Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen yang dapat berupa trauma tembus
maupun tumpul serta trauma yang disengaja maupun tidak disengaja. Trauma tersebut
mungkin melibatkan kerusakan pada organ dalam abdomen.1,2
Trauma, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja adalah penyebab utama
kematian pada usia hingga 44 tahun dan merupakan penyebab utama keempat yang
menyebabkan kematian secara keseluruhan setelah penyakit jantung, kanker dan stroke.
Diperkirakan sekitar setengah dari seluruh kematian terkait dengan trauma terjadi dalam
hitungan detik atau menit setelah kejadian trauma serta terkait dengan laserasi pada
aorta, jantung, batang otak, otak dan spinal cord.3
Sebagian besar cedera abdomen disebabkan oleh trauma tumpul sekunder dari
kecelakaan mobil dengan kecepatan tinggi, meskipun trauma tembus lebih sering terjadi
pada lingkungan perkotaan. Kegagalan dalam mengelola cedera abdomen adalah faktor
penyebab kematian pada kasus trauma abdomen yang kematiannya dapat dicegah,
diikuti dengan faktor terjadinya multipel trauma. Faktor lainnya yang berperan dalam
peningkatan insidensi trauma adalah kendaraan bermotor.2
Peningkatan angka morbiditas terkait dengan trauma abdomen disebabkan oleh
kegagalan mengenali adanya perdarahan intra-abdomen yang tidak tampak serta
kegagalan untuk mengontrol perdarahan dari organ intra-abdomen. Cedera abdomen
diperkirakan dapat menyebabkan kematian akibat trauma sebesar 10% tiap tahunnya di
Amerika Serikat.2,3
Kejadian trauma abdomen diperkirakan terus menerus meningkat seiring dengan
penurunan insidensi penyakit infeksi dan industrialisasi masyarakat. Sehingga cedera
atau trauma saat ini menjadi konsentrasi dibidang kesehatan masyarakat.2 Untuk itu
diperlukan pengetahuan yang baik dan cukup luas mengenai trauma khususnya trauma
abdomen yang pada referat ini akan dibahas lebih lanjut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Abdomen sering mengalami cedera setelah trauma tumpul dan trauma tembus. Sekitar
25% dari semua trauma akan membutuhkan eksplorasi abdomen. Evaluasi klinis
abdomen dilakukan dengan pemeriksaan fisik yang adekuat untuk mengidentifikasi
trauma intra-abdomen karena banyaknya pasien dengan perubahan status mental
sekunder dari trauma kepala, alkohol, atau obat-obatan serta karena inaksesibilitas
pelvis, abdomen atas, dan organ retroperitoneal untuk dipalpasi. Oleh karena itu
beberapa modalitas diagnostik digunakan selama 3 dekade terakhir, yaitu adalah
diagnostic peritoneal lavage (DPL), ultrasound, computed tomography, dan
laparoskopi, semuanya memiliki keuntungan, kerugian dan batasan. 1,2
2.1 Anatomi3

Gambar 1. 9 regio abdomen dan gambaran skematik organ abdomen.

Abdomen merupakan bagian batang tubuh yang terletak diantara toraks dan pelvis yang
dibatasi oleh diafragma pada bagian superior dan lipatan infragluteal pada bagian
kaudal. Abdomen biasa dibagi menjadi 9 regio untuk mengidentifikasi letak organ yang
berada didalamnya. 9 regio abdomen terdiri dari regio epigastrium, regio hipokondrium
dekstra dan sinistra, regio umbilikal, regio lumbar dekstra dan sinistra, region
hipogastrium serta regio inguinalis dekstra dan sinistra. Sedangkan untuk memudahkan

inisiasi evaluasi trauma, abdomen dibagi kedalam empat area: abdomen intratorakal,
true abdomen, abdomen pelvis dan abdomen retroperitoneal.
Abdomen intratorakal merupakan bagian abdomen atas yang terletak di bawah
tulang costae. Struktur tulang dan tulang rawan membuat area ini sulit dipalpasi.
Abdomen intratorakal terdiri dari diafragma, hepar, spleen, dan lambung. Setiap organ
ini dapat mengalami trauma akibat efek dari trauma tumpul atau trauma tembus yang
mengenai tulang costae.
Abdomen pelvis ditandai dengan tulang pelvis yang terdiri dari rektum, kandung
kemih, uretra, usus halus, dan pada perempuan terdapat uterus, tuba fallopi, dan
ovarium. Trauma pada pelvis atau fraktur pelvis dapat merusak organ yang berada di
dalamnya, dan trauma tembus pada bokong dapat mencederai organ pelvis. Trauma
pada struktur ini kemungkinan ekstraperitoneal dan kemudian sulit didiagnosis. Untuk
itu perlu dilakukan tindakan seperti kateterisasi kandung empedu, uretrosistografi, dan
sigmoidoskopi untuk menegakkan diagnosis.
Abdomen retroperitoneal terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, duodenum porsi
kedua dan ketiga, pembuluh darah besar, aorta, dan vena kava. Trauma pada struktur ini
juga dapat terjadi sekunder dari trauma tembus atau trauma tumpul. Ginjal dapat rusak
melalui trauma costae bagian posterior dan struktur ini juga dapat rusak melalui
crushing injury pada bagian depan atau sisi torso. Kemudian trauma pada struktur ini
mungkin hanya mengakibatkan sedikit pada temuan fisik, pemeriksaan fisik dan
diagnostic peritoneal lavage (DPL) jarang digunakan. Evaluasi abdomen peritoneal
membutuhkan prosedur pencitraan radiografi seperti computed tomography (CT) scan,
angiografi, ultrasound, dan pielografi intravena.
True abdomen terdiri dari usus halus dan usus besar, kandung kemih ketika
distensi, dan uterus ketika sedang mengalami gravid. Perforasi pada organ ini biasanya
bermanifestasikan nyeri dari peritonitis dan disertai dengan temuan fisik abdomen yang
signifikan. DPL berguna untuk mencurigai adanya cedera intraabdomen dan foto polos
abdomen dapat membantu melihat jika terdapat gambaran udara bebas.

