Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Fraktur adalah masalah yang akhir-akhir ini sangat banyak menyita


perhatian masyarakat. Kecelakaan lalu-lintas merupakan pembunuh nomor
tiga di Indonesia, setelah penyakit jantung dan stroke. Pada kecelakaan lalu
lintas banyak yang sebagian korban yang mengalami fraktur. Banyak pula
kejadian alam yang tidak terduga yang banyak menyebabkan fraktur.9 Dengan
mobilitas yang tinggi disektor lalu lintas dan faktor kelalaian manusia sebagai
salah satu penyebab paling sering terjadinya kecelakaan yang dapat
menyebabkan fraktur. Penyebab yang lain dapat karena kecelakaan kerja, olah
raga dan rumah tangga.1,9
Tibia merupakan tulang panjang yang paling sering mengalami cedera.
Mempunyai permukaan subkutan yang paling panjang, sehingga paling sering
terjadi fraktur terbuka. Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua
tulang kaki dalam tingkat yang berbeda, daya angulasi menimbulkan fraktur
melintang atau oblik pendek, biasanya pada tingkat yang sama. Pada cedera
tak langsung, salah satu dari fragmen tulang dapat menembus kulit, cedera
langsung akan menembus atau merobek kulit di atas fraktur. Kalau kulit
diatasnya masih utuh, keadaan ini disebut fraktur tertutup. Kecelakaan sepeda
motor adalah penyebab yang paling lazim.
Banyak diantara fraktur itu disebabkan oleh trauma tumpul, dan resiko
komplikasinya berkaitan langsung dengan luas dan tipe kerusakan jaringan
lunak. Jika tidak dapat menangani dan merawat fraktur dengan cermat, akan
dapat menyebabkan kecacatan yang berat.9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang,


tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial
yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh
kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh
darah, otot dan persarafan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat
berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung
menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah
tekanan. Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang
lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak
tetap utuh.1,7
Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya
disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa
trauma langsung, misalnya sering terjadi benturan pada ekstremitas bawah
yang menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula.1
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan
dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri
sehingga timbul komplikasi berupa infeksi. luka pada kulit dapat berupa
tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena
tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung. Fraktur kruris
merupakan fraktur yang terjadi pada tibia dan fibula. Fraktur kruris merupakan

fraktur yang sering terjadi dibandingkan dengan fraktur pada tulang panjang
lainnya. Periosteum yang melapisi tibia agak tipis terutama pada daerah depan
yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya
fragmen frakturnya bergeser karena berada langsung dibawah kulit sehingga
sering juga ditemukan fraktur terbuka.3
Fraktur Kominutif Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen,
atau terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
Neglected adalah kata dari bahasa inggris yang berarti terlantar/ terbengkalai.9

B. Anatomi Tibia dan Fibula

Gambar Os tibia dan fibula7


Os tibia merupakan os longum yang terletak di sisi medial region cruris.
Ini merupakan tulang terpanjang kedua setelah os femur. Tulang ini terbentang ke
proksimal untuk membentuk articulation genu dan ke distal terlihat semakin
mengecil. Os fibula atau calf bone terletak sebelah lateral dan lebih kecil dari
tibia. Extremitas proximalis fibula terletak agak posterior dari caput tibia,
dibawah articulation genus dan tulang ini tidak ikut membentuk articulation
genus.4

Fascia cruris merupakan tempat perleketan musculus dan bersatu dengan


perosteum. Ke proximal akan melanjutkan diri ke fascia lata, dan akan melekat di
sekitar articulation genus ke os patella, ligamentum patellae, tuberositas tibiae
dan capitulum fibulae. Ke posterior membentuk fascis poplitea yang menutupi
fossa poplitea. Disini tersusun oleh serabut-serabut transversal yang ditembus
oleh vena saphena parva. Fascia ini menerima serabut-serabut tendo m.biceps
femoris femoris disebelah lateral dan tendo m. Sartorius, m.gracilis,
m.semitendinosus, dan m.semimembranosus disebelah medial. Ke anterior, fascia
ini bersatu dengan perosteum tibia serta perostenium capitulum fibulae dan
malleolus fibulae. Ke distal, faascia ini melanjutkan diri ke raetinaculum
mm.extensorum superior dan retinaculum mm. flexorum. Fascia ini menjadi tebal
dan kuat dibagian proximal dan anterior cruris, untuk perlekatan m.tibialis
anterior dan m.extensor digitorum longus. Tetapi, fascia ini tipis dibagian
posterior yang menutupi m.gastrocnemeus dan m.soleus. disisi lateral cruris,
fascia ini membentuk septum intermusculare anterius dan septum intermusculare
posterius. Musculus di region cruris dibedakan menjadi tiga kelompok. Yaitu (a)
kelompok anterior, (b) kelompok posterior dan (c) kelompok lateralis.4
1. Musculus di region anterior
1. M. tibialis anterior
2. M. extensor hallucis longus
3. M. extensor digitorum longus dan m.peroneus tertius
Musculus regio cruris posterior kelompok superficialis
1.

