam melaksanakan amanat perundang-undangan untuk
menyelenggarakan Pemilu 2014. Hal ini dengan mengingat amanat Pasal 126 UU No 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
memberikan bantuan dan fasilitas kepada Penyelenggara Pemilu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sementara itu, perbaikan kinerja birokrasi dan
pemberantasan korupsi merupakan hal penting yang juga perlu mendapatkan perhatian
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang salah satunya adalah melalui penerapan eprocurement atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di seluruh instansi
pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Strategi perencanaan dan penganggaran untuk menguatkan perekonomian domestik dapat
dicapai dengan adanya sinergi antar pusat-daerah yang baik. Sinergi dalam kerangka
kebijakan pembangunan Pusat-Daerah dan antar daerah diperlukan untuk menjamin: (1)
koordinasi antar pelaku pembangunan di pusat dan daerah; (2) terciptanya integrasi,
sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah
maupun antara Pusat dan Daerah; (3) keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; (4) optimalnya partisipasi masyarakat di semua
tingkatan pemerintahan; dan (5) tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan dan berkelanjutan.
Langkah-langkah yang diperlukan pemerintah daerah melalui sinergi pusat-daerah adalah: (i)
melakukan sinkronisasi RPJMD dan RKPD dengan prioritas nasional yang tercantum dalam
RPJMN 2010 2014 dan RKP; (ii) menitikberatkan penganggaran pada peningkatan belanja
modal, terutama untuk meningkatkan daya saing daerah; dan (iii) memonitor pelaksanaan
rencana pembangunan dan realisasi anggaran, terutama yang terkait dengan upaya untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, menjaga iklim investasi, meningkatkan hubungan
kerjasama antar daerah dan kemitraan pemerintah-swasta, serta meningkatkan akses
terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung ekonomi daerah.
Untuk itu, buku ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi daerah dalam menentukan
strateginya dalam rangka memperkuat perekonomian domestik bagi peningkatan dan
perluasan kesejahteraan rakyat.
vi
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Foto: Humas
Foto: Bappenas
Humas Bappenas
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. 2
1.1 Latar Belakang
11
22
22
23
26
27
27
28
30
32
32
33
ix
34
34
35
37
37
40
41
45
46
47
50
3.7.1 Pendidikan
50
3.7.2 Kesehatan
55
61
61
63
65
67
68
69
71
72
74
82
82
84
87
87
90
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
96
97
97
99
101
4.3 Aspek Peningkatan Daya Tahan Ekonomi (Food Security dan Energy Security)
105
105
109
110
110
111
113
113
114
120
121
127
132
134
137
137
142
143
143
145
xi
147
147
148
154
5.5.1 Regulasi
154
5.5.2 Konektivitas
155
156
158
xii
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 2.5
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 3.5
Tabel 3.6
Tabel 3.7
Tabel 3.8
Tabel 3.9
Tabel 3.10
Tabel 3.11
Tabel 3.12
Tabel 3.13
Tabel 3.14
Tabel 3.15
Tabel 3.16
Tabel 3.17
Tabel 3.18
Tabel 3.19
Tabel 3.20
Tabel 3.21
Tabel 3.22
Tabel 3.23
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.5
Gambar 3.6
Gambar 3.7
Gambar 3.8
Gambar 3.9
Gambar 3.10
Gambar 3.11
Gambar 3.12
Gambar 3.13
Gambar 3.14
Gambar 3.15
Gambar 3.16
Gambar 3.17
Gambar 3.18
Gambar 3.19
Gambar 3.20
Gambar 3.21
Gambar 3.22
Gambar 3.23
Gambar 3.24
Gambar 3.25
xiv
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
10
11
12
24
26
27
28
30
31
32
33
34
35
35
36
37
38
39
41
42
44
45
46
46
48
48
49
50
Gambar 3.26
Gambar 3.27
Gambar 3.28
Gambar 3.29
Gambar 3.30
Gambar 3.31
Gambar 3.32
Gambar 3.33
Gambar 3.34
Gambar 3.35
Gambar 3.36
Gambar 3.37
Gambar 3.38
Gambar 3.39
Gambar 3.40
Gambar 3.41
Gambar 3.42
Gambar 3.43
Gambar 3.44
Gambar 3.45
Gambar 3.46
Gambar 3.47
Gambar 3.48
Gambar 3.49
Gambar 3.50
Gambar 3.51
Gambar 3.52
Gambar 3.53
Gambar 3.54
xv
Gambar 3.55
Gambar 3.56
Gambar 3.57
Gambar 3.58
Gambar 3.59
Gambar 3.60
Gambar 3.61
Gambar 3.62
Gambar 3.63
Gambar 3.64
Gambar 3.65
Gambar 3.66
Gambar 3.67
Gambar 3.68
Gambar 3.69
Gambar 3.70
Gambar 3.71
Gambar 3.72
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Gambar 4.10
xvi
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
77
78
79
80
81
83
83
85
88
88
89
89
90
90
91
91
92
92
96
98
99
102
104
106
108
109
111
112
Gambar 4.11
Gambar 4.12
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
114
115
122
128
148
158
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Perkembangan Kondisi Ekonomi Global
Kondisi ekonomi global di tahun 2012 diperkirakan masih belum membaik, karena masih
rentannya proses pemulihan negara-negara Eropa yang terlilit krisis utang dan terjadinya
perlambatan ekonomi negara-negara maju dan emerging market. Krisis yang dialami negaranegara Eropa terkait utang dan defisit fiskal masih belum teratasi dengan baik sehingga kondisi
ekonomi global akan masih diliputi oleh ketidakpastian. Sementara itu, pemulihan ekonomi AS
masih rentan terhadap guncangan. Spanyol yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar
keempat di Eropa diprediksi akan menjadi anggota keempat Uni Eropa yang membutuhkan
dana talangan. Utang negara Spanyol mencapai 709 miliar atau sekitar 2 kali jumlah utang
gabungan tiga negara yang mendapat dana talangan sebelumnya (Yunani, Irlandia dan
Portugal), sehingga dana talangan untuk menyelamatkan perekonomian Spanyol akan menjadi
beban yang berat bagi zona Eropa. Namun demikian, dampak krisis Eropa maupun AS
terhadap ekonomi Indonesia ini secara keseluruhan relatif terkendali hingga saat ini.
Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat menjadi 3,5 persen pada tahun 2012 dan
3,9 persen pada tahun 2013 (IMF, World Economic Outlook, Juli 2012) disebabkan oleh proses
pemulihan AS yang rentan, keberlanjutan krisis keuangan Eropa, serta kemampuan ekonomi
Asia yang menurun. Negara maju diperkirakan hanya tumbuh sebesar 1,4 persen pada tahun
2012 dan 1,9 persen pada tahun 2013. Bahkan ekonomi di beberapa negara Eropa, seperti:
Italia, Spanyol dan Yunani, diproyeksi tumbuh negatif pada tahun 2012.
Sementara itu, negara berkembang Asia akan menjadi penopang pertumbuhan dunia ditengah
krisis global, yang diperkirakan tumbuh mencapai 7,1 persen pada tahun 2012. China dan India
sebagai negara emerging diperkirakan tumbuh masing-masing sebesar 8,0 persen dan 6,1
persen pada tahun 2012. ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina)
diproyeksi mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen pada tahun 2012.
Sisi permintaan yang menurun di Kawasan Eropa dan Amerika Serikat telah menyebabkan
volume perdagangan dunia cenderung tumbuh melambat. Akibatnya, aktivitas ekonomi
negara-negara berkembang dan emerging market cenderung menurun, karena sebagian
negara berkembang merupakan pemasok utama pasar Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini
kemudian berdampak terhadap menurunnya harga komoditas global non-energi terutama
komoditas yang digunakan sebagai bahan baku untuk industri.
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
ekonomi nasional yang didukung struktur ekonomi yang kuat, pelaku ekonomi yang berdaya
saing tinggi, berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan yang tersebar di seluruh Wilayah
Nusantara dan meratanya pembangunan wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan. Dengan
demikian, diharapkan Indonesia akan dapat menarik manfaat dari integrasi ekonomi kawasan
yang berdaya saing tinggi dan terintegrasi dalam ekonomi global, sehingga pada gilirannya
akan memberikan manfaat ekonomi secara luas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
menjadi ujung tombak daya saing nasional, yang akan menjadi faktor terpenting untuk
Indonesia dalam bersaing di tingkat global (PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE-UNPAD, 2008).
Peningkatan daya tahan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat serta pemantapan
stabilitas sosial politik tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga
menjadi tanggung jawab daerah.
Peningkatan perekonomian domestik, baik oleh daerah dan nasional akan menjadi modal
utama untuk menjaga momentum pembangunan dan melakukan percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi untuk menuju ke arah transformasi ekonomi menjadi negara maju
dan berdaya saing. Oleh sebab itu, peran daerah untuk meningkatkan daya saing daerahnya
akan sangat bergantung kepada kemampuan daerah untuk melakukan identifikasi faktor
penentu daya saing dan strategi untuk meningkatkan daya saing.
Sementara itu untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi, Pemerintah
telah meluncurkan berbagai kebijakan untuk mendorong implementasi dari Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Keberhasilan
pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut sangat ditentukan oleh peran aktif Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, bersama-sama dengan Pemerintah Pusat. Oleh
sebab itu, penguatan sinergi dan koordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi sangat penting untuk mendorong peningkatan daya
saing dan penguatan ekonomi domestik.
2.
BAB II
KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN
NASIONAL TAHUN
2013
BAB II
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2013
2.1 Target Pertumbuhan Ekonomi
Dengan berbagai tantangan yang ada, sasaran pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 adalah
sekitar 6,5 persen. Sementara itu, pada tahun 2013, diharapkan perekonomian dapat lebih
baik lagi dengan sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 - 7,2 persen. Investasi dan
konsumsi masyarakat pada tahun 2012 dan 2013 diharapkan akan menjadi sumber
pertumbuhan ekonomi, dengan target pertumbuhan untuk investasi adalah sebesar 10,9
persen pada tahun 2012 dan 11,9 - 12,3 persen pada tahun 2013.
Tabel 2.1
Sasaran Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2012 2013
PERTUMBUHAN EKONOMI ( persen)
Sisi Pengeluaran
Konsumsi Masyarakat
Konsumsi Pemerintah
PMTB
Ekspor Barang dan Jasa
Impor Barang dan Jasa
Sisi Produksi
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Bangunan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan, Jasa Usaha
Jasa-jasa
LAJU INFLASI ( persen)
PENGANGGURAN TERBUKA ( persen)
PENDUDUK MISKIN ( persen)
Sumber: Bappenas (RKP 2013 )
2012
6,5
2013
6,8 - 7,2
4,9
6,8
10,9
9,9
11,4
4,8 - 5,2
6,7 - 7,1
11,9 - 12,3
11,7 - 12,1
13,5 - 13,9
3,5
2,0
6,1
6,2
7,0
8,9
11,2
6,3
6,2
6,8
6,4-6,6
10,5-11,5
3,7 - 4,1
2,8 - 3,2
6,5 - 6,9
6,6 - 7,0
7,5 - 7,9
8,9 - 9,3
12,1 - 12,5
6,1 - 6,5
6,0 - 6,4
4,5 - 5,5
5,8 - 6,1
9,5 - 10,5
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 didorong dengan upaya meningkatkan investasi,
menjaga ekspor nonmigas, serta memberi dorongan fiskal dalam batas kemampuan keuangan
negara dengan mempertajam belanja negara. Koordinasi antara kebijakan fiskal, moneter dan
sektor riil, ditingkatkan untuk mendorong peran masyarakat dalam pembangunan ekonomi.
Sementara itu, daya beli masyarakat perlu dijaga untuk dapat tetap menjaga peran konsumsi
masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
dan stabilitas ekonomi yang terjaga tersebut, pengangguran terbuka akan menurun menjadi
5,8 - 6,1 persen dari angkatan kerja dan jumlah penduduk miskin menjadi 9,5 10,5 persen
pada tahun 2013.
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
lapangan kerja yang lebih banyak dan pada gilirannya mempercepat pengurangan
kemiskinan.
Gambar 2.1
Tema Pembangunan Yang Tertuang Dalam RKP
2010
2011
Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkeadilan Didukung Oleh Pemantapan Tatakelola Dan
Sinergi Pusat Dan Daerah
2012
Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkualitas, Inklusif dan Berkeadilan Bagi
Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
2013
Pada tahun 2013, tema pembangunan yang dituangkan dalam RKP adalah: Memperkuat
Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi, perlu didorong dengan kemampuan
pemerataan pembangunan yang lebih luas. Dalam kaitan dengan itu, potensi perekonomian
domestik yang besar akan ditumbuhkembangkan guna menghadapi berbagai tantangan
eksternal perlambatan perekonomian dunia. Daya tahan perekonomian terus diperkuat,
dengan peningkatan daya saing nasional terutama di sektor-sektor produksi, yaitu industri,
pertanian dan pariwisata. Semua ini perlu didorong dengan pembangunan infrastruktur,
penguatan kelembagaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta penyelesaian
berbagai hambatan perekenomian terutama melalui reformasi birokrasi dan pemberantasan
korupsi.
Sebagai penjabaran RPJMN 2010-2014, pembangunan nasional dalam RKP 2012 dan RKP 2013
dituangkan ke dalam 11 Prioritas Nasional dan 3 Prioritas Lainnya, termasuk di dalamnya
prakarsa-prakarsa baru yang terintegrasi dengan RPJMN dan RKP untuk menanggapi situasi
kekinian dan menjaga momentum positif yang telah dicapai sebagai hasil pembangunan
selama ini. Prakarsa-prakarsa baru tersebut menunjukkan bahwa Indonesia selalu siap dalam
mengantisipasi dan merespon berbagai perkembangan yang terjadi serta melakukan
perubahan untuk mencapai kemajuan dan hasil pembangunan yang lebih baik. Selanjutnya,
11 Proritas Nasional dan 3 Prioritas Lainnya ditunjukkan pada Gambar 2.2.
10
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Gambar 2.2
Prioritas Pembangunan Nasional RPJMN 2010-2014
Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola
Pendidikan
Kesehatan
Penanggulangan Kemiskinan
Ketahanan Pangan
Infrastruktur
Iklim Investasi dan Iklim Usaha
Energi
Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana
Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, & Pasca-konflik
Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi
11
Gambar 2.3
Isu Strategis Pembangunan Nasional Dalam RKP 2013
Peningkatan Daya Saing
Percepatan Pembangunan
Infrastruktur;
Peningkatan Pembangunan
Peningkatan Ketahanan
Pangan: Menuju
Pencapaian Surplus Beras
10 juta ton;
Peningkatan Rasio
Ekonomi;
Energi;
Peningkatan Dan
Perluasan Kesejahteraan
Pemantapan Stabilitas
Sospol
Rakyat
Peningkatan Pembangunan
Sumber Daya Manusia;
Percepatan Pengurangan
Kemiskinan: Sinergi Klaster
1-4;
Korupsi;
Percepatan Pembangunan
Minimum Essential Force.
Penciptaan Kesempatan
Kerja khususnya Tenaga
Kerja Muda;
12
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
khusus
(KEK); dan
(4)
harmonisasi
kebijakan
ISU STRATEGIS
Peningkatan Iklim Investasi dan Usaha
a.
Peningkatan Investasi (%)
1
b.
Tingkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) :
Waktu untuk memulai usaha (hari)
Perijinan mendirikan bangunan (hari)
Perolehan akses listrik (hari)
Pendaftaran properti (hari)
2.
Percepatan Pembangunan Infrastruktur: Domestic Connectivity
a.
Kondisi Mantap Jalan Nasional (%)
b.
Pangsa Angkutan Laut Ekspor Impor (%)
c.
Pangsa Angkutan KA Barang (%)
d.
Pangsa Angkutan KA Penumpang terhadap Total Angkutan
Umum (%)
e.
Pertumbuhan Penumpang Angkutan Udara Dalam Negeri
(%/tahun)
f.
Pertumbuhan Penumpang Angkutan Udara Luar Negeri
(%/tahun)
g.
Ibukota Babupaten/Kota yang dilayani Jaringan Broadband
(%)
3.
Peningkatan Pembangunan Industri di Berbagai Koridor
Ekonomi
a.
Peningkatan Industri Pengolahan (%)
b.
Peningkatan Industri Pengolahan Nonmigas (%)
4.
Penciptaan Kesempatan Kerja khususnya Tenaga Kerja Muda
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
Peningkatan Keahlian untuk Bekerja (orang)
Peningkatan Kualitas Pemagangan Berdasarkan
Kebutuhan Industri (orang)
Peningkatan Akses Berusaha dan Berwirausaha bagi
Tenaga Kerja Muda (orang)
Sumber: RKP 2013, Bappenas
2012
2013
1.
8,8
10,9
11,1
45
158
108
22
36
145
108
22
20
137
90
20
88,50
11
1
6
90,50
11,5
2
8
92,50
12
3
10
9,78
10,50
11,50
12,30
12,50
13,00
66
76
83
6,2
6,8
6,1
6,6
6,7
7,2
6,6
449.099
34.150
6,4-6,6
395.434
58.500
6,0-6,4
502.880
34.750
40.367
32.530
52.080
Data pencapaian target kemudahan berusaha tahun ke-n akan diperoleh di awal tahun ke-n+1.
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
13
Peningkatan pembangunan industri di berbagai koridor ekonomi pada tahun 2013 akan
dilakukan dengan sasaran peningkatan industri pengolahan sebesar 6,7 persen dan
peningkatan industri pengolahan non migas sebesar 7,2 persen. Selain itu, peningkatan daya
saing ditargetkan pula dengan menurunnya tingkat pengangguran terbuka menjadi 6,0-6,4
persen pada tahun 2013.
Peningkatan Daya Tahan Ekonomi
Kebutuhan penyediaan pangan terus meningkat baik jumlah maupun kualitasnya seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk setiap tahun dan peningkatan pendapatan
masyarakat. Penyediaan pangan pokok seperti beras tidak bisa mengandalkan dari luar
negeri, oleh karena itu produksi dalam negeri harus ditingkatkan. Ketahanan pangan yang
kuat akan menjadi salah satu pendorong dalam menciptakan perekonomian yang berdaya
tahan. Dalam hal ini, beberapa langkah yang akan dilakukan pemerintah yang dimasukkan
dalam isu strategis ketahanan pangan adalah: (1) peningkatan produksi pangan, termasuk
upaya menuju surplus beras 10 juta ton per tahun mulai tahun 2014 serta pencapaian
produksi perikanan 22,39 juta ton pada tahun 2014; (2) pengembangan diversifikasi pangan;
(3) stabilisasi harga bahan pangan dalam negeri; dan (4) peningkatan kesejahteraan petani.
Selain itu, tersedianya energi juga merupakan salah satu faktor pendukung daya tahan
ekonomi nasional. Ketersediaan listrik di seluruh wilayah Indonesia merupakan suatu
keharusan, untuk itu pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi (RE) sebesar 77,6 persen.
Konversi energi dalam upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM, mengurangi
subsidi energi, meningkatkan aksesibilitas terhadap infrastruktur energi dan meningkatkan
pasokan energi domestik juga menjadi fokus pemerintah. Dalam kaitan itu, pemerintah akan
terus melanjutkan pembangunan infrastruktur energi dalam bentuk gas serta jaringan
distribusinya.
Tabel 2.3
Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan Daya Tahan Ekonomi
ISU STRATEGIS
Peningkatan Ketahanan Pangan: Menuju Pencapaian Surplus
Beras 10 juta ton
a. Produksi Padi (juta ton GKG)
b. PenurunanKonsumsi Beras (%/tahun)
c. Pencetakan Sawah Baru (ribu ha)
2.
Peningkatan Rasio Elektrifikasi dan Konversi Energi
Peningkatan Rasio Elektrifikasi
a. Rasio Elektrifikasi (%)
b. Rasio Desa Berlistrik (%)
c. Kapasitas Pembangkit (MW)
Pelaksanaan Konversi Gas
a. Pembangunan Jaringan Distribusi Gas untuk Rumah Tangga
(kota)
b. Sambungan Gas ke Rumah Tangga
Sumber: RKP 2013, Bappenas
2011
2012
2013
1.
14
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
65,7
1,5
62,1
67,8
1,5
100
72,1
1,5
100
72,95
96,02
37.353
73,60
96,70
43.653
77,60
97,80
48.555
17.939
16.000
16.000
ISU STRATEGIS
Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia
Pendidikan
a.
Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15 Tahun ke
Atas (tahun)
b.
Angka Buta Aksara Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas (%)
c.
APM SD/SDLB/MI/Paket A (%)
d.
APM SMP/SMPLB/MTs/Paket B (%)
e.
APK SD/SDLB/MI/Paket A (%)
f.
APK SMP/SMPLB/MTs/Paket B (%)
g.
APK SMA/SMK/MA/Paket C (%)
h.
APK PT usia 19-23 Tahun (%)
i.
APS Penduduk Usia 7-12 Tahun (%)
j.
APS Penduduk Usia 13-15 Tahun (%)
2011
2012
2013
7,75
7,85
8,25
5,17
95,3
74,7
117,6
101,5
76,0
26,1
98,1
90,3
4,8
95,7
75,4
118,2
103,9
79,0
27,4
98,7
93,6
4,40
95,80
76,00
118,6
106,8
82,0
28,24
99,0
95,0
15
ISU STRATEGIS
Kesehatan
a.
Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan dan Gizi yang Berkualitas
bagi Ibu dan Anak
16
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
2011
2012
2013
86,3
88
89
84,7
85
88
71,4
8.608
75
9.236
80
9.323
86,2
87
87
1,75
63,6
1,5
80
1,25
90
6.235
11.000
16.000
62,2
80
85
1.376
3.820
5.320
9.600
9.125
9.236
9.323
87
90
95
4,29
3,89
3,97
4.700
4.700
4.700
23.500
23.500
23.500
0,11
-
0,11
501.593
0,11
745.491
702
444
4
ISU STRATEGIS
2. Percepatan Pengurangan Kemiskinan: Sinergi klaster 1-4
a.
Penurunan Angka Kemiskinan (%)
Klaster I
- PKH (juta RTSM)
- Raskin (juta RTS)
2011
Klaster II
- PNPM Perdesaan (Kecamatan)
- PNPM Perkotaan (Desa/Kelurahan)
Klaster III
- Perluasan Kredit Usaha Rakyat
i. Jumlah Provinsi
ii. Jumlah UMKM
Klaster IV
- Pembangunan Perumahan Swadaya/Rumah Sangat Murah
(ribu unit)
Sumber: RKP 2013, Bappenas
2012
2013
12,5
10,5-11,5
9,5-10,5
1,116
17,5
1,516
17,5
8,61
9,24
2,4
2
17,5
3
15,5
9,33
4.950,5
239,5
7.698,6
303,9
14.068,0
186,0
5.020
10.948
5.100
10.948
5.230
10.922
33
33
27.520
33
27.520
60
298,25
ISU STRATEGIS
Persiapan Pemilu 2014
Tingkat Partisipasi Politik Tahun 2014 (%)
Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi
a. Indeks Persepsi Korupsi
b. Opini WTP atas Laporan Keuangan (%)
Kementerian/Lembaga
Provinsi
Kabupaten/Kota
2
3
2011
2012
2013
75
1)
3,0
3,2
4,0
63
18
8,5
80
40
20
100
60
40
17
ISU STRATEGIS
Integritas Pelayanan Publik (Pusat)
Integritas Pelayanan Publik (Daerah)
Jumlah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Daerah (%)
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (%)
Kementerian/Lembaga
Provinsi
Kabupaten/Kota
g. Instansi Pemerintah yang Akuntabel (%)
Kementerian/Lembaga
Provinsi
Kabupaten/Kota
3.
Percepatan Pembangunan Minimum Essential Force
Peningkatan Alutsista (%)
a. Matra Darat
b. Matra Laut
c.
Matra Udara
Sumber: RKP 2013, Bappenas
c.
d.
e.
f.
18
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
2011
7,07
6,00
85
2012
7,25
6,5
90
2013
7,5
7,0
100
21
-
80
100
15
100
100
40
82,93
63,33
12,78
85
65
30
90
70
50
17
15
22
30
19
24
37
21
31
BAB III
KONDISI TERKINI
DAERAH
BAB III
KONDISI TERKINI DAERAH
3.1 Kondisi Ekonomi Nasional
3.1.1 Pertumbuhan Ekonomi
Pada tahun 2011, kinerja ekonomi Indonesia sangat baik dengan pertumbuhan ekonomi yang
mencapai 6,5 persen, atau lebih tinggi dari tahun 2010 yang tumbuh 6,2 persen. Sementara
itu, inflasi bisa ditekan hingga 3,8 persen, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 7,0
persen. Tingkat pengangguran terbuka serta penduduk miskin juga menurun hingga mencapai
masing-masing sebesar 6,6 persen dan 12,5 persen.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 terutama ditopang oleh ketahanan domestik berupa
investasi yang meningkat dan daya beli masyarakat yang terjaga serta ekspor barang dan jasa
yang tetap tumbuh. Stabilitas ekonomi Indonesia pada tahun 2011 masih terjaga di tengah
berbagai krisis eksternal.
Di sisi pengeluaran, investasi berupa Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada tahun
2011 meningkat dengan pertumbuhan sebesar 8,8 persen. Pengeluaran pemerintah juga
meningkat sebesar 3,2 persen. Sementara itu, konsumsi masyarakat tetap tumbuh sebesar
4,7 persen, sama dengan tahun sebelumnya. Di lain pihak, ekspor dan impor tumbuh
melambat karena dampak dari krisis global, dimana pertumbuhannya masing-masing sebesar
13,6 persen dan 13,3 persen.
Di sisi produksi, sektor pertanian tumbuh 3,0 persen dan sektor industri pengolahan
diperkirakan tumbuh 6,2 persen. Sektor tersier yang meliputi listrik, gas dan air bersih;
konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan telekomunikasi; keuangan,
real estat dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa tumbuh masing-masing sebesar 4,8 persen; 6,7
persen; 9,2 persen; 10,7 persen; 6,8 persen; serta 6,7 persen.
Kemudian pada Triwulan I tahun 2012, perekonomian Indonesia tetap tumbuh baik dengan
laju sebesar 6,3 persen. Konsumsi masyarakat dan investasi menjadi pendorong utama
pertumbuhan ekonomi di sisi pengeluaran, dimana kontribusi keduanya terhadap
pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5,1 persen. Di sisi produksi, sektor yang memberikan
sumbangan terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran; Sektor Industri Pengolahan dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi.
Pada tahun 2012 ini, sasaran pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 6,5 persen. Tingkat
pertumbuhan ini diperkirakan dikontribusikan oleh antara lain pertumbuhan konsumsi
masyarakat sebesar 4,9 persen, konsumsi pemerintah sebesar 6,8 persen dan PMTB sebesar
10,9 persen. Sementara itu ekspor dan impor diperkirakan hanya tumbuh sebesar 9,9 persen
22
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
dan 11,4 persen dikarenakan kondisi ekonomi dunia yang masih belum pulih.
Tabel 3.1
Gambaran Ekonomi Makro Tahun 2010 2012
PERTUMBUHAN EKONOMI ( persen)
Sisi Pengeluaran
Konsumsi Masyarakat
Konsumsi Pemerintah
PMTB
Ekspor Barang dan Jasa
Impor Barang dan Jasa
Sisi Produksi
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Bangunan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan, Jasa Usaha
Jasa-jasa
LAJU INFLASI ( persen)
PENGANGGURAN TERBUKA ( persen)
PENDUDUK MISKIN ( persen)
Sumber: Bappenas (RKP 2013)
2010
6,2
2011
6,5
2012 (Sasaran)
6,5
4,7
0,3
8,5
15,3
17,3
4,7
3,2
8,8
13,6
13,3
4,9
6,8
10,9
9,9
11,4
3,0
3,6
4,7
5,3
7,0
8,7
13,4
5,7
6,0
7,0
7,1
13,3
3,0
1,4
6,2
4,8
6,7
9,2
10,7
6,8
6,7
3,8
6,6
12,5
3,5
2,0
6,1
6,2
7,0
8,9
11,2
6,3
6,2
6,8
6,4-6,6
10,5-11,5
Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi tahun 2012 diperkirakan dikontribusikan oleh
antara lain pertumbuhan sektor pertanian, pertambangan dan industri pengolahan masingmasing sebesar 3,5 persen, 2,0 persen dan 6,1 persen. Sementara itu sektor listrik, gas dan air
bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan telekomunikasi;
keuangan, real estat dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa masing-masing diperkirakan tumbuh
sebesar 6,2 persen; 7,0 persen; 8,9 persen; 11,2 persen; 6,3 persen dan 6,2 persen.
23
Gambar 3.1
Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin Tahun 2006 - 2012
45
39,3
40
37,17
35
34,96
32,53
31,02
30,02
29,13
14,15
13,33
12,49
11,96
2009
2010
2011
2012
30
25
17,75
20
16,58
15,42
15
10
5
0
2006
2007
2008
Sumber: BPS
Dengan menggunakan data kemiskinan yang mutakhir (Susenas, Maret 2012), jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada Maret tahun 2012 sebesar 29,13 juta orang (11,96
persen). Apabila dibandingkan dengan perhitungan jumlah penduduk miskin berdasarkan
Susenas Maret 2011 yang berjumlah 30,02 juta (12,49 persen) maka terjadi penurunan
jumlah penduduk miskin sebesar 0,13 juta orang selama periode Maret 2011 Maret 2012.
Selama periode tersebut, jumlah penduduk miskin menurut kawasan baik perkotaan maupun
perdesaan masing-masing turun menjadi 3,61 persen dan 2,6 persen. Jumlah penduduk
miskin di perkotaan berkurang sebesar 0,40 juta orang, sementara di perdesaan berkurang
sebesar 0,49 juta orang (Tabel 3.2). Selama periode tersebut, persentase penduduk miskin di
perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah.
Tabel 3.2
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kawasan
Kawasan
Perkotaan
Maret 2011
September 2011
Maret 2012
Perdesaan
Maret 2011
September 2011
Maret 2012
Perkotaan+Perdesaan
Maret 2011
September 2011
Maret 2012
Sumber: BPS
24
11,05
10,95
10,65
9,23
9,09
8,78
18,97
18,94
18,48
15,72
15,59
15,12
30,02
29,89
29,13
12,49
12,36
11,96
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: (1) inflasi umum yang relatif rendah, (2) penurunan harga eceran
beberapa komoditas bahan pokok, (3) perbaikan penghasilan petani yang ditunjukkan dengan
naiknya nilai tukar petani, (4) terjaganya kinerja pertumbuhan ekonomi nasional sampai
dengan triwulan III dan (5) penurunan tingkat pengangguran terbuka.
Berdasarkan wilayah, persentase penduduk miskin terbesar di Wilayah Maluku dan Papua,
yaitu sebesar 24,77 persen, sementara persentase penduduk miskin terkecil di Wilayah
Kalimantan, yaitu sebesar 6,69 persen. Namun demikian, apabila dilihat dari jumlah penduduk
maka sebagian besar penduduk miskin terkonsentrasi di Wilayah Jawa, yaitu sebesar 16,11
juta orang, sementara jumlah penduduk miskin terkecil berada di Wilayah Kalimantan, yaitu
sebesar 0,95 juta orang (Tabel 3.3).
Tabel 3.3
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Wilayah (Maret 2012)
Pulau
Sumatera
Jawa
Bali dan Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Papua
Indonesia
Sumber: BPS
Pada periode Maret 2011Maret 2012 secara umum terjadi perbaikan kondisi penduduk
miskin yang ditunjukkan adanya penurunan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2). Nilai P1 turun dari 2,08 pada Maret 2011 menjadi 1,88 pada
Maret 2012, sementara nilai P2 turun dari 0,55 menjadi 0,47 pada periode yang sama (Tabel
3.4). Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran
penduduk miskin cenderung semakin mendekati garis kemiskinan serta berkurangnya
ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Berdasarkan kawasan, nilai P1 dan P2 di
perdesaan masih tetap lebih tinggi daripada di perkotaan. Pada Maret 2012, nilai P1 untuk
perkotaan hanya 1,40 sementara di perdesaan mencapai 2,36. Selanjutnya, nilai P2 untuk
perkotaan hanya 0,36 sementara di perdesaan mencapai 0,59. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa tingkat kemiskinan di perdesaan lebih buruk daripada di perkotaan.
25
Tabel 3.4
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Menurut Kawasan
Indeks
Kota
Desa
Kota+Desa
1,52
1,48
1,40
2,63
2,61
2,36
2,08
2,05
1,88
0,39
0,39
0,36
0,70
0,68
0,59
0,55
0,53
0,47
Juta Orang
Gambar 3.2
Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Tahun 2008 2012
140
14%
120
12%
100
10%
80
8,46%
8%
8,14%
7,41%
60
6,80%
6%
6,32%
40
4%
20
2%
0%
2008
2009
Angkatan Kerja
2010
Bekerja
26
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
2011
Penganggur Terbuka
2012
TPT
600
4
300
Persen
Rp Triliun
900
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
(4)
Sumber: BPS
27
Pola di atas juga nampak dalam kinerja perekonomian daerah (provinsi) di Indonesia. PDRB
provinsi-provinsi di Jawa mendominasi PDRB provinsi-provinsi lainnya dalam hal peran PDRB
terhadap perekonomian nasional. DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat adalah tiga provinsi
dengan PDRB terbesar, masing-masing berperan sebesar 16,4 persen, 14,8 persen dan 14,7
persen terhadap perekonomian nasional (total PDRB 33 provinsi). Sementara itu Maluku
Utara, Gorontalo dan Maluku merupakan tiga provinsi dengan PDRB terkecil secara nasional
dengan peran masing-masing kurang dari 0,2 persen.
Provinsi-provinsi di Jawa juga masih merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Wilayah lain yang memiliki kinerja pertumbuhan baik adalah Sulawesi. Bahkan dalam lima
tahun terakhir kinerja pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Sulawesi termasuk yang
paling tinggi di antara provinsi-provinsi lainnya. Bila kecenderungan ini terus berlanjut maka
peran Wilayah Sulawesi yang saat ini relatif kecil akan semakin meningkat dan semakin
penting sebagai pendorong pertumbuhan Wilayah Kawasan Timur Indonesia.
35
5,0
30
25
4,0
20
3,0
15
2,0
10
0,0
0
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
1,0
28
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Kabupaten/Kota
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Tertinggi
%
26,23
33,87
19,77
42,57
15,83
12,41
20,06
10,36
22,64
28,19
13,07
20,71
11,14
24,58
23,15
32,47
8,11
43,14
41,16
14,06
10,51
7,76
15,31
18,84
19,84
24,07
19,26
21,24
20,06
39,28
24,57
49,58
47,62
Kabupaten/Kota
Kota Banda Aceh
Kab. Deli Serdang
Kota Sawahlunto
Kota Pekan Baru
Kab. Kepulauan Anambas
Kota Sungai Penuh
Kab. OKU Timur
Kab. Bangka Barat
Bengkulu Tengah
Kab. Tulangbawang Barat
Kota Jakarta Timur
Kota Depok
Kota Tangerang Selatan
Kota Semarang
Kota Yogyakarta
Kota Batu
Kota Denpasar
Kota Bima
Kab. Flores Timur
Kab. Sanggau
Kota Palangka Raya
Kab. Banjar
Kota Balikpapan
Kota Manado
Kota Gorontalo
Kota Palu
Kota Makassar
Kab. Mamuju Utara
Kota Kendari
Kota Ambon
Kota Ternate
Kab. Merauke
Kota Sorong
Terendah
%
9,19
5,34
2,48
4,20
4,80
3,64
9,81
5,25
6,43
7,63
3,40
2,84
1,67
5,12
9,75
5,11
2,21
12,80
9,61
5,02
5,31
3,34
4,07
6,51
5,49
9,98
5,86
6,20
8,02
7,67
4,53
14,54
14,03
Sumber : BPS
29
Dari data tersebut terlihat pula bahwa terdapat 5 (lima) provinsi yang memiliki
kabupaten/kota dengan persentase penduduk miskin tertinggi diatas 40 persen, yaitu Riau,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat. Selanjutnya, nilai
terendah persentase penduduk miskin kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat sekitar 14
persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai persentase penduduk
miskin kabupaten/kota baik nilai tertinggi maupun terendah, tingkat kemiskinan di Wilayah
Indonesia Timur sangat serius sehingga memerlukan perhatian yang khusus baik dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Banten
Jawa Barat
DKI Jakarta
Maluku
Kalimantan Timur
Riau
Sulawesi Utara
NAD
Sulawesi Selatan
Papua Barat
INDONESIA
Sumatera Utara
Kep. Riau
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Maluku Utara
TPT 2010
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jambi
Lampung
Gorontalo
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Sulawesi Tenggara
Bengkulu
Sulawesi Tengah
Jawa Timur
Papua
Kalimantan Tengah
Bali
Sulawesi Barat
3,06
3,25
3,34
3,55
4,14
4,25
4,59
4,61
4,61
4,62
5,16
5,25
5,29
5,39
5,57
5,63
5,69
6,03
6,21
6,65
6,90
6,95
7,14
7,43
7,68
8,37
8,37
8,72
9,61
9,97
10,10
10,33
11,05
13,68
2,86
2,70
2,67
3,72
3,66
4,18
3,41
4,27
4,34
4,99
4,61
5,62
5,35
3,85
5,24
3,25
5,47
5,62
6,07
6,07
7,04
7,14
6,56
7,18
8,28
8,27
6,69
7,17
9,19
7,72
10,21
9,84
10,83
13,50
Gambar 3.5
Tingkat Pengangguran Terbuka Per Provinsi (%) Tahun 2010 - 2011
TPT 2011
30
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
berjumlah sekitar 1,44 juta orang, atau sekitar 18,5 persen dari total penganggur Indonesia.
Dua bagian kawasan barat Indonesia ini telah menampung sekitar 85,0 persen total
penganggur Indonesia atau 6,52 juta. Provinsi dengan jumlah penganggur terbesar adalah
Jawa Barat (1,9 juta orang), diikuti oleh Jawa Tengah (1,0 juta orang) dan juga Jawa Timur
(821,6 ribu orang). Tiga provinsi ini memberikan kontribusi hampir sekitar 50 persen
penganggur yang ada di Indonesia.
Distribusi Pengangguran Kota-Desa
Berdasarkan distribusi pengangguran kota-desa di setiap provinsi, konsentrasi pengangguran
di daerah perkotaan secara umum terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah
perdesaan. Tingkat pengangguran di daerah perkotaan secara nasional adalah 8,22 persen
sementara di daerah perdesaan adalah 4,96 persen. Kecuali provinsi Jambi dan NAD, yang
memiliki tingkat penganggurannya lebih tinggi di daerah perdesaan.
Gambar 3.6
Jumlah Penganggur Berdasarkan Perkotaan dan Perdesaan (Ribu Orang)
Sulawesi Barat
Bengkulu
Gorontalo
Maluku Utara
Kalimantan Tengah
Kep. Bangka Belitung
Jambi
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Papua Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Papua
NAD
Kalimanta Barat
Bali
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Utara
Kep. Riau
DI Yogyakarta
Sumatera Barat
Riau
Sulawesi Selatan
Lampung
Sumatera Selatan
Kalimantan Timur
Sumatera Utara
Jawa Timur
Banten
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Jawa Barat
11,461
13,651
11,315
15,499
17,488
8,297
46,194
18,357
37,064
13,429
33,174
25,320
28,762
111,594
46,083
11,599
61,658
47,211
36,225
7,855
14,844
65,620
56,147
135,811
104,609
99,410
50,740
134,992
404,509
187,112
4,122
7,564
Perdesaan
8,502
10,235
11,398
13,767
13,975
14,094
15,617
19,602
24,825
26,461
31,739
37,192
40,54
40,785
48,884
53,544
57,258
58,318
59,473
77,168
80,075
101,115
109,156
118,159
122,953
267,133
417,037
493,452
504,551
555,408
619,734
1.000,000
Perkotaan
1282,109
500,000
0,000
500,000
1.000,000
1.500,000
31
Untuk daerah-daerah tertentu, seperti provinsi Papua Barat, Banten, Lampung, Sulawesi
Utara, Kalimantan Timur, Maluku, DKI Jakarta dan Jawa Barat, tingkat penganggurannya
diatas 10,0 persen. Sementara daerah yang tingkat penganggurannya dibawah 5,0 persen
adalah DI Yogyakarta, Kep. Bangka Belitung, Jawa Timur, Sulawesi Barat, Jambi, Kalimantan
Tengah, Bali dan Bengkulu.
Provinsi Banten, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat memiliki tingkat pengangguran yang
hampir sama antara di kota dan desa. Gambaran daerah lainnya, seperti Papua, Lampung,
Sumatera utara, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Utara,
merupakan provinsi dengan tingkat pengangguran antara kota dan desa yang perbedaannya
sangat besar.
16
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
-
14
Persen
12
10
8
6
4
2
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kepulauan Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Juta Rp
Gambar 3.7
Pertumbuhan Konsumsi dan Konsumsi per Kapita Menurut Provinsi Tahun 2009
Konsumsi Rumah Tangga Per Kapita (ADHB) Tahun 2009 (Juta Rp)
32
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Sementara itu enam provinsi mengalami pertumbuhan konsumsi relatif rendah, kurang dari 4
persen per tahun dan lima belas provinsi sisanya mengalami pertumbuhan konsumsi relatif
moderat antara 4 sampai 7 persen. Bila kinerja pertumbuhan ini dikaitkan dengan tingkat
konsumsi per kapita maka terlihat kecenderungan pemerataan daya beli masyarakat. Hal ini
ditunjukkan oleh relatif tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada provinsiprovinsi dengan tingkat konsumsi per kapita relatif rendah, khususnya di Wilayah Indonesia
Timur. Namun demikian di daerah-daerah tersebut investasi dan perdagangan perlu tumbuh
lebih tinggi agar pertumbuhan konsumsi ini berkelanjutan.
Persen
100
80
60
40
20
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Selama periode 2006-2009 peran konsumsi rumah tangga dalam sumber pertumbuhan
daerah sangat bervariasi antar provinsi. Namun demikian di sebagian besar provinsi, konsumsi
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
33
rumah tangga berperan besar dalam mendorong perekonomian daerah. Pada 24 provinsi,
lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi daerah bersumber dari pertumbuhan konsumsi
rumah tangga. Bahkan di tiga provinsi, yakni Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan
Kepulauan Riau, peran konsumsi rumah tangga dalam sumber pertumbuhan daerah melebihi
100 persen. Sementara itu di provinsi NAD dan Papua yang mengalami pertumbuhan ratarata negatif pada periode tersebut, pertumbuhan konsumsi berperan sangat besar dalam
mencegah perekonomian berkontraksi lebih parah. Hal ini menandakan pentingnya peran
konsumsi masyarakat dalam menyangga kinerja perekonomian domestik. Implikasi kebijakan
yang bisa dipetik adalah pentingnya mempertahankan dan meningkatkan daya beli
masyarakat secara berkelanjutan. Oleh karena itu, investasi dan pertumbuhan sektor riil perlu
terus digalakkan di daerah.
20,0
16,0
13,4
10,4
12,0
8,0
4,0
5,6
0,7
8,7
6,8
1,2
5,4
2,3 2,5
1,5
0,2
1,6
5,0
4,8
2,6
0,1
1,8 1,5
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kep. Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
Di Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Sumber: BPS
34
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
300
50
240
40
180
30
120
20
60
10
-
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Juta Jiwa
Triliun Rp
Gambar 3.10
PMTB dan Jumlah Penduduk Tahun 2005 2009
Sumber: BPS
10
240
180
120
60
300
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Triliun Rp
Gambar 3.11
PMTB dan Kepadatan Penduduk Tahun 2005 2009
Sumber: BPS
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
35
Provinsi-provinsi lainnya yang memiliki peranan investasi relatif besar adalah Riau, Sumatera
Utara dan Sumatera Selatan di Kawasan Barat Indonesia, serta Kalimantan Timur dan Sulawesi
Selatan di Kawasan Timur Indonesia.
Kinerja perekonomian daerah juga tampak dari pangsa industri pengolahan dalam PDRB yang
menggambarkan tingkat industrialisasi daerah. Secara umum provinsi-provinsi di Wilayah
Jawa memiliki pangsa industri pengolahan relatif tinggi yang menggambarkan perannya
sebagai pusat industri nasional. Pangsa industri pengolahan di DKI Jakarta terlihat cukup
rendah, namun hal ini lebih karena struktur perekonomian Jakarta lebih didominasi sektorsektor jasa, khususnya keuangan dan perdagangan. Di samping itu, perkembangan kawasan
perkotaan Jakarta yang semakin padat membuat kawasan industri menyebar di kota-kota di
sekitar Jakarta dan membentuk kawasan metropolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi).
Gambar 3.12
Share Industri Pengolahan Dalam PDRB
50
40
30
20
10
Papua
Papua Barat
Maluku
Maluku Utara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Bali
Banten
Jawa Timur
DI. Yogyakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Kep. Riau
DKI Jakarta
Lampung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Riau
Jambi
Sumatera Barat
NAD
Sumatera Utara
Beberapa daerah di luar Jawa yang memiliki pangsa industri pengolahan cukup tinggi adalah
Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kepulauan Riau. Hal ini menunjukkan potensi
pengembangan industri pengolahan di daerah-daerah tersebut cukup besar. Beberapa daerah
seperti Kalimantan Timur dan Papua Barat juga memiliki pangsa industri pengolahan cukup
tinggi, namun hal itu karena besarnya kegiatan industri pengolahan migas.
36
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Jalan Tol
Jalan Nasional
Jalan Provinsi
Kondisi Mantap
761,45
761,45
100,0%
0,0%
38.569,84
33.833,78
87,7%
4.736,06
12,3%
49.280,93
19.742,31
40,1%
29.538,62
59,9%
Jalan Kabupaten/Kota
370.215,85
171.361,68
46,3%
198.854,17
53,7%
TOTAL
458.828,07
225.699,21
49,2%
233.128,85
50,8%
Wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan Maluku menghadapi
keterbatasan prasarana dan sarana transportasi terutama jalan. Rasio kerapatan jalan (rasio
panjang jalan dan luas wilayah daratan) di Wilayah Papua, Maluku dan Kalimantan relatif
rendah sehingga perlu percepatan pembangunan jalan. Sementara, rasio kapasitas jalan (rasio
panjang jalan dan jumlah unit kendaraan roda 4) di Wilayah Jawa-Bali relatif rendah sehingga
perlu pengembangan transportasi masal untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
Gambar 3.13
Rasio Kerapatan Jalan (km/km2) Tahun 2011
1,80
1,60
1,52
1,40
1,20
1,00
0,80
0,60
0,42
0,40
0,06
0,20
Papua
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Maluku
Kalimantan Barat
Maluku Utara
Sumatera Selatan
Jambi
Sulawesi Tenggara
Riau
Sualwesi Tengah
NAD
Kalimantan Selatan
Bengkulu
Gorontalo
Lampung
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara
Kepulauan Riau
Banten
Jawa Barat
Jawa Timur
Bali
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
37
Gambar 3.14
Rasio Kapasitas Jalan (km/unit) Tahun 2011
180,00
175,64
160,00
140,00
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
18,38
Sulawesi Tengah
Papua
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
NAD
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
Maluku
Sumatera Barat
Lampung
Bengkulu
Banten
Sumatera Utara
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Riau
Kepulauan Riau
DI Yogyakarta
Kalimantan Tengah
Bali
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jambi
Sumatera Selatan
Maluku Utara
0,45
20,00
Berdasarkan kondisi kualitas jalan nasional, sebagian besar kondisi mantap jalan telah
mengalami peningkatan dengan rata-rata di atas 86 persen, walaupun selama periode 20052011 kondisi jalan tidak mantap (rusak ringan dan rusak berat) cenderung meningkat. Kondisi
tersebut akibat adanya penambahan panjang jalan nasional sepanjang 5.439,63 km, baik
karena pembangunan baru, juga adanya perubahan status jalan provinsi menjadi jalan
nasional. Namun secara umum kondisi kemantapan jalan nasional sangat memadai.
Tabel 3.7
Kondisi Jalan Nasional Pada Tahun 2005 dan 2011
Panjang Jalan
(km)
Pulau
Sumatera
Jawa+Bali
Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
Nasional
2005
10.429,8
5.389,5
1.795,8
5.538,2
6.844,8
1.255,5
1.876,5
33.130,2
2011
11.568,1
6.146,2
2.038,9
6.363,6
7.799,8
1.578,6
3,074,7
38.659,8
%
6,9
6,3
6,6
11,0
2,6
5,4
13,9
6,9
%
11,8
6,3
5,6
10,3
12,0
17,0
32,60
12,3
Kondisi sebaliknya terjadi pada kualitas jalan daerah (provinsi dan kabupaten/kota), dimana
seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, jalan tersebut menjadi kewenangan pemerintah
daerah untuk pelaksanan pemeliharaan dan pembangunannya. Berdasarkan data kondisi
38
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
kualitas jalan, jalan provinsi dengan total panjang jalan mencapai 49.280,93 km memiliki ratarata kondisi jalan tidak mantap 40,1 persen dan jalan kabupaten/kota dengan total panjang
jalan mencapai 370.215,85 km memiliki rata-rata kondisi jalan tidak mantap 46,3 persen.
Berdasarkan perbandingan jalan tidak mantap antar wilayah, jalan tidak mantap baik jalan
provinsi maupun jalan kabupaten/kota, tertinggi terdapat di Wilayah Papua, Maluku dan
Sulawesi dengan kondisi jalan tidak mantap rata-rata di atas 55 persen. Kondisi akan sangat
menghambat mobilitas barang dan penumpang dan berdampak terhadap kinerja
perekonomian daerah.
Tabel 3.8
Kondisi Jalan Provinsi dan Jalan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Pulau
Panjang Jalan
Provinsi
Jalan Tidak
Mantap 2010
16.046,07
9.521,81
6.888,13
6.274,65
4.462,77
2.766,80
3.320,70
49.280,93
7.189,51
1.148,21
2.997,30
3.246,65
1.615,04
1.976,21
1.569,39
19.742,31
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Bali-NT
Maluku
Papua
TOTAL
Panjang Jalan
Kabupaten/Kota
44,8
12,1
43,5
51,7
36,2
71,4
47,3
40,1
Jalan Tidak
Mantap 2010
134.097,0
83.999,1
40.929,4
57.611,7
26.602,5
8.853,3
18.123,0
370.215,85
65.163,31
28.586,76
18.674,02
30.345,79
12.622,17
4.461,86
11.507,78
171.361,68
48,6
34,0
45,6
52,7
47,4
50,4
63,5
46,3
Gambar 3.15
Perbandingan Kondisi Jalan Nasional dan Daerah (%)
100,0%
90,0%
80,0%
70,0%
60,0%
50,0%
40,0%
30,0%
20,0%
10,0%
0,0%
Sumatera
Jawa
Bali-Nusa
Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
Sumber: Kementerian PU
39
Panjang jalan nasional yang hanya 8,4 persen dari total panjang jalan yang ada, memiliki
kondisi mantap mencapai 87,7 persen. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi jalan daerah
(jalan provnsi dan jalan kabupaten/kota), dengan panjang total mencapai 419.496,78 km
(91,4 persen dari total panjang jalan yang ada), kondisi kemantapan jalan hanya mencapai
54,4 persen. Kondisi tersebut mengakibatkan kurang efektif dan efisiennya distribusi barang
dan orang serta sistem logistik di daerah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi
di deerah. Sementara perbandingan kondisi jalan nasional dan daerah ditunjukkan pada
Gambar 3.15.
Jumlah Bandara
14
10
5
7
3
5
2
5
2
7
1
13
5
2
7
3
2
Provinsi
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timus
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Total
40
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Jumlah Bandara
5
15
52
14
46
5
8
8
5
1
1
12
11
36
202
514
Gambar 3.16
Jumlah Penumpang Pesawat Udara Per Provinsi
Tahun 2010
Sumatra Utara Sumatra
Selatan
6%
2%
Bandara
Lainnya
26%
Sulawesi
Selatan
2%
Banten
41%
Bali
11%
Jawa Timur
7%
DI Yogyakarta
3%
Jawa Tengah
2%
Posisi kedua ditempati oleh Bandara Ngurah Rai di provinsi Bali sebesar 11 persen, kemudian
diikuti oleh Jawa timur 7 persen dan Sumatera Utara 6 persen. Jumlah penumpang yang besar
di Bandara Ngurah Rai, yaitu sebesar 11,3 juta penumpang, disebabkan oleh pesatnya
kemajuan industri pariwisata di Bali dengan banyaknya wisatawan Nusantara dan wisatawan
mancanegara.
Int' Port
National Port
Regional Port
Local Port
1
1
1
-
10
13
44
3
4
1
6
4
10
4
5
4
2
8
3
30
20
3
6
1
0
41
Provinsi
Int' Port
National Port
Regional Port
Local Port
Sumatera Selatan
Lampung
Jawa Barat
Banten
DKI Jakarta
Jawa Tengah
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Maluku
Papua
1
1
-
1
1
1
1
2
1
1
1
2
1
1
1
1
1
2
1
2
5
1
11
3
6
9
8
6
5
14
9
3
12
15
6
3
15
27
2
11
7
2
1
6
7
3
5
12
1
5
2
3
1
1
6
6
3
10
7
1
0
5
1
2
0
3
7
4
5
21
1
1
0
1
18
9
9
21
25
9
26
90
60
50
40
30
20
10
0
Standar BOR %
42
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Persentase tingkat utilisasi penggunaan dermaga pada tahun 2010 di pelabuhan Belawan,
Panjang, Kupang dan Samarinda telah melewati batas standar BOR yaitu 70% (Gambar 3.17).
Namun pada tahun 2011 utilisasi BOR di keempat pelabuhan ini menurun, artinya sudah ada
perbaikan dan penambahan fasilitas baru untuk memperlancar bongkar muat di pelabuhan
tersebut. Pada tahun 2011 Pelabuhan Teluk Bayur dan Pelabuhan Dumai mengalami kenaikan
utilisasi BOR cukup tinggi, yaitu sebesar 12%, dimana artinya terjadi tingkat keterlambatan
kegiatan bongkar muat di pelabuhan tersebut dan perlu penambahan fasilitas pelabuhan.
Boks 3.1
Perhitungan Indikator Kinerja Pelabuhan
Berth Occupancy Ratio (BOR) atau atau tingkat penggunaan dermaga 2010 - 2011
Berdasarkan Kep. Dirjen Perhubungan Laut No. UM.002/38/18/DJPL-II tanggal 5 Desember 2011.
Tingkat Penggunaan Dermaga (BOR) merupakan perbandingan antara waktu penggunaan dermaga
dengan waktu yang tersedia (dermaga siap operasi) dalam periode tertentu yang dinyatakan dalam
persentase. Dalam Keputusan tersebut standarisasi BOR = 70%. Artinya, < 70 = baik, 70 sampai
dengan 77 % = cukup baik dan >78% = kurang baik.
BOR =
Shed Occupancy Ratio (SOR) atau tingkat penggunaan gudang 2010 2011
Tingkat penggunaan gudang (Shed Occupancy Ratio/ SOR) merupakan perbandingan antara jumlah
pengguna ruang penumpukan dengan ruang penumpukan yang tersedia yang dihitung dalam
satuan ton hari/ satuan
hari.
SOR =
Berdasarkan Kep. Dirjen Perhubungan Lautb No. UM.002/38/18/DJPL-II tanggal 5 Desember 2011.
Dalam Keputusan tersebut standarisasi SOR = 65%. Artinya, < 65 = baik, 65 sampai dengan 72 % =
cukup baik dan >72% = kurang baik.
Yard Occupancy Ratio (YOR) atau tingkat penggunaan lapangan penumpukan atau Kesiapan
operasi peralatan 2010 2011
Tingkat Penggunaan Lapangan Penumpukan (YOR) merupakan perbandingan antara jumlah
penggunaan ruang penumpukan dengan ruang penumupukan yang tersedia (siap operasi) yang
dihitung dalam satuan ton hari. Berdasarkan Kep. Dirjen Perhubungan Laut No.
UM.002/38/18/DJPL-II tanggal 5 Desember 2011. Dalam Keputusan tersebut standarisasi YOR =
50%. Artinya, < 50 = baik, 50 sampai dengan 55 % = cukup baik dan >55% = kurang baik.
43
Berikutnya untuk persentase tingkat utilisiasi penggunaan gudang pelabuhan tahun 2010 dan
2011 di indonesia, kondisinya masih dalam taraf baik (Gambar 3.18). Artinya utilisasi
penggunaan gudang pelabuhan masih memadai. Pada tahun 2011 Pelabuhan Belawan
mengalami kenaikan utilisasi penggunaan gudang yang tinggi, yaitu sekitar 60%. Terdapat tiga
faktor yang mempengaruhi kenaikan tersebut yaitu karena peningkatan jumlah tonase kargo
curah, dwelling time (masa proses/ waktu tunggu) di pelabuhan dan kapasitas efektif di
pelabuhan. Pelabuhan lainnya yang mengalami kenaikan tingkat utilisasi pada tahun 2011
adalah Pelabuhan Tanjung Priok, Palembang, Pontianak, Benoa, Kupang, Makassar, Ambon,
Jayapura, Tanjung Intan, Samarinda dan Dumai.
Gambar 3.18
Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Gudang Pelabuhan Tahun 2010 dan 2011
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Standar SOR %
44
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Gambar 3.19
Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Lapangan Penumpukan Pelabuhan
Tahun 2010 dan 2011
140
120
100
80
60
40
20
0
Standar YOR %
45
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
39,92
29,25
NAD
Sumatera Utara
Riau
Kep. Riau
Sumatera Barat
Jambi
Bengkulu
Sumatera Selatan
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Banten
Jawa Barat
DKI Jakarta
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Maluku Utara
Maluku
Papua
Papua Barat
Dalam %
Gambar 3.20
Rasio Elektrifikasi Tahun 2011
98% 98%
70% 70%
60% 60%
66% 66%
23%
0% 0%
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
2010
46
65%
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
2011
Bali Nusra
Maluku
0% 0%
Papua
Kawasan
2009
Sumatera
Jawa dan Bali
Kalimantan
Sulawesi
Maluku , Nusa Tenggara dan Papua
Total
Sumber : BPS (diolah) , Keterangan:*) Angka Sementara
14.696,2
35.758,7
4.392,1
6.801,5
2.749,7
64.398,2
2010
2011*
15.200,0
37.243,8
4.425,2
6.994,6
2.605,3
66.469,4
15.664,1
35.262,6
4.577,3
7.277,2
2.959,5
65.740,9
Tabel 3.12
Pertumbuhan Produksi Beras Menurut Kawasan (Ribu Ton) Tahun 2009-2011
No.
1
2
3
4
5
Kawasan
Sumatera
Jawa dan Bali
Kalimantan
Sulawesi
Maluku , Nusa Tenggara dan Papua
Total
2009
8.262,2
20.103,5
2.469,2
3.823,8
1.545,9
36.204,5
2010
8.545,4
20.938,4
2.487,9
3.932,4
1.464,7
37.368,8
2011
8.806,3
19.824,6
2.573,3
4.091,2
1.663,8
36.959,2
47
Pada Tabel 3.12 terlihat bahwa total produksi beras pada tahun 2011 mengalami penurunan
sebesar 409,6 ribu ton atau turun sekitar 1,1 persen. Dimana, penurunan produksi beras ini
berasal dari penurunan produksi beras di Kawasan Jawa dan Bali dari 20,9 juta ton pada
Tahun 2010 menjadi 19,8 juta ton pada Tahun 2011; atau turun sebesar 5,3 persen.
Gambar 3.22
Kontribusi Kawasan Per Pulau Terhadap Total Produksi Beras Tahun 2011
11%
7%
5%
24%
Sumatera
Jawa & Bali
Kalimantan
Sulawesi
54%
Sebagian besar produksi beras berasal dari Wilayah Jawa dan Bali, atau mencapai 54 persen;
kemudian disusul dengan Wilayah Sumatera sebesar 24 persen dan Wilayah Sulawesi sebesar
11 persen (Gambar 3.22).
Gambar 3.23
Produksi Padi di Indonesia Tahun 2009 2011
67000
8,00%
66.469,4
66500
66000
7,00%
6,80%
65.740,9
65500
3,00%
64.389,9
3,20%
2,00%
1,00%
64000
-1,10%
63500
-2,00%
2009
2010
Produksi
2011*
Pertumbuhan
48
0,00%
-1,00%
63000
5,00%
4,00%
65000
64500
6,00%
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
104
Kg/Kapita/Th
103
102
101
100
99
98
97
96
95
Beras
2008
2009
2010
2011
2012
104,85
102,22
100,76
102,82
98,57
Dihitung dengan asumsi jumlah penduduk pada tahun 2010 dan 2011 masing-masing sebanyak 237.641.326
jiwa dan 241.182.182 jiwa
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
49
Gambar 3.25 menunjukkan produksi dan kebutuhan beras di masing-masing provinsi pada
tahun 2011. Provinsi yang memiliki surplus beras cukup besar adalah Sulawesi Selatan,
Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Kemudian, terdapat 15
provinsi yang jumlah produksi berasnya lebih kecil dari jumlah kebutuhannya. Perhitungan
kebutuhan beras menggunakan asumsi konsumsi per kapita rata-rata sebesar 137,06 kg.
Gambar 3.25
Produksi dan Kebutuhan Beras (Ribu Ton) Tahun 2011
7.000
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kep. Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Produksi
konsumsi
50
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
10,41
9,59
9,16
9,07
9,02
8,89
8,85
8,83
8,81
8,58
8,48
8,36
8,32
8,25
8,21
8,11
8,02
8,00
7,96
7,92
7,84
7,84
7,82
7,75
7,65
7,45
7,38
7,24
7,24
7,11
6,99
6,82
6,62
Tahun
6,27
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
51
Gambar 3.27
Tingkat Pendidikan dan Tingkat Partisipasi Sekolah Tahun 2010
SMA/Sederajat
20%
Tidak/Belum
Sekolah
6%
PT
6%
Belum Tamat
SD
19%
SMP/Sederajat
18%
SD/Sederajat
31%
Gambar 3.28
Persentase Jenjang Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan
Oleh Penduduk Berusia 10 Tahun Ke Atas Tahun 2010
DKI Jakarta
Kep. Riau
DI Yogyakarta
Papua Barat
Kalimantan Timur
Bali
Sulawesi Utara
Maluku
Sumatera Utara
Aceh
Banten
Sumatera Barat
Riau
Bengkulu
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
INDONESIA
Jawa Barat
Jambi
Sumatera Selatan
Sulawesi Tengah
Kalimantan Selatan
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Tengah
Gorontalo
Jawa Timur
Papua
Lampung
Jawa Tengah
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Barat
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Timur
10
20
30
40
Belum Tamat SD
52
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
50
60
SD-SMP/ sederajat
70
80
90
100
SM - PT/ sederajat
Bila diuraikan menurut provinsi, pendidikan tertingggi yang ditamatkan penduduk di sebagian
besar provinsi relatif masih rendah yakni setingkat SD/SMP. Namun, beberapa provinsi seperti
Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, DKI dan DIY sudah memiliki persentase
penduduk 10 tahun ke atas dengan pendidikan terakhir sekolah menengah (SM) ke atas yang
cukup baik dan sudah di atas rata-rata nasional per jenjang pendidikan (Gambar 3.28).
Data Susenas 2010 menunjukkan variasi alasan mengapa mereka tidak/belum pernah
bersekolah atau tidak bersekolah lagi yaitu: (1) tak ada biaya, (2) menikah/mengurus rumah
tangga (RT), (3) sekolah jauh, (4) malu, (5) tidak diterima, (6) cacat dan lain-lain. Alasan
ketiadaan biaya berkaitan erat dengan faktor kemiskinan (kesulitan ekonomi). Sementara
alasan sekolah jauh berkaitan dengan ketersediaan jumlah sekolah yang minim atau kondisi
geografis suatu daerah yang menyebabkan akses menjadi sulit.
Tabel 3.13
Alasan Tidak/Belum Bersekolah Tahun 2010
Alasan Tidak/Belum
Pernah Bersekolah atau
Tidak Bersekolah Lagi
L+P
L+P
L+P
52,68
12,94
0,30
6,08
1,58
0,44
3,10
3,25
0,72
18,90
100,0
6,64
13,45
4,57
6,08
0,94
0,53
1,99
4,27
0,46
11,08
100,0
54,66
13,19
2,43
6,08
1,26
0,49
2,55
3,76
0,59
15,00
100,0
53,82
9,09
0,30
4,61
1,55
4,69
2,60
0,99
0,51
21,84
100,0
56,48
4,96
8,12
5,49
1,20
4,73
2,37
1,51
0,42
14,72
100,0
55,05
7,18
3,92
5,02
1,39
4,71
2,49
1,23
0,47
18,54
100,0
53,38
10,57
0,30
5,18
1,56
3,06
2,79
1,86
0,59
20,71
100,0
56,55
8,52
6,63
5,73
1,09
2,97
2,21
2,67
0,44
13,19
100,0
54,89
9,59
3,32
5,44
1,34
3,01
2,51
2,25
0,52
17,12
100,0
Perkotaan
Perdesaan
Total
53
Gambar 3.29
Angka Melek Aksara Penduduk (Berusia > 15 Tahun) Tahun 2010
92,91
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
Sulawesi Utara
DKI Jakarta
Riau
Kalimantan Tengah
Maluku
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Kep. Riau
Sumatera Barat
Kalimantan Timur
NAD
Banten
Jawa Barat
Maluku Utara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Kalimantan Selatan
Jambi
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Papua Barat
Lampung
INDONESIA
Sulawesi Tenggara
DI Yogyakarta
Kalimantan Barat
Jawa Tengah
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Barat
Bali
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Barat
Papua Barat
54
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Gambar 3.30
Persentase Guru Belum Berkualifikasi S1/D4 Tahun 2011
Maluku
Kalimantan Barat
NTT
Bangka Belitung
Kalimantan Tengah
Lampung
Maluku Utara
Papua Barat
Sulawesi Tengah
Kalimantan Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Papua
Jambi
Gorontalo
Sulawesi Utara
Sumatera Selatan
Aceh
NTB
Kep.Riau
Riau
Sumatera Barat
Bengkulu
Sumatera Utara
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan
Jawa Tengah
Jawa Barat
Banten
Bali
DI Yogyakarta
Jawa Timur
DKI Jakarta
77,05
74,61
74,63
72,71
70,65
69,63
69,62
69,24
69,17
68,93
68,05
67,12
66,78
66,20
66,15
65,32
65,13
62,61
62,27
61,92
61,39
60,71
59,01
Rata-Rata Nasional
57,40 %
57,75
57,53
57,14
53,79
53,62
53,56
51,32
49,03
46,15
40,14
0
20
40
60
80
100
3.7.2 Kesehatan
Status kesehatan dan gizi masyarakat terus menunjukkan kemajuan yang ditandai dengan
meningkatnya umur harapan hidup (UHH) menjadi 71,1 tahun (2011), menurunnya Angka
Kematian Ibu (AKI) menjadi sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup (2007), menurunnya
Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup (2007),
55
menurunnya prevalensi kekurangan gizi menjadi sebesar 17,9 persen (2010) dan menurunnya
prevalensi anak balita yang pendek (stunting) menjadi sebesar 35,6 persen (2010).
Selain pembangunan kesehatan, upaya pengendalian kuantitas penduduk yang dilaksanakan
melalui Program Keluarga Berencana (KB) berkontribusi signifikan di dalam peningkatan
kualitas sumber daya manusia Indonesia. Upaya ini menjadi sangat penting mengingat jumlah
penduduk yang besar dengan kualitas rendah akan menjadi beban pembangunan, sebaliknya
penduduk besar dengan kualitas baik akan menjadi modal pembangunan. Hasil Sensus
Penduduk (SP) 2010 menunjukkan bahwa dalam periode 10 tahun (20002010), laju
pertumbuhan penduduk (LPP) Indonesia meningkat dari 1,45 persen menjadi 1,49 persen dan
secara absolut jumlah penduduk meningkat sebanyak 32,5 juta jiwa, yaitu dari 205,8 juta jiwa
pada tahun 2000 (SP 2000) menjadi 237,6 juta jiwa pada tahun 2010 (SP 2010).
Gambar 3.31
Persentase Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Terlatih Menurut Provinsi
Tahun 2010
100
82,2
80
60
40
Maluku Utara
Maluku
Sulawesi Tengah
Papua Barat
Kalimantan Tengah
Papua
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Jambi
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Timur
Banten
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
Jawa Barat
Kalimantan Selatan
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Timur
Lampung
Bengkulu
Indonesia
Sulawesi Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Riau
Sumatera Utara
NAD
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kep. Bangka Belitung
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Bali
DI. Yogyakarta
20
Sementara itu, upaya yang terbukti efektif untuk menurunkan AKI yaitu pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih terus meningkat dari 77,34 persen (2009) menjadi
82,2 persen (2010). Namun demikian, disparitas cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan masih cukup lebar. Berdasarkan data Riskesdas (2010), secara umum cakupan
pelayanan pada kawasan Indonesia bagian timur lebih rendah jika dibandingkan dengan
kawasan Indonesia bagian barat. Capaian tertinggi sebesar 98,6 persen di Provinsi DI
Yogyakarta diikuti Provinsi Bali, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta, sementara capaian terendah
sebesar 26,6 persen di Provinsi Maluku Utara (Gambar 3.31).
56
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Gambar 3.32
Cakupan Pelayanan Antenatal (K4) Tahun 2010
Papua
Papua Barat
Kalimantan Timur
DKI Jakarta
Sulawesi Tengah
Kep. Bangka Belitung
Maluku Utara
Kalimantan Tengah
Banten
Kalimantan Barat
Kepulauan Riau
Bengkulu
Sulawesi Barat
Maluku
Riau
Sumatera Selatan
Kalimantan Selatan
Lampung
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
INDONESIA
Sulawesi Selatan
Sumatera Barat
Jambi
Sumatera Utara
Nusa Tenggara Barat
DI Yogyakarta
NAD
Jawa Barat
Bali
Nusa Tenggara Timur
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sulawesi Utara
31
33,23
35,96
42,73
43,1
45,83
46,9
50,07
50,53
52,01
52,13
52,5
55,23
57,84
62,29
63,22
63,91
65,58
65,66
66,68
67,87
68
68,44
71,6
71,75
73,86
74,18
74,4
74,43
75,93
77,23
77,7
82,54
84,89
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Pelayanan antenatal (antenatal care) juga penting untuk memastikan kesehatan ibu selama
kehamilan dan menjamin ibu melakukan persalinan ditolong tenaga kesehatan. Kunjungan ibu
hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal pada
trimester pertama kehamilan (K1) mencapai 72,3 persen, lebih tinggi dari kunjungan keempat
yaitu sebesar 67,87 persen (Riskesdas, 2010). Cakupan pelayanan antenatal tertinggi terdapat
di Sulawesi Utara, yang mencapai 84,9 persen. Sedangkan cakupan pelayanan antenatal yang
terendah terdapat di Provinsi Papua yang hanya mencakup sebesar 31,0 persen.
Selanjutnya, upaya untuk mencapai target penurunan kematian bayi menjadi 24 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2014 juga terus dilakukan melalui perbaikan status kesehatan
anak. Secara nasional, cakupan imunisasi lengkap pada anak usia 12-23 bulan terus meningkat
mencapai 53,8 persen dan yang mendapat imunisasi campak mencapai 74,4 persen
57
Maluku Utara
Papua Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Gorontalo
Papua Barat
Kalimantan Barat
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Tengah
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Banten
Jawa Barat
Riau
Sulawesi Selatan
Sumatera Selatan
INDONESIA
Lampung
NAD
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Timur
Bengkulu
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Selatan
Jawa Timur
Jambi
Kepulauan Riau
Sulawesi Utara
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Bali
DI Yogyakarta
Papua
Sulawesi Barat
Sumatera Utara
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Tengah
NAD
Riau
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Sumatera Selatan
Maluku Utara
Bengkulu
Maluku
Sumatera Barat
Banten
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Barat
Kalimantan Selatan
DKI Jakarta
Indonesia
Gorontalo
Kalimantan Tengah
Kep. Bangka Belitung
Jambi
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Timur
Lampung
Sulawesi Utara
Jawa Timur
Bali
Jawa Tengah
Kepulauan Riau
DI Yogyakarta
(Riskesdas, 2010). Sementara itu, kunjungan ke pelayanan kesehatan pada saat bayi berumur
6-48 jam (kunjungan neonatal pertama/KN1) mencapai 71,4 persen (Riskesdas, 2010).
Gambar 3.33
Persentase Bayi Usia 0-11 Bulan Yang Mendapat Imunisasi Dasar Lengkap Tahun 2010
100
80
60
53,8
40
20
Gambar 3.34
Persentase Bayi Yang Melakukan Kunjungan Neonatus 6-48 Jam (KN1) Tahun 2010
120
100
80
71,4
60
40
20
Data Riskesdas menunjukkan bahwa prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menurun
dari 18,4 persen (2007) menjadi 17,9 persen (2010), yang terdiri dari gizi kurang sebesar 13,0
persen dan gizi buruk sebesar 4,9 persen. Kemajuan juga terjadi pada upaya penurunan
58
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
kekurangan gizi kronis yang diukur dengan prevalensi anak balita yang pendek (stunting),
menurun dari 36,8 persen (2007) menjadi 35,6 persen (2010).
Sampai dengan tahun 2011, prevalensi TB mencapai 289 per 100.000 penduduk sedangkan
persentase kasus baru TB Paru (BTA positif) yang ditemukan dan yang disembuhkan masingmasing mencapai 75,26 persen dan 86,22 persen (Kemkes, 2011). Sementara itu, prevalensi
HIV pada populasi dewasa terus dikendalikan untuk berada di bawah 0,5 persen, yaitu
mencapai sebesar 0,3 persen (Kemkes, 2011). Angka penemuan kasus malaria yang diukur
dengan annual parasite index (API) dapat diturunkan dari 1,96 (2010) menjadi 1,75 per 1.000
penduduk (2011). Selanjutnya, terkait aspek penyehatan lingkungan, penyediaan akses air
minum dan sanitasi layak masih rendah yaitu sebesar 44,19 persen dan 55,53 persen
(Susenas, 2010).
60
50
40
30
22,5
26,6
26,9
27,8
28,3
29,0
29,1
29,3
29,4
30,2
31,6
32,2
32,8
33,5
33,6
33,9
35,3
35,6
35,9
36,2
36,3
37,5
37,8
38,9
38,9
39,6
39,7
40,3
40,4
41,6
42,3
48,2
49,2
58,4
Gambar 3.35
Prevalensi Pendek (TB/U) Pada Anak 0-59 Bulan Tahun 2010
20
10
DI. Yogyakarta
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Sulawesi Utara
Papua
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Bali
Maluku Utara
Jambi
Bengkulu
Riau
Sumatera Barat
Banten
Jawa Barat
Jawa Tengah
Kalimantan Selatan
Indonesia
Jawa Timur
Sulawesi Tengah
Lampung
Maluku
Sulawesi Tenggara
NAD
Sulawesi Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Gorontalo
Sumatera Selatan
Sulawesi Barat
Sumatera Utara
Nusa Tenggara Barat
Papua Barat
Nusa Tenggara Timur
Sangat pendek
Pendek
Laporan kasus AIDS dapat disampaikan bahwa secara kumulatif sampai dengan Desember
2011 jumlah kasus AIDS sebanyak 29.879 kasus dengan AIDS case rate tertinggi adalah Papua
sedangkan AIDS case rate secara nasional adalah 12,51. Dari sisi lain, angka kumulatif kasus
per 100.000 penduduk menunjukkan keadaan yang berbeda karena sebaran jumlah penduduk
per provinsi yang sangat beragam. Dengan dipengaruhi oleh jumlah penduduk, maka karena
jumlah penduduknya yang sangat kecil, Papua menduduki urutan pertama, sedangkan DKI
Jakarta dengan angka kumulatif yang jauh lebih besar hanya pada urutan ketiga. Sementara
itu Kepulauan Riau dengan hanya 404 kasus komulatif menduduki urutan ke lima, lebih tinggi
dibanding dengan Jawa Timur dengan 4.598 kasus.
59
Upaya pengurangan angka kejadian malaria sudah menunjukan keadaan yang positif. Terjadi
penurunan yang signifikan dari tahun 1990 sampai 2011, yaitu dari 4,68 per 1.000 penduduk
beresiko menjadi tinggal 1,75 per 1.000 penduduk saja. Namun demikian, dalam angka
mutlak cukup besar, yaitu 256.592 orang penderita dan hanya Provinsi DKI Jakarta yang tidak
ditemukan kejadiannya. Keragaman angka kejadian malaria sangat besar, namun
terkonsentrasi pada 3 provinsi endemik, yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat.
Angka kejadian malaria berkisar dari yang terendah (di luar DKI) yaitu Bali dengan hanya 7
kejadian dan tertinggi adalah 3 provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat
dengan masing-masing 69.645, 66.577 dan 25.287 kejadian. Pada ketiga provinsi ini saja
proporsinya sudah mencakup hampir 63 persen dari seluruh kejadian pada tahun 2011.
80000
70000
69465
66577
Gambar 3.36
Keragaman Angka Kejadian Malaria Tahun 2010
60000
30000
20000
10000
8613
8613
7914
6663
6661
6356
6355
6175
5028
3744
3523
3140
3136
2667
2450
2352
2331
2247
2045
1973
1430
957
743
517
196
88
45
14
7
0
40000
25287
50000
Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sebagai salah satu komponen
untuk perbaikan upaya kesehatan juga terus ditingkatkan. Jumlah puskesmas pada tahun
2010 mencapai 9.005 puskesmas dengan rasio sebesar 3,79 per 100.000 penduduk. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 1.920 tergolong puskesmas perawatan dan 6.085 termasuk
puskesmas non-perawatan. Sementara itu, jumlah rumah sakit pemerintah meningkat
menjadi 794, sedangkan rumah sakit swasta meningkat menjadi 838 rumah sakit dengan rasio
tempat tidur (TT) rumah sakit terhadap penduduk sebesar 68,88 TT per 100.000 penduduk
(Profil Kesehatan, 2010). Rasio tempat tidur Rumah Sakit (per 100 ribu penduduk) yang
terbesar adalah di Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan DI Yogyakarta; sedangkan yang
terendah adalah di Provinsi Sulawesi Barat, Banten dan Nusa Tenggara Barat.
60
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Gambar 3.37
Perkembangan Jumlah Puskesmas
Perawatan dan Non-Perawatan Tahun 2010
10.000
7.669
9.005
8.548 8.737
160.000
8.000
65,44
70
2.077
2.497
2.683
2.438
2.704
2.920
2005
2006
2007
2008
2009
2010
166.288
163.680
149.538
142.707
138.451
60.000
2.000
50
136.766
80.000
30
10
20.000
Puskesmas Perawatan
Puskesmas Non Perawatan
Jumlah Puskesmas
40
20
40.000
80
60
100.000
3.000
1.000
63,25
60,92 62,49 62,27
120.000
6.085
6.033
6.110
5.551
5.518
5.592
6.000
4.000
70,74 69,97
140.000
7.000
5.000
180.000
132.231
9.000
8.015 8.234
Gambar 3.38
Perkembangan Rasio Tempat Tidur RS
per 100.000 Penduduk Tahun 2010
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah TT
Rasio
61
Gambar 3.39
Persentase Serta Pertumbuhan Pekerja Sektor Formal dan Informal Tahun 2005 2011
100% pertumbuhan
100,00%
0,2
80,00%
0,15
0,1
60,00%
0,05
40,00%
20,00%
-0,05
0,00%
-0,1
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Sakernas
Gambar 3.40
Komposisi Pekerja Formal dan Informal di Setiap Provinsi Tahun 2008 dan 2011
Nasional 2008
Nasional 2011
NAD 2008
NAD 2011
Sumatera Utara 2008
Sumatera Utara 2011
Sumatera Barat 2008
Sumatera Barat 2011
Riau 2008
Riau 2011
Kep. Riau 2008
Kep. Riau 2011
Kep. Babel 2008
Kep. Babel 2011
Lampung 2008
Lampung 2011
Bengkulu 2008
Bengkulu 2011
Sumatera Selatan 2008
Sumatera Selatan 2011
Jambi 2008
Jambi 2011
DKI Jakarta 2008
DKI Jakarta 2011
Jawa Barat 2008
Jawa Barat 2011
Jawa Tengah 2008
Jawa Tengah 2011
DI Yogyakarta 2008
DI Yogyakarta 2011
Jawa Timur 2008
Jawa Timur 2011
Banten 2008
Banten 2011
Bali 2008
Bali 2011
Nasional 2008
Nasional 2011
NTB 2008
NTB 2011
NTT 2008
NTT 2011
Kalimantan Tengah 2008
Kalimantan Barat 2011
Kalimantan Tengah 2008
Kalimantan Tengah 2011
Kalimantan Selatan 2008
Kalimantan Selatan 2011
Kalimantan Timur 2008
Kalimantan Timur 2011
Sulawesi Utara 2008
Sulawesi Utara 2011
Sulawesi Tengah 2008
Sulawesi Tengah 2011
Sulawesi Selatan 2008
Sulawesi Selatan 2011
Sulawesi Tenggara 2008
Sulawesi Tenggara 2011
Sulawesi Barat 2008
Sulawesi Barat 2011
Gorontalo 2008
Gorontalo 2011
Maluku 2008
Maluku 2011
Maluku Utara 2008
Maluku Utara 2011
Papua 2008
Papua 2011
Papua Barat 2008
Papua Barat 2011
0%
20%
40%
Formal
60%
80% 100%
Informal
62
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
0%
20%
40%
Formal
60%
80% 100%
Informal
2008
2009
2010
2011
117
87
19
79
19
119
82
34
92
42
127
100
38
98
47
131
104
51
113
68
Tabel 3.15
Persentase Perubahan UMP Dibandingkan Dengan Laju Inflasi di Provinsi Unggulan Industri
Tahun 2000 2012
Tahun
Jawa
Timur
DKI
Jakarta
Jawa
Barat
Banten
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
22,57
2,56
11,36
11,84
13,14
9,68
14,71
15,00
11,48
14,0
10,5
11.90
23,81
49,04
38,71
6,81
6,33
6,00
15,07
-0,37
19,18
10,0
4,5
15.38
18.53
10,26
6,52
14,60
13,97
14,53
11,39
9,65
0,00
26,93
10,6
6,9
9.01
10,15
6,52
46,94
31,94
8,42
13,59
13,10
0,00
26,51
9,6
4,1
4.68
4.20
Jawa
Tengah
20,92
32,43
28,37
8,24
7,23
6,85
15,38
11,11
9,40
5,1
14,8
2.27
DIY
Sumatera
Utara
Sulawesi
Selatan
Laju inflasi
tahun
sebelumnya
49,62
22,11
35,47
11,89
1,39
9,59
15,00
0,00
27,39
19,5
6,5
8.36
10.48
20,95
33,86
36,47
8,84
6,34
11,73
22,97
3,15
8,04
10,1
6,6
7.31
15.89
35,14
50,00
25,00
10,67
9,64
12,09
20,00
10,00
10,00
22,2
10,5
10.00
9.09
2,01
9,35
12,55
10,03
5,06
6,40
17,11
6,60
6,59
11,06
2,78
6.96
3.79
Pergerakan upah di Indonesia, lebih banyak ditentukan oleh aspek kenaikan tingkat harga
dibandingkan dengan kenaikan produktivitas. Produktivitas belum menjadi determinan utama
dalam penentuan upah. Sebaiknya, komponen penentuan Upah Minimum Regional (UMR)
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
63
tidak hanya melihat pada sisi kenaikan inflasi saja, tetapi perlu diimbangi dengan aspek
produktivitas dan pencapaian target pekerjaan. Berikut digambarkan persentase perubahan
UMP dibandingkan dengan laju inflasi di provinsi unggulan industri.
Gambar 3.41
UMP Wilayah Sumatera
Gambar 3.42
UMP Wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara
NAD
DKI Jakarta
Sumatera Utara
Jawa Barat
Sumatera Barat
Jawa Tengah
Riau
Di Yogyakarta
Kep. Riau
Jawa Timur
Banten
Lampung
Bengkulu
Bali
Sumatera Selatan
Jambi
0,0
2010
2011
0,5
1,0
1,5
0,0
2010
Juta Rupiah
2012
Sumber: BPS
2011
1,0
2012
2,0
Juta Rupiah
Sumber: BPS
Gambar 3.43
UMP Wilayah Kalimantan dan Sulawesi
Gambar 3.44
UMP Wilayah Gorontalo-Maluku-Papua
Kalimantan Barat
Gorontalo
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Maluku
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Maluku Utara
Sulawesi Tengah
Papua
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Sulawesi Barat
0,0
2010
2011
0,5
2012
1,0
1,5
Juta Rupiah
Sumber: BPS
0,0
0,5
2010
2011
1,0
2012
1,5
2,0
Juta Rupiah
Sumber: BPS
Tiap-tiap daerah memiliki tingkat upah yang tidak sama, seperti Banten dan Jawa Tengah,
dimana upah di Provinsi Banten lebih tinggi. Perbedaan tingkat upah yang cukup besar antara
Banten dan Jawa Tengah dalam jangka menengah dan panjang akan merugikan posisi Banten.
Terdapat indikasi adanya relokasi industri ke Provinsi Jawa Tengah, terutama industri yang
tergolong padat tenaga kerja. Perbedaan rata-rata upah yang cukup besar juga dialami oleh
64
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
usaha mikro dan kecil dengan usaha menengah dan besar, sebagaimana digambarkan
sebelumnya. Menjadi tantangan ke depan adalah mengupayakan agar upah minimum
meningkat sebesar peningkatan inflasi dan mendorong upah individu melalui hasil negosiasi
antara serikat pekerja dan pengusaha. Berikut gambaran upah minimum provinsi yang
dikelompokkan ke dalam 4 bagian, tahun 2010, 2011 dan 2012.
Persen (%)
8
6
4
2
0
-2
-4
2006
2007
2008
2009
2010
2011
PERTANIAN
5,37
-2,79
6,24
5,07
3,47
4,20
INDUSTRI
3,64
0,78
1,35
0,05
0,29
0,09
6,31
4,54
-2,15
1,44
1,60
0,70
Perekonomian nasional akan berkembang lebih tinggi untuk memastikan bahwa penduduk
yang lebih berpendidikan dan berketerampilan memiliki akses ke pekerjaan yang baik dan
lebih produktif. Pada saat yang bersamaan terdapat keperluan untuk memastikan bahwa
65
pekerja selain mempunyai pendidikan yang lebih tinggi juga memperoleh pelatihan yang lebih
baik. Secara nasional, sekitar 3 persen di antaranya merupakan profesional dengan tingkat
pendidikan sarjana, sedangkan sekitar 5 persen di antaranya semi-skilled worker
berpendidikan diploma dan kejuruan.
Gambar 3.46
Produktivitas per Tenaga Kerja Tahun 2005 dan 2010
(Menurut Harga Konstan 2000)
100,00
90,00
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
INDONESIA
PDRB/TK 2005
PDRB/TK 2010
Proporsi tertinggi untuk pekerja dengan pendidikan SD/SMP terdapat di Provinsi NTT,
Kalimantan Barat dan Jateng. Sebaliknya, Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Kepulauan
Riau memiliki proporsi pekerja berpendidikan Universitas yang paling tinggi dibandingkan
dengan Provinsi lainnya.
Sementara itu, di seluruh provinsi di Indonesia mayoritas tenaga kerjanya merupakan semiskilled, dengan persentase lulusan SMP dan SMU yang relatif besar. Oleh sebab itu, peran
pemerintah menjadi sangat penting untuk memacu produktivitas pekerja baik secara
langsung yaitu menciptakan lingkungan kebijakan yang kondusif serta tidak langsung yaitu
meningkatkan kualitas dan keterampilan angkatan kerja.
66
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Gambar 3.47
Persentase Pekerja Menurut Tingkat
Pendidikan Tahun 2011
Papua
Papua Barat
Maluku Utara
Maluku
Sulawesi Barat
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bali
Banten
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
NAD
Papua
Papua Barat
Maluku Utara
Maluku
Sulawesi Barat
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bali
Banten
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
NAD
0%
SMP
Gambar 3.48
Persentase Pekerja Profesional/Semi Skill
Terhadap Jumlah Pekerja Tahun 2011
SMU
20%
SMK
40%
60%
Diploma
80% 100%
Universitas
Profesional
10
20
30
40
50
60
Semi Skill
67
Uraian berikut ini menggambarkan peta kondisi birokrasi di daerah ditinjau dari beberapa
indikator, yakni: (1) Kualitas SDM Aparatur, khususnya dilihat dari aspek tingkat pendidikan,
diharapkan dapat mencerminkan kualifikasi, kompetensi dan profesionalisme, (2) Penerapan
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) atau e-procurement, sebagai salah satu indikator
pelayanan dan transparansi dalam pengelolaan keuangan dilihat dari proses pengadaan
barang dan jasa, (3) Pencapaian opini BPK atas audit LKPD, yang mencerminkan kualitas
pengelolaan keuangan daerah secara tertib dan upaya menuju terwujudnya birokrasi yang
bersih, (4) Implementasi SAKIP, sebagai gambaran perkembangan akuntabilitas kinerja
birokrasi dan (5) Perkembangan politik Indonesia, yang digambarkan melalui Indeks
Demokrasi Indonesia serta angka pemilih dan angka partisipasi pemilih.
0%
SD-SMA
D1-D3
68
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
S1/D4-S3
Melihat dari komposisi data tersebut terlihat bahwa PNS yang berpendidikan SLTA kebawah
masih menempati persentase yang tertinggi yaitu 37,68 persen dari jumlah PNS, sedangkan
PNS dengan tingkat pendidikan Diploma (1-3) sebesar 26,23 persen dan PNS dengan
pendidikan setara Sarjana ke atas sebesar 36.09 persen. Dilihat komposisi PNS yang
berpendidikan SLTA ke bawah berdasarkan provinsi, dapat diinformasikan bahwa terdapat
beberapa provinsi yang memiliki PNS berpendidikan SLTA ke bawah diatas 40 persen, yakni
Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua, Provinsi Maluku, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi
Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan
provinsi yang memiliki PNS dengan pendidikan setara S1 ke atas dengan persentase di atas 40
persen, antara lain Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Utara,
Provinsi Jawa Timur, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Bengkulu dan
Provinsi Sumatera Barat.
Daerah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Prov. NAD
Prov. Bali
Prov. Bangka Belitung
Prov. Banten
Prov. Bengkulu
Prov. D. I. Yogyakarta
Prov. DKI Jakarta
Prov. Gorontalo
Prov. Jambi
Prov. Jawa Barat
Prov. Jawa Tengah
Prov. Jawa Timur
Prov. Kalbar
Prov. Kalsel
Prov. Kalteng
Prov. Kaltim
Prov. Kepulauan Riau
Status LPSE
Provinsi Kab/Kota(%)
sudah
43,4
sudah
66,7
sudah
100,0
sudah
100,0
sudah
80,0
sudah
100,0
sudah
0,0
sudah
50,0
sudah
90,9
sudah
73,1
sudah
97,1
sudah
92,1
sudah
78,6
sudah
100,0
sudah
85,7
sudah
92,9
sudah
100,0
No
Daerah
18
Prov. Lampung
19
Prov. Maluku
20
Prov. Maluku Utara
21
Prov. NTB
22
Prov. NTT
23
Prov. Papua
24
Prov. Papua Barat
25
Prov. Riau
26
Prov. Sulbar
27
Prov. Sulsel
28
Prov. Sulteng
29
Prov. Sultra
30
Prov. Sulut
31
Prov. Sumbar
32
Prov. Sumsel
33
Prov. Sumut
Total (Rata-rata)
Status LPSE
Provinsi Kab/Kota(%)
sudah
60,0
sudah
0,0
sudah
33,3
sudah
60,0
sudah
14,3
sudah
3,5
belum
9,1
sudah
91,7
sudah
60,0
sudah
41,7
sudah
63,6
sudah
41,7
sudah
57,1
sudah
95,0
sudah
86,7
sudah
35,3
97
62,8
69
Perkembangan pembentukan LPSE di daerah memperlihatkan hasil yang cukup baik. Hingga
April 2012, hampir seluruh provinsi di Indonesia telah memiliki LPSE. Dari 33 provinsi yang
ada, 32 provinsi (97 persen) telah memiliki LPSE. Hanya 1 provinsi yang belum memiliki LPSE,
yaitu Provinsi Papua Barat. Sedangkan untuk pengimplementasian e-Procurement dalam
proses lelang (operasional lelang), dari 33 provinsi, 31 provinsi (94 persen) telah
mengimplementasikan e-procurement dalam proses lelang (operasional lelang), terdapat 2
provinsi yang belum mengimplementasikan, yaitu provinsi Papua Barat dan Maluku Utara.
Sementara itu, untuk kabupaten/kota, sebagian besar telah memiliki LPSE. Dari 497
kabupaten/kota yang ada di Indonesia, sebanyak 312 kabupaten/kota (62,78 persen) telah
memiliki LPSE. Namun, perkembangan pembentukan LPSE tersebut belum sejalan dengan
pengimplementasian e-Procurement dalam proses lelang (operasional lelang). Dari total 497
kabupaten/kota, hanya 223 kabupaten/kota (44,87 persen) yang telah mengimplementasikan
e-Procurement dalam proses lelang (operasional lelang).
Hingga saat ini, baru 2 provinsi yaitu Provinsi Kep. Bangka Belitung dan DI Yogyakarta yang
seluruh kabupaten/kotanya telah memiliki LPSE dan mengimplementasikan e-Procurement
dalam proses lelang (operasional lelang). Sementara itu, terdapat 2 provinsi yaitu Provinsi DKI
Jakarta dan Provinsi Maluku yang seluruh kabupaten/kotanya belum memiliki LPSE dan belum
mengimplementasikan e-Procurement dalam proses lelang (operasional lelang).
Tabel 3.17
Peta Sebaran Daerah Yang Sudah Menerapkan E-Proc Tahun 2012
No
Daerah
Status E-PROC
Provinsi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Prov. NAD
Prov. Bali
Prov. Bangka Belitung
Prov. Banten
Prov. Bengkulu
Prov. D. I. Yogyakarta
Prov. DKI Jakarta
Prov. Gorontalo
Prov. Jambi
Prov. Jawa Barat
Prov. Jawa Tengah
Prov. Jawa Timur
Prov. Kalbar
Prov. Kalsel
Prov. Kalteng
Prov. Kaltim
Prov. Kepulauan Riau
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
No
Kab/Kota(%)
17,4
44,4
100,0
75,0
40,0
100,0
0,0
16,7
45,5
92,3
82,9
63,2
50,0
84,6
21,4
57,1
85,7
70
Daerah
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Status E-PROC
Provinsi
18 Prov. Lampung
19 Prov. Maluku
20 Prov. Maluku Utara
21 Prov. NTB
22 Prov. NTT
23 Prov, Papua
24 Prov. Papua Barat
25 Prov. Riau
26 Prov. Sulbar
27 Prov. Sulsel
28 Prov. Sulteng
29 Prov. Sultra
30 Prov. Sulut
31 Prov. Sumbar
32 Prov. Sumsel
33 Prov. Sumut
Total (Rata-rata)
sudah
sudah
belum
sudah
sudah
sudah
belum
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
sudah
94%
Kab/Kota(%)
42,9
0,0
33,3
50,0
9,5
3,5
0,0
58,3
60,0
25,0
36,4
0,0
21,4
95,0
53,3
5,9
44,9%
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Gambar 3.50
Peta Kepatuhan Penyampaian LKPD Tahun 2010
Jumlah Kab/Kota
Jumlah LKPD
71
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II tahun 2011 yang diterbitkan BPK
pada bulan maret 2012, mayoritas pemerintah daerah telah menyerahkan laporan keuangan
pemerintah daerah. Untuk level provinsi, 33 pemerintah daerah telah menyampaikan laporan
keuangannya. Hanya saja, untuk level kabupaten/kota terdapat 4 (empat) kabupaten yang
dikarenakan statusnya sebagai daerah otonom baru sehingga belum berkewajiban menyusun
dan menyampaikan laporan keuangan. Keempat daerah tersebut berada di Provinsi Papua,
yakni Kabupaten Deiyai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Mamberamo Tengah dan
Kabupaten Puncak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh daerah telah memiliki
kepatuhan yang tinggi untuk menyusun dan menyampaikan laporan keuangan setiap
tahunnya. Adapun rekapitulasi capaian opini atas LKPD secara rinci diilustrasikan sebagaimana
gambar di bawah ini.
Gambar 3.51
Pencapaian Opini BPK Atas Laporan Keuangan Pemda Tahun 2012
1
35
30
WTP
WDP
TMP
Papua
7
5
Papua Barat
10 9
Maluku
Maluku Utara
5
1
Gorontalo
10
Sulawesi Barat
2
1
Sulawesi Selatan
19
2 18
Sulawesi Tenggara
13 3
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Kalimantan Timur
13
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
14 2
1
2
Bali
2
4
Banten
4
1
Jawa Timur
7
Jawa Barat
Jawa Tengah
Kep. Riau
DI Yogyakarta
1
3
26
DKI Jakarta
Lampung
11 12
15
Bengkulu
NAD
1
Sumatera Utara
11
5
18
Sumatera Selatan
10
5
17 2
33
Riau
15
32
2
Jambi
20
1
11
Sumatera Barat
25
TW
72
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Setiap tahun, melalui koordinasi Kementerian PAN dan RB, dilakukan Evaluasi Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah, atas penyelenggaraan manajemen kinerja pada birokrasi
pemerintah, pada seluruh instansi pemerintah pusat (Kementerian/Lembaga) dan pemerintah
daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Evaluasi ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi
kelemahan dalam penerapan sistem akuntabilitas kinerja di lingkungan instansi pemerintah
(SAKIP), (2) memberikan rekomendasi untuk peningkatan dan penguatan akuntabilitas
instansi pemerintah dan (3) menyusun peringkat hasil evaluasi guna kepentingan penetapan
kebijakan di bidang pendayagunaan aparatur Negara. Adapun kategorisasi penilaian
sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 3.18.
Tabel 3.18
Pengkategorian Penilaian Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
No
Predikat
Nilai
Absolut
Interpretasi
Karakteristik Instansi
1.
AA
>85-100
Memuaskan
2.
>75-85
Sangat Baik
3.
>65-75
4.
CC
>50-65
5.
>30-50
6.
0-30
memiliki
sistem
Berdasarkan hasil evaluasi akuntabilitas kinerja tahun 2011, sebanyak 32 dari 33 provinsi
telah menyampaikan laporan. Dari jumlah itu hanya 30 provinsi yang dievaluasi dikarenakan 2
provinsi lain terlambat dalam menyampaikan laporan. Sedangkan untuk level
kabupaten/kota, sebanyak 422 dari 497 kabupaten/kota telah menyampaikan laporan dan
dari jumlah itu hanya 180 kabupaten/kota yang dinilai. Penilaian diprioritaskan bagi daerahdaerah yang pada tahun sebelumnya belum dinilai. Adapun rincian skor LAKIP untuk masingmasing provinsi sebagaimana Tabel 3.19.
73
Tabel 3.19
Pencapaian Skor LAKIP di Level Provinsi Tahun 2011
No
Provinsi
Predikat
No
1
Jateng
B
11
2
Kaltim
B
12
3
Bali
CC
13
4
DIY
CC
14
5
DKI Jakarta
CC
15
6
Jabar
CC
16
7
Jatim
CC
17
8
Kalbar
CC
18
9
Kalsel
CC
19
10
Kep. Riau
CC
20
Sumber: Kementerian PAN & RB, 2012
Provinsi
Maluku
NTB
NTT
Riau
Sulteng
Sulut
Sulbar
Sulsel
Sumut
NAD
Predikat
No
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
C
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Provinsi
Predikat
Banten
Bengkulu
Gorontalo
Jambi
Kalteng
Kep. Babel
Lampung
Papua
Sulbar
Sulsel
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
90,00
82,53
80,00
70,00
67,30
62,72
63,17
63,11
54,60
60,00
47,87
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
IDI
Kebebasan Sipil
2009
Hak Politik
Lembaga Demokrasi
2010
Pada tahun 2009 tingkat kinerja demokrasi rata-rata provinsi di Indonesia mencapai 67,30
atau kategori sedang (Indeks 60<80). Namun terjadi penurunan menjadi 63,7 pada tahun
2010. Penurunan ini disebabkan turunnya Indeks Kebebasan Sipil dari 86,97 pada tahun 2009
74
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
menjadi 82,53 atau kategori tinggi (Indeks >80) pada tahun 2010; dan menurunnya Indeks
Hak-hak Politik dari 54,60 atau kategori rendah (Indeks <60) pada tahun 2009 menjadi 47,87
di tahun 2010. Berbeda dengan kedua Indeks Kebebasan Sipil dan Hak-hak Politik, Indeks
Lembaga Demokrasi mengalami kenaikan dari 62,72 tahun 2009 menjadi 63,11 (kategori
sedang) pada tahun 2010. Turunnya angka Indeks rata-rata seluruh provinsi Indonesa pada
tahun 2010 dikontribusi oleh menaiknya jumlah aksi atau tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh aparat terhadap masyarakat dan antar kelompok masyarakat.
Berdasarkan IDI tahun 2010, sebanyak 6 provinsi memiliki indeks dengan kategori rendah
(indeks < 60) dan sebanyak 27 provinsi termasuk ke dalam kategori sedang (60< indeks <80).
Tidak ada satu pun provinsi di Indonesia memiliki indeks dengan kategori tinggi (indeks > 80).
Gambar 3.53
Indeks Demokrasi Indonesia Berdasarkan Provinsi Tahun 2010
63,17
NASIONAL
65,36
63,45
63,04
71,45
65,88
73,65
70,78
67,80
65,94
62,89
77,44
59,41
63,42
74,33
55,12
60,60
72,44
58,13
72,05
69,32
71,10
70,94
73,04
65,94
66,63
56,67
54,79
64,97
67,57
69,51
59,92
67,75
60,26
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
IDI
Kebebasan Sipil
Hak Politik
Lembaga Demokrasi
75
Pada aspek lembaga demokrasi, sebanyak 3 provinsi (9 persen) memiliki indeks kategori
tinggi, 24 provinsi (73 persen) memiliki indeks dengan kategori sedang dan 6 provinsi (9
persen) termasuk dalam kategori rendah. Pada aspek hak-hak politik, hanya 4 provinsi
memiliki indeks sedang dan sisanya 29 provinsi termasuk kedalam kategori rendah. Berbeda
dengan kedua aspek lainnya, aspek kebebasan sipil telah berkembang pesat di seluruh
provinsi di Indonesia, yang dapat mencapai rata-rata 82,53 atau kategori tinggi. Untuk
kebebasan sipil ini, sebanyak 25 provinsi berada pada peringkat tinggi, 7 provinsi termasuk
kategori sedang dan 1 provinsi yang mendapatkan indeks rendah. Dengan tingginya Indeks
Kebebasan Sipil dan rendahnya Indeks Hak-hak Politik dan Lembaga Demokrasi menunjukkan
adanya kesenjangan antara tuntutan masyarakat dan pelayanan yang dapat diberikan oleh
penyelenggara pemerintahan daerah. Kesenjangan ini harus direspon dan diatasi agar tidak
menimbulkan ketidakpuasan masyarakat lebih lanjut dan dapat memicu timbulnya aksi
kekerasan.
Gambar 3.54
Indeks Demokrasi Indonesia Berdasarkan Kepulauan Tahun 2010
100,00
90,00
84,29
82,53
80,00
70,00
60,00
50,00
63,17
63,11
47,87
67,02
84,10
65,85
54,09
65,05
68,73
67,54
70,59
51,30
47,66
94,84
89,80
85,62
71,10
85,71
70,06
66,41
56,95
67,05
64,36
66,73
50,73
38,74
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
NASIONAL
Sumatera
IDI
Jawa
Kebebasan Sipil
Bali-NTB-NTT
Hak Politik
Kalimantan
Sulawesi
Maluku-Papua
Lembaga Demokrasi
76
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
0,3
1,2
0,4
0,6
0,4
0,9
0,4
3,3
1,0
1,0
1,4
1,4
0,9
1,8
1,6
1,8
1,6
3,8
17,2
1,6
15,3
16,9
5,0
0,5
3,1
0,7
3,0
1,2
0,7
2,0
1,8
5,4
1,8
0
Kab/kota
10
20
30
40
50
60
70
80
77
Pada Pemilu legislatif, persentasi jumlah pemilih di Jawa tidak jauh berbeda, yaitu 60,7
persen. Dua puluh tujuh (27) provinsi lain dengan 75,1 persen jumlah kabupaten/kota di
Indonesia memiliki persentasi jumlah pemilih sebanyak 40,2 persen pada Pemilu
Presiden/Wapres dan 39,3 persen pada Pemilu Legislatif. Persentasi jumlah kabupaten/kota
dan jumlah pemilih pada masing-masing provinsi pada Pemilu Anggota Legislatif dan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden disajikan dalam Gambar 3.55.
Tingkat partisipasi politik pada pemilu legislatif tahun 2009 rata-rata seluruh Indonesia
mencapai 70,9 persen, lebih rendah dari pemilu tahun 2004 yang mencapai 77,4 persen.
Sedangkan untuk Pemilu Presiden 2009 tingkat partisipasinya mencapai 72,6 persen, juga
lebih rendah dari pemilu tahun 2004 yang mencapai 84,1 persen. Dibandingkan pelaksanaan
tahun 2004 dan 2009, tingkat partisipasi politik pada pemilu 2009 cenderung mengalami
penurunan. Agar tidak terjadi penurunan lebih lanjut pada Pemilu 2014 mendatang, upaya
keras harus dilakukan melalui pendidikan politik dengan metode yang tepat sasaran.
Gambar 3.56
Tingkat Partisipasi Politik dalam Pemilu Tahun 1971 2009
94,0%
1971
90,6%
1977
91,2%
1982
91,3%
90,9%
1987
1992
88,9%
1997
93,3%
84,1%
77,4% 71,0%
1999
2004
72,6%
2009
Tingkat partisipasi pemilih tertinggi dalam Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD diperoleh
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan terendah diperoleh provinsi DKI Jakarta. Sedangkan
pada Pemilu Presiden/Wapres, Provinsi Papua mencapai tingkat partisipasi pemilih tertinggi
yaitu 85 persen dan Provinsi Kepulauan Riau yang mencapai 61 persen.
78
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Gambar 3.57
Tingkat Partisipasi Politik Pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden Tahun 2009
Papua Barat
81
Papua
Maluku Utara
Maluku
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bali
Banten
Jawa Timur
D.I. Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kep. Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Kepulauan Riau
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
NAD
90
80
81
83
75
78
73
78
79
67
71
69
73
81
75
77
72
68
73
71
73
51
70
74
75
77
75
60
68
70
66
75
0
20
40
60
80
100
Berdasarkan wilayah, tingkat partisipasi Pilpres 2009 di Maluku dan Papua adalah sebesar 80
persen, lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat partisipasi di Sumatera 70,0 persen, Jawa
72,0 persen, Bali, NTB dan NTT 76,0 persen, Kalimantan 70,0 persen dan Sulawesi 75,0
persen. Tingkat partisipasi ini dihitung dari pemilih di DPT yang menggunakan hak pilih.
Sedangkan, persentasi jumlah pemilih di DPT yang tidak menggunakan hak pilihnya di
Sumatera adalah tertinggi sebesar 30,0 persen dan di Maluku dan Papua mencapai 20,0
persen lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
79
Gambar 3.58
Tingkat Partisipasi Pemilih Pada Pilpres di Berbagai Wilayah Tahun 2009
30.000.000
80.000.000
Sumatera
25.000.000
60.000.000
20.000.000
15.000.000
50.000.000
70,0%
40.000.000
30.000.000
10.000.000
7.000.000
8.000.000
6.000.000
Kalimantan
7.000.000
6.000.000
5.000.000
5.000.000
4.000.000
4.000.000
76,0%
3.000.000
2.000.000
70,0%
2.000.000
24,0%
1.000.000
30,0%
1.000.000
0
Pemilih di DPT yang Pemilih di DPT yang Tidak
Menggunakan Hak Pilih Menggunakan Hak Pilih
Sulawesi
4.000.000
Maluku - Papua
3.500.000
3.000.000
2.500.000
75,0%
2.000.000
80,0%
1.500.000
25,0%
1.000.000
500.000
80
28,0%
10.000.000
10.000.000
9.000.000
8.000.000
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
1.000.000
0
72,0%
20.000.000
30,0%
5.000.000
3.000.000
Jawa
70.000.000
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
20,0%
0
Pemilih di DPT yang Pemilih di DPT yang Tidak
Menggunakan Hak Pilih Menggunakan Hak Pilih
75,6
Papua Barat
84,7
Papua
84,0
Maluku Utara
83,0
Maluku
83,3
83,1
79,9
Bali
76,7
Sulawesi Barat
77,0
Gorontalo
82,4
Sulawesi Tenggara
83,6
Sulawesi Selatan
76,0
Sulawesi Tengah
81,7
Sulawesi Utara
82,0
Kalimantan Timur
70,2
Kaliamantan Selatan
71,4
Kalimantan Tengah
71,5
Kalimantan Barat
74,8
Banten
67,3
Jawa Timur
70,7
DI. Yogyakarta
73,9
Jawa Tengah
68,7
Jawa Barat
69,8
Kepualauan Riau
56,5
81,9
Bengkulu
72,3
Lampung
71,7
Sumatera Selatan
75,7
Jambi
75,1
Riau
68,3
Sumatera Barat
71,6
Sumatera Utara
69,5
NAD
79,7
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
81
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Bali-NT
Papua-Kep.Maluku
Total
Jumlah Proyek
Nilai Investasi
Total
Infrastruktur
Sektor Riil
Infrastruktur
(Rp. Miliar)
Sektor Riil
(Rp. Miliar)
Proyek
Investasi
(Rp. Miliar)
17
8
3
1
6
3
38
2
8
12
26
1
7
56
35.429
64.674
1.586
3.000
36.065
1.011
141.765
62.505
71.397
14.644
142.267
829
66.120
357.762
19
16
15
27
7
10
94
97.934
136.071
16.230
145.267
36.894
67.131
499.527
Proyek MP3EI tersebut tersebar di 6 (enam) koridor ekonomi yang terdiri dari investasi untuk
proyek sektor riil senilai Rp.357,8 triliun (56 proyek) dan pembangunan infrastruktur Rp.141,7
triliun (38 proyek). Proyek-proyek tersebut akan dibiayai oleh Pemerintah dengan nilai
investasi sebesar Rp.71,6 triliun (24 proyek), BUMN sebesar Rp.131 triliun (24 proyek), swasta
sebesar Rp.168,6 triliun (38 proyek) dan melalui Kerjasama Pemerintah Swasta/KPS sebesar
Rp.128,3 triliun (8 proyek).
Pada tahun 2012, MP3EI melalui KP3EI juga telah merencanakan untuk melakukan
groundbreaking terhadap 84 proyek yang terdiri dari investasi sektor riil dan pembangunan
infrastruktur dengan nilai total Rp.536,3 triliun. Adapun proyek-proyek tersebut akan dibiayai
oleh Pemerintah sebesar Rp.66,2 triliun (15 proyek), BUMN sebesar Rp.90,3 triliun (20
proyek), swasta sebesar Rp.301,6 triliun (38 proyek) dan campuran sebesar Rp.78,2 triliun (11
proyek).
82
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Dalam rangka penguatan SDM dan IPTEK, pada tahun 2012 telah direncanakan program
penguatan SDM sebanyak 76 program dengan nilai total investasi Rp.580 miliar. Sedangkan
untuk program pengembangan IPTEK, direncanakan untuk melaksanakan 134 program
dengan nilai total investasi Rp.3,8 triliun. Selengkapnya jumlah dan nilai program bidang SDM
IPTEK di setiap koridor ekonomi terdapat dalam Gambar 3.60 dan Gambar 3.61.
Gambar 3.60
Jumlah dan Nilai Program Bidang SDM di setiap Koridor Ekonomi Tahun 2012
100
700
90
76
70
16
6
11
60
50
15
23
40
30
22
45
20
10
47
600
80
91
500
218
116
400
300
22
579
31
272
170
200
191
100
0
Community College
Politeknik
Universitas
Community College
Politeknik
Universitas
Gambar 3.61
Jumlah dan Nilai Program Bidang IPTEK di setiap Koridor Ekonomi
180
22
140
11
120
15
100
65
12
54
80
60
40
134
35
5000
160
4500
34
320
3500
315
1449
295
3000
1832
2500
2000
1330
1500
1000
20
20
572 3832
4000
498
1053
500
0
Litbang
Centre of Exellence
Fasilitas Riset
Litbang
Centre of Exellence
Fasilitas Riset
83
Selain pembangunan infrastruktur dan penguatan SDM dan IPTEK, Pemerintah juga akan
terus melakukan sejumlah perbaikan iklim investasi, antara lain melalui debottlenecking
regulasi (deregulasi) terhadap peraturan yang dinilai menjadi penghambat bagi pelaksanaan
investasi. Sampai April 2012, Pemerintah telah selesai melakukan revisi terhadap 31 regulasi
dan sedang menyelesaikan 16 regulasi lainnya (lihat Tabel 3.21). Upaya-upaya
debottlenecking di atas tentunya tidak akan berhasil tanpa ada dukungan dari pemerintah
daerah terutama untuk melakukan upaya debottlenecking guna memperbaiki iklim investasi
di daerah masing-masing. Hal ini juga terkait untuk memastikan penetapan peraturanperaturan daerah yang dapat mendukung terciptanya iklim investasi dan kepastian berusaha.
Tabel 3.21
Status Penyempurnaan Regulasi (per April 2012)
No.
Jenis Regulasi
Undang-Undang (UU)
Peraturan Pemerintah
(PP)
3
Peraturan Presiden
(Perpres)
4
Keputusan Presiden
(Keppres)
5
Instruksi Presiden
(Inpres)
6
Peraturan
Menteri/Kepala
TOTAL
Sumber: Sekretariat KP3EI
Telah
Diperbaiki
1
6
14
1
1
8
31
Jenis Regulasi
Rancangan UndangUndang (RUU)
Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP)
Rancangan Peraturan
Presiden (RPerpres)
Rancangan Keputusan
Presiden (RKeppres)
Rancangan Instruksi
Presiden (RInpres)
Rancangan Peraturan
Menteri/Kepala
TOTAL
Sedang
Diperbaiki
2
Akan Diperbaiki
84
21.579,18
15.680,41
5.700,29
198,49
18.390,52
10.383,06
660,00
5.373,02
1.974,44
11.443,01
11.443,01
1.040,00
1.040,00
Alokasi
(Pagu Indikatif)
18.428,54
13.091,27
5.157,29
179,99
14.310,76
7.130,77
454,47
4.930,98
1.794,54
6.819,90
6.819,90
5,00
5,00
51,00
52.503,71
51,00
39.615,20
Kebutuhan
Tambahan
3.215,89
2.589,14
543,00
18,50
4.079,76
3.252,29
205,53
442,04
179,90
4.623,11
4.623,11
1.035,00*
1.035,00*
12.953,76
Sumber
: Sekretariat Timja Konektivitas, 2012
Keterangan (*) : Kebutuhan tambahan akan dipenuhi dari ICT Fund.
Gambar 3.62
Rekapitulasi Alokasi Indikatif Kegiatan Konektivitas Tahun 2013
Menurut Kementerian/Lembaga (Miliar Rupiah)
Kementerian
Kominfo
5,00
Kementerian
ESDM
6.819,90
Kementerian
Perdagangan
51.00
Kementerian
Perhubungan
14.310,76
Kementerian PU
18.428,54
85
Untuk penguatan konektivitas di setiap koridor ekonomi, Pemerintah melalui Tim Kerja
Konektivitas telah menetapkan kebijakan untuk pengalokasian MP3EI dalam RKP 2013, yaitu:
Koridor Ekonomi Sumatera
a.
b.
c.
d.
Penanganan moda transportasi kereta api wilayah utara Jawa antara lain dengan
pembangunan jalur ganda lintas utara Jawa dan jalur ganda di Wilayah Jabodetabek;
Pengembangan beberapa pelabuhan, antara lain pengembangan pelabuhan di Pulau
Madura, Pelabuhan Pamanukan dan Perluasan pelabuhan Tanjung Mas;
Memperkuat dan meningkatkan kualitas jalan lintas utara Jawa dengan bagian
selatan Jawa.
86
b.
c.
Penguatan konektivitas dan sistem logistik di Nusa Tenggara Timur dilakukan dengan
mengembangkan kapasitas pelabuhan peti kemas Tenau serta pelabuhan rakyat
Nomainsain;
Memperkuat pengembangan Wilayah Bali sebagai pusat pariwisata Internasional.
Peningkatan kapasitas pelabuhan yang dapat mengurangi beban jalan dan meningkatkan
efisiensi distribusi komoditas di Wilayah Papua akan menjadi lebih efektif (short-sea shipping).
87
Gambar 3.63
Komposisi Pendapatan Daerah Tahun 2007 2011
Persen
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2007
2008
2009
2010
2011
PAD
16,8
17,8
17,8
18,6
19,7
Daper
78,6
76,0
74,4
75,7
71,2
Lain2
4,6
6,2
7,8
5,8
9,2
Secara kewilayahan, Jawa-Bali memiliki rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total
pendapatan yang relatif tinggi dibandingkan wilayah lain, khususnya Indonesia Bagian Timur.
Semakin besar rasio PAD terhadap total pendapatan daerah menunjukkan tingkat
kemandirian daerah yang semakin tinggi. Tingginya rasio PAD/total pendapatan di Wilayah
Jawa menggambarkan kapasitas daerah yang lebih baik dalam menggali sumber pendapatan
di tingkat lokal (pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah). Hal ini sekaligus juga menggambarkan relatif
berkembangnya perekonomian daerah di Jawa dan Bali. Sebaliknya Wilayah Indonesia Bagian
Timur memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap dana transfer dari pusat.
Persen
Gambar 3.64
Rasio Pendapatan Daerah Menurut Wilayah Tahun 2011
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
PAD/Tot
Daper/Tot
Trans/Tot
Sumatera
14,4
75,3
84,0
Jawa Bali
32,9
59,2
65,6
Kalimantan
14,7
80,9
83,6
Sulawesi
12,5
80,2
86,7
NT Maluku Papua
6,3
76,9
92,4
88
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Gambar 3.65
Rasio PAD Terhadap Total Pendapatan
Kabupaten Dan Kota Se-Provinsi Tahun 2011
8,9
5,4
6,8
4,4
6,7
4,4
7,8
3,5
7,0
2,6
2,8
5,5
8,2
7,2
3,5
3,7
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
Di Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Bali
NAD
14,9
7,9
6,3
4,6
6,1
4,8
13,4
9,9
12,8
5,0
5,9
14,2
4,0
16,5
26,1
5,6
-
5,0
2011
2008
Gambar 3.66
Rasio PAD Terhadap Total Pendapatan
Provinsi Tahun 2011
71,0
45,5
54,7
35,9
34,5
27,9
62,0
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
Di Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Bali
NAD
15,9
35,1
2,9
5,7
28,5
44,4
11,1
20,1
50,2
28,7
32,8
41,0
39,0
56,8
42,2
76,9
71,2
75,0
40,8
19,3
61,4
49,3
36,8
71,1
58,3
11,2
-
20,0
40,0
2011
2008
60,0
80,0
100,0
Bila dianalisis lebih rinci berdasarkan APBD kabupaten/kota di setiap provinsi, maka
kabupaten/kota di Bali memiliki kemandirian fiskal tertinggi, sedangkan kabupaten/kota di
Papua dan Papua Barat memiliki kemandirian fiskal terendah. Hal ini berkaitan dengan
berkembangnya industri pariwisata di Bali yang memberikan sumber pendapatan asli daerah
yang cukup besar. Sementara itu untuk APBD provinsi, Jawa Timur memiliki kemandirian fiskal
tertinggi, diikuti provinsi-provinsi lain di Wilayah Jawa-Bali. Sebaliknya Provinsi Papua Barat
dan Papua memiliki ketergantungan fiskal yang sangat tinggi.
89
Persen
Gambar 3.67
Komposisi Belanja Daerah Tahun 2007 2011
50,0
45,0
40,0
35,0
30,0
25,0
20,0
15,0
10,0
5,0
0,0
2007
2008
2009
2010
2011
Pegawai
39,9
42,0
43,1
46,5
46,3
Barang/Jasa
18,9
18,8
19,3
19,2
21,0
Modal
30,0
27,7
26,3
22,5
22,9
Lain-lain
11,2
11,5
11,3
11,7
9,8
Gambar 3.68
Rasio Belanja Daerah Menurut Wilayah Tahun 2011
60
50
Persen
40
30
20
10
0
BP/Tot
BBJ/Tot
BM/Tot
Sumatera
45,5
21,1
24,2
Jawa Bali
50,6
22,0
18,3
Kalimantan
37,5
21,1
32,3
Sulawesi
52,5
18,1
22,2
NT Maluku Papua
38,4
21,5
26,6
90
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Secara kewilayahan, Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, sebaliknya Wilayah
Kalimantan memiliki porsi belanja pegawai terendah. Hal ini berkaitan dengan rasio pegawai
terhadap penduduk, di mana di Sulawesi mencapai 1,38 persen sedangkan di Kalimantan
hanya 1,26 persen. Sementara itu Wilayah Kalimantan memiliki rasio belanja modal tertinggi
di antara wilayah-wilayah lainnya. Hal ini didukung oleh besarnya pendapatan daerah yang
berasal dari dana perimbangan, khususnya Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam.
Gambar 3.69
Rasio Belanja Pegawai Kabupaten/Kota
Terhadap Total Belanja Menurut Provinsi
Tahun 2008 dan 2011
Gambar 3.70
Rasio Belanja Pegawai Provinsi Terhadap
Total Belanja Tahun 2008 dan 2011
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
Di Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Bali
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kep. Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
Di Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Bali
NAD
-
20,0
2011
40,0
2008
60,0
80,0
10,0
2011
20,0
30,0
40,0
50,0
2008
Berdasarkan analisis menurut provinsi, terlihat bahwa peningkatan rasio belanja pegawai
kabupaten/kota di hampir semua provinsi antara tahun 2008 dan 2011. Hanya di Provinsi
Kepulauan Riau dan Jawa Barat yang kabupaten/kotanya relatif tidak mengalami perubahan.
91
Pada tahun 2011 kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio
belanja pegawai tertinggi, sedangkan kabupaten/kota di Papua Barat memiliki rasio terendah.
Di tingkat provinsi, rasio belanja pegawai tertinggi dimiliki Provinsi Bengkulu dan Nusa
Tenggara Timur, sedangkan rasio terendah dimiliki Provinsi Papua Barat.
Gambar 3.71
Komposisi Belanja Kabupaten/Kota
Menurut Fungsi dan Provinsi
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
NAD
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
DI Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Kep. Bangka Belitung
Bali
Gambar 3.72
Komposisi Belanja Provinsi Menurut Fungsi
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Riau
Papua Barat
Papua
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
NAD
Maluku Utara
Maluku
Lampung
Kep. Riau
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jambi
Gorontalo
DKI Jakarta
DI Yogyakarta
Bengkulu
Banten
Kep. Bangka Belitung
Bali
20
40
60
80
100
Pendidikan
Kesehatan
Ketertiban dan
Ketentraman
Lingkungan
Hidup
Pariwisata dan
Budaya
Pelayanan
Umum
Perlindungan
Sosial
Ekonomi
Perumahan dan
Fasilitas Umum
20
40
60
80
100
Sementara itu, rasio belanja modal terhadap total belanja daerah cenderung menurun di
hampir semua provinsi bila dibandingkan antara APBD tahun 2008 dan 2011. Penurunan rasio
ini terjadi baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Hal ini perlu mendapat perhatian
bila mengingat sebagain besar jaringan jalan yang mengalami kerusakan merupakan tanggung
jawab pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Pada tahun 2011 Kabupaten/kota di Provinsi
Kalimantan Timur memiliki rasio belanja modal tertinggi, sedangkan kabupaten/kota di
Provinsi DI Yogyakarta memiliki rasio terendah. Di tingkat provinsi, pada tahun 2011 Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung memiliki rasio belanja modal tertinggi, sedangkan Jawa Tengah,
Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki rasio terendah kurang dari 10 persen.
92
Buku Pegangan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 2013
Jika belanja daerah dianalisis berdasarkan fungsi, maka secara umum alokasi belanja
pemerintah kabupaten/kota yang terbesar adalah untuk fungsi pendidikan, kemudian diikuti
alokasi fungsi pelayanan umum. Kabupaten/kota di Jawa Tengah mengalokasikan 51 persen
belanjanya untuk fungsi pendidikan yang merupakan alokasi tertinggi, sedangkan
kabupaten/kota di Papua hanya mengalokasikan sebesar 17 persen untuk fungsi pendidikan.
Namun demikian kabupaten/kota di Papua mengalokasikan 43 persen belanjanya untuk
mendukung fungsi pelayanan umum. Di tingkat provinsi, hampir semua provinsi memberi
alokasi terbesar untuk fungsi pelayanan umum, dengan porsi terbesar dialokasikan Provinsi
Papua Barat yang mencapai 73 persen. Alokasi belanja untuk mendukung fungsi ekonomi
hanya berkisar antara 5-16 persen di kabupaten/kota dengan alokasi tertinggi terjadi di
Kalimantan Tengah dan berkisar antara 7-22 persen di provinsi dengan Provinsi Gorontalo
memberikan alokasi paling tinggi.
Berdasarkan analisis pendapatan dan keuangan daerah di atas, dapat diidentifikasi daerahdaerah yang memiliki postur APBD relatif baik. Kriteria yang dipakai untuk menilai postur
APBD adalah: (1) rasio PAD terhadap total pendapatan daerah, (2) rasio belanja pegawai
terhadap total belanja dan (3) rasio belanja modal terhadap total belanja. Daerah-daerah
yang memiliki postur APBD yang baik ditandai oleh ketiga rasio tersebut yang lebih baik dari
rata-rata seluruh daerah.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menunjukkan kinerja pengelolaan terbaik antar provinsi,
yakni memiliki kondisi rasio PAD dan rasio belanja modal diatas rata-rata dan rasio belanja
pegawai di bawah rata-rata seluruh provinsi. Berikutnya adalah Provinsi Sumatera Selatan
yang memiliki rasio belanja modal di atas rata-rata, rasio belanja pegawai di bawah rata-rata,
namun memiliki rasio PAD terhadap pendapatan sedikit di bawah rata-rata.
Sementara untuk perbandingan antar kabupaten/kota se-Indonesia, dengan menggunakan
kriteria yang sama terdapat 22 kabupaten/kota yang memiliki profil lebih baik dari rata-rata.
Kabupaten Sumbawa Barat dan Halmahera Timur menunjukkan rasio yang lebih baik,
khususnya pada komponen rasio belanja modal yang sudah memiliki persentase relatif tinggi.
Tabel 3.23
Daerah Dengan Postur APBD Yang Baik
Rasio PAD
Terhadap
Pendapatan
Rasio Belanja
Pegawai
Terhadap Total
Belanja
Rasio Belanja
Modal Terhadap
Total Belanja
71
17
28
46
19
29
50
25
21
19
33
40
11
25
45
RATA-RATA KABUPATEN/KOTA
51
23
Daerah
93
BAB IV
KERANGKA
PENGUATAN
PEREKONOMIAN
DOMESTIK SERTA
PENINGKATAN
DAN PERLUASAN
KESEJAHTERAAN
RAKYAT
BAB IV
KERANGKA PENGUATAN PEREKONOMIAN DOMESTIK SERTA
PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
4.1 Pengantar Penguatan Ekonomi Domestik
Krisis utang di sejumlah negara-negara Eropa, ketegangan politik di beberapa kawasan dunia
seperti di Timur Tengah, Afrika Utara dan Semenanjung Korea, perubahan iklim dan bencana
alam, serta kecenderungan meningkatnya harga komoditas dan minyak dunia dapat
mempengaruhi stabilitas keuangan global dan pemulihan ekonomi dunia yang pada gilirannya
akan berpengaruh pada perekonomian nasional. Situasi tersebut berpotensi meningkatkan
proteksi pada banyak negara serta langkah tidak sehat untuk mempertahankan pasar
domestik dan ekspornya. Persaingan antar negara untuk memenangkan pasar perdagangan
dan investasi semakin ketat. Keseluruhan ini menuntut perekonomian domestik harus
semakin diperkuat.
Gambar 4.1
Faktor Pendukung Penguatan Ekonomi Domestik
Peningkatan
Daya Saing
Peningkatan dan
Perluasan
Kesejahteraan
Rakyat
PENGUATAN
EKONOMI
DOMESTIK
Peningkatan
Daya Tahan
Ekonomi
Pemantapan
Stabilitas Politik
Perekonomian domestik harus ditingkatkan dengan fundamental ekonomi yang tetap kokoh
dan daya saing yang lebih baik (Gambar 4.1). Momentum pertumbuhan ekonomi melalui
peningkatan daya tahan ekonomi tetap dijaga agar peningkatan kesejahteraan rakyat
terutama pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran dapat dipercepat. Upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terus dilaksanakan tanpa melalaikan persoalan
lingkungan. Pelaksanaan pembangunan tetap dilaksanakan melalui empat jalur strategi, yaitu
96
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
97
perekonomian daerah karena dapat memberikan efek ganda (multiplier effect) terhadap
perekonomian yang cukup besar.
Gambar 4.2
Kerangka Peningkatan Iklim Investasi dan Usaha dalam Rangka Peningkatan Ekonomi
Domestik
Pemerintah
Iklim investasi
dan iklim usaha
yang kondusif
Kemudahan dan
transparansi proses
perijinan di PTSP
provinsi dan
kab/kota
Investor/Pengusaha
Peningkatan iklim investasi dan iklim usaha di daerah sebaiknya difokuskan pada: (i)
penyederhanaan dan harmonisasi berbagai regulasi yang bertujuan untuk memberikan
transparansi, kepastian dan kemudahan untuk melakukan investasi dan berusaha; (ii)
penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk mempercepat dan
mempermudah proses perijinan dan non perijinan untuk berinvestasi dan mengembangkan
usaha di daerah; serta (iii) kemudahan dalam proses pembebasan dan perolehan lahan.
Regulasi yang jelas dan prosedur yang lebih sederhana akan memudahkan investor dan
pengusaha dalam melaksanakan regulasi tersebut, karena tidak akan menimbulkan salah
persepsi dan dapat mengurangi biaya ekonomi tinggi. Sementara itu, penyelenggaraan PTSP
yang baik akan memberikan kepastian berusaha, memudahkan investor dan pengusaha dalam
memproses perijinan, serta meningkatkan efisiensi proses pengurusan perijinan karena
perijinan dapat diproses dengan lebih cepat dengan biaya yang lebih transparan. Hal ini
tentunya akan berdampak pada meningkatnya kenyamanan berusaha dan berinvestasi; yang
98
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan asli daerah serta mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah.
Sistem
Logistik
Pengembangan
Wilayah
Peningkatan Konektivitas
antar wilayah
Penguatan ekonomi
domestik
Selain itu, infrastruktur mempunyai peran yang tak kalah pentingnya untuk memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa. Jaringan transportasi dan telekomunikasi dari Sabang sampai
Merauke serta Sangir Talaud ke Rote merupakan salah satu perekat utama Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sejak lama infrastruktur diyakini merupakan pemicu pembangunan suatu
99
kawasan. Dapat dikatakan disparitas kesejahteraan antar kawasan juga dapat diidentifikasi
dari kesenjangan infrastruktur yang terjadi diantaranya. Dalam konteks ini, ke depan
pendekatan pembangunan infrastruktur berbasis wilayah semakin penting untuk diperhatikan.
Pengalaman menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi berperan besar untuk membuka
isolasi wilayah. Sementara itu, ketersediaan infrastruktur pengairan merupakan prasyarat
kesuksesan pembangunan pertanian dan sektor-sektor lainnya.
Percepatan pembangunan infrastruktur memiliki empat elemen kebijakan yang terintegrasi
yaitu Sistem Logistik Nasional, Sistem Transportasi Nasional, Pengembangan Wilayah dan
Sistem Informasi dan Komunikasi dengan visi Terintegrasi secara Lokal, Terhubung Secara
Global (locally integrated, globally connected). Konektivitas nasional menghubungkan pusat
perekonomian lokal, nasional dan dunia (global) secara efektif, efisien dan terpadu.
Oleh sebab itu, percepatan pembangunan infrastruktur memegang peran penting dalam
meningkatkan daya saing perekonomian domestik terutama dengan perekonomian dunia
(global). Faktor keempat elemen tersebut merupakan rangkaian sistem kebijakan yang harus
saling terintegrasi agar dapat meningkatkan daya saing perekonomian domestik.
Infrastruktur Transportasi
Infrastruktur transportasi darat, laut dan udara menjadi sangat penting untuk disediakan
mengingat kondisi geografis Indonesia berupa kepulauan dengan disparitas ekonomi daerah
Indonesia yang sangat beragam. Tersedianya infrastruktur transportasi akan memperlancar
arus barang, manusia dan jasa, serta dapat menjadi penghubung yang efisien antara sumber
bahan baku (resource), pusat produksi dan pasar.
Selain itu, ketersediaan infrastruktur transportasi yang memadai akan menciptakan
konektivitas antar daerah bahkan antar pulau, termasuk daerah terpencil dengan daerah
terdekat bahkan dengan pusat pertumbuhan ekonomi, sehingga dapat menumbuhkan
perdagangan antar wilayah dan antar negara, perluasan usaha dan perluasan pasar. Selain itu,
ketersediaan infrastruktur akan memudahkan aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh
pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan. Pada akhirnya tersedianya infrastruktur akan
banyak membawa dampak posistif bagi produktivitas industri, kesejahteraan masyarakat dan
meningkatkan daya saing.
Ketersediaan Listrik
Energi listrik merupakan unsur penting bagi pembangunan dalam segala bidang. Aktivitas
ekonomi membutuhkan listrik sebagai sumber energi gerak dan cahaya. Listrik dalam industri
dibutuhkan untuk memproduksi barang, melalui proses peningkatan nilai tambah bahan
mentah menjadi produk olahan setengah jadi atau jadi. Ketersediaan listrik yang memadai di
suatu daerah akan menjadi insentif untuk membangun industri, serta memperluas jangkauan
pemasaran dan distribusi.
100
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Listrik juga berperan dalam meningkatkan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kesehatan.
Berbagai informasi akan mudah dan cepat diperoleh dan disebarkan dengan bantuan media
pendidikan yang tersedia secara elektronik.
Ketersediaan Sarana Telekomunikasi
Telekomunikasi akan memudahkan arus informasi dengan lebih luas dan cepat. Daya saing
dalam bidang telekomunikasi ditentukan oleh tersedianya jaringan telepon tetap (fixed-line),
jaringan serat optik dan broadband. Ketersediaan telepon tetap memudahkan komunikasi
antar daerah dan wilayah. Sementara itu, keberadaan teknologi serat optik semakin mampu
memperluas lebar jalur (bandwidth), sehingga komunikasi data dapat dilakukan dengan
kecepatan tinggi. Ketersediaan serat optik dan broadband akan meningkatkan produktivitas
dalam berbagai bidang karena akan mempermudah penyampaian informasi dan proses data.
101
Daerah, BUMN, BUMD dan Dunia Usaha dalam semangat Indonesia Incorporated. MP3EI
dilakukan dengan pendekatan terobosan (breakthrough) bukan Business As Usual, melalui:
pertama, pihak swasta akan diberikan peran penting dalam pengembangan MP3EI,
sedangkan pihak pemerintah akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan katalisator. Dari
sisi regulasi, Pemerintah Pusat dan Daerah akan melakukan deregulasi (debottlenecking)
terhadap regulasi yang menghambat pelaksanaan investasi. Fasilitasi dan katalisasi akan
diberikan oleh Pemerintah melalui penyediaan infrastruktur maupun pemberian insentif fiskal
dan non fiskal.
Kedua, dalam rangka penguatan kebijakan, pemerintah akan melakukan penguatan
koordinasi, sinkronisasi dan sinergi kebijakan antar Kementerian/Lembaga dan antara
Kementerian/Lembaga dengan pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan MP3EI, dunia usaha
akan menjadi aktor utama dalam kegiatan investasi, produksi dan distribusi.
Tujuan dari pelaksanaan MP3EI adalah untuk mempercepat dan memperluas pembangunan
ekonomi melalui pengembangan 8 (delapan) program utama yang meliputi sektor industri
manufaktur, pertambangan, pertanian, kelautan, pariwisata, telekomunikasi, energi dan
pengembangan kawasan strategis nasional.
Fokus dari 8 (delapan) program utama tersebut meliputi 22 (dua puluh dua) kegiatan utama
yaitu industri besi-baja, makanan-minuman, tekstil, peralatan transportasi, perkapalan,
perkayuan, nikel, tembaga, bauksit, kelapa sawit, karet, kakao, peternakan, perikanan, food
estate, pariwisata, telematika, batubara, alutsista, minyak dan gas, serta pengembangan
Metropolitan Jabodetabek dan pembangunan Kawasan Selat Sunda.
Gambar 4.4
Kerangka Pengembangan Koridor Ekonomi
102
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
103
2.
3.
104
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
MP3EI merupakan produk dari hasil kerjasama dan kemitraan antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, BUMN, BUMD, swasta dan akademisi. Sementara itu, pendanaan
kegiatan MP3EI dilakukan melalui keterpaduan pendanaan dari APBN, APBD, BUMN, BUMD,
serta pihak swasta dan masyarakat. Pelaksanaan MP3EI ini semaksimal mungkin memberikan
peran yang besar kepada pelaku usaha domestik terutama untuk dapat meningkatkan nilai
tambah pemanfaatan sumberdaya dalam negeri. BUMN, BUMD dan swasta diharapkan dapat
menjadi pilar dan kontributor utama investasi dalam pelaksanaan MP3EI.
4.3 Aspek Peningkatan Daya Tahan Ekonomi (Food Security dan Energy Security)
4.3.1 Peningkatan Ketahanan Pangan
Salah satu langkah dalam peningkatan daya tahan ekonomi untuk memperkuat ekonomi
domestik adalah melalui peningkatan ketahanan pangan terutama yang berbasis sumber daya
lokal. Peningkatan ketahanan pangan harus terus didorong untuk mampu menggerakkan
perekonomian daerah. Ketahanan Pangan memegang peranan penting dalam perekonomian
nasional karena dapat menjaga stabilitas ekonomi nasional dan juga mempengaruhi
pembangunan sektor lain. Selain itu, nilai ekonomi dari usaha tani yang cukup besar,
contohnya nilai hasil produksi padi setiap tahunnya kurang lebih sebesar 300 triliun rupiah
dan jumlah rumah tangga petani padi yang terlibat sekitar 15 juta rumah tangga, memberikan
kontribusi cukup besar dalam perekonomian nasional. Jumlah penduduk Indonesia yang
cukup besar juga menjadi tantangan berat untuk terus meningkatkan ketahanan pangan.
Pada dasarnya ketahanan pangan mencakup 4 aspek utama yang terdiri atas: (1) aspek
ketersediaan pangan; (2) aspek aksesibilitas pangan, distribusi dan stabilisasi harga pangan
yang terjangkau; (3) aspek konsumsi pangan yang memenuhi kaidah mutu, keragaman,
kandungan gizi, keamanan dan kehalalan; serta (4) aspek penanggulangan masalah pangan.
Keempat aspek tersebut akan membangun sistem ketahanan pangan seperti yang
digambarkan pada Gambar 4.7. Masyarakat dan pemerintah daerah memiliki peranan penting
dalam membangun ketahanan pangan dimulai dari proses produksi, distribusi, pengolahan
pangan dan pemasaran. Sementara peran pemerintah juga sangat penting dalam menjaga
insentif untuk tetap menjaga ketahanan pangan melalui regulasi, penciptaan iklim investasi
dan pembangunan fasilitas/prasarana publik, serta penyediaan sarana tekonologi dari
penyuluhan.
Memperkuat Perekonomian Domestik
Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
105
Gambar 4.6
Sistem Ketahanan Pangan
Ketahanan Pangan
Ketersediaan
Pangan (Produksi
Dalam Negeri,
Cadangan, Impor)
Distribusi Dan
Stabilisasi
Harga
Konsumsi
Pangan Dan
Gizi
Penanggulangan
Masalah Pangan
Kurang
Pangan
Pendapatan
Rendah/Miskin
Lonjakan
Harga
Bencana
Insentif Produksi :
Harga Pembelian Pemerintah (HPP)
Gabah Beras
RASKIN
Cadangan Beras
Pemerintah
Aspek ketersediaan pangan berfungsi untuk menjamin ketersediaan pangan guna memenuhi
kebutuhan seluruh penduduk dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya.
Ketersediaan pangan tersebut terdiri atas produksi dalam negeri, cadangan dan impor. Untuk
menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan, maka produksi dalam negeri harus menjadi
sumber utama untuk ketersediaan pangan tersebut. Peningkatan produksi pangan dalam
negeri dapat dilakukan melalui: (1) Meningkatkan ketersediaan input produksi (benih/bibit,
pupuk, irigasi, pakan, obat-obatan, lahan, alat dan mesin) dengan kualitas yang baik dan
jumlah yang memadai serta tersedia setiap saat dibutuhkan serta kebijakan subsidi input yang
lebih efisien; (2) Meningkatkan dukungan penelitian, IPTEK dan penyuluhan; (3)
Meningkatkan efektifitas pengendalian organisme pengganggu tanaman dan penyakit hewan
serta pengembangan sistem perkarantinaan, (4) Mendorong investasi di sektor pertanian
yang berbasis produk lokal; (5) Mencegah atau mengurangi alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian dan melakukan konservasi sumber daya lahan dan air; (6) Memperluas areal lahan
106
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
pertanian serta mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering, lahan basah dan lahan terlantar;
(7) Melakukan penataan dan harmonisasi peraturan perundangan lahan untuk menjamin
kepastian hukum lahan pertanian; (8) Mengembangkan infrastruktur pertanian; dan, (9)
Mengembangkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di sektor
pertanian.
Aspek akesibilitas pangan berfungsi untuk menjamin seluruh level masyarakat dapat
menjangkau sumber pangan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya. Distribusi,
stabilitas harga dan pasokan merupakan indikator penting untuk menunjukkan kinerja aspek
akesibilitas pangan. Distribusi pangan dilakukan untuk memenuhi pemerataan ketersediaan
pangan keseluruh wilayah secara berkelanjutan. Stabilisasi harga pangan diselenggarakan
dengan tujuan untuk menyejahterakan petani dan nelayan, menghindari terjadinya gejolak
harga pangan, menghadapi keadaan darurat karena bencana atau paceklik, mencapai
swasembada pangan, memperhatikan daya beli masyarakat. Harga yang terlalu berfluktuasi
dapat merugikan petani, produsen, pengolah, pedagang hingga konsumen sehingga
berpotensi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi. Peningkatan efisiensi aksesibilitas pangan
dapat dilakukan melalui: (1) Meningkatkan jumlah cadangan pangan pemerintah untuk
stabilisasi harga; (2) Mengembangkan kebijakan perdagangan dan ekspor-impor yang
mendukung ketahanan pangan; (3) Meningkatkan sarana dan prasarana guna efisiensi dalam
perdagangan dan mengurangi kerusakan bahan pangan; (4) Mengembangkan kebijakan dan
peraturan daerah guna memperlancar dan mengefisienkan distribusi pangan antar daerah;
dan (5) Mengembangkan usaha pengolahan dan pemasaran produk pangan di perdesaan
yang berbasis bahan pangan lokal.
Aspek konsumsi pangan dan gizi berfungsi untuk mengarahkan agar pola pemanfaatan
pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan
kehalalan. Indikator aspek konsumsi, dapat tercermin dalam pola konsumsi masyarakat di
tingkat rumah tangga. Pola konsumsi dalam rumah tangga dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain kondisi ekonomi, sosial dan budaya setempat. Pemenuhan aspek konsumsi
dapat dilakukan melalui: (1) Mengembangkan penganekaragaman (diversifikasi) pengolahan
dan konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal; (2) Meningkatkan jumlah cadangan pangan
pemerintah; (3) Meningkatkan kemampuan masyarakat dan Pemda dalam mengembangkan
cadangan pangan; dan (4) Meningkatkan pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang
pangan yang bergizi dan seimbang, serta pola hidup sehat, terutama ibu hamil dan anak
balita.
Aspek penanggulangan masalah pangan berfungsi menjaga goncangan pangan akibat
ketidakmampuan memenuhi pangan karena kondisi ekonomi, bencana dan lonjakan harga,
yang disalurkan dalam bentuk bantuan beras miskin bagi keluarga miskin dan penyaluran
cadangan beras pemerintah terutama dalam mengantisipasi terjadinya bencana melalui
bantuan pangan.
107
Ketahanan pangan, terutama beras, ke depan masih akan dihadapkan kepada berbagai
tantangan yang terkait dengan: (1) Menjaga peningkatan produksi pangan terutama beras
seiring dengan peningkatan penduduk dan pendapatan masyarakat. Tantangan utama yang
dihadapi dalam peningkatan produksi ini adalah alih fungsi lahan dan perluasan areal
pertanian yang semakin sulit, banyaknya infrastruktur irigasi yang rusak, dukungan sarana dan
prasarana perikanan masih kurang dan menghadapi terjadinya keragaman dan perubahan
iklim; (2) Diversifikasi konsumsi pangan berbasis bahan pangan lokal relatif lambat; (3)
Menjaga stabilitas harga agar daya beli masyarakat terhadap pangan tidak terganggu; serta
(4) terjadinya perubahan iklim yang dapat menyebabkan gangguan dalam produksi, distribusi
dan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan serta terjadinya kerawanan pangan di daerah.
Khusus untuk pengamanan produksi beras, pada awal tahun 2011 presiden memberikan
direktif untuk pencapaian surplus beras 10 juta ton setiap tahun mulai tahun 2014. Strategi
dalam pencapaian surplus beras 10 juta ton tersebut terutama meliputi pencapaian produksi
padi dan percepatan diversifikasi konsumsi untuk menurunkan konsumsi beras dan
peningkatan kualitas gizi masyarakat. Dalam upaya peningkatan produksi dilakukan terutama
melalui peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, penurunan susut dan peningkatan
rendemen (Gambar 4.7).
Gambar 4.7
Skema Pencapaian Surplus Beras 10 Juta Ton
Input/
Dukungan
Kegiatan/
Output
Indikator/
Outcome
Pupuk, Benih,
Air Irigasi
SLPTT, SRI,
GP3K
Produktivitas
Cetak Sawah,
Optimasi Lahan
Luas
Tanam
Sasaran
Antara
Sasaran
Utama
Produksi
Manajemen;
Penyuluhan;
Alsintan;
Pengendalian
HPT
Susut
Revitalisasi
Penggilingan
Rendemen
Diversifikasi
(P2KP), Olahan
Pangan Lokal
Konsumsi
Beras Per
Kapita
Keterangan:
SL-PTT
: Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
SRI
: System of Rice Intensification
GP3K
: Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi
P2KP
: Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
108
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Surplus
Beras 10
Juta Ton
Per Tahun
Mulai
Tahun
2014
Konsumsi
Sementara itu, perikanan sebagai salah satu sumber protein hewani juga memiliki peranan
yang penting dalam ketahanan pangan dan merupakan sumber ekonomi bagi nelayan dan
pembudidaya ikan. Nelayan dan pembudidaya ikan merupakan mata pencaharian utama bagi
masyakat pesisir. Rumah tangga perikanan tangkap dan budidaya yang diperkirakan mencapai
2,6 juta pada tahun 2010 mempunyai kontribusi besar dalam perkembangan ekonomi
nasional dan daerah.
Pembangunan
Ketenagalistrikan
Peningkatan
Produktivitas
Rumah
tangga
Komersial
Industri
Peningkatan
Pendapatan
Konsumsi
Listrik
Pertumbuhan
Ekonomi
Domestik
109
110
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Kaitan antara peningkatan SDM yang berkualitas dengan pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan dapat digambarkan dalam diagram berikut.
Gambar 4.9
Kerangka Peningkatan Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Yang Berkualitas
Peningkatan &
Penguatan
Daya Saing
Nasional/
Daerah
Peningkatan
Produktivitas
Nasional/
Daerah
Tenaga Kerja
Terampil
Profesional
dengan
Penguasaan
IPTEK
Pertumbuhan
Ekonomi yang
Berdampak Pada
Peningkatan
Kesejahteraan
Rakyat
Keunggulan
Kompetitif
Tenaga Ahli
dengan
Kemahiran
Khusus
Etos Kerja
Tinggi
Adaptif Inovatif
111
miskin di daerah sehingga pada akhirnya dapat memberikan kontribusi terhadap upaya
penguatan ekonomi di daerah.
Gambar 4.10
Kerangka Penguatan Ekonomi Domestik Melalui Upaya Percepatan Pengurangan
Kemiskinan
STRATEGI DAN
KEBIJAKAN MAKRO
STRATEGI DAN
KEBIJAKAN KLASTER
KLASTER 1
MENJAGA TINGKAT
PERTUMBUHAN
EKONOMI
MENGENDALIKAN
TINGKAT INFLASI
KLASTER 2
KLASTER 3
KLASTER 4
PENGURANGAN
BEBAN
PENGELUARAN
PENINGKATAN
KAPASITAS
MASYARAKAT
PENYEDIAAN
LAPANGAN KERJA
MENJAGA
TINGKAT
KONSUMSI
MASYARAKAT
PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS
MASYARAKAT
PENINGKATAN
KAPASITAS
MASYARAKAT
PENINGKATAN
PENDAPATAN
PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS
MASYARAKAT
PENGUATAN
EKONOMI
DOMESTIK DI
DAERAH
Secara teknis, 4 (empat) klaster program penanggulangan kemiskinan yang merupakan bagian
dari kebijakan afirmatif diharapkan dapat meningkatkan baik kapasitas maupun produktivitas
masyarakat miskin. Kegiatan-kegiatan pada Klaster 1 (Bantuan dan Perlindungan Sosial) dan
Klaster 4 (Program Pro-Rakyat) diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran masyarakat
miskin sehingga pada gilirannya kapasitas mereka akan terus meningkat secara sosial dan
ekonomi. Sementara, kegiatan-kegiatan pada Klaster 2 (Pemberdayaan Masyarakat) dan
112
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
113
Gambar 4.11
Skema Pencapaian Stabilitas Politik
S
T
A
B
I
L
I
T
A
S
Penyempurnaan
Struktur Politik
Kelembagaan
Demokrasi
Penataan Peran
Negara dan
Masyarakat
Kemandirian
Masyarakat
Penataan
Proses Politik
Representasi
Kekuasaan
Pengembangan
Budaya Politik
4
Pembangunan
Infokom
5
6
Kebijakan
Demokrasi
Kapasitas
Lembaga
Negara/
Pemerintah
Hubungan
antar
lembaga
Desentralisasi
dan otonomi
daerah
KPU dan
Bawaslu
Kapaitas
OMS
Rekonsiliasi
Nasional
Pranata
Kemasyarakatan
Kapasitas
Parpol
Ruang
Publik
Kapasitas dan
Peran Adat
Seleksi Kepemimpinan
Nasional
Seleksi Pejabat
Publik/Politik
P
O
L
I
T
I
K
Konstitusi/
Peraturan
Perundangan
Penanaman
Nilai
Demokrasi
Nilai
Pancasila
Nilai
Demokrasi
Advokasi/Pendidikan Politik
Akses
Terhadap
Informasi
114
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
pentingnya aspek kepastian hukum. Selanjutnya, hal ini harus diperkuat dengan komitmen
untuk memberantas praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam
pembangunan di suatu wilayah, yang antara lain dapat ditempuh melalui penerapan Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan upaya pengelolaan dan pelaporan
keuangan negara/daerah secara akuntabel menuju tercapainya opini WTP atas audit BPK.
Secara lebih sederhana sebagaimana digambarkan dalam kerangka pikir di bawah ini.
Kapasitas SDM aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat akan sangat
menentukan kualitas penyelenggaraaan pelayanan publik. Kompetensi PNS perlu terus
ditingkatkan agar dapat memberikan pelayanan yang prima, baik kepada masyarakat maupun
investor. Hal ini terutama ditujukan bagi SDM pelayanan yang menjadi pintu gerbang
masuknya investasi di suatu wilayah. Untuk itu, upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas
dan integritas SDM pelayanan harus terus dilakukan.
Gambar 4.12
Kerangka Peningkatan Kinerja Birokrasi Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
KESEJAHTERAAN RAKYAT
KUALITAS SDM
APARATUR
PENERAPAN
E-PROCUREMENT
(LPSE)
PERTUMBUHAN DAN
PERKUATAN PEREKONOMIAN
DOMESTIK
PENERAPAN SAKIP
Di samping itu, upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas juga dilakukan
melalui pengembangan pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement).
Dengan e-procurement maka penyelenggaraan proses pengadaan barang/jasa pemerintah
115
dapat lebih transparan, efektif, terbuka, bersaing, adil dan tidak diskriminatif. Mekanisme
tersebut akan menjadi daya tarik bagi investor yang seringkali mengeluhkan proses
pengadaan barang/jasa yang berbelit-belit sehingga dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi
(high cost economy).
Aspek lain yang juga menjadi tolok ukur kapabilitas pemerintah dalam menjalankan
pembangunan di daerah adalah akuntabilitas dalam pertanggungjawaban pengelolaan
keuangan daerah. Untuk mengukur akuntabilitas tersebut, BPK sebagai lembaga yang
berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, telah
mengeluarkan opini mengenai kewajaran informasi dalam laporan keuangan. Beberapa aspek
yang ditekankan dalam penilaian opini BPK, diantaranya adalah kesesuaian laporan keuangan
dengan standar akuntansi pemerintahan serta kepatuhan terhadap peraturan perundanganundangan. Selain itu, kewajiban pemerintah daerah untuk menindaklanjuti temuan BPK dapat
dijadikan tolok ukur dari komitmen pemerintah daerah akan nilai-nilai transparansi dan
kepatuhan atas peraturan perundangan.
Sejalan itu pula, penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
merupakan upaya untuk mewujudkan birokrasi yang profesional, akuntabel dan memiliki
kinerja yang optimal. Hal ini tentunya dapat secara langsung mendukung upaya peningkatan
daya saing nasional dan daerah. Implementasi SAKIP sebagai upaya pula untuk mewujudkan
manajemen birokrasi berbasis kinerja, sehingga seluruh tahapan dalam proses kerja birokrasi,
mulai dari perencanaan, penganggaran, implementasi, pengendalian kinerja, hingga
pelaporan dapat berjalan dengan terarah sesuai rencana dan menghasilkan kinerja yang
optimal.
Terkait dengan pemberantasan korupsi, hasil survey Transparency International Indonesia
(TII) tahun 2010 atas beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa korupsi menjadi
masalah utama bagi para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha. Masalah lain yang menjadi
penghambat investasi adalah infrastruktur yang tidak memadai, birokrasi yang tidak efisien
dan situasi politik yang tidak stabil. Oleh karena itu, upaya-upaya yang mengarah pada
pencegahan dan pemberantasan KKN harus terus menerus dilakukan demi menciptakan iklim
bisnis yang kondusif dan kepastian hukum.
116
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
BAB V
LANGKAHLANGKAH
PENGUATAN
PEREKONOMIAN
DOMESTIK SERTA
PENINGKATAN
DAN PERLUASAN
KESEJAHTERAAN
RAKYAT
BAB V
LANGKAH-LANGKAH PENGUATAN PEREKONOMIAN DOMESTIK
SERTA PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
5.1 Peningkatan Daya Saing
Dalam upaya mencapai keunggulan daya saing nasional diperlukan langkah-langkah konkrit
untuk melakukan harmonisasi kebijakan dan peraturan di tingkat pusat dan daerah, serta
melakukan sinergi peraturan dan kebijakan antara pusat dan daerah. Untuk itu diperlukan
upaya di setiap kementerian/lembaga dan daerah untuk dapat melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan baik dan melakukan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan.
Presiden telah menetapkan 9 (sembilan) direktif pada Raker III di Bogor tahun 2010 yang
mengamanatkan bahwa peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat perlu ditingkatkan
demi tercapainya sinergi pusat dan daerah serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
program dan kegiatan Kementerian/Lembaga di daerah. Selanjutnya telah dipersiapkan revisi
PP Nomor 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Keuangan
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Dalam hal ini peran Gubernur dalam
menjalankan fungsi koordinasi, pembinaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi serta
fasilitasi pembangunan Kabupaten/Kota di wilayah provinsinya akan diperkuat termasuk
koordinasi perencanaan pembangunan. Selanjutnya juga telah diterbitkan Surat Edaran
Bersama (SEB) Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri
Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 0442/M.PPN/11/2010; SE-696/MK 2010;
120/4693/SJ tentang Peningkatan Efektivitas Penyelenggaraan Program dan Kegiatan
Kementerian/Lembaga di Daerah serta Peningkatan Peran Aktif Gubernur Selaku Wakil
Pemerintah Pusat.
Sinergi kebijakan pembangunan antara pusat dan daerah serta antar daerah, khususnya
dalam kerangka perencanaan kebijakan diperlukan untuk:
1.
2.
3.
4.
5.
120
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Sedangkan upaya bersama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dapat dilakukan
antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
2.
121
Gambar 5.1
Peran Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP)
KEMENDAGRI:
Pembinaan
Implementasi OTDA
dan Monitoring
KEMENKUM HAM:
Penyusunan
Peraturan dan
Monitoring Peraturan
Pemerintah Provinsi:
Penyelenggaraan PTSP di 33 Provinsi
Pelimpahan wewenang penerbitan perijiinan dan
nonperijinan kepada PTSP
Penghapusan perda bermasalah di Provinsi
PTSP di kabupaten/kota
Penyelenggaraan PTSP kabupaten/kota
Pelimpahan wewenang penerbitan perijiinan dan
nonperijinan kepada PTSP
Penghapusan perda bermasalah di kabupaten/kota
2.
3.
122
Peraturan perundangan yang tumpang tindih agar segera diajukan dalam Prolegnas
untuk dibahas dan dilakukan revisi. Untuk itu, pemerintah pusat dalam hal ini
Kementerian KumHAM agar dapat menyederhanakan proses Prolegnas. Selain itu
juga diperlukan dukungan dari DPR agar menyederhanakan proses revisi terhadap
perundangan yang telah masuk dalam daftar Prolegnas.
Pemerintah pusat berperan untuk mendorong daerah untuk mengimplementasikan
Permendagri 24 tahun 2006 tentang PTSP.
Kementerian Dalam Negeri dan BKPM berperan untuk meningkatkan kualitas SDM
PTSP di seluruh Indonesia melalui pemberian pelatihan-pelatihan.
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
4.
2.
3.
123
4.
5.
6.
7.
8.
9.
124
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Selain itu, pemerintah daerah perlu mengevaluasi dan menghapus perda yang cenderung
membebani pengusaha dan kurang jelas tujuan serta peruntukannya. Pemda agar tidak
menyusun perda yang hanya bertujuan untuk meningkatkan PAD.
Dalam merespon pentingnya PTSP sebagaimana Permendagri 24 tahun 2006, pemerintah
daerah perlu segera menerbitkan Perda pembangunan PTSP, mendelegasikan wewenang
perijinan ke PTSP dan membangun dan mengimplementasi PPTSP sebagai pusat pelayanan
berbagai perijinan.
Strategi Peningkatan Pelayanan Perijinan dan Non Perijinan
Dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi dan iklim usaha di tingkat daerah, perlu
adanya bantuan, dukungan dan peran dari pemerintah daerah dalam meningkatkan
pelayanan perijinan dan non perijinan, melalui:
1.
2.
3.
4.
5.
125
2.
3.
4.
5.
Kelembagaan. Pengadaan tanah selama ini dilaksanakan oleh suatu Panitia yang
bersifat ad-hoc dan belum ada lembaga yang bertanggungjawab atas pengadaan
tanah untuk kepentingan umum secara khusus;
Pendanaan. Permasalahan pendanaan untuk ganti kerugian terhadap tanah yang
dijadikan sebagai lokasi pembangunan infrastruktur kadang tidak tersedia secara
optimal karena anggaran yang ada terbatas atau karena harga tanah yang tiba-tiba
melonjak tinggi akibat adanya spekulasi terhadap harga tanah;
Besaran dan bentuk ganti kerugian. Selama ini ganti kerugian mengacu pada Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP) yang seringkali tidak mencerminkan nilai tanah yang
sebenarnya dan bentuk ganti kerugian yang lebih mengutamakan dalam bentuk
uang;
Waktu yang diperlukan untuk pembebasan lahan perlu dipercepat. Saat ini, proses
pembebasan lahan cenderung lama dan berlarut-larut; dan
Perencanaan dan koordinasi antar instansi yang perlu ditingkatkan. Selama ini,
proses perencanaan dan koordinasi antar instansi dan Pemda yang terlibat dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan masih belum baik.
Namun demikian diharapkan permasalahan proses pengadaan tanah dapat teratasi dengan
terbitnya UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
Strategi Peningkatan Kegiatan Pertanahan di Daerah
Salah satu bidang yang memerlukan bantuan, dukungan dan peran dari pemerintah daerah
adalah bidang pertanahan. Walaupun sebenarnya bidang pertanahan sudah merupakan
bagian dari urusan daerah, namun mengingat keterbatasan kemampuan daerah terutama
terkait sumber daya manusia (SDM) dan teknologi, sementara ini bidang pertanahan masih
merupakan urusan pusat dan dalam hal ini dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN). Dalam pelaksanaannya terkait dengan upaya percepatan peningkatan daya saing
daerah, bantuan pemerintah daerah untuk kegiatan bidang pertanahan sangat diperlukan.
Bentuk bantuan, dukungan dan peran dari pemerintah daerah terkait bidang pertanahan yang
diharapkan antara lain adalah:
1.
126
Memberikan Bantuan subsidi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Sejak berlakunya UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penetapan
BPHTB merupakan kewenangan pemerintah daerah. Untuk itu dalam rangka
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
3.
127
pembagian peran dan kewenangan, pengembangan kerangka kerja bersama dan pembagian
tugas dan tanggung jawab termasuk pembiayaan.
Gambar 5.2
Mekanisme Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Melalui Skema Kerjasama Pemerintah
Swasta (KPS)
Multilateral, Bilateral,
Development Bank
APBN
Rupiah
Dukungan dan
Jaminan
Pemerintah
Proyek
BUMN/D
Penyiapan
Proyek
Pihak Swasta
Proyek KPS
PPP Book
128
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Keputusan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur. Pembiayaan oleh swasta terus didorong pemerintah melalui
Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Strategi Peningkatan Infrastruktur Transportasi
1.
2.
Mendukung peningkatan daya saing sektor riil, yang dilakukan dengan upaya-upaya:
Pengembangan outlet-outlet pelabuhan dan sarana pendukungnya;
Pengembangan sistem informasi muatan barang (cargo information system) serta
pengembangan armada pelayaran nasional;
Pengembangan sarana dan prasarana penghubung antar pulau;
Penerapan mekanisme unbundling guna mempercepat pembangunan sarana dan
prasarana transportasi;
Mengembangkan transportasi umum massal perkotaan berbasis rel di wilayah
metropolitan dan berbasis bis di wilayah perkotaan;
Meningkatkan strategi pelayanan angkutan antar moda dan intermoda;
Meningkatkan kualitas dan kapasitas pelayanan transportasi mendukung pariwisata,
sentra-sentra produksi pertanian dan industri;
Penegakan hukum, deregulasi pungutan dan retribusi di jalan, penataan jaringan dan
ijin trayek;
Meningkatkan pelayanan pada koridor jenuh dan kesinambungan dengan
transportasi sungai dan danau serta antarpulau (point to point);
Memenuhi perkembangan teknologi dan ketentuan internasional.
3.
Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan dalam kondisi yang terbatas, termasuk
mempertahankan dan meningkatkan keselamatan pengguna jasa transportasi. Dalam
129
Dengan memperhatikan peta daya saing infrastruktur daerah yang ada, maka secara garis
besar kebijakan dan strategi pengembangan infrastruktur dalam rangka meningkatkan
kualitas dan cakupan pelayanan infrastruktur di daerah perlu diarahkan kepada:
1.
2.
3.
130
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
5.
6.
7.
8.
131
132
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Bali Nusa
Tenggara
Papua Kep.
Maluku
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Sumatera
Batu Bara
Migas
Jabodetabek Area
KSN Selat Sunda
Alutsista
Peternakan
Perkayuan
Kakao
Perikanan
Sumber: MP3EI 2011 2015
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Bali Nusa
Tenggara
Papua Kep.
Maluku
2.
3.
4.
5.
6.
7.
133
2.
3.
4.
134
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
5.
6.
2.
3.
4.
135
5.
6.
7.
2.
3.
4.
5.
6.
136
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
2.
Menjaga peningkatan produksi pangan yang dilakukan melalui: (a) Perluasan areal
dan pengelolaan lahan pertanian; (b) Pengelolaan air irigasi untuk pertanian; (c)
Pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan
lainnya; (d) Pengelolaan dan konservasi sebanyak, serta bangunan penampung air
lainnya; (e) Pengembangan SLPTT padi; (f) Pengelolaan sistem penyediaan benih
tanaman pangan dan benih ikan; (g) Penyaluran pupuk bersubsidi; (h) Penguatan
dukungan lembaga penyuluhan bagi balai penyuluhan pertanian, tenaga penyuluh
pertanian dan perikanan dan kelembagaan petani; (i) Penyaluran bantuan sarana
penanganan pasca panen; (j) Penelitian dan pengembangan benih unggul padi
tanaman pangan lainnya; (k) Pengembangan SLPTT jagung; (l) pengadaan kapal
perikanan; (m) pengembangan kawasan perikanan budidaya yang memiliki sarana
dan prasarana memadai, antara lain saluran tambak di kawasan payau, tawar dan
laut; dan (n) Penyediaan statistik Pertanian untuk Sensus Pertanian 2013.
Menjaga aksesibilitas pangan yang dilakukan melalui upaya antara lain : (a)
pengembangan sistem distribusi pangan yang menjangkau seluruh wilayah secara
efisien; (b) pengelolaan sistem distribusi pangan yang dapat mempertahankan
keamanan, mutu dan gizi pangan; (c) penjaminan keamanan distribusi pangan; (d)
memberikan prioritas untuk kelancaran bongkar muat produk pangan; (e)
menyediakan sarana dan prasarana distribusi pangan, (f) pengembangan lembaga
distribusi pangan masyarakat; (g) koordinasi kebijakan dalam perdagangan dan
stabilisasi harga pangan; (h) menetapkan jenis pangan yang berdampak pada inflasi;
(i) pengaturan penyaluran cadangan pemerintah; (j) pengelolaan dan pemeliharaan
cadangan pangan pemerintah; (k) pengaturan dan pengelolaan pasokan pangan; dan
(l) penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif.
137
3.
4.
Dalam rangka menuju pencapaian surplus beras 10 juta ton mulai tahun 2014, target sasaran
produksi padi pada tahun 2012, 2013 dan 2014 adalah sebagaimana terlihat dalam Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Capaian dan Target Produksi Padi Tahun 2010 -2014
Tahun
Jumlah
Penduduk
(juta jiwa)
Total
Kebutuhan
Perkapita/
Tahun
139,15
137,06
135,01
132,98
130,99
Kebutuhan
Beras
(juta ton)
2010
66,5
3,2
37,2
237,6
2
2011
65,7
(1,1)
37,0
241,2
2012
67,8
3,2
38,1
244,8
2013
72,1
6,3
40,5
248,4
2014
76,6
6,3
43,0
252,1
Sumber : Kementerian Pertanian, 2012
Catatan :
1)
Tahun 2010 merupakan Angka Tetap BPS
2)
Tahun 2011 menggunakan Angka Sementara BPS
Penurunan konsumsi perkapita 1,5%/tahun mulai 2010
Konversi Gabah Kering Giling (GKG) ke beras tersedia untuk konsumsi : 56,22%
33,07
33,06
33,05
33,03
33,02
Surplus
Beras Murni
(juta ton)
4,2
3,9
5,1
7,5
10,0
Meningkatnya produksi padi sebesar 6,3 persen pada tahun 2013 diharapkan mampu untuk
mendukung tercapainya surplus sebesar 7,5 juta ton pada tahun 2013 dan 10 juta ton pada
tahun 2014. Melalui kegiatan-kegiatan pendukung seperti Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SLPTT), System of Rice Intensification (SRI), Gerakan Peningkatan Produksi
Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) diharapkan dapat meningkatkan produktivitas produksi
padi. Selain itu pula diperlukan dukungan lain seperti pencetakkan sawah baru dan optimasi
lahan untuk memperluas areal tanam, penyediaan alat mesin (alsin) pasca panen guna
mengurangi nilai susut pada saat pasca panen, revitalisasi mesin penggilangan padi untuk
meningkatkan rendemen padi, serta Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP)
guna mengurangi konsumsi beras per kapita sehingga sasaran utama surplus beras 10 juta ton
dapat terpenuhi.
138
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
2.
3.
Target produksi padi tahun 2012 dan 2013 untuk masing-masing Provinsi dalam rangka
menuju pencapaian surplus beras 10 juta ton adalah sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.3.
Selain meningkatkan produksi pertanian perlu juga dilakukan upaya untuk meningkatkan
produksi perikanan, langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk
meningkatkan produksi perikanan adalah: (1) pengembangan kawasan perikanan, antara lain
kawasan minapolitan, termasuk melakukan koordinasi lintas SKPD dalam aspek perencanaan
termasuk penyiapan masterplan, pelaksanaan dan penganggaran; (2) penetapan tata ruang
wilayah dan zonasi kawasan perairan serta kawasan konservasi laut; (3) peningkatan kapasitas
SDM daerah melalui pelatihan, pembinaan dan penyuluhan perikanan.
139
Tabel 5.3
Sasaran Produksi Padi Tahun 2012-2013 Menurut Provinsi
No.
Provinsi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kep Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
1.943,48
3.953,95
2.498,67
587,33
1,34
708,83
3.707
16,65
529,74
3.223,63
10,43
12.752,75
2.137,23
10.295,25
924,01
11.593,77
528,96
No.
Provinsi
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
2.265,95
648,25
1.506,37
670,11
2.234,35
606,69
653,57
300,27
1.138,34
4.945,22
400,85
538,85
95,88
67,34
134,66
32,12
72.063,74
2.
SL-PTT Padi
Menurut data BPS, produktivitas padi masih dapat ditingkatkan hingga 6 ton GKG per
Ha, maka masih terbuka peluang meningkatkan produksi melalui peningkatan
produktivitas. Untuk meningkatkan produktivitas tersebut dilakukan melalui
penerapan paket teknologi budidaya spesifik lokasi yang lebih dikenal dengan
Pengelolaan sumberdaya dan tanaman secara terpadu (PTT). Komponen PTT antara
lain: (1) penggunaan benih varietas unggul; (2) penerapan teknik budidaya jajar
140
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
legowo, tanam satu batang; (3) Penggunaan pupuk berimbang; (4) Penerapan
kalender tanam; (5) Pengendalian OPT; dan (6) Panen tepat waktu. Kegiatan SL-PTT
dikoordinasikan dan direncanakan oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah
Daerah. Untuk mendukung pencapaian sasaran produksi padi tahun 2013
direncanakan SLPTT seluas 3,75 juta ha dengan prakiraan sumbangan produksi
mencapai 21,7 juta ton padi.
3.
4.
5.
6.
Penguatan Penyuluhan
Upaya pencapaian target surplus beras 10 juta ton sangat memerlukan peran serta
aktif penyuluh disetiap daerah. Sehingga sangat diperlukan usaha penguatan
141
142
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
hal ini terkait dengan kesesuaian aspek kapasitas, kemampuan pengelolaan, finansial dan
sosial ekonomi.
Peran Pemerintah Daerah
Dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur energi sebagai sarana pendorong
pembangunan sosial ekonomi di daerah, maka masih diperlukan peranan Pemerintah Daerah
dalam beberapa hal, seperti: (1) peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan
kelembagaan; (2) prioritasi alokasi pendanaan pembangunan di daerah termasuk efisiensi; (3)
pengembangan potensi sosial dan ekonomi sebagai fokus pengembangan industrialisasi di
daerah; dan (4) pembinaan dan pengembangan kelembagaan bisnis khususnya koperasi. Hal
ini sangat diperlukan agar infrastruktur energi yang dikembangkan tidak hanya menaikkan sisi
konsumsi semata, namun dapat memiliki nilai tambah sosial dan ekonomi.
143
3.
144
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
1.
2.
3.
4.
5.
6.
145
pemerintah daerah berperan dalam menjaga agar tingkat konsumsi masyarakat tidak jatuh
melalui upaya mempertahankan kestabilan harga bahan pangan pokok. Harga bahan pangan
pokok yang stabil merupakan kunci dalam pengendalian tingkat inflasi. Oleh karena itu
diperlukan koordinasi yang lebih intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam upaya menjaga dan mengamankan ketersediaan stok bahan pangan pokok serta
pengamanan distribusi bahan pangan pokok.
Peran Pemerintah Pusat
Dalam konteks kebijakan afirmatif, pemerintah pusat berperan dalam:
1.
2.
3.
146
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan bantuan dan fasilitas
berupa:
Penugasan personel pada sekretariat Panwaslu kabupaten/kota, Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK), Panwaslu kecamatan dan Panitia Pemungutan
Suara (PPS)
Penyediaan sarana ruangan sekretariat Panwaslu kabupaten/kota, Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK), Panwaslu kecamatan dan Panitia Pemungutan
Suara (PPS);
Pelaksanaan sosialisasi;
Kelancaran transportasi pengiriman logistik;
Monitoring kelancaran penyelenggaraan Pemilu;
Kegiatan lainnya yang pelaksanaannya dilakukan setelah ada permintaan dari
Penyelenggara Pemilu.
2.
3.
147
Gambar 5.3
Tahapan Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014
148
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
untuk melakukan penataan organisasi (rightsijing) dan penataan PNS dalam kerangka
pelaksanaan reformasi birokrasi. Sebagai dasarnya, telah diterbitkan PermenPAN & RB Nomor
26 tahun 2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah kebutuhan PNS untuk Daerah. Sebagai
tindak lanjutnya, pada tahun 2012 ini akan diselenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi
4.125 tenaga Analisis Jabatan (Anjab) di K/L/Pemda yang nantinya diharapkan dapat disusun
peta jabatan dan profil kebutuhan PNS pada seluruh instansi pusat dan daerah.
Berdasarkan peta SDM Aparatur dan berbagai kebijakan yang telah diterbitkan tersebut,
maka strategi yang dapat ditempuh dalam rangka peningkatan kualitas SDM Aparatur oleh
pemerintah daerah adalah antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
Melalui strategi tersebut, diharapkan SDM Aparatur dapat menjadi pendorong perubahan
dan peningkatan kinerja di lingkungan pemerintah daerah, sehingga secara langsung maupun
tidak langsung, turut memberikan kontribusi bagi peningkatan daya saing birokrasi daerah.
Strategi Perluasan Penerapan E-Procurement
Sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperluas penerapan e-procurement atau Layanan
Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di seluruh instansi pemerintah, baik pusat maupun
daerah, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
2.
3.
149
Selain langkah di atas, upaya lain yang dilakukan dalam rangka perluasan penerapan eprocurement, dilakukan melalui penetapan aksi sebagaimana tercantum dalam Inpres No. 17
Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Dalam Inpres
tersebut telah dirumuskan program aksi berupa Pelaksanaan Transparansi Proses Pengadaan
Badan Publik, dengan LKPP sebagai instansi penanggung jawab. Adapun sasaran yang ingin
dicapai adalah dalam APBN/APBD tahun 2012, sekurang-kurangnya 75 persen dari seluruh
belanja K/L dan 40 persen belanja Pemda (Prov/Kab/Kota) yang dipergunakan untuk
pengadaan barang/jasa wajib menggunakan SPSE melalui LPSE sendiri atau LPSE terdekat.
Strategi Peningkatan Opini/Kualitas Laporan Keuangan Daerah
Dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), Pemerintah telah menetapkan beberapa sasaran yang harus dicapai oleh
pemerintah daerah, antara lain meningkatnya jumlah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) menjadi 60 persen pada akhir tahun 2014. Kebijakan ini ditetapkan melalui
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Untuk mendukung pencapaian sasaran
tersebut, pemerintah juga telah menetapkan beberapa kebijakan terkait, antara lain Inpres
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan Akuntabilitas Keuangan Negara dan
Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
dan Pembinaan Aset Daerah. Dengan dicapainya opini WTP, diharapkan dapat mendorong
pencapaian kinerja pemerintah darah yang lebih baik.
Berdasarkan peta pencapaian opini BPK atas Laporan Keuangan Pemda sampai tahun 2010,
maka strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan opini dan
kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) antara lain adalah:
1.
2.
150
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
dalam menyusun neraca daerah, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas
dan catatan atas laporan keuangan;
penguatan/pengefektifan fungsi APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah)
dalam mengintensifkan langkah-langkah pencegahan terhadap korupsi pada
pelaksanaan/realisasi APBD;
penguatan SPIP sesuai PP 60 tahun 2008;
penguatan manajemen aset;
penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK, dll.
3.
4.
151
Kementerian Dalam Negeri saat ini sedang menyusun Permendagri tentang Pedoman
Penerapan Standar Akuntansi berbasis Akrual. Setelah ditetapkan, Permendagri ini
akan disosialisasikan secara bertahap.
Strategi Penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
Akuntabilitas kinerja merupakan wujud pertanggungjawaban instansi pemerintah, baik pusat
maupun daerah, dalam mencapai misi dan tujuan organisasi, melalui serangkaian program
dan kegiatan yang dilaksanakan dengan dukungan anggaran negara, sehingga terwujud
manajemen berbasis kinerja pada lingkungan birokrasi pemerintah. Hal inilah yang mendasari
diterapkannya Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Implementasi SAKIP
pada awalnya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah. Namun demikian, seiring perkembangan dan penerapan sistem
perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja pada seluruh instansi pemerintah, pusat dan
daerah, maka implementasi SAKIP harus juga merujuk pada peraturan perundang-undangan
yang ada, antara lain:
152
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
1.
2.
3.
4.
Sebagai wujud implementasi SAKIP tersebut, maka instansi pemerintah harus menyusun
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) setiap tahunnya. LAKIP tersebut,
melalui koordinasi Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi dilakukan evaluasi dan
penilaian, yang dilaksanakan berdasarkan, yakni:
1. Surat Keputusan Menpan Nomor: KEP-135/M.PAN/2004 tentang Pedoman Umum
Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; dan
2. Permenpan dan RB Nomor 35 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2011.
Oleh karena itu, strategi yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan
akuntabilitas kinerjanya, sehingga mendapatkan predikat yang lebih baik dari hasil penilaian
LAKIP-nya, antara lain:
1.
2.
3.
4.
153
154
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
dinas perijinan di daerah dan departemen teknis. Panduan perijinan usaha yang jelas
dan lengkap akan meniadakan inkonsistensi antara peraturan-peraturan di tingkat
pusat dan daerah dan mengurangi inefisiensi dan peluang untuk melakukan tindak
korupsi.
2.
3.
Masih banyaknya Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum merevisi RTRW sesuai
dengan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Hal ini dapat menghambat
proses pemberian ijin usaha bagi investor karena salah satu kriteria pemberian ijin
usaha adalah kesesuaian dengan tata ruang. Untuk itu, perlu adanya percepatan
penyelesaian penyusunan RTRW. Namun agar pelaksanaan pembangunan tidak
terhambat, maka daerah dapat tetap menggunakan RTRW yang berlaku, kecuali
pada kawasan yang masih konflik dengan kawasan kehutanan.
4.
5.5.2 Konektivitas
Percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur dalam kerangka penguatan
konektivitas nasional telah ditetapkan menjadi salah satu strategi utama dalam pelaksanaan
MP3EI. Tujuan utama penguatan konektivitas nasional tersebut adalah (1) meningkatkan
kelancaran arus barang, jasa dan informasi; (2) menurunkan biaya logistik; (3) mengurangi
ekonomi biaya tinggi; (4) mewujudkan sinergi antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi; dan
(5) mewujudkan akses yang merata di seluruh wilayah.
155
156
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada kapitalisasi hasil penemuan menjadi produk
inovasi. Dalam konteks ini, peran sumber daya manusia yang berpendidikan menjadi kunci
utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Oleh karena itu,
tujuan utama di dalam sistem pendidikan dan pelatihan untuk mendukung hal tersebut diatas
haruslah bisa menciptakan sumber daya manusia yang mampu beradaptasi dengan cepat
terhadap perkembangan sains dan teknologi.
Peran Pemerintah Daerah
Untuk itu, dalam pengembangan SDM dan IPTEK juga membutuhkan peran dari setiap
Pemerintah Daerah, diantaranya dalam:
1.
2.
157
Berkelanjutan
Daya Saing
Daerah
Memperhatikan
Kemajuan Teknologi dan
Perubahan Kelembagaan
Sumber: Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana, SE, MA, Menteri PPN/Kepala Bappenas dalam Seminar
Nasional Peningkatan Daya Saing Daerah melalui Reformasi Birokrasi, Jakarta, 26 Juni 2012.
158
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
koordinasi antar pelaku pembangunan di pusat dan daerah; (2) terciptanya integrasi,
sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah
maupun antara Pusat dan Daerah; (3) keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; (4) optimalnya partisipasi masyarakat di semua
tingkatan pemerintahan; dan (5) tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan dan berkelanjutan.
Langkah-langkah yang diperlukan pemerintah daerah melalui sinergi pusat-daerah adalah:
1.
2.
3.
159
Boks 5.1
Kinerja Daerah Dalam Kemudahan Berusaha
Peringkat daya saing Indonesia dalam Ease of Doing Business (EODB) tahunan yang dilaksanakan
oleh IFC Bank Dunia, jauh di bawah negara anggota ASEAN seperti Singapura, Thailand dan
Malaysia. Hasil survei tersebut menyatakan bahwa posisi Indonesia yang pada tahun 2011 berada
pada peringkat ke 126 menurun menjadi ke 129 pada tahun 2012. Sementara Singapura tetap
menduduki posisi pertama selama 4 tahun berturut-turut. Posisi Thailand dan Malaysia terus
menerus membaik, bahkan pada tahun 2012 telah berada pada peringkat tidak lebih dari 20. Survei
tersebut dilakukan terhadap pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) di kota-kota bisnis dunia.
Untuk Indonesia diwakili oleh Jakarta.
Dari hasil survei kemudahan berusaha tingkat global, daya saing berusaha di Indonesia
dibandingkan negara lain masih belum baik. Namun ternyata potret berbeda diperoleh saat survei
dilakukan di 20 kota di Indonesia dari 400 kota di dunia yang terpilih dalam survei Sub National
Doing Business (SNDB). Berdasarkan survei SNDB, kota dengan kemudahan perijinan menjadi salah
satu pertimbangan bagi para pengusaha untuk membangun atau mengembangkan usahanya.
Secara nasional, Yogyakarta adalah kota termudah dan tercepat dalam mendirikan usaha,
Balikpapan (Kalimantan Timur) merupakan kota termudah dalam mengurus ijin mendirikan
bangunan, sementara Bandung (Jawa Barat) dan DKI Jakarta adalah yang termudah dalam
mendaftarkan properti. Bahkan untuk beberapa indikator kota-kota tersebut dapat lebih cepat
dengan prosedur yang lebih pendek dibandingkan rata-rata 20 kota di Indonesia yang disurvei dan
APEC.
Tiga Kota Terbaik dan Terburuk Dalam Memberikan Izin Memulai Usaha
Jumlah prosedur
Waktu (hari)
APEC (rata-rata)
Manado
Medan
Jambi
Indonesia (rata-rata)
Surakarta
Palangkaraya
Yogyakarta
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Balikpapan, Jambi dan Palembang dalam memberikan kemudahan mendirikan bangunan lebih
cepat dan lebih murah dari rata-rata 20 kota yang disurvei di Indonesia, bahkan dari rata-rata
anggota APEC.
160
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Jambi
Palembang
Waktu (hari)
Indonesia
(rata-rata)
Denpasar
Jumlah prosedur
Manado
Jakarta
APEC (ratarata)
Dalam memberikan kemudahan mendaftarkan properti, Bandung, Jakarta, Palembang lebih cepat
dari rata-rata 20 kota yang disurvei di Indonesia dan terhadap rata-rata negara Asia timur dan
Pasifik.
Jumlah prosedur
Batam
Pekanbaru
Semarang
Waktu (hari)
Indonesia (rata-rata)
Palembang
Jakarta
Bandung
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
161
Boks 5.2
Kisah Sukses Pelaksanaan PTSP di Parepare dan Sragen
Fenomena membaiknya pelayanan publik dalam beberapa tahun terakhir ini bisa dijumpai di
beberapa daerah yang telah membangun pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) atau yang dikenal
dengan One Stop Services (OSS) antara lain di Kota Parepare dan Kabupaten Sragen. Daerah-daerah
tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip Good Public Governance. Dengan dicapainya ISO
9001:2000 atas kualitas manajemennya, maka kantor pelayanan perijinan Kota Parepare dan
Kabupaten Sragen merupakan sebagian contoh pelaksanaan pemberian pelayanan perijinan prima
yang berhasil disediakan pemerintah kepada masyarakat, dalam lingkup daerah yang bersangkutan.
Dengan tidak mengesampingkan prestasi dari daerah-daerah lain yang juga tengah berbenah
menuju birokrasi yang friendly, di kedua kota/kabupaten tersebut dapat memberikan pelayanan
beberapa perijinan dan non perijinan dalam waktu dan dengan biaya yang terukur jelas (lama dan
besarannya). Dengan kemajuan kualitas pelayanan dari kedua daerah tersebut telah menumbuhkan
optimisme baru terhadap kinerja birokrasi dan menyemangati adanya harapan bagi bangsa ini
untuk tampil lebih baik dan berdaya saing nantinya.
Untuk meraih status sebagai PTSP yang mampu menyediakan layanan prima, merupakan hasil kerja
yang didesain (by design) dan dilakukan terus menerus sehingga memperoleh kepercayaan
masyarakatnya. Bukan pekerjaan yang mudah untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat
karena pada awalnya, masyarakat termasuk investor enggan berhubungan langsung dengan aparat,
namun dengan berdirinya PTSP yang memberlakukan kemudahan, transparansi dan keramahan
dalam pengurusan berbagai surat, pengajuan ijin usaha dan pelaporan, dengan didukung kondisi
kantor yang nyaman, petugas dengan seragam pegawai swasta yang siap melayani dengan senang
hati maka secara perlahan PTSP mendapat kepercayaan dari masyarakat. Bahkan selanjutnya
kantor-kantor tersebut mendapat brand image baru yang positif.
162
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
163
Tahun
Jumlah Pemohon
1
2003
39.582
2
2004
38.304
3
2005
48.272
4
2006
45.633
5
2007
57.380
6
2008
56.329
7
2009
53.110
8
2010
91.958
Sumber: Perijinan usaha, BPT Sragen
164
935,2
902,9
1.203,4
1.417,6
1.628,0
1.718,3
1.843,8
2.180,2
526.000,00
703.000,00
926.000,00
950.000,00
1.200.000,00
1.300.000,00
1.200.000,00
1.350.073,72
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Boks 5.3
Belajar dari Jawa Barat: Pemenang Pangripta Nusantara 2012
Anugerah Pangripta Nusantara diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/BAPPENAS bertujuan untuk mendorong setiap daerah untuk menyiapkan dokumen
rencana pembangunan secara lebih baik, konsisten, komprehensif, terukur dan dapat dilaksanakan;
serta sekaligus menciptakan insentif bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan perencanaan
pembangunan yang lebih baik dan bermutu. Pemberian penghargaan ini dilakukan melalui penilaian
terhadap dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi tahun 2012.
165
4.
5.
Keterkaitan dokumen RKPD 2012 dengan dokumen RPJMD Provinsi dan RKP 2012;
Konsistensi dokumen RKPD 2012 terutama konsistensi hasil evaluasi dengan isu strategis, isu
strategis dengan prioritas dan prioritas dengan anggaran;
Kedalaman dan kelengkapan dokumen RKPD 2012 dalam menyajikan kerangka ekonomi
daerah, kerangka kebijakan keuangan daerah, analisa, arah kebijakan dan prioritas
pengembangan wilayah dan strategi dan arah kebijakan pro-growth, pro-poor, pro-job, proenvironment, serta percepatan pencapaian tujuan MDGs;
Keterukuran tujuan dan sasaran RKPD 2012 yang dilengkapi dengan indikator kinerja dan
prakiraan maju anggaran tahun berikutnya; serta
Proses penyusunan dokumen RKPD 2012 yang dilihat dari tingkat intensitas konsultasi
dengan para pemangku kepentingan, kepemimpinan dan kesiapan pelaksanaan.
Pemberian trophy penghargaan Anugerah Perencanaan Terbaik Pangripta Nusantara Tahun 2012
oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas kepada para Kepala Bappeda yang mewakili 3 provinsi
pemenang dilakukan pada saat acara penutupan Pra-Musrenbangnas tanggal 25 Mei. Ketiga
provinsi pemenang yaitu:
1.
2.
3.
Disamping itu, juga diberikan penghargaan dalam bentuk piagam kepada 3 provinsi nominasi
terbaik, yaitu: Provinsi NAD, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi DKI Jakarta.
Proses Perencanaan di Jawa Barat
Tema
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi
Jawa Barat Tahun 2012 mengusung tema
pembangunan Mengintegrasikan Peran Investasi
Dunia Usaha dalam Menghela Pembangunan
Sektoral dan Kewilayahan Bersifat Monumental
untuk Mempercepat Terwujudnya Masyarakat Jawa
Barat yang Mandiri, Dinamis dan Sejahtera.
Paparan RKPD Prov. Jawa Barat Tahun 2012 oleh
Kepala Bappeda
166
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
167
168
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Boks 5.4
Kisah Sukses Program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL)
di Pacitan, Jawa Timur
Ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga. Terkait dengan hal
ini, pemanfaatan lahan perkarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah
satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga. Kementerian Pertanian
menyusun suatu konsep yang disebut dengan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (Model
KRPL) yang merupakan himpunan dari Rumah Pangan Lestari (RPL) yaitu rumah tangga dengan
prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk pemenuhan
kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, konservasi
sumberdaya genetik terutama untuk pangan lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan
melalui kebun bibit desa, serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Program MKRPL di salah satu dusun di Desa Kayen, Kecamatan Kota Pacitan, Jawa Timur di awali
pada Februari 2011 dengan melibatkan 35 KK. Melalui berbagai tahapan mulai persiapan sampai
pelaksanaan dengan melibatkan semua pihak terkait serta pendampingan teknologi dari Badan
Litbang Pertanian, saat ini di sebagian besar rumah tangga di Kabupaten Pacitan telah mengadopsi
model RPL. Sebagai gambaran, untuk desa Kayen, rumah tangga yang telah mengadopsi model RPL
sebanyak 620 KK dari 821 KK yang ada (sekitar 77%). Selain itu, di lingkungan Kantor Kodim
(Komando Distrik Militer) dan di semua Kantor Koramil (Komando Rayon Militer) di wilayah
Kabupaten Pacitan telah pula mengembangkan model RPL. Relatif cepatnya proses adopsi model
KRPL di Kabupaten Pacitan antara lain didukung oleh adanya komitmen Pemerintah Daerah untuk
mewujudkan ketahanan pangan melalui pengembangan diversifikasi pangan dengan
mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan dengan menerapkan model KRPL.
Komitmen tersebut ditunjukkan dengan dikeluarkannya Instruksi Bupati Pacitan kepada masyarakat
di wilayah Pacitan untuk mengembangkan dan menerapkan model RPL serta Instruksi Kodam
Brawijaya Jawa Timur yang ditindaklanjuti oleh Kodim Pacitan kepada anggota untuk
mengembangkan RPL di lokasi kantor Kodim maupun Koramil.
Salah satu dampak positif yang dirasakan dari penerapan program KRPL di Pacitan ini adalah
berkurangnya pengeluaran rumah tangga petani berkisar Rp. 170.000 hingga Rp. 700.000 per bulan,
program ini menunjukkan kemampuannya dalam menaikkan pola pangan harapan terutama untuk
kemandiran desa dan rumah tangga.
169
Boks 5.5
Keberhasilan BKAD Tegalalang Dalam Memfasilitasi Pengelolaan PNPM Mandiri
Perdesaan
Keberhasilan pengelolaan program penanggulangan kemiskinan seperti PNPM Mandiri Perdesaan
sangat tergantung kepada intensifnya fasilitasi yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan
(stakeholders) kepada masyarakat miskin di lapangan. Hal inilah yang tercermin dari keberhasilan
peran pengurus Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali.
Pada tahap perencanaan, BKAD melaksanakan tugasnya mulai dari proses sosialisasi program, yaitu
melalui rapat koordinasi (rakor) di tingkat kecamatan dengan segenap kelembagaan di kecamatan.
Selanjutnya, fasilitasi dalam tahap perencanaan dilakukan BKAD melalui proses penggalian gagasan
di dusun atau banjar, yang kemudian dilanjutkan dengan fasilitasi proses pelaksanaan musyawarah
desa sosialisasi bersama-sama dengan pelaku PNPM Mandiri Perdesaan lainnya.
Pada tahap pelaksanaan, keberhasilan BKAD Tegalalang terutama pada upaya untuk mengajak
masyarakat untuk menjadi subjek pembangunan di desanya. Setelah adanya Program Paras-paros
dari Kabupaten Gianyar dan PNPM Mandiri Integrasi, BKAD Tegalalang menciptakan kerjasama yang
baik dengan desa dinas maupun Desa Adat atau Desa Pekraman. Oleh karenanya, usulan kegiatan
dalam PNPM Mandiri justru berasal dari Subak maupun Desa Pekraman.
Dalam pengelolaan dana bergulir Simpan Pinjam Perempuan (SPP), BKAD Tegallalang melakukan
kerjasama dengan berbagai pelaku ekonomi di wilayah kecamatan, seperti Lembaga Perkreditan
Desa, Koperasi, Bank dan beberapa pengusaha kecil di bidang kerajinan tangan dan perdangan.
BKAD Tegallalang juga telah melakukan fasilitasi dan mengakomodasikan berbagai kebutuhan
masyarakat miskin seperti pembuatan rumah layak huni bagi masyarakat miskin dan program
bedah rumah yang didanai dari surplus hasil pengelolaan SPP.
Secara kelembagaan, BKAD Tegallalang merupakan kepengurusan yang ideal karena berasal dari
berbagai unsur, baik pimpinan adat atau Bendesa, praktisi ekonomi, praktisi pendidikan dan unsurunsur yang ada di dalam masyarakat tradisional Bali. Namun demikian, dengan melihat hasil nyata
yang telah ditunjukkan dari intensitas dan keseriusan BKAD Tegallalang dalam memfasilitasi upaya
penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar maka wajar apabila pada
tahun 2012 BAKD Tegallalang dipilih dan ditetapkan sebagai BKAD terbaik nasional secara
kelembagaan.
170
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
Boks 5.6
Kesuksesan Pemerintah Provinsi Riau Menerapkan E-Procurement
Implementasi e-Procurement atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) menjadi upaya
strategis untuk meningkatkan efisiensi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah disamping juga
menjadi sebuah strategi untuk menata pasar pengadaan. Penataan pasar pengadaan akan
membentuk skala pasar yang lebih besar dan memungkinkan para pelaku pasar dapat mengakses
seluruh volum pengadaan barang/jasa pemerintah.
Gagasan ini memerlukan perubahan perilaku, mental dan kesiapan terhadap penerapan suatu
teknologi dari seluruh pihak yang terkait. Efektifitas perwujudan gagasan, dalam hal ini menghadapi
tantangan berkaitan dengan luas wilayah, jumlah pelaku usaha, variasi kesiapan infrastruktur TIK
maupun kesiapan SDM dalam adopsi dan adaptasi terhadap teknologi.
E-Procurement mulai diujicobakan di beberapa instansi
pemerintah pusat, provinsi dan kota pada tahun 2008.
Dari ujicoba tersebut diperoleh pelajaran berkaitan
dengan strategi implementasinya.
Keberhasilan Pemerintah Provinsi Riau (maupun
pemerintah daerah yang lain) menerapkan pengadaan
secara elektronik dan mendorong seluruh pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Riau, memerlukan komitmen
kepala daerah dan inisiator perubahan, konsistensi aktor
utama perubahan, kecepatan mengambil momentum
dan peran serta pihak-pihak yang memiliki visi yang
sama.
Meskipun LPSE Provinsi Riau dibentuk tahun 2010 setelah Pemerintah Kota Pekanbaru terlebih
dahulu menerapkan e-Procurement di tahun 2009, namun perkembangannya mampu mengikuti
perkembangan penerapan e-Procurement di provinsi lain yang terlebih dahulu membentuk LPSE
dan menerapkan e-Procurement seperti Jawa Barat, Sumatera Barat, Jawa Timur, Gorontalo,
Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, DI. Yogyakarta dan beberapa Provinsi lainnya. Tahun 2012 ini
Provinsi Riau berada pada urutan ke-7 di antara provinsi-provinsi yang memiliki kemajuan pesat
dalam penerapan e-Procurement dengan nilai pengadaan secara elektronik mencapai lebih dari Rp 1
triliun.
Proses pembentukan unit LPSE Provinsi Riau terbilang cukup singkat, hanya diperlukan waktu 1
bulan sejak pelatihan pengelola LPSE sampai dengan terbitnyaPeraturan Gubernur tentang Tim Unit
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Provinsi Riau yang dirintis oleh Biro Administrasi
Pembangunan.
Pada tahap awal, untuk dapat menyelenggarakan layanan pengadaan secara elektronik di Provinsi
Riau, LPSE Provinsi Riau belum memiliki fasilitas dan peralatan teknologi informasi yang lengkap.
LPSE Provinsi Riau mulai memberikan pelayanan dengan hanya bermodalkan 1 buah komputer
rakitan, jauh dari kebutuhan minimal suatu sistem elektronik. Dalam hal ini, pembentukan unit LPSE
tidak menunggu tersedianya peralatan dan infrastruktur TIK.
171
172
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
BAB VI
PENUTUP
BAB VI
PENUTUP
176
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, Piter., et.al (2002). Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia,
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, BPFE, Yogyakarta.
PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE-UNPAD (2008). Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi
Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia, RaJawali Pers, Jakarta.
Schwab, Klaus dan Xavier Sla-i-Martin (2011). The Global Competitiveness Report 2011-2012,
World Economic Forum, Geneva.
Schwab, Klaus dan Greenhill (2011). The Indonesia Competitiveness Report 2011: Sustaining
the Growth Momentum, World Economic Forum, Geneva.
--------- (2011). Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
2011-2025, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
---------- (2011). Tata Kelola Ekonomi Daerah 2011, KPPOD dan The Asia Foundationa, Jakarta
----------- (2011). Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2012, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional, Jakarta.
----------- (2012). Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013,
Pembangunan Nasional, Jakarta.
Kementerian Perencanaan
178
Buku Pegangan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 2013