PENDAHULUAN
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen yang dapat berupa trauma tembus
maupun tumpul serta trauma yang disengaja maupun tidak disengaja. Trauma tersebut
mungkin melibatkan kerusakan pada organ dalam abdomen.1,2
Trauma, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja adalah penyebab utama
kematian pada usia hingga 44 tahun dan merupakan penyebab utama keempat yang
menyebabkan kematian secara keseluruhan setelah penyakit jantung, kanker dan stroke.
Diperkirakan sekitar setengah dari seluruh kematian terkait dengan trauma terjadi dalam
hitungan detik atau menit setelah kejadian trauma serta terkait dengan laserasi pada
aorta, jantung, batang otak, otak dan spinal cord.3
Sebagian besar cedera abdomen disebabkan oleh trauma tumpul sekunder dari
kecelakaan mobil dengan kecepatan tinggi, meskipun trauma tembus lebih sering terjadi
pada lingkungan perkotaan. Kegagalan dalam mengelola cedera abdomen adalah faktor
penyebab kematian pada kasus trauma abdomen yang kematiannya dapat dicegah,
diikuti dengan faktor terjadinya multipel trauma. Faktor lainnya yang berperan dalam
peningkatan insidensi trauma adalah kendaraan bermotor.2
Peningkatan angka morbiditas terkait dengan trauma abdomen disebabkan oleh
kegagalan mengenali adanya perdarahan intra-abdomen yang tidak tampak serta
kegagalan untuk mengontrol perdarahan dari organ intra-abdomen. Cedera abdomen
diperkirakan dapat menyebabkan kematian akibat trauma sebesar 10% tiap tahunnya di
Amerika Serikat.2,3
Kejadian trauma abdomen diperkirakan terus menerus meningkat seiring dengan
penurunan insidensi penyakit infeksi dan industrialisasi masyarakat. Sehingga cedera
atau trauma saat ini menjadi konsentrasi dibidang kesehatan masyarakat.2 Untuk itu
diperlukan pengetahuan yang baik dan cukup luas mengenai trauma khususnya trauma
abdomen yang pada referat ini akan dibahas lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Abdomen sering mengalami cedera setelah trauma tumpul dan trauma tembus. Sekitar
25% dari semua trauma akan membutuhkan eksplorasi abdomen. Evaluasi klinis
abdomen dilakukan dengan pemeriksaan fisik yang adekuat untuk mengidentifikasi
trauma intra-abdomen karena banyaknya pasien dengan perubahan status mental
sekunder dari trauma kepala, alkohol, atau obat-obatan serta karena inaksesibilitas
pelvis, abdomen atas, dan organ retroperitoneal untuk dipalpasi. Oleh karena itu
beberapa modalitas diagnostik digunakan selama 3 dekade terakhir, yaitu adalah
diagnostic peritoneal lavage (DPL), ultrasound, computed tomography, dan
laparoskopi, semuanya memiliki keuntungan, kerugian dan batasan. 1,2
2.1 Anatomi3
Abdomen merupakan bagian batang tubuh yang terletak diantara toraks dan pelvis yang
dibatasi oleh diafragma pada bagian superior dan lipatan infragluteal pada bagian
kaudal. Abdomen biasa dibagi menjadi 9 regio untuk mengidentifikasi letak organ yang
berada didalamnya. 9 regio abdomen terdiri dari regio epigastrium, regio hipokondrium
dekstra dan sinistra, regio umbilikal, regio lumbar dekstra dan sinistra, region
hipogastrium serta regio inguinalis dekstra dan sinistra. Sedangkan untuk memudahkan
inisiasi evaluasi trauma, abdomen dibagi kedalam empat area: abdomen intratorakal,
true abdomen, abdomen pelvis dan abdomen retroperitoneal.
Abdomen intratorakal merupakan bagian abdomen atas yang terletak di bawah
tulang costae. Struktur tulang dan tulang rawan membuat area ini sulit dipalpasi.
Abdomen intratorakal terdiri dari diafragma, hepar, spleen, dan lambung. Setiap organ
ini dapat mengalami trauma akibat efek dari trauma tumpul atau trauma tembus yang
mengenai tulang costae.
Abdomen pelvis ditandai dengan tulang pelvis yang terdiri dari rektum, kandung
kemih, uretra, usus halus, dan pada perempuan terdapat uterus, tuba fallopi, dan
ovarium. Trauma pada pelvis atau fraktur pelvis dapat merusak organ yang berada di
dalamnya, dan trauma tembus pada bokong dapat mencederai organ pelvis. Trauma
pada struktur ini kemungkinan ekstraperitoneal dan kemudian sulit didiagnosis. Untuk
itu perlu dilakukan tindakan seperti kateterisasi kandung empedu, uretrosistografi, dan
sigmoidoskopi untuk menegakkan diagnosis.
Abdomen retroperitoneal terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, duodenum porsi
kedua dan ketiga, pembuluh darah besar, aorta, dan vena kava. Trauma pada struktur ini
juga dapat terjadi sekunder dari trauma tembus atau trauma tumpul. Ginjal dapat rusak
melalui trauma costae bagian posterior dan struktur ini juga dapat rusak melalui
crushing injury pada bagian depan atau sisi torso. Kemudian trauma pada struktur ini
mungkin hanya mengakibatkan sedikit pada temuan fisik, pemeriksaan fisik dan
diagnostic peritoneal lavage (DPL) jarang digunakan. Evaluasi abdomen peritoneal
membutuhkan prosedur pencitraan radiografi seperti computed tomography (CT) scan,
angiografi, ultrasound, dan pielografi intravena.
True abdomen terdiri dari usus halus dan usus besar, kandung kemih ketika
distensi, dan uterus ketika sedang mengalami gravid. Perforasi pada organ ini biasanya
bermanifestasikan nyeri dari peritonitis dan disertai dengan temuan fisik abdomen yang
signifikan. DPL berguna untuk mencurigai adanya cedera intraabdomen dan foto polos
abdomen dapat membantu melihat jika terdapat gambaran udara bebas.
Gambar 2. Empat pembagian anatomi abdomen secara tradisional. (A) Abdomen intratorakal. Isi daerah
ini adalah subdiafragma tetapi sefalik terhadap margin costae. Dengan respirasi, diafragma dianggap naik
pada level puting (sela iga anterior keempat). Hemidiafragma kiri yang ruptur diilustrasikan dengan
herniasi lambung dan kolon transversus distal ke dalam hemitoraks kiri. (B) Demikian juga dengan isi
dari abdomen pelvis yang berada dalam tulang pelvis. (C) Struktur dalam abdomen peritoneal. True
abdomen (intraperitoneal) terdiri dari viscera dan organ yang ada didalamnya dinamik, tergantung dengan
posisi tubuh dan respirasi.
padat tunggal setelah luka tusuk atau luka tembak abdomen dapat diobati secara
konservatif.
Pada anak-anak, selain mekanisme cedera diatas, pelecehan terhadap anak dan
trauma sekunder dari aktivitas rekresional seperti bersepeda, berenang dan roller
skating juga sebaiknya dipertimbangkan sebagai mekanisme cedera yang mungkin
dapat terjadi.
2.3 Pendekatan Diagnostik2,3
Diagnosis dan tatalaksana harus dilakukan berdasarkan protokol yang sudah ditetapkan.
Perbaikan fungsi jalan nafas khususnya pada pasien koma harus dilakukan sebelum
mengevaluasi abdomen. Kemudian selanjutnya dilakukan pemasangan endotracheal
tube dan ventilasi. Selain itu tindakan resusitasi dengan cairan ringer lactate (RL) atau
NaCL juga perlu dilakukan untuk keseimbangan cairan pasien dengan trauma abdomen.
Resusitasi kristaloid awal diindikasikan khususnya pada kejadian trauma kepala.
Abdomen adalah diagnostik kotak hitam. Untungnya, dengan beberapa
pengecualian tidak penting untuk mengetahui organ apa yang cedera tetapi yang penting
adalah mengenai apakah tindakan laparotomi eksplorasi perlu untuk dilakukan.
Pemeriksaan fisik abdomen dapat diandalkan dalam membuat diagnosis seperti adanya
kekakuan abdomen atau distensi abdomen.
Riwayat terjadinya trauma atau mekanisme cedera penting untuk menjelaskan
kemungkinan adanya trauma organ intraabdomen. Semua informasi yang mungkin
penting sebaiknya digali mulai dari pre-hospital termasuk mekanisme cedera,
ketinggian saat jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan bermotor, mekanisme
kematian lainnya, ejeksi, tanda vital, status mental, perdarahan eksternal, serta jenis
senjata tajam yang digunakan. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan saat
berada di rumah sakit biasanya akurat dalam menentukan trauma intraabdomen pada
pasien sadar dan responsif. Banyak pasien dengan perdarahan intraabdomen moderat
akan berada dalam kondisi kompensasi hemodinamik dan tidak akan ditemukan tandatanda masalah pada peritoneum.
Pasien dengan trauma tumpul yang stabil secara hemodinamik dievaluasi secara
adekuat dengan USG atau CT abdomen, kecuali jika terdapat luka berat lainnya maka
pasien harus pergi ke ruang operasi sebelum dilakukan evaluasi abdomen. Dalam hal
tersebut, diagnostic peritoneal lavage (DPL) atau focus abdomninal sonography trauma
Gambar 3. DPL dilakukan melalui insisi infraumbilikal.Linea alba diinsisi, kateter menembus
peritoneum dengan bantuan trokar dan diarahkan ke dalam panggul.
Trauma yang signifikan bisa tidak terdiagnosa dengan DPL. Robekan diafragma,
hematoma retroperitoneal, dan trauma renal, pankreas, duodenum, usus halus serta
kandung kemih ekstraperitoneal seringkali tidak terdiagnosa dengan hanya
pemeriksaan DPL saja. Indikasi dan kontraindikasi untuk DPL dapat dilihat pada
tabel 2 berikut ini.
Tabel 1. Indikasi dan Kontraindikasi untuk DPL
Angka Kejadian
37
Usus halus
Lambung
Kolon
Pembuluh darah mayor
Retroperitoneal
Mesenterium & omentum
Lien
Diafragma
Ginjal
Lainnya
26
19
17
13
10
10
7
5
4
10
Trauma pada rongga toraks dan abdomen terjadi pada 20% pasien dengan
luka tembus abdomen. Pasien dengan luka tembus toraks juga mungkin
mengalami trauma intraabdomen karena peluru dapat dengan mudah melintang
pada diafragma. Pasien dengan luka tembak abdomen dan toraks inferior
biasanya dilakukan tindakan laparotomi karena kemungkinan terjadinya trauma
intraabdomen yang besar. Perbedaan antara potensial trauma dengan luka tembak
dan luka tusuk adalah pada fungsi energi kinetik yang lebih tinggi terkait dengan
luka tembak. Tatalaksana selektif mungkin merupakan metode terbaik untuk
mengobati luka tusuk.
b. Trauma tumpul
Kecelakaan mobil merupakan penyebab sekitar 60% semua cedera traumatik.
Tabel 3 akan menjelaskan insidensi organ spesifik yang cedera akibat trauma
tumpul abdomen. Organ tersering yang cedera akibat trauma intraabdomen
adalah hepar. Cedera hepar yang ringan sering terdeteksi pada pasien yang
menjalani CT abdomen, sedangkan trauma spleen pada dewasa kemungkinan
9
Angka Kejadian
30
25
13
7
6
5
5
3
2
4
10
Gambar
4.
Radiografi
toraks
menunjukkan
adanya
gelembung
didalam toraks kiri dengan ruptur
hemidiafragma kiri
11
2. Spleen
Spleen adalah organ intraabdomen yang sering mengalami trauma tumpul
abdomen. Selain itu, trauma spleen juga sering terjadi pada fraktur iga bawah di
bagian kiri karena spleen terletak pada kuadran kiri atas dan terletak pada bagian
kiri sedikit posterior dari lambung. Pada anamnesis penting untuk mengetahui
mekanisme trauma serta lokasi terjadinya trauma. Riwayat jatuh, dipukul atau
trauma terkait olahraga pada dada bagian kiri, flank (daerah abdomen pada
setiap sisi regio umbilikal) atau abdomen bagian kiri atas biasanya terkait
dengan trauma spleen.
Manifestasi klinis yang tampak biasanya sedikit dan tidak signifikan seperti
adanya tanda-tanda kehilangan darah, nyeri atau tenderness pada abdomen
kuadran kiri atas dan nyeri alih pada bahu kiri (Kehrs sign). Tatalaksana yang
dapat dilakukan pada pasien trauma abdomen dengan cedera spleen hanya
pembedahan.
3. Hepar
Hepar adalah organ terbesar dalam rongga abdomen yang sering mengalami
kerusakan pada trauma tumpul atau tembus abdomen sama halnya dengan
trauma pada torakoabdominal. Insidensi trauma hepar lebih banyak jika
dibandingkan dengan trauma spleen. Mekanisme hemostatik spontan biasanya
cukup efektif pada sekitar 85% pasien dengan trauma hepar yang tidak
mengalami perdarahan secara aktif saat laparotomi dan trauma ini diperkirakan
dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Pada saat tindakan laparotomi, trauma
hepar tidak memerlukan terapi spesifik dan drainase biasanya tidak terlalu
penting untuk dilakukan.
Pasien dengan trauma hepar yang signifikan biasanya memiliki riwayat
energi tumpul mayor yang ditransfer ke toraks kanan dan abdomen atas.
Manifestasi klinis yang muncul mungkin minimal karena perdarahan awal tidak
menyebabkan iritasi peritoneal atau distensi abdomen. Pasien dengan hipotensi
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya atau adanya riwayat syok setelah
kejadian trauma tumpul harus dianggap beresiko untuk terjadinya trauma hepar
yang berat. DPL atau FAST dapat membantu menegakkan diagnosis
hemoperitoneum, jika hasilnya positif, laparotomi dapat menjadi opsi
pada eksplorasi awal. Alternatif ini dikaitkan dengan tingkat kematian setinggi
30% sehingga harus dihindari kecuali memang benar diperlukan.
Gambar 6. Manuver Pringle mengkompresi struktur trias portal dengan klem vaskular
noncrushing untuk mengontrol hepatic inflow. Jika memungkinkan, waktu klem dibatasi dengan
interval 15-20 menit.
4. Lambung
Lambung adalah organ yang rentan terhadap trauma tembus pada bagian atas
abdomen dan bagian bawah toraks, yang merupakaan visera abdomen bagian
atas yang berada pada bagian dasar tulang iga pada tingkat setinggi sela iga
keempat. Lambung dapat mengalami trauma sekitar 5% hingga 10% pada pasien
dengan trauma tembus abdomen.
Manifestasi klinis terjadinya trauma pada gaster adalah adanya hematemesis
atau darah yang dapat ditemukaan saat aspirasi dengan nasogastric tube.
Meskipun begitu, tidak adanya darah yang ditemukan pada aspirasi gaster juga
tidak bisa menyingkirkan kemungkinan terjadinya trauma gaster.
Pada saat dilakukan laparotomi, pembukaan yang adekuat membutuhkan
mobilisasi dan visualisasi pada seluruh gaster. Sebagian besar permukaan
anterior gaster dapat divisualisasikan secara adekuat tanpa mobilisasi yang
ekstensif dengan memegang pinggir kurva yang lebih besar pada gaster dengan
jari atau klem Babcock, lalu kemudian gaster ditarik kebawah dan dilebarkan.
Pembukaan gastroesophageal junction dapat sulit dilakukan jika bagian yang
melebar pada margin costae sempit.
Trauma pada gaster biasanya dapat dengan mudah diperbaiki, terutama
dengan double layer, dengan lapis dalam dengan jahitan menggunakan 3-0 atau
4-0 yang dapat diserap, kemudian diikuti dengan lapisan luar dengan jahitan
Lembert permanen 3-0 atau 4-0. Trauma besar khususnya pada luka tembak
membutuhkan tindakan reseksi, sedangkan trauma pada pylorus harus ditutup
dengan Heineke-Mikulicz pyloroplasty.
Trauma tembus abdomen sering disertai dengan laserasi diafragma
karena disebabkan posisi gaster yang tinggi dalam abdomen. Selama ventilasi
spontan akan terjadi tekanan negatif pada kavum pleura dan tekanan positif
dalam abdomen dan gradien tekanan resultan menyebabkan perpindahan cairan
gaster dan partikulat dari abdomen ke dalam toraks. Kontaminasi sering terjadi
sebelum ventilasi tekanan positif dan laparotomi. Empiema dapat disebabkan
oleh kontaminasi yang minimal. Kemudian kombinasi trauma gaster dan
diafragma juga memerlukan tindakan lavage pada kavum pleura sebelum
dilakukan penutupan diafragma, untuk itu laserasi diafragma harus cukup besar
untuk dapat melakukan lavage pada abdomen.
Dalam tatalaksana pembedahan gaster ada beberapa hal yang harus
diperhatikan yaitu, nervus prenikus dan pembesaran laserasi diafragma yang
harus dilakukan secara radial atau perifer. Adequate lavage sulit dilakukan
karena adanya kontaminasi pleura atau jika pembesaran laserasi diafragma tidak
dapat dilakukan tanpa resiko denervasi.
Trauma tumpul abdomen jarang terjadi jika dibandingkan dengan trauma
tajam yang menyebabkan trauma gaster. Gaster berukuran besar, distensible, dan
mobile. Gaya atau kekuatan yang besar dapat menyebabkan blowout pada
dinding gaster. Sebagai konsekuensinya, angka mortalitas dari trauma gaster
terkait hal tersebut tinggi pada pasien dengan trauma tumpul abdomen. Blowout
injuries pada gaster juga cenderung lebih besar dan gaster mungkin menjadi
besar pada saat yang bersamaan saat terjadinya trauma. Kemudian, cedera
trauma tumpul sering disertai dengan kontaminasi intraperitoneal yang
signifikan. Prinsip operative exposure dan repair merupakan opsi untuk
tatalaksana trauma gaster sama halnya dengan trauma tembus.
5. Duodenum
a. Trauma tembus
Duodenum yang terletak retroperitoneal dan dekat dengan beberapa visera lain
serta struktur vaskular mayor menyebabkan trauma tembus duodenum jarang
terjadi. Diagnosis trauma duodenum biasanya dibuat saat berada di ruang
operasi. Gastrointestinal contrast CT biasa digunakan dalam diagnostik pada
trauma tumpul.
Diagnosis dan tatalaksana trauma duodenum di dalam ruang operasi
tergantung dengan pembukaan yang adekuat. Pembukaan dilakukan dengan
insisi refleksi dari peritoneum lateralis duodenum dan mobilisasi duodenum dari
kanan ke kiri dengan kombinasi diseksi kauter dan tumpul. Teknik ini dikenal
dengan Kocher Maneuver, dan dapat melintang pada garis tengah ke level aorta
abdominal yang akan menyebabkan bukaan dibawah vena kava dan aorta.
Masuk ke dalam lesser sac melalui ligamentum gastrokolik akan membuka
aspek kaudal duodenum porsi pertama dan aspek medial pada porsi kedua.
Bukaan porsi ketiga dan keempat duodenum dapat dilakukan dengan insisi
ligamentum Treitz dan mobilisasi kolon kanan dari kanan ke kiri sehingga kolon
kanan dan usus halus dapat di tinggikan (Cattell Maneuver). Dengan maneuver
kombinasi ini maka seluruh bagian duodenum dapat dimobilisasi dan terpajan
untuk mengevaluasi adanya trauma. Identifikasi semua trauma pada waktu yang
bersamaan saat eksplorasi awal sangat penting karena hal ini terkait dengan
peningkatan angka morbiditas.
Trauma tembus yang paling sering pada duodenum adalah laserasi simpel
yang dapat membaik secara primer. Repair jenis ini harus dilakukan dua lapis
dengan jahitan 3-0 atau 4-0 lapis dalam yang dapat diserap diikuti dengan
jahitan permanen Lambert lapis luar 3-0 atau 4-0. Penutupan yang dilakukan
harus secara transversal dan jika memungkinkan lakukan pencegahan
kompromais luminal. Traktus biliaris tidak membutuhkan drainase pada
beberapa kasus dan duodenum juga tidak membutuhkan tube decompression
meskipun kedua maneuver tersebut sudah dilakukan sebelumnya.
Trauma yang besar pada duodenum dapat direpair dengan jejunal patch
dengan mengambil bagian jejunum dan meletakkannya di daerah yang
mengalami trauma. Sehingga serosa jejunum dapat menyokong duodenum yang
direpair.
Tindakan alternatif lainnya adalah Roux-en-Y duodenojejunostomy dan
pancreaticoduodenectomy jika trauma terkait dengan trauma pankreas atau
traktus biliaris. Tube decompression pada duodenum sebaiknya dilakukan pada
trauma duodenum yang berat. Pada semua trauma duodenum, daerah
periduodenum harus didrainase secara eksternal untuk mengontrol kebocoran
post operasi serta untuk mengontrol fistula. Dengan pembuatan anastomosis
gastrojejunal dan adanya prosedur yang bersamaan dilakukan untuk menurunkan
produksi asam lambung, H2 blocker atau proton pump inhibitor sebaiknya
diberikan dalam periode post operasi untuk mencegah ulserasi marginal.
Trauma tumpul
Trauma tumpul duodenum jarang terjadi dan lebih sulit didiagnosis
dibandingkan dengan trauma tembus. Trauma ini dapat terjadi sendiri atau
dengan trauma pankreas. Pemeriksaan fisik adalah salah satu cara yang terbaik
ini.
dari trivial rents pada serosa usus atau mesenterium sampai perforasi masif atau
trauma devaskularisasi yang memerlukan reseksi ekstensif.
Diagnosis trauma usus halus dapat ditegakkan dengan beberapa metode.
Pemeriksaan fisik abdomen dilakukan untuk mendapatkan tanda peritoneum
pada pasien dengan trauma tembus usus halus. Pasien dengan luka tembak harus
dilakukan laparotomi. Pada pasien yang stabil dapat dilakukan eksplorasi untuk
trauma tembus abdomen anterior yang merusak fasia dinding abdomen.
Abdomen sebaiknya dilakukan eksplorasi dengan insisi garis tengah dan
atensi awal sebaiknya langsung mengarah pada perdarahan dari trauma yang
terkait atau dari mesenterium usus halus. Perdarahan dari mesenterium dapat
dikontrol dengan ligasi jahitan atau dengan jahitan suture pada robekan
mesenterika. Penutupun ini tidak membutuhkan perbaikan definitif, tapi harus
dilakukan kontrol perdarahan sementara sampai dapat dilakukan tatalaksana
definitif.
Setelah dilakukan kontrol perdarahan, langkah untuk mencegah kebocoran
isi usus dari trauma usus halus harus diambil. Hal ini dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan cepat terhadap usus halus dan dengan penerapan klem
Babcock atau Allis, penutupan dengan jahitan single layer running untuk
sementara atau kontrol dengan menjepit daerah luka. Perbaikan definitif atau
reseksi tidak boleh dilakukan sampai keseluruhan usus sudah diperiksa untuk
melakukan pendekatan yang rasional dan logik sehingga dapat menentukan
tatalaksana operatif yang sesuai. Darah atau debris yang ditemukan pada serosa
usus halus sebaiknya diusap. Kompresi usus pada daerah yang diduga
mengalami trauma juga dapat menunjukan kebocoran yang harusnya dapat
diketahui.
Bagian usus atau mesenterium yang mengalami destruktif masif disertai
dengan iskemik harus dilakukan reseksi. Jika setelah dilakukan debridement
lebih dari 40% lingkar dinding usus hilang, maka segmen harus direseksi.
Anastomosis pada pasien trauma tidak dilakukan pada pasien dengan edema
dinding usus yang ekstensif, iskemik yang signifikan dan atau jika terjadi
hipoperfusi. Anastomose yang di lakukan pada dinding usus yang normal dapat
bermanfaat jika dilakukan pada waktu yang tepat dan sebaiknya dilakukan
anastomose side-to-side dan end-to-end fungsional.
Luka tusuk usus halus biasanya mudah untuk ditatalaksana dan jarang
membutuhkan reseksi atau debridement.
8. Kolon dan Rektum
Trauma kolon dan rektum sering disebabkan oleh trauma tembus atau trauma
perforasi. Trauma tumpul hanya menyebabkan trauma kolon sebesar 5%.
Trauma rektum dapat terjadi disertai dengan fraktur pelvis dan kemungkinan
trauma rektum harus dipikirkan pada pasien dengan fraktur pelvis.
Tanda dan gejala peritonitis akibat trauma kolon dan rektum tidak spesifik.
Darah yang ditemukan pada pemeriksaan merupakan bukti yang kuat untuk
trauma kolon dan rektal dan pemeriksaan proctoscopic dan sigmoidoscopic
harus dilakukan.
Tabel 4. Prinsip Manajamen Tatalaksana Operasi pada Trauma kolon dan Rektum
1. Pasien pada posisi lithotomy sehingga perineum dan abdomen dapat terpajan secara
2.
3.
4.
5.
6.
7.
simultan
Debridement luas pada jaringan yang mati dan rusak
Totally defunctioning colostomy
Penutupan dinding rektum, jika trauma mudah diakses
Drainase retrorektal, khususnya pada trauma yang berat
Distal rectal stump washout jika memungkinkan untuk dilakukan
Antibiotik spektrum luas via intravena, perbaikan nutrisi dan debridement
serial.
9. Ginjal
Ginjal adalah organ tersering yang mengalami trauma pada traktus urinarius.
Luka tembus dapat menyebabkan trauma parenkim yang secara umum
ditatalaksana dengan debridemen, primary repair, dan drainase. Sedangkan
trauma yang lebih ekstensif biasanya membutuhkan nefrektomi parsial atau
total.
Trauma tumpul ginjal secara umum dibagi menjadi trauma mayor dan
minor. Trauma minor terjadi sekitar 80%. Kontusio ginjal meliputi sebagian
besar trauma minor ginjal dan sering diobati dengan tindakan non-operatif.
Sedangkan trauma renal mayor termasuk laserasi medulla kortikal profunda
dengan ekstravasasi, hematoma perinefrik besar dan trauma vaskular pada
pedukulum ginjal. Pada trauma jenis ini perlu dilakukan eksplorasi karena
tingginya insidensi komplikasi seperti perdarahan, pembentukan abses dan
hipertensi.
Gambar 8. Beberapa tipe trauma ginjal. A, laserasi ginjal kecil. B, Hematoma parenkim dan subkapsular
minor. C, Laserasi parenkim meluas hingga ke korteks renal tanpa terlibat collecting system. D, Laserasi
parenkimal multipel. E, Laserasi parenkim meluas hingga ke korteks, medulla dan collecting system dan
disertai dengan hematoma subkapsular dan ekstravasasi urin. F, Trauma pembuluh darah ginjal pada
hilum.
BAB III
KESIMPULAN
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen yang dapat berupa trauma tembus
ataupun trauma tumpul. Organ visera abdomen yang sering mengalami trauma adalah
hepar dan spleen. Frekuensi tersering terjadinya trauma organ abdomen baik yang
disebabkan oleh trauma tembus maupun trauma tumpul abdomen adalah hepar.
Diagnosis trauma abdomen dapat ditegakkan melalui anamnesis dengan menggali
mekanisme cedera, ketinggian saat jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan
bermotor, serta jenis senjata tajam yang digunakan. Selain itu juga dapat didukung dari
pemeriksaan fisik untuk mengetahui tanda vital, status mental dan juga status lokalis.
Adanya kekakuan abdomen atau distensi abdomen yang signifikan pada pasien dengan
trauma trunkal merupakan suatu indikasi untuk dilakukan eksplorasi pembedahan
dengan cepat.
Akan tetapi jika tidak ditemukan tanda seperti diatas dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang lainnya seperti radiografi polos, computed tomography (CT) abdomen,
ultrasound sonography (USG) dan diagnostic peritoneal lavage (DPL) untuk
menegakkan diagnosis. Pada beberapa trauma abdomen perlu dilakukan eksplorasi
terlebih dahulu bahkan tindakan operatif sebelumnya untuk menegakkan diagnosis.
Tatalaksana pada trauma abdomen tergantung dari organ abdomen yang cedera serta
tingkat keparahannya. Opsi pembedahan seperti laparotomi, anastomose usus serta
ligasi pembuluh darah adalah beberapa opsi tatalaksana yang dapat digunakan untuk
tatalaksana trauma abdomen yang tergantung dari cedera organ yang terkena Untuk
beberapa kasus trauma abdomen juga dapat sembuh hanya dengan tindakan konservatif
tanpa pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tank, Patrick. Grants Dissector, 13th edition. 2005. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. pp71-84
2. Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Maier RV, dan Upchurch GR.
2006. Greenfields Surgery: Scientific Principles and Practice, 4th Edition.
Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp340-4
3. Townsend CM, Beauchamp D, Evers M, dan Mattox KL. Sabiston Textbook of
Surgery, 18th edition. 2007. USA: Saunders, an Imprint of Elsevier.
4. Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, dan Pollock RE.
Schwartzs Principles of Surgery, 8th edition. 2007. USA: McGraw-Hill
Companies.
5. Legome,
Eric.
Blunt
Abdominal
Trauma.
Diakses
dari
Patrick.
Penetrating
Abdominal
Trauma.
Diakses
dari