Anda di halaman 1dari 8

PERS DAN PEMERINTAHAN

1.Pengertian Komunikasi Politik


Komunikasi politik terdiri dari dua kata yaitu komunikasi dan politik. Yang masingmasingnya punya definisi tersendiri.
Komunikasi berasal dari kata latin communicatio yang bersumber dari kata
communis yan berarti sama makna. Menurut Carl I. Hovland komunikasi berarti
upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian
informasi serta pembentukan pendapat dan sikap.
Politik menurut filsafat Aristoteles adalah sebagai imaster of science , yang
diungkapkan H.Victor Wiseman di dalam bukunya Politics: Master of Science.
Setidaknya ada lima pandangan mengenai politik yang diungkapkan oleh Ramlan
Surbakti di dalam bukunya Memahami ilmu Politik, yaitu:
a.politik

adalah

usaha-usaha

yang

ditempuh

oleh

warga

negara

untuk

membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama.


b.politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelengaraan negara dan
pemerintahan.
c.politik sebagai segala keiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat.
d.politik ialah kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan umum.
e.politik dijelaskan sebagai hal yang berkaitan dengan pandangan klasik mengenai
politk, kelembagaan, kekuasaan , serta fungsionalisme yang merupakan gabungan
dari empat hal di atas.
Sedangkan komunikasi politik merupakan subdisiplin ilmu berawal dari revolusi ilmu
penetahan sekitar lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Pengakuan formal dari
kebradaan ilmu komunikasi politik ini ditandai dengan adanya divisi komunikasi

politik tersendiri di dalam asosiasi komunikasi internasional pada tahun 1973.


Kemudian disusul dengan adanya mata kuliah komunikasi politik dalam pendidikan
ilmu komunikasi maupun ilmu politik.
Awalnya kajian mengenai komunikasi politik ini dilakukan di Amerika dan Eropa.
Berakar dari kajian umum mengenai pendapat umum, propaganda, persuasi serta
berkembangnya teori media kritis. Sejalan perkembangannya di tahun 50-60 an
studi mengenai komunikasi politik banyak membahas mengenai kaitannya dengan
pembangunan.
Definisi komunikasi politik di dalam bukunya Komunikasi Politik, Anwar Arifin
menyebutkan ada beberapa pendapat ahli tentang komunikasi politik. Menurut salah
satu pakar ilmu komunikasi Indonesia, A. Muis istilah komunikasi politik menunjuk
pada pesan sebagai objek formalnya sehingga titik brat konsepnya terletak pada
komunikasi bukan politik. Hakikatnya komunikasi politik mengandung informasi atau
pesan tentang politik.
Menurt Astrid (1985), komunikasi politik adalah sebaai suatu komunikasi yang
diarahkan pada pencapaian pada suatu pengaruh sedemikian rupa sehingga
masalah

yang

dibahas

oleh

jenis

komunikasi

inidapat

mengikat

semua

warganyamelalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga


politik. Melalui kegiatan komunikasi politik ini terjadi pengaitan masyarakat sosial
dengan lingkup negara sehingga komunikasi politik merupakan sarana untuk
pendidikan politik/ kesadaran warga dalam hubungan kenegaraan.
Menurut Almond dan Powell (1966), komunikasi politik adalah suatu fungsi politik,
bersama-sama dengan fungsi artikulasi , aregasi, sosialisasi, dan rekruitmen yang
terdapat di dalam suatu sistem politik.
2.Manfaat Komunikasi Politik
Manfaat Keberadaan Komunikasi Politik mengenai apa arti dan manfaatnya
komunikasi politik dalam tatanan kehidupan politik sehari-hari maka seharusnya
masyarakat sudah menangkap dengan jelas keberadaan model-model komunikasi
yang ditimbulkan dalam perpolitikan, peran komunikasi memegang peran penting

dalam mengupayakan kepekaaan setiap kejadian politik yang berlangsung dewasa


ini.
Setelah kita memahami apakah komunikasi dan definisi politik maka kita
secara tidak langsung akan memahami pola hubungan komunikasi yang terjadi
didalamnya. Secara umum juga dijelaskan bagaimana komunikasi politik muncul
sebagai suatu bidang studi yang mencoba untuk berdiri sendiri. Dalam memahami
mata kuliah ini diperkenalkan juga berbagai pendekatan teoritik maupun metodologis
yang mampu menjelaskan komunikasi politik sebagai suatu suatu disiplin ilmu.
Secara operasional komunikasi politik ini juga memberikan contoh-contoh konkrit
dalam interaksi komunikasi maupun politik, baik dalam lingkup nasional, regional
maupun internasional. Oleh karena itu pembahasan juga akan menyentuh disiplin
lain secara terbatas, seperti komunikasi internasional, hubungan internasional,
maupun dalam lingkup international political communication. Sementara bidangbidang lain yang relatif dianggap baru seperti ekonomi politik media, teknologi media
dibahas secara terbatas.
3.Khalayak Komunikasi Politik
Khalayak Komunikasi politik merupakan sasaran dari komunikasi politik tersebut.
Contohnya saat pemilu ramai-ramai partai politik brrkampanye. Baik melalui media
cetak maupun elektronik. Mereka ingin merebut perhatian masyarakat sebagai
khalayak komunikasi politik saat itu.
Iklan politik yang menarik tidak berarti selalu efektif memengaruhi perilaku
pemilih. PDI-P dengan iklan "moncong putih"-nya, yang begitu populer dan
mendominasi iklan politik di berbagai media selama kampanye, perolehan suaranya
malah merosot jauh dari Pemilu 1999. Prabowo yang iklannya bagus, juga Akbar
Tanjung yang sering nongol dengan iklan Golkar, keduanya toh gagal dalam
konvensi calon presiden Partai Golkar, dikalahkan Wiranto. Naiknya popularitas
Susilo Bambang Yudhoyono pada dasarnya juga dibangun oleh publikasi. Selama ini
Yudhoyono sering tampil di media massa sebagai tokoh yang menangani persoalan
terorisme, separatisme Aceh, maupun konflik SARA. Ia tampil dengan postur
tubuhnya yang gagah, bahasa lisannya yang santun, mimik wajah yang serius, dan

ucapan yang terukur dengan bicara seperlunya. Publisitas itu berhasil memunculkan
image tentang kinerjanya, kewibawaan, dan ketegasannya.
Keengganan Megawati bicara di depan media dan publik, serta ketiadaan juru
bicara kepresidenan, secara tak langsung menguntungkan Yudhoyono sebagai
Menko Polkam karena memberinya banyak kesempatan untuk tampil atas nama
negara dan memperoleh publisitas yang positif. Ditambah saat menjelang kampanye
lalu, tatkala dia disingkirkan dari kabinet, memungkinkan memperoleh publikasi
gratis dan memunculkan simpati publik.
Fenomena ini seakan membenarkan sinyalemen Al Ries dan Laura Ries
dalam buku The Fall of Advertising & The Rise of PR (2003). Menurut dua ahli
marketing communication tersebut, dewasa ini iklan lebih banyak berfungsi sebagai
nilai seni dan hiburan dibandingkan dengan sebagai sarana persuasi. Ukuran baik
buruknya sebuah iklan lebih diukur dari aspek kreativitas atau kemampuan
menghiburnya. Bukan efektivitasnya memengaruhi sikap khalayak. Dalam banyak
hal efektivitas iklan sering "dikalahkan" oleh public relations dengan strategi
publisitasnya.
Menurut Al Ries, publikasi memang jauh lebih potensial meningkatkan
popularitas seseorang dibandingkan dengan iklan. Publisitas lebih dipercaya dan
lebih diperhatikan masyarakat. Apalagi dilakukan dalam waktu yang relatif lama,
akan membentuk image tersendiri, bahkan mampu menyentuh afeksi atau perasaan
khalayak.
4.Budaya konteks tinggi
Khalayak komunikasi politik memang unik. Mereka memiliki selektivitas
terhadap isi pesan. Selektivitas itu salah satunya dipengaruhi oleh budaya
komunikasi. Menurut Antropolog Edward T Hall (1979), bangsa Indonesia masuk
dalam rumpun high context culture dalam berkomunikasi. Dalam budaya ini, konteks
atau pesan nonverbal diberi makna yang sangat tinggi. Masyarakat budaya konteks
tinggi

kurang

menghargai

ucapan

atau

bahasa

verbal.