M. gastrocnemius

2.

M. soleus

3.

M. plantaris

Musculus regio cruris posterior kelompok profunda


1.

M. popliteus

2.

M. flexor hallucis longus

3.

M. flexor digitorum longsu

4.

M. tibialis posterior

Musculus region cruris lateralis


1.

M. peroneus longus

2.

M. peroneus brevis

C. Etiologi
Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat:
1. Peristiwa trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan,
pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat
patah pada tempat yang terkena, jaringan lunaknya juga pasti rusak. Bila
terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada
tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan
jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.
2. Fraktur kelelahan atau tekanan
Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau
metatarsal, terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan
berbaris dalam jarak jauh.
3. Fraktur patologik
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu
lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh
(misalnya pada penyakit Paget).
Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang
kaki dalam tingkat yang berbeda; daya angulasi menimbulkan
fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya pada tingkatyang
sama. Pada cedera tak langsung, salah satu dari fragmen tulang
dapat menembus kulit; cedera langsung akan menembus atau

merobek kulit diatas fraktur. Kecelakaan sepeda motor adalah


penyebab yang paling lazim.1,2

D. Klasifikasi Fraktur Terbuka


Klasifikasi yang dianut adalah menurut Gustilo, Merkow dan Templeman
(1990)
Derajat 1 :
Luka kecil kurang dr 1cm panjangnya, biasanya karena luka tusukan dari fragmen
tulang yang menembus kulit. terdapat sedikit kerusakan jaringan lunak, tanpa
penghancuran dan fraktur tidak kominutif.
Derajat 2 :
Laserasi kulit melebihi 1cm tidak banyak terdapat kerusakan jaringan lunak,
avulsi kulit, serta fraktur kominutif sedang dan kontaminasi sedang.
Derajat 3 :
Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit dan
struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. tipe ini biasanya di
sebabkan oleh karena trauma dengan kecepatan tinggi.
Derajat 3 di bagi dalam 3 subtipe:
Derajat 3 A
Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun terdapat laserasi yang
hebat ataupun adanya flap. fraktur bersifat segmental atau komunitif yang hebat
Derajat 3 B
Fraktur di sertai dengan trauma yang hebat dengan kerusakan dan kehilangan
jaringan, terdapat pendorongan periost, tulang terbuka, kontaminasi yang hebat
serta fraktur komunitif yang hebat.
Derajat 3 C

Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang memerlukan


perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak.1
E. Neglected Fraktur
Neglected fraktur adalah yang penanganannya lebih dari 72 jam. sering
terjadi akibat penanganan fraktur pada extremitas yang salah oleh bone setter.
Umumnya terjadi pada yang berpendidikan dan berstatus sosioekonomi yang
rendah.9
Neglected fraktur dibagi menjadi beberapa derajat, yaitu:
a. Derajat 1 : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari -3 minggu
b. Derajat 2 : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu -3 bulan
c. Derajat 3 : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan 1 tahun
d. Derajat 4 : fraktur yang telah terjadi lebih dari satu tahun
F. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:

Syok, anemia atau perdarahan.

Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang


atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.

Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis (penyakit Paget).

Pada pemeriksaan fisik dilakukan:


Look (Inspeksi)
1. Deformitas: angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi
(rotasi,perpendekan atau perpanjangan).
2. Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak).
3. Pembengkakan, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang
penting adalah apakah kulit itu utuh. Kalau kulit robek dan luka memiliki
hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka (compound).
Feel (palpasi)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
1. Temperatur setempat yang meningkat
7

2. Nyeri tekan; nyeri tekan yang superfisisal biasanya disebabkan oleh


kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.
3. Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hatihati.
4. Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak
yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku.
5. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan
pembedahan.
Move (pergerakan)
1. Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
2. Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya.
3. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu
juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh
darah dan saraf.1,2,3,9
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar -X
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur.
Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan
keadaan, lokasi serta eksistensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta
kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita mempergunakan
bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan
pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:

Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.

Untuk konfirmasi adanya fraktur.

Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta


pergerakannya.

Untuk mengetahui teknik pengobatan.

Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.


8

Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler.

Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.

Untuk melihat adanya benda asing.

Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan Rules of Two :

Dua pandangan

Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X tunggal dan
sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang (AP & Lateral/Oblique).

Dua sendi

Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur atau angulasi.
Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga patah,
atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur
keduanya harus disertakan dalam foto sinar-X.

Dua tungkai

Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur. Foto pada
tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.

Dua cedera

Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari 1 tingkat.
Karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu juga diambil foto
sinar-X pada pelvis dan tulang belakang.

