Serta Penerapannya
Nama
NPM
Fakultas/ Prog. Studi
Kasus penimbunan BBM marak terjadi di Indonesia. Salah satu penyebabnya yaitu
kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM menyebabkan beberapa oknum berpikiran
untuk menimbun BBM terlebih dahulu sehingga ketika harga BBM sudah naik , barulah ia
menjualnya agar mendapat keuntungan yang cukup besar. Hal ini sungguh memprihatinkan
mengingat ketika harga BBM naik, sebagian besar elemen bangsa ini menolak kenaikan
harga BBM, akan tetapi malahan ada sebagian rakyat spekulan dan penimbun BBM yang
justru menari-nari atas kenaikan harga BBM. Akibat dari aktivitas penimbunan BBM ini
menyebabkan distribusi BBM ke setiap daerah menjadi kacau sehingga banyak daerah yang
mengalami krisis BBM. Apabila hal ini terus berlanjut maka kebijakan pemerintah dalam
hal mengurangi anggaran negara akan terganggu karena sebagian keuntungan yang dapat
digunakan untuk mengurangi subsidi pemerintah telah diambil oleh oknum oknum yang
tidak bertanggung jawab.
Banyak kasus kasus penimbunan BBM yang pada akhirnya tidak selesai
ditanggulangi bahkan terkesan tidak diurusi oleh pihak kejaksaan. Padahal sudah ada
hukum hukum yang mengatur tentang perkara penimbunan BBM yang disertai dengan
sanksinya. Namun dalam penerapannya masih sangat kurang diterapkan dengan baik. Baik
dari sisi penegak hukum maupun penimbun sama sama melakukan kesalahan. Pada
dasarnya penyebab paling penting yang menyebabkan adanya oknum yang melakukan
penimbunan BBM yaitu kurangnya pendidikan moral dan kesadaran akan kepentingan
orang banyak dibandingkan kepentingan diri sendiri.
1. UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi dalam menanggulangi
tindakan SPBU yang melakukan penimbunan bahan bakar minyak
2. Pasal 7 ayat 2 UU No. 22 tahun 2001 yang berbunyi badan usaha atau
masyarakat dilarang melakukan penimbunan atau penyimpanan serta
penggunaan jenis BBM tertentu yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang undangan.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1953 tentang Penetapan UU Darurat tentang
Penimbunan Barang. Undang-undang itu adalah pengembangan UU Darurat
Nomor 17/1951 untuk merespons kondisi rush periode itu. Pada pasal 5,
hukuman bagi pelanggar atau penimbun sekurang-kurangnya enam tahun
penjara dan objek hukumnya disita untuk negara (pasal 6).
4. UU Migas Nomor 22/2001, ketentuan pidana bagi pelanggar juga ada dalam
pasal 53 : Setiap orang yang kedapatan melakukan penyimpanan BBM tanpa
izin usaha penyimpanan, maka pidana penjara tiga tahun penjara dan denda
maksimal Rp 30 miliar.
5. Pasal 55 UU Migas menyebutkan bahwa pihak yang menyalahgunakan
pengangkutan atau niaga BBM yang disubsidi negara potensial berhadapan
dengan pidana penjara enam tahun dan denda maksimal Rp 60 miliar.
6. Pasal 53 huruf d juncto pasal 23 ayat (2) UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi (UU Migas), yakni melakukan kegiatan penyimpanan minyak
bumi tanpa izin usaha penyimpanan
7. Pasal 480 ke-1 e KUH Pidana tentang penadahan yakni Dipidana dengan pidana
penjara selama lamanya 4 tahun atau denda sebanyak banyaknya sebilan
ratus rupiah barang siapa membeli, menyewa, menukari, menerima gadai,
menerima sebagai hadiah atau karena mau mendapat untung, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau
menyembunyikan sesuatu barang yang diketahui atau dapat disangka bahwa
barang itu diperoleh karena kejahatan
8. Pasal 33 UUD 1945
- Ayat 1 : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
-
kekeluargaan.
Ayat 4 : Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
hal yang perlu diperhatikan bahwa UU Migas mengatur kegiatan usaha migas baik hulu
maupun hilir dengan melalui perizinan yang menggunakan sanksi pidana. Hal yang
harus diperhatikan lebih dahulu adalah pengawasan dalam hukum administrasi negara.
2. Penegak Hukum
Dalam hal penanggulangan penimbunan BBM, maka pengeak hukum yang berperan
penting adalah pihak kepolisian, dibantu dan berkoordinasi dengan pihak terkait seperti
BPH Migas ( termasuk PPNS BPH Migas ). Dalam usaha penanggulangan penimbunan
BBM tetntu diperlukan inisiatif dari para penegak hukum. Sebenarnya dalam hal
bertindak para penegak hukum telah mempunyai dasar yaitu UU No. 22 tahun 2001
untuk memberantas para penimbun BBM. Bunyi pasal 46 yaitu pengawasan terhadap
pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak dan pengangkutan gas
bumi dan pada pasal 50 yang berisi bahwa polisi diperbolehkan untuk :
- Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak
pidana dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi
- Menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan
tindak pidana dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi
- Melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha minyak dan gas bumi
dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan
tindak pidana
- Menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti
Dengan adanya dasar untuk bertindak seharusnya para penegak hukum dapat dengan
tegas dalam melakukan tugas tugasnya dan tidak segan segan dalam
menindaklanjuti kasus penimbunan BBM. Keahlian khusus dalam hal minyak dan gas
bumitentu juga dibutuhkan dalam proses penegakan hukum.
3.
4.
keadaan masyarakat. Tujuan pemidanaan pun berkembang untuk menuju suatu masyarakat
yang tertib dan jika harus ada pembalasan pembalasan tersebut harus sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan. Berpijak dari tujuan hukum pidana dan faktor faktor tersebut,
penegakan hukum pidana dalam menanggulangi penimbunan BBM belum dapaat berjalan
secara efektif.
Sanksi yang Tepat untuk Digunakan Dalam Usaha Menanggulangi Penimbunan BBM
Dalam UU migas ini kita pun tidak hanya menemukan pengaturan mengenai sanksi
pidana, tetapi juga terdapat sanksi administrasinya. Kdeua aturan ini khususnya dapat
dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan penimbunan BBM. Meskipun telah diatur dan
dapat dikenakan dua sanksi secara bersamaan ternyata perbuatan itu masih saja dilakukan.
Maka perlu dilakukan peninjauan ulang tentang ketepatan dalam menanggulangi tindakan
penimbunan BBM.
Penimbunan BBM termasuk ke dalam pasal 55 yaitu penyalahgunaan izin
pengangkutan dan niaga. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam hal ini bahwa tidak
semua perbuatan termasuk ke dalam penyalahgunaan izin merupakan bentuk dari perbuatan
yang termasuk dalam tindakan administrasi. Perbuatan perbuatan yang termasuk ke dalam
penyalahgunaan izin tersebut terdapat perbuatan yang memang merupakan perbuatan
pidana dan perbuatan administrasi. Dalam menerapkan sanksi pidana kita harus
memperhatikan batasan batasan karakteristik dari penggunaan sanksi pidana tersebut.
Dalam menanggulangi masalah penimbunan BBM akan lebih baik jika hukum
pidana dilakuan apabila hukum administrasi sudah dilakukan dan belum memerikan hasil
yang terbaik. Penggunaan sanksi pidana dalam UU Migas dirasa masih kurang berjalan
efektif dimana pelanggaran pelanggaran yang terjadi dari tahun ke tahun terus meningkat.
Penggunaan hukum pidana dalam usaha menanggulangi perbuatan penimbunan BBM
ternyata belum memberikan efek jera. Tidaknya muncul efek jera karena penggunaan
hukum pidana yag belum tepat untuk menanggulangi penimbunan BBM.
Sebagai contoh kasus penimbunan BBM yang dilakukan oleh SPBU. Penyebab
permasalahan penimbunan BBM yaitu perbuatan perbuatan yang diawali dengan adanya
izin bahwa SPBU dapat melakukan kegiatan usaha hilir Migas juka sudah mendapatkan
izin dari pemerintah. Namun ternyata penggunaan hukuk perizinan tersebut belum
dilakukan dengan baik, salah satu penyebabnya pengawasan perizinan yang kurang baik.
Akibat kasus ini diterapkannya hukum pidana untuk menanggulangi kasus ini. Akan tetapi,
sanksi pidananya dihilangkan namun perbuatan ini tetap merupakan pelanggaran hukum
yang nantinya dikenakan sanksi administrasi.
Ada juga kasus transaksi Tarwiyah dan sopir truk tangki pengangkut bensin dan
solar dari Pertamina Unit III. Tim Terpadu menemukan 66 drum berisi solar di rumah
Tarwiyah. Di persidangan jaksa menggunakan surat dakwaan alternatif. Terdakwa dituduh
melanggar Pasal 53 huruf d juncto pasal 23 ayat (2) UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi (UU Migas), yakni melakukan kegiatan penyimpanan minyak bumi tanpa
izin usaha penyimpanan. Atau, melanggar Pasal 480 ke-1 e KUH Pidana tentang
penadahan. Jaksa menuntut hukuman tiga tahun penjara dan denda tiga juta rupiah subsider
dua bulan kurungan. Jaksa juga meminta agar barang bukti dirampas untuk dimusnahkan.
Pengadilan Negeri Indramayu menjatuhkan vonis 6 bulan penjara dan denda satu
juta rupiah subsider satu bulan kurungan. Sedangkan barang bukti dikembalikan kepada
terdakwa. Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengoreksi lamanya hukuman menjadi satu tahun
dan denda menjadi dua juta rupiah subsider dua bulan kurungan. Tarwiyah dinilai terbukti
melanggar UU Migas. Merasa tak jelas dasar hakim banding menaikkan vonis, Tarwiyah
mengajukan kasasi. Namun majelis hakim agung dipimpin Mansyur Kartayasa menolak
permohonan kasasi tersebut. Dengan demikian ia harus menjalani hukuman satu tahun
penjara akibat menyimpan minyak bumi tanpa izin.
Dari dua kasus diatas sangat terlihat bahwa penegakan hukum di Indonesia masih
tidak tegas. Masih banyak kasus kasus yang lolos dari sanksi yang telah ditetapkan.
Ditambah lagi terkadang hukuman serta kasus tersebut tiba tiba berhenti dan tidak tahu
lagi bagaimana kelanjutannya. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat berani melakukan
tindakan penyelewengan walaupun sudah ada hukum yang mengatur tentang hal tersebut
beserta sanksinya juga karena dalam hal penegakan hukumnya tidak tegas, dalam hal
penyelidikannya tidak tegas, dalam hal menetapkan sanksi pidana misalnya berapa tahun
harus di penjara masing masing keputusannya berbeda sehingga terlihat sekali dalam
pelaksanaan penegakan hukum masih kurang efektif.
Berdasarkan apa yang sudah dibahas diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sudah terdapat hukum yang mengatur masalah penimbunan BBM yaitu UU No. 22
tahun 2001
2. Penegakkan hukum pidana dala usaha menanggulangi kasus penimbunan BBM
belum berjalan secara efektif dikarenakan beberapa faktor seperti UU yang belum
sempurna, penegak hukum yang belum dapat melaksanakan tanggung jawab scera
optimal karena kurangnya sarana dan fasilitas yang diperlukan, kurangnya tenaga
ahli dibidang minyak dan gas , dan masyarakat.