Disfungsi Ereksi New
Disfungsi Ereksi New
Latar Belakang
Gangguan seksual (disfungsi seksual) yang dialami kaum pria selain
ejakulasi dini adalah disfungsi ereksi (DE). Pada dasarnya, pria yang DE tidak
mampu mendapatkan dan mempertahankan ereksi untuk aktivitas seksual
memuaskan. Bagi pria disemua usia, kegagalan ereksi dapat mencegah mereka
mengambil inisiatif dalam memulai hubungan seksual. Mereka bisa jadi
mencemaskan buruknya kemampuan atau juga penolakan. Keadaan disfungsi ereksi
pada umumnya disebabkan oleh kekurangan keinginan kelamin yang normal, lebih
daripada kekurangan hormon. Faktor faktor emosi, termasuk kecemasan dan dan
kesusahan menyebabkan perasaan bersalah dan kelemahan yang dalam hal ini
mungkin mengganggu hidup kelamin laki laki yang normal. Syarat utama supaya
tidak DE harus sehat mental dan fisik (Anderson, Clifford, 2004).
Masalah ereksi adalah sebuah gejala dari banyak kondisi. Usia, operasi
vena, diabetes melitus, hipertensi, tingginya kolesterol darah, rendahnya kepadatan
lipoprotein tinggi, obat-obatan, kerusakan neurogenik, depresi, konsumsi alkohol,
kurangnya pengetahuan seksual, hubungan interpersonal yang kurang erat atau
terjadinya masalah didalamnya, dan banyak penyakit kronis, khususnya kegagalan
renal dan dialisis. Merokok mempengaruhi fungsi ereksi dengan meningkatkan
faktor-faktor risiko lainnya seperti penyakit vena atau tekanan darah tinggi. Walaupun
masalah ereksi terus meningkat seiring bertambahnya usia, ini bukanlah konsekuensi
wajib penuaan. Pengetahuan akan faktor-faktor risiko dapat membantu.
Disfungsi ereksi adalah suatu keadaan pada pria yang sering atau selalu
tidak dapat mempertahankan ereksi untuk melakukan hubungan seksual yang
memuaskan.
Namun
disfungsi
ereksi
bukan
hanya
berupa
tidak
dapat
mempertahankan ereksi. Kalau seorang pria tidak dapat mencapai ereksi yang cukup
untuk melakukan hubungan seksual, pria itu juga tergolong mengalami disfungsi
ereksi. Jadi,seorang pria disebut mengalami disfungsi ereksi kalau sering atau selalu
tidak mampu mencapai atau mempertahankan ereksi penis untuk melakukan
hubungan seksual yang memuaskan.
Disfungsi ereksi merupakan salah satu disfungsi seksual pria yang banyak
dijumpai,selain
ejakulasi
dini.
Disfungsi
seksual
yang
lain
lebih
jarang
dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor fisik dan faktor psikis. Yang
termasuk dalam faktor fisik adalah semua gangguan atau penyakit yang berkaitan
dengan gangguan hormon,pembuluh darah, dan saraf. Faktor fisik juga berkaitan
dengan gaya hidup tidak sehat, efek samping obat, serta akibat operasi didaerah
kelamin pria.
Disfungsi ereksi merupakan masalah yang signifikan dan umum di bidang
medis, dan kondisi medis yang tidak berhubungan dengan proses penuaan walaupun
prevalensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Pria dengan diabetes,
penyakit jantung iskemik dan penyakit vaskular perifer lebih banyak menderita
disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi merupakan masalah tersering melanda 80 85%
pasien mencari bantuan medis untuk disfungsi seksual. Hasil survei Massachusets
Male Aging Study (MMAS), yang dilakukan pada pria usia 40 sampai 70 tahun
mendapatkan 52% responden menderita disfungsi ereksi derajat tertentu, yaitu
disfungsi ereksi total diderita sebesar 9,6%, sedang 25,2% dan minimal sebesar
17,2%. Walaupun di Indonesia tidak terdapat survei yang cukup besar, namun dari
gambaran penderita DE yang datang ke klinik impotensi diperkirakan hasilnya tidak
jauh berbeda.
( Susanto,L.T.M, 2010).
Definisi
Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan
memelihara ereksi yang cukup untuk memungkinkan kinerja seksual yang
memuaskan. DE mempengaruhi kesehatan fisik dan psikososial dan
memiliki
Epidemiologi
Tingkat keparahan dan prevalensi disfungsi ereksi meningkat dengan adanya
peningkatan usia (Tsertsvadze et al., 2009)). Kejadian disfungsi ereksi lebih rendah
pada pria yang memiliki usia lebih muda dari 40 tahun, tetapi meningkat dengan
bertambahnya usia (Dipiro et al., 2011). Pada survei cross-sectional di fasilitas
pelayanan kesehatan primer pada orang-orang Kanada, kurang lebih 50% dari 3921
pria berusia 40-88 tahun mengalami disfungsi ereksi. Pada kasus ini, adanya penyakit
kardiovaskular dan diabetes juga diasosiaikan dengan peningkatan risiko disfungsi
ereksi (Tsertsvadze et al., 2009). The Massachusetts Male Aging Study, juga telah
melakukan survei cross-sectional dengan sampel random sebanyak 1290 pria di
wilayah Boston selama periode 1987-1989. Studi tersebut melaporkan bahwa dari
semua kejadian disfungsi ereksi, sebanyak 52% terjadi pada pria berusia 40-70 tahun,
yang mana 12,4%-nya terjadi pada usia 40-49 tahun, dan 46,4%-nya pada pria berusia
60-69 tahun. Hasil studi Health Professional Follow-up terbaru, pada lebih dari
31.000 pria sehat profesional berusia 53-90 tahun, prevalensi terjadinya disfungsi
ereksi sebesar 33%. Hal yang menarik, meskipun kejadian kasus disfungsi ereksi ini
tinggi, pasien sering mengalami kegagalan dalam terapinya (Dipiro et al., 2011).
Mekanisme Fisiologi
Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali dengan adanya stimulasi
seksual yang akan melibatkan pelepasan suatu senyawa oksida nitrat (nitric oxide =
NO), dari bagian penis yang disebut corpus cavernosum. Nitric oxide akan
mengaktifkan enzim guanylate cyclase yang menyebabkan peningkatan senyawa
cyclic guanosine monophosphate (cGMP), selanjutnya menyebabkan pelebaran
pembuluh darah disekitar corpus cavernosum, sehingga darah mengalir ke penis dan
menyebabkan pembesaran penis (ereksi). Senyawa cGMP diuraikan atau didegradasi
oleh enzim yang bernama fosfodiesterase-5 (PDE5) yang menyebab-kan penis
kembali pada ukuran semula (relaksasi penis) (Susanto, 2011; Sweetman, 2009).
Ereksi penis normal membutuhkan fungsi penuh beberapa sistem fisiologis seperti
3
vaskular, nervous (saraf), dan hormonal serta secara psikologis menerima rangsangan
seksual.
Saat ereksi aliran darah arteri dan vena berjalan seimbang dari corpora, dalam
keadaan ereksi aliran arteri meningkat dan mengisi sinusoid dalam corpora yang
menyebabkan penis mengalami pembengkakan dan pemanjangan. Aliran arteri
ditingkatkan oleh asetilkolin yang merupakan mediator vasodilatasi. Pada umumnya
asetilkolin bekerja dengan dua jalur yang berbeda untuk menimbulkan ereksi. Dengan
adanya rangsangan seksual dari jaringan genital, asetilkolin melalui jalur utama
meningkatkan produksi NO oleh sel endotel dan nonadrenergic-noncholinergic
neuron. Nitric oxide meningkatkan aktivitas guanylate cyclase, yang meningkatkan
senyawa cGMP. Senyawa cGMP menurunkan konsentrasi kalsium intraseluler dalam
sel otot halus arteri penis dan sinus cavernosum. Akibatnya terjadi relaksasi otot
halus yang meningkatkan aliran darah arteri corpora. Sedangkan pada jalur alternatif,
asetilkolin menstimulasi otot halus pada reseptor membran sel untuk meningkatkan
aktivitas adenil cyclase. Adenil cyclase menyebabkan peningkatan senyawa senyawa
cyclic adenosine triphosphat (cAMP). Seperti halnya cGMP, cAMP menurunkan
konsentrasi kalsium intraselular untuk menghasilkan relaksasi otot halus dalam sel
pembuluh darah dan sinus carvernosum.
Dalam keadaan sadar, pasien mengalami ereksi setelah terjadi stimulasi
sensorik seksual melalui sistem saraf pusat. Otak akan memproses informasi dan
dorongan saraf dilakukan ke sumsum tulang belakang untuk saraf kolinergik perifer
yang mengatur suplai pembuluh darah ke corpora sehingga terjadi ereksi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa ereksi dimulai oleh aksi saraf, dikelola oleh darah arteri untuk
pengisian corpora, dan ditopang oleh oklusi aliran vena dari corpora.
Hormon testosteron merangsang libido atau rangsangan seksual pada pria.
Dalam kondisi fisiologis normal, pasien dengan tingkat testosteron serum yang
normal tidak mungkin memiliki disfungsi ereksi. Sedangkan dalam keadaan libido
menurun atau karena kurangnya produksi hormon testosteron dapat menyebabkan
ereksi tidak dapat terjadi. Dorongan seksual dikatakan normal apabila dalam kondisi
4
fisiologis yang normal serum testosteron berada dalam rentang konsentrasi serum
(300-1100 ng/dL)
(Dipiro et al, 2005).
Etiologi
Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya disfungsi ereksi,
walaupun secara garis besar faktor penyebabnya dibagi menjadi penyebab psikogenik
dan organik, tetapi belum tentu salah satu faktor tersebut menjadi penyebab tunggal
disfungsi ereksi. yang termasuk penyebab organik adalah :
1. Penyakit kronik (aterosklerosis, diabetes dan penyakit jantung)
2. Obat-obatan (antihipertensi terutama diuretik thiazid dan penghambat
beta), antiaritmia(digoksin),, antidepresan dan antipsikotik (terutama
neuroleptik), antiandrogen, antihistamin II( simetidin), alkohol atau
heroin.
3. Pembedahan/operasi misal operasi daerah pelvis dan prostatektomi radikal
4. Radioterapi pelvis
Diantara sekian banyak penyebab organik, gangguan vaskular adalah
penyebab yang paling umum dijumpai, sedangkan faktor psikogenik meliputi depresi,
stres, kepenatan, kehilangan, kemarahan dan gangguan hubungan personal pada pria
muda, faktor psikogenik ini menjadi penyebab tersering dari disfungsi ereksi
intermiten. Stres dapat menyebabkan disfungsi ereksi pada pria dewasa awal dan stres
yang datang pada setiap individu berbeda satu dengan yang lainnya. Apabila
komponen psikis terganggu karena stres, maka perjalanan stimulus erotis (rangsang
erotis) tidak dapat diterima dengan sempurna oleh otak kemudian rangsang yang
kurang sempurna tersebut akan diteruskan oleh hypothalamus otak yang merupakan
pusat reseptor rangsang dari hypotalamus dialirkan melalui medulla spinalis tepatnya
pada Onufs Nucleus yang merupakan pusat rangsang erotis dan rangsang tersebut
dilairkan ke penis, terjadi vasodilatasi yang kurang optimal sehingga mengalami
disfungsi ereksi.
(Susanto, 2010).
Patofisiologi
5
Disfungsi ereksi (DE) dapat mengakibatkan kelainan pada salah satu dari
empat sistem yang diperlukan untuk ereksi penis normal atau dari kombinasi
kelainan. pembuluh darah, saraf, atau hormonal etiologi disfungsi ereksi (DE) disebut
sebagai disfungsi ereksi (DE)
disfungsi
ereksi
(DE)
organik
termasuk
penyakit
yang
a. Umum (General)
-
Perubahan emosi
Depresi
Kecemasan
Timbul
ketidakpatuhan
pasien,
akibat
pengobatan
penyakit
yang
Semua daftar lengkap resep pasien dan over-thecounter (OTC) obat harus
ditinjau ulang oleh dokter, yang harus mengidentifikasi obat yang mungkin
berkontribusi terhadap disfungsi ereksi. jika mungkin, agen penyebab harus
dihentikan atau dosisnya harus dikurangi (Dipiro et al, 2005).
Pemeriksaan fisik pasien harus mencakup pemeriksaan untuk hipogonadisme
(yaitu, tanda-tanda ginekomastia, testis kecil, dan rambut tubuh). Penis juga harus
dievaluasi untuk penyakit terkait dengan kelengkungan penis (misalnya, penyakit
Peyronie), yang juga dikaitkan dengan disfungsi ereksi. Femoral dan tungkai bawah
pulsa harus dinilai untuk memberikan indikasi vaskular memasok ke alat kelamin.
Nada sfingter anal dan refleks genital lainnya harus diperiksa untuk memberikan
indikasi integritas saraf memasok ke penis (Dipiro et al, 2005).
Tes laboratorium harus diperoleh untuk mengidentifikasi keberadaan penyakit
yang bisa menyebabkan disfungsi ereksi. Ini termasuk glukosa darah, profil lipid, dan
tingkat tiroksin. Kadar testosteron serum harus diperiksa pada pasien dengan usia
lebih dari 50 tahun dan pada pasien muda yang mengeluhkan penurunan dorongan
seksual. Kadar testosteron serum mengikuti pola sirkadian sekresi, dengan tingkat
tertinggi terjadi pada pagi hari. Untuk menafsirkan kadar testosteron serum dengan
benar, sampel serum harus diperoleh di pagi hari. Setidaknya pemeriksaan kadar
testosteron dilakukan dua kali untuk mengkonfirmasi terjadi hipogonadisme (Dipiro
et al, 2005).
Penatalaksanaan Terapi
Dalam penatalaksanaan terapi pada pasien Disfungsi ereksi, hal-hal yang
harus diperhatikan antara lain tujuan terapi, pendekatan umum dalam terapi,
algoritma terapi, terapi non-farmakologi, serta terapi farmakologinya
a. Tujuan terapi
Disfungsi ereksi bukanlah penyakit yang mengancam keselamatan jiwa individu,
namun pasien dapat mengalami depresi, kehilangan harga diri, citra diri yang buruk,
dan keretakan rumah tangga jika tidak ditangani. Tujuan utama terapi adalah pasien
8
dapat mencapai ereksi yang memuaskan untuk melakukan hubungan seks dan adanya
perbaikan kualitas hidup pasien. Terapi yang ideal harus memiliki efek samping yang
minimal, mudah dilakukan, memiliki onset kerja yang cepat, dan memiliki interaksi
obat yang minimal (Chisholm-Burns, 2008).
b. Pendekatan umum untuk terapi
Manajemen terapi diperlukan untuk mengidentifikasi tingkat keparahan penyakit
dan gaya hidup yang dapat mempengaruhi fungsi ereksi dan mengobati pasien secara
optimal. Penggunaan obat yang diduga dapat menyebabkan atau memperburuk
disfungsi ereksi juga harus dihentikan jika memungkinkan. Terdapat berbagai macam
pilihan pengobatan untuk pria dengan disfungsi ereksi, yaitu peralatan medis,
perawatan farmakologi, modifikasi gaya hidup, operasi, dan psikoterapi. Terapi dapat
dipilih berdasarkan pertimbangan dari keinginan pasien dan pasangannya, adanya
penyakit penyerta, respon, biaya, toleransi, dan keamanan (Chisholm-Burns, 2008).
c. Algoritma Terapi
Pasien Disfungsi Ereksi
Obat Penginduksi Disfungsi Ereksi Disfungsi Ereksi Organik Disfungsi Ereksi Psikogenik
VED
1. Psikoterapi
2. Modifikasi Gaya Hidup
Terapi Intracavernosal
Penile Prosthesis
10
d. Terapi non-farmakologi
1. Modifikasi Gaya Hidup
Pasien yang mengalami disfungsi ereksi harus menjalani gaya hidup sehat
secara berkesinambungan. Hidup sehat yang disarankan untuk menunjang terapi
disfungsi ereksi antara lain mengatur diet makanan (mengurangi makanan
berkolesterol), rajin berolahraga untuk menjaga kebugaran fisik, menjaga berat
badan badan ideal, mengurangi intensitas merokok dan minum minuman
beralkohol, mengendalikan pikiran agar tidak mengalami stres, dan tidak
menggunakan obat-obatan terlarang (Chisholm-Burns, 2008).
2. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan pendekatan pengobatan yang tepat untuk pasien
dengan disfungsi psikogenik atau campuran. Psikoterapi dilakukan untuk
mengatasi penyebab disfungsi dan diharapkan pasangan dapat berpartisipasi
dengan menghadiri sesi psikoterapi. Dalam mengobati disfungsi organik,
psikoterapi tidak dapat bekerja secara efektif kecuali dikombinasikan dengan
11
efek samping yang dialami pasien menggunakan VEDs. Terapi VEDs ini
dikontraindikasikan pada orang dengan penyakit sickle cell dan digunakan secara
hati-hati pada pasien yang sedang menggunakan antikoagulan oral atau yang
memiliki gangguan perdarahan (Dipiro et al., 2008). VEDs ditunjukkan pada
gambar 2.2 sedangkan aplikasi penggunaan VEDs dan Penil prosthesis
ditunjukkan pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Aplikasi Penggunaan VED dan Penil prosthesis (Chisholm-Burns, 2008)
4.
Penil Prostesis
13
Penil prostesis dapat berupa alat batangan yang semi kaku atau karet yang
lembut yang dimasukkan melalui pembedahan ke dalam corpus cavernosum
untuk memungkinkan terjadinya ereksi. Penil prostesis batangan yang semi kaku
dapat menjadi kaku sepanjang waktu namun dapat kembali ke posisi
membungkuk bila diinginkan oleh pasien. Prostesis inflitable tetap lembut
sampai pompa dalam cairan skrotum bergerak dari reservoir ke dalam silinder
penis. Detumescence dicapai ketika cairan ini kemudian ditransfer kembali ke
reservoir dengan mengaktifkan sebuah tombol pelepas. Karena prostesis adalah
pengobatan yang paling invasif yang tersedia, terapi ini hanya digunakan pada
pasien yang tidak menanggapi obat-obatan atau penanganan secara eksternal atau
pasien yang memiliki efek samping yang cukup berat menggunakan terapi lain.
Tingkat kepuasan pasien dapat setinggi 80% sampai 90%, sedangkan tingkat
kepuasan partner seks sedikit lebih rendah. Risiko utama dari penyisipan
prostesis adalah terjadinya infeksi dan kemungkinan kegagalan prostesis yang
dipasang. Rata-rata tingkat terjadinya infeksi yang tinggi disebabkan oleh adanya
penyakit diabetes yang tidak terkontrol, paraplegics, dan pasien menjalani
reimplantasi atau rekonstruksi penis (Chisholm-Burns, 2008).
e. Terapi farmakologi
1. Penghambat fosfodiesterase (Inhibitor fosfodiesterase)
Sildenafil bekerja secara kompetitif menghambat enzim PDE, sehingga
perombakan cGMP yang terbentuk dengan terlepasnya NO akibat stimulasi seksual
akan terhambat. Dengan demikian akan terjadi relaksasi otot polos korpora kavernosa
yang cukup lama untuk suatu ereksi yang memuaskan. Dengan dosis yang dianjurkan,
sildenafil tidak akan berfungsi bila tidak ada rangsangan seksual. Sildenafil bekerja
selektif terhadap PDE5 dibandingkan terhadap PDE yang lain. Dengan demikian,
efek utamanya adalah terhadap korpus kavernosus di penis, namun karena PDE5 juga
terdapat pada pembuluh darah maka pengaruh sildenafil terhadap pembuluh darah
juga tidak bisa diabaikan.
14
jam. Sediaan yang beredar yaitu Cialis (Tempo Scan Pacific) tablet salut selaput 10
mg, 20 mg. Sedangkan dosis awal Vardenafil 10 mg (lansia 5 mg) dan rata-rata
diminum 25-60 menit sebelum aktivitas seksual, dosis berikutnya disesuaikan dengan
respon maksimal sampai 20 mg sebagai dosis tunggal, maksimal 1 dosis dalam 24
jam. Dapat diberikan sebelum atau sesudah makan. Tidak diindikasikan untuk
individu dibawah 18 tahun. Sediaan yang beredar: Levitra (Bayer Farma Indonesia)
Tablet salut selaput 5 mg, 10 mg, 20 mg (K) (BPOM, 2008).
Lebih dari 25 fosfodiesterase isoenzim yang berbeda telah diidentifikasi,
namun stimulasi efek fisiologis dan penghambatan dari beberapa isoenzim ini tetap
harus dijelaskan. Berdasarkan penelitian, isoenzim fosfodiesterase tipe 6 (PDE-6)
terdapat dalam sel batang dan kerucut mata. Penghambatan terhadap isoenzim ini
dikaitkan dengan penyebab terjadinya gangguan pengelihatan dan cyanopsia.
Sildenafil merupakan inhibitor isoenzim fosfodiesterase tipe 6 yang paling poten,
kemudian diikuti oleh vardenafil yang merupakan inhibitor isoenzim fosfodiesterase
tipe 6 yang bersifat intermediet, dan tadalafil (Dipiro et al., 2008).
Disamping isoenzim fosfodiesterase tipe 6, terdapat juga isoenzim
fosfodiesterase tipe 11 (PDE-11). Isoenzim ini terdapat pada otot lurik dan
penghambatan terhadap isoenzim dikaitkan dengan mialgia dan nyeri otot. Tadalafil
merupakan inhibitor isoenzim yang menghasilkan aktivatas penghambatan terbesar
terhadap isoenzim fosfodiesterase tipe 11 (PDE-11) (Dipiro et al., 2008).
2. Testoterone replacement regimens
Regimen pengganti testosteron didapatkan secara eksogen dan digunakan
untuk mengembalikan kadar serum testosteron dalam kisaran normal (300 sampai
1100 ng/dL). Dengan dilakukannya penggantian regimen testosteron maka gejala
hipogonadisme dapat diatasi, gelaja tersebut meliputi malaise, kehilangan kekuatan
otot, mood depresi, dan libido menurun. Testosteron secara langsung dapat
merangsang reseptor androgen pada sistem saraf pusat dan dianggap bertanggung
jawab dalam menjaga dorongan seksual yang normal (Dipiro et al., 2008).
16
Produces Normal
Circadian Pattern of
Serum Testosterone
Concentrations?
17
Produces Normal
Pattern
of Serum
Concentrations
of Androgen
Metabolites?
Adverse Effects
Oral
testosterone
No
No
No
Oral alkylated
androgens
Yes
No
No
Yes
No; produces
supraphysiologic
Serum concentrations
for several days after
injection
No, excess
testosterone is
converted to
estradiol
Intramuscular
testosterone
cypionate or
enanthate
Transdermal
nonscrotal
skin
Patch
Transdermal
scrotal skin
patch
Transdermal
gel
Testosterone
subcutaneous
implant
Buccal system
Yes
Yes
Yes
Hyperlipidemia
Sodium
retention
Hyperlipidemia
Sodium
retention
Hepatotoxicity
Mood swings
Gynecomastia
Polycythemia
Hyperlipidemia
Yes
Dermatitis due
to permeation
enhancers in
formulation
No; 5-reductase in
scrotal skin
metabolizes
testosterone and
increases serum
concentrations of
dihydrotestosterone
Dermatitis due
to permeation
enhancers in
formulation
Yes
May be
inadvertently
transferred to
others who rub
up against the
patients skin
treated area
Yes
Yes
No
Yes
No
No; produces
elevated
concentrations
of
dihydrotestosterone
Yes
Pellet may be
extruded
accidentally,
resulting in loss
of drug effect
Gum irritation,
bitter taste
18
hepatotoksik dari androgen oral. Meskipun nyaman bagi pasien, testosteron gel dan
patch jauh lebih mahal daripada bentuk lain dari penggantian androgen, karena itu
sediaan tersebut harus disediakan untuk pasien-pasien yang menolak injeksi
testosterone (Dipiro et al., 2008).
Dalam regimen pengganti testosteron yang ideal, obat akan meniru pola
sirkadian normal dari konsentrasi serum testosteron sehingga konsentrasi puncak dan
palung terjadi pada pagi dan sore, masing-masing; menghasilkan konsentrasi serum
dalam kisaran normal, menghasilkan konsentrasi serum dihidrotestosteron dan
estradiol, yang merupakan metabolit testosteron yang meniru pola fisiologis normal,
dan menghasilkan efek samping minimal. Pada tabel 2.2 membandingkan regimen
penggantian testosteron yang tersedia secara komersial (Dipiro et al., 2008).
Testosteron alami memiliki bioavailabilitas oral yang kurang baik karena
mengalami metabolisme hepatik yang cukup besar, dan sehingga dosis yang
digunakan harus besar. Untuk meningkatkan bioavailabilitas oral, turunan teralkilasi
diformulasikan. Sehingga, metiltestosteron dan fluoxymesterone lebih tahan terhadap
katabolisme di hepatik, dapat digunakan dosis harian yang lebih kecil, dan berpotensi
lebih aman. Namun, testosteron oral turunan teralkilasi berhubungan dengan resiko
terjadinya hepatotoksisitas yang lebih serius, dan oleh karena itu tidak dipilih untuk
pengobatan disfungsi seksual (Dipiro et al., 2008).
Beberapa testosteron ester telah diformulasikan untuk injeksi intramuskular,
dengan beberapa jenis durasi aksi seperti pada tabel. Propionat yang merupakan
testosteron short-acting, membutuhkan dosis tiga kali seminggu, sebagian besar
penggunaannya telah digantikan dengan testosteron cypionate atau enanthate, karena
dosis dapat diberikan setiap 2, 4, atau 6 minggu pada kebanyakan pasien. Namun,
testosteron garam ini dapat peningkatan kadar serum testosteron pada interval dosis
yang digunakan, yang berkaitan dengan suasana hati pada beberapa pasien (Dipiro et
al., 2008).
Patch Testoderm asli bermerek diformulasikan untuk aplikasi pada skrotum.
Kulit skrotum lebih tipis dan memiliki suplai vaskuler yang lebih kaya daripada kulit
19
lengan atau paha. Oleh karena itu penggunaan patch Testoderm menghasilkan
penyerapan hormon yang sangat baik. Namun, patch bisa jatuh ketika skrotum
menjadi basah atau lembab, ketika pasien sedang beraktivitas, atau jika skrotum
terlalu berbulu (Dipiro et al., 2008).
3. Alprostadil
Alprostadil, juga dikenal sebagai prostaglandin E1, dapat merangsang adenyl
siklase, sehingga peningkatan produksi cAMP, messenger sekunder yang
menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah arteri dan jaringan sinusoidal
dalam corpora tersebut. Hal ini mengakibatkan peningkatan aliran darah (Dipiro et
al., 2008). Berdasarkan rute pemberian, alprostadil dibagi menjadi:
A. Alprostadil Intrakavernosa
Keseluruhan efikasi dari alprostadil intrakavernosa adalah 70% sampai 90%.
Tiga karakteristik dari alprostadil intrakavernosa antara lain:
-
Efektivitas dari alprostadil yaitu pada rentang dosis dari 2,5 sampai 20
mcg. Durasi rata-rata dari ereksi secara langsung terkait dengan dosis
mekanisme
yang
berbeda
telah
digunakan.