Dua kesempatan

Segera setelah cedera, suatu fraktur mungkin sulit dilihat, kalau ragu-ragu,
sebagai akibatresorbsi tulang, pemeriksaan lebih jauh 10-14 hari kemudian dapat
memudahkan diagnosis.
2. Pencitraan Khusus
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu
dinyatakan apakah fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana yang terkena
dan lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur
itu sendiri. Konfigurasi fraktur dapat menentukan prognosis serta waktu
penyembuhan

fraktur,

misalnya

penyembuhan

fraktur

transversal

lebihlambat dari fraktur oblik karena kontak yang kurang. Kadang-kadang

fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada sinar-X biasa. Tomografi
mungkin berguna untuk lesi spinal atau fraktur kondilus tibia. CT atau MRI
mungkin merupakan satu-satunya cara yang dapat membantu, sesungguhnya
potret transeksional sangat penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada
tempat yang sukar. Radioisotop scanning berguna untuk mendiagnosis
fraktur-tekanan yang dicurigai atau fraktur tak bergeser yang lain.1,2,9

H. Diagnosis
Menegakkan diagnosis fraktur dapat secara klinis meliputi anamnesis lengkap
dan melakukan pemeriksaan fisik yang baik, namun sangat penting untuk
dikonfirmasikan dengan melakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen
untuk membantu mengarahkan dan menilai secara objektif keadaan yang
sebenarnya.1,2,3,5
I. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur terbuka.9
1. Semua fraktur terbuka dikelola secara emergensi .
2. Lakukan penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat mengancam
jiwa .
3. Berikan antibiotika yang sesuai dan adekuat .
4. Lakukan debridement dan irigasi luka .
5. Lakukan stabilisaasi fraktur .
6. Lakukan rehabilitasi ektremitas yang mengalami fraktur
Tahap-Tahap Penanganan Fraktur Terbuka
1. pembersihan luka
pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis
secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
2. eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen)
semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat
pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan
subkutaneus, lemak, fascia, otot dan fragmen2 yang lepas

10

3. pengobatan fraktur itu sendiri


fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu fraksi skeletal atau reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi
dengan fiksasi eksterna.
4. penutupan kulit
apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. hal ini dilakukan apabila
penutupan membuat kulit sangat tegang. dapat dilakukan split thickness skingraft serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum
pada luka yang dalam. luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi
tidak lebih dari 10 hari. kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary
closure. yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan
yang mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.
5. pemberian antibiotik
pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. antibiotik diberikan
dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan sesuadah tindakan operasi
6. pencegahan tetanus
semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. pada
penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid
tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).8
J. Komplikasi
1. perdarahan, syok septik sampai kematian
2. septikemi, toksemia oleh karena infeksi piogenik
3. tetanus
4. gangrene
5. perdarahan sekunder
6. osteomielitis kronik
7. delayed union
8. non union dan malunion
9. kekakuan sendi
10. Komplikasi lain oleh karena perawatan yang lama).2

11

K. Prognosis
Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat. Dengan terbukanya
barier jaringan lunak, maka patah tulang tersebut terancam untuk terjadinya
infeksi. Seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang terbuka, luka
yang terjadi masih dalam stadium kontaminasi (golden periode) dan setelah
waktu tersebut, luka berubah menjadi luka infeksi.

A. Definisi Dislokasi Shoulder Joint (Sendi Bahu)


Suatu kondisi dimana caput humerus bergeser keluar batas fossa glenoid.11

B. Anatomi

Gerakangerakan yang
gelang

terjadi

di

bahu

dimungkinkan

oleh

sejumlah sendi

yang

saling

berhubungan erat, misalnya sendi kostovertebral atas, sendi akromioklavikular,


permukaan pergeseran skapulotorakal dan sendi glenohumeral atau sendi bahu.
Gangguan gerakan dalam sendi bahu sering mempunyai konsekuensi untuk
sendi-sendi yang lain di gelang bahu dan sebaliknya. Sendi bahu dibentuk oleh
kepala tulang humerus dan mangkok sendi, disebut cavitas glenoidalis. Sendi ini
menghasilkan gerakan fungsional sehari-hari seperti menyisir, menggaruk kepala,

12

mengambil dompet, dan sebagainya atas kerjasama yang harmonis dan simultan
dengan sendi-sendi lainnya.10

Cavitas glenoidalis sebagai mangkok sendi bentuknya agak cekung tempat


melekatnya kepala tulang humerus dengan diameter cavitas glenoidalis yang
pendek kira-kira hanya mencakup sepertiga bagian dan kepala tulang sendinya
yang agak besar, keadaan ini otomatis membuat sendi tersebut tidak stabil namun
paling luas gerakannya. Beberapa karakteristik dari pada sendi bahu yaitu :
perbandingan antara permukaan mangkok sendinya dengan kepala sendi tidak
sebanding, kapsul sendinya relative lemah. Otot-otot pembungkus sendi relative
lemah seperti otot supraspinatus, infraspinatus, teres minor, dan subscapularis,
gerakan paling luas, tetapi stabilitas sendi relatif kurang stabil. Dengan melihat
keadaan sendi tersebut, maka sendi bahu lebih mudah mengalami gangguan
fungsi dibandingkan dengan sendi lainnya.
a). Kapsul sendi
Kapsul sendi terdiri atas dua lapisan :

13

1) Kapsul sinovial (lapisan bagian dalam) Dengan karakteristik mempunyai


jaringan fibrokolagen agak lunak dan tidak memiliki saraf reseptor dan pembuluh
darah. Fungsinya menghasilkan cairan sinovial sendi dan sebagai transfomator
makanan ke tulang rawan sendi. Bila ada gangguan pada sendi yang ringan saja,
maka yang pertama kali yang mengalami gangguan fungsi adalah kapsul sinovial,
tetapi karena kapsul tersebut tidak memiliki reseptor nyeri, maka kita tidak
merasa nyeri apabila ada gangguan, misalnya pada artrosis sendi.
2) Kapsul fibrosa. Karakteristiknya berupa jaringan fibrous keras dan memiliki saraf
reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya memelihara posisi dan stabilitas sendi,
dan memelihara regenerasi kapsul sendi.

C. Etiologi
Penyebab utama dislokasi sendi bahu ialah trauma dengan lengan
mengalami rotasi internal dan abduksi, menyebabkan caput humerus subluksasio
ke arah depan. Subluksasio ke arah posterior terjadi dari terjatuh dengan posisi
lengan terulur. Dislokasi inferior dapat terjadi dari lemahnya tonus otot dengan
hemiplegia dan dari berat lengan menarik humerus ke arah bawah. Dislokasi
glenohumeral anterior biasa terjadi pada atlit, khususnya pemain sepak bola.11
D. Klasifikasi

14

1. Dislokasi anterior
2. Dislokasi posterior
3. Dislokasi inferior atau luksasi erekta
4. Dislokasi disertai fraktur.12

E. Mekanisme Trauma
1. Dislokasi Sendi Bahu anterior
Merupakan jenis dislokasi yang paling sering terjadi pada sendi mayor.
Biasanya terjadi karena rotasi eksternal secara paksa dan ekstensi dari bahu.
Kaput humerus kemudian terdorong ke depan, dan sering menyebabkan robekan
pada kartilago glenoid labrum dan kapsul dari batas anterior kavum glenoid. 13
Lebih jarang dislokasi ini juga dapat terjadi pada pasien yang terjatuh dengan
bertumpu pada tangan dan sendi bahu dalam posisi ekstensi. Pada dislokasi ini,
kaput humerus mengalami pergeseran ke arah medial ke glenoid, tepat di bawah
prosesus korakoid.14
Pada dislokasi berulang kapsul dan labrum sering terlepas dari anterior glenoid.
Tetapi pada beberapa kasus labrum tetap utuh dan kapsul serta ligamentum
glenohumerus keduanya terlepas atau terentang ke arah anterior dan inferior.
Selain itu mungkin ada indentasi pada bagian posterolateral kaput humerus (lesi
Hill-Sachs) yaitu suatu fraktur kompresi akibat kaput humerus menekan lingkar
glenoid anterior setiap kali mengalami dislokasi.15

2. Dislokasi Sendi Bahu Posterior


Dislokasi tipe ini lebih jarang terjadi. Biasanya karena trauma
berkekuatan besar dengan posisi terjatuh pada bahu anterior atau pada tangan
15

dengan posisi adduksi dan rotasi internal, karena kejang epileptic (akibat epilepsy
atau terkena aliran listrik), atau intoksikasi alkohol. 13,14 Dislokasi mungkin
disertai dengan fraktur proksimal humerus, kapsul posterior terlepas dari tulang
atau teregang, dan mungkin ada indentasi dari aspek anterior dari kaput
humerus.15
Ketika sendi bahu yang sebelumnya mengalami dislokasi posterior, mengalami
dislokasi ulang karena cedera lain, dislokasi kedua dan selanjutnya disebut
dislokasi rekuren. Pada kasus dimana pasien dapat mendislokasikan dan
mereduksi sendi bahu sesuai keinginan disebut dislokasi habitual. Hal ini
biasanya terjadi karena gangguan kongenital generalisata pada ligament.14

