Anda di halaman 1dari 2

Nasionalisme dan Teknologi 2.

0
Sabtu, 06 September 2014, 13:30 WIB
Di Youtube, seorang yang di akhir namanya memakai sebutan yang diarab-arabkan 'alIndonesi' menggemparkan politik Indonesia. Dengan memegang kertas putih yang tampak
sesekali dilihatnya, dengan berbaju hitam dan beserban hitam, dengan landasan tauhid yang
diyakininya tanpa keraguan secuil pun, dan didampingi oleh beberapa orang bersenjata
senapan serbu, Abu Muhammad al-Indonesi mengajak warga (Islam) Indonesia untuk
bergabung ke dalam Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau yang kemudian menjadi
Negara Islam (IS).
Semua yang dilakukan oleh Abu Muhammad al-Indonesi ini atau orangorang yang ada di
sampingnya atau kelompok-kelompok serupa, di mungkinkan oleh kehadiran dan
kemampuan teknologi web digital 2.0 (internet). ISIS memang ditolak hampir semua
organisasi keagamaan di Indonesia dan Pemerintah Indonesia sudah mela rangnya.
Namun, tampaknya semua hal ini tidak bakal menghilangkan ISIS dari kehidupan masyarakat
Indonesia yang tersebar di dunia internet dengan bebas.
Sampai saat ini, kita masih bisa mendapatkan informasi, ajakan, dan berbagai hal tentang
ISIS tanpa bisa dihalangi, termasuk oleh otoritas pemerintah.
Kalau kita melihat secara retrospektif ke masa awal perkembangan nasionalisme,
sebagaimana dikatakan pakar politik gagasan nasionalisme Ben Anderson, kita juga disuguhi
perkembangan teknologi komunikasi mutakhir: teknologi cetak dan moda transportasi
modern yang memungkinkan perpindahan manusia dan pergerakan gagasan nasionalisme.
Teknologi cetak memungkinkan terstandardisasi bahasa tulis, produksi buku dan surat kabar,
dan membentuk satu wilayah komunitas politik. "Keterkaitan esensial dari transportasi jarak
jauh dan komunikasi kapitalis-cetak memberikan dasar bagi perkembangan
pergerakanpergerakan nasionalisme pertama pada akhir abad ke-18," kata Ben Anderson
(2002: 110).
Pada 1990-an, teknologi komputer dan internet, masih menurut Ben Anderson, menghasilkan
"nasionalisme jarak jauh" (long distance nationalism). Mereka "membangun sirkuit informasi
komputer antar benua" melalui e-mail atau mailing list atau situs internet atau web content
yang pada akhirnya memperkuat politikiden titas mereka. Mereka melakukan kerja politik
etnisisasi dalam satu negara-bangsa.
Dalam beberapa kasus, mereka bisa mengirim uang untuk tujuan politik, membeli senjata
perang, atau diplomasi politik internasional sebagai bentuk perjuangan nasionalisme berbasis
etnis atau ras. Nasionalisme jarak jauh ini, seperti dikatakan Ben Anderson (2002), mampu
"menciptakan sebuah politik yang serius yang pada saat yang sama tidak dapat di
perhitungkan secara pasti". Para aktornya sering tidak bisa dikenai sistem hukum negara
tempat mereka tinggal hidup, tidak perlu takut pada penjara, siksaan, atau kematian
sebagaimana dialami oleh para pejuang nasionalisme pada awal abad lalu.
Pergolakan politik di Aceh dan Timor Timur beberapa tahun lalu, atau barang kali di Papua
saat ini, sedikit banyak kegagalan dan keberhasilannya dipengaruhi oleh nasionalisme jarakjauh dengan bantuan teknologi internet. Begitu juga, salah satu penyebab keruntuhan

Soeharto, sedikit banyak juga disebab kan oleh kemampuan dan keampuhan teknologi
internet yang digunakan oleh kelompok aktivis prodemokrasi.
Dan saat ini, seperti kelompok Abu Muhammad al-Indonesi di Indonesia, yang muncul pada
abad XXI ini adalah semacam ultranasionalisme berbasis agama yang tampaknya bakal
memiliki napas lebih panjang daripada nasionalisme berbasis ethnos tahun 1990-an yang
sekarang sudah hampir tidak terdengar lagi. Mereka sangat sadar terhadap penting dan
pengaruh teknologi mutakhir.
Internet yang mereka gunakan bukan hanya teknologi cetak termutakhir yang bisa dibilang
tanpa batas, tapi juga secara bersamaan mampu menjadi teknologi penyebaran yang masif
tiada henti.Video itu bisa menjadi semacam virus yang terus berpindah, bermutasi, dan
bergerak terus menghampiri manusia.
Ini bukan teknologi cetak biasa yang digunakan para nasionalis awal pada abad ke-18, tapi
teknologi yang juga mengikutsertakan masyarakat banyak menjadi penyebar sekaligus,
dengan relatif sangat aman terhadap ancaman dan hukuman dari otoritas satu negara.
Teknologi web 2.0 mampu menjadi pencetak dan penyebar, layaknya sistem multilevel
marketing yang canggih. Inilah yang sangat disadari oleh kelompok Abu Muhammad alIndonesi.
Teknologi internet sudah sedemikian baik digunakan oleh kelompok Abu Muhammad alIndonesi atau kelompok serupa. Teknologi 2.0 memang mampu melewati batas-batas
geografis nasionalitas, tapi masih belum mampu meruntuhkan batas nasionalitas secara
politis.
Kesatuan administrasi politik dan batas-batas kedaulatan teritorial negara masih belum
tertembus, kecuali dengan perang di Irak atau Suriah. Inilah salah satu yang masih
menggagalkan gerak Abu Muhammad al-Indonesi atau kelom pok serupa, tapi barang kali
mereka akan menganggap ini sebagai tantangan.
Maka, secara politis Indonesia ti dak perlu risau, tapi jangan pernah mengabaikan
kemampuan dan keampuhan teknologi 2.0, sebagaimana teknologi cetak tidak per nah
disadari dan di prediksi oleh kaum kolonialis bakal menggusur kekuasaan me reka yang
sudah bertahun-tahun dibangun.
M FAUZI SUKRI
Pemerhati masalah sosial politik
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/14/09/06/nbgyaw-nasionalismedan-teknologi-20

Anda mungkin juga menyukai