Terapi
kombinasi
atau
pada
pasien
dengan
teknik
injeksi
yang
salah
Route of
Administration
Oral
Generic name
(Brand Name)
Yohimbine (Aphrodyne,
Yocon, Yohimex)
Sildenal (Viagra)
Dosage Form
5.4-mg tablet or
capsule
Common Dosing
Regimen
5.4 mg three times
a day
25-mg, 50-mg,
100-mg tablets
Sublingual tablets
25100 mg 1 hour
before intercourse
10-mg, 25-mg
tablets and
capsules
2-mg, 5-mg, 10mg tablets
1040 mg daily
Trazodone (Desyrel)b
50-mg, 100-mg,
150-mg, 300-mg
tablet
50150 mg daily
Phentolamine (Spontane,
Vasomax)a
Vardenal (Levitra)
Oral or buccal
tablets
2.5-mg, 5-mg, 10mg, 20-mg tablets
5-mg, 10-mg, 20mg tablets
Apomorphine (Uprima)a
Methyltestosterone
(Oreton, Android)
Fluoxymesterone
(Halotestin)
Tadalal (Cialis)
25
520 mg daily
510 mg 1 hour
before intercourse
520 mg prior to
intercourse
Topical
Intramuscular
Intraurethral
Intracavernosal
Testosterone patch
(Testoderm)
Testosterone patch
(Testoderm TTS)
4 mg/patch, 6
mg/patch
4 mg/patch, 6
mg/patch
46 mg/day; apply
to scrotum
46 mg/day; apply
to arm, buttock,
back
2.55 mg/day;
apply to arm,
back, abdomen,
thigh
510 g/day; apply
to shoulders, upper
arms, abdomen
Testosterone patch
(Androderm)
2.5 mg/patch
Testosterone gel
(AndroGel 1%)
5 g/pkt, 10 g/pkt
Testosterone cypionate
(Depo-Testosterone)
200400 mg every
2 to 4 weeks
Testosterone enanthate
(Delatestryl)
Testosterone propionate
Alprostadil (MUSE)
Alprostadil (Caverject)
5 mcg, 10 mcg,
20 mcg injection
Alprostadil (Edex)
5 mcg, 20 mcg,
20 mcg, 40 mcg
injection
200400 mg every
2 to 4 weeks
2550 mg two to
three times a week
1251000 mcg 5
to 10 minutes
before
Intercourse
2.560 mcg 5 to
10 minutes before
Intercourse
2.560 mcg 5 to
10 minutes before
Intercourse
Papaverineb
30 mg/mL
injection
Phentolamineb
2.5 mg/mL
injection
Variable, usually
used in
combination
Variable, usually
used in
combination
Keterangan : a Not yet commercially available in the United States at the time this chapter was written,
b
Not FDA-approved for this use
26
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F.B., Istar, I., dan Karyanta, A.N., Perbedaan Derajad Disfungsi Ereksi Pria
Dewasa Awal Ditinjau Dari Tingkat Stres Di Kelurahan Jagalan Surakarta.
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Anderson, Clifford R.,2004, Petunjuk Modern Kepada Kesehatan, Indonesia
Publishing House, Bandung.
Boolell M, Gepi-Attee S, Gingel JC, Allen MJ. Sildenafil : a novel effective oral
therapy for male erectile dysfucntion. Br J Urol 1996;78:257-61.
DiPiro, Joseph T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells,
dan L. Michael Posey. 2005. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic
Approach, Sixth Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc : USA.
Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey. 2008.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition. New York: The
MacGraw-Hill Company Inc.
Dipiro, J. T., Talbert, R.L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G.., and Posey, L. M.
2011. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 8th Ed. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Feldman HA, Goldstein I, Hatzichrictou DG, Krane RJ, McKinley JB. Impotence and
its medical and psychosocial correlates : results of the Massachusetts male
aging study. J Urol 1994;151:54-61
Hatzimouratidis, K., 2010, Guidelines on Male Sexual Dysfunction: Erectile
Dysfunction and Premature Ejaculation. Dalam Lobo JR, Nehra A. Clinical
27
28