F. Manifestasi Klinis
1. Dislokasi sendi bahu anterior
Pasien biasanya datang dengan keluhan utama nyeri. Pasien juga
mengeluhkan seperti sesuatu keluar dari tempatnya sehingga dia tidak dapat
menggerakkan tangannya. Pasien kemudian menggunakan tangan yang lain untuk
membantu menyanggahnya.14 Pada kejadian akut yang pertama kali pasien dapat
menjelaskan dengan baik mekanisme trauma; adanya ruda paksa pada bahu
dalam keadaan abduksi, rotasi eksternal, dan ekstensi.15
Pada pemeriksaan fisik ditemukan beberapa tanda diantaranya adanya nyeri,
terdapat benjolan pada bagian depan bahu, posisi lengan abduksi-eksorotasi, tepi
bahu tampak menyudut, nyeri tekan, dan adanya gangguan gerak sendi bahu. Ada
2 tanda khas pada dislokasi sendi bahu anterior ini yaitu sumbu humeru yang
tidak menunjuk ke bahu dan kontur bahu berubah karena daerah dibawah

16

akromion kosong pada palpasi. Penderita merasakan sendinya keluar dan tidak
mampu menggerakkan lengannya dan lengan yang cedera ditopang oleh tangan
sebelah lain dan tidak mampu menggerakkan lengannya dan lengan yang cedera
ditopang oleh tangan sebelah lain dan ia tidak dapat menyentuh dadanya. Lengan
yang cedera tampak lebih panjang dari normal, bahu terfiksasi sehingga
mengalami fleksi dan lengan bawah berotasi ke arah interna. Posisi badan
penderita miring ke arah sisi yang sakit. Pemeriksa terkadang dapat membuat
scapula bergerak pada dadanya namun tidak akan dapat menggerakkan humerus
pada scapula. Jika pasien tidak terlalu banyak menggerakkan bahunya, maka pada
kasus ini kaput humerus yang tergeser dapat diraba di bawah prosesus
korakoideus. Fungsi nervus sirkumflex harus diperiksa karena rentan mengalami
cedera pada kasus ini.13,14,15,16
2. Dislokasi Sendi Bahu Posterior
Kasus ini jarang terjadi dan sering terabaikan karena pasien terlihat seperti
melindungi ekstrimitasnya.. Biasanya dari anamese didapati riwayat trauma yang
hebat pada bahu, riwayat terkena aliran listrik, atau intoksikasi alkohol.
Dari pemeriksaan fisik terlihat lengan dalam posisi adduksi dan rotasi interna.
Pergerakan rotasi eksternal mengalami tahanan. Pada pasien yang kurus kaput
humerus dapat teraba pada bagian posterior.14,15,16
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos
Pemeriksaan radiologis harus meliputi sudut anteroposterior dan lateral.
Pada sudut anteroposterior dapat ditentukan bilamana terjadi nterjadi rotasi
interna dan eksterna. Pada rotasi interna dapat dilihat lesi Hill-Sachs pada
caput hemurus posterolateral.
Pada sudut lateraldapat dilihat sublukasasi glenohumeral ataupun dislokasi,
dapat juga unutk melihat bilamana terdapat fraktur.
Pada dislokasi sendi bahu anterior, kaput hemrus berada di bagian depan
ataupun medial dari glenoid. Pada dislokasi posterior terdapat gambaran
berupa light bulb yang diakibatkan rotasi interna dari humerus.

17

Dislokasi
Dislokasi anterior
anterior

Dislokasi posterior

2. CT-scan arthrografi dulunya biasanya digunakan untuk mengevaluasi pasien


dengna instabilitas glenohumeral dan dislokasi atau dengan riwayat
instabilitas sebelumnya. Akan tetapi, sekarang ini Ct-scan hanya digunakan
apabila terdapat kontraindikasi pemeriksaan dengan MRI atau jika dicurigai
terdapat abnormalitas glenoid.
3. MRI dan magnetic Resonanace Arthrografi lebih sensitive dibandingkan
metode lainnya untuk keadaan patplogia pada ligamen, kartilago, cidera
bisep ataupun abnormalitas kapsul. MR artrografi lebih sensitif dibandingkan
MRI, dan hal ini merupakan pemeriksaaan pilihan pada dislokasi sendi bahu,
khususnya untuk kasus instabilitas yang berulang dan lebih bagus untuk
mendiagnosa lesi patologis untuk hal-hal tersebut.17,18

H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksaan Dislokasi Sendi Bahu Anterior
Beraneka ragam metode reduksi dilakukan pada pasien dengan dislokasi
sendi bahu. Untuk pasien yang pernah mengalami dislokasi sebelumnya,
traksi sederhana pada lengan biasanya berhasil dengan baik. Biasanya
penggunaan sedasi atau anestesi general diperlukan.

18

Dengan metode Stimson, pasien ditelungkupkan dan lengan yang sakit


tergantung disebelah tempat tidur. Seteleah 15 hingga 20 menit bahunya
akan tereduksi.

Gambar. Metode Stimson

Dengan metode Hipocrates, penderita dibaringkan dilantai, anggota gerak


ditarik ke atas dan kaput hemerus ditekan dengan kaki agar kembali ke
tempatnya.

Gambar. Metode Hipocrates

Dengan metode Kocher, penderita berbaring di tempat tidur dan


pemeriksa berada disamping penderita. Sendi siku dalam posisi fleksi 90
dan dilakukan traksi sesuai garis humerus, kemudian dilakukan rotasi ke

19

arah lateral dan lengan diadduksi dan sendi siku dibawa mendekati tubuh
ke arah garis tengah dan lengan kemudian dirotasi ke medial sehingga
tangan jatuh di daerah dada. Teknik ini kurang direkomendasikan karena
dapat mengakibatkan cidera pada nervus, pembuluh darah dan pada
tulang.

Gambar. Metode Kocher

Reduksi tanpa pembiusan umum dilakukan dengan teknik menggantung


lengan. Penderita diberikan pethidin atau diazepam agar tercapai relaksasi yang
maksimum, kemudian penderita tidur tengkurap dan membiarkan lengan
tergantung dipinggir tempat tidur. Setelah beberapa waktu dapat terjadi reduksi
secara spontan.
Penanganan setelah reposisi
Lengan diistirahatkan dengan mitella selama 3 minggu pada penderita yang
usianya dibawah 3 tahun (yang lebih sering terjadi rekurensi) dan hanya 1
minggu pada usia lebih 30 tahun (lebih sering terjadi kekakuan). Kemudian
dimulai pergerakan ringan namun kombinasi abduksi dan rotasi lateral sebaiknya
dihindari selama 3 minggu. Selama periode ini, siku dan jari mulai digerakkan
setiap hari.
2. Penatalaksanaan Dislokasi Sendi bahu posterior
Dilakukan reduksi dengan menarik lengan ke depan secara hati-hati dan
rotasi eksterna, serta dilakukan imobilisasi selama 3-6 minggu.
3. Penatalaksanaan Dislokasi Sendi bahu inferior
Dilakukan reduksi tertutup menarik lengan ke depan secara hati-hati dan
rotasi eksterna. Lengan diistirahatkan sampai nyeri hilang, namun hindari

20

melakukan abduksi selama 3 minggu setelah terjadi penyembuhan jaringan


lunak. Apabila hal ini tidak berhasil dapat dilakukan reduksi terbuka dengan
operasi.16,17,18
I. Komplikasi
1. Komplikasi dislokasi anterior
A. Awal
Rotator cuff tear. Biasa mengiringi dislokasi anterior pada orang
dewasa. Pasien mungkin kesulitan mengabduksikan lengannya setelah
reduksi; kontraksi muskulus deltoid yang teraba menyingkirkan
kelumpuhan saraf aksilaris.
Kerusakan saraf. Saraf aksilaris paling sering mengalami cedera,
pasien tidak dapat mengkontraksikan otot deltoid dan sedikit
kehilangan rasa pada otot. Ketidakmampuan abduksi harus dibedakan
dari robekan rotator cuff.

Kerusakan pembuluh darah. Arteri aksilaris dapat mengalami


kerusakan, khususnya pada orang tua dengan pembuluh darah yang
rapuh. Ini bisa terjadi saat cedera ataupun saat melakukan reduksi.
Tungkai harus selalu diperiksa ada tidaknya tanda-tanda iskemia
sebelum dan sesudah reduksi.
Fraktur-dislokasi. Jika ada hubungan fraktur proksimal humerus,
mungkin diperlukan reduksi terbuka dengan fiksasi internal.

21

Gambar.

Dermatom nervus aksilaris

B. Terlambat
Kaku bahu. Lamanya immobilisasi dapat menyebabkan kekakuan
pada sendi bahu, khususnya pada pasien diatas 40 tahun.
Dislokasi tak tereduksi. Dislokasi sendi bahu terkadang tidak
terdiagnosa. Biasa terjadi pada pasien yang tidak sadar atau terlalu tua.
Reduksi tertutup baik dilakukan sampai 6 minggu setelah cedera;
manipulasi yang dilakukan setelah itu dapat menyebabkan fraktur,
robekan pembuluh darah atau saraf.
Dislokasi rekuren. Jika dislokasi anterior merobek kapsul sendi bahu,
perbaikan diikuti reduksi secara spontan maka dislokasi mungkin tidak
terjadi, tetapi bila glenoid lepas atau kapsul tertanggal didepan leher
glenoid, rekurensi lebih sering terjadi.

2. Komplikasi dislokasi posterior


Dislokasi tak tereduksi. Minimal setengah dari pasien dengan dislokasi
posterior tidak tereduksi ketika pertama kali. Berminggu-minggu sampai
22

berbulan-bulan berlalu sebelum diagnosis ditegakkan dan lebih dari dua


pertiga dislokasi posterior tidak dikenali awalnya.
Dislokasi rekuren atau subluksasio
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. S

Umur

: 53 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Petani

Agama

: Islam

Alamat

: Bengkulu Utara

Status perkawinan

: Menikah

Suku

: Jawa

Tanggal MRS

: 7/10/2014

B. ANAMNESA
Keluhan utama

: Nyeri pada bahu kiri dan kaki kanan setelah

kecelakaan 6 jam SMRS


Riwayat penyakit sekarang
6 jam SMRS pasien berdiri di atas mobil dengan bak terbuka. Mobil yang
ditumpangi pasien masuk jurang karena rem mobil rusak. Pasien jatuh dari mobil
dan kaki kanan tertimpa kotak penampung karet. Pasien tidak mengingat dengan
pasti posisi jatuh. Pingsan (-), muntah (-), sakit kepala (-), pusing (-). Setelah
bangun dari jatuh pasien sulit untuk menggerakkan tangan sebelah kiri terutama
pada bagian bahu dan jika digerakkan terasa nyeri. Tungkai kanan bawah juga
terasa nyeri saat digerakkan.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat trauma sebelumnya tidak ditemukan

23

Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya


Riwayat Keluarga
DM (-)
Hipertensi (-)
C. PRIMARY SURVEY
Kesadaran : compos mentis
Airway : Clear, Snoring (-), Gargling (-)
Breathing : Spontan, Pernafasan 20 x/mnt, dinding dada simetris,
ketertinggalan gerak (-), perkusi : sonor +/+, Auskultasi : Ves (+) normal
Circulation : tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi 100 x/mnt, akral hangat, CRT
< 2 detik
Disability : GCS 15 (E4 V5 M6)
Exposure : Suhu 37C
D. SECONDARY SURVEY
Status Generalis
a/i/c/d : -/-/-/Kepala - Leher
simetris tidak teraba adanya benjolan, trakea terletak di tengah, tidak teraba
pembesaran KGB
Thorax
Paru :
Inspeksi : simetris dalam stasis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama kuat

24

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru


Auskultasi : suara nafas vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Jantung
Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi : teraba ictus cordis
Perkusi : redup
Batas atas : ICS II parasternal sinistra
Batas kanan: ICS IV sterna dextra
Batas kiri : ICS V midclavicula sinistra
Auskultasi : suara jantung S1 & S2 tunggal
Abdomen
Inspeksi : distensi (-)
Palpasi : distensi, nyeri tekan (-)
Perkusi : dalam batas normal.
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
Cruris Dextra terdapat luka tertutup kasa dan terpasang spalk.
Status Lokalis : Regio cruris Dextra

25

Look : Luka terbuka ukuran 3x3 cm di cruris. deformitas (+), pembengkakan (+)
perdarahan aktif (-)
Feel : Nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+), suhu rabaan hangat, AVN distal
Normal. NVD (-)
Move: Hip Joint: gerakan bebas, Knee Joint: fleksi dan ekstensi terbatas, Ankle
Joint: gerakan terbatas, Phalang Joint: gerakan bebas
Shoulder joint:
Abduksi (-) Adduksi (-),
fleksi (-), ekstensi (-),
sirkumfleksi (-), eksternal
rotasi (-), internal rotasi (-)
Elbow joint : gerakan bebas
Wrist joint : gerakan bebas
Phalang : gerakan bebas
NVD

:-

Pemeriksaan Penunjang
-

Foto X-ray
Terdapat Fraktur cominutif tibia dan fibula (D) dan Dislokasi anterior
shoulder joint (S)

26

F. DIAGNOSA
1. Open Fraktur gr II, os tibia dan fibula dextra, komunitif, displaced
2. Dislokasi anterior glenohumeral joint
G. PLANNING DIAGNOSA
Debridement + ORIF
Reduksi Dislokasi
H. Tindakan
-UGD :

Infus RL 24 tpm
Ceftriaxone 1 gr iv
Ketorolac 30mg iv
ATS

I. Pembahasan Kasus
Berdasarkan anamnesis, pasien nyeri pada kaki kanan dan bahu kiri
setelah kecelakaan (07/10/2013) mobil yang ditumpangi pasien masuk ke dalam