Bahkan,

acapkali

mengharapkan orang lain mengerti apa yang diinginkan tanpa harus mengucapkan
inti permasalahan yang dimaksud. Mereka lebih banyak berbicara berputar
menghindari substansi keinginannya. Sebaliknya, kalau ada orang yang sering

mengucapkan keinginannya secara jujur, justru dicurigai. Dianggap kasar, nggege


mongso, atau ambisius.
Dalam high context culture, tokoh yang jauh-jauh hari mengungkap
kemauannya menjadi presiden akan dianggap "aneh". Upaya meyakinkan publik
dengan

mengungkapkan

program,

atau

visi,

dan

misi

pun

malah

bisa

kontraproduktif. Simak saja peribahasa yang hidup di masyarakat kita, seperti


"sedikit bicara banyak bekerja", "tong kosong berbunyi nyaring", "air beriak tanda tak
dalam", juga "sabdo pandito ratu". Kesemuanya merupakan refleksi budaya konteks
tinggi yang tidak suka pada pembicaraan. Makanya, jangan heran nanti kalau digelar
debat calon presiden di media massa, kandidat yang piawai berdebat malah belum
tentu memperoleh simpati publik.
5.Barat doyan debat
Berbeda dengan masyarakat Barat yang memiliki budaya low context culture.
Walau pesan nonverbal juga penting, bahasa verbal amat dihargai untuk
mengungkap ekspresi dan keinginan mereka. Kemampuan speech communication,
seperti diskusi, berdebat, berpidato, atau bicara di depan publik, merupakan aspek
yang amat penting. Makanya, masyarakat Barat lebih kaya dalam hal mewadahi
ekspresi bahasa verbal.
Tahun 1976, Ford dan Jimmy Carter bersaing menjadi presiden Amerika
Serikat. Semalam, sebelum the great debate, jajak pendapat menunjukkan Ford
lebih unggul 11 persen dari Carter. Di perdebatan, Carter tampil lebih memikat.
Berbicara lebih piawai, mengusai materi, dan menawarkan program-program yang
lebih rasional. Walhasil, setelah perdebatan, jajak pendapat menunjukkan Ford
tertinggal 45 persen di belakang Carter. Berarti, hanya dalam waktu sehari,
perdebatan telah merugikan Ford 56 persen poin.
Sejak itu hampir semua calon presiden AS makin mempersiapkan diri dalam
perdebatan. Khususnya perdebatan lewat televisi, yang dipandang sebagai
momentum amat menentukan bagi keberhasilan seorang kandidat presiden. Karena
begitu pentingnya pembicaraan, Mark Roeloef menganggap politics is talk (Nimmo,
1993:73). Semua persoalan politik, baik pada waktu kampanye, di parlemen,
maupun di pemerintahan, pada dasarnya memerlukan apa yang disebut
"pembicaraan". Hakikat politik adalah pembicaraan, konflik kepentingan diturunkan
dan

diselesaikan

melalui

pembicaraan.

Karena

itu,

budaya

mendudukkan

pentingnya pembicaraan dan menghargai perbedaan berpendapat menjadi dasar

yang kuat untuk tumbuhnya demokrasi politik. Melalui pembicaraan itulah publik
menjadi semakin cerdas.
Apakah hal demikian juga berlaku dalam budaya politik di Indonesia?
Tampaknya mewujudkan suatu sistem demokrasi yang berkualitas di
Indonesia memang memerlukan waktu dan proses panjang. Secara empiris,
komunikasi politik selama kampanye lalu banyak diwarnai bentuk komunikasi
nonverbal. Kampanye yang menggunakan teknik band wagon, seperti melakukan
pawai, atau acara yang mengundang massa, pemasangan bendera, gambar, atau
baliho, atau berjoget dan bernyanyi, semuanya sarat dengan pesan nonverbal yang
menyentuh sisi emosi khalayak. Membuat senang dan membuat semangat, tetapi
sama sekali tidak menyentuh wacana pemikiran.
Saat kampanye memang ada jurkam yang pidato. Namun, materi pidato
sebenarnya tak begitu penting bagi massa partai. Kehadiran fisik tokoh partai jauh
lebih penting dan bermakna daripada materi yang diucapkan. Walau mereka datang
hanya meneriakkan kata-kata "Hidup!" atau "Coblos!" dan kemudian mengajak
bernyanyi. Tetapi, secara kontekstual, kehadiran tokoh sangat bermakna. Itulah
realitas budaya komunikasi politik kita.
Kualitas demokrasi bagaimanapun memang membutuhkan kompetensi tertentu
pada semua elemen bangsa. Karena itu, janganlah terlalu berharap pada kampanye
calon presiden mendatang. Adu program dan kepiawaian berdebat calon presiden
mungkin akan sangat menarik untuk ditonton di televisi. Tetapi, jangan lupa, publik di
Indonesia sudah memiliki budaya sendiri dalam menilai tokoh idolanya.
Sumber:
Internet:
http://www.google.com
http://www.um-pwr.ac.id/artikel-publikasi
Buku:
Judul : Komunikasi Politik
Pengarang : Prof. Dr. Anwar Arifin

Penerbit : Balai Pustaka


Tahun terbit : 2003
Kota : Jakarta
Judul : Memahami Ilmu Politik
Pengarang : Ramlan Surbakti
Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Tahun terbit : 1992
Kota : Jakarta
Judul : Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek
Pengarang : Prof. Drs. Onong Uchjana Effendy, M.A.
Penerbit : PT Remaja Rosdakarya
Tahun terbit : 2005
Kota : Bandung
Dalam lapisan khalayak pada komunikasi politik, Hennesy (dalam Nasution
1990), membedakan public menjadi 3, yaitu :
a. Publik umum (general public)
b. Publik yang penuh perhatian (the attentive public)
c. Elit opini dan kebijakan (the leadership public).
Di antara ketiga lapisan tersebut, elit opini dan kebijakan merupakan kalangan
yang paling aktif minatnya dalam masalah kepemerintahan. Lapisan ini
seringkali menjadi pelaku politik. Sedangkan publik attentive merupakan
khalayak yang menaruh perhatian terhadap diskusi-diskusi antar elit politik dan
seringkali termobilisasi untuk bertindak dalam kaitan suatu permasalahan politik.
Publik umum terdiri dari hampir separuh penduduk, dalam kenyataannya jarang
berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan.
Publik yang attentive, disebut juga lapisan yang penuh perhatian, merupakan
sub-kultur yang khusus dimana kelompok-kelompok kepentingan yang merasa
berkepentingan dengan masalah kebijakan umum ketimbang dengan
kepentingan khusus. Khalayak yang berperhatian terhadap perkembangan yang

berlangsung yang menyangkut kepemerintahan dan politik, merupakan suatu


faktor yang amat diperlukan bagi terlaksananya sistem politik yang sehat.
Mereka itulah lapisan masyarakat yang mau tahu dan menaruh perhatian pada
pekembangan keadaan negaranya.
Publik attentive menempati posisi penting dalam proses opini. Pentingnya posisi
tersebut menurut Nimmo (1978) didasarkan pada kenyataan, yaitu :
1. Lapisan publik inilah yang berperan sebagai saluran komunikasi antar pribadi
dalam arus pesan timbal balik antara pemimpin politik dengan publik umum.
Publik attentive merupakan khalayak utama (key audience) dalam komunikasi
politik.
2. Publik attentive menyertai para pemimpin politik sebagai pembawa konsensus
politik. Yakni orang-orang yang digambarkan dalam bagian terakhir yang besar
kemungkinannya daripada orang lain menunjang aplikasi spesifik aturan dan
nilai-nilai umum demokrasi.
3. Publik attentive membentuk surrogate electorate atau pemilih bayangan
dalam periode antara masa pemilihan. Para politisi biasanya mempersepsikan
gelombang arus opini di kalangan publik attentive sebagai representasi dari apa
yang diyakini, dinilai, dan diharapkan oleh publik umum (yang kurang
berperhatian kepada politik semasa periode di antara dua pemilu). Dengan kata
lain, khalayak yang mempunyai perhatian itu merupakan lapisan masyarakat
yang berkemauan untuk mengikuti dalam perkembangan politik yang
berlangsung.
Nimmo, Dan. 2010. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai