I. Pendahuluan
Selama ini, para kritisi pendidikan mengungkapkan bahwa pendidikan
telah turut memberi pengaruh terhadap terjadinya alienasi peserta didik dari
konteks sosial-budayanya. Politik pendidikan Orde Baru yang menganut
pespektif homogenisasi yang tercermin pada pendekatan sentralisasi pengelolaan
pendidikan dalam berbagai aspeknya, telah berdampak pada reduksi keragaman
masyarakat Indonesia. Akibatnya, ketika peserta didik menyelesaikan
pendidikan formalnya, baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah bahkan
pendidikan tinggi, mereka merasa asing dan pada gilirannya mereka tidak
mampu memberi kontribusi nyata terhadap masyarakat yang mengitarinya.
Sehingga, tidaklah terlalu berlebihan, bila dalam kenyataanya kemudian sering
terdengar ungkapan yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan semakin
lebar gave antara dirinya dengan lingkungan sosial yang mengitarinya.
guru guna mencapai tujuan muatan lokal Dan yang ditnaksud dengan
media penyampaian ialah metode dan berbagai alat bantu penibelajaran
yang digunakan dalam menyajikan isi muatan lokal. Jadi isi program dan
media penyampaian muatari lokal diambil dan mcnggunakan sumber
lingkungan yang dekat dengan kehidupan peserta didik.
Muatan lokal diorientasikan untuk menjembatani kebutuhan
keluarga dan masyarakat dengan tujuan pendidikan nasional. Dapat pula
dikemukakan, mata pelajaran ini juga memberikan peluang kepada siswa
untuk mengembangkan kemampuannya yang dianggap perlu oleh daerah
yang bersangkutan. Oleh sebab itu, mata pelajaran muatan lokal harus
memuat karakteristik budaya lokal, keterampilan, nilai-nilai luhur budaya
setempat dan mengangkat permasalahan sosial dan lingkungan yang pada
akhirnya mampu membekali siswa dengan keterampilan dasar sebagai
bekal dalam kehidupan (life skill).
Dengan demikian, kurikulum muatan lokal adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang ditetapkan
oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
belajar mengajar. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk
mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan
potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat
dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Muatan lokal
merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum yang terdapat pada
standar isi di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Keberadaan mata pelajaran muatan lokal merupakan bentuk
penyelenggaraan pendidikan yang tidak terpusat, sebagai upaya agar
penyelenggaraan pendidikan di masing-masing daerah lebih meningkat
relevansinya terhadap keadaan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Dapat pula dikemukakan, melalui penerapan kurikulum muatan lokal
dapat memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, pembentukan sikap
dan perilaku siswa, agar mereka memiliki wawasan tentang keadaan
lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Dengan bekal tersebut diharapkan
siswa mampu mengembangkan serta melestarikan sumber daya alam dan
kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Di samping itu, tujuan yang juga
diharapkan dengan pemberian pengajaran muatan lokal adalah agar
pengembangan sumber daya manusia yang terdapat di daerah setempat
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan (Arikunto, tt).
Substansi mata pelajaran muatan lokal dapat ditentukan oleh satuan
pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Pembentukan
sikap yang mencerminkan pengejewantahan nilai-nilai sosio-kulturla
merupakan bagian penting yang harus diberikan tempat dalam penerapan
3
Jurnal Penelitian Vol.10 No.2
Oktober 2009
5
Jurnal Penelitian Vol.10 No.2
Oktober 2009
menyumbat aliran air (1956; 19). Di sisi lain, seorang sejarahwan Aceh
dalam menganilisa konflik di Aceh menyatakan:
situasi yang melahirkan konflik dalam masyarakat Aceh mengatur
kekuasaan aatau pola kekuasaan yang berldaku, prosedur pembuatan
keputussan dan akses terhadap politik, melainkan juga mencakup analisis
terhadap situasi sosiaal ekonomi dan sosial budayda yang turut
mematang kan untuk melahirkan konflik. Analisis sosial ekonomi
menyangkut tentang perjuangan hidup seperti pemilikan alat-alat
produksi dan disparitas pendapatan. Sedangkan analisis sosial budaya
meliputi anatara lain jaringan sosial atau kekerabatan, ideologi atau
norma-norma yang menuntut perilaku, harapan, dan aspirasi yang akan
berkembang dalam masyarakat Aceh waktu itu (Sulaiman, 1997; 7)
Dalam konflik yang berkepenjangan ini, pendidikan di Aceh terus
berjalan secara darurat. Sehingga, tidaklah terlalu berlebihan, ketika
Safwan Idris sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pendidikan di Aceh
merupakan warisan konflik yang sedang mencari bentuk idealnya. Safwan
Idris, mengungkapkan:
Sebagai produk dari sejarah yang panjang dan penuh gejolak, pendidikan
di Aceh telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat drastis,
namun sampai saat itu perjalanan dan perubahan itu masih terus berlanjut
karena sistem dan bentuk pendidikan yang sudah sda sekarang dirasakan
belim memenuhi harapan masayarakat Aceh. Bentuk dan sistem
pendidikan yang ada di Aceh sekarang ini belum merupakan suatau
bentuk integral yang bersau dan memiliki hakikat tersendiri, tetapi lebih
merupakan beberapa benuk yang tepisah-pisah sebagai warisan masa prapenjajahan, di tambah ddengan model-model yang diperkenalkan selama
penjajahan dan kemerdekaan dan percobaan-percobaan baru sebagai
interaksi antar bentuk-bentuk dan model-model tersebut (Idris dalam
Badruzzaman, ed., 2002; 2).
Status Daerah
istimewa
Aceh merupakan pemberian
otonomi luas yang memuat nilai-nilai desentralisasi, termasuk di dalamnya
desentralisasi pendidikan. Pemberian status istimewa dalam pendidikan di
Aceh, menurut kajian yang dilakukan Majelis Pendidikan Daerah (MPD)
Aceh dapat di tinjau dari dua sisi; pertama, untuk memberi kesempatan
kepada deerah Aceh untuk memperbaiki pendidikan, dan Kedua,
sebagai sebuah konsensi politik untuk meredakan pemberontakan yang
sangat sulit dipadamkan degan mengandalkan pendekatan bersenjata
(1993; 4). Pilihan ini ditempuh pemerintah untuk menyahuti tuntutan
otonomi
luas
yang telah sejak lama berkembang dalam aspirasi
6
Jurnal Penelitian Vol.10 No.2
Oktober 2009
9
Jurnal Penelitian Vol.10 No.2
Oktober 2009
III. Penutup
Pendidikan sebagai upaya manusia untuk mengembangkan hidupnya
menjadi lebih baik, dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan dinamika
masyarakat. Dalam proses ini, masuknya nilai-nilai baru menjadi tidak
terelakkan. Meskipun demikian, harus tetap diingat bahwa selain misi
transformatif, pendidikan juga berperan sebagai wadah konservasi nilai-nilai
luhur yang diwariskan secara turun temurun sebagaimana terdapat dalam
budaya dimana peserta didik berada. Dalam kaitan ini, pendidikan jangan
sampai mencerabut peserta didiknya dari akar kultural yang dimilikinya.
Dalam konteks inilah, kemudian keberadaan kurikulum muatan lokal
menemukan signifikansinya.
Referensi
Abdullah Ahmad. (2002). " Syari'at Islam di Aceh: Kajian Tentang Wewenang dan
Corak Pejabat Pelaksana," Tesis. Banda Aceh: PPS IAIN Ar-Raniry.
Abdullah, Taufiq (ed.), (1983). Agama dan Perubahan Sosial. Rajawali: Jakarta.
Al-Hamdany, Teuku Thaifurrahman. (1982). "Peranan Perencanaan Pendidikan
dalam Menunjang Keberhasilan Pembangunan di Provinsi Daerah Istimewa
Aceh, "Tesis,. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu administrasi Negara.
Azra, Azyumardi. (2002). Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, cet. I,
Bandung: Mizan.
Badruzzaman Ismail (ed.). (2002). Perkembangan Pendididkan di Nanggro Aceh
Darussalam. Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah.
Dakir, S. (2004). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka
Cipta.
Hardi, (1993). Daerah Istimewa Aceh: Latar bBelakang Politik dan Masa
Depannya, cet. I, . Jakarta: Cita Panca Serangkai.
Haris, Syamsuddin. et.all., (1999). Indonesia di Ambang Perpecahan?, cet. I,
Jakarta:Erlangga, 1999.
Hasjimi, Ali., dkk., (ed.), (1955) Lima Puluh Tahun Aceh membangun, cet. I. Banda
Aceh: Majelis Ulama Indonesia.
Iim Wasliman. (2007). Modul Problematika Pendidikan Dasar. Bandung: Pps
Pendidikan Dasar UPI
11
Jurnal Penelitian Vol.10 No.2
Oktober 2009
12
Jurnal Penelitian Vol.10 No.2
Oktober 2009