27

jurang. Setelah jatuh pasien dalam keadaan sadar. Kaki kanannya terdapat luka
dan tidak bisa digerakkan, serta bahu kirinya nyeri dan tidak dapat digerakan
kemudian pasien dibawa ke RS, pulang paksa karena masalah biaya. Dari hal
diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri pada kaki kanan dan false movement
merupakan salah satu tanda fraktur. Untuk trauma kepala dan multiple trauma
disangkal, karena setelah kecelakaan pasien sadar penuh sampai datang ke RS.
sesuai dengan tinjauan teori, bahwa open fraktur harus ditangani dengan operasi
CITO dalam periode sebelum golden period untuk meminimalisir infeksi dengan
debridement yang mengubah luka kotor menjadi luka bersih.
Dari pemeriksaan fisik
Look : Luka terbuka ukuran 3x3 cm di cruris. deformitas (+), pembengkakan (+)
perdarahan aktif (-)
Feel : Nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+), suhu rabaan hangat, AVN distal
Normal. NVD (-)
Move: Hip Joint: gerakan bebas, Knee Joint: fleksi dan ekstensi terbatas, Ankle
Joint: gerakan terbatas, Phalang Joint: gerakan bebas
Shoulder joint:
Abduksi (-) Adduksi (-),
fleksi (-), ekstensi (-),
sirkumfleksi (-), eksternal
rotasi (-), internal rotasi (-)
Elbow joint : gerakan bebas
Wrist joint : gerakan bebas
Phalang : gerakan bebas
NVD

:-

Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang yang mana


menunjukkan fraktur cominutif pada cruris dextra.

28

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka


dapat ditegakkan diagnose :
1. Open Fraktur gr II, os tibia dan fibula dextra, komunitif, displaced
2. Dislokasi anterior glenohumeral joint

29

BAB IV
KESIMPULAN
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga
timbul komplikasi berupa infeksi. luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang
yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus misalnya
oleh peluru atau trauma langsung.
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan
penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. selain mencegah
infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota
gerak. beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur
terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debrideman
yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang
dini serta pemberian antibiotik yang adekuat.
Hubungan dengan dunia luar dapat terjadi karena penyebab rudapaksa
merusak kulit, jaringan lunak dan tulang atau Fragmen tulang merusak jaringan
lunak dan menembus kulit. Klasifikasi yang dianut adalah menurut Gustilo,
Merkow dan Templeman (1990) Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat
darurat. Karena itu penanganan patah tulang terbuka harus dilakukan sebelum
golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka
tercapai.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Apley, Graham, Solomon Louis. Buku ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Appley
Edisi ketujuh. Jakarta : Widya Medika ; 2004.
2. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : Yarsif
Watampone; 2007
3. Sjamsuhidajat, R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005.
4. Snell, Richard S. Anatomim Klinik Edisi 6. Jakarta : EGC; 2006
5. SMF Ilmu Bedah Orthopaedi dan traumatologi. Pedoman Diagnosis dan Terapi.
Surabaya: RSU Dr. Soetomo & FK Unair; 2008.
6. Soft tissue coverage in open fractures of tibia. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3421938/

Diunduh

tgl

09/10/2014
7. Operative stabilization of open long bone fractures. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3530238/

Diunduh

tgl

09/10/2014
8. Infection

Rates

in

Open

Fractures

of

the

Tibia.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3205596/

Available

from:

Diunduh

tgl

09/10/2014
9. Penanganan

Fraktur

Terbuka.

Available

from:

repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter%20II. Diunduh tgl 09/10/2014


10. Flatow EL, Connor PM, Levine WN, Arroyo JS, Pollock RG, Bigliani LU.
1997. Coracoacromial arch reconstruction for anterosuperior subluxation after
failed rotator cuff surgery: A preliminary report. J Shoulder Elbow Surg 6:228

31

11. Galatz LM, Connor PM, Calfee RP, Hsu JC, Yamaguchi K. 2003. Pectoralis
major transfer for anterior-superior subluxation in massive rotator cuff
insufficiency. J Shoulder Elbow Surg. 12:1-5
12. Ogawa K, Naniwa T. 1998. Deltoid contracture exhibiting anterosuperior
subluxation of the shoulder joint. J Shoulder Elbow Surg. 7:297-300
13. Sharkey NA, Marder RA. 1995. The rotator cuff opposes superior translation
of the humeral head. Am J Sports Med. 23:270-5
14. Simank HG, Dauer G, Schneider S, Loew M. 2006. Incidence of rotator cuff
tears in shoulder dislocations and results of therapy in older patients. Arch
Orthop Trauma Surg. 126:235-40
15. Stayner LR, Cummings J, Andersen J, Jobe CM. 2000. Shoulder dislocations in
patients older than 40 years of age. Orthop Clin North Am. 31:231-9
16. Terrier A, Reist A, Vogel A, Farron A. 2007. Effect of supraspinatus deficiency
on humerus translation and glenohumeral contact force during abduction. Clin
Biomech. 22:645-51
17. Werner CM, Favre P, Gerber C. 2007. The role of the subscapularis in
preventing anterior glenohumeral subluxation in the abducted externally
rotated position of the arm. Clin Biomech 22:495-501
18. Wright WG, Gurfinkel VS, Nutt J, Horak FB, Cordo PJ. 2007. Axial
hypertonicity in Parkinsons disease: Direct measurements of trunk and hip
torque. Exp Neurol. 208: 38-46

32

Anda mungkin juga menyukai