Clinical Trial
Clinical Trial
EPILEPSI
A. Definisi
Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan.
Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar belakang adanya
mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan
menyulitkan upaya penanganan terhadap penderita epilepsi dalam kehidupan normal.1
Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi.
Hippokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan
menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di
otak. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di
seluruh dunia.1
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya
serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berulang.
Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan
sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel selotak, bersifat sinkron dan berirama.
Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi
tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang
terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya
kejang atau serangan pada hipoglikemia.3
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan
epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena
lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau
tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di
otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sindrom
epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama
meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.4
3 | Page
ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori
sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi
potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor
GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau
kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama
pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka
semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias
menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan.9
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar
atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2
penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron
eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan.9
Berbagai macam penyakit
dapat
menyebabkan
terjadinya
perubahan
6 | Page
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.11
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan congenital, gangguan neurologik
fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai panduan. Pada anak-anak,
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan pertumbuhan, organomegali
(pembesaran organ secara abnormal), perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.12
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro-ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
7 | Page
Gambar 2. Gambaran EEG pada Epilepsi petit mal atau absence seizure
8 | Page
kepala
merupakan
pemeriksaan
yang
dikenal
dengan
istilah
9 | Page
neuroimaging yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan
struktural di otak dan melengkapi data EEG.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontraindikasi, namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsy dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibandingkan dengan CT
Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil di otak, sklerosis hipokampus,
disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter
yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri.14
d. Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin
dilakukan
terhadap
pasien
epilepsi
dengan
10 | P a g e
BAB III
STATUS EPILEPTIKUS
A. Pendahuluan
11 | P a g e
yang minimal. Gejala awal dapat terjadi mendadak atau perlahan-lahan, lamanya gejala
bervariasi dari beberapa menit, hari atau bulan. Tidak berespon, salah satu gejala yang
harus dipertimbangkan sebagai suatu gambaran dari status absens. Status absens biasanya
khas ditemukan pulihnya kesadaran, yang terlebih dahulu terjadi normalisasi post iktal
secara berangsur-angsur. Menurut sejarah status absens lebih banyak ditemukan daripada
status parsial komplek, tetapi dengan perbaikan dari teknik EEG. Aktifitas cepat (rapid
generalization) dari status parsial komplek pada EEG sering dianggap sebagai status
absens.66
C. Patofisiologi
Pada struktur kortikal tidak semua aktivasi epilepsi berasal dari gangguan
keseimbangan antara pengaruh depolarisasi dan hiperpolarisasi dalam jaringan yang
saling berhubungan dari neuron. Pengaruh-pengaruh ini dapat berkaitan dengan sinaps
atau sifat intrinsik membran sejalan dengan sifat-sifat regulasi ion. Pemahaman yang
paling umum adalah status epileptikus merupakan mekanisme yang mengembangkan
kesinambungan aktifitas epilepsi, disamping kegagalan mekanisme yang menghentikan
aktifitas ini dan mekanisme yang memungkinkan terpeliharanya sejumlah fungsi otak
walaupun aktifitas epilepsi sedang berlangsung.
Mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya serangan berulang ialah
bangkitan epileptiform yang melibatkan sel-sel neuron yang dapat menghasilkan
munculnya aksi potensial lambat. Melalui mediasi ion Na + dan Ca2+ saat berlangsungnya
aktivasi, terutama oleh depolarisasi yang kuat atau berkelanjutan (umpamanya pada saat
serangan berlangsung), di mana semua ini menyebabkan cetusan berulang. Selain itu
faktor sinaptik dan mekanisme non sinaptik mungkin memegang faktor penting pada
kelanjutan aktifitas epilepsi.
Pengaliran ion-ion berhubungan dengan aktifitas dan keterlibatan neuron-neuron
yang mencetuskan bangkitan yang tersebar dalam ruang ekstra seluler, menginduksi
eksitabilitas dari membran neuron sekitarnya melalui efek lapangan medan elektrik.
Kemudian aktifitas neuronal yang kuat menghasilkan fluktuasi ion-ion ektra seluler
terutama ion K+ yang juga cenderung mengimbas pada neuron lain yang berdekatan.
Aktifitas epilepsi sudah diketahui dapat menginduksi suatu kaskade fisiologik dari
neuron-neuron instrinsik dan mekanisme sinaps yang cenderung dapat meredakan
aktifitas, sebagai hasilnya banyak serangan epilepsi yang dapat membaik dengan
13 | P a g e
Gangguan kognisi ringan (gangguan atensi) kesulitan dalam perencanaan dari gerakan
menentukan penyebab lain, seperti riwayat medis, neurologi, psikiatri, riwayat keluarga,
sosial dan riwayat pengobatan merupakan komponen yang sangat penting untuk
menunjang diagnostik.
Kondisi dimana status epileptikus harus dipertimbangkan :68
- Periode post iktal yang memanjang (lebih dari 2 jam) sesudah kejang umum tonik
klonik.
- Perubahan status mental ditandai dengan twitching atau kedip kedip mata atau status
mental yang berfluktuasi.
- Perubahan status mental dimana etiologi tidak dapat ditentukan terutama untuk
pasien yang punya riwayat kejang.
- Perubahan status mental yang tidak dapat diterangkan pada usia lanjut.
- Pasien stroke dimana gejala klinik memburuk tanpa dapat diterangkan penyebabnya.
14 | P a g e
E. Diagnosis
Sekarang ini tidak ada kriteria yang jelas untuk menentukan status epileptikus,
jika diduga terjadi status epileptikus berdasarkan gejala klinik yang terlihat, maka segera
lakukan pemeriksaan EEG untuk konfirmasi diagnosa dan penatalaksaan langsung. Pada
status absens, EEG ditandai dengan aktifitas bangkitan yang kontinyu, ritmik dan bilateral
sinkron, letupan spike wave dengan interval 3 per detik maksimum di daerah bifrontal,
variasi EEG dapat berupa 2-3 per detik spike wave komplek dan juga gelombang lambat,
gelombang paku yang ritmik atau aritmik atau aktifitas poli spike.68 Pada status parsial
komplek ditemukan aktifitas bangkitan yang sinkron dengan perlambatan yang ritmik,
gelombang paku yang ritmik dan gelombang tajam yang ritmik serta gelombang lambat.
Salah satu yang harus diwaspadai dimana gambaran EEG dapat menyokong untuk
ke-2 macam status epileptikus adalah tidak ada gejala patognomosis. Jika EEG dilakukan
pada onset dari bangkitan, dapat ditemukan fokus yang jelas sehingga dapat membedakan
status parsial komplek (CPS) dari status absens (AS). Jika bangkitan umum sekunder
terjadi akibat adanya bangkitan yang dapat menyebar dari CPS yang berlangsung dalam
waktu lama, akan terjadi kesalahan klasifikasi.66
Kriteria EEG dari status epileptikus menurut Epilepsy Research Foundation
Workshop, antara lain adalah
intensitas atau frekuensi dibandingkan dengan EEG dasar yang terjadi secara kontinyu
Lateralisasi periodic bilateral, yang ditandai dengan adanya letupan gelombang
sebelumnya
EEG abnormal secara kontinyu pada pasien dengan epileptik ensefalopati dan juga
ditemukan adanya kelainan yang sama pada inter iktal namun dari segi gejala klinis
lebih mengarah ke status epileptikus
Beberapa contoh gambaran EEG pada pasien dengan status epileptikus adalah sebagai
berikut.
15 | P a g e
Gelombang paku fokal didaerah temporal kanan dan temporal posterior kanan pada anak laki-laki 9 tahun
yang menjadi tidak mau bicara dan kelihatan bingung sesudah mendapat kemoterapi dengan methotrexsat
untuk Akut Limpoblastik Leukemia (ALL) ditemukan juga gelombang lambat delta difus pada hemisfer kiri
Rekaman EEG yang dilakukan sesudah perbaikan klinis, terlihat penurunan jumlah gelombang paku fokal
dan perbaikan dari perlambatan yang difus.
16 | P a g e
Gelombang paku-ombak yang difus yang terjadi secara kontinyu pada anak perempuan usia 7 tahun,
dimana terlihat perubahan tingkah laku sejak 2-3 minggu sebelumnya.
F. Pengobatan
Pada tahun 1993, Epilepsy Foundation of America (EFA) Working Group on Status
Epilepticus menerbitkan pedoman dan protokol pengobatan status epileptikus. Pedoman
dan protokol ini didasarkan pada kajian literatur dan pendapat dari para ahli dan dewan
penasehat professional. Beberapa prinsip pengobatan utama dari pedoman ini masih tetap
berlaku seperti memanfaatkan protokol pengobatan yang disepakati, menyediakan obat
antiepilepsi (AED) secara cepat dan berkala dalam dosis maksimal (mg/kg), dan
mempertimbangkan EEG saat diagnosis gejala non kejang atau kejang status epileptikus
yang harus dihindari.
Protokol ini menyatakan bahwa kedua aktivitas kejang klinis dan electrical seizure harus
dihentikan secara cepat untuk hasil yang optimal. Semakin lama status epileptikus
bertahan, semakin sulit untuk mengontrol dan cedera sistem saraf pusat mungkin terjadi.
Dengan
demikian,
pengobatan
awal
dan
agresif
adalah
pendekatan
yang
direkomendasikan.69,70
Protokol untuk Penangangan Status Epileptikus Menurut Epilepsy Foundation of
-
Kirimkan sample serum untuk dilakukan evaluasi kadar elektrolit, kadar nitrogen
urea dalam darah, kadar glukosa, jumlah sel darah lengkap, gambaran toksisitas
atau IM.
Hubungi laboratorium EEG untuk memulai perekaman secepatnya.
Berikan Lorazepam dengan dosis 0.1-0.15 mg/kg IV (2 mg/menit); jika kejang
masih terjadi, berikan Fosphenytoin dengan dosis 18 mg/kg IV (150 mg/menit,
tekanan darah dan pernafasan. Jaga tekanan darah dengan pressor jika perlu.
