Anda di halaman 1dari 6

SISTEM INFORMASI DAN PENGENDALIAN INTERNAL

SUPPLY CHAIN MANAGEMENT PADA KARTU SAKTI


JOKOWI

Dibuat Oleh:
Abraham Arturo Wakas

932014002

Bobby Hartanto

932014022

Chriscinthya Jolita

932014017

Lee Christabelle

932014018

Nurmalita Yuniarti

932014010

MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
2015

PENDAHULUAN
Pada akhir tahun 2014, pemerintahan Joko Widodo menaikkan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM). Namun, kebijakan tersebut mendapat banyak penolakan dari masyarakat
karena kenaikan BBM dilakukan saat harga minyak dunia mengalami penurunan. Sebagai
kompensasinya, Jokowi meluncurkan Kartu Sakti Jokowi (KSJ) yang telah dijanjikan
semenjak kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden. Kartu Sakti Jokowi terdiri dari
tiga kartu yaitu, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Keluarga Sejahtera.
Kartu Indonesia Sehat (KIS) dapat digunakan untuk mendapatkan layanan kesehatan
gratis di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan, sesuai dengan kondisi
penyakit yang diderita penerima KIS. KIS tidak hanya ditujukan pada masyarakat miskin,
tetapi juga golongan rentan miskin. Menurut perkiraan, KIS akan dibagikan kepada 88,1 juta
orang. Dalam pelaksanaannya, pemerintah telah menunjuk BPJS Kesehatan sebagai
penyelenggaranya.
Kartu Indonesia Pintar (KIP) menjamin dan memastikan seluruh anak usia sekolah
dari keluarga kurang mampu terdaftar sebagai penerima bantuan tunai pendidikan sampai
lulus SMA/SMK/MA. Secara bertahap cakupan peserta sebanyak 24 juta anak usia sekolah,
termasuk anak usia sekolah penyandang masalah kesejahteraan sosial dan anak usia sekolah
dari keluarga kurang mampu yang selama ini tidak dijamin. KIP akan disalurkan langsung ke
keluarga penerima, bukan melalui sekolah. Adapun rincian besaran KIP untuk siswa SD
adalah Rp 225.000/siswa, SMP sebesar Rp 375.000/siswa dan SMA/SMK sebesar Rp
500.000/siswa.
Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) adalah kartu yang diterbitkan sebagai penanda
keluarga kurang mampu, sebagai pengganti Kartu Perlindungan Sosial (KPS). KKS ini
berfungsi sebagai penanda bahwa pemegang kartu ini berhak menerima bantuan uang dari
pemerintah. Pemilik KKS akan diberikan SIM Card yang bisa dipasang di handphone untuk
mengecek saldo. Fungsi SIM Card ini mirip dengan rekening bank. Untuk mengambil uang
bantuan dari pemerintah tersebut, Anda bisa datang ke kantor pos terdekat dengan
menunjukkan nomor SIM Card tersebut. Layanan ini biasa disebut e-money atau layanan
keuangan digital.

Pemerint
ah
PercetakKARTU SAKTI
SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (MANAJEMEN RANTAI SUPLAI)
an

JOKOWI

Bank
Kantor
Pos
Sekolah

Kecamat
an

Keluraha
n

Penerima
Rumah
Sakit

PERMASALAHAN YANG ADA TERKAIT KARTU SAKTI JOKOWI


Kartu sakti Jokowi menuai banyak kontroversi dari berbagai kalangan. Banyak opini
dan pendapat dari berbagai kalangan muncul mengenai kartu sakti ini. Opini yang muncul
mengenai kartu sakti ini kebanyakan seputar kurangnya sosialisasi dan kurangnya persiapan
dari pemerintah sehingga pada akhirnya nasib kartu sakti Jokowi yang baru diuji cobakan ke
beberapa kota menuai banyak masalah. Banyak masyarakat menyayangkan peluncuran kartu
yang terlalu cepat dari program pemerintahan Jokowi. Kartu sakti ini memiliki banyak
manfaat bagi masyarakat yang kurang mampu, namun dalam implementasinya jika tidak
didukung dengan kematangan infrastruktur, kemampuan dari pengelola maupun proses
perencanaan sistem akan menimbulkan permasalahan yang lebih besar. Penyebab utama
kekisruhan yang terjadi pada saat uji coba adalah baik pemerintah daerah maupun masyarakat
sendiri kurang memahami seperti apa proses cara pelaksanaan yang ada. Pemerintah pusat
memang sudah memiliki gambaran matang mengenai kartu sakti ini namun sepertinya
perencanaan tersebut belum dapat didelegasikan dan direalisasikan sebelum dilakukan
penerapan dari kebijakan ini.
Pemerintah lupa bahwa sosialisasi merupakan bagian penting dalam menentukan
keberhasilan suatu kebijakan. Sosialisasi kepada masyarakat dan pihak terkait tidak cukup
dilakukan beberapa kali namun harus berkali-kali, hingga pihak yang akan terlibat langsung,

maupun masyarakat lainnya mengerti tentang kebijakan yang akan dikeluarkan sampai
dengan dampak dari implementasi kebijakan tersebut. Dari perencanaan hingga proses uji
coba atas kebijakan ini sangat singkat. Pemerintah kurang memberikan sosialisasi lewat
media yang ada. Salah satu manfaat yang diperoleh pemerintah dari sosialisasi adalah
kemudahan untuk mengatur dalam proses pelaksanaan dan kesadaran masyarakat untuk turut
mengawal proses kebijakan ini agar menjadi kebijakan yang benar-benar membantu
mengentaskan kemiskinan.
Perencanaan yang dapat dinilai belum siap adalah pengumpulan data masyarakat
kurang mampu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa kebijakan pemerintah yang
sasarannya adalah masyarakat kalangan bawah menjadi salah sasaran karena banyaknya hal
yang tidak transparan dan tidak lepas dari unsur subyektifitas pemberi bantuan tersebut.
Pemerintah belum memiliki data yang valid terkait dengan data masyarat Indonesia yang
banyak jumlahnya. Data penerima kartu adalah data hasil sensus PPLS yang dilakukan oleh
BPS pada tahun 2011. Perlu dilakukan verifikasi ulang terhadap data tersebut karena sudah
terjadi pergeseran usia dan perubahan kondisi pada masyarakat.
Selain data, pemerintah masih memiliki kesulitan dalam hal infrastruktur yang harus
pemerintah bangun atas kebijakan ini. Pemerintah menuai banyak protes dari masyarakat
karena kebijakan ini memiliki nilai yang cukup besar. Pertanyaan yang muncul adalah
seberapa efisien bantuan tersebut dapat mengentaskan kemiskinan. Pemerintah mengeluarkan
anggaran yang cukup besar untuk mencetak keseluruhan kartu. Empat kartu yang diberikan
yaitu, Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar
(KIP) dan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera (KSKS) menelan biaya Rp. 20.000 tiap orang.
Di samping pemborosan anggaran, memberikan empat kartu dapat membuat bingung
masyarakat.
Sudah cukup banyak hal yang dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan
di Indonesia. Banyak program dibuat oleh pemerintah yang sampe saat ini masih tetap
menjadi agenda rutin di pemerintahan daerah. Beberapa bantuan yang masih berjalan sampai
dengan saat ini seperti Raskin (Beras Miskin), PKH (Program Keluarga Harapan), BLSM
(Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) dan bantuan-bantuan lainnya bagaimana
nasibnya dengan kebijakan pemerintah yang baru ini dipertanyakan banyak pihak. Jika
bantuan sebelumnya masih diberlakukan maka akan ada tumpang tindih kebijakan dari pihak
pusat (Jokowi) dan pemerintah daerah. Karena bantuan yang ada sekarang merupakan
4

kewenangan dari pemerintah daerah, sementara kartu sakti yang diluncurkan merupakan
kebijakan pusat dan dalam pelaksanaanya tidak melibatkan pemerintah daerah setempat.
Dapat dikatakan pemerintah terlalu banyak memberi bantuan karena kebijakan yang saling
tumpang tindih ini. Pada akhirnya pemerintah akan dihadapkan pada pertanyaan apakah
dengan banyaknya bantuan dapat menjamin masyarakat lepas dari kemiskinan.
Masalah lain yang mungkin timbul adalah kesulitan pencairan dana. Seperti
sebelumnya, kebijakan pemerintah bagi masyarakat miskin adalah bantuan berupa dana
langsung bukan berupa barang. Alasan utamanya, uang merupakan bantuan yang paling
paling likuid sehingga penggunaannya mudah dan pertanggungjawabannya tidak terlalu sulit.
Tidak seperti barang yang apabila sisa, maka harus ada laporan pengembalian. Proses
pengembalian barang sendiri akan membuat masalah baru mengenai peruntukan penggunaan
barang tersebut. Namun pembagian dalam bentuk uang tunai bukan merupakan hal yang
mudah. Pemerintah harus memikirkan proses pencairan bantuan melalui bank dan kantor pos
agar dapat mengurangi kecurangan dan mengurangi permasalahan bantuan yang tidak merata
kepada masyarakat.
Kebijakan kartu sakti ini memiliki resiko tinggi akan menimbulkan dampak buruk
jika pemerintah tidak melakukan perencanaan yang baik. Karena bukan hanya resiko salah
sasaran namun pemerintah bisa saja melakukan hal yang sia-sia. Pada akhirnya kebijakan
yang popular menjadi hal yang mubazir apabila tidak diiringi dengan pembangunan atau
perencanaan sistem yang matang.

REKOMENDASI
Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai Kartu Sakti Jokowi menjadi halangan
penerapan kebijakan tersebut. Pemerintah harus segera memberikan lebih banyak sosialisasi
dan mendata ulang warga miskin yang bisa memanfaatkan program tersebut. Sebab,
kenyataan di lapangan, banyak penerima manfaat yang sudah berada dalam keadaan ekonomi
mampu. Sementara warga yang benar-benar miskin justru tidak memperoleh. Seharusnya,
pemerintah meniru negara-negara maju yang membutuhkan waktu lima tahun sebelum
menerapkan suatu kebijakan.
Seharusnya pemerintah pusat mau melibatkan pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/ kota dan desa dalam sosialisasi dan pembagian kartu sakti jokowi.
Bagaimanapun, ketiga level pemerintah tersebut merupakan garda depan pemerintah yang
5

paling dekat dengan masyarakat. Mengingat cakupan masyarakat yang berhak menerima
program tersebut sangat luas, maka pemerintah juga harus mampu bekerja sama dengan
pihak ketiga dalam pendistribusian kartu dan pencairan dana. Bukan hanya menunjuk kantor
pos sebagai juru bayar namun melibatkan bank-bank yang ada di wilayah masyarakat
penerima kartu. Contohnya, bekerja sama dengan Bank Rayat Indonesia (BRI) yang telah
memiliki banyak cabang di Indonesia.
Pemanfaatan KTP elektronik (KTP-el) yang diintegrasikan dengan kartu sakti jokowi
dapat menghemat dana dan waktu pencetakan ketiga kartu. Di dalam KTP-el sudah terdapat
sidik jari, lensa mata dan data keluarga yang otomatis terbaca sehingga data lebih akurat.
Penghematan anggaran pencetakan ketiga kartu sakti dapat digunakan untuk pembangunan
infrastruktur KTP-el yang selama ini masih dinilai kurang. Selain itu, tidak membutuhkan
waktu banyak untuk dapat menyiapkan KTP-el menggantikan fungsi KIP, KIS dan KKS
mengingat pusat data dan jaringan komunikasi sudah ada di Kementerian Dalam Negeri. Hal
yang perlu dilakukan adalah mengembangkan software dan interoperabilitas antara KIS, KIP,
KKS dengan KTP-el saja.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali program pemberian bantuan tunai dan
mengalihkan anggaran bantuan sosial tersebut untuk program lain. Misalnya, pembangunan
infrastruktur dan bantuan untuk transportasi umum. Hal tersebut merupakan kebutuhan
mendesak untuk masyarakat saat ini. Kebijakan memberikan bantuan berupa uang dinilai
banyak pihak tidak mendidik. Program padat karya dapat menjadi alternatif membuka
lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai