Pendahuluan
Dalam penghujung abad 20, beberapa fenomena yang berlangsung di
beberapa wilayah telah mengubah lansekap politik dunia. Fenomena itu adalah : 1)
Jatuhnya rejim otoriter sayap kanan di selatan Eropa pada pertengahan tahun 1970an
2) pergantian diktator militer oleh pemerintah sipil terpilih seantero Amerika Latin
mulai akhir 1970 sampai akhir 1980 3) menurunnya aturan otoriter di Asia Selatan
dan Timur yang dimulai pertengahan tahun 1980 4) hancurnya rejim komunis di
eropa Timur pada akhir 1980 5) bubarnya Uni Sovyet dan berdirinya 15 republik
paska Sovyet tahun 1991 6) menurunnya rejim satu partai di banyak negara di Afrika
pada pertengahan tahun 1990an 7) trend liberalisasi di beberapa negara Timur Tengah
dalam tahun 1990an (Carothers, 2002)
Penyebab, bentuk dan langkah trend berbeda tersebut di atas bervariasi.
Namun kesemuanya menunjukkan karakteristik gerakan simultan, yakni perubahan
dari aturan diktatorial menjadi lebih liberal dan demokratisasi pemerintahan. Hasilnya
seringkali dilihat oleh banyak pengamat, terutama pengamat barat, sebagai trend
global demokrasi sebagaimana dipopulerkan oleh Samuel Huntington sebagai the
third wave of democracy. Kerangka kerja analisa untuk mengkonseptualisasi dan
merespon kejadian-kejadian politik ini pun dibentuk.
sosiokultural dan jenis-jenis struktural lainnya tidak akan menjadi faktor utama pada
saat atau pada hasil proses transisi.
Kelima, paradigma transisi bersandar pada asumsi bahwa transisi demokrasi
yang membuat gelombang ketiga dibangun pada negara koherent. Proses
demokratisasi diasumsikan melibatkan beberapa desain ulang kelembagaan negara
seperti penciptaan institusi pemeilihan baru, reformasi parlemen, feromasi lembaga
yudisisial, tapi hanya sebagai modifikasi dari fungsi negara yang telah ada
sebelumnya.
Tampaknya, upaya-upaya untuk menilai kemajuan gelombang ketiga
demokrasi terkadang ditolak sebagai hal yang prematur. Yang pasti, demokrasi itu
tidak dibangun dalam hari dimana aktivis demokrasi menuntut hal tersebut.
Terlampau dini untuk mencapai penilaian tentang hasil lusinan transisi demokrasi
diutarakan dalam dua dekade terakhir (Carothers, 2002).
Dari 100 negara yang dipahami mengalami transisi demokrasi dalam tahun
terakhir, kurang dari 20 negara yang secara jelas berada di rute untuk berhasil menuju
demokrasi atau demokrasi yang berfungsi baik. Setidaknya telah membuat beberapa
kemajuan demokratis dan masih menikmati posisi dinamis dari demokratisasi.
Negara-negara tersebut utamanya dapat ditemukan di Eropa Tengah dan wilayah
Baltik, Hungaria, Republik Ceko, Estonia, Slovenia. Kemudian sedikit di wilayah
Amerika Selatan dan Asia Barat seperti Chili, Uruguay dan Taiwan. Negara-negara
yang sedikit kemajuannya tapi tampak masih melaju adalah Slovakia, Romania,
Bulgaria, Mexico, Brazil, Ghana, Filipina, dan Korea Selatan.
5
dan pseudo-democracy hanya dapat digunakan pada kasus-kasus spesifik zona abuabu (Carothers, 2002).
Dengan menggambarkan negara-negara dalam zona abu-abu sebagai tipe
demokrasi, analis politik mencoba untuk menerapkan paradigma transisi pada negaranegara yang evolusi politiknya mempertanyakan paradigma tersebut ( O.Donnell,
1994).