Atau, berikan Midazolam dosis 0.2 mg/kg, lanjutkan dengan dosis 0.75-10
Protokol untuk Terapi obat, penilaian umum dan investigasi darurat dari kejang status epileptikus
sebagai fungsi waktu sejak terjadinya kejang menurut The Finnish Evidence Based Guidelines for
Prolonged Seizure and Status Epilepticus
Tahap premonitory/rawat jalan
Waktu
5
menit
Terapi Obat
Dewasa :
Diazepam 10 mg melalui
Anak-anak :
Diazepam 0.5 mg/kg
rektal
melalui rektal
Ulangi sekali lagi jika perlu. Jika kejang berlanjut,
Penilaian umum
Investigasi
darurat
Airway, pernafasan,
sirkulasi dan
Glukometer
keamanan
18 | P a g e
5-20
IV atau Diazepam 10 mg
IV
(maks. 10 mg) IV
menit
monitoring EEG,
epileptikus
Glukosa, Na, K,
Ca, CRP,
Astrup level of
AED, gambaran
toksikologi, tes
fungsi hati dan
ginjal
20-60
menit
pernafasan dan
monitoring EEG,
tekanan darah, SpO3,
pressor.
CT scan untuk
etiologi
CSF untuk
infeksi sistem
saraf pusat
EEG untuk
pseudostatus
Anestesi umum
InjeksiThiopental
3-5
mg/kg/jam atau
Pentobarbital 10-15
mg/kg,
mg/kg,
kemudian
kemudian
3-5
0.5-1
mg/kg/jam
Penanganan intensif,
Pemantauan
EEG,
hemodinamik
Tekanan intracranial
electrographic
meningkat, jika
seizures, depth
of anesthesia
Astrup, K, Na,
glukosa, lactate,
levels of AEDs
1.
Dirujuk ke ICU
Pemberian obat anastesi seperti Midazolam (0.2 mg/kg IV, diikuti dengan
infus secara berkala dengan laju 0.05-0.4 mg/kg/jam); Propofol (dosis awal : 2-3
mg/kg IV diikuti dengan injeksi lebih lanjut 1-2 mg/kg hingga kejang terkontrol,
kemudian lanjutkan dengan infus 4-10 mg/kg/jam) or Barbiturates (Thiopental,
dosis awal 3-5 mg/kg, dilanjutkan dengan injeksi 1-2 mg/kg setiap 2-3 menit
hingga kejang terkontrol, kemudian lanjutkan dengan infus secara berkala dengan
laju 3-7 mg/kg/jam) untuk GCSE dan subtle status epileptikus
BAB IV
PHENYTOIN
20 | P a g e
A. Sejarah Phenytoin
Phenytoin (5,5-diphenylimidazolidine-2,4-dione) pertama kali disintesis tahun 1908 oleh
Heirich Biltz, seorang ahli kimia berkebangsaan Jerman. Biltz menjual penemuannya ke
Parke-Davis, namun tidak menemukan kegunaan langsung dari obat tersebut. Ilmuwan
lain termasuk Houston Merritt dan Tracy Putnam di tahun 1938 menemukan kegunaan
Phenytoin untuk mengendalikan serangan epilepsi grandmal dan psikomotor pada
penelitian mereka pada manusia.15
B. Fisikokimia Phenytoin
Sifat-sifat Phenytoin mirip dengan Barbiturat. Phenytoin merupakan amida siklik
dengan pKa 8,3. Anion menjadi stabil dengan resonansi muatan negatif ke oksigen dari
gugus karbonil dan obat ini biasanya digunakan sebagai garam sodium untuk
meningkatkan kelarutan dalam air. Secara keseluruhan nama ilmiah Phenytoin adalah 5,5diphenylimidazolidine-2,4-dione.16
menyerap karbondioksida, tidak berbau, tidak berasa. Dapat larut dalam air dan
alkohol; praktis tidak larut dalam kloroform, eter dan diklorometan.17,18
C. Farmakologi
Phenytoin adalah obat anti konvulsan yang dapat digunakan dalam pengobatan
epilepsi tonik-klonik. Lokasi utama aksi primer Phenytoin adalah di korteks motorik di
mana penyebaran aktivitas kejang dihambat. Dengan melepaskan sodium dari neuron,
Phenytoin cenderung untuk menstabilkan ambang rangsang terhadap hyperexcitability
yang disebabkan oleh stimulasi yang berlebihan atau perubahan lingkungan yang mampu
mengurangi gradien membran sodium. Ini termasuk pengurangan potensiasi posttetanic
pada sinapsis. Kehilangan potensiasi posttetanic dapat mencegah tekanan kejang kortikal
dari letupan di daerah kortikal yang berdekatan. Phenytoin mengurangi aktivitas
maksimal di pusat batang otak yang bertanggung jawab dalam fase tonik pada kejang
tonik-klonik (grand mal).19
Farmakodinamik
Terdapat dua mekanisme antikonvulsan yang penting yaitu mencegah timbulnya
letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus epilepsi dan mencegah
terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi.19
Mekanisme kerja obat antiepilepsi hanya sedikit yang dapat dimengerti secara
baik. Berbagai obat antiepilepsi diketahui dapat mempengaruhi berbagai fungsi
neurofisiologi otak, terutama yang mempengaruhi system inhibisi yang melibatkan
GABA dalam mekanisme kerja berbagai antiepilepsi.19
Obat golongan Hydantoin dikenal tiga senyawa antikonvulsan yaitu Phenytoin
(Diphenylhydantoin), Mephenytoin, dan Etotoin, dimana Phenytoin sebagai prototype.
Phenytoin adalah obat utama yang sering digunakan untuk hampir semua jenis epilepsi
(kecuali bangkitan lena), adanya gugus fenil atau aromatic lainnya pada atom C 1 berperan
penting dalam efek pengendalian bangkitan tonik-klonik, sedangkan gugus alkil berkaitan
dengan efek sedasinya. Adanya gugus metil pada atom N3 dapat mengubah spektrum
aktivitas misalnya Mephenytoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati
menghasilkan metabolit yang tidak aktif.19
Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara
sempurna oleh obat Phenytoin, sedangkan gejala aura sensorik dan gejala prodromal
lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh Phenytoin.19
Phenytoin dimetabolisme di hepar oleh enzim mikromosal, oleh karena itu, obat
lain yang berpengaruh terhadap enzim tersebut dapat mengubah kadar Phenytoin dalam
22 | P a g e
plasma, baik secara kompetitif maupun yang dimetabolisme oleh enzim yang sama, atau
justru obat yang memacu enzim mikromosal.19,20
Adanya gangguan fungsi hepar merupakan prediposisi untuk terjadinya interaksi
obat Phenytoin. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka faktor renal menjadi faktor yang
tidak penting karena sebagian besar obat dimetabolisme di hepar. Kadar Phenytoin pada
penderita uremia kronik menjadi tinggi, dan waktu paruhnya menjadi lebih panjang.19,20
Cara kerja utama Phenytoin pada epilepsi adalah memblokade pergerakan ion
melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na + yang tersisa maupun aliran ion
Na+ yang mengalir selama penyebaran potensial aksi, selain itu Phenytoin memblokade
dan mencegah potensiasi posttetanic, membatasi perkembangan aktivitas serangan yang
maksimal dan mengurangi penyebaran serangan. Phenytoin berefek sebagai stabilisasi
pada semua membran neuronal, termasuk saraf perifer dan mungkin bekerja pada
membrane yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang non eksitabel.21
Phenytoin juga dapat menghambat kanal Calsium (Ca2 +) dan menunda aktivasi
aliran ion K+ keluar selama potensial aksi, sehingga menyebabkan kenaikan periode
refractory dan menurunnya cetusan ulang.21
23 | P a g e
Farmakokinetik
a. Absorbsi
Absorpsi Phenytoin tergantung pada cara pemberian, seperti oral atau
parenteral. Absorpsi Phenytoin di dalam lambung sangat sedikit karena Phenytoin
bersifat tidak larut dalam cairan lambung yang bersifat asam, sehingga absorbsi
Phenytoin oral berlangsung lambat dan tidak lengkap. Oleh karena itu, pemberian
10% dosis Phenytoin secara oral dieksresikan melalui feses dalam bentuk utuh.
Phenytoin mudah larut dalam duodenum yang memiliki pH 7-7,5, sehingga pada
duodenum Phenytoin dapat diabsorpsi dengan sempurna. Kadar puncak pemberian
Phenytoin oral dicapai dalam 4-8 jam setelah pemberian obat.
Pemberian dosis awal Phenytoin secara parenteral, diberikan dengan dosis
600-800 mg, dalam dosis terbagi antara 8-12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai
dalam waktu 24 jam. Pemberian Phenytoin secara intramuscular (IM) menyebabkan
Phenytoin mengendap di tempat penyuntikan sekitar 5 hari, dan absorpsinya
berlangsung lambat daripada pemberian oral. Hal tersebut disebabkan karena
kelarutan Phenytoin dalam air sedikit sehingga terbentuk Kristal Phenytoin di dalam
otot.
Waktu paruh dalam plasma setelah pemberian intravena (IV) berkisar antara
10 sampai 15 jam. Kontrol optimal tanpa adanya tanda toksisitas klinis paling sering
terjadi pada tingkat serum antara 10 dan 20 mcg/mL. Pemberian secara IV merupakan
rute yang paling disukai untuk menghasilkan level serum terapeutik yang cepat.
Ketika administrasi IM mungkin diperlukan, dosis yang cukup harus diberikan
untuk mempertahankan kadar obat dalam plasma berada pada rentang terapeutik.
Dimana sediaan oral dilanjutkan setelah penggunaan intramuskular, dosis oral harus
benar-benar
disesuaikan
untuk
mengkompensasi
penyerapan
yang
lambat,
24 | P a g e
Pengikatan Phenytoin oleh protein, terutama oleh albumin adalah 90%. Pada
orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita yang menggunakan obat kontrasepsi
oral, fraksi bebas Phenytoin sekitar 10%, sedangkan telah diketahui bahwa efek
farmakologis Phenytoin bergantung pada bentuk bebasnya. Pasien dengan penyakit
ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan pada neonatal, fraksi bebasnya
kira-kira di atas 15%. Pada pasien epilepsi, fraksi bebas berkisar antara 5,8
12,6%.19,20
Distribusi obat ke berbagai bagian tubuh tidak sama, misalnya konsentrasi
Phenytoin di otak sekitar 1-3 kali dari konsentrasi Phenytoin dalam plasma. Juga
diketahui bahwa beberapa obat yang mempunyai sifat yang sama dengan Phenytoin ,
yaitu terikat dengan protein plasma, apabila obat tersebut diminum bersama dengan
Phenytoin, maka akan terjadi kompetisi untuk mengikat albumin, tergantung pada
afinitas obat terhadap albumin mana yang lebih kuat. Keadaan ini mengakibatkan
peningkatan bentuk bebas dari Phenytoin akibat ikatan dengan albumin telah diduduki
oleh obat lain. Obat-obat tersebut antara lain : Thyroxine, Triiodothyronine, Salicylic
acid, Phenylbutazone, Sulphafurazole, Cumarin, dan Azetazolamide.19,20
Volume distribusi Phenytoin kurang lebih 64% dari berat badan, tapi sekitar 7
kali lebih besar bila dihitung dengan kadar obat bebas. Waktu paruh pemberian
Phenytoin oral 18-24 jam sedangkan untuk mencapai kadar optimal (steady state)
adalah 5-10 hari.19,20
Phenytoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya dapat bertahan
lebih lama, namun mula kerja lebih lambat daripada Phenobarbital. Biotransformasi
terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati (enzymes
CYP2C9 and CYP2C19) di cytochrome P450. Hasil metabolitnya berupa
parahidrobutanil
yang
sudah
tidak
mempunyai
kh
26 | P a g e
Pada orang dewasa, dosis awal (loading dose) adalah sekitar 10 sampai 15 mg/kg
harus diberikan perlahan-lahan secara intravena, dan tidak lebih dari 50 mg per menit
(dibutuhkan sekitar 20 menit pada pasien 70 kg). Dosis awal harus diikuti dengan dosis
pemeliharaan sekitar 100 mg secara oral atau intravena setiap 6-8 jam.
Pada anak-anak, dosis awal (loading dose) sekitar 15-20 mg/kg secara IV akan
menghasilkan konsentrasi Phenytoin plasma dalam kisaran terapeutik yang umumnya
berlaku (10-20 mcg/mL). Obat harus disuntikkan perlahan secara intravena pada tingkat
dosis tidak melebihi 1-3 mg/kg/menit atau 50 mg per menit, pilih mana yang lebih
rendah.
Pemberian intramuskular tidak boleh digunakan dalam pengobatan status
epileptikus karena pencapaian kadar plasma puncak mungkin memerlukan waktu hingga
24 jam. Selain itu Phenytoin tidak boleh diberikan secara intramuskular karena risiko
nekrosis, pembentukan abses, dan penyerapan tidak menentu. Jika administrasi
intramuskular diperlukan, kompensasi penyesuaian dosis yang diperlukan untuk
mempertahankan kadar plasma terapeutik, yaitu 50% lebih besar dari dosis oral untuk
mempertahankan tingkat ini. Ketika kembali ke pemberian oral, dosis harus dikurangi
menjadi 50% dari dosis oral awal selama satu minggu untuk mencegah kadar plasma
yang berlebihan karena sustained realease dari bagian jaringan intramuskular.
Pemantauan kadar plasma akan membantu mencegah kadar plasma jatuh ke
kisaran
subterapeutik.
Penentuan
kadar
serum
darah
sangat
membantu
bila
27 | P a g e
Phenytoin dapat menyebabkan reduksi kadar asam folat, dan menyebabkan pasien
menderita anemia megaloblastik.19
Sistem jaringan lunak
Struktur kulit wajah menjadi kasar, pembesaran bibir, hypertrikosis, penyronies
grave.19
Sistem saraf pusat
Kebanyakan manifestasi yang ditemui akibat terapi pemberian Phenytoin adalah
kemampuannya menembus system saraf pusat dan umunya berkaitan dengan dosis
seperti nigtamus, ataksia, bicara kacau, penurunan koordinasi, gangguan mental,
pusing, insomnia, ketakutan, kejang, dan nyeri kepala. Jarang dilaporkan bahwa
Phenytoin menyebabkan induced dyskinesia, termasuk khorea, distonia, tremor
dan asteriksis karena hal tersebut mungkin diinduksi oleh fenotiazin dan obat
neuroleptik lainnya.19
Sistem haemopoetik
Trombositopenia, leucopenia, granulositopenia, agranulositosis, dan pansitopenia
dengan atau tanpa supresi sumsum tulang. Sedangkan anemia makrositik dan
Selain
itu,
pernah
dilaporkan
beberapa
orang
yang
Route
Test Type
Value
Units
Species
28 | P a g e
Phenytoin
Oral
Oral
IV
IM
Oral
LD50
LD50
LD50
LD50
LD50
150
1635
96
>37
>3000
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Mouse
Rat
Rat
Rat
Rabbit
mg/kg
*) Simbol lebih besar dari (>) menunjukkan bahwa endpoint toksisitas yang diujikan tidak dapat dicapai
pada dosis tertinggi yang diujikan.
Phenytoin sodium24
Ingredient(s)
Phenytoin sodium
Route
Oral
Oral
IV
IM
Test Type
LD50
LD50
LD50
LD50
Value
165
1530
90
98
Units
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Species
Mouse
Rat
Rat
Mouse
mg/kg
Efek Reproduktif
Phenytoin merupakan teratogen pada tikus, mencit, dan kelinci. Hari ke-12 dan ke-13
adalah periode kritis untuk induksi teratogenitas di CD-1 mencit. Phenytoin tidak
besifat teratogenik pada anjing atau kucing. Phenytoin bersifat fetotoxic, tapi tidak
teratogenik, pada monyet pada dosis di mana maternal toxicity terlihat.25
Mutagenisitas
Telah dilaporkan Phenytoin yang diinduksikan pada micronukleus tikus dengan dosis
intravena 500 atau 1000 mcg/kg. Dalam laporan lain, Phenytoin tidak aktif untuk
menginduksi mutasi kromosom dalam sel ovarium hamster ras Cina. Phenytoin juga
tidak aktif untuk menginduksi mutasi kromosom pada sel-sel sumsum tulang mencit
yang disuntik dengan Phenytoin dosis tinggi 500 mg/kg. Tidak ada peningkatan
mutasi kromosom yang terlihat pada pasien epilepsi yang menerima Phenytoin jangka
panjang atau terapi Primidone. Tidak ada peningkatan pertukaran kromatid yang
terlihat pada limfosit pasien epilepsi yang menerima Phenytoin sebagai monoterapi
dibandingkan dengan kontrol yang sehat.25
Karsinogenisitas
Peningkatan risiko untuk penyakit Hodgkins, lymphosarcoma, dan sarkoma sel
retikulum telah terlihat pada pasien yang menerima terapi Phenytoin. Phenytoin
sodium menginduksi thymic lymphomas pada tikus betina ketika diberikan dalam
tingkat dosis 60 mg/kg berat badan/hari selama 168 hari. Thymic dan limfoma
29 | P a g e
mesenterik dan leukemia diinduksi pada tikus dengan dosis intraperitoneal 0,6
mg/hewan/hari selama 66 hari. Phenytoin tidak karsinogenik pada tikus ketika
diberikan pada tingkat dosis 0,025 atau 0,05% selama 2 tahun. Phenytoin juga tidak
karsinogenik pada mencit pada tingkat dosis 0,006 atau 0,12% selama 78 minggu.
Phenytoin merupakan terdaftar sebagai karsinogen IARC dan NTP.25
BAB V
FOSPHENYTOIN
A. Sejarah Fosphenytoin
Fosphenytoin adalah prodrug ester fosfat Phenytoin yang dikembangkan untuk
mengatasi keterbatasan yang terkait dengan penggunaan sediaan parenteral Phenytoin.
Fosphenytoin disetujui pada tahun 1996, Fosphenytoin (Cerebyx, Eisai, Teaneck, NJ)
yang saat itu diindikasikan untuk mengontrol kondisi generalized convulsive status
epilepticus (GCSE), dan untuk pencegahan dan mengobati kejang yang terjadi selama
bedah saraf ketika penggunaan Phenytoin intravena dan oral tidak memungkinkan.
Pada salah satu daerah tertentu di AS lebih tertarik untuk menggunakan
Fosphenytoin pada populasi pasien yang beresiko terhadap efek samping akibat
pemakaian sediaan parenteral Phenytoin. Pada tahun 1999, sebuah lembaga multi-disiplin
bidang farmasi dan neurologi khusus epilepsi menerbitkan pedoman yang telah disepakati
untuk penggunaan produk Phenytoin parenteral pada kondisi non darurat. Pedoman ini
secara deskriptif menganjurkan Fosphenytoin sebagai metode pilihan dari Phenytoin
parenteral yang diberikan pada populasi pasien yang berisiko tinggi, terutama pasien
pediatrik, pasien usia lanjut, pasien hemodinamik non stabil, dan pasien tidak memiliki
akses pemberian IV.
Daerah lain tertarik untuk menggunakan Fosphenytoin dalam pengelolaan GCSE.
Dalam sebuah survei pada tahun 2003 yang didominasi oleh ahli saraf di AS, 95%
(101/106) dari responden setuju bahwa Phenytoin adalah pilihan pengobatan lini kedua
untuk GCSE setelah pemberian rapid-acting Benzodiazepine. Enam puluh lima persen
dari responden tersebut memilih Fosphenytoin atas Phenytoin sebagai metode pilihan
pemberian Phenytoin.26
B. Fisikokimia Fosphenytoin
Fosphenytoin adalah prodrug dari Phenytoin yang secara cepat dihidrolisis
menjadi phenytoin setelah pemberian IV atau IM; metabolit aktifnya adalah Phenytoin.
30 | P a g e
Berat molekul Fosphenytoin adalah 406,24. Nama kimia Fosphenytoin adalah 5,5difenil- 3[(phosphonooxy)metil]- 2,4
Fosphenytoin adalah :
bertanggung
jawab
atas
aksi
31 | P a g e
Farmakokinetik
a. Absorpsi/Bioavailabilitas
Intravena : Ketika Fosphenytoin diberikan melalui infus IV, konsentrasi plasma
maksimum Fosphenytoin dicapai pada akhir infus. Fosphenytoin memiliki waktu
paruh sekitar 15 menit.
Intramuskular : Fosphenytoin mencapai bioavailabilitas sempurna setelah pemberian
Fosphenytoin secara IM. Konsentrasi puncak terjadi sekitar 30 menit setelah
pemberian obat. Konsentrasi plasma Fosphenytoin setelah pemberian IM lebih rendah
tetapi lebih berkelanjutan (sustained) daripada mereka setelah pemberian IV karena
dibutuhkan waktu untuk penyerapan Fosphenytoin dari tempat penyuntikan.29
b. Distribusi
Fosphenytoin secara ekstensif terikat (95% sampai 99%) dengan protein
plasma manusia, terutama albumin. Ikatan protein plasma bersifat saturable dengan
hasil dimana persen ikatan menurun ketika konsentrasi total Fosphenytoin meningkat.
Fosphenytoin menggantikan Phenytoin dari tempat ikatan protein. Volume distribusi
Fosphenytoin meningkat seiring dengan dosis dan laju Fosphenytoin, yang berkisar
antara 4,3-10,8 liter.29
c. Metabolisme dan Eliminasi
Waktu paruh konversi Fosphenytoin menjadi Phenytoin adalah sekitar 15
menit. Mekanisme konversi Fosphenytoin belum diketahui, namun fosfatase mungkin
memainkan peran utama dalam proses tersebut.
Fosphenytoin tidak diekskresikan melalui urin. Setiap mmol Fosphenytoin
dimetabolisme menjadi 1 mmol Phenytoin. Efek farmakologi dan toksikologi
Fosphenytoin termasuk efek dari Phenytoin sendiri. Namun, hidrolisis Fosphenytoin
menjadi Phenytoin menghasilkan dua metabolit, yaitu fosfat dan formaldehida.
Formaldehida kemudian diubah menjadi formate, yang kemudian dimetabolisme
melalui mekanisme folate-dependent. Meskipun fosfat dan formaldehida (formate)
memiliki efek potensial biologis yang penting, efek ini secara khusus terjadi pada
konsentrasi yang lebih signifikan dari yang diperoleh saat Fosphenytoin sodium
injeksi diberikan dalam kondisi tertentu sesuai dengan yang direkomendasikan.29
Secara umum, pemberian IM dari Fosphenytoin menghasilkan konsentrasi Phenytoin
sistemik yang cukup mirip dengan Phenytoin sodium oral yang memungkinkan
32 | P a g e
D. Dosis
Fosphenytoin diberikan sebagai garam sodium dan dosis Fosphenytoin sodium
dinyatakan setara dengan Phenytoin sodium (PE); karena itu tidak ada penyesuaian dosis
yang diperlukan ketika mengganti Fosphenytoin ke Phenytoin atau sebaliknya.
Fosphenytoin dapat diberikan melalui injeksi intramuskular atau infus intravena; rute
pemberian pada anak-anak hanya direkomendasikan secara intravena.27
33 | P a g e
34 | P a g e
menggantikan Phenytoin oral dalam pengobatan epilepsi. Obat ini diberikan melalui infus
intravena dan dosis yang dinyatakan sebagai setara fenitoin natrium (PE). 27,73,74
Dalam pengobatan status epileptikus tonik-klonik, Dosis awal (loading dose)
Fosphenytoin adalah 15 mg PE/kg diberikan sebagai dosis tunggal dengan kecepatan 2
sampai 3 mg PE/kg per menit; Namun, menurut The British National Formulary for
Children memungkinkan hingga 20 mg PE/kg. 27,74
Dalam pengobatan atau pencegahan kejang selain status epileptikus, dosis awal
(loading dose) Fosphenytoin adalah 10 sampai 15 mg PE/kg diberikan sebagai dosis
tunggal dengan kecepatan 1 sampai 2 mg PE/kg per menit. Kadar maksimum pada
pemberian dosis awal infus adalah 3 mg PE/kg per menit atau 150 mg PE/menit dan tidak
boleh melebihi. Dosis pemeliharaan awal pada status epileptikus dan kejang lainnya 4
sampai 5 mg PE/kg/hari diberikan dalam 1 sampai 4 dosis terbagi dengan kecepatan 1
sampai 2 mg PE/kg per menit, tidak melebihi dari 100 mg PE/menit. Dosis berikutnya
tergantung pada respon pasien dan konsentrasi plasma Phenytoin. 27,74
Fosphenytoin diberikan dengan kecepatan 1 sampai 2 mg PE/kg per menit, tidak
lebih dari 50 sampai 100 mg PE/menit, dan bisa diganti dengan Phenytoin oral sesuai
dengan jumlah dosis harian yang setara hingga 5 hari. 27
35 | P a g e
E. Efek Samping
Sistem Saraf Pusat : Pusing, mengantuk, nystagmus, agitasi, edema otak, sakit kepala,
pingsan, vertigo.
Gangguan pada Mata, Telinga, Hidung, dan Tenggorokan : Amblyopia, tuli, diplopia,
tinnitus.
Kardiovaskular : Hipotensi (dengan pemberian IV cepat), takikardia.
Gastrointestinal : Mulut kering, mual, rasa penyimpangan, gangguan lidah, muntah.
Jaringan Kulit : Pruritus, purple glove syndrome, ruam, Stevens-Johnson syndrome,
F. Toksikologi
Toksisitas akut 30
Ingredient(s)
Fosphenytoin
sodium
Route
IV
IV
IV
Test Type
LD50
LD50
LD50 (bolus)
Value
234
363
319.2
Units
mg/kg
mg/kg
Species
Mencit
Tikus
Tikus
mg/kg
Karsinogenesis, Mutagenesis, Penurunan fertilitas
Potensi karsinogenik dari fosphenytoin belum diteliti.
Frekuensi kelainan struktural kromosom pada sel paru-paru hamster ras cina V79
meningkat akibat paparan Fosphenytoin dengan adanya aktivasi metabolik. Tidak ada
bukti terjadinya mutagenisitas yang diamati pada bakteri (uji Ames) atau sel paru-paru
hamster ras cina secara in vitro, dan tidak ada bukti aktivitas clastogenic yang diamati
dalam uji mikronukleus sumsum tulang tikus secara in vivo. Tidak ada efek pada fertilitas
yang tercatat pada tikus dari kedua jenis kelamin yang diberikan Fosphenytoin. Toksisitas
maternal dan siklus estrus berubah, delayed mating, waktu kehamilan diperpanjang, dan
toksisitas pada masa pertumbuhan yang diamati setelah pemberian Fosphenytoin pada
saat kawin, kehamilan, dan menyusui dengan dosis 50 mg PE/kg atau lebih tinggi (sekitar
40% dari dosis awal maksimum manusia atau lebih tinggi berdasarkan mg/m2).29
BAB VI
STUDI KLINIS PERBANDINGAN FOSPHENYTOIN VS
PHENYTOIN
Laporan Studi Pre Klinis
Effect of Fosphenytoin on Nerve Agent-Induced Status Epilepticus (McDonough JH,
Benjamin A. McMonagle JD, Rowland T et al, 2004)
37 | P a g e
Studi ini mengevaluasi efektivitas Fosphenytoin sebagai obat antikonvulsan tunggal atau
tambahan untuk pengobatan status epileptikus pada Guinea pig, yang telah diimplan
dengan cortikal electroencephalographic (EEG) recording electrodes, yang sebelumnya
telah diterapi dengan Pyridostigmine bromida (0.026 mg/kg, intramuskular (im)) 30 menit
sebelum diubah menjadi 56 mikrogram/kg, subkutan (sc), (2 x LD50) dari agen saraf
soman. Satu menit setelah soman, hewan-hewan tersebut diterapi dengan 2 mg/kg
Atropine sulfate (IM) dicampur dengan 25 mg/kg oxime 2-pralidoxime chloride, dan
EEG diamati untuk melihat onset kejang. Ketika diberikan terapi (intraperitoneal, ip) 5
menit setelah onset kejang, hanya Fosphenytoin dosis tertinggi (180 mg/kg) yang mampu
menghentikan aktivitas kejang pada 50% dari hewan yang diuji (3 dari 6). Ketika
Fosphenytoin (18-180 mg/kg) diberikan sebagai terapi awal, secara intraperitoneal pada
30 menit sebelum pemberian soman, kejang dihentikan sesuai dengan urutan dosis (ED50
= 61,8 mg/kg; 40.5-94.7 mg/kg, dengan tingkat kepercayaan 95%). Kombinasi Diazepam
dan Fosphenytoin juga diuji efektivitasnya. Dosis Fosphenytoin (18-56 mg/kg), yang
diberikan bersamaan dengan dosis tetap Diazepam (4,8 mg/kg, i.m) 5 menit setelah onset
kejang, dapat meningkatkan efek antikonvulsan Diazepam. Ketika Fosphenytoin (18 atau
32 mg/kg, i.p) diberikan sebagai terapi awal dan Diazepam diberikan 5 menit setelah
onset kejang, dosis Fosphenytoin 32 mg/kg secara signifikan dapat mengurangi waktu
kontrol kejang. Studi ini menunjukkan bahwa Fosphenytoin, baik tunggal atau dalam
kombinasi dengan Diazepam, memiliki efektivitas antikonvulsan terapi untuk status
epileptikus.
Pharmacokinetics
of
Phenytoin
following
Intravenous
and
Intramuscular
dalam waktu satu jam dari persiapan larutan, dan penggunaan in line filter 5-microns.
Semua pasien dimonitor untuk pemantauan efek samping dan EKG secara terus
menerus. Analisis data klinis sebelum dan segera setelah infus Phenytoin
menunjukkan perubahan yang tidak signifikan secara statistik pada tekanan darah dan
penurunan kecil tapi signifikan pada denyut jantung rata-rata. Tidak ada kasus
hipotensi, aritmia, bradikardia, atau flebitis. Tercatat adanya kejadian tunggal
hipertensi, nistagmus, dan nyeri pada tempat penyuntikan IV. Dapat disimpulkan
bahwa pemberian infus Phenytoin dalam larutan 0,9% injeksi natrium klorida aman.
Penggunaan pedoman tertulis yang disetujui untuk mengatur faktor-faktor penting
dari persiapan dan pemberian sangat dianjurkan.
40 | P a g e
Rapid Infusion of Phenytoin sodium Loading Doses (Salem RB, Wilder BJ et al,
1981)
Penggunaan infus cepat Phenytoin sodium untuk mencapai konsentrasi plasma
terapeutik Phenytoin secara telah cepat dipelajari pada pasien epilepsi dewasa. Enam
pasien dewasa yang mengalami riwayat kejang tonik-klonik dipilih untuk diujikan.
Empat dari mereka tidak diobati dengan Phenytoin sebelum studi; dua pasien sisa nya
menggunakan terapi kronis Phenytoin tetapi memiliki kadar serum subterapeutik.
Dosis awal (loading dose) Phenytoin sodium (15 mg/kg dalam 100 ml 0,9% larutan
41 | P a g e
injeksi natrium klorida) diinfuskan selama 30-50 mg/min. Sampel darah diambil
sebelum pemberian Phenytoin, setiap lima menit selama infus, dan pada 1, 2, 4, 8, 12,
18, dan 24 jam setelah selesai infus. Efek samping dipantau selama pemberian infus.
Variabel farmakokinetik dihitung. Pasien menerima 750-1500 mg Phenytoin sodium
(mean SD = 1040,8 297,3 mg). Dari 5 sampai 30 menit yang dibutuhkan untuk
mencapai (10-20 mikrogram/ml) konsentrasi serum terapeutik Phenytoin; konsentrasi
memuncak pada 31,1 10,0 mikrogram/ml. Empat dari enam pasien mencapai
konsentrasi serum terapeutik pada 18 jam setelah selesai infus. Efek samping yang
terjadi sedikit dan tidak parah; dicatat adanya kardiotoksisitas. Waktu paruh Phenytoin
sekitar 31,2 8,4 jam, klirens plasma total adalah 47,2 10,7 ml/kg/jam, dan volume
distribusi berkisar 1,96 0,46 liter/kg. Dapat disimpulkan bahwa pemberian infus
Phenytoin intravena secara cepat tampaknya menjadi metode yang cukup aman dan
efektif untuk menjangkau konsentrasi terapeutik Phenytoin dengan cepat.
B. Laporan Studi Klinis Fosphenytoin
42 | P a g e
yang lebih singkat dan gangguan infus intravena lebih sedikit, menyebabkan sedikit
rasa sakit dan terbakar di lokasi infus dan konsekuensi minimal dalam kasus infiltrasi
intravena, memungkinkan waktu pemeliharaan lebih lama dengan pemberian
intravena, dan memiliki cairan intravena lebih kompatibilitas dan stabilitas yang lebih
baik. Berbeda dengan Phenytoin intramuskular, Fosphenytoin intramuskular
ditoleransi dengan baik dengan pemberian dosis awal (loading dose) besar dan dosis
pemeliharaan.
44 | P a g e
suntikan saline volume sebesar FPHT (hingga 19,5 ml); separuh lainnya menerima 2
ml saline. Pemeriksaan neurologis, tanda-tanda vital, sampel darah PHT, pemeriksaan
di tempat penyuntikan, dan skor nyeri secara subjektif di tempat penyuntikan yang
diperoleh sebelum dan pada interval waktu selama 6 jam.
Hasil : Konsentrasi serum total PHT 10 g/ml diperoleh selama 5 menit pada 14.3%
pasien dan pada 26.3% pasien setelah 10 menit. Lebih dari separuh pasien mencapai
konsentrasi serum terapeutik dalam 30 menit; 45.8% pasien dilaporkan tidak
merasakan nyeri pada tempat penyuntikan baik dengan FPHT maupun saline. Tidak
ada perbedaan nyeri yang signifikan di antara tempat penyuntikan FPHT dan saline
dalam 60 menit dan setelahnya. Penurunan awal tekanan darah terjadi tetapi tidak
signifikan secara klinis. Efek samping klasik akibat induksi Phenytoin pada sistem
saraf pusat terjadi pada sepertiga pasien dalam waktu 1 jam setelah injeksi.
Kesimpulan : FPHT IM secara cepat diabsorbsi (kadar terapeutik tercapai sedini
mungkin sekitar 5-20 menit. FPHT IM dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian
besar pasien terlepas dari volume penyuntikan.
C. Laporan Studi Klinis Fosphenytoin vs Phenytoin
Bioavailability of Intravenous Fosphenytoin sodium in Healhty Japanese
Volunteers (Yushi Inoue et al, 2013)
Untuk membandingkan dan mengevaluasi bioavailabilitas dari Fosphenytoin sodium
intravena dengan Phenytoin sodium intravena pada subyek di daerah Jepang. Dalam
studi I, relawan laki-laki Jepang yang sehat menerima infus 375 mg Fosphenytoin
sodium selama 30 menit atau dosis molar yang sama dengan 250 mg Phenytoin
dengan metode uji double-blind, crossover. Dalam studi II, relawan laki-laki Jepang
yang sehat lainnya menerima infus 563 mg Fosphenytoin sodium selama 30-menit
atau 10-menit, diikuti dengan dosis 750 mg setelah 2 minggu secara unblinded.
Dibandingkan dengan 250 mg Phenytoin sodium, 375 mg Fosphenytoin sodium
menunjukkan Cmax Total Phenytoin plasma lebih rendah, sedangkan rasio rata-rata
geometris dari AUC total dan Phenytoin bebas untuk Fosphenytoin sodium dengan
dosis 375 mg sangat mirip dengan Phenytoin sodium dengan dosis equimolar 250 mg
(AUC0-t rasio : 0,98 dan 1,02, masing-masing). Oleh karena itu, Fosphenytoin hampir
sepenuhnya dikonversi menjadi Phenytoin. Fosphenytoin sodium dengan cepat
dikonversi menjadi Phenytoin pada dosis 375, 563, dan 750 mg. Konsentrasi
maksimum (Cmax) total Phenytoin plasma meningkat seiiring dengan dosis. Area di
45 | P a g e
16). Status epileptikus yang dapat dikendalikan hanya 36% (4/11) dengan fenitoin iv,
44% (7/16), dengan fosphenytoin i.v. dan 64% (7/11) dengan fosphenytoin i.m.
Parameter kardiovaskular dan aliran darah MCA tidak terpengaruh oleh pemberian
Phenytoin.
Kesimpulan
Pemberian
Phenytoin
dan
Fosphenytoin
pada
dosis
yang
Penggunaan klinis prodrug Phenytoin yang larut dalam air ini harus meminimalkan
frekuensi dan tingkat keparahan reaksi di tempat infus dan harus memberikan
kenyamanan, cepat, memungkinkan pemberian obat secara intravena, baik secara
murni atau dicampur dengan cairan infus.
BAB VII
RINGKASAN UJI PRE KLINIK DAN KLINIK
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya
serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan
dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang
berasal dari sekelompok besar sel selotak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat
berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh
digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama
penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya kejang atau serangan
pada hipoglikemia.3
48 | P a g e
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan
yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
Penatalaksanaan epilepsi dapat dilakukan melalui cara non-farmakologi maupun
farmakologi. Cara farmakologi dilakukan dengan menggunakan obat anti epilepsi, seperti
obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+ (Phenytoin, Fosphenytoin) dan obat-obat
yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik (Benzodiazepine, barbiturate).15
Pada tahun 2005 diterbitkan The Finnish Evidence Based Guidelines for Prolonged
Seizure and Status Epilepticus diintegrasikan untuk pengobatan pertolongan pertama pada
status epileptikus yang diberikan oleh tenaga non medis di fase premonitory hingga
penanganan kondisi darurat dari status epileptikus. Di mana pada tahap premonitory, yaitu
jika kejang terjadi selama 0-5 menit, maka dapat diberikan Diazepam 10 mg (pada anak-anak
: 0.5 mg) melalui rektal dan dapat diulang bila perlu. Jika kejang tetap berlanjut(frekuensi
kejang 5-20 menit), maka segera lakukan penilaian awal status epileptikus dengan melakukan
pemeriksaan EEG, fungsi jantung dan pernapasan serta tekanan darah, dan dapat diberikan
injeksi Lorazepam 4 mg secara IV atau Diazepam 10 mg secara IV.
Jika pada dalam waktu 20-60 menit kejang berlanjut, maka sudah dapat ditetapkan
sebagai status epileptikus, dan segera berikan penanganan darurat, yaitu dengan memberikan
infus intravena Fosphenytoin 15-18 mg PE/kg dengan laju maksimal 150 mg PE/menit atau
infus Phenytoin 15-18 mg/kg dengan laju maksimal 50 mg/ menit. Kemudian lakukan
pemantauan pada fungsi jantung dan pernafasan dan monitoring EEG, tekanan darah, SpO 3,
jika perlu gunakan pressor. Namun jika kejang tetap berlanjut maka ditetapkan sebagai
refractory status epileptikus dan segera bawa ke ruang ICU untuk penangan lebih lanjut.71
Phenytoin (5,5-diphenylimidazolidine-2,4-dione) pertama kali disintesis tahun 1908
oleh Heirich Biltz, seorang ahli kimia berkebangsaan Jerman. Biltz menjual penemuannya ke
Parke-Davis, namun tidak menemukan kegunaan langsung dari obat tersebut. Ilmuwan lain
termasuk Houston Merritt dan Tracy Putnam di tahun 1938 menemukan kegunaan Phenytoin
untuk mengendalikan serangan epilepsi grandmal dan psikomotor pada penelitian mereka
pada manusia.15
Phenytoin adalah obat anti konvulsan yang dapat digunakan dalam pengobatan
epilepsi tonik-klonik. Lokasi utama aksi primer Phenytoin adalah di korteks motorik di mana
penyebaran aktivitas kejang dihambat. Phenytoin adalah obat utama yang sering digunakan
50 | P a g e
untuk hampir semua jenis epilepsi (kecuali bangkitan lena), adanya gugus fenil atau aromatic
lainnya pada atom C1 berperan penting dalam efek pengendalian bangkitan tonik-klonik,
sedangkan gugus alkil berkaitan dengan efek sedasinya. Adanya gugus metil pada atom N 3
dapat mengubah spektrum aktivitas misalnya Mephenytoin, dan hasil N demetilasi oleh
enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit yang tidak aktif.19
Dengan melepaskan sodium dari neuron, Phenytoin cenderung untuk menstabilkan
ambang rangsang terhadap hyperexcitability yang disebabkan oleh stimulasi yang berlebihan
atau perubahan lingkungan yang mampu mengurangi gradien membran sodium. Ini termasuk
pengurangan potensiasi posttetanic pada sinapsis. Kehilangan potensiasi posttetanic dapat
mencegah tekanan kejang kortikal dari letupan di daerah kortikal yang berdekatan.
Phenytoin mengurangi aktivitas maksimal di pusat batang otak yang bertanggung jawab
dalam fase tonik pada kejang tonik-klonik (grand mal).19
Absorpsi Phenytoin tergantung pada cara pemberian, seperti oral atau parenteral.
Absorpsi Phenytoin di dalam lambung sangat sedikit karena Phenytoin bersifat tidak larut
dalam cairan lambung yang bersifat asam, sehingga absorbsi Phenytoin oral berlangsung
lambat dan tidak lengkap. Oleh karena itu, pemberian 10% dosis Phenytoin secara oral
dieksresikan melalui feses dalam bentuk utuh. Phenytoin mudah larut dalam duodenum yang
memiliki pH 7-7,5, sehingga pada duodenum Phenytoin dapat diabsorpsi dengan sempurna.
Kadar puncak pemberian Phenytoin oral dicapai dalam 4-8 jam setelah pemberian obat.
Pemberian Phenytoin secara IM menyebabkan Phenytoin mengendap di tempat
penyuntikan sekitar 5 hari, dan absorpsinya berlangsung lambat daripada pemberian oral. Hal
tersebut disebabkan karena kelarutan Phenytoin dalam air sedikit sehingga terbentuk kristal
Phenytoin di dalam otot. Waktu paruh dalam plasma setelah pemberian IV berkisar antara 10
sampai 15 jam. Kontrol optimal tanpa adanya tanda toksisitas klinis paling sering terjadi pada
tingkat serum antara 10 dan 20 mcg/mL. Pemberian secara IV merupakan rute yang paling
disukai untuk menghasilkan level serum terapeutik yang cepat.
Sebuah studi jangka pendek (satu minggu) menunjukkan bahwa pasien tidak
mengalami penurunan kadar obat dalam darah ketika berganti (cross) ke rute intramuskular
jika dosis Phenytoin IM meningkat 50 persen dibanding dosis oral yang ditetapkan
sebelumnya. Untuk menghindari akumulasi obat karena penyerapan dari depot otot,
disarankan untuk minggu pertama kembali ke Phenytoin oral, dengan dosis dikurangi
menjadi setengah dari dosis oral awal (sepertiga dari dosis IM) dan dianjurkan dilakukannya
pemantauan kadar darah.22
Ikatan Phenytoin dengan protein, terutama oleh albumin adalah 90%. Pada orang
sehat, termasuk wanita hamil dan wanita yang menggunakan obat kontrasepsi oral, fraksi
51 | P a g e
bebas Phenytoin sekitar 10%, sedangkan telah diketahui bahwa efek farmakologis Phenytoin
bergantung pada bentuk bebasnya. Pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit
hepatorenal dan pada neonatal, fraksi bebasnya kira-kira di atas 15%. Pada pasien epilepsi,
fraksi bebas berkisar antara 5,8 12,6%. Phenytoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga
kerjanya dapat bertahan lebih lama, namun mula kerja lebih lambat daripada Phenobarbital.
Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati
(enzymes CYP2C9 and CYP2C19) di cytochrome P450. 19,20
Phenytoin didistribusikan ke dalam jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda,
setelah injeksi IV, kadar Phenytoin yang terdapat dalam otot, otot skelet dan jaringan lemak
lebih rendah daripada kadar yang berada di dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah. 19,20 Hampir
sebagian besar metabolit Phenytoin diekskresi bersama empedu, kemudian mengalami
reabsorbsi dan biotransformasi lanjutan, serta dieksresi melalui ginjal. Metabolit utama
Phenytoin mengalami ekskresi di tubuli ginjal, sedangkan bentuk utuhnya direabsorbsi.
Metabolit akhir Phenytoin bersifat larut dalam air, sehingga ekskresi melalui feses hanya
sebagian kecil saja. Ekskresi lengkap Phenytoin terjadi setelah 72-120 jam.19,20
Meskipun tidak disetujui oleh FDA sebagai indikasi, Phenytoin juga efektif dalam
pengobatan berbagai aritmia atrium dan ventrikel, termasuk aritmia karena toksisitas digitalis.
Phenytoin dapat memperpanjang periode refrakter efektif dan menekan ventricular
pacemaker automaticity. Selain itu, Phenytoin telah ditemukan efektif sebagai pencegahan
dini terjadinya kejang pasca trauma. Dosis yang lebih tinggi juga digunakan dalam
pengelolaan trigeminal neuralgia.33,34
Fosphenytoin adalah prodrug ester fosfat Phenytoin yang dikembangkan untuk
mengatasi keterbatasan yang terkait dengan penggunaan sediaan parenteral Phenytoin.
Fosphenytoin disetujui pada tahun 1996, Fosphenytoin (Cerebyx, Eisai, Teaneck, NJ) yang
saat itu diindikasikan untuk mengontrol kondisi generalized convulsive status epilepticus
(GCSE), dan untuk pencegahan dan mengobati kejang yang terjadi selama bedah saraf ketika
penggunaan Phenytoin intravena dan oral tidak memungkinkan.
Setelah pemberian IV pada mencit, Fosphenytoin menghambat fase tonik dari
maximal electroshock seizures pada dosis yang setara dengan dosis efektif Phenytoin. Selain
kemampuannya dalam menekan maximal electroshock seizures pada mencit dan tikus,
Phenytoin juga menunjukkan aktivitas antikonvulsan terhadap kindled seizures pada tikus,
audiogenic seizures pada tikus, dan kejang yang disebabkan oleh adanya stimulasi listrik di
batang otak pada tikus.29
Ketika Fosphenytoin diberikan melalui infus IV, konsentrasi plasma maksimum
Fosphenytoin dicapai pada akhir infus. Fosphenytoin memiliki waktu paruh sekitar 15 menit.
52 | P a g e
menurun
ketika
konsentrasi
total
Fosphenytoin
meningkat.
Fosphenytoin
Phenytoin sodium secara intramuskular. Nilai total AUC plasma dan Nilai AUC 0-120 menit
setelah pemberian intramuskular juga secara signifikan lebih tinggi (P = 0,0277) pada
Fosphenytoin yang diberikan pada kelinci dibandingkan dengan kelompok Phenytoin.
Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan pada nilai AUC 0-180 antara Fosphenytoin dan
Phenytoin yang diberikan pada kelinci setelah pemberian intravena. Dan juga tidak ada
perbedaan yang signifikan pada waktu rata-rata untuk mencapai konsentrasi puncak plasma
Phenytoin (Tmax) antara Fosphenytoin dan Phenytoin yang diberikan secara intramuskular.
Rata-rata konsentrasi albumin plasma sebanding pada kedua kelompok hewan. Fosphenytoin
dengan cepat dikonversi menjadi Phenytoin baik setelah pemberian intravena dan
intramuskular, dengan konsentrasi plasma Fosphenytoin yang menurun dengan cepat ke
tingkat yang tidak dapat terdeteksi dalam waktu 10 menit setelah diberkan melalu kedua rute
pemberian tersebut. Hasil ini membuktikan bahwa hidrolisis Fosphenytoin menjadi Phenytoin
berlangsung cepat dan lengkap secara in vivo, dan potensi rute intramuskular pada pemberian
fosphenytoin dapat diberikan ketika pemberian Phenytoin intravena secara klinis mungkin
tidak dapat diberikan.75
Hasil studi efektivitas Fosphenytoin sebagai obat antikonvulsan tunggal atau
tambahan untuk pengobatan status epileptikus pada Guinea pig, yang telah diimplan dengan
cortikal electroencephalographic (EEG) recording electrodes, yang sebelumnya telah diterapi
dengan Pyridostigmine bromida (0.026 mg/kg, intramuskular (im)) 30 menit sebelum diubah
menjadi 56 mikrogram/kg, subkutan (sc), (2 x LD50) dari agen saraf soman diketahui bahwa
ketika diberikan terapi (intraperitoneal, ip) 5 menit setelah onset kejang, hanya Fosphenytoin
dosis tertinggi (180 mg/kg) yang mampu menghentikan aktivitas kejang pada 50% dari
hewan yang diuji (3 dari 6). Dan ketika Fosphenytoin (18-180 mg/kg) diberikan sebagai
terapi awal, secara intraperitoneal pada 30 menit sebelum pemberian soman, kejang
dihentikan sesuai dengan urutan dosis (ED50 = 61,8 mg/kg; 40.5-94.7 mg/kg, dengan tingkat
kepercayaan 95%).76
Fosphenytoin dapat menyebabkan iritasi ringan berdasarkan hasil studi pada hewan
dengan pemberian secara intravena dan intramuscular. Meskipun reaksi iritasi kulit telah
diamati pada manusia, namun umumnya tidak terlihat di dekat area injeksi dan tidak dapat
dianggap sebagai efek lokal. Sedangkan untuk reaksi hipersensitivitas telah dilaporkan
setelah penggunaan Phenytoin.30
Berdasarkan pada hasil studi toksikologi terhadap Fosphenytoin intravena dan
intramuscular pada anjing dan tikus dengan rentang waktu 2-13 minggu lamanya diketahui
terjadinya efek pada sistem saraf pusat yang bersifat sementara, seperti ataksia, penurunan
54 | P a g e
aktivitas, midriasis, dan tremor pada kedua spesies. Kenaikan berat hati, deposisi glikogen,
dan perubahan enzim hati juga nampak terlihat pada hasil studi tersebut.30
Hasil studi menyatakan bahwa pemberian Fosphenytoin sodium pada tikus hamil
menyebabkan
kardiovaskular,
peningkatan
jari-jari,
frekuensi
skeletal),
kematian
gangguan
akibat
malformasi
pertumbuhan,
(kelainan
gangguan
otak,
fungsional
(chromodacryorrhea, hiperaktif, circling). Dosis 75 mg/kg/hari atau lebih dari itu dapat
menyebabkan peningkatan tingkat resorpsi dan malformasi pada kelinci. Pada studi
epidemiologi yang telah dilakukan pada ibu hamil diketahui bahwa Phenytoin dapat
menyebabkan teratogenisitas (hipoplasia pada jari-jari) ketika digunakan sebagai sediaan
tunggal.30
Seperti Phenytoin, Fosphenytoin terikat secara ekstensif dengan albumin. Ikatan
tersebut menggantikan setiap Phenytoin yang tersisa dari tempat ikatan protein plasma,
sehingga meningkatkan hingga 30% fraksi Phenytoin bebas yang tersedia untuk aktivitas
antiepilepsi. Hal ini terjadi terutama pada konversi senyawa pro-drug aktif Phenytoin (30-60
menit setelah pemberian). Perpindahan Phenytoin terbanyak setelah pemberian dosis awal
(loading dose) fosphenytoin secara intravena dalam dosis tinggi (setara 15 mg PE/kg) yang
diinfuskan dengan kecepatan tinggi (50 sampai 150 mg PE/menit). Fenomena perpindahan ini
secara sementara dapat menutupi keterlambatan yang diperlukan Fosphenytoin untuk
mengkonversi menjadi senyawa aktif setelah pemberian intravena. Phenytoin terikat kembali
secara normal ketika kadar Fosphenytoin plasma menurun. Sebaliknya, sedikit perpindahan
dicatat setelah pemberian intramuskular Fosphenytoin karena diperlukan waktu yang lebih
lama untuk penyerapan obat dari tempat penyuntikan.29,37
Karena Phenytoin dan Fosphenytoin keduanya sangat terikat dengan protein, maka
penyesuaian dosis mungkin diperlukan pada pasien dengan gangguan ginjal/hati atau mereka
yang memiliki hipoalbuminemia. Karena konsentrasi obat tidak terikat berkorelasi lebih baik
pada efikasi dan toksisitas fenitoin, maka dapat melakukan penyesuaian dosis berdasarkan
konsentrasi Phenytoin bebas atau Phenytoin serum.53
Dosis awal (loading dose) baik Phenytoin maupun Fosphenytoin memerlukan
pengenceran sebelum pemberian secara intravena. Phenytoin injeksi hanya kompatibel
dengan 0,9% larutan saline dan harus diinfuskan melalui in-line filter karena dapat berpotensi
untuk mengendapkan pada pH fisiologis. Juga, karena dapat mengakibatkan hipotensi dan
bradikardi terkait dengan pemberian Phenytoin intravena, dengan laju maksimum 50
mg/menit yang direkomendasikan (25 mg/menit pada orang tua dan pasien dengan penyakit
jantung).33
55 | P a g e
menggunakan immunoassay dalam penelitian ini.47 Metode ini dapat overestimate konsentrasi
Phenytoin plasma yang sebenarnya menjadi 1,2-6 kali lipat ketika Fosphenytoin diberikan.
Studi lain menggunakan tes kromatografi cair kinerja tinggi yang lebih spesifik di mana
gangguan tidak terjadi.48
Sebuah studi tentang frekuensi, severity, dan proses waktu terjadinya vena irritation
setelah pemberian dosis tunggal Phenytoin secara intravena dibandingkan dengan dosis
equimolar dari Fosphenytoin. Dua belas relawan secara acak diberi infus perifer selama 30
menit baik Phenytoin murni (250 mg) atau Fosphenytoin (375 mg). Kemudian mereka
kembali lagi setelah 14 sampai 21 hari dan menerima infus dengan crossover zat aktif di
bagian lengan lainnya. Tindak lanjut berlangsung selama 120 jam setelah pemberian infus.
Semua (12 pasien) melaporkan adanya nyeri di lokasi infus selama pemberian infus
Phenytoin, sementara hanya 2 pasien yang melaporkan nyeri di lokasi infus selama
pemberian Fosphenytoin. 8 subjek mengalami flebitis dengan Phenytoin, namun para peneliti
hanya menemukan 1 kasus flebitis dengan Fosphenytoin (P <0,05). 6 pasien mengalami
cording dengan Phenytoin; tidak ada cording ditemukan dengan Fosphenytoin.39
Dalam sebuah penelitian yang didanai oleh Parke-Davis, yang dilakukan secara acak
pada 116 pasien bedah saraf yang memerlukan profilaksis atau pengobatan antikonvulsan
untuk menerima Fosphenytoin intravena (n = 88) atau Phenytoin intravena (n = 28) dalam
suatu studi double-blind. Pasien yang ditetapkan untuk kelompok Fosphenytoin intravena
menerima dosis awal (loading dose) rata-rata 1082 mg PE, diikuti dengan dosis pemeliharaan
rata-rata 411 mg PE. 28 pasien ditetapkan untuk kelompok Phenytoin IV yang menerima
dosis awal (loading dose) rata-rata 1082 mg, diikuti dengan dosis pemeliharaan rata-rata 422
mg. Pengobatan dilanjutkan selama 3 sampai 14 hari. Gejala kejang dilaporkan terjadi pada
3% dari kelompok Fosphenytoin intravena dan 7% dari kelompok Phenytoin intravena. Enam
puluh enam persen dari pasien Fosphenytoin dan 61% dari pasien Phenytoin mengalami
penurunan tekanan darah sistolik mereka sebesar >20 mm Hg (NS). Efek samping tersebut
mengharuskan dilakukannya pengurangan laju infuse sebesar 14% untuk Fosphenytoin
intravena dan 36% untuk penerima Phenytoin intravena (NS). Enam persen dari pasien yang
menerima Fosphenytoin dan 25% dari pasien yang menerima Phenytoin intravena dilaporkan
mengalami iritasi ringan di tempat penyuntikan (P <0,05). Para penulis menyimpulkan bahwa
Fosphenytoin intravena lebih baik dan dapat ditoleransi daripada Phenytoin intravena pada
populasi pasien tersebut.40
Pada hasil studi open-label, crossover yang dilakukan pada 69 pasien dengan kondisi
kejang yang terkontrol dengan baik, yang diberikan dosis pemeliharaan Fosphenytoin kisaran
150-450 mg PE. Sebanyak 32 pasien menerima Fosphenytoin intramuskular, dan 37 pasien
57 | P a g e
diberi secara intravena. Tidak ada perubahan signifikan secara statistik pada denyut jantung,
pernapasan, atau tekanan darah diastolik pada kelompok kedua. Namun, pasien tidak
mengalami penurunan yang signifikan pada tekanan darah sistolik selama 15 menit sampai 2
jam setelah pemberian intravena dan selama 30 menit sampai 4 jam setelah pemberian
intramuskular (P <0,05). 44% dari pasien yang menerima Fosphenytoin intravena dan 25%
dari pasien yang menerima Fosphenytoin intramuskular memiliki lebih dari satu episode
nistagmus. Selain itu, 21% dari pasien yang menerima Fosphenytoin intravena mengalami
paresthesia, dan 17% dari pasien yang menerima Fosphenytoin intramuskular melaporkan
nyeri di tempat penyuntikan.41
Ketika mempertimbangkan penggunaan Fosphenytoin intravena khusus untuk
pengobatan status epileptikus, empat studi mengkategorikan pada 3 level bukti atau lebih
tinggi yang telah teridentifikasi. Dua diantaranya adalah desain kelompok tunggal, sementara
yang ketiga adalah studi pada anak-anak dengan status epileptikus dengan komplikasi malaria
falciparum.38,45,46 Akhirnya, meskipun studi keempat melibatkan sejumlah besar pasien, hanya
sembilan yang didiagnosis dengan status epileptikus. Dalam studi pada anak-anak dengan
kondisi malaria disertai status epileptikus, hasil klinis yang ditetapkan adalah penghentian kejang
dalam waktu 30 menit dari awal terapi obat, atau status epileptikus ditandai dengan kejang berulang
dengan durasi pendek, dimana dianggap terkontrol jika tidak ada kejang dalam waktu 12 jam dari
terapi obat. Status epileptikus dapat dikendalikan pada 7 dari 16 anak yang menerima Fosphenytoin
intravena dan 4 dari 11 anak yang menerima Phenytoin intravena. 38
Pada studi tunggal, open-label yang dilakukan pada pasien dengan status epileptikus,
kontrol terhadap kejang dapat dicapai pada 85% (37 dari 40) pasien dalam waktu 30 menit
yang menerima Fosphenytoin intravena (rata-rata durasi infus 11 menit).45
Dua ratus empat puluh pasien menerima Phenytoin oral selama terjadi gangguan
kejang atau profilaksis kejang pasca operasi yang terdaftar dalam suatu studi multicenter,
acak, double-blind, placebo-controlled. Pasien secara acak dipilih untuk menerima 5 hari
pengobatan dengan dosis Phenytoin oral ditambah plasebo yang diberikan secara
intramuskular (n = 61) dan sebagian lagi menerima dosis molar yang sama dari Fosphenytoin
intramuskular ditambah plasebo yang diberikan secara oral (n = 179). Insiden efek samping
dalam 2 kelompok adalah serupa (Fosphenytoin, 68% vs Phenytoin, 62%; NS), tetapi ada
perbedaan dalam jenis efek samping yang dilaporkan untuk masing-masing Fosphenytoin dan
Phenytoin antara lain: Nystagmus (15% vs 8%), tremor (10% vs 13%), sakit kepala (9% vs
5%), inkoordinasi (8% vs 5%), ecchymosis (7% vs 5%), mengantuk (7% vs 10%), dan pusing
(5% vs 3%). Pada 13 pasien yang menjalani evaluasi farmakokinetik lebih mendalam,
58 | P a g e
mMol fosfat/mg PE dan memiliki potensi menyebabkan terjadinya akumulasi fosfat pada
pasien dengan kondisi disfungsi ginjal.36,49
Dalam sebuah studi pada 29 pasien tanpa status epileptikus, Phenytoin dan
Fosphenytoin diberikan secara intravena dengan laju awal yang direkomendasikan masingmasing 50 dan 150 mg/menit, dan total efek samping yang tercatat dalam kelompok masingmasing adalah 27 dan 32 (P = 0,55 ). Namun, nyeri dan flebitis yang dialami lebih sering
terjadi pada kelompok Phenytoin dibandingkan dengan Fosphenytoin (11 vs 3, P <0,001).
Terjadinya perineal pruritus secara eksklusif terkait dengan Fosphenytoin (12 vs 0, P
<0,0001), sehingga membutuhkan penurunan laju infus pada beberapa pasien. 47 Perineal
pruritus bersifat reversibel dan sebelumnya telah tercatat terjadi pada penggunaan
Fosphenytoin infus dengan kecepatan tinggi.50
Sebuah studi crossover, acak, double-blind dilakukan pada 12 sukarelawan sehat yang
menerima infus 250 mg Phenytoin, atau setara Fosphenytoin selama 30 menit, untuk
mengevaluasi terjadinya iritasi vena. Phenytoin secara signifikan menyebabkan nyeri dengan
tingkat lebih tinggi pada daerah infus (semua subyek, P <0,05) dan flebitis (delapan subyek;
P <0,05); cording terjadi pada enam subyek. Eritema dan nyeri menonjol pada akhir infus
Phenytoin dan muncul lagi setelah pemeriksaan 24 jam. Sebaliknya, Fosphenytoin
menyebabkan nyeri ringan hanya pada dua subyek, dan flebitis pada satu subyek; tidak ada
kasus eritema atau cording yang terjadi.39 Pada studi awal ini, kedua obat diinfuskan pada laju
yang sama; Namun, sekarang diakui bahwa Fosphenytoin dapat diberikan dengan laju tiga
kali Phenytoin.
Efek samping yang berhubungan dengan pembuluh vena juga tercatat lebih sering
terjadi dengan dosis awal (loading dose) Phenytoin intravena dibandingkan dengan
Fosphenytoin yang dinyatakan dalam hasil studi secara double-blind dan acak pada 23 pasien
non-status epileptikus. Nyeri dan flebitis terjadi pada 83% pasien yang menerima Phenytoin
dibandingkan dengan mereka yang diberikan terapi Fosphenytoin, tidak ada efek samping
nyeri dan flebitis. Penyesuaian laju infus, sebagai akibat dari efek samping, dibutuhkan
secara lebih signifikan pada pemberian Phenytoin dibandingkan dengan mereka yang
menerima Fosphenytoin (67 vs 12%; P <0,05). Meskipun ada keluhan sementara, seperti
gatal umum dan rasa hangat pada 53% dari kelompok Fosphenytoin, seperti disebutkan di
atas, penyesuaian laju infus hanya diperlukan pada sebagian kelompok saja.51
Keuntungan utama dari Phenytoin adalah efek sedatif yang ringan. Namun, sejumlah
efek samping yang serius dapat terjadi, seperti aritmia dan hipotensi telah dilaporkan,
khususnya pada pasien yang lebih tua dari 40 tahun. 55,56 Selain itu, iritasi lokal, flebitis, dan
pusing dapat menyertai efek pemberian Phenytoin intravena. Hal tersebut disebabkan karena
60 | P a g e
efek langsung dari zat aktif dan bahan tambahan (eksipien) yang digunakan, yaitu Propylene
glycol yang digunakan sebagai pelarut Phenytoin. Propylene glycol berkontribusi terhadap
efek hipotensi dan aritmia jantung yang terjadi pada pemberian infus Phenytoin.
Berbeda dengan Phenytoin, Fosphenytoin merupakan prodrug Phenytoin yang
bersifat larut dalam air, sehingga tidak perlu diformulasikan dengan Propylene glycol sebagai
pelarut dan Fosphenytoin memiliki pH 8.6-9 yang memungkinkan Fosphenytoin dapat
diinfuskan dengan lebih cepat hingga 150 mg PE/menit. Dengan demikian, dosis awal 20 mg
PE/kg dapat diberikan pada pasien dengan berat badan 70 kg hanya dalam waktu kurang dari
10 menit. Keuntungan potensial lainnya adalah konsentrasi terapeutik dalam darah cepat
tercapai, risiko dan kejadian efek samping yang serius lebih rendah dibandingkan dengan
Phenytoin. Selain itu, Fosphenytoin dapat digunakan pada pasien dengan kondisi akses
vascular yang sulit (seperti anak-anak, lansia, dan penyalahguna obat intravena). Meskipun
pemberian intramuscular Fosphenytoin mungkindapat digunakan sebagai strategi loading
dose, namun rute ini tidak direkomendasikan pada terapi status epileptikus dikarenakan
terjadinya perlambatan pencapaian konsentrasi terapeutik plasma Phenytoin.58
61 | P a g e
BAB VIII
DAFTAR PRODUK FOSPHENYTOIN YANG BEREDAR DI
DUNIA
A. Produk Fosphenytoin yang Beredar di Dunia
Negara
AmerikaSerikat
Sediaan
danKekuatan
Cairan injeksi75
Keterangan
Dus, 25 Vial @ 2 ml
Prescription
Dus 10 Vial @ 10 ml
-
Prescription
Prescription
Co)
Fosphenytoin Sodium (Agila Speclts)
Fosphenytoin Sodium (Bedford)
Dus, 10 Vial @ 2 ml
Prescription
Prescription
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 25 Vial @ 2 ml
Prescription
Fosphenytoin Sodium
Dus 10 Vial @ 10 ml
-
Prescription
(HikmaFarmaceutica)
Fosphenytoin Sodium (Hikma Maple)
Fosphenytoin Sodium (Luitpold)
Prescription
Prescription
Dus 10 Vial @ 10 ml
-
Prescription
Global)
Fosphenytoin Sodium (Wockhardt)
Dus, 25 Vial @ 2 ml
Prescription
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 25Vial @ 2 ml
Prescription
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 25 Vial @ 2 ml
Discontinued
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 25 Vial @ 2 ml
Discontinued
Prodilantin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Parke Davis)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
mg/mL (50 mg
Fosphenytoin Sodium (Agila Speclts)
Fosphenytoin Sodium (Amneal Pharms
Perancis
Irlandia
Denmark
Finlandia
Inggris
Islandia
Norwegia
Swedia
Kemasan
PE/mL)
62 | P a g e
Yunani
Austria
Belanda
Portugal
Spanyol
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Pfizer)
Pro-Epanutin (Parke Davis)
Cereneu (Pfizer)
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 5/10/25 Vial @ 2
ml
Australia
Kanada
Pro-Epanutin (Pfizer)
Cerebyx (Pfizer)
Dus5/10 Vial @ 10 ml
Dus 10 Vial @ 10 ml
Dus, 25 Vial @ 2 ml
India
Fosentin (Sun)
Fosolin (Zydus/Neuro)
Fosphen (Intas)
Milorgen (RSM KilitchPharma)
Cereneu (Pfizer)
Dus 10 Vial @ 10 ml
Vial2 mldanVial10 ml
Vial2 mldanVial 10 ml
Vial2 mldanVial 10 ml
Vial2 mldanVial 10 ml
-
Thailand
Keterangan:
PE = phenytoin sodium equivalent
Parke Davis adalahanakperusahaan Pfizer
Manufacture
r
Sun
Nama
Phenytoin
Sediaandan
Harga
Nama
Brand
-
Kekuatan
Cairan injeksi
Brand
Fosentin
50 mg/mL
Fosphenytoin
Sediaan dan
Kekuatan
Cairan injeksi
75 mg/mL (50
mg PE/mL)
Zydus/Neuro
Epsolin
Vial 2 ml:
Fosolin
12.09 INR
(Rp. 2.518)
Intas
Celetoin
Vial 2 ml:
Fosphen
10.2 INR
(Rp. 2.124)
Pfizer
Dilantin
Vial 2 ml:
13 INR
(Rp.2.708)
Harga
Vial 2 ml:
34.5 INR
(Rp. 7.186)
Vial 10 ml:
151 INR
(Rp. 31.454)
Vial 2 ml:
39.79 INR
(Rp. 8.288)
Vial 10 ml:
185.84 INR
(Rp. 38.712)
Vial 2 ml:
30 INR
(Rp. 6.249)
Vial 10 ml:
175 INR
(Rp. 36.454)
-
Keterangan:
PE = phenytoin sodium equivalent
1 INR = Rp. 208.31
Bentuk sediaan dari produk Fosphenytoin yang beredar di dunia adalah cairan injeksi
75 mg/mL (50 mg PE/mL), dengan kemasan vial 2 ml dan 10 ml.
Di India, harga produk Fosphenytoin 3 kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan
harga produk Phenytoin
63 | P a g e
BAB IX
KESIMPULAN
Fosphenytoin, prodrug Phenytoin yang dapat larut dalam air, telah disetujui untuk
pengobatan status epileptikus sejak 1996 oleh US Food and Drug Administration (FDA) dan
telah dimasukkan ke dalam protokol untuk terapi obat, penilaian umum dan investigasi
darurat dari kejang status epileptikus sebagai fungsi waktu sejak terjadinya kejang menurut
The Finnish Evidence Based Guidelines for Prolonged Seizure and Status Epilepticus pada
tahun 2005. Keuntungan dari Fosphenytoin adalah dapat digunakan untuk mencapai
konsentrasi terapeutik Phenytoin yang lebih cepat daripada infus Phenytoin intravena pada
laju maksimum yang dianjurkan. Fosphenytoin secara cepat dan lengkap dikonversi menjadi
Phenytoin pada orang dewasa setelah pemberian intravena atau intramuskular dan secara
signifikan lebih baik ditoleransi daripada Phenytoin parenteral. Beberapa studi telah
dilakukan pada pasien dengan status epileptikus, dan hasilnya membuktikan bahwa
fosphenytoin sama efektifnya dengan Phenytoin dalam hal respon dan kontrol status
epileptikus.
Fosphenytoin intravena memiliki keuntungan signifikan di atas Phenytoin intravena:
Obat ini membutuhkan waktu yang lebih singkat dan gangguan infus intravena lebih sedikit,
menyebabkan sedikit rasa sakit dan terbakar di lokasi infus dan konsekuensi minimal dalam
kasus infiltrasi intravena, memungkinkan waktu pemeliharaan lebih lama dengan pemberian
intravena, dan memiliki cairan intravena lebih kompatibilitas dan stabilitas yang lebih baik.
Fosphenytoin juga tidak menyebabkan aritmia jantung, namun pada penderita gangguan
ginjal, dosis Fosphenytoin harus dikurangi. Berbeda dengan Phenytoin intramuskular,
64 | P a g e
Fosphenytoin intramuskular ditoleransi dengan baik dengan pemberian dosis awal (loading
dose) besar dan dosis pemeliharaan.
Meskipun sebagian besar dapat mengatasi beberapa masalah utama yang terkait
dengan penggunaan Phenytoin (misalnya, iritasi lokal), namun dari segi ekonomi
Fosphenytoin tergolong mahal dan banyak komite formularium rumah sakit tidak mau
membayar perbedaan harga tersebut.57 Namun, hal tersebut terjawab oleh hasil studi
pharmacoeconomic yang menunjukkan bahwa kejadian efek samping yang sedikit dan
efektifitas pengobatan yang lebih baik menjadi faktor penting pada biaya efektivitas
Fosphenytoin.58
65 | P a g e