Anda di halaman 1dari 28

DISFUNGSI EREKSI

Latar Belakang
Gangguan seksual (disfungsi seksual) yang dialami kaum pria selain
ejakulasi dini adalah disfungsi ereksi (DE). Pada dasarnya, pria yang DE tidak
mampu mendapatkan dan mempertahankan ereksi untuk aktivitas seksual
memuaskan. Bagi pria disemua usia, kegagalan ereksi dapat mencegah mereka
mengambil inisiatif dalam memulai hubungan seksual. Mereka bisa jadi
mencemaskan buruknya kemampuan atau juga penolakan. Keadaan disfungsi ereksi
pada umumnya disebabkan oleh kekurangan keinginan kelamin yang normal, lebih
daripada kekurangan hormon. Faktor faktor emosi, termasuk kecemasan dan dan
kesusahan menyebabkan perasaan bersalah dan kelemahan yang dalam hal ini
mungkin mengganggu hidup kelamin laki laki yang normal. Syarat utama supaya
tidak DE harus sehat mental dan fisik (Anderson, Clifford, 2004).
Masalah ereksi adalah sebuah gejala dari banyak kondisi. Usia, operasi
vena, diabetes melitus, hipertensi, tingginya kolesterol darah, rendahnya kepadatan
lipoprotein tinggi, obat-obatan, kerusakan neurogenik, depresi, konsumsi alkohol,
kurangnya pengetahuan seksual, hubungan interpersonal yang kurang erat atau
terjadinya masalah didalamnya, dan banyak penyakit kronis, khususnya kegagalan
renal dan dialisis. Merokok mempengaruhi fungsi ereksi dengan meningkatkan
faktor-faktor risiko lainnya seperti penyakit vena atau tekanan darah tinggi. Walaupun
masalah ereksi terus meningkat seiring bertambahnya usia, ini bukanlah konsekuensi
wajib penuaan. Pengetahuan akan faktor-faktor risiko dapat membantu.
Disfungsi ereksi adalah suatu keadaan pada pria yang sering atau selalu
tidak dapat mempertahankan ereksi untuk melakukan hubungan seksual yang
memuaskan.

Namun

disfungsi

ereksi

bukan

hanya

berupa

tidak

dapat

mempertahankan ereksi. Kalau seorang pria tidak dapat mencapai ereksi yang cukup
untuk melakukan hubungan seksual, pria itu juga tergolong mengalami disfungsi

ereksi. Jadi,seorang pria disebut mengalami disfungsi ereksi kalau sering atau selalu
tidak mampu mencapai atau mempertahankan ereksi penis untuk melakukan
hubungan seksual yang memuaskan.
Disfungsi ereksi merupakan salah satu disfungsi seksual pria yang banyak
dijumpai,selain

ejakulasi

dini.

Disfungsi

seksual

yang

lain

lebih

jarang

dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor fisik dan faktor psikis. Yang
termasuk dalam faktor fisik adalah semua gangguan atau penyakit yang berkaitan
dengan gangguan hormon,pembuluh darah, dan saraf. Faktor fisik juga berkaitan
dengan gaya hidup tidak sehat, efek samping obat, serta akibat operasi didaerah
kelamin pria.
Disfungsi ereksi merupakan masalah yang signifikan dan umum di bidang
medis, dan kondisi medis yang tidak berhubungan dengan proses penuaan walaupun
prevalensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Pria dengan diabetes,
penyakit jantung iskemik dan penyakit vaskular perifer lebih banyak menderita
disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi merupakan masalah tersering melanda 80 85%
pasien mencari bantuan medis untuk disfungsi seksual. Hasil survei Massachusets
Male Aging Study (MMAS), yang dilakukan pada pria usia 40 sampai 70 tahun
mendapatkan 52% responden menderita disfungsi ereksi derajat tertentu, yaitu
disfungsi ereksi total diderita sebesar 9,6%, sedang 25,2% dan minimal sebesar
17,2%. Walaupun di Indonesia tidak terdapat survei yang cukup besar, namun dari
gambaran penderita DE yang datang ke klinik impotensi diperkirakan hasilnya tidak
jauh berbeda.
( Susanto,L.T.M, 2010).
Definisi
Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan
memelihara ereksi yang cukup untuk memungkinkan kinerja seksual yang
memuaskan. DE mempengaruhi kesehatan fisik dan psikososial dan

memiliki

dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup dari penderita (Hatzimouratidis,


2010).
2

Epidemiologi
Tingkat keparahan dan prevalensi disfungsi ereksi meningkat dengan adanya
peningkatan usia (Tsertsvadze et al., 2009)). Kejadian disfungsi ereksi lebih rendah
pada pria yang memiliki usia lebih muda dari 40 tahun, tetapi meningkat dengan
bertambahnya usia (Dipiro et al., 2011). Pada survei cross-sectional di fasilitas
pelayanan kesehatan primer pada orang-orang Kanada, kurang lebih 50% dari 3921
pria berusia 40-88 tahun mengalami disfungsi ereksi. Pada kasus ini, adanya penyakit
kardiovaskular dan diabetes juga diasosiaikan dengan peningkatan risiko disfungsi
ereksi (Tsertsvadze et al., 2009). The Massachusetts Male Aging Study, juga telah
melakukan survei cross-sectional dengan sampel random sebanyak 1290 pria di
wilayah Boston selama periode 1987-1989. Studi tersebut melaporkan bahwa dari
semua kejadian disfungsi ereksi, sebanyak 52% terjadi pada pria berusia 40-70 tahun,
yang mana 12,4%-nya terjadi pada usia 40-49 tahun, dan 46,4%-nya pada pria berusia
60-69 tahun. Hasil studi Health Professional Follow-up terbaru, pada lebih dari
31.000 pria sehat profesional berusia 53-90 tahun, prevalensi terjadinya disfungsi
ereksi sebesar 33%. Hal yang menarik, meskipun kejadian kasus disfungsi ereksi ini
tinggi, pasien sering mengalami kegagalan dalam terapinya (Dipiro et al., 2011).
Mekanisme Fisiologi
Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali dengan adanya stimulasi
seksual yang akan melibatkan pelepasan suatu senyawa oksida nitrat (nitric oxide =
NO), dari bagian penis yang disebut corpus cavernosum. Nitric oxide akan
mengaktifkan enzim guanylate cyclase yang menyebabkan peningkatan senyawa
cyclic guanosine monophosphate (cGMP), selanjutnya menyebabkan pelebaran
pembuluh darah disekitar corpus cavernosum, sehingga darah mengalir ke penis dan
menyebabkan pembesaran penis (ereksi). Senyawa cGMP diuraikan atau didegradasi
oleh enzim yang bernama fosfodiesterase-5 (PDE5) yang menyebab-kan penis
kembali pada ukuran semula (relaksasi penis) (Susanto, 2011; Sweetman, 2009).
Ereksi penis normal membutuhkan fungsi penuh beberapa sistem fisiologis seperti
3

vaskular, nervous (saraf), dan hormonal serta secara psikologis menerima rangsangan
seksual.
Saat ereksi aliran darah arteri dan vena berjalan seimbang dari corpora, dalam
keadaan ereksi aliran arteri meningkat dan mengisi sinusoid dalam corpora yang
menyebabkan penis mengalami pembengkakan dan pemanjangan. Aliran arteri
ditingkatkan oleh asetilkolin yang merupakan mediator vasodilatasi. Pada umumnya
asetilkolin bekerja dengan dua jalur yang berbeda untuk menimbulkan ereksi. Dengan
adanya rangsangan seksual dari jaringan genital, asetilkolin melalui jalur utama
meningkatkan produksi NO oleh sel endotel dan nonadrenergic-noncholinergic
neuron. Nitric oxide meningkatkan aktivitas guanylate cyclase, yang meningkatkan
senyawa cGMP. Senyawa cGMP menurunkan konsentrasi kalsium intraseluler dalam
sel otot halus arteri penis dan sinus cavernosum. Akibatnya terjadi relaksasi otot
halus yang meningkatkan aliran darah arteri corpora. Sedangkan pada jalur alternatif,
asetilkolin menstimulasi otot halus pada reseptor membran sel untuk meningkatkan
aktivitas adenil cyclase. Adenil cyclase menyebabkan peningkatan senyawa senyawa
cyclic adenosine triphosphat (cAMP). Seperti halnya cGMP, cAMP menurunkan
konsentrasi kalsium intraselular untuk menghasilkan relaksasi otot halus dalam sel
pembuluh darah dan sinus carvernosum.
Dalam keadaan sadar, pasien mengalami ereksi setelah terjadi stimulasi
sensorik seksual melalui sistem saraf pusat. Otak akan memproses informasi dan
dorongan saraf dilakukan ke sumsum tulang belakang untuk saraf kolinergik perifer
yang mengatur suplai pembuluh darah ke corpora sehingga terjadi ereksi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa ereksi dimulai oleh aksi saraf, dikelola oleh darah arteri untuk
pengisian corpora, dan ditopang oleh oklusi aliran vena dari corpora.
Hormon testosteron merangsang libido atau rangsangan seksual pada pria.
Dalam kondisi fisiologis normal, pasien dengan tingkat testosteron serum yang
normal tidak mungkin memiliki disfungsi ereksi. Sedangkan dalam keadaan libido
menurun atau karena kurangnya produksi hormon testosteron dapat menyebabkan
ereksi tidak dapat terjadi. Dorongan seksual dikatakan normal apabila dalam kondisi
4

fisiologis yang normal serum testosteron berada dalam rentang konsentrasi serum
(300-1100 ng/dL)
(Dipiro et al, 2005).
Etiologi
Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya disfungsi ereksi,
walaupun secara garis besar faktor penyebabnya dibagi menjadi penyebab psikogenik
dan organik, tetapi belum tentu salah satu faktor tersebut menjadi penyebab tunggal
disfungsi ereksi. yang termasuk penyebab organik adalah :
1. Penyakit kronik (aterosklerosis, diabetes dan penyakit jantung)
2. Obat-obatan (antihipertensi terutama diuretik thiazid dan penghambat
beta), antiaritmia(digoksin),, antidepresan dan antipsikotik (terutama
neuroleptik), antiandrogen, antihistamin II( simetidin), alkohol atau
heroin.
3. Pembedahan/operasi misal operasi daerah pelvis dan prostatektomi radikal
4. Radioterapi pelvis
Diantara sekian banyak penyebab organik, gangguan vaskular adalah
penyebab yang paling umum dijumpai, sedangkan faktor psikogenik meliputi depresi,
stres, kepenatan, kehilangan, kemarahan dan gangguan hubungan personal pada pria
muda, faktor psikogenik ini menjadi penyebab tersering dari disfungsi ereksi
intermiten. Stres dapat menyebabkan disfungsi ereksi pada pria dewasa awal dan stres
yang datang pada setiap individu berbeda satu dengan yang lainnya. Apabila
komponen psikis terganggu karena stres, maka perjalanan stimulus erotis (rangsang
erotis) tidak dapat diterima dengan sempurna oleh otak kemudian rangsang yang
kurang sempurna tersebut akan diteruskan oleh hypothalamus otak yang merupakan
pusat reseptor rangsang dari hypotalamus dialirkan melalui medulla spinalis tepatnya
pada Onufs Nucleus yang merupakan pusat rangsang erotis dan rangsang tersebut
dilairkan ke penis, terjadi vasodilatasi yang kurang optimal sehingga mengalami
disfungsi ereksi.
(Susanto, 2010).
Patofisiologi
5

Disfungsi ereksi (DE) dapat mengakibatkan kelainan pada salah satu dari
empat sistem yang diperlukan untuk ereksi penis normal atau dari kombinasi
kelainan. pembuluh darah, saraf, atau hormonal etiologi disfungsi ereksi (DE) disebut
sebagai disfungsi ereksi (DE)

organik. Kelainan dari empat sistem (pasien

penerimaan psikologis terhadap rangsangan seksual) disebut sebagai disfungsi ereksi


(DE) psikogenik (Dipiro et al., 2009).
Disfungsi ereksi dapat terjadi karena tiga mekanisme dasar yaitu, adanya
kegagalan menginisiasi (psikogenik, endokrinologik, atau neurogenik), kegagalan
untuk mengisi (arteriogenik), atau kegagalan dalam menyimpan volume darah yang
adekuat di dalam jaringan lankunar (disfungsi venooklusif). Faktor psikogenik
umumnya sering terjadi bersamaan dengan faktor etiologi lain. Diabetes,
ateroskerosis merupakan penyebab lebih dari 80% kejadian DE pada pria dewasa
(Fauci et al., 2008).
Penyebab

disfungsi

ereksi

(DE)

organik

termasuk

penyakit

yang

membahayakan aliran pembuluh darah ke corpora cavernosum (penyakit vaskular


perifer, arterisclorosis, hipertensi esensial) mengganggu nere konduksi ke otak
(cedera tulang belakang, stroke) dan berkaitan dengan hipogonadisme (prostat atau
kanker testis, hipotalamus atau gangguan hipofisis). Penyebab disfungsi ereksi (DE)
organik meliputi malaise, depresi reaktif atau kecemasan kinerja, sedasi, penyakit
alzhemier, hipotiroidisme, dan gangguan mental. pasien dengan disfungsi ereksi (DE)
pshycogenik umumnya memiliki tingkat respon yang lebih tinggi untuk intervensi
pasien dengan disfungsi ereksi (DE) organik (Dipiro et al., 2009).
Manifestasi Klinis
Pasien yang mengalami DE, dilaporkan tidak dapat mengalami ereksi
sehingga akan mengalami gangguan seksual. Hal ini berdampak pada psikologi
penderita disfungsi ereksi dimana pasien cenderung merasa malu, mengucilkan diri,
depresi, bahkan timbul rasa ingin bunuh diri (Wincze and Carey, 2001).
Secara umum manifestasi klinis dari disfungsi ereksi :
6

a. Umum (General)
-

Perubahan emosi

Depresi

Kecemasan

Kesulitan dalam perkawinan dan menghindari keintiman seksual

Timbul

ketidakpatuhan

pasien,

akibat

pengobatan

penyakit

yang

mengakibatkan disfungsi ereksi.


b. Gejala
Impotensi atau ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual (Dipiro et
al, 2008).
Diagnosa
Dengan ketersediaan obat yang efektif untuk disfungsi ereksi di akhir 1990-an
evaluasi diagnostik disfungsi ereksi menjadi efisien. Kunci penilaian termasuk
deskripsi keparahan disfungsi ereksi, sejarah pengobatan, review obat yang
digunakan, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium klinis. Untuk menilai tingkat
keparahan disfungsi ereksi, pasien harus ditanya tentang onset dan frekuensi. Sebuah
kuesioner standar, seperti Indeks Internasional Disfungsi Ereksi, sering digunakan. Ini
mencakup 15 pertanyaan tentang kualitas fungsi ereksi dan hubungan seksual. Dokter
harus hati-hati menilai harapan pasien dan motivasi pasien tentang fungsi ereksi
untuk memastikan bahwa itu adalah wajar (Dipiro et al, 2005).
Sejarah pengobatan harus diperoleh untuk mengidentifikasi komplikasi
penyakit yang merupakan faktor risiko untuk disfungsi ereksi organik atau
psikogenik. Jika penyakit yang mendasari tidak optimal mendapat pengobatan, ini
harus ditangani sebelum pengobatan khusus untuk disfungsi ereksi dimulai. Jika
pasien merokok, minum akohol berlebihan, atau menggunakan narkoba, harus
dihentikan sebelum pengobatan khusus untuk disfungsi ereksi dimulai (Dipiro et al,
2005).

Semua daftar lengkap resep pasien dan over-thecounter (OTC) obat harus
ditinjau ulang oleh dokter, yang harus mengidentifikasi obat yang mungkin
berkontribusi terhadap disfungsi ereksi. jika mungkin, agen penyebab harus
dihentikan atau dosisnya harus dikurangi (Dipiro et al, 2005).
Pemeriksaan fisik pasien harus mencakup pemeriksaan untuk hipogonadisme
(yaitu, tanda-tanda ginekomastia, testis kecil, dan rambut tubuh). Penis juga harus
dievaluasi untuk penyakit terkait dengan kelengkungan penis (misalnya, penyakit
Peyronie), yang juga dikaitkan dengan disfungsi ereksi. Femoral dan tungkai bawah
pulsa harus dinilai untuk memberikan indikasi vaskular memasok ke alat kelamin.
Nada sfingter anal dan refleks genital lainnya harus diperiksa untuk memberikan
indikasi integritas saraf memasok ke penis (Dipiro et al, 2005).
Tes laboratorium harus diperoleh untuk mengidentifikasi keberadaan penyakit
yang bisa menyebabkan disfungsi ereksi. Ini termasuk glukosa darah, profil lipid, dan
tingkat tiroksin. Kadar testosteron serum harus diperiksa pada pasien dengan usia
lebih dari 50 tahun dan pada pasien muda yang mengeluhkan penurunan dorongan
seksual. Kadar testosteron serum mengikuti pola sirkadian sekresi, dengan tingkat
tertinggi terjadi pada pagi hari. Untuk menafsirkan kadar testosteron serum dengan
benar, sampel serum harus diperoleh di pagi hari. Setidaknya pemeriksaan kadar
testosteron dilakukan dua kali untuk mengkonfirmasi terjadi hipogonadisme (Dipiro
et al, 2005).
Penatalaksanaan Terapi
Dalam penatalaksanaan terapi pada pasien Disfungsi ereksi, hal-hal yang
harus diperhatikan antara lain tujuan terapi, pendekatan umum dalam terapi,
algoritma terapi, terapi non-farmakologi, serta terapi farmakologinya
a. Tujuan terapi
Disfungsi ereksi bukanlah penyakit yang mengancam keselamatan jiwa individu,
namun pasien dapat mengalami depresi, kehilangan harga diri, citra diri yang buruk,
dan keretakan rumah tangga jika tidak ditangani. Tujuan utama terapi adalah pasien
8

dapat mencapai ereksi yang memuaskan untuk melakukan hubungan seks dan adanya
perbaikan kualitas hidup pasien. Terapi yang ideal harus memiliki efek samping yang
minimal, mudah dilakukan, memiliki onset kerja yang cepat, dan memiliki interaksi
obat yang minimal (Chisholm-Burns, 2008).
b. Pendekatan umum untuk terapi
Manajemen terapi diperlukan untuk mengidentifikasi tingkat keparahan penyakit
dan gaya hidup yang dapat mempengaruhi fungsi ereksi dan mengobati pasien secara
optimal. Penggunaan obat yang diduga dapat menyebabkan atau memperburuk
disfungsi ereksi juga harus dihentikan jika memungkinkan. Terdapat berbagai macam
pilihan pengobatan untuk pria dengan disfungsi ereksi, yaitu peralatan medis,
perawatan farmakologi, modifikasi gaya hidup, operasi, dan psikoterapi. Terapi dapat
dipilih berdasarkan pertimbangan dari keinginan pasien dan pasangannya, adanya
penyakit penyerta, respon, biaya, toleransi, dan keamanan (Chisholm-Burns, 2008).

c. Algoritma Terapi
Pasien Disfungsi Ereksi

Obat Penginduksi Disfungsi Ereksi Disfungsi Ereksi Organik Disfungsi Ereksi Psikogenik

entian atau penurunan dosis obat yang


menyebabkan
Disfungsi Ereksi
Inhibitor
Phospodiesterase
Oral

VED

1. Psikoterapi
2. Modifikasi Gaya Hidup

Jika tidak efektif


Jika efektif, lanjutkan
Jika efektif, lanjutkan
Jika tidak efektif

Terapi Intracavernosal

Jika efektif, lanjutkan


Jika tidak efektif

Terapi Alprostadil Intraurethral

Jika efektif, lanjutkan


Jika tidak efektif

Penile Prosthesis

10

Gambar 2.1. Algoritma terapi disfungsi ereksi (Dipiro et al., 2008)

d. Terapi non-farmakologi
1. Modifikasi Gaya Hidup
Pasien yang mengalami disfungsi ereksi harus menjalani gaya hidup sehat
secara berkesinambungan. Hidup sehat yang disarankan untuk menunjang terapi
disfungsi ereksi antara lain mengatur diet makanan (mengurangi makanan
berkolesterol), rajin berolahraga untuk menjaga kebugaran fisik, menjaga berat
badan badan ideal, mengurangi intensitas merokok dan minum minuman
beralkohol, mengendalikan pikiran agar tidak mengalami stres, dan tidak
menggunakan obat-obatan terlarang (Chisholm-Burns, 2008).
2. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan pendekatan pengobatan yang tepat untuk pasien
dengan disfungsi psikogenik atau campuran. Psikoterapi dilakukan untuk
mengatasi penyebab disfungsi dan diharapkan pasangan dapat berpartisipasi
dengan menghadiri sesi psikoterapi. Dalam mengobati disfungsi organik,
psikoterapi tidak dapat bekerja secara efektif kecuali dikombinasikan dengan

11

terapi lain. Keuntungan dari psikoterapi adalah non-invasi dan mitrapartisipasi,


sementara kerugian meliputi peningkatan biaya dan komitmen waktu (ChisholmBurns, 2008).
3. Vaccum Erection Devices (VEDs)
Perangkat VEDs ini dapat meningkatkan kemampuan ereksi dengan
menggunakan suatu vakum di sekitar penis (Chisholm-Burns, 2008). Adapun 3
komponen utama VEDs ini antara lain sebuah pompa yang menghasilkan tekanan
vakum negatif, sebuah silinder yang salah satunya ujungnya ditutup, dan tabung
yang menghubungkan pompa dan silinder. Pasien memasukkan bagian penis
sampai menyentuh bagian bawah perut ke bagian ujung silinder yang terbuka
menciptakan ruang vakum. Kemudian pasien mengaktifkan pompa untuk
menghasilkan tekanan vakum, yang menarik darah ke dalam arteriol corpora
cavernosa. Untuk memperpanjang ereksi, pasien dapat menggunakan band
konstriksi yang dipasang di dasar penis untuk menjaga aliran darah arteriol darah
dan mengurangi aliran darah vena dari penis (Dipiro et al., 2008).
VEDs adalah salah satu pengobatan yang paling efektif untuk disfungsi ereksi.
Alat ini memiliki tingkat keberhasilan > 90% dalam memperoleh ereksi yang
cukup untuk koitus dan dianggap sebagai lini pertama terapi. Onset kerja VEDs ini
cukup lambat sekitar 30 menit sehingga membutuhkan kesabaran dari kedua
pasien dan pasangan seksual. Kekakuan noninvasif dapat ditingkatkan dengan
menggunakan teknik pompa ganda di mana vakum digunakan selama beberapa
menit, dihentikan sebentar, kemudian digunakan kembali selama beberapa menit.
Tingkat keberhasilan yang lebih tinggi juga dapat dicapai dengan menggabungkan
VEDs dengan terapi lain (Chisholm-Burns, 2008).
Terapi VEDs terkadang digunakan sebagai terapi lini kedua pada pasien yang
tidak merespon pengobatan oral atau pengobatan injeksi untuk disfungsi ereksi.
Kombinasi VEDs dengan alprostadil intrakavernosa atau intraurethra memberikan
tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan hanya menggunakan VEDs.
Nyeri pada saat ejakulasi atau ketidakmampuan untuk ejakulasi adalah salah satu
12

efek samping yang dialami pasien menggunakan VEDs. Terapi VEDs ini
dikontraindikasikan pada orang dengan penyakit sickle cell dan digunakan secara
hati-hati pada pasien yang sedang menggunakan antikoagulan oral atau yang
memiliki gangguan perdarahan (Dipiro et al., 2008). VEDs ditunjukkan pada
gambar 2.2 sedangkan aplikasi penggunaan VEDs dan Penil prosthesis
ditunjukkan pada gambar 2.3.

Gambar 2.2. Perangkat VED (Dipiro dkk., 2008)

Gambar 2.3. Aplikasi Penggunaan VED dan Penil prosthesis (Chisholm-Burns, 2008)
4.

Penil Prostesis
13

Penil prostesis dapat berupa alat batangan yang semi kaku atau karet yang
lembut yang dimasukkan melalui pembedahan ke dalam corpus cavernosum
untuk memungkinkan terjadinya ereksi. Penil prostesis batangan yang semi kaku
dapat menjadi kaku sepanjang waktu namun dapat kembali ke posisi
membungkuk bila diinginkan oleh pasien. Prostesis inflitable tetap lembut
sampai pompa dalam cairan skrotum bergerak dari reservoir ke dalam silinder
penis. Detumescence dicapai ketika cairan ini kemudian ditransfer kembali ke
reservoir dengan mengaktifkan sebuah tombol pelepas. Karena prostesis adalah
pengobatan yang paling invasif yang tersedia, terapi ini hanya digunakan pada
pasien yang tidak menanggapi obat-obatan atau penanganan secara eksternal atau
pasien yang memiliki efek samping yang cukup berat menggunakan terapi lain.
Tingkat kepuasan pasien dapat setinggi 80% sampai 90%, sedangkan tingkat
kepuasan partner seks sedikit lebih rendah. Risiko utama dari penyisipan
prostesis adalah terjadinya infeksi dan kemungkinan kegagalan prostesis yang
dipasang. Rata-rata tingkat terjadinya infeksi yang tinggi disebabkan oleh adanya
penyakit diabetes yang tidak terkontrol, paraplegics, dan pasien menjalani
reimplantasi atau rekonstruksi penis (Chisholm-Burns, 2008).
e. Terapi farmakologi
1. Penghambat fosfodiesterase (Inhibitor fosfodiesterase)
Sildenafil bekerja secara kompetitif menghambat enzim PDE, sehingga
perombakan cGMP yang terbentuk dengan terlepasnya NO akibat stimulasi seksual
akan terhambat. Dengan demikian akan terjadi relaksasi otot polos korpora kavernosa
yang cukup lama untuk suatu ereksi yang memuaskan. Dengan dosis yang dianjurkan,
sildenafil tidak akan berfungsi bila tidak ada rangsangan seksual. Sildenafil bekerja
selektif terhadap PDE5 dibandingkan terhadap PDE yang lain. Dengan demikian,
efek utamanya adalah terhadap korpus kavernosus di penis, namun karena PDE5 juga
terdapat pada pembuluh darah maka pengaruh sildenafil terhadap pembuluh darah
juga tidak bisa diabaikan.

14

Sildenafil, tadanafil, dan vardenafil dikontraindikasikan pada terapi dengan


nitrat, kelainan aktivitas seksual, infark miokardia atau stroke, hipotensif, neuropati
optik iskemi non arteritik arterior. Efek samping sildenafil, tadanafil, dan vardenafil
meliputi dispepsia, sakit kepala, kemerahan pada wajah, pusing, mialgia, gangguan
penglihatan, kongesti hidung, tekanan intraokular, dan reaksi hipersensitif. Sildenafil,
tadanafil, dan vardenafil sebaiknya digunakan hati-hati pada penyakit kardiovaskuler,
deformasi anatomi pada penis (misalnya angulasi, fibrosis kavenosal, penyakit
peyronie) (BPOM, 2008).
Sildenafil, tadanafil, dan vardenafil adalah penghambat fosfodiesterase yang
direkomendasikan untuk digunakan pada pengobatan disfungsi ereksi. Obat-obat ini
tidak boleh diberikan bersamaan dengan obat-obat lain untuk pengobatan disfungsi
ereksi. Pasien sebaiknya dievaluasi dengan tepat sebelum diberikan sildenafil,
tadanafil, dan vardenafil. Karena pemberiannya oral, maka potensial terjadinya
interaksi obat (Dipiro et al., 2008).
Sildenafil dan valdenafil memiliki profil farmakokinetik yang sama. Kedua
obat ini memiliki onset kerja yang pendek yaitu 1 jam. Absorbsi obat ini akan
dihambat sekitar 2 jam dengan adanya asupan makanan yang mengandung lemak.
Sedangkan tadalafil memiliki onset kerja yang lebih panjang dengan durasi kerja 36
jam dan absorbsinya tidak dipengaruhi oleh asupan makanan. Ketiga obat ini
dimetabolisme dihati oleh sitokrom P450 isoenzim CYP3A4. Sebagian besar
metabolitnya diekskresikan melalui feses dan beberapa melalui urin (Dipiro et al.,
2008).
Dosis awal Sildenafil adalah 50 mg (manula 25 mg) dan diminum kira-kira 1
jam sebelum aktivitas seksual, dosis dilanjutkan sesuai menurut responnya terhadap
25-100 mg sebagai dosis tunggal sesuai kebutuhan, maksimal 1 dosis dalam 24 jam
(dosis tunggal maksimum 100 mg). Sediaan yang beredar: Viagra (pfizer Indonesia)
tablet salut selaput 25 mg, 50 mg, 100 mg (K). Dosis awal Tadalafil 10 mg, paling
tidak diminum 30 menit sebelum aktivitas seksual, dosis berikutnya disesuaikan
dengan respon, biasa sampai 20 mg sebagai dosis tunggal, maksimal 1 dosis dalam 24
15

jam. Sediaan yang beredar yaitu Cialis (Tempo Scan Pacific) tablet salut selaput 10
mg, 20 mg. Sedangkan dosis awal Vardenafil 10 mg (lansia 5 mg) dan rata-rata
diminum 25-60 menit sebelum aktivitas seksual, dosis berikutnya disesuaikan dengan
respon maksimal sampai 20 mg sebagai dosis tunggal, maksimal 1 dosis dalam 24
jam. Dapat diberikan sebelum atau sesudah makan. Tidak diindikasikan untuk
individu dibawah 18 tahun. Sediaan yang beredar: Levitra (Bayer Farma Indonesia)
Tablet salut selaput 5 mg, 10 mg, 20 mg (K) (BPOM, 2008).
Lebih dari 25 fosfodiesterase isoenzim yang berbeda telah diidentifikasi,
namun stimulasi efek fisiologis dan penghambatan dari beberapa isoenzim ini tetap
harus dijelaskan. Berdasarkan penelitian, isoenzim fosfodiesterase tipe 6 (PDE-6)
terdapat dalam sel batang dan kerucut mata. Penghambatan terhadap isoenzim ini
dikaitkan dengan penyebab terjadinya gangguan pengelihatan dan cyanopsia.
Sildenafil merupakan inhibitor isoenzim fosfodiesterase tipe 6 yang paling poten,
kemudian diikuti oleh vardenafil yang merupakan inhibitor isoenzim fosfodiesterase
tipe 6 yang bersifat intermediet, dan tadalafil (Dipiro et al., 2008).
Disamping isoenzim fosfodiesterase tipe 6, terdapat juga isoenzim
fosfodiesterase tipe 11 (PDE-11). Isoenzim ini terdapat pada otot lurik dan
penghambatan terhadap isoenzim dikaitkan dengan mialgia dan nyeri otot. Tadalafil
merupakan inhibitor isoenzim yang menghasilkan aktivatas penghambatan terbesar
terhadap isoenzim fosfodiesterase tipe 11 (PDE-11) (Dipiro et al., 2008).
2. Testoterone replacement regimens
Regimen pengganti testosteron didapatkan secara eksogen dan digunakan
untuk mengembalikan kadar serum testosteron dalam kisaran normal (300 sampai
1100 ng/dL). Dengan dilakukannya penggantian regimen testosteron maka gejala
hipogonadisme dapat diatasi, gelaja tersebut meliputi malaise, kehilangan kekuatan
otot, mood depresi, dan libido menurun. Testosteron secara langsung dapat
merangsang reseptor androgen pada sistem saraf pusat dan dianggap bertanggung
jawab dalam menjaga dorongan seksual yang normal (Dipiro et al., 2008).

16

Regimen pengganti testosteron diindikasikan pada pasien dengan gejala


hipogonadisme primer maupun sekunder, yang dapat diketahui dari adanya
penurunan libido dan konsentrasi serum testosteron yang rendah. Kadar serum
hormon luteinizing yang simultan dapat digunakan untuk membedakan pasien dengan
hipogonadisme primer dan sekunder. Pasien dengan peningkatan kadar hormon
luteinizing merupakan hipogonadisme primer, sedangkan pasien dengan penurunan
kadar hormon luteinizing merupakan hipogonadisme sekunder. Penggantian regimen
testosteron tidak boleh diberikan pada pria dengan kadar testosteron serum yang
normal (Dipiro et al., 2008).
Regimen pengganti testosteron dapat mengembalikan kekuatan otot dan
dorongan seksual serta memperbaiki suasana hati pasien dengan hipogonadisme.
Kemajuan umumnya diamati dalam beberapa hari atau minggu sejak awal
dilakukannya penggantian testosteron. Administrasi testosteron akan memperbaiki
kadar serum testosteron sehingga berada dalam kisaran normal. Tidak ada manfaat
tambahan yang ditunjukkan oleh dosis besar testosteron, yang meningkatkan kadar
serum testosteron dari batas paling rendah menuju batas atas kisaran normal, atau
menuju kisaran di atas normal. Regimen pengganti testosteron tidak dapat secara
langsung memperbaiki atau mengobati disfungsi ereksi, melainkan penggantian ini
dapat meningkatkan libido, sehingga memperbaiki disfungsi ereksi sekunder (Dipiro
et al., 2008).
Regimen pengganti testoteron dapat diberikan secara oral, parenteral, dan
topikal seperti tabel 2.2 di bawah ini.
Tabel 2.2. Perbandingan antara Regimen Penggantian Testosteron dan Regimen
Penggantian Testosteron Ideal (Dipiro et al., 2008).
Achieves
Serum
Testosterone
Concentration
s in
Normal
Range?

Produces Normal
Circadian Pattern of
Serum Testosterone
Concentrations?

17

Produces Normal
Pattern
of Serum
Concentrations
of Androgen
Metabolites?

Adverse Effects

Oral
testosterone

No

No

No

Oral alkylated
androgens

Yes

No

No

Yes

No; produces
supraphysiologic
Serum concentrations
for several days after
injection

No, excess
testosterone is
converted to
estradiol

Intramuscular
testosterone
cypionate or
enanthate

Transdermal
nonscrotal
skin
Patch

Transdermal
scrotal skin
patch

Transdermal
gel

Testosterone
subcutaneous
implant

Buccal system

Yes

Yes

Yes

Hyperlipidemia
Sodium
retention
Hyperlipidemia
Sodium
retention
Hepatotoxicity
Mood swings
Gynecomastia
Polycythemia
Hyperlipidemia

Yes, provided the patch


is placed at night

Yes

Dermatitis due
to permeation
enhancers in
formulation

Yes provided the patch


is applied in the
morning

No; 5-reductase in
scrotal skin
metabolizes
testosterone and
increases serum
concentrations of
dihydrotestosterone

Dermatitis due
to permeation
enhancers in
formulation

Yes

May be
inadvertently
transferred to
others who rub
up against the
patients skin
treated area

Yes

Yes

No

Yes

No

No; produces
elevated
concentrations
of
dihydrotestosterone
Yes

Pellet may be
extruded
accidentally,
resulting in loss
of drug effect
Gum irritation,
bitter taste

Regimen pengganti testosteron secara injeksi lebih dipilih dalam pengobatan


pada pasien dengan gejala hipogonadisme primer atau sekunder karena lebih efektif,
murah, dan tidak terkait dengan masalah bioavailabilitas atau efek samping

18

hepatotoksik dari androgen oral. Meskipun nyaman bagi pasien, testosteron gel dan
patch jauh lebih mahal daripada bentuk lain dari penggantian androgen, karena itu
sediaan tersebut harus disediakan untuk pasien-pasien yang menolak injeksi
testosterone (Dipiro et al., 2008).
Dalam regimen pengganti testosteron yang ideal, obat akan meniru pola
sirkadian normal dari konsentrasi serum testosteron sehingga konsentrasi puncak dan
palung terjadi pada pagi dan sore, masing-masing; menghasilkan konsentrasi serum
dalam kisaran normal, menghasilkan konsentrasi serum dihidrotestosteron dan
estradiol, yang merupakan metabolit testosteron yang meniru pola fisiologis normal,
dan menghasilkan efek samping minimal. Pada tabel 2.2 membandingkan regimen
penggantian testosteron yang tersedia secara komersial (Dipiro et al., 2008).
Testosteron alami memiliki bioavailabilitas oral yang kurang baik karena
mengalami metabolisme hepatik yang cukup besar, dan sehingga dosis yang
digunakan harus besar. Untuk meningkatkan bioavailabilitas oral, turunan teralkilasi
diformulasikan. Sehingga, metiltestosteron dan fluoxymesterone lebih tahan terhadap
katabolisme di hepatik, dapat digunakan dosis harian yang lebih kecil, dan berpotensi
lebih aman. Namun, testosteron oral turunan teralkilasi berhubungan dengan resiko
terjadinya hepatotoksisitas yang lebih serius, dan oleh karena itu tidak dipilih untuk
pengobatan disfungsi seksual (Dipiro et al., 2008).
Beberapa testosteron ester telah diformulasikan untuk injeksi intramuskular,
dengan beberapa jenis durasi aksi seperti pada tabel. Propionat yang merupakan
testosteron short-acting, membutuhkan dosis tiga kali seminggu, sebagian besar
penggunaannya telah digantikan dengan testosteron cypionate atau enanthate, karena
dosis dapat diberikan setiap 2, 4, atau 6 minggu pada kebanyakan pasien. Namun,
testosteron garam ini dapat peningkatan kadar serum testosteron pada interval dosis
yang digunakan, yang berkaitan dengan suasana hati pada beberapa pasien (Dipiro et
al., 2008).
Patch Testoderm asli bermerek diformulasikan untuk aplikasi pada skrotum.
Kulit skrotum lebih tipis dan memiliki suplai vaskuler yang lebih kaya daripada kulit
19

lengan atau paha. Oleh karena itu penggunaan patch Testoderm menghasilkan
penyerapan hormon yang sangat baik. Namun, patch bisa jatuh ketika skrotum
menjadi basah atau lembab, ketika pasien sedang beraktivitas, atau jika skrotum
terlalu berbulu (Dipiro et al., 2008).
3. Alprostadil
Alprostadil, juga dikenal sebagai prostaglandin E1, dapat merangsang adenyl
siklase, sehingga peningkatan produksi cAMP, messenger sekunder yang
menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah arteri dan jaringan sinusoidal
dalam corpora tersebut. Hal ini mengakibatkan peningkatan aliran darah (Dipiro et
al., 2008). Berdasarkan rute pemberian, alprostadil dibagi menjadi:
A. Alprostadil Intrakavernosa
Keseluruhan efikasi dari alprostadil intrakavernosa adalah 70% sampai 90%.
Tiga karakteristik dari alprostadil intrakavernosa antara lain:
-

Efektivitas dari alprostadil yaitu pada rentang dosis dari 2,5 sampai 20
mcg. Durasi rata-rata dari ereksi secara langsung terkait dengan dosis

alprostadil yang diberikan dan berkisar dari 12 sampai 44 menit.


Persentase yang lebih tinggi dari pasien dengan disfungsi ereksi
psikogenik dan neurogenik merespon alprostadil dengan dosis yang lebih

rendah dibandingkan dengan pasien disfungsi ereksi vaskulogenik.


Toleransi tampaknya tidak berkembang dengan terus menggunakan
alprostadil intrakavernosa di rumah.
(Dipiro et al., 2008)

Meskipun 70% sampai 75% dari pasien merespon alprostadil intrakavernosa,


proporsi tinggi dari pasien memilih untuk menghentikan penggunaannya dari
waktu ke waktu. Dari hasil studi dan pengamatan, 30% sampai 50% pasien
menghentikan terapi secara sukarela, biasanya selama 6 sampai 12 bulan pertama.
Alasan umum untuk penghentian karena kurangnya efektivitas yang dirasakan,
ketidaknyamanan saat pemberian, ketidakwajaran, ereksi yang tidak spontan, fobia
jarum, kehilangan minat, dan biaya terapi. Sekitar sepertiga dari pasien tidak
20

merespon dosis biasa dari alprostadil intrakavernosa. Pada pasien tersebut,


alprostadil intrakavernosa telah berhasil digunakan bersama dengan VED. Atau,
kombinasi sinergis injeksi intrakavernosa dari agen vasoaktif yang bertindak
dengan

mekanisme

yang

berbeda

telah

digunakan.

Terapi

kombinasi

intrakavernosa biasanya menghasilkan ereksi yang lebih lama dibandingkan ereksi


yang dihasilkan dari salah satu agen dalam campuran atau kombinasi. Selain
karena dosis yang rendah dari setiap agen dalam kombinasi, efek samping sistemik
dan lokal lebih sedikit berkembang dibandingkan dengan dosis tinggi monoterapi.
Misalnya, ketika digunakan dalam regimen kombinasi dosis rendah, papaverin
kurang cenderung untuk menginduksi hipotensi dan disfungsi hati, dan fentolamin
kurang cenderung menginduksi takikardia dan hipotensi. Namun, seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, terapi kombinasi intrakavernosa tidak tersedia secara
komersial dan diperparah dengan tanpa persiapan (Dipiro et al., 2008).
Dosis lazim alprostadil intrakavernosa adalah 10 sampai 20 mcg, dengan
dosis maksimum yang dianjurkan adalah 60 mcg. Dosis lebih besar dari 60 mcg
tidak menghasilkan perbaikan lebih besar dalam ereksi penis tetapi dapat
menyebabkna ereksi berkepanjangan yang berlangsung lebih dari 1 jam atau
sistemik hipotensi. Dosis harus diberikan 5 sampai 10 menit sebelum melakukan
hubungan seksual. Di bawah pengawasan seorang dokter, pasien harus dimulai
dengan dosis 1,25 mcg, yang dapat ditingkatkan dengan penambahan sebesar 1,25
sampai 2,50 mcg pada interval 30 menit sampai dosis terendah yang menghasilkan
ereksi selama 1 jam dan tidak menghasilkan efek samping. Dalam praktek klinis,
proses ini jarang dilakukan karena memerlukan waktu. Untuk menghindari efek
yang merugikan, pasien harus menerima tidak lebih dari 1 suntikan per hari dan
tidak lebih dari 3 suntikan per minggu. Injeksi intrakavernosa harus dilakukan
dengan menggunakan jarum 0,5 inci, 27 atau 30 ukuran jarum. Sebuah jarum
suntik atau jarum suntik tuberkulin prefilled dengan pengencer seperti yang
disediakan oleh produsen harus digunakan untuk memastikan pengukuran tepat
dosis. Pasien dengan fobia jarum, dapat menggunakan auto injectors tersedia
21

secara komersial (misalnya, PenInject) untuk memfasilitasi pemberian alprostadil


intra-kavernosa. Suntikan intrakavernosa mengharuskan pasien menggunakan
teknik aseptik yang baik (untuk menghindari infeksi), memiliki keterampilan
manual yang baik dan kemampuan visual, dan merasa nyaman dengan teknik
injeksi. Setelah injeksi, penis harus dipijat untuk membantu mendistribusikan obat
ke dalam korpus kavernosum. Daerah injeksi harus digilir dengan dosis masingmasing. Pada akhir prosedur, pada daerah injeksi harus ditekan selama 5 menit
untuk mengurangi kemungkinan pembentukan hematoma. Setelah dosis optimal
alprostadil intrakavernosa tercapai, pasien harus kembali untuk tindak lanjut medis
rutin setiap 3 sampai 6 bulan (Dipiro et al., 2008).
B. Intraurethral Alprostadil
Beberapa studi menunjukkan produk ini memiliki efektivitas keseluruhan
43% sampai 60% dibandingkan dengan 70% sampai 90% untuk alprostadil
intrakavernosa. Efektivitas menurun dan metode administrasi nyaman yang
dihasilkan produk ini mempertimbangkan pilihan pengobatan thirdline untuk
pasien dengan disfungsi ereksi. Namun, beberapa pasien merespon alprostadil
intraurethra meskipun mereka tidak merespon alprostadil intrakavernosa.
Alprostadil intraurethra yang dikombinasikan dengan adjustable penil
constriction band untuk meningkatkan respon pengobatan (Dipiro et al.,
2008).
Dosis biasa alprostadil intrauretra adalah 125-1000 mcg. Dosis harus
diberikan 5 sampai 10 menit sebelum hubungan seksual. Tidak lebih dari dua
dosis per hari yang direkomendasikan. Sebelum administrasi, pasien harus
disarankan untuk mengosongkan kandung kemih. Mirip dengan perawatan
injeksi intrakavernosa, penyisipan alprostadil intraurethra membutuhkan
keterampilan manual dan visual yang baik untuk meminimalkan risiko cedera
uretra. Alprostadil intraurethra disediakan dalam aplikator intrauretra prefilled.
Dengan satu tangan pasien memegang glans penis, dan dengan tangan lain
pasien memasukkan aplikator intraurethra 0,5 inci ke dalam uretra. Pelet obat
22

ini kemudian didorong ke dalam uretra. Penis harus dipijat untuk


meningkatkan kelarutan obat dalam cairan uretra dan penyerapan obat (Dipiro
et al., 2008).
4. Unapproved agents
A. Trazodone
Mekanisme trazodone dalam menyebabkan ereksi belum jelas, namun
mungkin disebabkan karena efek perifernya pada -adrenergik reseptor
antagonis. Akibatnya, efek kolinergik muncul lebih dominan dan menyebabkan
vasodilatasi arteriol perifer dan relaksasi jaringan kavernosus sehingga
meningkatkan aliran darah ke corpora. Injeksi trazodone intrakavernosa dalam
studi eksperimental menunjukkan fakta yang mendukung mekanisme tersebut.
Studi awal menunjukkan bahwa trazodone 50-200 mg per oral sehari mungkin
efektif dalam terapi disfungsi ereksi fungsi, uji coba ini tidak terkontrol,
nonrandomized, dan menggunakan sampel kecil. Studi lain yang terkontrol baik
menunjukkan bahwa trazodone 50 dan 150 mg per oral sehari tidak lebih efektif
dibandingkan plasebo pada sebagian besar pasien dengan disfungsi ereksi. Efek
samping dari trazodone, bila digunakan untuk disfungsi ereksi fungsi yaitu
oversedasi dan blockade pada -adrenergik (Dipiro et al., 2008).
B. Yohimbin
Yohimbin dikenal juga sebagai yohimbe, secara luas digunakan sebagai
aphrodisiac (perangsang keinginan seksual). Mekanismenya yaitu efek 2adrenergik antagonis yang meningkatkan katekolamin dan menyebabkan
peningkatan mood. Namun, beberapa peneliti percaya bahwa yohimbin
memiliki efek proerektogenik perifer. Yohimbin dapat mengurangi efek adrenergik perifer, sehingga efek kolinergik dominan. Hal ini dapat
mengakibatkan timbulnya respon vasodilatasi. Dosis oral biasanya adalah 5,4
mg tiga kali sehari. Sebuah uji klinis terkontrol telah menunjukkan dosis tinggi
yohimbin (100 mg sehari) tidak lebih efektif daripada plasebo. Berdasarkan
meta-analisis dari suatu penelitian telah menyimpulkan hal yang sama,
23

American Urological Association juga telah memberikan peringatan terhadap


penggunaan yohimbin. Selain itu, yohimbin juga memiliki banyak efek
samping sistemik, termasuk kecemasan, insomnia, takikardia, dan hipertensi
(Dipiro et al., 2008).
C. Papaverine
Papaverine bekerja dengan menghambat phosphodiesterase kavernosus
sehingga menyebabkan penurunan katabolisme metabolik dari cAMP dalam
jaringan kavernosus. Akibatnya, meningkatnya cAMP dan terjadi relaksasi otot.
Sinusoid kavernosus terisi dengan darah dan menyebabkan terjadinya ereksi
penis. Papaverine tidak disetujui FDA untuk terapi disfungsi ereksi. Papaverine
intrakavernosus tunggal tidak umum digunakan untuk manajemen disfungsi
ereksi karena diperlukan dosis yang besar dan menyebabkan efek samping yaitu
priapisme, fibrosis kopral, hipotensi, dan hepatotoksik. Papaverine lebih sering
digunakan dalam dosis yang lebih rendah dan dikombinasikan dengan
phentolamine atau alprostadil. Kombinasi dianggap lebih aman karena terkait
dengan minimalnya potensi efek samping serius dari dosis tinggi. Sebagian dari
tiap dosis papaverine diserap secara sistemik dan waktu paruh plasmanya 1
jam. Dosis papaverine adalah 7,5-60 mg bila digunakan sebagai terapi tunggal
untuk injeksi intrakavernosa. Ketika digunakan dalam kombinasi, dosis
menurun menjadi 0,5-20 mg. Jika diterapi dengan papaverine, pasien dengan
riwayat penyakit hati atau penyalahgunaan alkohol harus melakukan tes fungsi
hati dan dilakukan secara rutin pada awal terapi dan setiap 6-12 bulan selama
terapi berlangsung (Dipiro et al., 2008).
D. Phentolamine
Phentolamine adalah agen pemblok -adrenergik yang kompetitif dan
nonselektif sehingga menurunkan efek adrenergik perifer dan meningkatkan
efek kolinergik. Hal ini menyebabkan peningkatan pengisian kavernosus dan
merupakan proerektogenik. Phentolamine paling sering diberikan dalam injeksi
intracaernosal. Monoterapi sebaiknya dihindari, dosis besar dibutuhkan, dan
24

efek samping hipotensi umum terjadi. Phentolamine paling sering digunakan


dalam kombinasi dengan agen vasoaktif lain untuk injeksi intrakavernosa.
Kombinasinya yaitu 30 mg papaverine dan 0,5-1 mg phentolamine dan dosis
dari kombinasi tersebut antara 0,1-1 mL. Kombinasi tersebut memperantarai
efek lokal phentolamine dan meminimalkan efek samping hipotensi sistemik.
Hipotensi adalah efek samping yang paling umum dari phentolamine
intracavernosal. Hal ini lebih umum dan lebih parah pada penggunaan dosis
tinggi

atau

pada

pasien

dengan

teknik

injeksi

yang

salah

(menyuntikkankedalam suatu vena, bukan cavernosa). Ereksi berkepanjangan


juga telah dilaporkan pada pasien yang menggunakan kombinasi intrakavernosa
dengan dosis yang berlebihan (Dipiro et al., 2008). Ringkasan regimen dosis
untuk DE dapat dilihat pada tabel 2.3
Tabel 2.3. Regimen Dosis untuk Disfungsi Ereksi
No
1

Route of
Administration
Oral

Generic name
(Brand Name)
Yohimbine (Aphrodyne,
Yocon, Yohimex)
Sildenal (Viagra)

Dosage Form
5.4-mg tablet or
capsule

Common Dosing
Regimen
5.4 mg three times
a day

25-mg, 50-mg,
100-mg tablets
Sublingual tablets

25100 mg 1 hour
before intercourse

10-mg, 25-mg
tablets and
capsules
2-mg, 5-mg, 10mg tablets

1040 mg daily

Trazodone (Desyrel)b

50-mg, 100-mg,
150-mg, 300-mg
tablet

50150 mg daily

Phentolamine (Spontane,
Vasomax)a
Vardenal (Levitra)

Oral or buccal
tablets
2.5-mg, 5-mg, 10mg, 20-mg tablets
5-mg, 10-mg, 20mg tablets

Apomorphine (Uprima)a
Methyltestosterone
(Oreton, Android)
Fluoxymesterone
(Halotestin)

Tadalal (Cialis)

25

520 mg daily

510 mg 1 hour
before intercourse
520 mg prior to
intercourse

Topical

Intramuscular

Intraurethral

Intracavernosal

Testosterone patch
(Testoderm)
Testosterone patch
(Testoderm TTS)

4 mg/patch, 6
mg/patch
4 mg/patch, 6
mg/patch

46 mg/day; apply
to scrotum
46 mg/day; apply
to arm, buttock,
back
2.55 mg/day;
apply to arm,
back, abdomen,
thigh
510 g/day; apply
to shoulders, upper
arms, abdomen

Testosterone patch
(Androderm)

2.5 mg/patch

Testosterone gel
(AndroGel 1%)

5 g/pkt, 10 g/pkt

Testosterone cypionate
(Depo-Testosterone)

100 mg/mL, 200


mg/mL

200400 mg every
2 to 4 weeks

Testosterone enanthate
(Delatestryl)
Testosterone propionate

100 mg/mL, 200


mg/mL
100 mg/mL

Alprostadil (MUSE)

125-mcg, 250mcg, 500-mcg,


1000-mcg pellets

Alprostadil (Caverject)

5 mcg, 10 mcg,
20 mcg injection

Alprostadil (Edex)

5 mcg, 20 mcg,
20 mcg, 40 mcg
injection

200400 mg every
2 to 4 weeks
2550 mg two to
three times a week
1251000 mcg 5
to 10 minutes
before
Intercourse
2.560 mcg 5 to
10 minutes before
Intercourse
2.560 mcg 5 to
10 minutes before
Intercourse

Papaverineb

30 mg/mL
injection

Phentolamineb

2.5 mg/mL
injection

Variable, usually
used in
combination
Variable, usually
used in
combination

Keterangan : a Not yet commercially available in the United States at the time this chapter was written,
b
Not FDA-approved for this use

26

DAFTAR PUSTAKA
Agus, F.B., Istar, I., dan Karyanta, A.N., Perbedaan Derajad Disfungsi Ereksi Pria
Dewasa Awal Ditinjau Dari Tingkat Stres Di Kelurahan Jagalan Surakarta.
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Anderson, Clifford R.,2004, Petunjuk Modern Kepada Kesehatan, Indonesia
Publishing House, Bandung.
Boolell M, Gepi-Attee S, Gingel JC, Allen MJ. Sildenafil : a novel effective oral
therapy for male erectile dysfucntion. Br J Urol 1996;78:257-61.
DiPiro, Joseph T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells,
dan L. Michael Posey. 2005. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic
Approach, Sixth Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc : USA.
Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey. 2008.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition. New York: The
MacGraw-Hill Company Inc.
Dipiro, J. T., Talbert, R.L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G.., and Posey, L. M.
2011. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 8th Ed. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Feldman HA, Goldstein I, Hatzichrictou DG, Krane RJ, McKinley JB. Impotence and
its medical and psychosocial correlates : results of the Massachusetts male
aging study. J Urol 1994;151:54-61
Hatzimouratidis, K., 2010, Guidelines on Male Sexual Dysfunction: Erectile
Dysfunction and Premature Ejaculation. Dalam Lobo JR, Nehra A. Clinical

27

evaluation of erectile dysfunction in the era of PDE-5 inhibitors. Urol Clin


North Am 2005;32:44755, vi.
Hatzimouratidis, K., 2010, Guidelines on Male Sexual Dysfunction: Erectile
Dysfunction and Premature Ejaculation. Dalam Lue TF, Giuliano F, Montorsi
F, et al. Summary of the recommendations on sexual dysfunctions in men. J
Sex Med 2004;1:623.
Susanto,L.T.M.,2010, Sildenafil dalam Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi, Jurnal,
Bagian Histologi Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti.
Tsertsvadze A., Yazdi, F., Fink, H.A., MacDonald, R., Wilt, T.J., Soares-Weiser, K.,
Bella, A.J., Deforge, D., Garritty, C., Ansari, M., Sampson, M., Daniel, R.,
dan Moher, D. 2009. Diagnosis and Treatment of Erectile
Dysfunction..Canada: AHRQ Publication.
Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer T. L., Dipiro, C. V., 2009,
Pharmacotherapy Handbook, 7th ed, The McGraw-Hill Companies, Inc. P.
263-271.
Wincze, J.P and Carey, M.P. 2001.Sexual Disfunction A Guide for Assessment and
Treatment. New York : The Guilford Press.

28

Anda mungkin juga menyukai