Gambar 2. Empat pembagian anatomi abdomen secara tradisional. (A) Abdomen intratorakal. Isi daerah
ini adalah subdiafragma tetapi sefalik terhadap margin costae. Dengan respirasi, diafragma dianggap naik
pada level puting (sela iga anterior keempat). Hemidiafragma kiri yang ruptur diilustrasikan dengan
herniasi lambung dan kolon transversus distal ke dalam hemitoraks kiri. (B) Demikian juga dengan isi
dari abdomen pelvis yang berada dalam tulang pelvis. (C) Struktur dalam abdomen peritoneal. True
abdomen (intraperitoneal) terdiri dari viscera dan organ yang ada didalamnya dinamik, tergantung dengan
posisi tubuh dan respirasi.

2.2 Mekanisme trauma1,2


Trauma tumpul sekunder akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan sepeda
motor, jatuh, serangan fisik maupun menabrak pejalan kaki masih merupakan
mekanisme yang sering terjadi pada trauma abdomen. Luka tembus abdomen biasanya
disebabkan oleh luka tusuk dan luka tembak. Dalam hal ini biasanya luka tusuk
abdomen memiliki resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan kejadian luka
tembak.
Berdasarkan tingginya frekuensi cedera organ intraabdomen setelah luka tembak,
biasanya tindakan eksplorasi abdomen wajib dilakukan dengan pengecualian jika luka
superfisial dan tangensial serta terbatas hanya pada abdomen regio kuadran kanan atas.
Tatalaksana pembedahan trauma organ padat pada pasien dengan trauma tumpul
yang stabil telah diperluas sama halnya dengan pembedahan pada trauma tembus.
Dengan peningkatan modalitas pencitraan, pasien stabil yang mengalami trauma organ

padat tunggal setelah luka tusuk atau luka tembak abdomen dapat diobati secara
konservatif.
Pada anak-anak, selain mekanisme cedera diatas, pelecehan terhadap anak dan
trauma sekunder dari aktivitas rekresional seperti bersepeda, berenang dan roller
skating juga sebaiknya dipertimbangkan sebagai mekanisme cedera yang mungkin
dapat terjadi.
2.3 Pendekatan Diagnostik2,3
Diagnosis dan tatalaksana harus dilakukan berdasarkan protokol yang sudah ditetapkan.
Perbaikan fungsi jalan nafas khususnya pada pasien koma harus dilakukan sebelum
mengevaluasi abdomen. Kemudian selanjutnya dilakukan pemasangan endotracheal
tube dan ventilasi. Selain itu tindakan resusitasi dengan cairan ringer lactate (RL) atau
NaCL juga perlu dilakukan untuk keseimbangan cairan pasien dengan trauma abdomen.
Resusitasi kristaloid awal diindikasikan khususnya pada kejadian trauma kepala.
Abdomen adalah diagnostik kotak hitam. Untungnya, dengan beberapa
pengecualian tidak penting untuk mengetahui organ apa yang cedera tetapi yang penting
adalah mengenai apakah tindakan laparotomi eksplorasi perlu untuk dilakukan.
Pemeriksaan fisik abdomen dapat diandalkan dalam membuat diagnosis seperti adanya
kekakuan abdomen atau distensi abdomen.
Riwayat terjadinya trauma atau mekanisme cedera penting untuk menjelaskan
kemungkinan adanya trauma organ intraabdomen. Semua informasi yang mungkin
penting sebaiknya digali mulai dari pre-hospital termasuk mekanisme cedera,
ketinggian saat jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan bermotor, mekanisme
kematian lainnya, ejeksi, tanda vital, status mental, perdarahan eksternal, serta jenis
senjata tajam yang digunakan. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan saat
berada di rumah sakit biasanya akurat dalam menentukan trauma intraabdomen pada
pasien sadar dan responsif. Banyak pasien dengan perdarahan intraabdomen moderat
akan berada dalam kondisi kompensasi hemodinamik dan tidak akan ditemukan tandatanda masalah pada peritoneum.
Pasien dengan trauma tumpul yang stabil secara hemodinamik dievaluasi secara
adekuat dengan USG atau CT abdomen, kecuali jika terdapat luka berat lainnya maka
pasien harus pergi ke ruang operasi sebelum dilakukan evaluasi abdomen. Dalam hal
tersebut, diagnostic peritoneal lavage (DPL) atau focus abdomninal sonography trauma

(FAST) dilakukan di ruang operasi untuk menyingkirkan perdarahan intraabdomen yang


memerlukan eksplorasi bedah segera. Sedangkan untuk kasus luka tembak maka harus
dilakukan eksplorasi.
a. Radiografi polos
1. Radiografi toraks dapat digunakan untuk melihat adanya pneumoperitoneum, isi rongga
abdomen pada toraks akibat ruptur hemidiafragma, atau fraktur costae bagian bawah.
Selanjutnya tanda yang ditemukan tersebut dapat meningkatkan kemungkinan trauma
spleen dan hepar.
2. IV pyelography dan retrograde cystography adalah pemeriksaan yang digunakan pada
beberapa tahun yang lalu untuk mengevaluasi pasien trauma dengan hematuria yang
sekarang sebagian besar telah digantikan dengan contrast-enhanced CT.
3. Radiografi pelvis dapat digunakan pada pasien dengan keadaan tidak stabil karena juga
dapat berguna untuk menegakkan diagnosis fraktur pelvis.
b. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
DPL adalah pemeriksaan yang cepat dan akurat untuk mengidentifikasi trauma
intraabdomen setelah trauma tumpul pada pasien yang unresponsif atau hipotensi
tanpa indikasi jelas untuk dilakukan eksplorasi abdomen. Kriteria standar DPL
positif adalah ditemukannya trauma tumpul termasuk didapatkan setidaknya 10 ml
darah ketika dilakukan aspirasi, discharge yang berdarah, eritrosit lebih dari
100.000/mm3, leukosit lebih dari 500/mm3, kadar enzim amilase lebih dari 175
IU/dl, atau terdeteksi adanya cairan empedu, bakteri atau serat makanan.