Banyak
dari
istilah
kualifikasi
demokrasi
yang
digunakan
untuk
Ketiga, asumsi bahwa pencapaian pemilihan umum yang tulen, regular tidak
hanya akan menunjukkan legitimasi demokratis pada pemerintahan baru akan tetapi
juga secara terus menerus memperdalam partisipasi politik dan akuntabilitas
demokrasi seringkali tidak berjalan lama. Dalam banyak begara tradisional, pemilihan
umum yang tulen, regular memang digelar namun partisipasi politik di hadapan
pemilih dan akuntabilitas pemerintah tetap lemah. Jurang pemisah yang lebar antara
elit politik dan warganegara di banyak negara berakar dari kondisi struktural seperti
konsentrasi kesejahteraan atau tradisi sosiokuktural tertentu. Seringkali pula terjadi
kompetisi pemilihan hanya sedikit menstimulasi pembenahan atau pembangunan
partai politik. Patologi semacam partai personalistis, partai sementara dan partai
bergeser atau politik berbasis patronase stagnan tampak dapat eksis untuk periode
berlanjut dengan mendapatkan proses legitimasi pluralisme politis dan kompetisi ala
kadarnya.
Keempat, prakondisi demokrasi yang dengan gegap gempita ditabukan pada
masa awal gelombang ketiga, secara kontras berhadapan dengan realitas fakta yang
menunjukkan bahwa kondisi struktural secara nyata memberikan bobot beban pada
pembentukan keluaran politik. Sebagai contoh apa yang cenderung ditemukan di
Eropa Tengah atau Asia Timur sangat jelas menunjukkan betapa kesejahtaraan
ekonomi juga pengalaman lalu dengan pluralisme politik berkontribusi pada
perubahan bagi keberhasilan demokrasi. Dan melihat secara komparatif dalam
wilayah, apakah di dunia bekas komunis atau sub-Sahara Afrika, terdapat bukti
bahwa warisan institusional tertentu dari rejim sebelumnya berpengaruh kuat pada
hasil transisi yang diharapkan.
Kelima, state-building telah menjadi masalah yang sangat besar dan
problematis ketimbang yang asalnya dibayangkan dalam paradigma transisi.
Berlawanan dengan asumsi awal pradigma transisi, banyak negara gelombang ketiga
menghadapi tantangan state-building yang fundamental. Kurang lebih 20 negara di
bekas Uni Sovyet dan bekas Yugoslavia mencoba membangun institusi negara
nasional yang belum pernah ada sebelumnya. Di beberapa bagian kawasan Amerika
Latin, Timur Tengah dan Asia, perubahan politik dilakukan dalam konteks struktur
negara stabil namun
keinginan rakyat dipaksa untuk melakukan demokratisasi. Teori ini awalnya berfokus
bukan pada perwakilan dari elit atau kelompok sipil saja, tapi pada bagaimana
struktur kekuasaan dan jaringan membatasi
pendekatan path-shaping menyadari bahwa tidak ada penjenjangan yang satu dan
linear dari demokratisasi. Warisan dari rejim pra-transisi dipahami sebagai hal
penting dalam membentuk, dan seringkali menghambat aspek-aspek berbeda dari
demokratisasi, namun tidak dilihat sebagai penentu tunggal bagaimana demokratisasi
dikemas. Saat limitasi terjadi, kelompok-kelompok atau elit dapat bertindak untuk
mengalahkannya akan tetapi keinginan dan kapasitas ,ereka untuk melakukannya
mungkin dibatasi oleh kesinambungan pengaruh dari praktek atau mentalitas pratransisi tertentu (Hausner, Jessop, and Nielsen 1995). Pendekatan ini tidak
mengasumsikan akan tetapi lebih pada menggarisbawahi ketidakpastian, non linear
dan keberlanjutan jejak politik.
Kesimpulan
Minimnya konsensus dalam pemahaman akademik tentang demokrasi, transisi
dan konsolidasi bukanlah manifestasi dari inkompetensi konseptual melainkan
lebih pada persoalan realita politik (Schedler, 2001a). Yakni demokratisasi secara
inheren adalah proses yang tidak dapat diprediksikan, yang bergerak tidak hanya ke
depan tapi juga ke belakang, ke pinggir dan secara diagonal berubah langkahnya.
Demokratisasi di sini tidak dilihat secara tradisional sebagai yang biasa dan pasti
melainkan pada mungkin dan tak terduga. Meminjam gagasan Whitehead (2002),
diskusi demokrasi dalam makalah ini adalah pemahaman istilah demokratisasi
sebagai a long-term and somewhat open-ended outcome, not just a feasible
equilibrium but as a socially desirable and imaginary future.
13
memungkinkan
untuk
mengutilisasikan
definisi
demokrasi
yang
14
Daftar Pustaka
Braudel, Fernand. 1984. The Perspective of the World. In Civilisation and Capitalism
15th-18th Century. New York: Harper & Row.
Carothers, Thomas. 2002. The End of the Transition Paradigm. Journal of Democracy
13 (1):5-21.
Chadwick, Rachael. 2006. The Quality of Democracy in Indonesia and Russia :A
Path-Shaping Analysis of Two Fourth Wave Democracies. Department of Asian
Studies. The University of Sydney
Doorenspleet, Renske. 2005. Democratic Transitions: Exploring the structural
sources of the fourth wave. Boulder, Colorado and London: Lynne Reinner Publishers.
Ghosh, B. N. 2001. Dependency Theory Revisited. Aldershot, Hampshire: Ashgate.
Gilman, Nils. 2003. Mandarins of the Future: Modernisation Theory in Cold War
America. Edited by H. Brick, New Studies in American Intellectual and Cultural
History. Baltimore and London: Johns Hopkins University Press.
Hausner, Jerzy, Bob Jessop, and Klaus Nielsen. 1995. Institutional Change in PostSocialism. In Strategic Choice and Path Dependency in Post Socialism: Institutional
Dynamics in the Transformation Process, edited by J. Hausner, B. Jessop and K.
Nielsen. Aldershot, Hants and Brookfield, Vermont: Edward Elgar Publishing.
Mahoney, James. 2001. Path-Dependent Explanations of Regime Change: Central
America in Comparative Perspective. Studies in Comparative International
Development 36 (1):111-141.
Nusa bakti, Ikrar. 2002. The Transition to Democracy In Indonesia : Some
Outstanding Problems.
O'Donnell, Guillermo, and Philippe C. Schmitter. 1986. Transitions from
Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore,
MD and London: Johns Hopkins University Press.
Potter, David. 1997. Explaining Democratization. In Democratization, edited by D.
Potter, D. Goldblatt, M. Kiloh and P. Lewis. Cambridge and Malden: Polity Press and
The Open University.
Rostow, Walt W. 1960. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist
Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press.
Rustow, Dankwart. 1970. Transitions to democracy. Comparative Politics 2:337-63.
Schedler, Andreas. 2001a. Taking Uncertainty Seriously: The Blurred Boundaries of
Democratic Transition and Consolidation. Democratization 8 (4):1-22.
15
Van Klinken, Gerry, How a democratic deal might be struck, in Arief Budiman , et
al, Reformasi: Crisis and Change in Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute
Monash University, 1999), p.59
Wallerstein, Immanuel. 1974. The Modern World System: Capitalist Agriculture and
the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century. 3 vols. Vol. 1.
New York and London: Academic Press.
. 1980. The Modern World System: Mercantilism and the Consolidation of the
European World-Economy, 1600-1750. 3 vols. Vol. 2. New York: Academic Press.
. 1989. The Modern World System: The Second Great Expansion of the
Capitalist World-Economy, 1730-1840's. 3 vols. Vol. 3. San Diego: Academic Press.
Whitehead, Laurence. 2002. Democratisation: Theory and Experience. New York:
Oxford University Press.
16