Anda di halaman 1dari 16

MEMAHAMI PARADIGMA

TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA

Pendahuluan
Dalam penghujung abad 20, beberapa fenomena yang berlangsung di
beberapa wilayah telah mengubah lansekap politik dunia. Fenomena itu adalah : 1)
Jatuhnya rejim otoriter sayap kanan di selatan Eropa pada pertengahan tahun 1970an
2) pergantian diktator militer oleh pemerintah sipil terpilih seantero Amerika Latin
mulai akhir 1970 sampai akhir 1980 3) menurunnya aturan otoriter di Asia Selatan
dan Timur yang dimulai pertengahan tahun 1980 4) hancurnya rejim komunis di
eropa Timur pada akhir 1980 5) bubarnya Uni Sovyet dan berdirinya 15 republik
paska Sovyet tahun 1991 6) menurunnya rejim satu partai di banyak negara di Afrika
pada pertengahan tahun 1990an 7) trend liberalisasi di beberapa negara Timur Tengah
dalam tahun 1990an (Carothers, 2002)
Penyebab, bentuk dan langkah trend berbeda tersebut di atas bervariasi.
Namun kesemuanya menunjukkan karakteristik gerakan simultan, yakni perubahan
dari aturan diktatorial menjadi lebih liberal dan demokratisasi pemerintahan. Hasilnya
seringkali dilihat oleh banyak pengamat, terutama pengamat barat, sebagai trend
global demokrasi sebagaimana dipopulerkan oleh Samuel Huntington sebagai the
third wave of democracy. Kerangka kerja analisa untuk mengkonseptualisasi dan
merespon kejadian-kejadian politik ini pun dibentuk.

Literatur demokratisasi berkembang pesat dalam dua dasawarsa terakhir,


dengan hadirnya sejumlah pendekatan teoritis berbeda untuk mempelajari perubahan
rejim. Pendekatan modernisasi pada demokratisasi, sebagai contoh, menekankan pada
perlunya prasyarat sosial dan ekonomi tertentu dalam negara bagi keberhasilan
transisi yang terjadi. Yakni, tingkat pembangunan sosio-ekonomi diimbuhkan untuk
berkorelasi dengan potensialitasnya pada keberhasilan demokratisasi, dengan
tingginya pembangunan yang mencirikan peluang terbaik bagi pencapaian demokrasi
(Doorenspleet, 2005; Potter, 1997). Pendekatan modernisasi sangat populer dalam
konteks paska perang dunia ke II. Konsepsi modernisasi yang linear, tidak berbalik
(irreversible), dan proses teleologis dengan demokrasi liberal dan kapitalisme pada
akhirnya dapat dilihat memiliki pengaruh yang sangat kuat pada studi berikutnya
tentang demokratisasi dan konsolidasi. Terutama pada mereka yang menetapkan tiga
atau empat tahap perjalanan pada transisi atau konsolidasi (seperti Walt Rostow,
1960).
Teori dependensi atau pendekatan sistem dunia pada transisi kemudian
berkembang sebagai suatu respon dari menurunnya popularitas teori modernisasi.
Teori ini menggantikan fokus penekanan pada pembangunan sosio-ekonomi dengan
penilaian posisi historis dalam sistem politik ekonomi dunia suatu negara
(Doorenspleet, 2005). Dependensi atau ketergantungan adalah hubungan tidak sama
antara dua negara. Pemahaman ini digunakan untuk merepresentasikan kaitan antara
negara kapitalis atau negara maju dan negara berkembang, dengan fokus pada

dampak imperialisme dan neokolonialisme pada kondisi sosio-ekonomi negara


berkembang (Ghosh 2001).
Teori dependensi ini tidak berasumsi bahwa semua negara industrialis akan
mengikuti jejak yang sama, mengalami meningkat sama, dan tidak menunjukkan satu
model modernitas (Gilman, 2003). Bagaimanapun juga ide ini sebagaimana
dipresentasikan model dasar, negara semi peripheral dan peripheral oleh Wallersteins
(1974, 1980, 1989) dan model ekonomi dunia Braudel (1984), mempunyai fondasi
deterministik yang mengasumsikan transisi demokrasi dimungkinkan terjadi hanya
pada negara tertentu saja. Ini berimplikasi bahwa transisi demokrasi dan
demokratisasi harus selalu menghadirkan jejak atau karakteristik yang sama terlepas
dari keistimewaan khas negara bangsa tersebut. Seperti diungkapkan Gilman (2003),
teori modernisasi dan sistem dunia berbagi cinta dari metanaratif, yakni keduanya
mengkonstruksikan model yang diklaim tidak hanya untuk menjelaskan bagaimana
setiap orang pergi ke tempat dimana mereka berada, tapi juga menyajikan kerangka
kerja untuk memprediksikan masa depan.

Tinjauan Teori Transisi Demokrasi


Dengan dipengaruhi karya Rostow (1970) dalam mengidentifikasi apa yang
dinamakan interval antara satu rejim politik dan yang lain Guillermo O.Donnell
and Philippe Schmitter (1986) membuat gagasan transisi sebagai perhatian utama
perbandingan

politik. Para penganjur demokrasi kemudian memperluas model

tersebut menjadi paradigma universal untuk memahami demokratisasi. Paradigma


3

transisi sangat berguna semasa kejadian-kejadian berlaku. Namun secara meningkat


jelas terlihat bahwa realita tidak lagi sesuai dengan model tersebut. Banyak negara
yang disebut transisional tidak dalam transisi menuju demokrasi. Banyak pula
negara-negara yang tidak mengikuti model tersebut saat transisi demokrasi berjalan.
Carothers (2002) menguraikan lima asumsi dasar yang menjelaskan
paradigma transisi. Pertama, yang merupakan payung dari kesemuanya, adalah
sebuah negara yang bergerak menjauh dari aturan-aturan diktatorial dapat dipahami
sebagai negara dalam transisi menuju demokrasi. Kedua, asumsi bahwa demokratisasi
cenderung untuk dikemas dalam rangkaian urutan tahapan-tahapan. Diawali dengan
pembukaan, sebuah periode dari gejolak demokrasi dan liberalisasi politik dimana
tampak perpecahan dalam rejim diktator yang berkuasa. Kemudian diikuti
penerobosan, hancurnya sebuah rejim dan kemunculan cepat sistem demokrasi
baru dengan datangnya pemerintah baru melalui pemilihan nasional dan penguatan
struktur kelembagaan demokrasi. Setelah transisi datanglah konsolidasi, proses
lambat namun bertujuan dimana bentuk-bentuk demokrasi ditransformasikan menjadi
demokrasi substansif melalui reformasi kelembagaan negara, regularisasi pemilihan,
penguatan masyarakat sipil dan pembiasaan keseluruhan masyarakat pada aturan
main baru yakni demokrasi.
Ketiga, asumsi yang mempercayai determinasi pentingnya sebuah pemilihan
(elections). Keempat, asumsi bahwa kondisi yang melandasi transisi suatu negara
seperti tingkat ekonomi, sejarah politik, warisan kelembagaan, etnis, tradisi

sosiokultural dan jenis-jenis struktural lainnya tidak akan menjadi faktor utama pada
saat atau pada hasil proses transisi.
Kelima, paradigma transisi bersandar pada asumsi bahwa transisi demokrasi
yang membuat gelombang ketiga dibangun pada negara koherent. Proses
demokratisasi diasumsikan melibatkan beberapa desain ulang kelembagaan negara
seperti penciptaan institusi pemeilihan baru, reformasi parlemen, feromasi lembaga
yudisisial, tapi hanya sebagai modifikasi dari fungsi negara yang telah ada
sebelumnya.
Tampaknya, upaya-upaya untuk menilai kemajuan gelombang ketiga
demokrasi terkadang ditolak sebagai hal yang prematur. Yang pasti, demokrasi itu
tidak dibangun dalam hari dimana aktivis demokrasi menuntut hal tersebut.
Terlampau dini untuk mencapai penilaian tentang hasil lusinan transisi demokrasi
diutarakan dalam dua dekade terakhir (Carothers, 2002).
Dari 100 negara yang dipahami mengalami transisi demokrasi dalam tahun
terakhir, kurang dari 20 negara yang secara jelas berada di rute untuk berhasil menuju
demokrasi atau demokrasi yang berfungsi baik. Setidaknya telah membuat beberapa
kemajuan demokratis dan masih menikmati posisi dinamis dari demokratisasi.
Negara-negara tersebut utamanya dapat ditemukan di Eropa Tengah dan wilayah
Baltik, Hungaria, Republik Ceko, Estonia, Slovenia. Kemudian sedikit di wilayah
Amerika Selatan dan Asia Barat seperti Chili, Uruguay dan Taiwan. Negara-negara
yang sedikit kemajuannya tapi tampak masih melaju adalah Slovakia, Romania,
Bulgaria, Mexico, Brazil, Ghana, Filipina, dan Korea Selatan.
5

Mayoritas negara-negara gelombang ketiga secara relatif tidak mencapai


keberfungsian demokrasi atau tidak tampak untuk mendalami atau melaju ke arah
kemajuan demokrasi yang dilaksanakan. Dalam jumlah kecil, mulainya political
openings jelas gagal dan rejim oyoriter kembali membuat solid dirinya, seperti di
Uzbekistan, Turkmenistan, Belarus dan Tongo. Kebanyakan dari negara-negara
transisional, bagaimana pun juga, tampak malah menjadi negara diktatorial atupun
tidak jelas mengarah pada demokrasi. Mereka memasuki zona politik abu-abu
(Carothers, 2002). Negara-negara itu memiliki beberapa atribut kehidupan
demokratis, termasuk setidaknya ruang politik terbatas bagi partai oposisi dan
masyarakat sipil (civil society) independen. Juga mereka menggelar pemilihan umum
reguler dan memiliki konstitusi yang demokratis. Namun, negara-negara ini
menderita defisit demokrasi seperti representasi dan ketertarikan buruk dari
warganegara, tingkat partisipasi politik rendah dalam pemilihan umum, kerapkali
terjadi penyalahgunaan hukum oleh pejabat pemerintah, ketidakpastian legitimasi
sebuah pemilihan umum, tingkat kepercayaan publik yang rendah pada institusi
negara, dan buruknya perfomance institusional negara secara terus menerus.
Para analis politik kemudian mensikapi variasi aktual tersebut dengan
menyediakan sederet istilah kualifikasi demokrasi untuk mengkarakterisasi negaranegara tersebut seperti semi-democracy, formal democracy, electoral democracy,
faade democracy, pseudo-democracy, weak democracy, partial democracy, illiberal
democracy, and virtual democracy. Beberapa istilah tersebut yakni faade democracy

dan pseudo-democracy hanya dapat digunakan pada kasus-kasus spesifik zona abuabu (Carothers, 2002).
Dengan menggambarkan negara-negara dalam zona abu-abu sebagai tipe
demokrasi, analis politik mencoba untuk menerapkan paradigma transisi pada negaranegara yang evolusi politiknya mempertanyakan paradigma tersebut ( O.Donnell,
1994).

Banyak

dari

istilah

kualifikasi

demokrasi

yang

digunakan

untuk

mengkarakterisasi negara-negara menjadi terhenti pada asumsi sekuen demokratisasi,


biasanya pada permulaan dari fase konsolidasi.
Carothers (2002) lebih lanjut menyimpulkan bahwa asumsi yang melandasi
paradigma transisi telah hancur. Pertama, asumsi bahwa setiap negara yang bergerak
menjauh dari kediktatoran adalah dalam transisi menuju demokrasi. Asumsi ini tidak
akurat dan sering salah arah. Dalam kenyataannya beberapa negara menunjukkan
kesukarannya untuk berdemokratisasi. Keberlanjutan penggunaan paradigma transisi
membentuk kebiasaan berbahaya dengan berupaya untuk menentukan tatanan
konseptual simplistis dan tidak tepat pada tabel empiris dari kompleksitas yang
disadari.
Kedua, bukan saja label umum dan konsep negara tradisional yang tidak
bermanfaat, namun asumsi sekuen dari tahapan demokratisasi yang dibagi atas
rekaman pengalaman. Kasus demokratisasi dalam tahun terakhir semacam Taiwan,
Korea Selatan, dan Mexico tidak berjalan melalui proses paragdimatis demokrasi
penerobosan yang diikuti secara cepat oleh pemilu nasional dan kerangka kerja
institusional demokratis yang baru.
7

Ketiga, asumsi bahwa pencapaian pemilihan umum yang tulen, regular tidak
hanya akan menunjukkan legitimasi demokratis pada pemerintahan baru akan tetapi
juga secara terus menerus memperdalam partisipasi politik dan akuntabilitas
demokrasi seringkali tidak berjalan lama. Dalam banyak begara tradisional, pemilihan
umum yang tulen, regular memang digelar namun partisipasi politik di hadapan
pemilih dan akuntabilitas pemerintah tetap lemah. Jurang pemisah yang lebar antara
elit politik dan warganegara di banyak negara berakar dari kondisi struktural seperti
konsentrasi kesejahteraan atau tradisi sosiokuktural tertentu. Seringkali pula terjadi
kompetisi pemilihan hanya sedikit menstimulasi pembenahan atau pembangunan
partai politik. Patologi semacam partai personalistis, partai sementara dan partai
bergeser atau politik berbasis patronase stagnan tampak dapat eksis untuk periode
berlanjut dengan mendapatkan proses legitimasi pluralisme politis dan kompetisi ala
kadarnya.
Keempat, prakondisi demokrasi yang dengan gegap gempita ditabukan pada
masa awal gelombang ketiga, secara kontras berhadapan dengan realitas fakta yang
menunjukkan bahwa kondisi struktural secara nyata memberikan bobot beban pada
pembentukan keluaran politik. Sebagai contoh apa yang cenderung ditemukan di
Eropa Tengah atau Asia Timur sangat jelas menunjukkan betapa kesejahtaraan
ekonomi juga pengalaman lalu dengan pluralisme politik berkontribusi pada
perubahan bagi keberhasilan demokrasi. Dan melihat secara komparatif dalam
wilayah, apakah di dunia bekas komunis atau sub-Sahara Afrika, terdapat bukti

bahwa warisan institusional tertentu dari rejim sebelumnya berpengaruh kuat pada
hasil transisi yang diharapkan.
Kelima, state-building telah menjadi masalah yang sangat besar dan
problematis ketimbang yang asalnya dibayangkan dalam paradigma transisi.
Berlawanan dengan asumsi awal pradigma transisi, banyak negara gelombang ketiga
menghadapi tantangan state-building yang fundamental. Kurang lebih 20 negara di
bekas Uni Sovyet dan bekas Yugoslavia mencoba membangun institusi negara
nasional yang belum pernah ada sebelumnya. Di beberapa bagian kawasan Amerika
Latin, Timur Tengah dan Asia, perubahan politik dilakukan dalam konteks struktur
negara stabil namun

perfomance tak menentu dari negara-negara tersebut

memperumit setiap langkah. Saat state-building dari keterpurukan harus dilakukan,


inti dorongan dan kepentingan pemegang kekuasaan seperti dengan segera mengunci
akses kekuasaan dan sumberdaya, langsung berlawanan dengan pembangunan
demokrasi yang dibutuhkan.

Perubahan Rejim di Indonesia


Perubahan rejim Orde Baru ke orde Reformasi ditandai pemilihan umum 1999
di Indonesia pun kerap kali dilihat dan diterjemahkan atas bingkai yang sama yakni
transisi demokrasi. Misalnya seperti yang diungkapkan oleh Ikrar Nusa Bakti (2002)
bahwa secara teoritis transisi dari rejim otoriter pada demokrasi dipahami mengambil
tempat dalam fase-fase berbeda. Sedikitnya ada empat fase yang seharusnya dijalani
oleh politik Indonesia, yakni : pra-transisi, liberalisasi, transisi demokrasi dan
9

konsolidasi demokrasi. Tahap utama dasi demokrasi (maturasi) diperkirakan terjadi


dalam periode yang lama. Adapun pendapat Ikrar tersebut di atas didasarkan
formulasi yang diajukan oleh Gerry Van Klinken (1999) yang membagi transisi pada
empat tahap berbeda yakni : pembusukan sistem otoriter, transisi, konsolidasi dan
akhirnya maturasi.
Dengan menggunakan metode tersebut, Ikrar (2002) pun akhirnya harus
menempatkan pada tulisannya ihwal zona abu-abu demokrasi khususnya di masa
pemerintahan Presiden Megawati . Selanjutnya ia menyimpulkan bahwa transisi
politik Indonesia tidak berjalan maju namun mundur dan tidak ada garansi transisi
akan berjalan maju pada demokrasi per se. Akhirnya ia mengutip sebuah pendapat
dari Harian Kompas 20 Juli 2002 yang menyatakan bahwa transisi demokrasi di
Indonesia ditandai dengan situasi dimana prosedur demokrasi dijalankan tapi
substansi demokrasi dihiraukan.
Dengan demikian realitas politik yang dialami oleh Indonesia pada perubahan
rejim tampaknya sangat sulit bila dipahami dengan paradigma transisi yang
cenderung

linear dan deterministik Perlunya konsepsi yang lebih fleksibel dari

demokratisasi terefleksikan dari teoritisi transisi baru-baru ini yang mengembangkan


kategori penamaan bagi negara yang gagal untuk maju dalam model linear yang
mereka prediksikan.
Ada upaya lain sebagaimana diajukan oleh Rachael Chadwick (2006) yakni
melalui pendekatan yang dinamakan path-shaping. Pendekatan ini beranjak dari
pemikiran historis-struktural. Pendekatan awal dari transisi demokrasi dan
10

demokratisasi dalam pemikiran historis-struktural membagi ketertarikan pada struktur


dalam negara, dan kontribusinya pada perubahan sebuah rejim. Struktur kekuasaan
dipahami untuk membatasi dan menyusun perwakilan kelompok-kelompok dan
individual,

yang pada gilirannya mempengaruhi bagaimana kemampuan dan

keinginan rakyat dipaksa untuk melakukan demokratisasi. Teori ini awalnya berfokus
bukan pada perwakilan dari elit atau kelompok sipil saja, tapi pada bagaimana
struktur kekuasaan dan jaringan membatasi

pilihan-pilihan politik yang

memungkinkan untuknya (Doorenspleet, 2005). Ini melibatkan pemahaman sejarah


negara bangsa dan proses perubahan historis. Cara struktur ekonomi, sosial dan
politik setiap saat bertransformasi dipelajari guna diketahui bagaimana batasan
evolusinya, atau menyediakan opening bagi perubahan politik (Potter , 1997)
Bagaimanapun juga, para teoritisi memiliki perbedaan pada kepastian
seberapa besar mereka percaya warisan sejarah mempengaruhi jejak demokratisasi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Hausener dkk (1995) bahwa dalam pendekatan
historis-struktural terdapat kontinum posisi yang memungkinkan. Di sisi ekstrim
akan terlihat transisi politik sebagai bentuk penolakan dan perubahan penuh sistem
lama dan mengganti semuanya dengan institusi atau struktur baru. Spektrum sisi lain
adalah pendekatan deterministik historis yang berasumsi bahwa pembangunan jejak
terkunci dan tidak berbalik (irreversible) saat dimulai.
Pendekatan path-dependent mempelajari warisan struktural dan isntitusional
dari rejim pra-transisi dan dampaknya pada paska-transisi, pemerintah demokratis.
Pendekatan ini menegaskan bahwa warisan historis mendikte arah jejak demokrasi
11

dan tidak mungkin terkalahkan. Mahoney (2001) contohnya, menegaskan bahwa


keputusan kunci dari elit yang ia namakan critical juncture dalam sejarah
bertanggung jawab bagi hasil keluaran selanjutnya dalam proses perkembangan
politik. Keputusan historis membuat pola institusional menjadi lebih mengekalkan
diri, dan kemudian beberapa aspek perkembangan politik dapat diprediksi.
Pendekatan studi transisi dan demokratisasi semacam ini secara kuat membawa pada
determinisme historis, dan tidak membolehkan bagi perkembangan tidak terduga
yang dapat merusak proses pergantian rejim atau demokratisasi setelah critical
juncture terjadi.
Asumsi bahwa negara bangsa terletak pada jejak yang satu, tidak berubah dan
linear oleh kejadian-kejadian historis penting dan/ atau keputusan, dan kemudian
jejak ini akan diikuti oleh hal yang dapat diprediksi, berimplikasi bahwa semua
negara demokratis akan mengikuti, pada batas tertentu, pola perkembangan yang
sama. Argumen bahwa penjenjangan politik negara dapat diprediksi sangat
problematik. Ini mengabaikan kealamian kontekstual dari transisi politik dan
demokratisasi. Sejarah memiliki jam tayang dan juga sistem politik tidak selalu
stay the course pada demokratisasi.
Proses transisi rejim di Indonesia melalui pendekatan historis-struktural yang
mulai sekarang dipahami sebagai path-shaping, istilah yang dipinjam dari Hausner
dkk (1995). Berbeda dengan path-dependency yang berfokus pada satu jejak
demokratisasi yang terbangun secara historis, dimana tidak dapat secara signifikan
dihancurkan atau diarahkan kembali oleh kekuatan internal atau eksternal,
12

pendekatan path-shaping menyadari bahwa tidak ada penjenjangan yang satu dan
linear dari demokratisasi. Warisan dari rejim pra-transisi dipahami sebagai hal
penting dalam membentuk, dan seringkali menghambat aspek-aspek berbeda dari
demokratisasi, namun tidak dilihat sebagai penentu tunggal bagaimana demokratisasi
dikemas. Saat limitasi terjadi, kelompok-kelompok atau elit dapat bertindak untuk
mengalahkannya akan tetapi keinginan dan kapasitas ,ereka untuk melakukannya
mungkin dibatasi oleh kesinambungan pengaruh dari praktek atau mentalitas pratransisi tertentu (Hausner, Jessop, and Nielsen 1995). Pendekatan ini tidak
mengasumsikan akan tetapi lebih pada menggarisbawahi ketidakpastian, non linear
dan keberlanjutan jejak politik.

Kesimpulan
Minimnya konsensus dalam pemahaman akademik tentang demokrasi, transisi
dan konsolidasi bukanlah manifestasi dari inkompetensi konseptual melainkan
lebih pada persoalan realita politik (Schedler, 2001a). Yakni demokratisasi secara
inheren adalah proses yang tidak dapat diprediksikan, yang bergerak tidak hanya ke
depan tapi juga ke belakang, ke pinggir dan secara diagonal berubah langkahnya.
Demokratisasi di sini tidak dilihat secara tradisional sebagai yang biasa dan pasti
melainkan pada mungkin dan tak terduga. Meminjam gagasan Whitehead (2002),
diskusi demokrasi dalam makalah ini adalah pemahaman istilah demokratisasi
sebagai a long-term and somewhat open-ended outcome, not just a feasible
equilibrium but as a socially desirable and imaginary future.
13

Konsekuensinya demokratisasi hendaknya dipahami secara cair. Sebuah


process of moving towards this not entirely fixed future state open-ended in the
sense that it always remains open to further reconsideration and revision in the light
of experience (Whitehead 2002). Ini tidak berarti pula bahwa anything goes.
Sangat

memungkinkan

untuk

mengutilisasikan

definisi

demokrasi

yang

mengambang tapi menjangkar, yakni menjangkar dalam definisi prosedural,


minimal dengan wilayah mengambang dugaan dan perenungan (Whitehead, 2002).
Pemahaman open ended and ongoing nature of democratisation menyingkirkan
perlunya penggunaan istilah konsolidasi yang menyebutkan bahwa demokratisasi
memiliki titik akhir yang teridentifikasi dan mengabaikan fakta bahwa meski disebut
negara demokrasi mapan, mereka dapat dan harus secara terus menerus meningkatkan
kualitas sistem politiknya.
***

14

Daftar Pustaka
Braudel, Fernand. 1984. The Perspective of the World. In Civilisation and Capitalism
15th-18th Century. New York: Harper & Row.
Carothers, Thomas. 2002. The End of the Transition Paradigm. Journal of Democracy
13 (1):5-21.
Chadwick, Rachael. 2006. The Quality of Democracy in Indonesia and Russia :A
Path-Shaping Analysis of Two Fourth Wave Democracies. Department of Asian
Studies. The University of Sydney
Doorenspleet, Renske. 2005. Democratic Transitions: Exploring the structural
sources of the fourth wave. Boulder, Colorado and London: Lynne Reinner Publishers.
Ghosh, B. N. 2001. Dependency Theory Revisited. Aldershot, Hampshire: Ashgate.
Gilman, Nils. 2003. Mandarins of the Future: Modernisation Theory in Cold War
America. Edited by H. Brick, New Studies in American Intellectual and Cultural
History. Baltimore and London: Johns Hopkins University Press.
Hausner, Jerzy, Bob Jessop, and Klaus Nielsen. 1995. Institutional Change in PostSocialism. In Strategic Choice and Path Dependency in Post Socialism: Institutional
Dynamics in the Transformation Process, edited by J. Hausner, B. Jessop and K.
Nielsen. Aldershot, Hants and Brookfield, Vermont: Edward Elgar Publishing.
Mahoney, James. 2001. Path-Dependent Explanations of Regime Change: Central
America in Comparative Perspective. Studies in Comparative International
Development 36 (1):111-141.
Nusa bakti, Ikrar. 2002. The Transition to Democracy In Indonesia : Some
Outstanding Problems.
O'Donnell, Guillermo, and Philippe C. Schmitter. 1986. Transitions from
Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore,
MD and London: Johns Hopkins University Press.
Potter, David. 1997. Explaining Democratization. In Democratization, edited by D.
Potter, D. Goldblatt, M. Kiloh and P. Lewis. Cambridge and Malden: Polity Press and
The Open University.
Rostow, Walt W. 1960. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist
Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press.
Rustow, Dankwart. 1970. Transitions to democracy. Comparative Politics 2:337-63.
Schedler, Andreas. 2001a. Taking Uncertainty Seriously: The Blurred Boundaries of
Democratic Transition and Consolidation. Democratization 8 (4):1-22.

15

Van Klinken, Gerry, How a democratic deal might be struck, in Arief Budiman , et
al, Reformasi: Crisis and Change in Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute
Monash University, 1999), p.59
Wallerstein, Immanuel. 1974. The Modern World System: Capitalist Agriculture and
the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century. 3 vols. Vol. 1.
New York and London: Academic Press.
. 1980. The Modern World System: Mercantilism and the Consolidation of the
European World-Economy, 1600-1750. 3 vols. Vol. 2. New York: Academic Press.
. 1989. The Modern World System: The Second Great Expansion of the
Capitalist World-Economy, 1730-1840's. 3 vols. Vol. 3. San Diego: Academic Press.
Whitehead, Laurence. 2002. Democratisation: Theory and Experience. New York:
Oxford University Press.

16

Anda mungkin juga menyukai