Gambar 3. DPL dilakukan melalui insisi infraumbilikal.Linea alba diinsisi, kateter menembus
peritoneum dengan bantuan trokar dan diarahkan ke dalam panggul.

Trauma yang signifikan bisa tidak terdiagnosa dengan DPL. Robekan diafragma,
hematoma retroperitoneal, dan trauma renal, pankreas, duodenum, usus halus serta
kandung kemih ekstraperitoneal seringkali tidak terdiagnosa dengan hanya
pemeriksaan DPL saja. Indikasi dan kontraindikasi untuk DPL dapat dilihat pada
tabel 2 berikut ini.
Tabel 1. Indikasi dan Kontraindikasi untuk DPL

c. Ultrasound Sonography (USG)


USG telah sering digunakan beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat untuk
evaluasi pasien dengan trauma tumpul. Objektif pada evaluasi USG adalah untuk
mencari cairan bebas intraperitoneum. Selain itu USG juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi hepar dan spleen setelah cairan bebas sudah diidentifikasi. Beberapa
keuntungan dari USG adalah non-invasif, tidak menggunakan radiasi, dapat
dilakukan pengulangan, murah serta dapat digunakan selama evaluasi awal.
d. Abdominal computed tomography (CT)
CT abdomen merupakan metode pencitraan yang sering digunakan untuk evaluasi
pasien dengan trauma tumpul abdomen. CT dapat digunakan untuk mengevaluasi
retroperitoneum dengan baik serta juga dapat mengevaluasi trauma organ pada
pasien stabil dengan temuan pada USG. Selain itu CT juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi grading pada trauma organ serta mengevaluasi ekstravasasi
kontras.
7

Untuk membantu menegakkan diagnosis trauma, baik trauma tumpul maupun


trauma tembus abdomen dapat digunakan algoritma dibawah ini yang akan
dijelaskan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2. Algoritma dalam Diagnosis Trauma Tumpul Abdomen

Gambar 3. Algoritma dalam Diagnosis Trauma Tembus Abdomen

2.4 Klasifikasi Trauma Abdomen1


a. Trauma Tembus Abdomen
Trauma tembus abdomen melibatkan transfer energi ke suatu jaringan yang relatif
kecil. Kecepatan luka tembak sangat tinggi jika dibandingkan dengan tipe trauma
tembus lainnya. Luka tembak merupakan penyebab tersering penyebab trauma
tembus abdomen. Trauma intraabdomen terjadi sekitar 80% pada pasien yang
mengalami luka tembak abdomen, sedangkan hanya sekitar 20% - 30% pasien
yang mengalami luka tusuk. Frekuensi terjadinya cedera pada organ akibat
trauma tembus abdomen akan dijelaskan pada tabel 2.
Tabel 2. Frekuensi Terjadinya Trauma Organ pada Trauma Tembus Abdomen
Organ
Liver

Angka Kejadian
37

Usus halus
Lambung
Kolon
Pembuluh darah mayor
Retroperitoneal
Mesenterium & omentum
Lien
Diafragma
Ginjal
Lainnya

26
19
17
13
10
10
7
5
4
10

Trauma pada rongga toraks dan abdomen terjadi pada 20% pasien dengan
luka tembus abdomen. Pasien dengan luka tembus toraks juga mungkin
mengalami trauma intraabdomen karena peluru dapat dengan mudah melintang
pada diafragma. Pasien dengan luka tembak abdomen dan toraks inferior
biasanya dilakukan tindakan laparotomi karena kemungkinan terjadinya trauma
intraabdomen yang besar. Perbedaan antara potensial trauma dengan luka tembak
dan luka tusuk adalah pada fungsi energi kinetik yang lebih tinggi terkait dengan
luka tembak. Tatalaksana selektif mungkin merupakan metode terbaik untuk
mengobati luka tusuk.
b. Trauma tumpul
Kecelakaan mobil merupakan penyebab sekitar 60% semua cedera traumatik.
Tabel 3 akan menjelaskan insidensi organ spesifik yang cedera akibat trauma
tumpul abdomen. Organ tersering yang cedera akibat trauma intraabdomen
adalah hepar. Cedera hepar yang ringan sering terdeteksi pada pasien yang
menjalani CT abdomen, sedangkan trauma spleen pada dewasa kemungkinan
9

besar secara klinis akan terlihat signifikan dan membutuhkan intervensi


pembedahan.
Organ yang padat seringkali mengalami cedera dari kejadian trauma
tumpul. Tekanan aplikatif yang tiba-tiba pada abdomen lebih cenderung
menyebabkan ruptur pada organ padat dibandingkan dengan organ berongga.
Jaringan yang lebih elastis pada dewasa muda memiliki toleransi yang lebih baik
dibandingkan dengan orang tua dan hal ini yang menyebabkan perbedaan
insidensi dan pola trauma pada anak dan dewasa dengan trauma tumpul
abdomen.
Tabel 3. Frekuensi Trauma Organ pada Trauma Tumpul Abdomen pada Dewasa
Organ
Liver
Lien
Hematoma retroperitoneal
Ginjal
Kandung kemih
Usus
Mesenterium
Pankreas
Diafragma
Lainnya

Angka Kejadian
30
25
13
7
6
5
5
3
2
4

2.5 Indikasi Pembedahan1,2


Indikasi untuk laparotomi meliputi adanya tanda-tanda peritonitis, eviserasi, perburukan
klinis selama observasi, dan terdapat instabilitas hemodinamik serta pada pemeriksaan
DPL dan FAST yang konsisten didapatkan adanya hemoperitoneum.
Antibiotik spektrum luas diberikan segera jika telah diputuskan untuk melakukan
laparotomi. Evidence based yang baik mengatakan bahwa antibiotik tidak perlu
dilanjutkan jika telah lebih dari 24 jam post operasi, bahkan jika telah terjadi
kontaminasi dari trauma organ berongga. Profilaksis tetanus sebaiknya diberikan pada
pasien dengan trauma abdomen ini. Pasien dengan imunisasi komplit pada masa kanakkanak cukup berikan imunisasi booster. Akan tetapi jika tidak ada riwayat imuninasi,
lengkap atau tidak diketahui, maka imunisasi pasif harus diberikan disertai dengan
globulin hiperimun.
2.6 Tatalaksana Trauma Spesifik1,2,4
1. Diafragma

10

Trauma pada diafragma setelah trauma tumpul melibatkan sebagian besar


hemidiafragma kiri. Semua trauma diafragmatik harus diperbaiki untuk
mencegah potensial jangka panjang terjadinya herniasi, inkarserasi, dan
strangulasi visera abdomen. Strangulasi dapat terjadi beberapa bulan bahkan
beberapa tahun setelah trauma terjadi jika lubang pada diafragma tidak
terdiagnosis dan diobati.
Diagnosis trauma diafragma dapat dicurigai jika terjadi distress pernapasan
dan bukti radiologis terjadinya efusi pleura yang tidak membaik dengan tube
thoracostomy atau gambaran radiografi posisi tegak menunjukkan herniasi viseral
yang jelas kedalam toraks. Foto rontgen toraks pada pasien dengan ruptur
diafragma tumpul kadang tidak terlihat jelas khususnya pada ventilasi tekanan
positif dan mungkin hanya muncul gambaran kabur pada sudut costofrenikus atau
garis diafragma. Laserasi linier pada diafragma dapat diperbaiki dengan jahitan
simple running atau horizontal interuptus.

Gambar
4.
Radiografi
toraks
menunjukkan
adanya
gelembung
didalam toraks kiri dengan ruptur
hemidiafragma kiri

Gambar 5. Foto polos toraks lateral


menunjukkan herniasi gaster ke dalam
kavum pleura kiri.

11

2. Spleen
Spleen adalah organ intraabdomen yang sering mengalami trauma tumpul
abdomen. Selain itu, trauma spleen juga sering terjadi pada fraktur iga bawah di
bagian kiri karena spleen terletak pada kuadran kiri atas dan terletak pada bagian
kiri sedikit posterior dari lambung. Pada anamnesis penting untuk mengetahui
mekanisme trauma serta lokasi terjadinya trauma. Riwayat jatuh, dipukul atau
trauma terkait olahraga pada dada bagian kiri, flank (daerah abdomen pada
setiap sisi regio umbilikal) atau abdomen bagian kiri atas biasanya terkait
dengan trauma spleen.
Manifestasi klinis yang tampak biasanya sedikit dan tidak signifikan seperti
adanya tanda-tanda kehilangan darah, nyeri atau tenderness pada abdomen
kuadran kiri atas dan nyeri alih pada bahu kiri (Kehrs sign). Tatalaksana yang
dapat dilakukan pada pasien trauma abdomen dengan cedera spleen hanya
pembedahan.
3. Hepar
Hepar adalah organ terbesar dalam rongga abdomen yang sering mengalami
kerusakan pada trauma tumpul atau tembus abdomen sama halnya dengan
trauma pada torakoabdominal. Insidensi trauma hepar lebih banyak jika
dibandingkan dengan trauma spleen. Mekanisme hemostatik spontan biasanya
cukup efektif pada sekitar 85% pasien dengan trauma hepar yang tidak
mengalami perdarahan secara aktif saat laparotomi dan trauma ini diperkirakan
dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Pada saat tindakan laparotomi, trauma
hepar tidak memerlukan terapi spesifik dan drainase biasanya tidak terlalu
penting untuk dilakukan.
Pasien dengan trauma hepar yang signifikan biasanya memiliki riwayat
energi tumpul mayor yang ditransfer ke toraks kanan dan abdomen atas.
Manifestasi klinis yang muncul mungkin minimal karena perdarahan awal tidak
menyebabkan iritasi peritoneal atau distensi abdomen. Pasien dengan hipotensi
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya atau adanya riwayat syok setelah
kejadian trauma tumpul harus dianggap beresiko untuk terjadinya trauma hepar
yang berat. DPL atau FAST dapat membantu menegakkan diagnosis
hemoperitoneum, jika hasilnya positif, laparotomi dapat menjadi opsi

pembedahan. CT scan abdomen dapat dengan pasti mengevaluasi adanya


hematoma subkapsular, laserasi dan trauma parenkim hepatik lainnya.
a. Tatalaksana operasi
Cedera yang bervariasi dari robekan kapsular simpel dan laserasi non
perdarahan, fraktur kompleks dengan destruksi lobaris dan disrupsi parenkim
yang ekstensif, disrupsi duktus biliaris, serta trauma vena sentral dan arteri
hepatika. Prinsip penanganan trauma hepar adalah sama terlepas dari derajat
keparahan trauma, yaitu dengan melakukan kontrol perdarahan, membuang
jaringan yang rusak serta melakukan drainase yang adekuat.
Laserasi simpel dengan perdarahan yang berhenti saat pembedahan tidak
membutuhkan drainase kecuali jika laserasi dalam pada parenkim yang dapat
meningkatkan kebocoran bilier post operasi. Hematoma subkapsular dapat
dievaluasi simpel atau dibiarkan utuh jika tidak disertai dengan trauma
parenkim. Laserasi yang terus menyebabkan perdarahan meskipun telah
dilakukan kontrol perdarahan lokal (termasuk packing), membutuhkan ekplorasi
pada luka hepar serta ligasi radikal bilier dan pembuluh darah spesifik. Jika
terjadi perdarahan yang terus menerus maka struktur porta hepatis harus
dikompresi sebagai maneuver diagnostik (Pringle Maneuver). Jika perdarahan
berhenti, maka perdarahan dianggap berasal dari vena porta atau arteri hepatika.
Akan tetapi jika perdarahan terus berlanjut maka perdarahan dianggap berasal
dari vena hepatika utama atau vena kava inferior. Triad portal dapat secara
intermiten tersumbat untuk memungkinkan terjadinya peningkatan visualisasi
selama dilakukan penjahitan dan ligasi pembuluh darah. Ketika ligasi parenkim
selektif gagal dilakukan, maka ligasi arteri hepatika dapat menjadi alternatif
selama oklusi Trias Pringle memiliki efek bermanfaat. Hal ini jarang dilakukan
tetapi dapat menghasilkan keadaan hemostatik yang dramatik.
Alternatif untuk laserasi dalam dengan perdarahan persisten adalah
dilakukan debridement reseksional pada segmen hepar. Hal ini dapat dicapai
dengan melakukan teknik fraktur jari, membuang hepar yang rusak. Alternatif
ini dibutuhkan sekitar 5% - 8% pada pasien dengan cedera hepar. Reseksi
subsegmental biasanya adekuat atau jika perlu dilakukan segmentektomi atau
lobektomi. Keputusan untuk dilakukannya debridemen reseksional harus dibuat

pada eksplorasi awal. Alternatif ini dikaitkan dengan tingkat kematian setinggi
30% sehingga harus dihindari kecuali memang benar diperlukan.

Gambar 6. Manuver Pringle mengkompresi struktur trias portal dengan klem vaskular
noncrushing untuk mengontrol hepatic inflow. Jika memungkinkan, waktu klem dibatasi dengan
interval 15-20 menit.

Teknik tambahan adalah dengan menggunakan absorbable mesh, satu


persatu membungkus setiap lobus pada hepar dan melekatkan mesh pada
ligamentum falsiformis. Teknik ini berfungsi dengan atau tanpa packing, ketika
terdapat laserasi superfisial yang multipel pada hepar dengan perdarahan aktif
dan dapat digunakan sebagai alternatif untuk debridemen parenkim jika terjadi
kehilangan darah yang signifikan, pasien sulit diresusitasi, hipotermia atau
asidosis, serta jika terjadi koagulopati dari transfusi massif. Namun keputusan
untuk mengatasi trauma dan selanjutnya melakukan resusitasi setelah abdomen
ditutup merupakan langkah yang tepat. Packing dilakukan untuk kompresi
secara signifikan pada hepar yang mengalami trauma dengan laparotomy pads
yang diletakkan pada bagian atas dan bawah hepar. Packing dapat berhasil jika
dilakukan sejak awal sebelum koagulopati belum terlalu berat.
Komplikasi mayor setelah trauma hepar adalah hemoragik, insufisiensi
pernafasan, koagulopati, hipoglikemi, fistel bilier atau trauma duktus bilier,
hemobiliam dan subdiafragmatik atau terjadinya abses intraparenkimal.

4. Lambung
Lambung adalah organ yang rentan terhadap trauma tembus pada bagian atas
abdomen dan bagian bawah toraks, yang merupakaan visera abdomen bagian
atas yang berada pada bagian dasar tulang iga pada tingkat setinggi sela iga
keempat. Lambung dapat mengalami trauma sekitar 5% hingga 10% pada pasien
dengan trauma tembus abdomen.
Manifestasi klinis terjadinya trauma pada gaster adalah adanya hematemesis
atau darah yang dapat ditemukaan saat aspirasi dengan nasogastric tube.
Meskipun begitu, tidak adanya darah yang ditemukan pada aspirasi gaster juga
tidak bisa menyingkirkan kemungkinan terjadinya trauma gaster.
Pada saat dilakukan laparotomi, pembukaan yang adekuat membutuhkan
mobilisasi dan visualisasi pada seluruh gaster. Sebagian besar permukaan
anterior gaster dapat divisualisasikan secara adekuat tanpa mobilisasi yang
ekstensif dengan memegang pinggir kurva yang lebih besar pada gaster dengan
jari atau klem Babcock, lalu kemudian gaster ditarik kebawah dan dilebarkan.
Pembukaan gastroesophageal junction dapat sulit dilakukan jika bagian yang
melebar pada margin costae sempit.
Trauma pada gaster biasanya dapat dengan mudah diperbaiki, terutama
dengan double layer, dengan lapis dalam dengan jahitan menggunakan 3-0 atau
4-0 yang dapat diserap, kemudian diikuti dengan lapisan luar dengan jahitan
Lembert permanen 3-0 atau 4-0. Trauma besar khususnya pada luka tembak
membutuhkan tindakan reseksi, sedangkan trauma pada pylorus harus ditutup
dengan Heineke-Mikulicz pyloroplasty.
Trauma tembus abdomen sering disertai dengan laserasi diafragma
karena disebabkan posisi gaster yang tinggi dalam abdomen. Selama ventilasi
spontan akan terjadi tekanan negatif pada kavum pleura dan tekanan positif
dalam abdomen dan gradien tekanan resultan menyebabkan perpindahan cairan
gaster dan partikulat dari abdomen ke dalam toraks. Kontaminasi sering terjadi
sebelum ventilasi tekanan positif dan laparotomi. Empiema dapat disebabkan
oleh kontaminasi yang minimal. Kemudian kombinasi trauma gaster dan
diafragma juga memerlukan tindakan lavage pada kavum pleura sebelum

dilakukan penutupan diafragma, untuk itu laserasi diafragma harus cukup besar
untuk dapat melakukan lavage pada abdomen.
Dalam tatalaksana pembedahan gaster ada beberapa hal yang harus
diperhatikan yaitu, nervus prenikus dan pembesaran laserasi diafragma yang
harus dilakukan secara radial atau perifer. Adequate lavage sulit dilakukan
karena adanya kontaminasi pleura atau jika pembesaran laserasi diafragma tidak
dapat dilakukan tanpa resiko denervasi.
Trauma tumpul abdomen jarang terjadi jika dibandingkan dengan trauma
tajam yang menyebabkan trauma gaster. Gaster berukuran besar, distensible, dan
mobile. Gaya atau kekuatan yang besar dapat menyebabkan blowout pada
dinding gaster. Sebagai konsekuensinya, angka mortalitas dari trauma gaster
terkait hal tersebut tinggi pada pasien dengan trauma tumpul abdomen. Blowout
injuries pada gaster juga cenderung lebih besar dan gaster mungkin menjadi
besar pada saat yang bersamaan saat terjadinya trauma. Kemudian, cedera
trauma tumpul sering disertai dengan kontaminasi intraperitoneal yang
signifikan. Prinsip operative exposure dan repair merupakan opsi untuk
tatalaksana trauma gaster sama halnya dengan trauma tembus.
5. Duodenum
a. Trauma tembus
Duodenum yang terletak retroperitoneal dan dekat dengan beberapa visera lain
serta struktur vaskular mayor menyebabkan trauma tembus duodenum jarang
terjadi. Diagnosis trauma duodenum biasanya dibuat saat berada di ruang
operasi. Gastrointestinal contrast CT biasa digunakan dalam diagnostik pada
trauma tumpul.
Diagnosis dan tatalaksana trauma duodenum di dalam ruang operasi
tergantung dengan pembukaan yang adekuat. Pembukaan dilakukan dengan
insisi refleksi dari peritoneum lateralis duodenum dan mobilisasi duodenum dari
kanan ke kiri dengan kombinasi diseksi kauter dan tumpul. Teknik ini dikenal
dengan Kocher Maneuver, dan dapat melintang pada garis tengah ke level aorta
abdominal yang akan menyebabkan bukaan dibawah vena kava dan aorta.
Masuk ke dalam lesser sac melalui ligamentum gastrokolik akan membuka
aspek kaudal duodenum porsi pertama dan aspek medial pada porsi kedua.

Bukaan porsi ketiga dan keempat duodenum dapat dilakukan dengan insisi
ligamentum Treitz dan mobilisasi kolon kanan dari kanan ke kiri sehingga kolon
kanan dan usus halus dapat di tinggikan (Cattell Maneuver). Dengan maneuver
kombinasi ini maka seluruh bagian duodenum dapat dimobilisasi dan terpajan
untuk mengevaluasi adanya trauma. Identifikasi semua trauma pada waktu yang
bersamaan saat eksplorasi awal sangat penting karena hal ini terkait dengan
peningkatan angka morbiditas.
Trauma tembus yang paling sering pada duodenum adalah laserasi simpel
yang dapat membaik secara primer. Repair jenis ini harus dilakukan dua lapis
dengan jahitan 3-0 atau 4-0 lapis dalam yang dapat diserap diikuti dengan
jahitan permanen Lambert lapis luar 3-0 atau 4-0. Penutupan yang dilakukan
harus secara transversal dan jika memungkinkan lakukan pencegahan
kompromais luminal. Traktus biliaris tidak membutuhkan drainase pada
beberapa kasus dan duodenum juga tidak membutuhkan tube decompression
meskipun kedua maneuver tersebut sudah dilakukan sebelumnya.
Trauma yang besar pada duodenum dapat direpair dengan jejunal patch
dengan mengambil bagian jejunum dan meletakkannya di daerah yang
mengalami trauma. Sehingga serosa jejunum dapat menyokong duodenum yang
direpair.
Tindakan alternatif lainnya adalah Roux-en-Y duodenojejunostomy dan
pancreaticoduodenectomy jika trauma terkait dengan trauma pankreas atau
traktus biliaris. Tube decompression pada duodenum sebaiknya dilakukan pada
trauma duodenum yang berat. Pada semua trauma duodenum, daerah
periduodenum harus didrainase secara eksternal untuk mengontrol kebocoran
post operasi serta untuk mengontrol fistula. Dengan pembuatan anastomosis
gastrojejunal dan adanya prosedur yang bersamaan dilakukan untuk menurunkan
produksi asam lambung, H2 blocker atau proton pump inhibitor sebaiknya
diberikan dalam periode post operasi untuk mencegah ulserasi marginal.
Trauma tumpul
Trauma tumpul duodenum jarang terjadi dan lebih sulit didiagnosis
dibandingkan dengan trauma tembus. Trauma ini dapat terjadi sendiri atau
dengan trauma pankreas. Pemeriksaan fisik adalah salah satu cara yang terbaik

untuk mengetahui adanya trauma duodenum meskipun yang ditemukan pada


pemeriksaan fisik biasanya tidak terlalu signifikan dikarenakan letak duodenum
yang retroperitoneum. Hematoma intramural pada duodenum yang cedera jarang
terjadi spesifik pada pasien dengan trauma tumpul.
Trauma ini sering terjadi pada anak setelah adanya gaya lokal pada abdomen
atas. Hematoma terjadi ketika duodenum cedera dan perdarahan terjadi pada
lapis subserosa atau submukosa. Pada keadaan ini tidak akan terjadi perforasi
duodenum. Hematoma jenis ini dapat menyebabkan obstruksi lumen. Jika tidak
didiagnosis dengan cepat, obstruksi akan berkembang dalam beberapa hari, hal
ini mungkin karena adanya peningkatan akumulasi air intramural sama halnya
dengan hemoglobin dalam hematoma yang kemudian mulai dipecah serta
adanya faktor gaya osmotik yang meningkatkan absorpsi air.
Semua hematoma pada daerah duodenum harus dieksplorasi untuk
menyingkirkan kemungkinan perforasi. Pembedahan yang tidak dilakukan
dengan cepat setelah trauma dapat bermanifestasi sebagai gejala obstruktif
beberapa hari setelah trauma. Obstruksi biasanya terjadi pada duodenum porsi
kedua dan pada gambaran klasik akan terlihat coiled-spring appearance. Gejala
obstruktif yang menetap 10-14 hari sejak diagnosis ditegakkan merupakan
indikasi untuk dilakukan eksplorasi abdomen untuk drainase hematoma,
meringankan obstruksi, dan menyingkirkan trauma yang terlewatkan.

Gambar 7. Tehnik eksklusi pilorik untuk trauma duodenum kompleks.

Duodenum sulit untuk dilakukan repair karena adanya enzim pencernaan


intraluminal. Drainase yang adekuat dari daerah periduodenal membantu untuk
memastikan bahwa kebocoran tersebut dapat dikontrol dan tidak mengakibatkan
abses intraabdomen.
6. Pankreas
Trauma tembus
Trauma tembus pankreas biasanya didiagnosis dalam ruangan operasi. Pankreas
terletak retroperitoneum dan dikelilingi oleh beberapa organ visera lain dan
struktur vaskular mayor. Pada eksplorasi abdomen, tanda trauma pankreas
termasuk projectile path yang melewati daerah dekat pankreas, sentral
hematoma pada abdomen bagian atas, dan trauma pada duodenum, vena kava,
aorta suprarenal, atau pembuluh mesenterium.
Pada evaluasi trauma tembus pankreas, kunci yang paling penting untuk
tatalaksana operatif adalah apakah terdapat trauma duktal. Pancreatography
intraoperatif transduodenal direkomendasikan untuk kasus trauma

ini.

Keuntungan dari maneuver ini adalah memungkinkan untuk mengambil


keputusan tipe intervensi operasi apa yang akan diambil.
Tatalaksana operatif pada trauma tembus pankreas tergantung pada lokasi
dan tingkat keparahan trauma. Trauma dapat dibagi ke dalam kaput, korpus dan
kaudal pankreas berdasarkan letaknya. Kemudian jika berdasarkan tingkat
keparahannya, trauma diklasifikasikan oleh derajat disrupsi parenkim dan ada
atau tidaknya trauma duktal. Pancreaticoduodenectomy dengan rekonstruksi
sebaiknya dilakukan pada kasus trauma duodenum yang masif.
Trauma tumpul
Perbedaan mayor antara trauma tumpul dan trauma tembus pankreas terletak
pada diagnosis. Trauma tembus pankreas biasa ditemukan pada eksplorasi
abdomen untuk trauma yang terkait, tetapi trauma tumpul dapat terjadi tanpa
diketahui dan diagnosis preoperatif sulit ditegakkan.
7. Usus Halus (Small Intestine)
Dikarenakan usus halus merupakan organ yang menempati lebih banyak volum
dalam rongga abdomen, maka organ intraabdomen ini mejadi organ yang paling
sering cedera oleh trauma trauma tembus abdomen. Keparahan trauma bervariasi

dari trivial rents pada serosa usus atau mesenterium sampai perforasi masif atau
trauma devaskularisasi yang memerlukan reseksi ekstensif.
Diagnosis trauma usus halus dapat ditegakkan dengan beberapa metode.
Pemeriksaan fisik abdomen dilakukan untuk mendapatkan tanda peritoneum
pada pasien dengan trauma tembus usus halus. Pasien dengan luka tembak harus
dilakukan laparotomi. Pada pasien yang stabil dapat dilakukan eksplorasi untuk
trauma tembus abdomen anterior yang merusak fasia dinding abdomen.
Abdomen sebaiknya dilakukan eksplorasi dengan insisi garis tengah dan
atensi awal sebaiknya langsung mengarah pada perdarahan dari trauma yang
terkait atau dari mesenterium usus halus. Perdarahan dari mesenterium dapat
dikontrol dengan ligasi jahitan atau dengan jahitan suture pada robekan
mesenterika. Penutupun ini tidak membutuhkan perbaikan definitif, tapi harus
dilakukan kontrol perdarahan sementara sampai dapat dilakukan tatalaksana
definitif.
Setelah dilakukan kontrol perdarahan, langkah untuk mencegah kebocoran
isi usus dari trauma usus halus harus diambil. Hal ini dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan cepat terhadap usus halus dan dengan penerapan klem
Babcock atau Allis, penutupan dengan jahitan single layer running untuk
sementara atau kontrol dengan menjepit daerah luka. Perbaikan definitif atau
reseksi tidak boleh dilakukan sampai keseluruhan usus sudah diperiksa untuk
melakukan pendekatan yang rasional dan logik sehingga dapat menentukan
tatalaksana operatif yang sesuai. Darah atau debris yang ditemukan pada serosa
usus halus sebaiknya diusap. Kompresi usus pada daerah yang diduga
mengalami trauma juga dapat menunjukan kebocoran yang harusnya dapat
diketahui.
Bagian usus atau mesenterium yang mengalami destruktif masif disertai
dengan iskemik harus dilakukan reseksi. Jika setelah dilakukan debridement
lebih dari 40% lingkar dinding usus hilang, maka segmen harus direseksi.
Anastomosis pada pasien trauma tidak dilakukan pada pasien dengan edema
dinding usus yang ekstensif, iskemik yang signifikan dan atau jika terjadi
hipoperfusi. Anastomose yang di lakukan pada dinding usus yang normal dapat

bermanfaat jika dilakukan pada waktu yang tepat dan sebaiknya dilakukan
anastomose side-to-side dan end-to-end fungsional.
Luka tusuk usus halus biasanya mudah untuk ditatalaksana dan jarang
membutuhkan reseksi atau debridement.
8. Kolon dan Rektum
Trauma kolon dan rektum sering disebabkan oleh trauma tembus atau trauma
perforasi. Trauma tumpul hanya menyebabkan trauma kolon sebesar 5%.
Trauma rektum dapat terjadi disertai dengan fraktur pelvis dan kemungkinan
trauma rektum harus dipikirkan pada pasien dengan fraktur pelvis.
Tanda dan gejala peritonitis akibat trauma kolon dan rektum tidak spesifik.
Darah yang ditemukan pada pemeriksaan merupakan bukti yang kuat untuk
trauma kolon dan rektal dan pemeriksaan proctoscopic dan sigmoidoscopic
harus dilakukan.
Tabel 4. Prinsip Manajamen Tatalaksana Operasi pada Trauma kolon dan Rektum
1. Pasien pada posisi lithotomy sehingga perineum dan abdomen dapat terpajan secara
2.
3.
4.
5.
6.
7.

simultan
Debridement luas pada jaringan yang mati dan rusak
Totally defunctioning colostomy
Penutupan dinding rektum, jika trauma mudah diakses
Drainase retrorektal, khususnya pada trauma yang berat
Distal rectal stump washout jika memungkinkan untuk dilakukan
Antibiotik spektrum luas via intravena, perbaikan nutrisi dan debridement
serial.

9. Ginjal
Ginjal adalah organ tersering yang mengalami trauma pada traktus urinarius.
Luka tembus dapat menyebabkan trauma parenkim yang secara umum
ditatalaksana dengan debridemen, primary repair, dan drainase. Sedangkan
trauma yang lebih ekstensif biasanya membutuhkan nefrektomi parsial atau
total.
Trauma tumpul ginjal secara umum dibagi menjadi trauma mayor dan
minor. Trauma minor terjadi sekitar 80%. Kontusio ginjal meliputi sebagian
besar trauma minor ginjal dan sering diobati dengan tindakan non-operatif.
Sedangkan trauma renal mayor termasuk laserasi medulla kortikal profunda
dengan ekstravasasi, hematoma perinefrik besar dan trauma vaskular pada

pedukulum ginjal. Pada trauma jenis ini perlu dilakukan eksplorasi karena
tingginya insidensi komplikasi seperti perdarahan, pembentukan abses dan
hipertensi.

Gambar 8. Beberapa tipe trauma ginjal. A, laserasi ginjal kecil. B, Hematoma parenkim dan subkapsular
minor. C, Laserasi parenkim meluas hingga ke korteks renal tanpa terlibat collecting system. D, Laserasi
parenkimal multipel. E, Laserasi parenkim meluas hingga ke korteks, medulla dan collecting system dan
disertai dengan hematoma subkapsular dan ekstravasasi urin. F, Trauma pembuluh darah ginjal pada
hilum.

BAB III
KESIMPULAN
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen yang dapat berupa trauma tembus
ataupun trauma tumpul. Organ visera abdomen yang sering mengalami trauma adalah
hepar dan spleen. Frekuensi tersering terjadinya trauma organ abdomen baik yang
disebabkan oleh trauma tembus maupun trauma tumpul abdomen adalah hepar.
Diagnosis trauma abdomen dapat ditegakkan melalui anamnesis dengan menggali
mekanisme cedera, ketinggian saat jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan
bermotor, serta jenis senjata tajam yang digunakan. Selain itu juga dapat didukung dari
pemeriksaan fisik untuk mengetahui tanda vital, status mental dan juga status lokalis.
Adanya kekakuan abdomen atau distensi abdomen yang signifikan pada pasien dengan
trauma trunkal merupakan suatu indikasi untuk dilakukan eksplorasi pembedahan
dengan cepat.
Akan tetapi jika tidak ditemukan tanda seperti diatas dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang lainnya seperti radiografi polos, computed tomography (CT) abdomen,
ultrasound sonography (USG) dan diagnostic peritoneal lavage (DPL) untuk
menegakkan diagnosis. Pada beberapa trauma abdomen perlu dilakukan eksplorasi
terlebih dahulu bahkan tindakan operatif sebelumnya untuk menegakkan diagnosis.
Tatalaksana pada trauma abdomen tergantung dari organ abdomen yang cedera serta
tingkat keparahannya. Opsi pembedahan seperti laparotomi, anastomose usus serta
ligasi pembuluh darah adalah beberapa opsi tatalaksana yang dapat digunakan untuk
tatalaksana trauma abdomen yang tergantung dari cedera organ yang terkena Untuk
beberapa kasus trauma abdomen juga dapat sembuh hanya dengan tindakan konservatif
tanpa pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Tank, Patrick. Grants Dissector, 13th edition. 2005. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. pp71-84
2. Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Maier RV, dan Upchurch GR.
2006. Greenfields Surgery: Scientific Principles and Practice, 4th Edition.
Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp340-4
3. Townsend CM, Beauchamp D, Evers M, dan Mattox KL. Sabiston Textbook of
Surgery, 18th edition. 2007. USA: Saunders, an Imprint of Elsevier.
4. Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, dan Pollock RE.
Schwartzs Principles of Surgery, 8th edition. 2007. USA: McGraw-Hill
Companies.
5. Legome,

Eric.

Blunt

Abdominal

Trauma.

Diakses

dari

http://emedicine.medscape.com pada tanggal 1 September 2014.


6. Offner,

Patrick.

Penetrating

Abdominal

Trauma.

http://emedicine.medscape.com pada tanggal 2 September 2014.

Diakses

dari

Anda mungkin juga menyukai