Anda di halaman 1dari 63

BAB II

EPILEPSI
A. Definisi
Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan.
Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar belakang adanya
mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan
menyulitkan upaya penanganan terhadap penderita epilepsi dalam kehidupan normal.1
Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi.
Hippokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan
menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di
otak. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di
seluruh dunia.1
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya
serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berulang.
Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan
sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel selotak, bersifat sinkron dan berirama.
Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi
tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang
terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya
kejang atau serangan pada hipoglikemia.3
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan
epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena
lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau
tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di
otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sindrom
epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama
meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.4

3 | Page

B. Anatomi dan Fisiologi


Otak memiliki kurang lebih 15 (lima belas) milyar neuron yang membangun
subtansia alba dan substansia grisea. Otak merupakan organ yang sangat komplek dan
sensitif, berfungsi sebagai pengendali dan pengatur seluruh aktivitas : gerakan motorik,
sensasi, berpikir dan emosi. Di samping itu, otak merupakan tempat kedudukan memori
dan juga sebagai pengatur aktivitas involuntar atau otonom. sel-sel otak bekerja bersamasama, berkomunikasi melalui signal-signal listrik. Kadang-kadang dapat terjadi cetusan
listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari sekelompok sel yang menghasilkan serangan
atau seizure. Sistem limbik merupakan bagian otak yang paling sensitif terhadap
serangan. Ekspresi aktivitas otak abnormal dapat berupa gangguan motorik, sensorik,
kognitif atau psikis.5
Neokorteks (area korteks yang menutupi permukaan otak), hipokampus, dan area
fronto-temporal bagian mesial sering kali merupakan letak awal munculnya serangan
epilepsi, Area subkorteks misalnya thalamus, substansia nigra dan korpus striatum
berperan dalam menyebarkan aktivitas serangan dan mencetuskan serangan epilepsi
umum. Pada otak normal, rangsang penghambat dari area subkorteks mengatur
neurotransmiter perangsang antara korteks dan area otak lainnya serta membatasi
meluasnya signal listrik abnormal. Penekanan terhadap aktivitas inhibisi eksitasi di area
tadi pada penderita epilepsi dapat memudahkan penyebaran aktivitas serangan mengikuti
awal serangan parsial atau munculnya serangan epilepsi umum primer.5
C. Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasiaferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan
aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang
ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos
membran neuron.3
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.
4 | Page

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang


memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal
pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bisa dikatakan
sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan
daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran
nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi
secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian mengajak
neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama,
membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak.7
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda
(lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.
Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang
sangat bervariasi.3
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF) yang membedakan seseorang peka tidaknya
terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat
dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsy
pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.8
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi
5 | Page

ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori
sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi
potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor
GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau
kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama
pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka
semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias
menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan.9
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar
atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2
penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron
eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan.9
Berbagai macam penyakit

dapat

menyebabkan

terjadinya

perubahan

keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,


kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai.
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita
epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu
tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus
temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.10
D. Diagnosis

6 | Page

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.11
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:

Pola / bentuk serangan


Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
Frekwensi serangan
Faktor pencetus
Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan pertama terjadi
Riwayat kehamilan, persalinan dan pertumbuhan
Riwayat penyakit, penyebab penyakit dan terapi yang pernah diberikan

sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan congenital, gangguan neurologik
fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai panduan. Pada anak-anak,
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan pertumbuhan, organomegali
(pembesaran organ secara abnormal), perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.12
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro-ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
7 | Page

menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman


EEG dikatakan abnormal, apabila :13
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal.
Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran
EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik
mempunyai gambaran EEG gelombang paku/tajam/lambat dan paku majemuk
yang timbul secara serentak (sinkron).
Gambar 1. Gambaran EEG Hypsarrhythmia pada spasme infantile

Gambar 2. Gambaran EEG pada Epilepsi petit mal atau absence seizure

8 | Page

Gambar 3. Gambaran EEG pada epilepsi mioklonik

b. Rekaman video EEG


Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.14
c. Pemeriksaan radiologis
CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging)

kepala

merupakan

pemeriksaan

yang

dikenal

dengan

istilah

9 | Page

neuroimaging yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan
struktural di otak dan melengkapi data EEG.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontraindikasi, namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsy dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibandingkan dengan CT
Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil di otak, sklerosis hipokampus,
disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter
yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri.14
d. Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin

dilakukan

terhadap

pasien

epilepsi

dengan

pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya


memperhatikan apakah ada atau tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian
juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang
yang bukan epilepsi.14
E. Klasifikasi Epilepsi
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi :
a. Kejang umum (generalized seizure) jika aktivasi terjadi pd kedua hemisfere otak
secara bersama-sama. Kejang umum terbagi atas :
1. Tonic-clonic convulsion = grand mal
Merupakan bentuk paling banyak terjadi pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas
terengah-engah, keluar air liur bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah
terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala.
2. Abscense attacks = petit mal
Jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja
penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai
kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari.
3. Myoclonic seizure
Biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami sentakan
yang tiba-tiba jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal.
4. Atonic seizure
Jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa segera
sembuh.
b. Kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak. Kejang parsial terbagi
menjadi :
1. Simple partial seizures

10 | P a g e

Pasien tidak kehilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu


dari tubuh.
2. Complex partial seizures
Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali seperti gerakan mengunyah,
meringis, dan lain-lain tanpa kesadaran.15
F. Penatalaksanaan
a. Non farmakologi
1) Amati faktor pemicu
2) Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : Stress, OR, konsumsi kopi atau
alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dan lain-lain.
b. Farmakologi
Menggunakan obat-obat antiepilepsi yaitu :
1) Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+ :
Inaktivasi kanal Na akan menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan
muatan listrik. Contoh: Phenytoin, Fosphenytoin, Carbamazepin, Lamotrigin,
Okskarbazepin, Valproat.
2) Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik :
Agonis reseptor GABA akan meningkatkan transmisi inhibitor dengan
mengaktifkan kerja reseptor GABA, contoh : Benzodiazepin, Barbiturat.
Menghambat GABA transaminase, konsentrasi GABA meningkat, contoh :
Vigabatrin. Menghambat GABA transporter, memperlama aksi GABA, contoh :
Tiagabin.
3) Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien mungkin
dengan menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikular contoh : Gabapentin.15

BAB III
STATUS EPILEPTIKUS

A. Pendahuluan

11 | P a g e

Status epileptikus diartikan sebagai suatu kondisi dimana ditemukan berbagai


gejala terutama perubahan status mental yang lama diakibatkan aktifitas bangkitan yang
sedang berlangsung. Manifestasi klinis dapat bervariasi dari bingung sampai gangguan
tingkah laku aneh dan psikosis serta koma. Status epilepsi nonkonvulsi tidak terdiagnosa,
seringkali dianggap sebagai gangguan psikiatri.
Pada tahun 1945 Lennox menemukan gambaran EEG pada pasien dengan Status
Petit Mal. Status epilepsi non konvulsi pertama ditemukan oleh Charcot pada tahun 1988
pada pasien yang somnolen akibat keracunan tripel bromide. Pada tahun 2004, kelompok
dari Neuroscience mengadakan pertemuan untuk membicarakan definisi, diagnosa dan
penatalaksanaan status epilepsi non konvulsi. Walaupun kedalam status epilepsi konvulsi
termasuk beberapa jenis gejala yang berbeda namun ada dua hal yang tak terpisahkan
yaitu kesulitan menegakkan diagnosa dan ketidak jelasan cara pengobatan yang tepat.
B. Definisi
Status epileptikus adalah serangan epilepsi yang berlangsung lebih dari 30 menit
ditandai dengan adanya aktifitas bangkitan yang kontinyu atau berulang pada perubahan
Elektro Encephalogram (EEG) yang menyebabkan berbagai gejala klinik mencakup
gangguan kesadaran, gangguan persepsi dengan tingkah laku yang abnormal. Menurut
The Epilepsy Research Foundation, status epileptikus adalah suatu rangkaian kondisi
dimana ditemukan aktifitas bangkitan yang memanjang yang menyebabkan gejala klinis
non konvulsi.
Bila seseorang anak diduga menderita status epileptikus maka EEG harus segera
dilakukan. Rekaman EEG akan memudahkan dokter untuk mengkonfirmasi atau
mengeklusi diagnosis status epileptikus. Idealnya EEG dilakukan sebelum anak mendapat
obat anti epilepsi. EEG juga berguna untuk memonitor respon pengobatan. Status
epileptikus dibedakan dengan status epileptikus karena tidak ditemukan atau sedikit
ditemukannya komponen motorik. Tanda dominan dari status epileptikus adalah
perubahan status mental yang berhubungan dengan perubahan pada EEG.
Ada 3 jenis utama dari status epileptikus : Status absens yang merupakan epilepsi
umum dan status parsial komplek yang berasal dari bangkitan fokal dan kategori ketiga
hipsaritmia terutama ditemukan pada spasme infantile atau syndrome West.
Status absent dan status parsial komplek keduanya ditandai dengan perubahan dari
tingkat kesadaran dan tingkah laku, keduanya tidak ditemui atau ditemui gejala motorik
12 | P a g e

yang minimal. Gejala awal dapat terjadi mendadak atau perlahan-lahan, lamanya gejala
bervariasi dari beberapa menit, hari atau bulan. Tidak berespon, salah satu gejala yang
harus dipertimbangkan sebagai suatu gambaran dari status absens. Status absens biasanya
khas ditemukan pulihnya kesadaran, yang terlebih dahulu terjadi normalisasi post iktal
secara berangsur-angsur. Menurut sejarah status absens lebih banyak ditemukan daripada
status parsial komplek, tetapi dengan perbaikan dari teknik EEG. Aktifitas cepat (rapid
generalization) dari status parsial komplek pada EEG sering dianggap sebagai status
absens.66
C. Patofisiologi
Pada struktur kortikal tidak semua aktivasi epilepsi berasal dari gangguan
keseimbangan antara pengaruh depolarisasi dan hiperpolarisasi dalam jaringan yang
saling berhubungan dari neuron. Pengaruh-pengaruh ini dapat berkaitan dengan sinaps
atau sifat intrinsik membran sejalan dengan sifat-sifat regulasi ion. Pemahaman yang
paling umum adalah status epileptikus merupakan mekanisme yang mengembangkan
kesinambungan aktifitas epilepsi, disamping kegagalan mekanisme yang menghentikan
aktifitas ini dan mekanisme yang memungkinkan terpeliharanya sejumlah fungsi otak
walaupun aktifitas epilepsi sedang berlangsung.
Mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya serangan berulang ialah
bangkitan epileptiform yang melibatkan sel-sel neuron yang dapat menghasilkan
munculnya aksi potensial lambat. Melalui mediasi ion Na + dan Ca2+ saat berlangsungnya
aktivasi, terutama oleh depolarisasi yang kuat atau berkelanjutan (umpamanya pada saat
serangan berlangsung), di mana semua ini menyebabkan cetusan berulang. Selain itu
faktor sinaptik dan mekanisme non sinaptik mungkin memegang faktor penting pada
kelanjutan aktifitas epilepsi.
Pengaliran ion-ion berhubungan dengan aktifitas dan keterlibatan neuron-neuron
yang mencetuskan bangkitan yang tersebar dalam ruang ekstra seluler, menginduksi
eksitabilitas dari membran neuron sekitarnya melalui efek lapangan medan elektrik.
Kemudian aktifitas neuronal yang kuat menghasilkan fluktuasi ion-ion ektra seluler
terutama ion K+ yang juga cenderung mengimbas pada neuron lain yang berdekatan.
Aktifitas epilepsi sudah diketahui dapat menginduksi suatu kaskade fisiologik dari
neuron-neuron instrinsik dan mekanisme sinaps yang cenderung dapat meredakan
aktifitas, sebagai hasilnya banyak serangan epilepsi yang dapat membaik dengan

13 | P a g e

sendirinya. Kelumpuhan dari mekanisme penghentian serangan inilah yang mencetuskan


perpanjangan bangkitan yang akhirnya menjadi status epileptikus.66,67
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari status epileptikus mencakup perubahan status mental yang
menyeluruh. Dapat diketahui dari keluarga atau teman-teman, dapat berupa delirium atau
koma. Fluktuasi dari gejala dapat terjadi dengan berbagai tingkatan, sehingga dapat
mengaburkan diagnosa. Aktifitas motorik biasanya normal pada sebagian besar kasus,
namun terkadang ditemukan kekakuan (clumsiness), apraksia, jerking fokal, twiching
pada otot wajah seperti mata sering berkedip, mengunyah atau mengecap-ngecap
makanan, gerakan automatisme dalam bentuk gerak yang nyata sangat jarang seperti flexi,
ekstensi dari ekstermitas, deviasi kepala.66
Gejala klinik pada pasien status epileptikus, adalah sebagai berikut :68
-

Gangguan kognisi ringan (gangguan atensi) kesulitan dalam perencanaan dari gerakan

motor yang komplek secara teratur (berurutan)


Disorientasi ringan atau bingung
Kondisi bingung yang berkepanjangan
Gangguan moods
Buta kortikal
Gangguan bicara (bicara kurang lancar, afasia, membisu)
Ekolali
Konfabulasi
Tingkah laku aneh dari sebelumnya (ketawa, berdansa atau bernyanyi)
Gejala psikotik
Gangguan otonom (sendawa, bunyi gemuruh pada lambung, kentut)
Gangguan sensori
Koma
Perbandingan diagnosa dari perubahan status mental harus diketahui untuk dapat

menentukan penyebab lain, seperti riwayat medis, neurologi, psikiatri, riwayat keluarga,
sosial dan riwayat pengobatan merupakan komponen yang sangat penting untuk
menunjang diagnostik.
Kondisi dimana status epileptikus harus dipertimbangkan :68
- Periode post iktal yang memanjang (lebih dari 2 jam) sesudah kejang umum tonik
klonik.
- Perubahan status mental ditandai dengan twitching atau kedip kedip mata atau status
mental yang berfluktuasi.
- Perubahan status mental dimana etiologi tidak dapat ditentukan terutama untuk
pasien yang punya riwayat kejang.
- Perubahan status mental yang tidak dapat diterangkan pada usia lanjut.
- Pasien stroke dimana gejala klinik memburuk tanpa dapat diterangkan penyebabnya.
14 | P a g e

E. Diagnosis
Sekarang ini tidak ada kriteria yang jelas untuk menentukan status epileptikus,
jika diduga terjadi status epileptikus berdasarkan gejala klinik yang terlihat, maka segera
lakukan pemeriksaan EEG untuk konfirmasi diagnosa dan penatalaksaan langsung. Pada
status absens, EEG ditandai dengan aktifitas bangkitan yang kontinyu, ritmik dan bilateral
sinkron, letupan spike wave dengan interval 3 per detik maksimum di daerah bifrontal,
variasi EEG dapat berupa 2-3 per detik spike wave komplek dan juga gelombang lambat,
gelombang paku yang ritmik atau aritmik atau aktifitas poli spike.68 Pada status parsial
komplek ditemukan aktifitas bangkitan yang sinkron dengan perlambatan yang ritmik,
gelombang paku yang ritmik dan gelombang tajam yang ritmik serta gelombang lambat.
Salah satu yang harus diwaspadai dimana gambaran EEG dapat menyokong untuk
ke-2 macam status epileptikus adalah tidak ada gejala patognomosis. Jika EEG dilakukan
pada onset dari bangkitan, dapat ditemukan fokus yang jelas sehingga dapat membedakan
status parsial komplek (CPS) dari status absens (AS). Jika bangkitan umum sekunder
terjadi akibat adanya bangkitan yang dapat menyebar dari CPS yang berlangsung dalam
waktu lama, akan terjadi kesalahan klasifikasi.66
Kriteria EEG dari status epileptikus menurut Epilepsy Research Foundation
Workshop, antara lain adalah

Bangkitan fokal yang kontinyu


Keseluruhan letupan gelombang paku yang kontinyu
Letupan gelombang paku yang menyeluruh dengan perubahan yang signifikan secara

intensitas atau frekuensi dibandingkan dengan EEG dasar yang terjadi secara kontinyu
Lateralisasi periodic bilateral, yang ditandai dengan adanya letupan gelombang

epilepsi pada pasien koma yang mengalami kejang tonik klonik


EEG abnormal secara kontinyu pada pasien yang tidak ditemukan adanya gangguan

sebelumnya
EEG abnormal secara kontinyu pada pasien dengan epileptik ensefalopati dan juga
ditemukan adanya kelainan yang sama pada inter iktal namun dari segi gejala klinis
lebih mengarah ke status epileptikus

Beberapa contoh gambaran EEG pada pasien dengan status epileptikus adalah sebagai
berikut.

15 | P a g e

Gelombang paku fokal didaerah temporal kanan dan temporal posterior kanan pada anak laki-laki 9 tahun
yang menjadi tidak mau bicara dan kelihatan bingung sesudah mendapat kemoterapi dengan methotrexsat
untuk Akut Limpoblastik Leukemia (ALL) ditemukan juga gelombang lambat delta difus pada hemisfer kiri

Rekaman EEG yang dilakukan sesudah perbaikan klinis, terlihat penurunan jumlah gelombang paku fokal
dan perbaikan dari perlambatan yang difus.

16 | P a g e

Gelombang paku-ombak yang difus yang terjadi secara kontinyu pada anak perempuan usia 7 tahun,
dimana terlihat perubahan tingkah laku sejak 2-3 minggu sebelumnya.

F. Pengobatan
Pada tahun 1993, Epilepsy Foundation of America (EFA) Working Group on Status
Epilepticus menerbitkan pedoman dan protokol pengobatan status epileptikus. Pedoman
dan protokol ini didasarkan pada kajian literatur dan pendapat dari para ahli dan dewan
penasehat professional. Beberapa prinsip pengobatan utama dari pedoman ini masih tetap
berlaku seperti memanfaatkan protokol pengobatan yang disepakati, menyediakan obat
antiepilepsi (AED) secara cepat dan berkala dalam dosis maksimal (mg/kg), dan
mempertimbangkan EEG saat diagnosis gejala non kejang atau kejang status epileptikus
yang harus dihindari.
Protokol ini menyatakan bahwa kedua aktivitas kejang klinis dan electrical seizure harus
dihentikan secara cepat untuk hasil yang optimal. Semakin lama status epileptikus
bertahan, semakin sulit untuk mengontrol dan cedera sistem saraf pusat mungkin terjadi.
Dengan

demikian,

pengobatan

awal

dan

agresif

adalah

pendekatan

yang

direkomendasikan.69,70
Protokol untuk Penangangan Status Epileptikus Menurut Epilepsy Foundation of
-

America (EFA) Working Group on Status Epilepticus


Pada menit ke-0
Dimulai dengan bantuan jalan napas sistemik secara umum (jika perlu berikan
nasal airway atau intubasi)
Cek tekanan darah
Berikan nasal oxygen
Pantau ECG dan pernafasan
Cek suhu tubuh secara berkala
Kumpulkan riwayat pasien
Lakukan tes neurologi
17 | P a g e

Kirimkan sample serum untuk dilakukan evaluasi kadar elektrolit, kadar nitrogen
urea dalam darah, kadar glukosa, jumlah sel darah lengkap, gambaran toksisitas

obat, dan kadar antikonvulsan; cek kadar gas darah arteri.


Berikan IV line yang mengandung larutan saline isotonic dengan laju infus lambat.
Injeksikan 50 ml cairan glukosa 50% secara IV dan 100 mg Thiamine secara IV

atau IM.
Hubungi laboratorium EEG untuk memulai perekaman secepatnya.
Berikan Lorazepam dengan dosis 0.1-0.15 mg/kg IV (2 mg/menit); jika kejang
masih terjadi, berikan Fosphenytoin dengan dosis 18 mg/kg IV (150 mg/menit,

dengan penambahan 7 mg/kg jika kejang berlanjut).


Pada 20-30 menit, jika kejang masih terjadi
Intubasi, berikan bladder catheter, lakukan perekaman EEG dan cek suhu tubuh.
Berikan Phenobarbital dengan dosis awal 20 mg/kg IV (100 mg/menit)
Pada 40-60 menit, jika kejang masih terjadi
Berikan infus Phenobarbital dengan dosis awal 5 mg/kg IV, lanjutkan hingga
kejang berhenti, lakukan pemantauan EEG; lanjutkan pemberian infus
Phenobarbital dosis 1 mg/kg/jam dengan laju infus lambat setiap 4-6 jam untuk
mendeteksi jika kejang sudah berhenti; lakukan pemantauan secara seksama pada

tekanan darah dan pernafasan. Jaga tekanan darah dengan pressor jika perlu.
Atau, berikan Midazolam dosis 0.2 mg/kg, lanjutkan dengan dosis 0.75-10

mg/kg/menit. Lakukan pemantauan hasil EEG.


Atau, berikan Propofol dengan dosis awal 1-2 mg/kg, diikuti dengan 2-10

mg/kg/jam. Sesuaikan dosis pemeliharaan berdasarkan hasil pemantauan EEG.


Pada tahun 2005 diterbitkan The Finnish Evidence Based Guidelines for Prolonged
Seizure and Status Epilepticus diintegrasikan untuk pengobatan pertolongan pertama pada
status epileptikus yang diberikan oleh tenaga non medis di fase premonitory hingga
penanganan kondisi darurat dari status epileptikus.71

Protokol untuk Terapi obat, penilaian umum dan investigasi darurat dari kejang status epileptikus
sebagai fungsi waktu sejak terjadinya kejang menurut The Finnish Evidence Based Guidelines for
Prolonged Seizure and Status Epilepticus
Tahap premonitory/rawat jalan
Waktu

5
menit

Terapi Obat
Dewasa :
Diazepam 10 mg melalui

Anak-anak :
Diazepam 0.5 mg/kg

rektal
melalui rektal
Ulangi sekali lagi jika perlu. Jika kejang berlanjut,

Penilaian umum

Investigasi
darurat

Airway, pernafasan,
sirkulasi dan

Glukometer

keamanan

segera lakukan penilaian awal status epileptikus

18 | P a g e

Tahap awal/rawat jalan atau rawat inap


Dewasa :
Anak-anak :
Lorazepam 4 mg injeksi
Lorazepam 0.1 mg/kg
Airway, Oxygen

5-20

IV atau Diazepam 10 mg

(maks. 4 mg) IV atau

IV

Diazepam 0.3 mg/kg

Fungsi jantung dan


pernafasan dan

(maks. 10 mg) IV

menit

monitoring EEG,

Jika kejang berlanjut, maka ditetapkan sebagai status

tekanan darah, SpO3

epileptikus

Glukosa, Na, K,
Ca, CRP,
Astrup level of
AED, gambaran
toksikologi, tes
fungsi hati dan
ginjal

20-60
menit

Tahap kedua/penanganan darurat


Fosphenytoin 15-18 mg PE/kg IV dengan laju Fungsi jantung dan
maksimal 150 mg PE/menit atau
Phenytoin 15-18 mg/kg dengan laju maksimal 50
mg/menit

pernafasan dan
monitoring EEG,
tekanan darah, SpO3,

Anak-anak : Phenobarbital 15-20 mg/kg dengan laju

jika perlu gunakan

maksimal 100 mg/menit


Jika kejang berlanjut, makan ditetapkan sebagai

pressor.

CT scan untuk
etiologi
CSF untuk
infeksi sistem
saraf pusat
EEG untuk
pseudostatus

refractory status epilepticus


Tahap ketiga/ICU
>60
menit

Anestesi umum
InjeksiThiopental

3-5

mg/kg/jam atau
Pentobarbital 10-15

mg/kg,
mg/kg,

kemudian
kemudian

3-5
0.5-1

mg/kg/jam

Penanganan intensif,

Pemantauan

ventilator, dan terapi

EEG,

hemodinamik
Tekanan intracranial

electrographic

meningkat, jika

seizures, depth
of anesthesia

terjadi gejala lakukan


Atau

penilaian dan terapi

Astrup, K, Na,

Injeksi Midazolam 0.2 mg/kg, maksimal 2 mg/kg,

glukosa, lactate,

kemudian 0.05-2 mg/kg/jam atau


Hanya untuk dewasa : Injeksi Propofol 1-2 mg/kg,

levels of AEDs

maksimal 10 mg/kg, kemudian 2-10 mg/kg/jam

Terakhir pedoman yang komprehensif untuk status epileptikus diterbitkan oleh


European Federation of Neurological Societies (EFNS) pada tahun 2006.
Pedoman tersebut didasarkan pada pencarian literatur dan diskusi kelompok (pendekatan
konsensus informatif).72

1.

Manajemen atau terapi status epileptikus menurut European Federation of


Neurological Societies (EFNS)
Manajemen awal :
Penilaian dan kontrol terhadap airways dan pernafasan.
Pemantauan gas darah arteri
Electrocardiogram (ECG)
Pemantauan tekanan darah
Pemberian Thiamine dan Glukosa secara IV
Penilaian darurat terhadap kadar obat antiepilepsi
19 | P a g e

Penilaian darurat terhadap kadar elektrolit dan magnesium


Gambaran hematologi lengkap
Penilaian fungsi hati dan ginjal
2.
Terapi farmakologi awal terhadap generalised convulsive status epilepticus
(GCSE) and non-convulsive status epilepticus (NCSE)

Pemberian Lorazepam 0.1 mg/kg secara IV. Tergantung pada kondisi


medis pasien secara umum, dokter dapat memutuskan untuk memulai pengobatan
dengan dosis yang lebih rendah dari 4 mg dan ulangi dosis ini jika status
epileptikus tidak berhenti dalam waktu 10 menit. Pemberian tunggal dari 4 mg
Lorazepam telah terbukti cukup berhasil pada lebih dari 80% pasien yang status
epileptikus.

Jika pemberian Lorazepam IV tidak memungkinkan, pemberian Diazepam


10 mg diikuti dengan Phenytoin or Fosphenytoin dapat digunakan sebagai
pengganti. Phenytoin harus diberikan dengan cepat dengan laju infus 50
mg/menit; rejimen ini sama amannya dengan pengobatan antikonvulsan
menggunakan obat lain. Namun, harus diingat bahwa lamanya waktu infus untuk
Diazepam diikuti dengan Phenytoin sekitar 40 menit dibandingkan dengan 5 menit
untuk pemberian Lorazepam. Jika memungkinkan, perawatan pre-hospital
diperlukan, dan pada GCSE, pemberian 2 mg Lorazepam iv sama efektifnya
dengan 5 mg Diazepam.
3.
Manajemen pada refractory status epilepticus (RSE)

Dirujuk ke ICU

Pemberian obat anastesi seperti Midazolam (0.2 mg/kg IV, diikuti dengan
infus secara berkala dengan laju 0.05-0.4 mg/kg/jam); Propofol (dosis awal : 2-3
mg/kg IV diikuti dengan injeksi lebih lanjut 1-2 mg/kg hingga kejang terkontrol,
kemudian lanjutkan dengan infus 4-10 mg/kg/jam) or Barbiturates (Thiopental,
dosis awal 3-5 mg/kg, dilanjutkan dengan injeksi 1-2 mg/kg setiap 2-3 menit
hingga kejang terkontrol, kemudian lanjutkan dengan infus secara berkala dengan
laju 3-7 mg/kg/jam) untuk GCSE dan subtle status epileptikus

Pemberian obat antikonvulsan non anestetik seperti Phenobarbital (20


mg/kg IV pada laju infus 50 mg/menit); Valproic acid (25-45 mg/kg IV diinfuskan
dengan laju 6 mg/kg/menit), or Levetiracetam (1000-3000 mg selama jangka
waktu 15 menit) yang diberikan untuk complex partial status epileptikus.

BAB IV
PHENYTOIN
20 | P a g e

A. Sejarah Phenytoin
Phenytoin (5,5-diphenylimidazolidine-2,4-dione) pertama kali disintesis tahun 1908 oleh
Heirich Biltz, seorang ahli kimia berkebangsaan Jerman. Biltz menjual penemuannya ke
Parke-Davis, namun tidak menemukan kegunaan langsung dari obat tersebut. Ilmuwan
lain termasuk Houston Merritt dan Tracy Putnam di tahun 1938 menemukan kegunaan
Phenytoin untuk mengendalikan serangan epilepsi grandmal dan psikomotor pada
penelitian mereka pada manusia.15
B. Fisikokimia Phenytoin
Sifat-sifat Phenytoin mirip dengan Barbiturat. Phenytoin merupakan amida siklik
dengan pKa 8,3. Anion menjadi stabil dengan resonansi muatan negatif ke oksigen dari
gugus karbonil dan obat ini biasanya digunakan sebagai garam sodium untuk
meningkatkan kelarutan dalam air. Secara keseluruhan nama ilmiah Phenytoin adalah 5,5diphenylimidazolidine-2,4-dione.16

Struktur inti Phenytoin

Struktur Phenytoin sodium


Umumnya Phenytoin berupa serbuk kristal yang berwarna putih atau agak
putih,. Phenytoin umumnya tidak larut dalam air, namun dapat larut dalam alkohol,
kloroform dan eter, dengan titik lebur 295-298 C.
Berbeda dengan garamnya, Phenytoin sodium berupa serbuk kristal berwarna
putih yang bersifat sedikit higroskopis; terpapar udara secara bertahap karena
21 | P a g e

menyerap karbondioksida, tidak berbau, tidak berasa. Dapat larut dalam air dan
alkohol; praktis tidak larut dalam kloroform, eter dan diklorometan.17,18
C. Farmakologi
Phenytoin adalah obat anti konvulsan yang dapat digunakan dalam pengobatan
epilepsi tonik-klonik. Lokasi utama aksi primer Phenytoin adalah di korteks motorik di
mana penyebaran aktivitas kejang dihambat. Dengan melepaskan sodium dari neuron,
Phenytoin cenderung untuk menstabilkan ambang rangsang terhadap hyperexcitability
yang disebabkan oleh stimulasi yang berlebihan atau perubahan lingkungan yang mampu
mengurangi gradien membran sodium. Ini termasuk pengurangan potensiasi posttetanic
pada sinapsis. Kehilangan potensiasi posttetanic dapat mencegah tekanan kejang kortikal
dari letupan di daerah kortikal yang berdekatan. Phenytoin mengurangi aktivitas
maksimal di pusat batang otak yang bertanggung jawab dalam fase tonik pada kejang
tonik-klonik (grand mal).19
Farmakodinamik
Terdapat dua mekanisme antikonvulsan yang penting yaitu mencegah timbulnya
letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus epilepsi dan mencegah
terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi.19
Mekanisme kerja obat antiepilepsi hanya sedikit yang dapat dimengerti secara
baik. Berbagai obat antiepilepsi diketahui dapat mempengaruhi berbagai fungsi
neurofisiologi otak, terutama yang mempengaruhi system inhibisi yang melibatkan
GABA dalam mekanisme kerja berbagai antiepilepsi.19
Obat golongan Hydantoin dikenal tiga senyawa antikonvulsan yaitu Phenytoin
(Diphenylhydantoin), Mephenytoin, dan Etotoin, dimana Phenytoin sebagai prototype.
Phenytoin adalah obat utama yang sering digunakan untuk hampir semua jenis epilepsi
(kecuali bangkitan lena), adanya gugus fenil atau aromatic lainnya pada atom C 1 berperan
penting dalam efek pengendalian bangkitan tonik-klonik, sedangkan gugus alkil berkaitan
dengan efek sedasinya. Adanya gugus metil pada atom N3 dapat mengubah spektrum
aktivitas misalnya Mephenytoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati
menghasilkan metabolit yang tidak aktif.19
Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara
sempurna oleh obat Phenytoin, sedangkan gejala aura sensorik dan gejala prodromal
lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh Phenytoin.19
Phenytoin dimetabolisme di hepar oleh enzim mikromosal, oleh karena itu, obat
lain yang berpengaruh terhadap enzim tersebut dapat mengubah kadar Phenytoin dalam

22 | P a g e

plasma, baik secara kompetitif maupun yang dimetabolisme oleh enzim yang sama, atau
justru obat yang memacu enzim mikromosal.19,20
Adanya gangguan fungsi hepar merupakan prediposisi untuk terjadinya interaksi
obat Phenytoin. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka faktor renal menjadi faktor yang
tidak penting karena sebagian besar obat dimetabolisme di hepar. Kadar Phenytoin pada
penderita uremia kronik menjadi tinggi, dan waktu paruhnya menjadi lebih panjang.19,20
Cara kerja utama Phenytoin pada epilepsi adalah memblokade pergerakan ion
melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na + yang tersisa maupun aliran ion
Na+ yang mengalir selama penyebaran potensial aksi, selain itu Phenytoin memblokade
dan mencegah potensiasi posttetanic, membatasi perkembangan aktivitas serangan yang
maksimal dan mengurangi penyebaran serangan. Phenytoin berefek sebagai stabilisasi
pada semua membran neuronal, termasuk saraf perifer dan mungkin bekerja pada
membrane yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang non eksitabel.21
Phenytoin juga dapat menghambat kanal Calsium (Ca2 +) dan menunda aktivasi
aliran ion K+ keluar selama potensial aksi, sehingga menyebabkan kenaikan periode
refractory dan menurunnya cetusan ulang.21

Gambar 1. Phenytoin memblokade pergerakan ion melalui kanal Na+

Gambar 2. Phenytoin bekerja menghambat kanal Calsium (Ca 2+)

23 | P a g e

Farmakokinetik
a. Absorbsi
Absorpsi Phenytoin tergantung pada cara pemberian, seperti oral atau
parenteral. Absorpsi Phenytoin di dalam lambung sangat sedikit karena Phenytoin
bersifat tidak larut dalam cairan lambung yang bersifat asam, sehingga absorbsi
Phenytoin oral berlangsung lambat dan tidak lengkap. Oleh karena itu, pemberian
10% dosis Phenytoin secara oral dieksresikan melalui feses dalam bentuk utuh.
Phenytoin mudah larut dalam duodenum yang memiliki pH 7-7,5, sehingga pada
duodenum Phenytoin dapat diabsorpsi dengan sempurna. Kadar puncak pemberian
Phenytoin oral dicapai dalam 4-8 jam setelah pemberian obat.
Pemberian dosis awal Phenytoin secara parenteral, diberikan dengan dosis
600-800 mg, dalam dosis terbagi antara 8-12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai
dalam waktu 24 jam. Pemberian Phenytoin secara intramuscular (IM) menyebabkan
Phenytoin mengendap di tempat penyuntikan sekitar 5 hari, dan absorpsinya
berlangsung lambat daripada pemberian oral. Hal tersebut disebabkan karena
kelarutan Phenytoin dalam air sedikit sehingga terbentuk Kristal Phenytoin di dalam
otot.
Waktu paruh dalam plasma setelah pemberian intravena (IV) berkisar antara
10 sampai 15 jam. Kontrol optimal tanpa adanya tanda toksisitas klinis paling sering
terjadi pada tingkat serum antara 10 dan 20 mcg/mL. Pemberian secara IV merupakan
rute yang paling disukai untuk menghasilkan level serum terapeutik yang cepat.
Ketika administrasi IM mungkin diperlukan, dosis yang cukup harus diberikan
untuk mempertahankan kadar obat dalam plasma berada pada rentang terapeutik.
Dimana sediaan oral dilanjutkan setelah penggunaan intramuskular, dosis oral harus
benar-benar

disesuaikan

untuk

mengkompensasi

penyerapan

yang

lambat,

melanjutkan penyerapan IM untuk menghindari gejala toksik.22


Sebuah studi jangka pendek (satu minggu) menunjukkan bahwa pasien tidak
mengalami penurunan kadar obat dalam darah ketika berganti (cross) ke rute
intramuskular jika dosis Phenytoin IM meningkat 50 persen dibanding dosis oral yang
ditetapkan sebelumnya. Untuk menghindari akumulasi obat karena penyerapan dari
depot otot, disarankan untuk minggu pertama kembali ke Phenytoin oral, dengan
dosis dikurangi menjadi setengah dari dosis oral awal (sepertiga dari dosis IM) dan
dianjurkan dilakukannya pemantauan kadar darah.22
b. Distribusi dan Biotransformasi

24 | P a g e

Pengikatan Phenytoin oleh protein, terutama oleh albumin adalah 90%. Pada
orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita yang menggunakan obat kontrasepsi
oral, fraksi bebas Phenytoin sekitar 10%, sedangkan telah diketahui bahwa efek
farmakologis Phenytoin bergantung pada bentuk bebasnya. Pasien dengan penyakit
ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan pada neonatal, fraksi bebasnya
kira-kira di atas 15%. Pada pasien epilepsi, fraksi bebas berkisar antara 5,8
12,6%.19,20
Distribusi obat ke berbagai bagian tubuh tidak sama, misalnya konsentrasi
Phenytoin di otak sekitar 1-3 kali dari konsentrasi Phenytoin dalam plasma. Juga
diketahui bahwa beberapa obat yang mempunyai sifat yang sama dengan Phenytoin ,
yaitu terikat dengan protein plasma, apabila obat tersebut diminum bersama dengan
Phenytoin, maka akan terjadi kompetisi untuk mengikat albumin, tergantung pada
afinitas obat terhadap albumin mana yang lebih kuat. Keadaan ini mengakibatkan
peningkatan bentuk bebas dari Phenytoin akibat ikatan dengan albumin telah diduduki
oleh obat lain. Obat-obat tersebut antara lain : Thyroxine, Triiodothyronine, Salicylic
acid, Phenylbutazone, Sulphafurazole, Cumarin, dan Azetazolamide.19,20
Volume distribusi Phenytoin kurang lebih 64% dari berat badan, tapi sekitar 7
kali lebih besar bila dihitung dengan kadar obat bebas. Waktu paruh pemberian
Phenytoin oral 18-24 jam sedangkan untuk mencapai kadar optimal (steady state)
adalah 5-10 hari.19,20
Phenytoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya dapat bertahan
lebih lama, namun mula kerja lebih lambat daripada Phenobarbital. Biotransformasi
terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati (enzymes
CYP2C9 and CYP2C19) di cytochrome P450. Hasil metabolitnya berupa
parahidrobutanil

yang

sudah

tidak

mempunyai

kh

asiat antiepilepsi. Phenobarbital mempunyai sifat enzymatic inducer, sehingga dapat


mengakibatkan penurunan aktivitas Phenytoin, dan inilah salah satu kerugian
pemberian politerapi, demikian juga dengan Carbamazepin dan Valproat dapat
menurunkan kadar Phenytoin.19,20
Phenytoin didistribusikan ke dalam jaringan tubuh dalam kadar yang berbedabeda, setelah injeksi IV, kadar Phenytoin yang terdapat dalam otot, otot skelet dan
jaringan lemak lebih rendah daripada kadar yang berada di dalam hati, ginjal dan
kelenjar ludah.19,20
c. Eksresi
Hampir sebagian besar metabolit Phenytoin diekskresi bersama empedu,
kemudian mengalami reabsorbsi dan biotransformasi lanjutan, serta dieksresi melalui
25 | P a g e

ginjal. Metabolit utama Phenytoin mengalami ekskresi di tubuli ginjal, sedangkan


bentuk utuhnya direabsorbsi. Metabolit akhir Phenytoin bersifat larut dalam air,
sehingga ekskresi melalui feses hanya sebagian kecil saja. Ekskresi lengkap
Phenytoin terjadi setelah 72-120 jam.19,20
D. Dosis Phenytoin
Phenytoin tersedia dalam bentuk sediaan oral (tablet) serta sediaan injeksi.
Sediaan oral umumnya digunakan untuk mengontrol gejala kejang tonik-klonik (grand
mal) dan complex partial seizures (psikomotor, lobus temporal) dan pencegahan dan
terapi kejang yang terjadi selama atau setelah bedah saraf, sedangkan sediaan injeksi
digunakan untuk mengontrol gejala kejang tonik-klonik pada status epileptikus, dan
pencegahan dan terapi kejang yang terjadi selama bedah saraf. Sediaan injeksi Phenytoin
harus digunakan hanya ketika pemberian Phenytoin oral tidak memungkinkan.
Oral
Pasien yang tidak menerima terapi sebelumnya dapat dimulai dengan 100 mg
Phenytoin sodium oral, tiga kali sehari dan dosis kemudian disesuaikan sesuai kebutuhan
individu.
Dosis awal (loading dose) Phenytoin pada dewasa adalah 300 mg, dibagi menjadi
2 3 dosis. Dosis ini dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan, yaitu 300 400 mg per hari
(maksimal 600 mg per hari). Dosis pemeliharaan yang normal kemudian ditetapkan
menjadi 24 jam setelah dosis awal, dengan penentuan frekuensi tingkat serum.
Dosis pada anak berdasarkan berat badan, yaitu dosis awal 5 mg/kg/hari, dibagi
menjadi 2-3 dosis (maksimal 300 mg per hari). Dosis pemeliharaan yang
direkomendasikan adalah 4 8 mg/kg/hari. Anak-anak usia lebih dari 6 tahun dan remaja
dapat menggunakan dosis minimum dewasa sebesar 300 mg/hari.22
Injeksi
Dosis awal (loading dose) Phenytoin sediaan parenteral harus disuntikkan secara
perlahan, dan tidak lebih dari 50 mg per menit pada orang dewasa dan 1-3 mg/kg/menit
(atau 50 mg per menit, mana yang lebih lambat) pada pasien anak-anak.
Untuk pemberian infus, Phenytoin parenteral harus diencerkan dalam larutan
normal saline dengan konsentrasi akhir Phenytoin dalam larutan tidak kurang dari 5
mg/mL. Pemberian obat harus dimulai segera setelah campuran obat telah disiapkan dan
harus diselesaikan dalam waktu 1 sampai 4 jam (campuran larutan infus tidak harus
didinginkan). In-line filter (0,22-0,55 mikron) harus digunakan.
Status epileptikus :

26 | P a g e

Pada orang dewasa, dosis awal (loading dose) adalah sekitar 10 sampai 15 mg/kg
harus diberikan perlahan-lahan secara intravena, dan tidak lebih dari 50 mg per menit
(dibutuhkan sekitar 20 menit pada pasien 70 kg). Dosis awal harus diikuti dengan dosis
pemeliharaan sekitar 100 mg secara oral atau intravena setiap 6-8 jam.
Pada anak-anak, dosis awal (loading dose) sekitar 15-20 mg/kg secara IV akan
menghasilkan konsentrasi Phenytoin plasma dalam kisaran terapeutik yang umumnya
berlaku (10-20 mcg/mL). Obat harus disuntikkan perlahan secara intravena pada tingkat
dosis tidak melebihi 1-3 mg/kg/menit atau 50 mg per menit, pilih mana yang lebih
rendah.
Pemberian intramuskular tidak boleh digunakan dalam pengobatan status
epileptikus karena pencapaian kadar plasma puncak mungkin memerlukan waktu hingga
24 jam. Selain itu Phenytoin tidak boleh diberikan secara intramuskular karena risiko
nekrosis, pembentukan abses, dan penyerapan tidak menentu. Jika administrasi
intramuskular diperlukan, kompensasi penyesuaian dosis yang diperlukan untuk
mempertahankan kadar plasma terapeutik, yaitu 50% lebih besar dari dosis oral untuk
mempertahankan tingkat ini. Ketika kembali ke pemberian oral, dosis harus dikurangi
menjadi 50% dari dosis oral awal selama satu minggu untuk mencegah kadar plasma
yang berlebihan karena sustained realease dari bagian jaringan intramuskular.
Pemantauan kadar plasma akan membantu mencegah kadar plasma jatuh ke
kisaran

subterapeutik.

Penentuan

kadar

serum

darah

sangat

membantu

bila

memungkinkan terjadinya interaksi obat yang dicurigai.22,23


E. Efek Samping
a. Efek samping akut
Tempat penyuntikan :
Iritasi lokal, nekrosis dan kulit terkelupas.
Sistem gastrointestinal :
Mual, muntah dan konstipasi.
Sistem dermatologi :
Manifestasi dermatologi terkadang diikuti oleh demam termasuk ruam, seperti
scar dan morbili (seperti cacar air). Bentuk serius lainnya yang dapat berakibat
fatal yaitu dermatitis ekskoriasi atau purpura, lupus eritematosus, Steven-Johnson
syndrome, dan nekrolisis epidermal toksik.19
b. Efek samping kronik (untuk terapi jangka panjang)
Sejumlah laporan memperlihatkan hubungan antara Phenytoin dan terjadinya
limfadenopati (lokal atau umum) termasuk hyperplasia limfonodi, pseudolimfoma,
limfoma dan penyakit Hodgkin.

27 | P a g e

Phenytoin dapat menyebabkan reduksi kadar asam folat, dan menyebabkan pasien
menderita anemia megaloblastik.19
Sistem jaringan lunak
Struktur kulit wajah menjadi kasar, pembesaran bibir, hypertrikosis, penyronies

diseases dan yang paling sering dilaporkan adalah hyperplasia ginggiva.19


Sistem kardiovaskular
Terjadinya depresi konduksi atrium dan ventrikel juga fibrilasi ventrikel.
Komplikasi paling sering terjadi pada usia lanjut atau pasien dengan penyakit

grave.19
Sistem saraf pusat
Kebanyakan manifestasi yang ditemui akibat terapi pemberian Phenytoin adalah
kemampuannya menembus system saraf pusat dan umunya berkaitan dengan dosis
seperti nigtamus, ataksia, bicara kacau, penurunan koordinasi, gangguan mental,
pusing, insomnia, ketakutan, kejang, dan nyeri kepala. Jarang dilaporkan bahwa
Phenytoin menyebabkan induced dyskinesia, termasuk khorea, distonia, tremor
dan asteriksis karena hal tersebut mungkin diinduksi oleh fenotiazin dan obat

neuroleptik lainnya.19
Sistem haemopoetik
Trombositopenia, leucopenia, granulositopenia, agranulositosis, dan pansitopenia
dengan atau tanpa supresi sumsum tulang. Sedangkan anemia makrositik dan

megaloblastik pada beberapa kasus pernah dilaporkan.19


Efek samping lainnya
Efek samping yang mungkin terjadi akibat penggunaan Phenytoin, antara lain
periarteritis nodosa, hepatitis toksik, kerusakan hati, dan abnormalitas
immunoglobulin.

Selain

itu,

pernah

dilaporkan

beberapa

orang

yang

menggunakan Phenytoin dalam jangka waktu beberapa tahun dan dengan


penggunaan dosis tinggi dapat merusak saraf pada kaki dan kerusakan pada
bagian otak di serebellum.19
c. Efek samping teratogenik
Anomali kraniofasial (broad nasal bridge, bibir sumbing dan palatum, mikrosefali)
dan efek samping dalam bentuk ringan seperti retardasi mental (IQ rata-rata = 71).
Sindroma ini dikenal baik sebagai Sindroma Fetal Alkohol dan juga disebut sebagai
Sindroma Fetal Hydantoin.19
F. Toksikologi
Toksisitas akut
Phenytoin24
Ingredient(s

Route

Test Type

Value

Units

Species
28 | P a g e

Phenytoin

Oral
Oral
IV
IM
Oral

LD50
LD50
LD50
LD50
LD50

150
1635
96
>37
>3000

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

Mouse
Rat
Rat
Rat
Rabbit

mg/kg

*) Simbol lebih besar dari (>) menunjukkan bahwa endpoint toksisitas yang diujikan tidak dapat dicapai
pada dosis tertinggi yang diujikan.

Phenytoin sodium24
Ingredient(s)
Phenytoin sodium

Route
Oral
Oral
IV
IM

Test Type
LD50
LD50
LD50
LD50

Value
165
1530
90
98

Units
mg/kg
mg/kg
mg/kg

Species
Mouse
Rat
Rat
Mouse

mg/kg

Efek Reproduktif
Phenytoin merupakan teratogen pada tikus, mencit, dan kelinci. Hari ke-12 dan ke-13
adalah periode kritis untuk induksi teratogenitas di CD-1 mencit. Phenytoin tidak
besifat teratogenik pada anjing atau kucing. Phenytoin bersifat fetotoxic, tapi tidak
teratogenik, pada monyet pada dosis di mana maternal toxicity terlihat.25

Mutagenisitas
Telah dilaporkan Phenytoin yang diinduksikan pada micronukleus tikus dengan dosis
intravena 500 atau 1000 mcg/kg. Dalam laporan lain, Phenytoin tidak aktif untuk
menginduksi mutasi kromosom dalam sel ovarium hamster ras Cina. Phenytoin juga
tidak aktif untuk menginduksi mutasi kromosom pada sel-sel sumsum tulang mencit
yang disuntik dengan Phenytoin dosis tinggi 500 mg/kg. Tidak ada peningkatan
mutasi kromosom yang terlihat pada pasien epilepsi yang menerima Phenytoin jangka
panjang atau terapi Primidone. Tidak ada peningkatan pertukaran kromatid yang
terlihat pada limfosit pasien epilepsi yang menerima Phenytoin sebagai monoterapi
dibandingkan dengan kontrol yang sehat.25

Karsinogenisitas
Peningkatan risiko untuk penyakit Hodgkins, lymphosarcoma, dan sarkoma sel
retikulum telah terlihat pada pasien yang menerima terapi Phenytoin. Phenytoin
sodium menginduksi thymic lymphomas pada tikus betina ketika diberikan dalam
tingkat dosis 60 mg/kg berat badan/hari selama 168 hari. Thymic dan limfoma
29 | P a g e

mesenterik dan leukemia diinduksi pada tikus dengan dosis intraperitoneal 0,6
mg/hewan/hari selama 66 hari. Phenytoin tidak karsinogenik pada tikus ketika
diberikan pada tingkat dosis 0,025 atau 0,05% selama 2 tahun. Phenytoin juga tidak
karsinogenik pada mencit pada tingkat dosis 0,006 atau 0,12% selama 78 minggu.
Phenytoin merupakan terdaftar sebagai karsinogen IARC dan NTP.25

BAB V
FOSPHENYTOIN
A. Sejarah Fosphenytoin
Fosphenytoin adalah prodrug ester fosfat Phenytoin yang dikembangkan untuk
mengatasi keterbatasan yang terkait dengan penggunaan sediaan parenteral Phenytoin.
Fosphenytoin disetujui pada tahun 1996, Fosphenytoin (Cerebyx, Eisai, Teaneck, NJ)
yang saat itu diindikasikan untuk mengontrol kondisi generalized convulsive status
epilepticus (GCSE), dan untuk pencegahan dan mengobati kejang yang terjadi selama
bedah saraf ketika penggunaan Phenytoin intravena dan oral tidak memungkinkan.
Pada salah satu daerah tertentu di AS lebih tertarik untuk menggunakan
Fosphenytoin pada populasi pasien yang beresiko terhadap efek samping akibat
pemakaian sediaan parenteral Phenytoin. Pada tahun 1999, sebuah lembaga multi-disiplin
bidang farmasi dan neurologi khusus epilepsi menerbitkan pedoman yang telah disepakati
untuk penggunaan produk Phenytoin parenteral pada kondisi non darurat. Pedoman ini
secara deskriptif menganjurkan Fosphenytoin sebagai metode pilihan dari Phenytoin
parenteral yang diberikan pada populasi pasien yang berisiko tinggi, terutama pasien
pediatrik, pasien usia lanjut, pasien hemodinamik non stabil, dan pasien tidak memiliki
akses pemberian IV.
Daerah lain tertarik untuk menggunakan Fosphenytoin dalam pengelolaan GCSE.
Dalam sebuah survei pada tahun 2003 yang didominasi oleh ahli saraf di AS, 95%
(101/106) dari responden setuju bahwa Phenytoin adalah pilihan pengobatan lini kedua
untuk GCSE setelah pemberian rapid-acting Benzodiazepine. Enam puluh lima persen
dari responden tersebut memilih Fosphenytoin atas Phenytoin sebagai metode pilihan
pemberian Phenytoin.26
B. Fisikokimia Fosphenytoin
Fosphenytoin adalah prodrug dari Phenytoin yang secara cepat dihidrolisis
menjadi phenytoin setelah pemberian IV atau IM; metabolit aktifnya adalah Phenytoin.
30 | P a g e

Berat molekul Fosphenytoin adalah 406,24. Nama kimia Fosphenytoin adalah 5,5difenil- 3[(phosphonooxy)metil]- 2,4

imidazolidinedione salt. Struktur molekul

Fosphenytoin adalah :

Struktur inti Fosphenytoin

Struktur Fosphenytoin sodium


Fosphenytoin berupa padatan yang berwarna putih pucat kekuningan, yang bersifat
mudah larut dalam air. pH larutan Fosphenytoin 7,5% dalam air adalah antara 8,5 dan
9,5.27 Dan rasio tekanan osmotik sekitar 1,9.28
C. Farmakologi
Farmakodinamik
Setelah pemberian IV pada mencit, Fosphenytoin menghambat fase tonik dari
maximal electroshock seizures pada dosis yang setara dengan dosis efektif Phenytoin.
Selain kemampuannya dalam menekan maximal electroshock seizures pada mencit dan
tikus, Phenytoin juga menunjukkan aktivitas antikonvulsan terhadap kindled seizures
pada tikus, audiogenic seizures pada tikus, dan kejang yang disebabkan oleh adanya
stimulasi listrik di batang otak pada tikus.29
Mekanisme seluler Phenytoin dianggap

bertanggung

jawab

atas

aksi

antikonvulsan Phenytoin yang meliputi modulasi voltage-dependent kanal natrium di


neuron, menghambat aliran kalsium melintasi membran neuronal, modulasi voltagedependent kanal kalsium di neuron, dan meningkatkan aktivitas ATP-ase natrium-kalium
di neuron dan sel glial. Modulasi pada kanal natrium mungkin menjadi mekanisme utama
antikonvulsan karena sifat Fosphenytoin dibagi bersama dengan beberapa antikonvulsan
lain selain Phenytoin.29

31 | P a g e

Farmakokinetik
a. Absorpsi/Bioavailabilitas
Intravena : Ketika Fosphenytoin diberikan melalui infus IV, konsentrasi plasma
maksimum Fosphenytoin dicapai pada akhir infus. Fosphenytoin memiliki waktu
paruh sekitar 15 menit.
Intramuskular : Fosphenytoin mencapai bioavailabilitas sempurna setelah pemberian
Fosphenytoin secara IM. Konsentrasi puncak terjadi sekitar 30 menit setelah
pemberian obat. Konsentrasi plasma Fosphenytoin setelah pemberian IM lebih rendah
tetapi lebih berkelanjutan (sustained) daripada mereka setelah pemberian IV karena
dibutuhkan waktu untuk penyerapan Fosphenytoin dari tempat penyuntikan.29

b. Distribusi
Fosphenytoin secara ekstensif terikat (95% sampai 99%) dengan protein
plasma manusia, terutama albumin. Ikatan protein plasma bersifat saturable dengan
hasil dimana persen ikatan menurun ketika konsentrasi total Fosphenytoin meningkat.
Fosphenytoin menggantikan Phenytoin dari tempat ikatan protein. Volume distribusi
Fosphenytoin meningkat seiring dengan dosis dan laju Fosphenytoin, yang berkisar
antara 4,3-10,8 liter.29
c. Metabolisme dan Eliminasi
Waktu paruh konversi Fosphenytoin menjadi Phenytoin adalah sekitar 15
menit. Mekanisme konversi Fosphenytoin belum diketahui, namun fosfatase mungkin
memainkan peran utama dalam proses tersebut.
Fosphenytoin tidak diekskresikan melalui urin. Setiap mmol Fosphenytoin
dimetabolisme menjadi 1 mmol Phenytoin. Efek farmakologi dan toksikologi
Fosphenytoin termasuk efek dari Phenytoin sendiri. Namun, hidrolisis Fosphenytoin
menjadi Phenytoin menghasilkan dua metabolit, yaitu fosfat dan formaldehida.
Formaldehida kemudian diubah menjadi formate, yang kemudian dimetabolisme
melalui mekanisme folate-dependent. Meskipun fosfat dan formaldehida (formate)
memiliki efek potensial biologis yang penting, efek ini secara khusus terjadi pada
konsentrasi yang lebih signifikan dari yang diperoleh saat Fosphenytoin sodium
injeksi diberikan dalam kondisi tertentu sesuai dengan yang direkomendasikan.29
Secara umum, pemberian IM dari Fosphenytoin menghasilkan konsentrasi Phenytoin
sistemik yang cukup mirip dengan Phenytoin sodium oral yang memungkinkan
32 | P a g e

pertukaran penggunaan yang esensial. Farmakokinetik Fosphenytoin setelah


pemberian IV, bagaimanapun, adalah kompleks, dan ketika digunakan dalam kondisi
darurat (misalnya, status epileptikus), perbedaan tingkat ketersediaan Phenytoin
menjadi kritis.
Oleh karena itu, beberapa studi secara empiris menentukan laju infus untuk
Fosphenytoin yang memberikan kadar dan tingkat ketersediaan sistemik Phenytoin
yang sama dengan 50 mg/menit infus Phenytoin sodium. Dosis 15-20 mg PE/kg
Fosphenytoin diinfuskan pada 100-150 mg PE/menit pada konsentrasi yields plasma
bebas Phenytoin dari waktu ke waktu kira-kira dapat mencapai kesetaraan dengan
dosis Phenytoin sodium yang diberikan pada 50 mg/menit.29
Phenytoin yang berasal dari pemberian Fosphenytoin secara ekstensif
dimetabolisme secara oksidatif di hati dan diekskresikan melalui urin terutama
sebagai 5- (phydroxyphenyl)-5-phenylhydantoin dan glukuronida; sedikit Phenytoin
utuh (1% -5% dari dosis Fosphenytoin) recovered dalam urin. Phenytoin
dimetabolisme oleh sitokrom P450 dengan enzim CYP2C9 dan CYP2C19. Enzim
CYP2C9 memainkan peran utama dalam metabolisme Phenytoin (90% total
keseluruhan klirens intrinsik), sedangkan enzim CYP2C19 memiliki keterlibatan kecil
dalam proses ini (10% total keseluruhan klirens intrinsik). Kontribusi relatif dari
enzim CYP2C19 pada metabolisme Phenytoin kemungkinan akan meningkat pada
konsentrasi Phneytoin yang lebih tinggi.
Oleh karena sistem sitokrom terlibat dalam metabolisme Phenytoin di hati,
bersifat jenuh (saturable) pada konsentrasi serum yang tinggi, sedikit peningkatan
dosis Phenytoin dapat meningkatkan waktu paruh dan setelah pemberian
Fosphenytoin IV dosis tunggal 400-1200 mg PE, nilai AUC total dan Phenytoin bebas
(unbound) meningkat secara tidak proporsional terhadap dosis. Rata-rata waktu paruh
Phenytoin (12,0-28,9 jam) setelah pemberian Fosphenytoin pada dosis ini sama
dengan setelah pemberian dosis parenteral yang sama dan cenderung lebih cenderung
lebih besar pada konsentrasi phenytoin plasma yang lebih tinggi.29
*PE adalah phenytoin sodium equivalent (PE)

D. Dosis
Fosphenytoin diberikan sebagai garam sodium dan dosis Fosphenytoin sodium
dinyatakan setara dengan Phenytoin sodium (PE); karena itu tidak ada penyesuaian dosis
yang diperlukan ketika mengganti Fosphenytoin ke Phenytoin atau sebaliknya.
Fosphenytoin dapat diberikan melalui injeksi intramuskular atau infus intravena; rute
pemberian pada anak-anak hanya direkomendasikan secara intravena.27
33 | P a g e

Fosphenytoin harus selalu diresepkan dan dinyatakan dalam satuan setara


Phenytoin sodium (PE). 1,5 mg natrium fosphenytoin setara dengan 1 mg Phenytoin
natrium, dan disebut sebagai 1 mg PE. Jumlah dan konsentrasi Fosphenytoin selalu
dinyatakan dalam setara mg Phenytoin sodium (mg PE).27
Kadar maksimum infus intravena dalam satuan PE adalah 150 mg/menit dan tidak
boleh melebihi. Perlu dilakukan pemantauan secara berkala pada EKG, tekanan darah,
dan fungsi pernapasan dianjurkan selama pemberian infus intravena, dikarenakan adanya
resiko hipotensi. Pasien juga harus dimonitor selama minimal 30 menit setelah akhir
pemberian infus.27
Pengobatan Status Epileptikus
Berdasarkan pada Protokol untuk Terapi Obat, Penilaian Umum dan Investigasi Darurat
dari Kejang Status Epileptikus Sebagai Fungsi Waktu Sejak Terjadinya Kejang menurut
The Finnish Evidence Based Guidelines for Prolonged Seizure and Status Epilepticus
(2005), pada pengobatan status epileptikus tonik-klonik, Benzodiazepine seperti
Diazepam atau Lorazepam secara intravena atau rektal biasanya diberikan terlebih dahulu
yang kemudian diikuti oleh pemberian Fosphenytoin.27,71
Dosis awal (loading dose) Fosphenytoin adalah 15-20 mg PE/kg yang diberikan
sebagai dosis tunggal melalui infus intravena dengan kecepatan 100 sampai 150 mg
PE/menit. Pemberian secara IM tidak sesuai untuk pengobatan status epileptikus karena
konsentrasi puncak Phenytoin tidak akan tercapai secara cepat.27,29,71
Dosis awal (loading dose) untuk kejang selain status epileptikus adalah 10 sampai
15 mg PE/kg, diberikan sebagai dosis tunggal melalui injeksi intramuskular atau infus
intravena dengan kecepatan 50 sampai 100 mg PE/menit. 27,29
Dosis pemeliharaan awal untuk status epileptikus dan kejang lainnya adalah 4
sampai 5 mg PE/kg/hari yang diberikan dalam 1 atau 2 dosis terbagi melalui injeksi
intramuskular atau infus intravena dengan kecepatan 50 sampai 100 mg PE/menit. Dosis
berikutnya tergantung pada respon pasien dan konsentrasi plasma Phenytoin. 27,29
Fosphenytoin diberikan secara intramuskuler atau dengan infus intravena dengan
kecepatan 50 sampai 100 mg PE/menit bisa diganti dengan Phenytoin oral dengan dosis
total harian yang setara hingga 5 hari. 27,29
Penggunaan pada Anak-anak
Menurut the American Academy of Neurology (1996) dan Guidelines Status
Epilepticus in the Pediatric Emergency Department (2015), Fosphenytoin sodium dapat
diberikan kepada anak-anak lebih dari 5 tahun untuk penanganan darurat status
epileptikus, pencegahan dan pengobatan kejang pasca trauma terkait dengan bedah saraf
atau trauma pada kepala, dan sebagai sediaan parenteral jangka pendek untuk

34 | P a g e

menggantikan Phenytoin oral dalam pengobatan epilepsi. Obat ini diberikan melalui infus
intravena dan dosis yang dinyatakan sebagai setara fenitoin natrium (PE). 27,73,74
Dalam pengobatan status epileptikus tonik-klonik, Dosis awal (loading dose)
Fosphenytoin adalah 15 mg PE/kg diberikan sebagai dosis tunggal dengan kecepatan 2
sampai 3 mg PE/kg per menit; Namun, menurut The British National Formulary for
Children memungkinkan hingga 20 mg PE/kg. 27,74
Dalam pengobatan atau pencegahan kejang selain status epileptikus, dosis awal
(loading dose) Fosphenytoin adalah 10 sampai 15 mg PE/kg diberikan sebagai dosis
tunggal dengan kecepatan 1 sampai 2 mg PE/kg per menit. Kadar maksimum pada
pemberian dosis awal infus adalah 3 mg PE/kg per menit atau 150 mg PE/menit dan tidak
boleh melebihi. Dosis pemeliharaan awal pada status epileptikus dan kejang lainnya 4
sampai 5 mg PE/kg/hari diberikan dalam 1 sampai 4 dosis terbagi dengan kecepatan 1
sampai 2 mg PE/kg per menit, tidak melebihi dari 100 mg PE/menit. Dosis berikutnya
tergantung pada respon pasien dan konsentrasi plasma Phenytoin. 27,74
Fosphenytoin diberikan dengan kecepatan 1 sampai 2 mg PE/kg per menit, tidak
lebih dari 50 sampai 100 mg PE/menit, dan bisa diganti dengan Phenytoin oral sesuai
dengan jumlah dosis harian yang setara hingga 5 hari. 27

35 | P a g e

E. Efek Samping
Sistem Saraf Pusat : Pusing, mengantuk, nystagmus, agitasi, edema otak, sakit kepala,

pingsan, vertigo.
Gangguan pada Mata, Telinga, Hidung, dan Tenggorokan : Amblyopia, tuli, diplopia,

tinnitus.
Kardiovaskular : Hipotensi (dengan pemberian IV cepat), takikardia.
Gastrointestinal : Mulut kering, mual, rasa penyimpangan, gangguan lidah, muntah.
Jaringan Kulit : Pruritus, purple glove syndrome, ruam, Stevens-Johnson syndrome,

toxic epidermal necrolysis.


Multiple sclerosis : Nyeri punggung.
Gangguan neurological : Ataksia, disartria, sindrom ekstrapiramidal, hypesthesia,
inkoordinasi, paresthesia, tremor.
36 | P a g e

Lain-lain : Nyeri panggul.

F. Toksikologi
Toksisitas akut 30
Ingredient(s)
Fosphenytoin
sodium

Route
IV
IV
IV

Test Type
LD50
LD50
LD50 (bolus)

Value
234
363
319.2

Units
mg/kg
mg/kg

Species
Mencit
Tikus
Tikus

mg/kg
Karsinogenesis, Mutagenesis, Penurunan fertilitas
Potensi karsinogenik dari fosphenytoin belum diteliti.
Frekuensi kelainan struktural kromosom pada sel paru-paru hamster ras cina V79
meningkat akibat paparan Fosphenytoin dengan adanya aktivasi metabolik. Tidak ada
bukti terjadinya mutagenisitas yang diamati pada bakteri (uji Ames) atau sel paru-paru
hamster ras cina secara in vitro, dan tidak ada bukti aktivitas clastogenic yang diamati
dalam uji mikronukleus sumsum tulang tikus secara in vivo. Tidak ada efek pada fertilitas
yang tercatat pada tikus dari kedua jenis kelamin yang diberikan Fosphenytoin. Toksisitas
maternal dan siklus estrus berubah, delayed mating, waktu kehamilan diperpanjang, dan
toksisitas pada masa pertumbuhan yang diamati setelah pemberian Fosphenytoin pada
saat kawin, kehamilan, dan menyusui dengan dosis 50 mg PE/kg atau lebih tinggi (sekitar
40% dari dosis awal maksimum manusia atau lebih tinggi berdasarkan mg/m2).29

BAB VI
STUDI KLINIS PERBANDINGAN FOSPHENYTOIN VS
PHENYTOIN
Laporan Studi Pre Klinis
Effect of Fosphenytoin on Nerve Agent-Induced Status Epilepticus (McDonough JH,
Benjamin A. McMonagle JD, Rowland T et al, 2004)
37 | P a g e

Studi ini mengevaluasi efektivitas Fosphenytoin sebagai obat antikonvulsan tunggal atau
tambahan untuk pengobatan status epileptikus pada Guinea pig, yang telah diimplan
dengan cortikal electroencephalographic (EEG) recording electrodes, yang sebelumnya
telah diterapi dengan Pyridostigmine bromida (0.026 mg/kg, intramuskular (im)) 30 menit
sebelum diubah menjadi 56 mikrogram/kg, subkutan (sc), (2 x LD50) dari agen saraf
soman. Satu menit setelah soman, hewan-hewan tersebut diterapi dengan 2 mg/kg
Atropine sulfate (IM) dicampur dengan 25 mg/kg oxime 2-pralidoxime chloride, dan
EEG diamati untuk melihat onset kejang. Ketika diberikan terapi (intraperitoneal, ip) 5
menit setelah onset kejang, hanya Fosphenytoin dosis tertinggi (180 mg/kg) yang mampu
menghentikan aktivitas kejang pada 50% dari hewan yang diuji (3 dari 6). Ketika
Fosphenytoin (18-180 mg/kg) diberikan sebagai terapi awal, secara intraperitoneal pada
30 menit sebelum pemberian soman, kejang dihentikan sesuai dengan urutan dosis (ED50
= 61,8 mg/kg; 40.5-94.7 mg/kg, dengan tingkat kepercayaan 95%). Kombinasi Diazepam
dan Fosphenytoin juga diuji efektivitasnya. Dosis Fosphenytoin (18-56 mg/kg), yang
diberikan bersamaan dengan dosis tetap Diazepam (4,8 mg/kg, i.m) 5 menit setelah onset
kejang, dapat meningkatkan efek antikonvulsan Diazepam. Ketika Fosphenytoin (18 atau
32 mg/kg, i.p) diberikan sebagai terapi awal dan Diazepam diberikan 5 menit setelah
onset kejang, dosis Fosphenytoin 32 mg/kg secara signifikan dapat mengurangi waktu
kontrol kejang. Studi ini menunjukkan bahwa Fosphenytoin, baik tunggal atau dalam
kombinasi dengan Diazepam, memiliki efektivitas antikonvulsan terapi untuk status
epileptikus.

Pharmacokinetics

of

Phenytoin

following

Intravenous

and

Intramuscular

Administration of Fosphenytoin and Phenytoin Sodium in The Rabbit (Muchohi SN et


al, 2002)
Tujuan : Mengevaluasi dan membandingkan konsentrasi Phenytoin plasma yang
berbanding dengan profil waktu setelah pemberian Fosphenytoin sodium secara intravena
atau intramuskular dengan hasil yang diperoleh setelah pemberian injeksi Phenytoin
sodium baku pada kelinci.
Subyek : 24 kelinci putih Selandia Baru dewasa
Metode : 24 kelinci putih dewasa yang masing-masing telah dianestesi dengan
Pentobarbitone (30 mg/kg) terlebih dahulu, diberikan 10 mg/kg Phenytoin sodium
tunggal atau setara Fosphenytoin sodium secara intravena atau intramuskular. Sampel
dara (1.5 ml) yang diperoleh dari femoral artery cannula predose dan pada menit ke- 1, 3,
5, 7, 10, 15, 20, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, dan 300 setelah pemberian obat. Plasma
38 | P a g e

darah kemudian disentrifuge (1000 g; 5 menit) dan konsentrasi Fosphenytoin, konsentrasi


plasma Phenytoin total dan Phenytoin bebas diukur dengan menggunakan kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT/HPLC).
Hasil : Setelah pemberian intravena konsentrasi plasma Phenytoin sodium sama dengan
yang diperoleh setelah pemberian intravena dari Fosphenytoin sodium dengan dosis
setara dengan Phenytoin sodium (10 mg/kg dosis tunggal). Rata-rata konsentrasi puncak
plasma Phenytoin (Cmax) 158% lebih tinggi (P = 0,0077) setelah pemberian
Fosphenytoin sodium secara intramuskular dibandingkan dengan pemberian Phenytoin
sodium secara intramuskular. Nilai total AUC plasma dan Nilai AUC 0-120 menit setelah
pemberian intramuskular juga secara signifikan lebih tinggi (P = 0,0277) pada
Fosphenytoin yang diberikan pada kelinci dibandingkan dengan kelompok Phenytoin.
Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan pada nilai AUC 0-180 antara Fosphenytoin
dan Phenytoin yang diberikan pada kelinci setelah pemberian intravena. Dan juga tidak
ada perbedaan yang signifikan pada waktu rata-rata untuk mencapai konsentrasi puncak
plasma Phenytoin (Tmax) antara Fosphenytoin dan Phenytoin yang diberikan secara
intramuskular. Rata-rata konsentrasi albumin plasma sebanding pada kedua kelompok
hewan. Fosphenytoin dengan cepat dikonversi menjadi Phenytoin baik setelah pemberian
intravena dan intramuskular, dengan konsentrasi plasma Fosphenytoin yang menurun
dengan cepat ke tingkat yang tidak dapat terdeteksi dalam waktu 10 menit setelah
diberkan melalu kedua rute pemberian tersebut.
Kesimpulan : Hasil ini membuktikan bahwa hidrolisis Fosphenytoin menjadi Phenytoin
berlangsung cepat dan lengkap secara in vivo, dan potensi rute intramuskular pada
pemberian fosphenytoin dapat diberikan ketika pemberian Phenytoin intravena secara
klinis mungkin tidak dapat diberikan.75
Laporan Studi Klinis
A. Laporan Studi Klinis Phenytoin

Clinical Use of Intravenous Phenytoin Sodium Infusions (Gannaway WL, Wilding


DC et al, 1983)
Keamanan pemberian Phenytoin sodium secara infus intravena intermitent dievaluasi
pada 28 pasien dewasa di unit perawatan intensif bedah saraf; kebanyakan pasien
menderita trauma kepala. Sembilan puluh tiga dosis Phenytoin sodium 300 mg dalam
0,9% sodium klorida injeksi 50 ml diberikan sesuai dengan pedoman rumah sakit
yang disetujui, yang termasuk cara pemberian lebih dari 30-60 menit, inisiasi infus
39 | P a g e

dalam waktu satu jam dari persiapan larutan, dan penggunaan in line filter 5-microns.
Semua pasien dimonitor untuk pemantauan efek samping dan EKG secara terus
menerus. Analisis data klinis sebelum dan segera setelah infus Phenytoin
menunjukkan perubahan yang tidak signifikan secara statistik pada tekanan darah dan
penurunan kecil tapi signifikan pada denyut jantung rata-rata. Tidak ada kasus
hipotensi, aritmia, bradikardia, atau flebitis. Tercatat adanya kejadian tunggal
hipertensi, nistagmus, dan nyeri pada tempat penyuntikan IV. Dapat disimpulkan
bahwa pemberian infus Phenytoin dalam larutan 0,9% injeksi natrium klorida aman.
Penggunaan pedoman tertulis yang disetujui untuk mengatur faktor-faktor penting
dari persiapan dan pemberian sangat dianjurkan.

Incidence and clinical consequence of the purple glove syndrome in patients


receiving intravenous phenytoin (Terence J. OBrien, MB, FRACP, Gregory D.
Cascino, MD et al, 1998)
Tujuan : Untuk menentukan kejadian, faktor risiko, dan gejala jangka panjang dari
purple glove syndrome (PGS) pada pasien rumah sakit yang menerima Phenytoin IV.
Metode : Catatan farmakologis dari rumah sakit Mayo Foundation dikaji untuk
mengidentifikasi 179 pasien yang menerima Phenytoin IV secara berturut-turut
selama periode 3 bulan. Catatan rumah sakit mereka kemudian diperiksa kembali
untuk mengkonfirmasi pengobatan Phenytoin IV, frekuensi dari PGS (didefinisikan
sebagai perkembangan edema secara progresif, perubahan warna, dan rasa sakit di
daerah tungkai setelah pemberian Phenytoin IV), dan outcome PGS.
Hasil : Sebanyak 152 pasien menerima Phenytoin IV, dan sembilan (5,9%) mengalami
PGS. Pasien PGS menerima dosis awal rata-rata Phenytoin yang lebih besar, dosis
total 24 jam, dan total jumlah dosis (semua p <0,05). Selain itu, usia rata-rata pasien
PGS lebih tua, infus mereka lebih sering diberikan untuk kejang akut, hal itu
kemungkinan besar tidak akan diberikan di ruang operasi, dan lama mereka tinggal di
rumah sakit lebih lama (semua p <0,05). Satu pasien diperlukan terapi bedah, dan
semua pasien lainnya teratasi dalam waktu 3 minggu dengan manajemen konservatif.
Kesimpulan : Pasien PGS tidak jarang terjadi pada pasien usia lanjut dan pasien yang
menerima dosis besar, multiple dosis terutama yang sangat beresiko. Komplikasi
iatrogenik ini mungkin dapat dicegah dengan menggantikan Phenytoin IV dengan
Fosphenytoin.

40 | P a g e

Intravenous Phenytoin : Clinical and Pharmacokinetic Aspects (Cranford RE,


Leppik IE et al, 1978)
Phenytoin diberikan secara intravena dalam dosis besar (rata-rata = 16,6 mg per
kilogram) untuk pencegahan dan pengobatan kejang pada 139 pasien berusia 17-94
tahun (rata-rata = 52 tahun) dengan berat badan 37-113 kg (rata-rata = 65 kg) .
Hipotensi lebih sering terjadi di antara pasien yang berusia lebih tua. Tidak ada
kematian yang disebabkan oleh Phenytoin. Volume distribusi relatif konstan (rata-rata
= 0,78 0,11 liter per kilogram), tapi waktu paruh bervariasi dan diperpanjang (ratarata = 51 32 jam) karena pemberian dosis besar. Dosis 18 mg per kilogram efektif
dalam menjaga kadar serum Phenytoin di atas 10 mikrogram per mililiter selama 24
jam.

Oral Phenytoin Loading in Adults : Rapid Achievement of Therapeutic Plasma


Levels (Record KE, Rapp RP et al, 1979)
Dosis awal (loading dose) Phenytoin oral diestimasikan dari model farmakokinetik
sederhana. Dua puluh pasien diberikan rata-rata dosis yang dihitung dari 19,1 mg per
kilogram Phenytoin dibagi menjadi 2-4 kenaikan yang diberikan selama lebih dari 3
sampai 21 jam (10,55 4,74, berarti SD). Sampel plasma diambil pada waktu 2-22
jam (10,75 4,32, berarti SD) setelah selesainya pemberian dosis awal yang
menghasilkan kadar terapeutik mulai dari 8,1 hingga 18,0 mikrogram per mililiter
(11,42-11,37 2,41, berarti SD). Dengan demikian, berdasarkan regimen tersebut, di
mana tidak ada peningkatan dosis awal yang melebihi 600 mg, sudah cukup untuk
mencapai dan mempertahankan konsentrasi plasma terapeutik selama 18 sampai 24
jam setelah dimulainya pemberian dosis awal.

Rapid Infusion of Phenytoin sodium Loading Doses (Salem RB, Wilder BJ et al,
1981)
Penggunaan infus cepat Phenytoin sodium untuk mencapai konsentrasi plasma
terapeutik Phenytoin secara telah cepat dipelajari pada pasien epilepsi dewasa. Enam
pasien dewasa yang mengalami riwayat kejang tonik-klonik dipilih untuk diujikan.
Empat dari mereka tidak diobati dengan Phenytoin sebelum studi; dua pasien sisa nya
menggunakan terapi kronis Phenytoin tetapi memiliki kadar serum subterapeutik.
Dosis awal (loading dose) Phenytoin sodium (15 mg/kg dalam 100 ml 0,9% larutan
41 | P a g e

injeksi natrium klorida) diinfuskan selama 30-50 mg/min. Sampel darah diambil
sebelum pemberian Phenytoin, setiap lima menit selama infus, dan pada 1, 2, 4, 8, 12,
18, dan 24 jam setelah selesai infus. Efek samping dipantau selama pemberian infus.
Variabel farmakokinetik dihitung. Pasien menerima 750-1500 mg Phenytoin sodium
(mean SD = 1040,8 297,3 mg). Dari 5 sampai 30 menit yang dibutuhkan untuk
mencapai (10-20 mikrogram/ml) konsentrasi serum terapeutik Phenytoin; konsentrasi
memuncak pada 31,1 10,0 mikrogram/ml. Empat dari enam pasien mencapai
konsentrasi serum terapeutik pada 18 jam setelah selesai infus. Efek samping yang
terjadi sedikit dan tidak parah; dicatat adanya kardiotoksisitas. Waktu paruh Phenytoin
sekitar 31,2 8,4 jam, klirens plasma total adalah 47,2 10,7 ml/kg/jam, dan volume
distribusi berkisar 1,96 0,46 liter/kg. Dapat disimpulkan bahwa pemberian infus
Phenytoin intravena secara cepat tampaknya menjadi metode yang cukup aman dan
efektif untuk menjangkau konsentrasi terapeutik Phenytoin dengan cepat.
B. Laporan Studi Klinis Fosphenytoin

Clinical Experience with Fosphenytoin in Adults : Pharmacokinetic, Safety, and


Efficacy (Knapp LE, Kugler AR, 1998)
Fosphenytoin, prodrug fenitoin, yang secara cepat dan lengkap dikonversi menjadi
Phenytoin pada orang dewasa setelah pemberian intravena atau intramuskular dan
secara signifikan lebih baik ditoleransi daripada Phenytoin parenteral. Fosphenytoin
sangat terikat dengan protein plasma dan, ketika berada dalam konsentrasi yang
cukup, maka akan menggantikan Phenytoin dari protein plasma. Manfaat klinis dari
fosphenytoin adalah dapat digunakan untuk mencapai konsentrasi terapeutik
Phenytoin yang lebih cepat daripada infus Phenytoin intravena pada laju maksimum
yang dianjurkan. Dalam sebuah studi klinis terhadap kejang status epileptikus,
Fosphenytoin, dengan atau tanpa pre-treatment Benzodiazepine, kejang dapat
terkontrol pada 76 (93,8%) dari 81 pasien. Dalam penelitian lain, Fosphenytoin dapat
mempertahankan kontrol kejang ketika menggantikan Phenytoin oral dan untuk
profilaksis kejang dalam bedah saraf dan trauma pasien. Efek samping yang
berhubungan dengan Fosphenytoin umumnya terkait dengan sistem saraf pusat dan
mirip dengan yang berhubungan dengan Phenytoin, kecuali insiden yang lebih tinggi
seperti pruritus sementara oleh Fosphenytoin. Fosphenytoin intravena memiliki
keuntungan signifikan di atas Phenytoin intravena: Obat ini membutuhkan waktu

42 | P a g e

yang lebih singkat dan gangguan infus intravena lebih sedikit, menyebabkan sedikit
rasa sakit dan terbakar di lokasi infus dan konsekuensi minimal dalam kasus infiltrasi
intravena, memungkinkan waktu pemeliharaan lebih lama dengan pemberian
intravena, dan memiliki cairan intravena lebih kompatibilitas dan stabilitas yang lebih
baik. Berbeda dengan Phenytoin intramuskular, Fosphenytoin intramuskular
ditoleransi dengan baik dengan pemberian dosis awal (loading dose) besar dan dosis
pemeliharaan.

Safety and Tolerance of Multiple Doses of Intramuscular Fosphenytoin Substituted


for Oral Phenytoin in Epilepsy or Neurosurgery (Wilder BJ, Campbell K et al,
1996)
Latar belakang : Keamanan, tolerabilitas, dan farmakokinetik Fosphenytoin sodium,
sebuah pro-drug Phenytoin yang larut dalam air, diujikan setelah substitusi sementara
Fosphenytoin intramuskular dengan Phenytoin sodium oral pada 240 pasien epilepsi
atau bedah saraf yang menggunakan Phenytoin sodium oral (100-500 mg/d).
Metode : Pasien secara acak ditetapkan 1 dari 2 kelompok paralel. Selama skrining
dan tindak lanjut, pasien dipertahankan pada rejimen Phenytoin oral dengan dosis
individual. Selama perawatan, pasien yang menggunakan Phenytoin menerima
plasebo secara intramuskular dengan takaran yang ditentukan sesuai Phenytoin oral;
pasien yang menggunakan Fosphenytoin menerima plasebo secara oral dan
Fosphenytoin intramuskular dengan molar sama seperti dosis Phenytoin.
Hasil : Kedua kelompok memiliki jenis dan frekuensi efek samping dari ringan
sampai moderat yang serupa. Fosphenytoin itu juga dapat ditoleransi dengan baik
seperti plasebo intramuskular di tempat penyuntikan. Fosphenytoin intramuskular
molar dengan dosis molar yang sama seperti dosis Phenytoin pasien oral
menghasilkan konsentrasi Phenytoin plasma yang sama atau lebih besar.
Kesimpulan : Penyesuaian dosis tidak diperlukan ketika Fosphenytoin intramuskular
diganti sementara atau terapi Phenytoin oral dilanjutkan. Fosphenytoin intramuskular
adalah obat alternatif yang aman dan dapat ditoleransi untuk Phenytoin oral ketika
pemberian oral tidak dapat digunakan.

Pharmacokinetics of Fosphenytoin in Patients with Hepatic or Renal Disease


(Francesca T. Aweeka, Mildred D. Gottwald et al, 1999)
43 | P a g e

Intervensi : Perilaku farmakokinetik Fosphenytoin (FOS), prodrug Phenytoin (PHT)


yang larut dalam air, telah diamati pada subjek normal. Ini adalah studi pertama dari
efek penyakit hati atau ginjal terhadap laju dan tingkat konversi FOS ke PHT.
Metode : Fosphenytoin dosis tunggal (250 mg selama 30 menit) diberikan kepada
subyek dengan sirosis hati (n = 4), penyakit ginjal yang membutuhkan perawatan
hemodialisis (n = 4), dan kontrol yang sehat (n = 4). Serial konsentrasi plasma diukur,
dan parameter farmakokinetik dihitung.
Hasil : Rata-rata waktu untuk mencapai konsentrasi plasma puncak FOS adalah sama
untuk masing-masing dari tiga kelompok. Namun, rata-rata waktu untuk mencapai
konsentrasi plasma puncak PHT cenderung terjadi lebih awal dalam kelompok
penyakit hati atau ginjal dibandingkan pada subyek sehat. Waktu paruh dari FOS
adalah masing-masing 4.5, 9.2, dan 9.5 menit untuk tiga kelompok. Ada
kecenderungan peningkatan klirens FOS dan konsentrasi puncak PHT sebelumnya
pada subyek dengan penyakit hati atau ginjal. Temuan ini konsisten dengan
penurunan pengikatan FOS dengan protein plasma dan peningkatan fraksi terikat FOS
akibat penurunan konsentrasi protein plasma yang berhubungan dengan keadaan
penyakit tersebut. Konversi FOS ke PHT sama-sama efisien pada subyek dengan
penyakit hati atau ginjal dan subyek yang sehat.
Kesimpulan : Meskipun perbedaan parameter farmakokinetik antara tiga kelompok
secara statistik tidak signifikan, Data ini menunjukkan perlunya pemantauan klinis
yang teliti pada masa pemberian FOS untuk pasien dengan penyakit hati atau ginjal.
Untuk meminimalkan kejadian efek samping pada populasi pasien ini, FOS mungkin
perlu diberikan pada dosis yang lebih rendah atau diinfuskan lebih lambat.

Fosphenytoin : Pharmacokinetics and Tolerance of Intramuscular Loading Doses


(Flavia M. Pryor, Barry Gidal et al, 2001)
Latar belakang : Fosphenytoin (FPHT) diabsorpsi dengan baik dengan pemberian
intramuskular. Semua studi farmakokinetik sebelumnya diperoleh dari sampel plasma
pertama yang diambil 30 menit setelah pemberian IM. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menentukan laju dan tingkat absorpsi FPHT Dan untuk mengevaluasi
tolerabilitas FPHT IM berbanding dengan IM saline.
Metode : Studi open-label, double-blind di mana pasien menerima FPHT IM dosis 10
mg/kg dalam satu gluteus dan IM saline di gluteus lainnya. Setengah pasien menerima

44 | P a g e

suntikan saline volume sebesar FPHT (hingga 19,5 ml); separuh lainnya menerima 2
ml saline. Pemeriksaan neurologis, tanda-tanda vital, sampel darah PHT, pemeriksaan
di tempat penyuntikan, dan skor nyeri secara subjektif di tempat penyuntikan yang
diperoleh sebelum dan pada interval waktu selama 6 jam.
Hasil : Konsentrasi serum total PHT 10 g/ml diperoleh selama 5 menit pada 14.3%
pasien dan pada 26.3% pasien setelah 10 menit. Lebih dari separuh pasien mencapai
konsentrasi serum terapeutik dalam 30 menit; 45.8% pasien dilaporkan tidak
merasakan nyeri pada tempat penyuntikan baik dengan FPHT maupun saline. Tidak
ada perbedaan nyeri yang signifikan di antara tempat penyuntikan FPHT dan saline
dalam 60 menit dan setelahnya. Penurunan awal tekanan darah terjadi tetapi tidak
signifikan secara klinis. Efek samping klasik akibat induksi Phenytoin pada sistem
saraf pusat terjadi pada sepertiga pasien dalam waktu 1 jam setelah injeksi.
Kesimpulan : FPHT IM secara cepat diabsorbsi (kadar terapeutik tercapai sedini
mungkin sekitar 5-20 menit. FPHT IM dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian
besar pasien terlepas dari volume penyuntikan.
C. Laporan Studi Klinis Fosphenytoin vs Phenytoin
Bioavailability of Intravenous Fosphenytoin sodium in Healhty Japanese
Volunteers (Yushi Inoue et al, 2013)
Untuk membandingkan dan mengevaluasi bioavailabilitas dari Fosphenytoin sodium
intravena dengan Phenytoin sodium intravena pada subyek di daerah Jepang. Dalam
studi I, relawan laki-laki Jepang yang sehat menerima infus 375 mg Fosphenytoin
sodium selama 30 menit atau dosis molar yang sama dengan 250 mg Phenytoin
dengan metode uji double-blind, crossover. Dalam studi II, relawan laki-laki Jepang
yang sehat lainnya menerima infus 563 mg Fosphenytoin sodium selama 30-menit
atau 10-menit, diikuti dengan dosis 750 mg setelah 2 minggu secara unblinded.
Dibandingkan dengan 250 mg Phenytoin sodium, 375 mg Fosphenytoin sodium
menunjukkan Cmax Total Phenytoin plasma lebih rendah, sedangkan rasio rata-rata
geometris dari AUC total dan Phenytoin bebas untuk Fosphenytoin sodium dengan
dosis 375 mg sangat mirip dengan Phenytoin sodium dengan dosis equimolar 250 mg
(AUC0-t rasio : 0,98 dan 1,02, masing-masing). Oleh karena itu, Fosphenytoin hampir
sepenuhnya dikonversi menjadi Phenytoin. Fosphenytoin sodium dengan cepat
dikonversi menjadi Phenytoin pada dosis 375, 563, dan 750 mg. Konsentrasi
maksimum (Cmax) total Phenytoin plasma meningkat seiiring dengan dosis. Area di
45 | P a g e

bawah kurva konsentrasi plasma-waktu (AUC) meningkat sedikit lebih proporsional


dengan dosis yang diberikan, dan klirens (CL) menurun dengan meningkatnya dosis.
Nyeri dan reaksi pada tempat penyuntikan lainnya telah dilaporkan pada 12 subyek
yang menerima Phenytoin sodium, sedangkan gejala efek samping sangat sedikit yang
diamati pada Fosphenytoin sodium. Kesimpulannya, Fosphenytoin sodium dianggap
sebagai obat pengganti yang berguna untuk Phenytoin sodium dengan hampir tidak
adanya gejala efek samping terkait reaksi pada tempat penyuntikan.
Pharmacokinetics and Clinical Effects of Phenytoin and Fosphenytoin in Children
with Severe Malaria and Status Epilepticus (Ogutu BR, Newton CR et al, 2003)
Latar Belakang : Status epileptikus umum terjadi pada anak-anak dengan malaria
falciparum berat dan berkaitan dengan outcome yang buruk. Phenytoin sering
digunakan untuk mengontrol status epileptikus, namun prodrug yang larut dalam air,
Fosphenytoin, mungkin lebih berguna karena lebih mudah untuk mengelola. Studi ini
mempelajari farmakokinetik dan efek klinis Phenytoin dan Fosphenytoin sodium pada
anak dengan malaria falciparum berat dan status epileptikus.
Metode : Anak-anak diberikan Phenytoin intravena (iv) dengan dosis awal 18 mg/kg
yang diinfuskan selama 20 menit diikuti dengan dosis pemeliharaan 2,5 mg/kg selama
12 jam yang diinfuskan selama 5 menit (n = 11), atau Fosphenytoin iv, diberikan
dengan laju 50 mg/menit setara Phenytoin sodium (PE; n = 16), dan fosphenytoin
intramuskular (im) dosis 18 mg/kg diikuti oleh dosis awal 2,5 mg/kg 12 jam PE (n =
11). Konsentrasi Phenytoin dalam plasma dan cairan serebrospinal (CSF), frekuensi
kejang, efek kardiovaskular (laju pernapasan, tekanan darah, tekanan oksigen
trancutaneous dan tingkat kesadaran) dan pemantauan kecepatan aliran darah middle
cerebral artery (MCA).
Hasil : Setelah semua rute pemberian dilakukan, konsentrasi plasma Phenytoin bebas
lebih dari 1 microg/ml tercapai dengan cepat (dalam 5-20 menit). Konsentrasi steady
state rata-rata (interval kepercayaan 95%) Phenytoin bebas adalah 2,1 (1,7, 2,4;
Phenytoin iv, n = 6), 1,5 (0,96, 2,1; Fosphenytoin iv, n = 11) dan 1,4 (0,5, 2,4,
Fosphenytoin im, n = 6), dan tidak berbeda secara statistik untuk ketiga rute
pemberian. Median waktu (kisaran) untuk konsentrasi plasma puncak Phenytoin
setelah pemberian dosis awal adalah masing-masing 0,08 (0,08-0,17), 0,37 (0,330,67) dan 0,38 (0,17-2,0) jam untuk fosphenytoin iv,. phenytoin i.v dan fosphenytoin
i.m.. CSF : rasio konsentrasi Phenytoin plasma berkisar 0,12-0,53 (median = 0,28, n =
46 | P a g e

16). Status epileptikus yang dapat dikendalikan hanya 36% (4/11) dengan fenitoin iv,
44% (7/16), dengan fosphenytoin i.v. dan 64% (7/11) dengan fosphenytoin i.m.
Parameter kardiovaskular dan aliran darah MCA tidak terpengaruh oleh pemberian
Phenytoin.
Kesimpulan

Pemberian

Phenytoin

dan

Fosphenytoin

pada

dosis

yang

direkomendasikan dapat mencapai konsentrasi plasma Phenytoin bebas dalam kisaran


terapeutik dengan sedikit efek kardiovaskular. Pemberian Fosphenytoin i.v atau i.m.
mejadi alternatif yang praktis dan nyaman untuk Phenytoin iv. Namun, kontrol
terhadap status epileptikus kurang memadai meskipun pencapaian konsentrasi
terapeutik Phenytoin bebas cepat sehingga diperlukan penyelidikan lebih lanjut.
Venous Irritation Related to Intravenous Administration of Phenytoin versus
Fosphenytoin (Jamerson BD, Dukes GE et al, 1994)
Tujuan : Untuk membandingkan frekuensi, severity, proses waktu terjadinya iritasi
vena setelah pemberian dosis tunggal Phenytoin IV dengan dosis equimolar dari
Fosphenytoin, yang merupakan pro-drug Phenytoin yang larut dalam air.
Metode : Randomized, double-blind, two-period, crossover study
Subyek : Dua belas relawan dengan kondisi tidak melebihi 15% dari berat badan ideal
dan tanpa adanya kelainan klinis yang signifikan pada pemeriksaan fisik, riwayat
medis dan pemeriksaan laboratorium.
Intervensi : Sukarelawan secara acak diberikan infus Phenytoin sodium 250 mg (250
mg/5 ml) selama 30 menit atau equimolar dosis dari Fosphenytoin 375 mg (375 mg/5
ml). Subyek kembali lagi setelah 14-21 hari untuk crossover terapi.
Hasil : Subyek dinilai terhadap terjadinya iritasi vena (nyeri, rasa terbakar, gatal), dan
peneliti menilai flebitis (eritema, bengkak, nyeri), indurasi, eksudasi, dan cording.
Phenytoin secara signifikan jauh lebih banyak menyebabkan nyeri di lokasi infus pada
semua subyek dan flebitis secara signifikan pada delapan subyek (p <0,05); cording
terjadi pada enam subyek. Proses waktu Phenytoin menginduksi flebitis adalah
bimodal. Eritema dan nyeri menonjol pada akhir infus dan terjadi lagi pada 24 jam.
Cording pertama kali dicatat antara 24 jam dan 1 minggu setelah pemberian infus.
Sebaliknya, Fosphenytoin hanya menyebabkan nyeri ringan pada dua subyek, satu
insiden flebitis, dan tidak ada eritema atau cording.
Kesimpulan : Pemberian Fosphenytoin mengakibatkan iritasi vena dan flebitis ringan
secara signifikan dibandingkan dengan Phenytoin pada dosis molar yang sama.
47 | P a g e

Penggunaan klinis prodrug Phenytoin yang larut dalam air ini harus meminimalkan
frekuensi dan tingkat keparahan reaksi di tempat infus dan harus memberikan
kenyamanan, cepat, memungkinkan pemberian obat secara intravena, baik secara
murni atau dicampur dengan cairan infus.

BAB VII
RINGKASAN UJI PRE KLINIK DAN KLINIK

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya
serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan
dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang
berasal dari sekelompok besar sel selotak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat
berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh
digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama
penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya kejang atau serangan
pada hipoglikemia.3

48 | P a g e

Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan


epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena
lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa
perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sindrom epilepsi adalah
sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai
etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.4
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara
tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian mengajak neuron-neuron
yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan
listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu
badai aktivitas listrik di dalam otak.7
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda
(lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.
Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat
bervariasi.3 Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF) yang membedakan seseorang peka tidaknya
terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat
dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan
maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity
di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsy pada
penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting sebagai hal dasar terjadinya epilepsi.8
Bangkitan epilepsi terjadi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak,
secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
49 | P a g e

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan
yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
Penatalaksanaan epilepsi dapat dilakukan melalui cara non-farmakologi maupun
farmakologi. Cara farmakologi dilakukan dengan menggunakan obat anti epilepsi, seperti
obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+ (Phenytoin, Fosphenytoin) dan obat-obat
yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik (Benzodiazepine, barbiturate).15
Pada tahun 2005 diterbitkan The Finnish Evidence Based Guidelines for Prolonged
Seizure and Status Epilepticus diintegrasikan untuk pengobatan pertolongan pertama pada
status epileptikus yang diberikan oleh tenaga non medis di fase premonitory hingga
penanganan kondisi darurat dari status epileptikus. Di mana pada tahap premonitory, yaitu
jika kejang terjadi selama 0-5 menit, maka dapat diberikan Diazepam 10 mg (pada anak-anak
: 0.5 mg) melalui rektal dan dapat diulang bila perlu. Jika kejang tetap berlanjut(frekuensi
kejang 5-20 menit), maka segera lakukan penilaian awal status epileptikus dengan melakukan
pemeriksaan EEG, fungsi jantung dan pernapasan serta tekanan darah, dan dapat diberikan
injeksi Lorazepam 4 mg secara IV atau Diazepam 10 mg secara IV.
Jika pada dalam waktu 20-60 menit kejang berlanjut, maka sudah dapat ditetapkan
sebagai status epileptikus, dan segera berikan penanganan darurat, yaitu dengan memberikan
infus intravena Fosphenytoin 15-18 mg PE/kg dengan laju maksimal 150 mg PE/menit atau
infus Phenytoin 15-18 mg/kg dengan laju maksimal 50 mg/ menit. Kemudian lakukan
pemantauan pada fungsi jantung dan pernafasan dan monitoring EEG, tekanan darah, SpO 3,
jika perlu gunakan pressor. Namun jika kejang tetap berlanjut maka ditetapkan sebagai
refractory status epileptikus dan segera bawa ke ruang ICU untuk penangan lebih lanjut.71
Phenytoin (5,5-diphenylimidazolidine-2,4-dione) pertama kali disintesis tahun 1908
oleh Heirich Biltz, seorang ahli kimia berkebangsaan Jerman. Biltz menjual penemuannya ke
Parke-Davis, namun tidak menemukan kegunaan langsung dari obat tersebut. Ilmuwan lain
termasuk Houston Merritt dan Tracy Putnam di tahun 1938 menemukan kegunaan Phenytoin
untuk mengendalikan serangan epilepsi grandmal dan psikomotor pada penelitian mereka
pada manusia.15
Phenytoin adalah obat anti konvulsan yang dapat digunakan dalam pengobatan
epilepsi tonik-klonik. Lokasi utama aksi primer Phenytoin adalah di korteks motorik di mana
penyebaran aktivitas kejang dihambat. Phenytoin adalah obat utama yang sering digunakan
50 | P a g e

untuk hampir semua jenis epilepsi (kecuali bangkitan lena), adanya gugus fenil atau aromatic
lainnya pada atom C1 berperan penting dalam efek pengendalian bangkitan tonik-klonik,
sedangkan gugus alkil berkaitan dengan efek sedasinya. Adanya gugus metil pada atom N 3
dapat mengubah spektrum aktivitas misalnya Mephenytoin, dan hasil N demetilasi oleh
enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit yang tidak aktif.19
Dengan melepaskan sodium dari neuron, Phenytoin cenderung untuk menstabilkan
ambang rangsang terhadap hyperexcitability yang disebabkan oleh stimulasi yang berlebihan
atau perubahan lingkungan yang mampu mengurangi gradien membran sodium. Ini termasuk
pengurangan potensiasi posttetanic pada sinapsis. Kehilangan potensiasi posttetanic dapat
mencegah tekanan kejang kortikal dari letupan di daerah kortikal yang berdekatan.
Phenytoin mengurangi aktivitas maksimal di pusat batang otak yang bertanggung jawab
dalam fase tonik pada kejang tonik-klonik (grand mal).19
Absorpsi Phenytoin tergantung pada cara pemberian, seperti oral atau parenteral.
Absorpsi Phenytoin di dalam lambung sangat sedikit karena Phenytoin bersifat tidak larut
dalam cairan lambung yang bersifat asam, sehingga absorbsi Phenytoin oral berlangsung
lambat dan tidak lengkap. Oleh karena itu, pemberian 10% dosis Phenytoin secara oral
dieksresikan melalui feses dalam bentuk utuh. Phenytoin mudah larut dalam duodenum yang
memiliki pH 7-7,5, sehingga pada duodenum Phenytoin dapat diabsorpsi dengan sempurna.
Kadar puncak pemberian Phenytoin oral dicapai dalam 4-8 jam setelah pemberian obat.
Pemberian Phenytoin secara IM menyebabkan Phenytoin mengendap di tempat
penyuntikan sekitar 5 hari, dan absorpsinya berlangsung lambat daripada pemberian oral. Hal
tersebut disebabkan karena kelarutan Phenytoin dalam air sedikit sehingga terbentuk kristal
Phenytoin di dalam otot. Waktu paruh dalam plasma setelah pemberian IV berkisar antara 10
sampai 15 jam. Kontrol optimal tanpa adanya tanda toksisitas klinis paling sering terjadi pada
tingkat serum antara 10 dan 20 mcg/mL. Pemberian secara IV merupakan rute yang paling
disukai untuk menghasilkan level serum terapeutik yang cepat.
Sebuah studi jangka pendek (satu minggu) menunjukkan bahwa pasien tidak
mengalami penurunan kadar obat dalam darah ketika berganti (cross) ke rute intramuskular
jika dosis Phenytoin IM meningkat 50 persen dibanding dosis oral yang ditetapkan
sebelumnya. Untuk menghindari akumulasi obat karena penyerapan dari depot otot,
disarankan untuk minggu pertama kembali ke Phenytoin oral, dengan dosis dikurangi
menjadi setengah dari dosis oral awal (sepertiga dari dosis IM) dan dianjurkan dilakukannya
pemantauan kadar darah.22
Ikatan Phenytoin dengan protein, terutama oleh albumin adalah 90%. Pada orang
sehat, termasuk wanita hamil dan wanita yang menggunakan obat kontrasepsi oral, fraksi
51 | P a g e

bebas Phenytoin sekitar 10%, sedangkan telah diketahui bahwa efek farmakologis Phenytoin
bergantung pada bentuk bebasnya. Pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit
hepatorenal dan pada neonatal, fraksi bebasnya kira-kira di atas 15%. Pada pasien epilepsi,
fraksi bebas berkisar antara 5,8 12,6%. Phenytoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga
kerjanya dapat bertahan lebih lama, namun mula kerja lebih lambat daripada Phenobarbital.
Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati
(enzymes CYP2C9 and CYP2C19) di cytochrome P450. 19,20
Phenytoin didistribusikan ke dalam jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda,
setelah injeksi IV, kadar Phenytoin yang terdapat dalam otot, otot skelet dan jaringan lemak
lebih rendah daripada kadar yang berada di dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah. 19,20 Hampir
sebagian besar metabolit Phenytoin diekskresi bersama empedu, kemudian mengalami
reabsorbsi dan biotransformasi lanjutan, serta dieksresi melalui ginjal. Metabolit utama
Phenytoin mengalami ekskresi di tubuli ginjal, sedangkan bentuk utuhnya direabsorbsi.
Metabolit akhir Phenytoin bersifat larut dalam air, sehingga ekskresi melalui feses hanya
sebagian kecil saja. Ekskresi lengkap Phenytoin terjadi setelah 72-120 jam.19,20
Meskipun tidak disetujui oleh FDA sebagai indikasi, Phenytoin juga efektif dalam
pengobatan berbagai aritmia atrium dan ventrikel, termasuk aritmia karena toksisitas digitalis.
Phenytoin dapat memperpanjang periode refrakter efektif dan menekan ventricular
pacemaker automaticity. Selain itu, Phenytoin telah ditemukan efektif sebagai pencegahan
dini terjadinya kejang pasca trauma. Dosis yang lebih tinggi juga digunakan dalam
pengelolaan trigeminal neuralgia.33,34
Fosphenytoin adalah prodrug ester fosfat Phenytoin yang dikembangkan untuk
mengatasi keterbatasan yang terkait dengan penggunaan sediaan parenteral Phenytoin.
Fosphenytoin disetujui pada tahun 1996, Fosphenytoin (Cerebyx, Eisai, Teaneck, NJ) yang
saat itu diindikasikan untuk mengontrol kondisi generalized convulsive status epilepticus
(GCSE), dan untuk pencegahan dan mengobati kejang yang terjadi selama bedah saraf ketika
penggunaan Phenytoin intravena dan oral tidak memungkinkan.
Setelah pemberian IV pada mencit, Fosphenytoin menghambat fase tonik dari
maximal electroshock seizures pada dosis yang setara dengan dosis efektif Phenytoin. Selain
kemampuannya dalam menekan maximal electroshock seizures pada mencit dan tikus,
Phenytoin juga menunjukkan aktivitas antikonvulsan terhadap kindled seizures pada tikus,
audiogenic seizures pada tikus, dan kejang yang disebabkan oleh adanya stimulasi listrik di
batang otak pada tikus.29
Ketika Fosphenytoin diberikan melalui infus IV, konsentrasi plasma maksimum
Fosphenytoin dicapai pada akhir infus. Fosphenytoin memiliki waktu paruh sekitar 15 menit.
52 | P a g e

Fosphenytoin mencapai bioavailabilitas sempurna setelah pemberian Fosphenytoin secara


IM. Konsentrasi puncak terjadi sekitar 30 menit setelah pemberian obat. Konsentrasi plasma
Fosphenytoin setelah pemberian IM lebih rendah tetapi lebih berkelanjutan (sustained)
daripada mereka setelah pemberian IV karena dibutuhkan waktu untuk penyerapan
Fosphenytoin dari tempat penyuntikan.29
Fosphenytoin secara ekstensif terikat (95% sampai 99%) dengan protein plasma
manusia, terutama albumin. Ikatan protein plasma bersifat jenuh dengan hasil dimana persen
ikatan

menurun

ketika

konsentrasi

total

Fosphenytoin

meningkat.

Fosphenytoin

menggantikan Phenytoin dari tempat ikatan protein. Volume distribusi Fosphenytoin


meningkat seiiring dengan dosis dan laju Fosphenytoin, yang berkisar antara 4,3-10,8 liter.29
Phenytoin yang berasal dari pemberian Fosphenytoin secara ekstensif dimetabolisme
secara oksidatif di hati dan diekskresikan melalui urin terutama sebagai 5- (phydroxyphenyl)5-phenylhydantoin dan glukuronida; sedikit Phenytoin utuh (1% -5% dari dosis
Fosphenytoin) recovered dalam urin. Phenytoin dimetabolisme oleh sitokrom P450 dengan
enzim CYP2C9 dan CYP2C19. Enzim CYP2C9 memainkan peran utama dalam metabolisme
Phenytoin (90% total keseluruhan klirens intrinsik), sedangkan enzim CYP2C19 memiliki
keterlibatan kecil dalam proses ini (10% total keseluruhan klirens intrinsik). Kontribusi relatif
dari enzim CYP2C19 pada metabolisme Phenytoin kemungkinan akan meningkat pada
konsentrasi Phneytoin yang lebih tinggi.
Oleh karena sistem sitokrom terlibat dalam metabolisme Phenytoin di hati, bersifat
jenuh (saturable) pada konsentrasi serum yang tinggi, sedikit peningkatan dosis Phenytoin
dapat meningkatkan waktu paruh dan setelah pemberian Fosphenytoin IV dosis tunggal 4001200 mg PE, nilai AUC total dan Phenytoin bebas (unbound) meningkat secara tidak
proporsional terhadap dosis. Rata-rata waktu paruh Phenytoin (12,0-28,9 jam) setelah
pemberian Fosphenytoin pada dosis ini sama dengan setelah pemberian dosis parenteral yang
sama dan cenderung lebih cenderung lebih besar pada konsentrasi phenytoin plasma yang
lebih tinggi.29
Berdasarkan hasil studi perbandingan farmakokinetik antara Phenytoin sodium
dengan Fosphenytoin sodium secara intavena atau intramuscular pada 24 kelinci putih
dewasa yang masing-masing telah dianestesi dengan Pentobarbitone (30 mg/kg) terlebih
dahulu, diperoleh hasil bahwa setelah pemberian intravena konsentrasi plasma Phenytoin
sodium sama dengan yang diperoleh setelah pemberian intravena dari Fosphenytoin sodium
dengan dosis setara dengan Phenytoin sodium (10 mg/kg dosis tunggal). Rata-rata
konsentrasi puncak plasma Phenytoin (Cmax) 158% lebih tinggi (P = 0,0077) setelah
pemberian Fosphenytoin sodium secara intramuskular dibandingkan dengan pemberian
53 | P a g e

Phenytoin sodium secara intramuskular. Nilai total AUC plasma dan Nilai AUC 0-120 menit
setelah pemberian intramuskular juga secara signifikan lebih tinggi (P = 0,0277) pada
Fosphenytoin yang diberikan pada kelinci dibandingkan dengan kelompok Phenytoin.
Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan pada nilai AUC 0-180 antara Fosphenytoin dan
Phenytoin yang diberikan pada kelinci setelah pemberian intravena. Dan juga tidak ada
perbedaan yang signifikan pada waktu rata-rata untuk mencapai konsentrasi puncak plasma
Phenytoin (Tmax) antara Fosphenytoin dan Phenytoin yang diberikan secara intramuskular.
Rata-rata konsentrasi albumin plasma sebanding pada kedua kelompok hewan. Fosphenytoin
dengan cepat dikonversi menjadi Phenytoin baik setelah pemberian intravena dan
intramuskular, dengan konsentrasi plasma Fosphenytoin yang menurun dengan cepat ke
tingkat yang tidak dapat terdeteksi dalam waktu 10 menit setelah diberkan melalu kedua rute
pemberian tersebut. Hasil ini membuktikan bahwa hidrolisis Fosphenytoin menjadi Phenytoin
berlangsung cepat dan lengkap secara in vivo, dan potensi rute intramuskular pada pemberian
fosphenytoin dapat diberikan ketika pemberian Phenytoin intravena secara klinis mungkin
tidak dapat diberikan.75
Hasil studi efektivitas Fosphenytoin sebagai obat antikonvulsan tunggal atau
tambahan untuk pengobatan status epileptikus pada Guinea pig, yang telah diimplan dengan
cortikal electroencephalographic (EEG) recording electrodes, yang sebelumnya telah diterapi
dengan Pyridostigmine bromida (0.026 mg/kg, intramuskular (im)) 30 menit sebelum diubah
menjadi 56 mikrogram/kg, subkutan (sc), (2 x LD50) dari agen saraf soman diketahui bahwa
ketika diberikan terapi (intraperitoneal, ip) 5 menit setelah onset kejang, hanya Fosphenytoin
dosis tertinggi (180 mg/kg) yang mampu menghentikan aktivitas kejang pada 50% dari
hewan yang diuji (3 dari 6). Dan ketika Fosphenytoin (18-180 mg/kg) diberikan sebagai
terapi awal, secara intraperitoneal pada 30 menit sebelum pemberian soman, kejang
dihentikan sesuai dengan urutan dosis (ED50 = 61,8 mg/kg; 40.5-94.7 mg/kg, dengan tingkat
kepercayaan 95%).76
Fosphenytoin dapat menyebabkan iritasi ringan berdasarkan hasil studi pada hewan
dengan pemberian secara intravena dan intramuscular. Meskipun reaksi iritasi kulit telah
diamati pada manusia, namun umumnya tidak terlihat di dekat area injeksi dan tidak dapat
dianggap sebagai efek lokal. Sedangkan untuk reaksi hipersensitivitas telah dilaporkan
setelah penggunaan Phenytoin.30
Berdasarkan pada hasil studi toksikologi terhadap Fosphenytoin intravena dan
intramuscular pada anjing dan tikus dengan rentang waktu 2-13 minggu lamanya diketahui
terjadinya efek pada sistem saraf pusat yang bersifat sementara, seperti ataksia, penurunan

54 | P a g e

aktivitas, midriasis, dan tremor pada kedua spesies. Kenaikan berat hati, deposisi glikogen,
dan perubahan enzim hati juga nampak terlihat pada hasil studi tersebut.30
Hasil studi menyatakan bahwa pemberian Fosphenytoin sodium pada tikus hamil
menyebabkan
kardiovaskular,

peningkatan
jari-jari,

frekuensi
skeletal),

kematian
gangguan

akibat

malformasi

pertumbuhan,

(kelainan

gangguan

otak,

fungsional

(chromodacryorrhea, hiperaktif, circling). Dosis 75 mg/kg/hari atau lebih dari itu dapat
menyebabkan peningkatan tingkat resorpsi dan malformasi pada kelinci. Pada studi
epidemiologi yang telah dilakukan pada ibu hamil diketahui bahwa Phenytoin dapat
menyebabkan teratogenisitas (hipoplasia pada jari-jari) ketika digunakan sebagai sediaan
tunggal.30
Seperti Phenytoin, Fosphenytoin terikat secara ekstensif dengan albumin. Ikatan
tersebut menggantikan setiap Phenytoin yang tersisa dari tempat ikatan protein plasma,
sehingga meningkatkan hingga 30% fraksi Phenytoin bebas yang tersedia untuk aktivitas
antiepilepsi. Hal ini terjadi terutama pada konversi senyawa pro-drug aktif Phenytoin (30-60
menit setelah pemberian). Perpindahan Phenytoin terbanyak setelah pemberian dosis awal
(loading dose) fosphenytoin secara intravena dalam dosis tinggi (setara 15 mg PE/kg) yang
diinfuskan dengan kecepatan tinggi (50 sampai 150 mg PE/menit). Fenomena perpindahan ini
secara sementara dapat menutupi keterlambatan yang diperlukan Fosphenytoin untuk
mengkonversi menjadi senyawa aktif setelah pemberian intravena. Phenytoin terikat kembali
secara normal ketika kadar Fosphenytoin plasma menurun. Sebaliknya, sedikit perpindahan
dicatat setelah pemberian intramuskular Fosphenytoin karena diperlukan waktu yang lebih
lama untuk penyerapan obat dari tempat penyuntikan.29,37
Karena Phenytoin dan Fosphenytoin keduanya sangat terikat dengan protein, maka
penyesuaian dosis mungkin diperlukan pada pasien dengan gangguan ginjal/hati atau mereka
yang memiliki hipoalbuminemia. Karena konsentrasi obat tidak terikat berkorelasi lebih baik
pada efikasi dan toksisitas fenitoin, maka dapat melakukan penyesuaian dosis berdasarkan
konsentrasi Phenytoin bebas atau Phenytoin serum.53
Dosis awal (loading dose) baik Phenytoin maupun Fosphenytoin memerlukan
pengenceran sebelum pemberian secara intravena. Phenytoin injeksi hanya kompatibel
dengan 0,9% larutan saline dan harus diinfuskan melalui in-line filter karena dapat berpotensi
untuk mengendapkan pada pH fisiologis. Juga, karena dapat mengakibatkan hipotensi dan
bradikardi terkait dengan pemberian Phenytoin intravena, dengan laju maksimum 50
mg/menit yang direkomendasikan (25 mg/menit pada orang tua dan pasien dengan penyakit
jantung).33

55 | P a g e

Fosphenytoin mengalami penurunan relatif pada ikatan protein dengan pemberian


dosis yang lebih tinggi pada laju pemberian infus yang lebih tinggi, maka dianjurkan
pemberian dosis awal Fosphenytoin pada 150 mg PE/menit ketika konsentrasi plasma
terapeutik telah tercapai dengan cepat. Dalam situasi non-darurat, pemberian infus dengan
laju yang lebih rendah (50 sampai 100 mg PE/menit) akan menghasilkan konsentrasi
Phenytoin bebas maksimum sedikit lebih rendah dan delayed. Fosphenytoin kompatibel
dengan larutan dextrose dan saline pada konsentrasi berkisar 1,5-25 mg PE/mL. Volume
injeksi Fosphenytoin intramuskular hingga 30 mL dengan satu kali penyuntikan telah
digunakan dan dapat ditoleransi dengan baik, namun biasanya, banyak pasien yang tidak akan
mentolerir volume injeksi sebanyak ini; maksimal 5 mL per injeksi yang dianjurkan.54
Dalam sebuah studi pada anak-anak dengan malaria dan status epileptikus di daerah
tropis endemik malaria falciparum yang merupakan penyebab umum dari kejang pada anakanak, konsentrasi puncak plasma Phenytoin maksimum dicapai lebih cepat dengan
Fosphenytoin intravena dibandingkan dengan Phenytoin intravena (0,08 vs 0,37 h).38
Dua abstrak telah melaporkan pencapaian kadar terapeutik Phenytoin dengan
pemberian Fosphenytoin dosis tunggal, pada studi open-label pada pasien dengan status
epileptikus. Konsentrasi total Phenytoin adalah 10 mg/L dan konsentrasi Phenytoin bebas
1 mg/L yang dicapai dalam waktu 10-20 menit dari awal pemberian infus Fosphenytoin pada
40 pasien dengan status epileptikus; rata-rata durasi infus 11 menit.45
Dalam studi lain pada 39 pasien (22 pasien dengan status epileptikus dan 17 pasien
tanpa status epileptikus), diberikan terapi dengan Fosphenytoin intravena (10-20 mg PE/kg),
kemudian dikumpulkan data farmakokinetik dari 20 pasien. Kadar terapeutik Phenytoin
bebas (0,9-1,8 mg/mL) dicapai dalam waktu 10 menit pada 20 pasien. Namun, perlu dicatat
bahwa target kecepatan infus untuk Fosphenytoin adalah 50-100 mg/menit untuk pasien
tanpa status epileptikus dan 100-150 mg/menit untuk pasien status epileptikus dan tidak jelas
apa proporsi peserta dari kedua kelompok ini.46
Meskipun kadar maksimal pemberian Fosphenytoin intravena tiga kali lebih cepat
dengan dibandingkan dengan Phenytoin, hanya ada beberapa bukti terbatas yang menyatakan
bahwa kadar Phenytoin dicapai lebih cepat dengan Fosphenytoin. Sebagai contoh, pada
sebuah studi kecil secara randomized controlled, Phenytoin (n = 14) dan Fosphenytoin (n =
15) yang diberikan pada kecepatan awal yang direkomendasikan masing-masing 50 dan 150
mg/min, dan konsentrasi Phenytoin terapeutik rata-rata yang dicapai masing-masing 0,24 dan
0,21 jam.47 Salah satu alasan yang mungkin untuk menjawab perbedaan tersebut adalah
adanya delay (waktu paruh 8-15 menit) dalam konversi Fosphenytoin menjadi Phenytoin oleh
fosfatase di dalam darah dan jaringan lain.36 Konsentrasi Phenytoin plasma diukur dengan
56 | P a g e

menggunakan immunoassay dalam penelitian ini.47 Metode ini dapat overestimate konsentrasi
Phenytoin plasma yang sebenarnya menjadi 1,2-6 kali lipat ketika Fosphenytoin diberikan.
Studi lain menggunakan tes kromatografi cair kinerja tinggi yang lebih spesifik di mana
gangguan tidak terjadi.48
Sebuah studi tentang frekuensi, severity, dan proses waktu terjadinya vena irritation
setelah pemberian dosis tunggal Phenytoin secara intravena dibandingkan dengan dosis
equimolar dari Fosphenytoin. Dua belas relawan secara acak diberi infus perifer selama 30
menit baik Phenytoin murni (250 mg) atau Fosphenytoin (375 mg). Kemudian mereka
kembali lagi setelah 14 sampai 21 hari dan menerima infus dengan crossover zat aktif di
bagian lengan lainnya. Tindak lanjut berlangsung selama 120 jam setelah pemberian infus.
Semua (12 pasien) melaporkan adanya nyeri di lokasi infus selama pemberian infus
Phenytoin, sementara hanya 2 pasien yang melaporkan nyeri di lokasi infus selama
pemberian Fosphenytoin. 8 subjek mengalami flebitis dengan Phenytoin, namun para peneliti
hanya menemukan 1 kasus flebitis dengan Fosphenytoin (P <0,05). 6 pasien mengalami
cording dengan Phenytoin; tidak ada cording ditemukan dengan Fosphenytoin.39
Dalam sebuah penelitian yang didanai oleh Parke-Davis, yang dilakukan secara acak
pada 116 pasien bedah saraf yang memerlukan profilaksis atau pengobatan antikonvulsan
untuk menerima Fosphenytoin intravena (n = 88) atau Phenytoin intravena (n = 28) dalam
suatu studi double-blind. Pasien yang ditetapkan untuk kelompok Fosphenytoin intravena
menerima dosis awal (loading dose) rata-rata 1082 mg PE, diikuti dengan dosis pemeliharaan
rata-rata 411 mg PE. 28 pasien ditetapkan untuk kelompok Phenytoin IV yang menerima
dosis awal (loading dose) rata-rata 1082 mg, diikuti dengan dosis pemeliharaan rata-rata 422
mg. Pengobatan dilanjutkan selama 3 sampai 14 hari. Gejala kejang dilaporkan terjadi pada
3% dari kelompok Fosphenytoin intravena dan 7% dari kelompok Phenytoin intravena. Enam
puluh enam persen dari pasien Fosphenytoin dan 61% dari pasien Phenytoin mengalami
penurunan tekanan darah sistolik mereka sebesar >20 mm Hg (NS). Efek samping tersebut
mengharuskan dilakukannya pengurangan laju infuse sebesar 14% untuk Fosphenytoin
intravena dan 36% untuk penerima Phenytoin intravena (NS). Enam persen dari pasien yang
menerima Fosphenytoin dan 25% dari pasien yang menerima Phenytoin intravena dilaporkan
mengalami iritasi ringan di tempat penyuntikan (P <0,05). Para penulis menyimpulkan bahwa
Fosphenytoin intravena lebih baik dan dapat ditoleransi daripada Phenytoin intravena pada
populasi pasien tersebut.40
Pada hasil studi open-label, crossover yang dilakukan pada 69 pasien dengan kondisi
kejang yang terkontrol dengan baik, yang diberikan dosis pemeliharaan Fosphenytoin kisaran
150-450 mg PE. Sebanyak 32 pasien menerima Fosphenytoin intramuskular, dan 37 pasien
57 | P a g e

diberi secara intravena. Tidak ada perubahan signifikan secara statistik pada denyut jantung,
pernapasan, atau tekanan darah diastolik pada kelompok kedua. Namun, pasien tidak
mengalami penurunan yang signifikan pada tekanan darah sistolik selama 15 menit sampai 2
jam setelah pemberian intravena dan selama 30 menit sampai 4 jam setelah pemberian
intramuskular (P <0,05). 44% dari pasien yang menerima Fosphenytoin intravena dan 25%
dari pasien yang menerima Fosphenytoin intramuskular memiliki lebih dari satu episode
nistagmus. Selain itu, 21% dari pasien yang menerima Fosphenytoin intravena mengalami
paresthesia, dan 17% dari pasien yang menerima Fosphenytoin intramuskular melaporkan
nyeri di tempat penyuntikan.41
Ketika mempertimbangkan penggunaan Fosphenytoin intravena khusus untuk
pengobatan status epileptikus, empat studi mengkategorikan pada 3 level bukti atau lebih
tinggi yang telah teridentifikasi. Dua diantaranya adalah desain kelompok tunggal, sementara
yang ketiga adalah studi pada anak-anak dengan status epileptikus dengan komplikasi malaria
falciparum.38,45,46 Akhirnya, meskipun studi keempat melibatkan sejumlah besar pasien, hanya
sembilan yang didiagnosis dengan status epileptikus. Dalam studi pada anak-anak dengan
kondisi malaria disertai status epileptikus, hasil klinis yang ditetapkan adalah penghentian kejang
dalam waktu 30 menit dari awal terapi obat, atau status epileptikus ditandai dengan kejang berulang
dengan durasi pendek, dimana dianggap terkontrol jika tidak ada kejang dalam waktu 12 jam dari
terapi obat. Status epileptikus dapat dikendalikan pada 7 dari 16 anak yang menerima Fosphenytoin
intravena dan 4 dari 11 anak yang menerima Phenytoin intravena. 38

Pada studi tunggal, open-label yang dilakukan pada pasien dengan status epileptikus,
kontrol terhadap kejang dapat dicapai pada 85% (37 dari 40) pasien dalam waktu 30 menit
yang menerima Fosphenytoin intravena (rata-rata durasi infus 11 menit).45
Dua ratus empat puluh pasien menerima Phenytoin oral selama terjadi gangguan
kejang atau profilaksis kejang pasca operasi yang terdaftar dalam suatu studi multicenter,
acak, double-blind, placebo-controlled. Pasien secara acak dipilih untuk menerima 5 hari
pengobatan dengan dosis Phenytoin oral ditambah plasebo yang diberikan secara
intramuskular (n = 61) dan sebagian lagi menerima dosis molar yang sama dari Fosphenytoin
intramuskular ditambah plasebo yang diberikan secara oral (n = 179). Insiden efek samping
dalam 2 kelompok adalah serupa (Fosphenytoin, 68% vs Phenytoin, 62%; NS), tetapi ada
perbedaan dalam jenis efek samping yang dilaporkan untuk masing-masing Fosphenytoin dan
Phenytoin antara lain: Nystagmus (15% vs 8%), tremor (10% vs 13%), sakit kepala (9% vs
5%), inkoordinasi (8% vs 5%), ecchymosis (7% vs 5%), mengantuk (7% vs 10%), dan pusing
(5% vs 3%). Pada 13 pasien yang menjalani evaluasi farmakokinetik lebih mendalam,
58 | P a g e

Fosphenytoin intramuskular ditemukan dapat menghasilkan konsentrasi Phenytoin plasma


yang sama dengan atau lebih besar dari yang dihasilkan dengan dosis molar yang sama
dengan Phenytoin oral. Pasien yang diobati dengan Fosphenytoin mengalami kejang 0,13 per
hari dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan Phenytoin yang memiliki rata-rata 0,18
kejang per hari. Selama 5 hari terapi, rata-rata konsentrasi Phenytoin dalam kelompok
Fosphenytoin naik sedikit, dimana peneliti merasa konsisten terhadap perbedaan
bioavailabilitas antara Fosphenytoin intramuskular (99%) dan terapi oral (90%). Oleh karena
itu, para peneliti menyarankan bahwa untuk mengukur konsentrasi serum Phenytoin setelah 3
sampai 4 hari setelah substitusi dengan intramuskular.44
Efek samping dari Phenytoin termasuk hiperplasia gingival, hirsutism, dan, pada
beberapa pasien, dapat terjadi perubahan perilaku dan disfungsi kognitif. Selain itu, mual,
muntah, nistagmus, ataksia, lesu, dan kejang dapat terjadi pada konsentrasi toksik. Phenytoin
juga dapat menyebabkan sedikit peningkatan enzim hati yang tidak memerlukan penghentian
terapi. Efek samping yang lebih serius termasuk trombositopenia, anemia, leukemia, dan
limfadenopati. Phenytoin juga dapat menyebabkan Stevens-Johnson syndrome dan toxic
epidermal necrolysis. Jika ruam muncul selama terapi Phenytoin, maka dianjurkan untuk
segera menghentikan penggunaan obat. Exfoliative, bullous atau purpuric rash merupakan
sugestif dari Stevens-Johnson syndrome. Namun, jika terjadi ruam morbiliform atau
scarlatiniform, terapi dapat dilanjutkan setelah ruam telah teratasi.33,36
Phenytoin injeksi dapat menyebabkan reaksi lokal pada tempat penyuntikan seperti
nyeri, rasa terbakar, atau gatal-gatal. Namun, frekuensi keluhan tersebut kurang dijelaskan.
Penekanan pada konduksi atrium dan ventrikel, serta fibrilasi ventrikel juga telah dikaitkan
dengan penggunaan Phenytoin intravena. Komplikasi ini lebih sering ditemui pada pasien
usia lanjut atau pasien dengan kondisi lemah. Akibatnya, pemantauan pada jantung
dianjurkan selama pemberian dosis awal (loading dose) intravena. Selain itu, Phenytoin
intravena dapat menyebabkan hipotensi jika diberikan pada kecepatan lebih dari 50
mg/menit.39
Efek samping khusus pada Fosphenytoin termasuk rasa terbakar, gatal, dan parestesia
yang dapat berlangsung hingga 14 jam pada beberapa pasien. Meskipun lokasi efek samping
bervariasi, beberapa laporan melokalisasi daerah-daerah efek samping tersebut seperti pada
pangkal paha, punggung, perut bagian bawah, kepala, dan leher. Parestesia ini biasanya
terjadi selama pemberian intravena dengan dosis yang lebih besar dengan laju infus cepat.
Hipotensi juga dapat terjadi setelah infus intravena dosis tinggi dengan kecepatan yang cepat.
Monitoring jantung dianjurkan selama pemberian dan selama 10-20 menit setelah selesai
pemberian dosis awal (loading dose) intravena. Fosphenytoin juga mengandung 0,0037
59 | P a g e

mMol fosfat/mg PE dan memiliki potensi menyebabkan terjadinya akumulasi fosfat pada
pasien dengan kondisi disfungsi ginjal.36,49
Dalam sebuah studi pada 29 pasien tanpa status epileptikus, Phenytoin dan
Fosphenytoin diberikan secara intravena dengan laju awal yang direkomendasikan masingmasing 50 dan 150 mg/menit, dan total efek samping yang tercatat dalam kelompok masingmasing adalah 27 dan 32 (P = 0,55 ). Namun, nyeri dan flebitis yang dialami lebih sering
terjadi pada kelompok Phenytoin dibandingkan dengan Fosphenytoin (11 vs 3, P <0,001).
Terjadinya perineal pruritus secara eksklusif terkait dengan Fosphenytoin (12 vs 0, P
<0,0001), sehingga membutuhkan penurunan laju infus pada beberapa pasien. 47 Perineal
pruritus bersifat reversibel dan sebelumnya telah tercatat terjadi pada penggunaan
Fosphenytoin infus dengan kecepatan tinggi.50
Sebuah studi crossover, acak, double-blind dilakukan pada 12 sukarelawan sehat yang
menerima infus 250 mg Phenytoin, atau setara Fosphenytoin selama 30 menit, untuk
mengevaluasi terjadinya iritasi vena. Phenytoin secara signifikan menyebabkan nyeri dengan
tingkat lebih tinggi pada daerah infus (semua subyek, P <0,05) dan flebitis (delapan subyek;
P <0,05); cording terjadi pada enam subyek. Eritema dan nyeri menonjol pada akhir infus
Phenytoin dan muncul lagi setelah pemeriksaan 24 jam. Sebaliknya, Fosphenytoin
menyebabkan nyeri ringan hanya pada dua subyek, dan flebitis pada satu subyek; tidak ada
kasus eritema atau cording yang terjadi.39 Pada studi awal ini, kedua obat diinfuskan pada laju
yang sama; Namun, sekarang diakui bahwa Fosphenytoin dapat diberikan dengan laju tiga
kali Phenytoin.
Efek samping yang berhubungan dengan pembuluh vena juga tercatat lebih sering
terjadi dengan dosis awal (loading dose) Phenytoin intravena dibandingkan dengan
Fosphenytoin yang dinyatakan dalam hasil studi secara double-blind dan acak pada 23 pasien
non-status epileptikus. Nyeri dan flebitis terjadi pada 83% pasien yang menerima Phenytoin
dibandingkan dengan mereka yang diberikan terapi Fosphenytoin, tidak ada efek samping
nyeri dan flebitis. Penyesuaian laju infus, sebagai akibat dari efek samping, dibutuhkan
secara lebih signifikan pada pemberian Phenytoin dibandingkan dengan mereka yang
menerima Fosphenytoin (67 vs 12%; P <0,05). Meskipun ada keluhan sementara, seperti
gatal umum dan rasa hangat pada 53% dari kelompok Fosphenytoin, seperti disebutkan di
atas, penyesuaian laju infus hanya diperlukan pada sebagian kelompok saja.51
Keuntungan utama dari Phenytoin adalah efek sedatif yang ringan. Namun, sejumlah
efek samping yang serius dapat terjadi, seperti aritmia dan hipotensi telah dilaporkan,
khususnya pada pasien yang lebih tua dari 40 tahun. 55,56 Selain itu, iritasi lokal, flebitis, dan
pusing dapat menyertai efek pemberian Phenytoin intravena. Hal tersebut disebabkan karena
60 | P a g e

efek langsung dari zat aktif dan bahan tambahan (eksipien) yang digunakan, yaitu Propylene
glycol yang digunakan sebagai pelarut Phenytoin. Propylene glycol berkontribusi terhadap
efek hipotensi dan aritmia jantung yang terjadi pada pemberian infus Phenytoin.
Berbeda dengan Phenytoin, Fosphenytoin merupakan prodrug Phenytoin yang
bersifat larut dalam air, sehingga tidak perlu diformulasikan dengan Propylene glycol sebagai
pelarut dan Fosphenytoin memiliki pH 8.6-9 yang memungkinkan Fosphenytoin dapat
diinfuskan dengan lebih cepat hingga 150 mg PE/menit. Dengan demikian, dosis awal 20 mg
PE/kg dapat diberikan pada pasien dengan berat badan 70 kg hanya dalam waktu kurang dari
10 menit. Keuntungan potensial lainnya adalah konsentrasi terapeutik dalam darah cepat
tercapai, risiko dan kejadian efek samping yang serius lebih rendah dibandingkan dengan
Phenytoin. Selain itu, Fosphenytoin dapat digunakan pada pasien dengan kondisi akses
vascular yang sulit (seperti anak-anak, lansia, dan penyalahguna obat intravena). Meskipun
pemberian intramuscular Fosphenytoin mungkindapat digunakan sebagai strategi loading
dose, namun rute ini tidak direkomendasikan pada terapi status epileptikus dikarenakan
terjadinya perlambatan pencapaian konsentrasi terapeutik plasma Phenytoin.58

61 | P a g e

BAB VIII
DAFTAR PRODUK FOSPHENYTOIN YANG BEREDAR DI
DUNIA
A. Produk Fosphenytoin yang Beredar di Dunia
Negara
AmerikaSerikat

Nama Brand (Manufacturer)


Cerebyx (Parke Davis)

Sediaan
danKekuatan
Cairan injeksi75

Keterangan

Dus, 25 Vial @ 2 ml

Prescription

Dus 10 Vial @ 10 ml
-

Prescription
Prescription

Co)
Fosphenytoin Sodium (Agila Speclts)
Fosphenytoin Sodium (Bedford)

Dus, 10 Vial @ 2 ml

Prescription
Prescription

Fosphenytoin Sodium (Fresenius KabiUsa)

Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 25 Vial @ 2 ml

Prescription

Fosphenytoin Sodium

Dus 10 Vial @ 10 ml
-

Prescription

(HikmaFarmaceutica)
Fosphenytoin Sodium (Hikma Maple)
Fosphenytoin Sodium (Luitpold)

Dus, 10/25 Vial @ 2 ml

Prescription
Prescription

Fosphenytoin Sodium (Sun Pharma

Dus 10 Vial @ 10 ml
-

Prescription

Global)
Fosphenytoin Sodium (Wockhardt)

Dus, 25 Vial @ 2 ml

Prescription

Fosphenytoin Sodium (Hospira)

Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 25Vial @ 2 ml

Prescription

Fosphenytoin Sodium (Teva Pharms USA)

Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 25 Vial @ 2 ml

Discontinued

Fosphenytoin Sodium (Apotex INC)

Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 25 Vial @ 2 ml

Discontinued

Prodilantin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Parke Davis)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)

Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml

mg/mL (50 mg
Fosphenytoin Sodium (Agila Speclts)
Fosphenytoin Sodium (Amneal Pharms

Perancis
Irlandia
Denmark
Finlandia
Inggris
Islandia
Norwegia
Swedia

Kemasan

PE/mL)

62 | P a g e

Yunani
Austria
Belanda
Portugal
Spanyol

Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Parke Davis)
Cereneu (Pfizer)

Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 5/10/25 Vial @ 2

ml
Australia
Kanada

Pro-Epanutin (Pfizer)
Cerebyx (Pfizer)

Dus5/10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 25 Vial @ 2 ml

India

Fosentin (Sun)
Fosolin (Zydus/Neuro)
Fosphen (Intas)
Milorgen (RSM KilitchPharma)
Cereneu (Pfizer)

Dus 10 Vial @ 10 ml
Vial2 mldanVial10 ml
Vial2 mldanVial 10 ml
Vial2 mldanVial 10 ml
Vial2 mldanVial 10 ml
-

Thailand
Keterangan:
PE = phenytoin sodium equivalent
Parke Davis adalahanakperusahaan Pfizer

B. Perbandingan Harga Fosphenytoin dengan Phenytoin


No.

Manufacture
r

Sun

Nama

Phenytoin
Sediaandan

Harga

Nama

Brand
-

Kekuatan
Cairan injeksi

Brand
Fosentin

50 mg/mL

Fosphenytoin
Sediaan dan
Kekuatan
Cairan injeksi
75 mg/mL (50
mg PE/mL)

Zydus/Neuro

Epsolin

Vial 2 ml:

Fosolin

12.09 INR
(Rp. 2.518)

Intas

Celetoin

Vial 2 ml:

Fosphen

10.2 INR
(Rp. 2.124)

Pfizer

Dilantin

Vial 2 ml:
13 INR
(Rp.2.708)

Harga
Vial 2 ml:
34.5 INR
(Rp. 7.186)
Vial 10 ml:
151 INR
(Rp. 31.454)
Vial 2 ml:
39.79 INR
(Rp. 8.288)
Vial 10 ml:
185.84 INR
(Rp. 38.712)
Vial 2 ml:
30 INR
(Rp. 6.249)
Vial 10 ml:
175 INR
(Rp. 36.454)
-

Keterangan:
PE = phenytoin sodium equivalent
1 INR = Rp. 208.31

Berdasarkan perbandingan diatas, diketahui bahwa di India, harga produk Fosphenytoin, 3


kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan harga produk Phenytoin (Vial 2 ml: Rp. 6.249
Rp. 8.288 vsRp. 2.124 Rp. 2.708).
C. Kesimpulan

Bentuk sediaan dari produk Fosphenytoin yang beredar di dunia adalah cairan injeksi
75 mg/mL (50 mg PE/mL), dengan kemasan vial 2 ml dan 10 ml.
Di India, harga produk Fosphenytoin 3 kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan
harga produk Phenytoin
63 | P a g e

BAB IX
KESIMPULAN
Fosphenytoin, prodrug Phenytoin yang dapat larut dalam air, telah disetujui untuk
pengobatan status epileptikus sejak 1996 oleh US Food and Drug Administration (FDA) dan
telah dimasukkan ke dalam protokol untuk terapi obat, penilaian umum dan investigasi
darurat dari kejang status epileptikus sebagai fungsi waktu sejak terjadinya kejang menurut
The Finnish Evidence Based Guidelines for Prolonged Seizure and Status Epilepticus pada
tahun 2005. Keuntungan dari Fosphenytoin adalah dapat digunakan untuk mencapai
konsentrasi terapeutik Phenytoin yang lebih cepat daripada infus Phenytoin intravena pada
laju maksimum yang dianjurkan. Fosphenytoin secara cepat dan lengkap dikonversi menjadi
Phenytoin pada orang dewasa setelah pemberian intravena atau intramuskular dan secara
signifikan lebih baik ditoleransi daripada Phenytoin parenteral. Beberapa studi telah
dilakukan pada pasien dengan status epileptikus, dan hasilnya membuktikan bahwa
fosphenytoin sama efektifnya dengan Phenytoin dalam hal respon dan kontrol status
epileptikus.
Fosphenytoin intravena memiliki keuntungan signifikan di atas Phenytoin intravena:
Obat ini membutuhkan waktu yang lebih singkat dan gangguan infus intravena lebih sedikit,
menyebabkan sedikit rasa sakit dan terbakar di lokasi infus dan konsekuensi minimal dalam
kasus infiltrasi intravena, memungkinkan waktu pemeliharaan lebih lama dengan pemberian
intravena, dan memiliki cairan intravena lebih kompatibilitas dan stabilitas yang lebih baik.
Fosphenytoin juga tidak menyebabkan aritmia jantung, namun pada penderita gangguan
ginjal, dosis Fosphenytoin harus dikurangi. Berbeda dengan Phenytoin intramuskular,
64 | P a g e

Fosphenytoin intramuskular ditoleransi dengan baik dengan pemberian dosis awal (loading
dose) besar dan dosis pemeliharaan.
Meskipun sebagian besar dapat mengatasi beberapa masalah utama yang terkait
dengan penggunaan Phenytoin (misalnya, iritasi lokal), namun dari segi ekonomi
Fosphenytoin tergolong mahal dan banyak komite formularium rumah sakit tidak mau
membayar perbedaan harga tersebut.57 Namun, hal tersebut terjawab oleh hasil studi
pharmacoeconomic yang menunjukkan bahwa kejadian efek samping yang sedikit dan
efektifitas pengobatan yang lebih baik menjadi faktor penting pada biaya efektivitas
Fosphenytoin.58

65 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai