Anda di halaman 1dari 10

Pendahuluan

I.

Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara
hukum (pasal 1 ayat 3 UUD 1945), Negara kesatuan yang
berbentuk republik (pasal 1 ayat 1 UUD 1945), dengan sistem
pemerintahan

presidensiil

yang

bersifat

parlementer.

Indonesia menganut pembagian kekuasaan.


Kekuasaan di Indonesia di bagi menjadi 3, yaitu
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Eksekutif dipimpin oleh
seorang presiden yang merupakan kepala negara sekaligus
kepala

pemerintahan

yang

dibantu

oleh

seorang

wakil

presiden yang kedudukannya sebagai pembantu presiden di


atas para menteri yang juga pembantu presiden. Kekuasaan
legislatif

dibagi

di

bagi

menjadi

2,

di

dalam

Majelis

Permusyawaratan Rakyat/MPR, Dewan Perwakilan Rakyat/DPR


dan Dewan Perwakilan Daerah/DPD. Cabang yudikatif terdiri
dari

Mahkamah

Konstitusi/MK

Agung/MA

yang

secara

dan

sebuah

Mahkamah

bersama-sama

memegang

kekuasaan kehakiman. Sedangkan di antara tiga kekuasaan di


atas, terdapat kekuasaan yang memegang peran dalam
mengawasi pengelolaan keuangan di setiap lembaga, yaitu
kekuasaan Inspektif dimana kekuasaan ini di pegang oleh
Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki perwakilan di
setiap

provinsi

dan

kabupaten/kota

di

seluruh

wilayah

Republik Indonesia, dan jika terdapaat kekeliruan dalam


pengelolaan keuangan, maka badan lain yang akan menindak
sesuai hukum yang berlaku.
Indonesia

terdiri

dari

33

provinsi

yang

memiliki

otonomi, 5 di antaranya memiliki status otonomi yang


berbeda, terdiri dari 3 Daerah Otonomi Khusus yaitu Aceh,

Papua, dan Papua Barat; 1 Daerah Istimewa yaitu Yogyakarta;


dan 1 Daerah Khusus Ibu kota yaitu Jakarta. Setiap provinsi
dibagi-bagi

lagi

menjadi

kota/kabupaten

dan

setiap

kota/kabupaten dibagi-bagi lagi menjadi kecamatan/distrik


kemudian dibagi lagi menjadi keluarahan/desa/nagari hingga
terakhir adalah rukun tetangga.
Pemilihan Umum diselenggarakan setiap 5 tahun untuk
memilih anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD yang
disebut pemilihan umum legislatif (Pileg) dan untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden atau yang disebut pemilihan
umum presiden (Pilpres). Pemilihan Umum di Indonesia
menganut sistem multipartai.
Ada

perbedaan yang besar antara sistem politik

Indonesia dan negara demokratis

lainnya

di dunia. Di

antaranya adalah adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat


yang merupakan ciri khas dari kearifan lokal Indonesia,
Mahkamah

Konstitusi

yang

juga

berwenang

mengadili

sengketa hasil pemilihan umum, bentuk negara kesatuan


yang menerapkan prinsip-prinsip federalisme seperti adanya
Dewan Perwakilan Daerah, dan sistem multipartai berbatas di
mana setiap partai yang mengikuti pemilihan umum harus
memenuhi ambang batas 2.5% untuk dapat menempatkan
anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat maupun di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD Kabupaten/Kota.
II.

Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang di
bahas adalah:

A. Bagaimana orientasi dan kualitas para pelaku politik di Indonesia pada

III.

umumnya?
B. Bagaimana kualitas pejabat publik dari kalangan artis?
C. Bagaimana tujuan kampanye di indonesia?
D. Bagaimana sistem birokrasi di Indonesia?
Tujuan
Dalam pembuatan karya ilmiah ini tujuan yang akan dicapai
adalah:
A. Mengetahui orientasi pejabat publik.
B. Mengetahui kondisi birokrasi di Indonesia saat ini.
C. Mengetahui sistem birokrasi di Indonesia

Isi
Birokrasi dalam sistem politik merupakan tuntutan
mutlak yang harus dipenuhi untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Pemberian layanan merupakan implikasi
dari fungsi negara sebagai media yang wajib memenuhi
kebutuhan rakyatnya. Birokrasi, baik secara personal maupun
institusional, merupakan organ negara yang diberi tugas
menjalankan

semua

kebijakan

pemerintah

yang

terkait

dengan kepentingan rakyat.


Peran ini menjadi strategis karena hanya mereka yang
memiliki
publik.

wewenang
Kondisi

ini

menguasai
membuat

akses
birokrasi

atas

kepentingan

rentan

terhadap

pengaruh kekuasaan atau politik praktis. Agar tidak terjebak


dalam permainan politik praktis, wewenang birokrasi dibatasi
sesuai dengan hierarki jabatannya. Menurut Max Weber,
hierarki jabatan dalam birokrasi disusun secara bertingkat,
dari yang paling tinggi sampai kepada yang paling rendah.
Dalam setiap hierarki terdapat kekuasaan pejabat birokrasi.
Pembatasan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
pencampuradukan kepentingan pribadi pejabat birokrasi ke

dalam

tugasnya

sebagai

pelayan

masyarakat

sehingga

birokrasi tetap menjadi kekuatan yang netral dari pengaruh


kelompok tertentu. Artinya, birokrasi tidak mudah dibawa ke
dalam

pertarungan

antara

aktor

politik

yang

sedang

berkompetisi atau cenderung lebih patuh pada kekuatan


politik yang menjadi patronnya. Netralitas birokrasi tercermin
dari kemampuan pejabatnya meletakkan fungsi birokrasi di
atas

semua

kepentingan

pribadi

dan

mengutamakan

kepentingan negara dan rakyat.


Tahun 2014 merupakan tahun pesta demokrasi terbesar
di Indonesia karena tahun 2014 merupakan tahun pemilihan
calon-calon pemimpin negeri ini. Pada 9 April 2014 lalu,
Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum legislatif
(Pileg) dimana pemilu tesebut diadakan untuk menentukan
orang-orang yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat
Republik

Indonesia/DPR

RI,

Dewan

Perwakilan

Daerah

Republlik

Indonesia/DPD

RI,

Dewan

Perwakialan

Rakyat

Daerah Provinsi/DPRD Provinsi dan Dewan Perwakilan Daerah


Kabupaten ataunKota/DPRD Kabupaten/Kota.
Namun yang sangat di sayangkan adalah pengambilan
cuti oleh kebanyakan pejabat pemerintah untuk kepentingan
kampanye,

dimana

seharusnya

seorang

pemimpin

dan

pejabat publik tidak lagi menjabat di dalam partai agar


seorang pemimpin dan pejabat publik tetap fokus melayani
rakyat, bukan melayani partai. Tidak tanggung-tanggung
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyonopun mengambil cuti
dua hari, pada 17 dan 18 Maret 2014 untuk menjadi juru
kampanye di Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah VI Kota
Magelang dan Kabupaten Magelang. Yudhoyono juga akan

berkampanye di Dapil Jawa Timur VI Kabupaten Tulungagung


dan

Kabupaten

Blitar.

Pejabat

negara

lain

yang

juga

mengajukan cuti kampanye adalah Irwan Prayitno (Gubernur


Sumatera Barat), Alex Noerdin (Gubernur Sumatera Selatan),
Ahmad Heryawan (Gubernur Jawa Barat), atau Soekarwo
(Gubernur Jawa Timur).
Pada pemerintahan Presiden RI ke-IV, Prof. DR (HC). Ing.
Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie di berlakukan aturan di
mana seorang pejabat publik tidak di perbolehkan menjabat
juga dalam partai, akibatnya pada waktu itu terjadi protes dari
para pejabat pemerintahan, tidak tangung tangung, ada 14
menteri yang mengundrukan diri dari Kabinet Pembangunan
VII seperti Akbar Tanjung yang pada waktu itu menjabat
sebagai Menteri Sekretaris Negara dalam pemerintahan dan
Ketua Umum Partai Golkar mengundurkan diri dan lebih
memilih partainya, tak hanya Akbar Tanjung ada sederet
nama

menteri

dan

penjabat

publik

yang

akhirnya

mengundurkan diri pada 20 Mei 1998, yaitu, Ir. Drs. AM.


Hendropriyono,
Kartasasmita,

SH,
Ir.

Giri

SE,

MBA,

Suseno

Prof.

Dr.,

Hadihardjono,

Ir.

Ginanjar

MSME,

Dr.

Haryanto Dhanutirto, Prof. Dr. Ir. Justika S. Baharsjah, M.Sc, Dr.


Ir. Kuntoro Mangkusubroto, M.Sc, Ir. Rachmadi Bambang
Sumadhijo, Prof. Dr. Ir. Rahadi Ramelan, M.Sc, Subiakto
Tjakrawedaya,

SE,

Sanyoto

Sastrowardoyo,

M.Sc,

Ir.

Sumahadi, MBA, Drs. Theo L. Sambuaga, Tanri Abeng, MBA.


Dan pada akhirnya sebelum beliau menyelesaikan tugasnya
sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan beliau di
turunkan lewat Sidang Umum 1999.

Masa

kampanye

seperti

ini

pada

saat

pemilu

sebenarnya merupakan momen yang tepat untuk mendidik


masyarakat agar mempunyai pengetahuan dan budaya politik
yang santun seperti amanat UU Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, pada pasal 77
dinyatakan bahwa kampanye pemilu merupakan bagian dari
pendidikan

politik

bertanggungjawab..

masyarakat
Sehingga

menghabiskan milyaran

dan
dana

dilaksanakan

secara

kampanye

yang

rupiah tidak sia-sia. Namun untuk

memenangkan pemilu, partai politik cenderung mengambil


jalan pintas sehingga tidak ada kaderisasi yang terbentuk,
partai politik cenderung menyusun strategi penuh untuk
memenangkan pemilu, bukan mengutamakan kader-kader
yang memang mampu melayani rakyat dan mmemajukan
negeri ini.
Partai politik dalam menentukan kadernya cenderung
melihat peluang kader tersebut akan duduk di pemerintahan,
bukan kualitas kader tersebut. Maka bukan fenomena lagi
banyak artis yang mendaftar untuk duduk di pemerintahan.
Tak hanya di tingkat daerah, kabarnya pada tahun 2014 ini
akan ada artis yang akan mencalonkan diri sebagai presiden.
Dalam masa sekarang popularitas meruapakan modal
utama untuk mencalonkan diri duduk dalam pemerintahan,
maka artis yang merupakan orang yang telah mempunyai
popularitas tinggi menjadi andalan dalam pencalonan kader
politik.
Masalahnya, seperti dikemukakan pengamat politik UIN
Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani, serigkali artis yang ingin

maju ke pilkada hanya mengandalkan popularitas sebagai


selebriti. Mereka juga semata-mata diposisikan sebagai vote
getter

ketimbang

calon

yang

dianggap

layak

sebagai

pemimpin. Jika dilihat dari sisi kualitas gagasannya, masih


banyak artis yang terjun ke politik belum terlalu kelihatan ke
permukaan. Modal utamanya popularitas, ujar Andi. Kalau
pun kemudian ada artis yang berhasil duduk sebagai orang
nomor dua di pemerintahan, fungsinya sangat terbatas.
Kewenangan

mereka

hanya

kewenangan

kebijakan,

seremonial,

ujarnya.

Direktur

tidak

punya

Riset

Charta

Politika, Arya Fernandez menambahkan, tingkat percaya diri


artis untuk maju dalam pilkada tinggi lantaran mereka merasa
tingkat

pengenalan

mengandalkan

publik

keartisan

atau

cukup

besar.

popularitas

Padahal,

tanpa

bekal

pengalaman politik yang baik sama saja merendahkan bakal


calon tersebut dan para pemilihnya. Hal senada disampaikan
pengamat politik UI, Arbi Sanit. Menurut dia, kebanyakan artis
maju dalam pilkada hanya mengandalkan popularitas, tapi
kurang dalam pemahaman politik. Bisa menang tapi tidak
bisa memimpin itu sama saja mengibuli. Jangan sampai artis
itu hanya tipu-tipu rakyat dengan popularitas, tandasnya.
Masalah kemampuan memerintah tak bisa dianggap enteng.
(http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/11/17
/243458)

PENUTUP
I.

Kesimpulan
Di Indonesia masih banyak sekali pejabat publik
yang

juga

sebagai

mempengaruhi

pejabat

kebijakan

yang

parpol
dibuat,

sehingga
fokus

para

pejabat publik juga terbagi dengan masalah internal


parpol sehingga tidak maksimal dalam memerintah,
karena pada hakikatnya pejabat publik adalah orang
orang yang mewakili rakyat yang melayani publik agar
hidup sejahtera.
Selain pejabat publik yang mandiri, tidak terikat
dengan kepentingan parpol juga di butuhkan pejabat
publik yang mumpuni di bidangnya, bukan pejabat
publik yang ahli dalam berjanji, ahli dalam berkakting
dan lain sebagainya. Karena pada hakikatnya pejabat
public adalah orang-orang yang memang pandai untuk
mengurus

negeri

ini,

mengurus

penduduk

yang

jumlahnya mencapai 237.641.326 pada tahun 2010.


Kampanye yang menurut UU Nomor 8 Tahun 2012
Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, pada
pasal

77

dinyatakan

bahwa

kampanye

pemilu

merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat


dan

dilaksanakan secara

belum

dilaksanakan,

bertanggungjawab,

partai

politik

masih

cenderung

mengambil jalan pintas untuk menemui tujuannya,


maka bukan lagi kader yang handal yang diutamakan
namun cara-cara ataupun kader-kader yang mempunyai
peluang besar untuk duduk dalam pemerintahan. Maka
begitu kegiatan kampanye selesai, rakyat kembali
menjadi

massa

kampanye

mengambang.

berikutnya

target

Dan

pada

penarikan

kegiatan
suara

itu

berulang. Lebih banyak suara mengambang daripada


suara yang telah terkaderisasi. Maka tidak heran jika
kampanye partai politik terkesan sporadis tanpa terlihat
jelas target audiencenya.

II.

Saran
Saran dari penulis untuk pemerintah dari masalah
yang telah di kaji adalah sebagai berikut:
a. Harus ada regulasi larangan pejabat publik rangkap
jabatan di parpol.
b. Pengawalan dan pengawasan dalam pelaksanaan
pemilu.
c. Mengembalikan kaidah tujuan pemilu sesuai UU
Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD.
d. Perlunya seleksi yang selektif untuk menentukan
kader yang akan di ajukan oleh parpol untuk duduk
dalam pemerintahan.

Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Pembangunan_VII
http://id.wikipedia.org/wiki/Bacharuddin_Jusuf_Habibie
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?
aid=7732&coid=3&caid=31&gid=2
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/11/
17/243458
http://duniabembi.blogspot.com/2013/04/kampanyepemilu-2014-bag-1.html
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?
tabel=1&id_subyek=12
http://nefosnews.com/post/nasional/Cuti-BerjemaahPejabat Negara,-Kosongkah-Pemerintahan

10

Anda mungkin juga menyukai