Kajian tentang agama dan kebudayaan masyarakat Jawa oleh sosiolog dan antropolog sudah
banyak dilakukan, baik mereka yang berkebangsaan Indonesia (Jawa dan luar Jawa) atau
berkebangsaan asing seperti Clifford Geertz.[1] Guru besar antropologi berkebangsaan Amerika
pada University of Chicago ini telah melakukan penelitian lapangan di salah satu daerah di
Jawa[2] yang ia sebut pada laporan penelitiannya dengan nama samaran Mojokuto dari bulan
Mei 1953 sampai bulan September 1954, atau kurang lebih 1 tahun 4 bulan. Menurut pengakuan
Geertz bahwa proyek riset yang ia lakukan berlangsung hingga masa enam tahun.[3]
Hasil penelitian tersebut kemudian diajukan sebagai disertasi doktoral kepada Departemen
Hubungan-Hubungan Sosial di Harvard University dalam musim semi tahun 1956 dengan judul
aslinya The Religion of Java dan kemudian diterjemahkan oleh Aswab Mahasin dengan judul
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981).
Banyak kalangan menganggap, bahwa buku tersebut sangat menarik perhatian para ahli
antropologi, sosiologi, orang-orang yang sedang memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama Islam dan Indonesia, serta ahli-ahli politik yang menaruh minat dalam hubungan antara
agama dan perilaku politik. Karena bahan-bahan deskripsinya yang lengkap dan kohesinya yang
nampak logis, studi Geertz itu lalu dipakai sebagai buku referensi oleh banyak orang yang
berminat dalam studi tentang agama atau kebudayaan dan masyarakat Jawa.[4]
Perhatian para ahli terhadap karya Geertz tersebut sebagaimana layaknya para ilmuan ketika
mengkaji temuan penelitian atau suatu teori, mereka membahasnya secara kritis. Seperti Harsja
W Bachtiar (1973) ketika merespon karya Geertz menyatakan bahwa ia agaknya terlupakan pada
bebrapa masalah teoritis yang pokok, yaitu tentang agama-agama orang Jawa.[5] Parsudi
Suparlan dalam kata pengantar terjemahan The Riligion of Java juga setuju dengan komentar
Bachtiar bahwa kelemahan tulisan Geertz adalah karena tidak didasarinya akan adanya Agama
jawa, tetapi sumber yang digunakan adalah kepustakaan yang ditulis oleh para sarjana Belanda.
[6] Parsudi juga mengkritisi metodologi yang digunakan Geertz dengan menyatakan bahwa
kelemahan-kelemahan yang tampak dalam penggolongan masyarakat Jawa di Mojokuto atas tiga
golongan struktur sosial sebenarnya merepakan perwujudan dari pendekatan yang telah
dilakukan oleh Geertz.[7] Zaini Muchtarom ketika menulis tesis Santri dan Abangan Di Jawa
juga memakai referensi The Riligion of Java, tetapi sesuai dengan judul tesisnya justru ia
menganggap sangat perlu ada penelitian tentang konsep santri dan abangan sesuai dengan
pendapat kalangan bangsa Indonesia sendiri.[8]
Fokus kajian seperti yang diungkap sendiri oleh Clifford Geertz dalam pendahuluan bukunya
adalah tradisi keagamaan yang dipengaruhi oleh kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan
ideologi politik yang dilakukan oleh masyarakat Mojokuto sebagai cerminan tradisi keagamaan
masyarakat Jawa. Tradisi keagamaan tersebut berbeda tipologinya menurut struktur sosial di
Jawa masa itu; desa, pasar dan birokrasi pemerintah, yang kemudian ia melihat ada titik
kehidupan keagamaan, yang selanjutnya ia simpulkan pada tiga varian; varian abangan (yang
intinya berpusat di pedesaan), varian santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan), dan
varian priyayi (yang initinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota).[9]
Selanjutnya tulisan ini bermaksud untuk mencoba mengkaji sebagian dari tulisan Clifford
Geertz, yaitu tentang varian abangan dengan harapan akan ada gunanya sebagai pengantar untuk
memahami secara kritis dan sebagai landasan untuk menilai karyanya sebatas kemampuan
penulis yang tidak mempunyai latarbelakang ilmu dalam kajian ini. Secara sistematis kajian ini
penulis mulai dari pendahuluan, kajian tentang varian masyarakat Jawa, kajian tentang varian
abangan, metodologi yang dipakai Clifford Geertz, dan penutup.
B. Problem Akademis yang Melatarbelakangi Pemikiran Clifford Geertz
Clifford Geertz adalah antropolog terkemuka pada zamannya. Dia juga seorang pembaharu
dalam mengembangkan penelitian antropologi. Dalam mendefinisikan makna kebudayaan
misalnya, Geertz telah menghadirkan paradigma baru yang semakin memperkuat fondasi
antropologi dalam memahami konsep kebudayaan. Bagi Geertz kebudayaan memiliki sifat
interpretatif, sebuah konsep semiotik, dan sebagai sebuah teks. Kebudayaan bukanlah sebatas
pola perilaku yang nampak. Karena kebudayaan merupakan sebuah teks maka ia perlu
ditafsirkan agar tertangkap makna yang terkandung di dalamnya. Kebudayaan bagi Geertz adalah
jaringan makna simbol yang perlu diuraikan dalam sebuah deskripsi mendalam (thick
description).
Geerts menyatakan bahwa kebudayaan kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang
disusun dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan
perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan
secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orangoarang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan menmgembangkan pengtahuan dan sikapsikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku,
sumber informasi yang ekstrasomatik. Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik,
maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan.[10]
Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan oleh Geertz di atas adalah suatu pendekatan
hermeneutik yang lazim dalam tradisi strukturalisme. Pendekatan hermeunetik inilah yang
kemudian menginspirisasikannya untuk melihat kebudayaan sebagai teks-teks yang harus dibaca,
ditranslasikan, dan diinterpretasikan. Dari Paul Ricouer, ia mengambil gagasan bahwa bangunan
pengetahuan manusia yang ada, bukan merupakan kumpulan laporan rasa yang luas tetapi
sebagai suatu struktur fakta yang merupakan simbol dan hukum yang mereka beri makna.
Sehingga demikian tindakan manusia dapat menyampaikan makna yang dapat dibaca, suatu
perlakuan yang sama seperti kita memperlakukan teks tulisan.[11]
Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman
masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada
akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang
dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada
dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik,
ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi
suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan
juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk
simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.[12]
Sebagai konsekuensi atas pemahaman kebudayaan seperti itu, metode penelitian Geertz lebih
banyak menekankan aspek deskripsi atau yang belakangan dikenal sebagai metode ethnografi.
[13] Dalam penelitian itu, Geertz melakukan pengumpulan data belasan bulan di Mojokuto. Dia
juga melakukan penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas
dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan
pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasipartisipatif. Prinsip kerjanya berdasarkan proposisi bahwa ahli etnografi itu mampu mencari
jalan keluar dari datanya, untuk membuat dirinya sendiri jelas agar para pembaca dapat melihat
sendiri bagaimana tampaknya fakta-fakta itu. Dengan demikian peneliti bisa menilai kesimpulan
dan generalisasi ahli etnografi itu sesuai dengan persepsi aktualnya sendiri. Meskipun Jawa
adalah Jawa yang stereotip penunjukannya jelas, namun perhatian Geertz mengungkap adanya
varian agama Jawa lebih kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa.
Pengamatan Geertz tentang Mojokuto merambah pada praktik hidup penduduk setempat. Geertz
juga mengambil penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto yang
didasarkan pada kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik. Dia kemudain menemukan
tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe
kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para
petani, pengrajin dan buruh kecil- yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan,
kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan magic menunjuk kepada
seluruh tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar terlepas dari penguasaan etnis Cina yang
tidak menjadi pengamatan Geertz- diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang besar dari
kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial di mana agama Timur Tengah
berkembang melalui perdagangan dan kenyataan yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah
mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang terakhir adalah subvarian priyayi.
Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa.
Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan
pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya
yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Agama bagi Geetz lebih merupakan sebagai nilai-nilai budaya, dimana ia melihat nilai-nilai
tersebut ada dalam suatu kumpulan makna. Dimana dengan kumpulan makna tersebut, masingmasing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya. Sehingga dengan
nilai-nilai tersebut pelaku dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa yang akan
digunakannya.[14] Ketika ia membagi kebudayaan jawa dalam tiga tipe variant kebudayaan
berbeda, Geertz melihat agama jawa sebagai suatu integrasi yang berimbang antara tradisi yang
berunsurkan animisme dengan agama Hindu & agama Islam yang datang kemudian, lalu
berkembang menjadi sebuah sinkritisme.[15]
C.
Untuk mengawali kajian ini penulis mencoba membahas tentang pembagian tiga
klasifikasi atau varian masyarakat Jawa; Abangan, Santri, dan Priyayi yang telah
diuraikan panjang lebar oleh Clifford Geertz sebagai temuan penelitian pada karya
menomentalnya yang berjudul The Religion of Java sebelum mengarah pada fokus kajian
secara khusus tentang varian Abangan.
Skema konsepsi bagi pembagian masyarakat Jawa yang dibuat oleh Clifford Geertz berdasarkan
penelitian lapangan di Majokuto adalah tiga tipologi budayawi utama; abangan, santri, dan
priyayi. Tiga varian tersebut secara ringkas dideskripsikan sebagai berikut :
Abangan yang mewakili sikap menitikberatkan segi-segi animisme sinkretisme Jawa yang
menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk; Santri
yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam dalam sinkretisme tersebut, pada
umumnya berhubungan dengan unsur pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur tertentu di
antara para petani); dan Priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan
berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.[16]
Istilah abangan oleh Clifford Geertz diterapkan pada kebudayaan orang desa, yaitu para petani
yang kurang terpengaruh oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara
penduduk. Adapun istilah santri diterapkan pada kebudayaan muslimin yang memegang
peraturan dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam perkampungan dekat sebuah
masjid yang terdiri dari para pedagang di daerah-daerah yang lebih bersifat kota. Istilah priyayi
diterapkannya pada kebudayaan kelas-kelas tertinggi yang pada umumnya merupakan golongan
bangsawan berpangkat tinggi atau rendah.
Pembagian tersebut menurut Clifford Geertz merupakan pembagian yang dibuat sendiri oleh
orang-orang Jawa sendiri. Namun menurut beberapa peneliti berikutnya pembagian tersebut
telah mendapat banyak kritik. Salah satu diantaranya dianggap kurang tepat dan tidak relevan,
jika dikaitkan dengan perkembangan masyarakat Jawa sekarang.
Menurut Harsja W. Bachtiar pembagian tersebut kurang tepat, karena klasifikasi abangan dan
santri selalu dikaitkan dengan perilaku keagamaan masyarakat. Seorang santri lebih taat kepada
agama dibandingkan dengan seorang abangan, sedangkan ukuran ketaatan itu tergantung kepada
nilai-nilai pribadi orang-orang yang menggunakan istilah-istilah itu. Demikian juga istilah
priyayi tidak bisa dianggap sebagai kategori dari klasifikasi yang sama, karena ada orang-orang
priyayi yang taat kepada agama, dan karenanya ia disebut santri, dan ada orang-orang priyayi
yang tidak taat atau tidak seberapa memperhatikan soal-soal agama, dan karenanya ia disebut
abangan. Istilah priyayi biasanya diperuntukan kepada orang-orang yang memiliki status sosial
tertentu yang berbeda dari rakyat biasa yang disebut wong cilik, wong widah atau kaum
mayoritas, dan wong tani.[17]
Zaini Muchtarom dalam laporan penelitiannya menyatakan, meskipun dalam karyanya, The
Religion of Java, Clifford Geertz memberikan pemerian atau deskripsi dan analisis yang panjang
lebar tentang berbagai aspek sistem religius dan pandangan dunia Jawa, namun deskripsinya
mengakibatkan beberapa kerumitan yang terkadang mengacaukan. Bukunya telah diaturnya
menjadi tiga bagian utama berdasarkan konsep abangan, santri dan priyayi, namun ketigatiganya merupakan tiga pandangan dunia, gaya hidup, varian dan tradisi religius yang khusus.
[18] Ia memerinci bahwa setiap golongan menitikberatkan pada salah satu di antara tiga segi
khusus pada sinkritisme religius Jawa, yaitu berturut-turut segi animesme, BuddhismeHinduisme dan Islam. Dalam kenyataannya masyarakat Jawa lama hanya dapat dibagi menjadi
tiga bagian; raja (pangeran), bangsawan, dan petani.[19]
Burger (1957) membagi masyarakat Surakarta dan Yogyakarta menjadi tiga kelas sosial.
Pertama, ada para sentana dalem atau kerabat raja penguasa yang digolongkan sebagai
kelompok bangsawan dan raja. Kedua, terdapat para abdi dalem yaitu para pegawai dan birokrat
raja. Ketiga, ada para kawulo dalem, ialah massa atau mereka yang diperintah.[20]
Koentjaraningrat (1963) telah menggambarkan stratifikasi Jawa dengan mencoba menganalisa
dan membuat perbedaan yang jelas antara pembagian-pembagian masyarakat Jawa yang
horisontal dan vertikal. Menurutnya orang jawa sendiri membedakan empat tingkat sosial
sebagai stratifikasi status; yaitu dhara (bangsawan), priyayi (birokrat), wong dagang atau
saudagar (pedagang) dan wong cilik (orang kecil, rakyat kecil).[21]
Klasifikasi Geertz tentang masyarakat Jawa semakin nampak kurang relevan untuk realitas
sekarang, sebagaimana digambarkan oleh Azyumardi Azra (2004), bahwa ada tiga figur
masyarakat pedesaan Jawa yang dihormati, yaitu lurah atau kepala desa berikut perangkatnya,
guru dan kiai. Lurah atau kepala desa, karena dipilih dari masyarakat yang mayoritas petani di
dalam kesehariannya sangat dekat dekat kepada alam dan melakukan kegiatan ritual demi
keseimbangan kosmologinya; mereka biasanya digolongkan ke dalam kelompok abangan atau
Islam tradisional. Guru digolongkan ke dalam komunitas priyayi, sedangkan kiai ke dalam
komunitas santri.[22]
Memang, tahun 1950-an pada waktu Clifford Deertz meneliti, fragmentasi masyarakat sangat
kentara karena aktualisasi politik masing-masing kelompok, namun pada perkembangan
berikutnya, yaitu selama perjalanan lima puluh tahun kemudian, sekat-sekat dalam ketiga varian
tersebut kelihatan semakin luruh. Salah satu sebabnya adalah berkat pendidikan modern.
Kelompok santri telah banyak melakukan hal-hal yang dulu menjadi ranah priyayi, seperti
menjadi pegawai, belajar bahasa Inggris. Demikian juga kelompok priyayi juga telah banyak
melakukan hal-hal yang dulu menjadi ranah santri, seperti giat belajar mengaji, membuat
mushala di salah satu ruang rumahnya, memberi nama islami, setidak-tidaknyanya nama nabi
atau orang suci lainnya.[23] Fenomena di atas oleh Zainuddin maliki disebut sebagai
priyayinisasi santri untuk kelompok pertama (kelompok santri) dan santrinisasi priyayi untuk
kelompok yang kedua (kelompok priyayi).[24]
Menjelang akhir bukunya, penulis membatasi klasifikasinya dengan menyatakan bahwa istilahistilah abangan, santri dan priyayi menunjukkan dimensi-dimensi varian kebudayaan, bukan
kategori-kategori absolut, meskipun seluruh buku itu memberi kesan kepada pembaca bahwa
istilah-istilah itu menunjukkan kategori-kategori yang cukup tegas. Yang sangat menyolok,
umpamanya, adalah pembagian buku menjadi empat bagian. Ketiga bagian yang pertama tegastegas diberi judul varian abangan, varian santri, dan varian priyayi, masing-masing mencakup
beberapa bab yang melukiskan ciri-ciri dari varian agama sebagaimana yang disebut dalam
bagian itu. Bagian yang terakhir membicarakan masalah konflik dan integrasi dari masyarakat
Mojokuto secara keseluruhan. Pembahasan tentang hubungan-hubungan di antara ketiga istilah
itu, dan tentang apa yang dimaksudkan dengan istilah-istilah itu, memperkuat kesan pada
pembaca bahwa ketiga kategori itu memang diperlakukan sebagai kategori-kategori absolut, dan
kesan itu juga memperkuat oleh identifikasi para informan secara positif oleh penulis: Pak Wiro
(seorang priyayi dan tukang gambar), mereka (tiga santri muda yang terpelajar dan kepala
sebuah sekolah swasta), Bu Arjo adalah induk semang kami, seorang abangan, dan seterusnya.
Sebenarnya, terlepas dari soal kerangka referensi dalam mengidentifikasi seseorang, tidaklah
selalu mudah untuk membuat identifikasi yang positif. Oleh karena itulah, antara lain, maka di
sini disesalkan bahwa Clifford Geertz tidak menegaskan apakah ia hendak melukiskan
kompleks-kompleks kepercayaan dan ritual keagamaan tertentu ataukah kepercayaankepercayaan dan ritual-ritual keagamaan kategori-kategori tertentu dalam masyarakat.
Dalam hal ini pembedaan antara santri dan abangan, maka sebagaimana telah dikemukakan,
orang-orang yang berlainan dapat menganut norma-norma yang berlainan tentang ketaatan
kepada agama. Seseorang yang dianggap sebagai taat agama oleh seseorang, jadi sebagai santri,
tidak dengan sendirinya akan dianggap sebagai santri pula oleh orang lain. Dalam hal priyayi,
masalah identifikasi pertama-tama timbul sebagai pembedaan yang harus diadakan antara status
menurut hukum dan status karena pergaulan. Ada orang-orang yang dipandang sebagai anggota
golongan priyayi bukan atas dasar keturunan atau jabatan resmi yang merupakan ciri-ciri
priyayi tulen- melainkan oleh karena mereka bergaul dengan anggota-anggota golongan priyayi.
Sebagai contoh, seorang yang sudah pensiun di Mojokuto yang berasal dari Sumatera tidak dapat
dianggap sebagai priyayi menurut hukum, karena ia bukan orang Jawa dan dengan demikian
tidak dapat menuntut status priyayi yang hanya diperuntukkan kaum ningrat Jawa. Sekarang
masalah mengidentifikasikan seorang priyayi menjadi lebih sulit lagi, karena banyak priyayi
tulen telah meninggalkan kebiasaan untuk mencantumkan gelar mereka di muka nama mereka.
D. Kajian tentang Varian Abangan
Selanjutnya penulis mencoba fokus pada soal varian abangan sebagai sub varian dari dua sub
varian yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan sama sekali, karena pemilahan masyarakat
berdasarkan aliran, dalam hal ini abangan, santri dan priyayi adalah tiga skisma yang sebenarnya
saling bersinggungan dan berbaur.[25]
Clifford Geertz menyatakan bahwa ada tiga inti struktur sosial Jawa pada masa ini; desa, pasar
dan birokrasi pemerintahan yang masing-masing diambil dalam artian lebih luas daripada
biasanya. Desa Jawa yang sebagian besar dihuni oleh masyarakat petani yang memiliki sistem
keagamaan desa lazimnya terdiri dari suatu integrasi yang berimbang antara unsur-unsur
animisme, Hindu dan Islam. Sistem keagamaan tersebut merupakan tradisi keagamaan abangan,
yang terutama sekali terdiri dari pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan yang
kompleks dan rumit terhadap makhluk halus, dan seluruh rangkaian teori dan praktek
pengobatan, sihir dan magi.
Abangan, menurut Clifford Geertz mewakili suatu titik berat pada aspek animisme dan
sinkretisme Jawa yang melengkapi semuanya, dan secara luas dihubungkan dengan elemen
petani. Kedua aspek tersebut ia gambarkan secara panjang lebar yang intinya bahwa ciri dari
varian abangan adalah : pertama, sekelompok masyarakat desa di Jawa biasanya petani yang
mempunyai tradisi keagamaan berupa upacara keagamaan yang disebut slametan. Kedua,
kepercayaan terhadap makhluk halus, dan ketiga tradisi pengobatan, sihir dan magi.
Jika dikaji secara seksama ketiga ciri dari varian abangan di atas akan nampak rancu bila
dihdapkan dengan dengan dua varian lainnya, varian santri dan priyayi. Pertama, sebagaimana
dinyatakan Geertz bahwa varian abangan adalah sekelompok masyarakat desa di Jawa yang pada
umumnya petani dan mempunyai tradisi keagamaan berupa upacara keagamaan yang disebut
selametan. .
Abangan yang secara harfiyah berarti yang merah, yang diturunkan dari pangkal kata abang
(merah). Istilah ini mengenai orang muslim Jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintahperintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agama. Namanya
orang muslim, tetapi cara hidupnya masih dikuasai oleh tradisi pra Islam Jawa. Tradisi ini
menitikberatkan pada perpaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu dan unsur-unsur asli sebagai
sinkretisme Jawa dan sering dinamakan agama Jawa. Sinkretisme ini oleh orang Jawa juga
dianggap sebagai tradisi rakyat.
Jadi ciri-ciri tersebut sekaligus sebagai pembeda antara abangan dan santri lebih mengacu kepada
prilaku keagamaan tidak pada dimensi stratifikasi setiap lapisan masyarakat Jawa, mulai dari
wong cilik sampai ke ndara.
Di antara kaum tani di desa-desa sebenarnya terdapat santri wong cilik maupun abangan wong
cilik. Di situ segi doktrin keagamaan kurang tegas, sedangkan akhlak (etika)nya tetap agak lebih
dekat ke abangan, sebab para tani yang tinggal di desa sedikit banyak sama dalam status politik,
sosial, dan ekonomi, Di daerah-daerah yang lebih kota terdapat banyak saudagar santri dan
saudagar abangan.
1. E. Pendekatan yang dipakai Clifford Geertz
Fakus kajian yang dilakukan Clifford Gertz adalah tentang prilaku keagamaan masyarakat Jawa,
khususnya di Majokuto sehingga ditemukan kategori atau tipologi, yang selanjutnya disebut
varian; varian abangan, varian santri dan varian priyayi.
Secara eksplisit Clifford Geertz tidak menjelaskan metodologi penelitian yang digunakan, namun
menurut uraiannya pada lembar tambahan; sebuah catatan tentang metode kerja dalam bukunya,
bahwa semua kegiatan yang dilakukan dalam rangka memperoleh data dari informan, formal
maupun informal dengan cara tenggelam atau berenang bersama bahasa Jawa, yang kemudian ia
cepat sekali menghasilkan tingkat kelancaran dan pemahaman yang relatif tinggi, dan
pengetahuan atas bahasa yang diperoleh kemudian terbukti merupakan satu-satunya alat
penelitian yang paling penting untuk menyelidiki kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan.
Bagian terbesar masa penelitian yang ia lakukan tidak digunakan untuk wawancara resmi dengan
informan yang khusus, tetapi lebih sering untuk melakukan kegiatan observasi partisipatisi. Ia
turut serta dalam beberapa perayaan umum, rapat-rapat organisasi, upacara-upacara, dan
sebagainya. Berjam-jam digunakan untuk omong-omong atau wawancara tak resmi di warung
kopi, di toko-toko atau kios-kios pasar, di lapangan, di kantor kelurahan, di halaman masjid, dan
sebagainya. Beberapa perjalanan dengan para informan juga dilakukan ke rumah orang tua
mereka, ke kota besar untuk menyaksikan beberapa reruntuhan kuno, dan sebagainya.
Jika dilihat dari fokus dan uraian di atas menunjukkan bahwa penelitian yang ia lakukan
menggunakan paradigma definisi sosial, sehingga tidak saja menelusuri hubungan sebab akibat
sebagaimana dalam paradigma fakta sosial, melainkan juga mencari pemahaman yang
mendalam. Penggalian data dilakukan lewat observasi partisipasi dan wawancara mendalam.
Metode seperti ini biasa juga disebut penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang tidak saja
beambisi mengumpulkan data dari sisi kuantitasnya, tetapi juga ingin memperoleh pemahaman
yang lebih dalam di balik fenomena yang berhasil direkam. Sedangkan pendekatan yang dipakai
ialah fenomenologi, yaitu sebuah pendekatan yang berusaha memahami makna, nilai, persepsi
dan juga pertimbangan-pertimbangan etik di setiap tindakan dan keputusan pada dunia
kehidupan manusia.
Adapun kerangka teori yang digunakan juga tidak dijelaskan oleh Clifford Geertz, justru ia
menyatakan bahwa pembagian atas tiga golongan struktur sosial orang Jawa di Mojokuto itu
telah dilakukannya berdasarkan atas sistem penggolongan yang dilakukan oleh orang Jawa
terhadap diri mereka sendiri, tetapi menurut Parsudi Suparlan tampaknya hal itu tidak
sepenuhnya benar. Nampak bahwa ia telah mempunyai suatu kerangka teori yang digunakannya
untuk menciptakan model analisis, model ini nampaknya sesuai dengan yang telah digunakan
oleh Robert Redfleld (1941, 1953, 1955. Refldfleld melihat bahwa kota dan desa merupakan dua
struktur sosial yang berbeda, yang masing-masing diwakili oleh warga elite kota dan warga
petani desa, tetapi keduanya mewujudkan adanya suatu hubungan saling bergantung dan
melengkapi satu sama lainnya, sehingga merupakan suatu sistem sosial tersendiri.
Menurut Harsja Bachtiar, terdapat perbedaan penggunaan teori Radfleld oleh Clifford Geertz
dalam pembahasannya, yaitu Clifford Geertz menekankan pada dimensi struktur, sedangkan
Redfleld menekankan pada proses komunikasi terus menerus antara kota dan pedesaan.
Kelemahan yang nampak dalam penggolongan masyarakat Jawa mojokuto atas tiga golongan
struktur sosial sebenarnya merupakan perwujudan dari pendekatan yang dilakukan oleh Clifford
Geertz.
F. Konstribusi Clifford Geertz dalam Kajian Ilmu Sosial
Kajian Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan semenjak tahun 1950an. Berbagai karya
monumental pun telah banyak dihasilkan, dan karya Geertz The Religion Of Java adalah yang
paling monumental. Seperti yang dijelaskan di bagian sebelumnya, konsep yang dihasilkan dari
penelitian tersebut adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep
aliran inilah kemudian hampir di hampir seluruh pengkajian tentang masyarakat Jawa sering
dirujuk sebagai referansi. Pada masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan
keagamaan. Abangan adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut
keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun diatas pola bagi tindakannya.
Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika
hubungann antara Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak
dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib
dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai
dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Penggunaan numerologi
yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik
dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula perselingkuhan
antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.
Dari sekian banyak Indonesianis, maka Clifford Geertz adalah orang yang memiliki sumbangan
luar biasa dalam kajian masyarakat Indonesia. Berkat kajian-kajian yang dilakukan maka
Indonesia bisa menjadi lahan amat penting bagi studi-studi sosiologis-antropologis yang
mengdepan. Berkat sumbangan akademisnya itulah maka Geertz dianggap oleh banyak kalangan
sebagai pembuka jendela kajian Indonesia. Geertz adalah sosok luar biasa yang dapat melakukan
modifikasi konseptual. Melalui kemampuan modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara
sistem simbol, sistem nilai dan sistem evaluasi. Ia dapat menyatukan konsepsi kaum kognitifisme
yang beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif, sistem makna dan sistem budaya,
maka agar tindakan bisa dipahami oleh orang lain, maka harus ada suatu konsep lain yang
menghubungkan antara sistem makna dan sistem nilai, yaitu sistem simbol. Sistem makna dan
sistem nilai tentu saja tidak bisa dipahami oleh orang lain, karena sangat individual. Untuk itu
maka harus ada sebuah sistem yang dapat mengkomunikasikan hubungan keduanya, yaitu sistem
simbol. Melalui sistem simbol itulah sistem makna dan sistem kognitif yang tersembunyi dapat
dikomunikasikan dan kemudian dipahami oleh orang lain.[26] Geertz adalah ilmuwan yang
memiliki minat kajian yang sangat variatif. Ia tidak hanya mengkaji persoalan agama dan
masyarakat dalam perspektif sosiologis atau antropologis, tetapi juga mengkaji sejarah sosial
melalui kajiannya tentang perubahan sosial di dua kota di indonesia. Ia juga mengkaji masalah
ekonomi. Melalui kajiannya tentang ekonomi masyarakat pedesaan Jawa, ia menghasilkan teori
yang hingga dewasa ini masih diperbincangkan, yaitu teori involusi.
Salah satu kehebatan sebuah karya adalah jika karya itu dibicarakan dan dijadikan sebagai bahan
rujukan berbagai karya yang datang berikutnya. Salah satu karya yang banyak mendapatkan
sorotan itu adalah karya Geertz tentang konsep agama Jawa tersebut. Kajian Geertz memantik
berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz
adalah Harsya Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz
dengan realitas sosial. Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai abangan sebagai
kategori ketaatan beragama. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan
beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan
wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan,
santri dan priyayi.[27]
Meski demikian, konsepsi Geertz tersebut hingga sekarang menjadi acuan utama dalam berbagai
kajian tentang Islam dan masyarakat di Indonesia. Baik menyempurnakan konsep tersebut,
maupun mengkritisinya. Salah satu tokoh yang mengkritik konsep tersebut adalah Mark R.
Woodward, antropolog yang juga murid dari Geertz.[28] Dalam kajiannya tentang Islam di pusat
kerajaan yang dianggap paling sinkretik dalam belantara keberagamaan (keislaman) ternyata
justru tidak ditemui unsur sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu Budha di dalamnya. Melalui
kajian secara mendalam terhadap agama-agama di Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai
kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan
keyakinan lokal, maka ternyata tidak ditemui unsur tersebut didalam tradisi keagamaan Islam di
Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat
kerajaan, Jogyakarta.
Melalui konsep aksiomatika struktural, maka diperoleh gambaran bahwa Islam Jawa adalah
Islam juga, hanya saja Islam yang berada di dalam konteksnya. Islam sebagaimana di tempat lain
yang sudah bersentuhan dengan tradisi dan konteksnya. Islam Persia, Islam Maroko, Islam
Malaysia, Islam Mesir dan sebagainya adalah contoh mengenai Islam hasil bentukan antara
Islam yang genuin Arab dengan kenyataan-kenyataan sosial di dalam konteksnya. Memang harus
diakui bahwa tidak ada ajaran agama yang turun di dunia ini dalam konteks vakum budaya.
Itulah sebabnya, ketika islam datang ke lokus ini, maka mau tidak mau juga harus bersentuhan
dengan budaya lokal yang telah menjadi seperangkat pengetahuan bagi penduduk setempat.[29]
Woodward memperoleh banyak dukungan, misalnya dari Muhaimin,[30] yang mengkaji Islam
dalam konteks lokal. Dalam kajiannya terhadap Islam di Cirebon melalui pendekatan alternatif,
ditemukan bahwa Islam di Cirebon adalah Islam yang bernuansa khas. Bukan Islam Timur
Tengah yang genuin, tetapi Islam yang sudah bersentuhan dengan konteks lokalitasnya. Islam di
Cirebon adalah Islam yang melakukan akomodasi dengan tradisi-tradisi lokal, seperti keyakinan
numerologi atau hari-hari baik untuk melakukan aktivitas baik ritual maupun non ritual,
meyakini tentang makhluk-makhluk halus, serta berbagai ritual yang telah memperoleh sentuhan
ajaran Islam. Ada proses tarik menarik bukan dalam bentuknya saling mengalahkan atau
menafikan, tetapi adalah proses saling memberi dalam koridor saling menerima yang dianggap
sesuai. Islam tidak menghilangkan tradisi lokal selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan
Islam murni, akan tetapi Islam juga tidak membabat habis tradisi-tradisi lokal yang masih
memiliki relevansi dengan tradisi besar Islam (Islamic great tradition).
Tulisan yang bernada membela terhadap Geertz juga banyak. Di antaranya adalah tulisan Beatty.
[31] Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bahwa Islam Jawa hakikatnya adalah Islam
sinkretik atau paduan antara Islam, Hindu/Budha dan kepercayaan animistik. Melalui pendekatan
multivokalitas dinyatakan bahwa Islam Jawa sungguh-sungguh merupakan Islam sinkretik.
Corak Islam Jawa merupakan pemaduan dari berbagai unsur yang telah menyatu sehingga tidak
bisa lagi dikenali sebagai Islam. Kenyataannya Islam hanya di luarnya saja, akan tetapi intinya
adalah keyakinan-keyakinan lokal. Melalui tulisannya yang bertopik Adam and Eva and
Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan digambarkan bahwa inti agama Jawa ialah
slametan yang di dalamnya terlihat inti dari ritual tersebut adalah keyakinan-keyakinan lokal
hasil sinkresi antara Islam, Hindu/Budha dan animisme.
Meskipun menemukan konsep baru dalam jajaran kajian agama-agama lokal, yaitu bagan
konseptual lokalitas, tetapi Mulder[32] tetap dapat dikategorikan sebagai kajian hubungan
antara Islam dan masyarakat dalam konteks sinkretisme. Ketidaksetujuan Mulder terhadap
Mark R Woodward, 2001, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, LkiS, Jogyakarta.
Muhaimin AG, 2001, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, Logos, Jakarta.
Niels Mulder, 1999, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Nur Syam, 2005, Islam Pesisir, LKiS, Jogyakarta.
Zaini Muchtarom, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, INIS. Jakarta.
Zainuddin Maliki, 2004, Agama Priyayi, Makna Agama di Tangan Elite Penguasa, Pustaka
Marwa, Yogyakarta.
[1] Banyak karya Clifford Geertz tentang Indonesia, yaitu antara lain Ritual and
Social Change: A Javanese example (1957), The Riligion of Java (1960), Islam
Observed, Religion Development in Marocco and Indonesia (1968),The Javanese
Kijaji: The Chainging Role of a Cultural Broker, Comperative Studies in Society and
History 1959-1960 (1960), Peddlers and Princes, Social Change and Economic
Modernization in Two Indonesian Towns (1963), The Development of Javanese
Economy, a Socio-cultural Approach (1956), Religious Belief and economic Behavior
in Central javanese Town: Some Preliminary Consideration, Economic Development
and Cultural Change (1956), Modernization in Muslim Society: The Indonesian Case,
Religion and Progress in Indonesia (1965), Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota
di Jawa (1965).
[2] Menurut data yang penulis temukan tentang nama samaran Mojokuto ada dua versi; versi
Harsja W. Bachtiar adalah suatu daerah yang terletak di Jawa Tengah bagian timur, dan versi
Zaini Muchtarom Mojokuto adalah nama rekaan untuk kota Pare Kediri di Jawa Timur, dan
Clifford Geertz menjelaskan bahwa Mojokuta adalah sebuah kota kecil di bagian tengan Jawa
Timur dengan jarak tempuh setengah hari dari Surabaya. Lihat Harsja W. Bachtiar, The Religion
of Java: Sebuah Komentar, dalam Clifford Geertz, 1981, Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka Jaya, hal. 521dan hal. 1, dan Zaini Muchtarom, 1988, Santri
dan Abangan di Jawa, Jakarta, INIS, hal. 2, serta Abdul Munir Mulkhan, 2003, Srategi Sufistik
Sema, Aksi Kaum Santri Merebut Hati Rakyat, Yogyakarta, Kreasi Wacana, hal. 40.
[3] Clifford Geertz, Ibid, hal. xv dan hal. 511-515.
[4] Harsja W. Bachtiar, Ibid, hal. 522. Hampir dipastikan bahwa karya berupa buku tersebut
dipakai sebagai referensi pada setiap penulis tentang agama atau kebudayaan dan masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa.
[5] Ibid
[22] Azyumardi Azra, Kesalehan Priyayi Jawa: Perspektif Kekuasaan dalam Zainuddi Maliki,
Agama Priyayi, Makna Agama di Tangan Elite Penguasa, 2004, Pustaka Marwa, Yogyakarta,
hal.xiv-xv.
[23] Ibid, hal. xv-xvi
[24] Zainuddi Maliki, Agama Priyayi, Makna Agama di Tangan Elite Penguasa, 2004, Pustaka
Marwa, Yogyakarta, hal. 257-264.
[25] Zainuddin Maliki, 2004, Agama Priyayi, Makna Agama di Tangan Elite Penguasa,
Yogyakarta, Pustaka Marwa, hal. xxxi.
[26] Periksa Ignaz Kleden, Dari Etnografi ke Etnografi tentang Etnografi: Antropologi Clifford
Geertz dalam Tiga Tahap dalam Clifford Geertz, After the Fact, LKiS, Jogyakarta, 1998, ix-xxi
[27] Harsya W. Bachtiar, Komentar dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1981.
[28] Marx Woodwad adalah Indonesianis yang terkenal dengan hasil penelitiannya bertajuk
Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta, 1985.
Penelitian ini telah dibukukan dan telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan topik
Islam Jawa: Kesalehan versus Kebatinan Jawa, 2001. Karya ini merupakan sanggahan
terhadap konsepsi Geertz bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretik yang merupakan campuran
antara Islam, Hindu Budha dan Animisme
[29] Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, LkiS, Jogyakarta,
2001.
[30] Muhaimin AG., Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, Logos, Jakarta,
2001.
[31] Andrew Beatty, Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in The Javanese Slametan dalam
The Journal of the Royal Anthropological institut 2 (June 1996).
[32] Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1999.
[33] Nur Syam, Islam Pesisir, LKiS, Jogyakarta, 2005.
*Judul lengkap : STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT JAWA (Kajian Tentang Varian
Abangan Clifford Geertz)