Anda di halaman 1dari 16

KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT

CIREUNDEU

I. PENDAHULUAN
Salah satu pendekatan dalam upaya memahami manusia yang telah
banyak ditampilkan oleh sementara pakar adalah manusia dikembalikan
ke dalam dunia makronya (annimal kingdom). Manusia secara fisik dan
mental mengembangkan sumber daya insani, mewariskan nilai-nilai
budaya dan menentukan masa depan manusia, baik sebagai individu
maupun sebagai bangsa. Pada hakekatnya masyarakat tak lain dari pada
orang-orang atau kelompok orang yang hidup bersama yang mampu
menghasilkan, memelihara dan mengembangkan berbagai sistem nilai,
yang dikemas ke dalam konsep yang disebut kebudayaan.
Kebudayaan adalah monopoli makhluk manusia yang memiliki
sejumlah predikat atau sebutan, antara lain manusia. Konsep kebudayaan
bisa lebih spesifik manakala dilihat dari dimensi isinya dengan acuan
konsep yang berkenaan dengan unsur-unsur kebudayaan yang bersifat
universal, yang artinya bahwa unsur-unsur yang ada dan dimiliki oleh
setiap kelompok ke kelompok. Kebudayaan yang ada di Indonesia
sangatlah banyak, sedikitnya 43 dari 293 budaya Jawa Barat yang sudah
terinventarisasi dinyatakan punah. Karena adanya banyak kebudayaan
sehingga manusia itu sendiri membentuk suatu kelompok yang
mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda, tetapi ada juga yang
membentuk suatu kelompok didalamnya merupakan suatu masyarakat
yang memiliki adat dan budaya yang khusus berlaku di daerah kehidupan
kelompok tersebut, seperti cara memngkonsumsi makanan pokoknya,
kehidupannya, bergaulnya dan juga agama dan ras yang berbeda dengan
sosial budaya biasanya, suatu kelompok masyarakan yang memiliki
kehidupan yang berbeda terutama dalam hal :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Sistem religi dan upacara keagamaan


Sistem dan organisasi kemasyarakatan
Sistem pengetahuan
Bahasa
Kesenian
Sistem mata pencaharian hidup
Sistem teknologi dan peralatan.
Maka dari itu peneliti akan menguraikan dalam bab pembahasan
mengenai unsur-unsur universal kebudayaan di atas yang terdapat di
budaya adat kampung Cireundeu yang bertempat di Cimahi Selatan.

II.

PEMBAHASAN
BUDAYA KAMPUNG ADAT CIREUNDEU

Kampung Cireundeu merupakan salah satu lokasi yang terletak


dikelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi, hal ini
berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Kota Cimahi. Kampung Cireundeu terletak diperbatasan kota Cimahi
dengan Kabupaten Bandung Barat tepatnya dengan Kecamatan Batujajar.
Jarak dari kampung Cireundeu ke Kelurahan Leuwigajah --/+ 3 Km dan 4
Km ke kecamatan serta 6 Km ke kota atau Pemerintah Kota Cimahi,
dengan keadaan topografi datar, bergelombang sampai berbukit.
Kampung Cireundeu dikelilingi oleh gunung Gajah langu dan
Gunung Jambul disebelah Utara, gunung Puncak Salam di sebelah Timur,
Gunung Cimenteng di sebelah Selatan serta Pasir Panji, TPA dan Gunung
Kunci disebelah Barat. Dari ketinggian Gunung gajah langu -/+ 890 meter
dpl. Selayang pandang terlihat jelas panorama Kota Cimahi, Kota Madya
Bandung dan Kabupaten Bandung yang berada pada cekungan dan
hamparan telaga.
Cireundeu berasal dari nama pohon reundeu, karena sebelumnya
di kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu. pohon reundeu itu
sendiri ialah pohon untuk bahan obat herbal. Maka dari itu kampung ini di
sebut Kampung Cireundeu. Kampung Cireundeu, dimana dulu lebih
dikenal dengan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Leuwi Gajah,
kita jangan berharap akan melihat pemandangan lahan sawah yang
menghijau atau padi yang menguning, seolah ingin mengubur dalamdalam peristiwa longsornya gunungan sampah tanggal 21 Februari 2005
yang merenggut 157 nyawa, kini ditempat yang dulu gunungan sampah
itu, kita akan banyak dimanjakan dengan pemandangan kebun singkong
yang terbentang luas. Tempat ini adalah tempatnya masyarakat kita yang
dinobatkan sebagai Pahlawan Pangan karena masyarakat disini
makanan pokoknya bukan nasi tetapi singkong.
Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 70
KK atau 320 jiwa terdiri dari 1 RW, 5 RT yang memiliki tradisi berbeda.
Sebagian penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun
1918), tidak pernah menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan
pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat
kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara
turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi
kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan silih asah, silih asih, silih

asuh, tata, titi, duduga peryoga. Mereka memegang teguh pepatah


Karuhun Cireundeu, yaitu: Teu boga sawah asal boga pare. Teu boga
pare asal boga beas Teu boga beas asal bisa nyangu. Teu nyangu asal
bisa dahar. Teu dahar asal kuat.
Kampung Adat Cireundeu sendiri memiliki luas 64 ha terdiri dari 60
ha untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman. Sebagian besar
penduduknya memeluk dan memegang teguh kepercayaan Sunda
Wiwitan hingga saat ini. Selalu konsisten dalam menjalankan ajaran
kepercayaan serta terus melestarikan budaya dan adat istiadat yang telah
turun-temurun dari nenek moyang mereka. Maka pemerintah menetapkan
Kampung Adat Cireundeu sebagai kampung adat yang sejajar dengan
Kampung Naga (Tasikmalaya), Kaepuhan Cipta Gelar (Banten, Kidul,
Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Urug (Bogor), Kampung
Mahmud (Bandung), dan kampung adat lainnya.
Masyarakat
adat
Cireundeu
sangat
memegang
teguh
kepercayaannya, kebudayaan serta adat istiadat mereka. Mereka memiliki
prinsip Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman arti kata dari Ngindung
Ka Waktu ialah kita sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan
keyakinan masing-masing. Sedangkan Mibapa Ka Jaman memiliki
arti masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan
zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat
komunikasi berupa hand phone, dan penerangan. Masyarakat ini punya
konsep kampung adat yang selalu diingat sejak zaman dulu, yaitu suatu
daerah itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.

Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh


ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air
untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.

2.

Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan


untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya
namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang
baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.

3.

Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat


digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya
ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkon atau ketela, dan umbiumbian.

Berikut hasil penelitian yang dapat dilaporkan mengenai 7 unsur


kebudayan yang ada di kampung adat Cireundeu:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
Masyarakatnya masih menganut kepercayaan yang disebut dengan
Sunda Wiwitan. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu menyebut diri

mereka penganut Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan mengendung arti Sunda


yang paling awal. Bagi mereka, agama bukan sarana penyembahan
namun sarana yang harus diaplikasikan dalam kehiduapan. Mereka masih
memegang teguh tradisi turun-temurun. Pangeran Madrais diakui sebagai
pemimpin/imam mereka. Ia menganut kepercayaan Sunda Wiwitan
tersebut. Ia jugalah yang dianggap sebagai nenek moyang warga
Kampung Adat Cireundeu.
Esensi ajaran Pangeran Madrais adalah pembangunan jati diri
bangsa yang berkorelasi dengan kecintaan pada tanah air. Istilah tanah air
disebutnya sebagai tanah amparan. Disinilah terletak perbedaan
mendasar antara Sunda Wiwitan dengan agama-agama yang diintroduksi
dari luar Nusantara. Tampak kentalnya nilai-nilai kebangsaan dan
kemandirian budaya dalam ajarannya.

2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan


Masyarakat desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih
banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu
aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya
yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial
hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat secara tahan lama,
dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Seorang sosiolog terkemuka yaitu Pitirim A. Sorokin (J.D. Douglas,
1981:83) menyatakan bahwa sistem berlapis-lapis merupakan ciri yang
tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur, seperti
yang terjadi pada desa. Hal tersebut menyebabkan stratifikasi sosial yang
melekat pada desa. Stratifikasi sosial dapat dipengaruhi oleh kekuasaan
dan peran yang terdapat dalam kedudukan sosial seseorang. Faktor-faktor
yang menjadi ukuran atau kriteria sebagai dasar pembentukan dasar
pelapisan sosial yaitu, ukuran kekayaan, ukuran kekuasaan dan
wewenang, ukuran kehormatan, dan ukuran ilmu pengetahuan.
Kedudukan sosial merupakan tempat seseorang secara umum dalam
masyarakatnya yang berhubungan dengan orang lain, dalam arti
lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajibankewajibannya.
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat
unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga
Kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih
terjaga
dan
terpelihara,
sebagaian
masyarakatnya
masih
mempertahankan adat leluhurnya, makanan pokonya nasi yang terbuat

dari singkong atau di kenal dengan nama Rasi atau beras singkong,
bahkan macam-macam produk makanan yang berbahan dasar singkong
tersedia di kampung ini.
Kampung Cireundeu adalah salah satu model kampung yang
sebagian besar penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya
akan beras sebagai makanan pokok sehari hari, singkong adalah
pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan warganya dari kerisis
pangan yang terjadi sampai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan
kekurangan kebutuhan akan makanan pokok. Singkong di kampung
ciereundeu dapat di buat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat
dijadikan sebagai contoh yang dapat di implementasikan di daerah lain
sebagai bukti nyata program ketahanan pangan. Bentuk sistem
kekerabatan masyarakat desa merupakan refleksi dari bentuk-bentuk
interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan
(competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau
pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin akan mendapatkan suatu
penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima
untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Ini berarti kedua
belah pihak belum tentu puas sepenunya. Suatu keadaan dapat dianggap
sebagai bentuk keempat dari interaksi sosial. Keempat bentuk pokok dari
interaksi sosial tersebut tidak perlu merupakan suatu kontinuitas, di
dalam arti bahwa interaksi itu dimulai dengan kerja sama yang kemudian
menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertikaian untuk akhirnya
sampai pada akomodasi.
Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap
kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan
out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang
menyinggung anggota/perorangan lainnya.
Fungsi Kerjasama digambarkan oleh Charles H.Cooley kerjasama
timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingankepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai
cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya
kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan
fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna.
Akomodasi (Accomodation) Istilah Akomodasi dipergunakan dalam
dua arti : menujuk pada suatu keadaan dan untuk menujuk pada suatu
proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan
dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok
manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial

yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi


menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu
pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.

a. Lembaga Kemasyarakatan (Klompok Masyarakat) Yang Terjadi di


Kampung Cirendeu RW 10 terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat.
Kelompok Adat :

Sesepuh

Ais pangampih

Pangintren
Kelompok Pemerintah Daerah

RT

RW
Kelompok Bertani
Kelompok Bertani yang berkelompok
Kelompok bertani individu
Kelompok Berternak
Kelompok Berternak kelompok
Kelompok Berternak Individu
Kelompok ibu-ibu Kreatif
Olahan kue atau makanan dari singkong
b. Adapun struktur kepengurusan Kelompok Ternak dan Kelompok Tani
masyarakat kampung Cireundeu adalah sebagai berikut:

Susunan Pengurus Kelompok Ternak Makmur Kampung Cireundeu


KETUA
Asep Wardiman
SEKRETARIS
DAHARA
Sudrajat
Widia

BEN

SEKSI
KESEHATAN
SEKSI PEMASARAN
Atang dan Dede
Tatang
PETERNAK DOMBA

Susunan Pengurus Kelompok Tani Ubi Kayu Kampung Cireundeu

KETUA
Asep Wardiman
BLOK CIMENTENG
PUNCAK SALAM
Atang
Kanda
SEKRETARIS
BENDAHARA
Sudrajat
Widia
SEKSI KESEHATAN
SEKSI PEMASARAN
Atang
Tatang

BLOK

PETANI UBI KAYU


Di Kampung Cireundeu juga tidak ditemukan adanya Stratifikasi
Sosial.Disana semua masyarakat dianggap sama, terbukti bahwa di
tempat bale balenya pun atau semacam Aula yang ada di kampung
tersebut , tempat para warga berkumpul, tidak memakai kursi , tetapi
hanya memakai alas saja , semacam karpet atau tikar , itu dikarenakan
semua orang disana dianggap sama , tidak ada perbedaan. Jadi disana
tidak terjadi persaingan yan menunjukan kekayaan, Profesi, dan
Kedudukan.
Kedudukan
yang
ada
disana
hanya
tingkatan
Sesepuh
( Kepengurusan untuk keseluruhan adat ) , Ais Pangasih dan Pangintren
( kepengurusan pendatang / tamu dari luar yang ingin melihat atau
mengunjungi Kampung tersebut). Ketiga kedudukan tersebut dipilih
masyarakat dengan cara dilihat orang tersebut berkharisma dan patut
disepuhkan di masyarakat itu.
Saking tidak ada perbedaan satu sama lain diantara mereka, bila
ada seorang warga tidak mempunyai Rasi atau makanan, warga yang lain
ikut membantu kepada warga yang tidak mempunyai makanan tersebut.
Selain itu juga, warga disana sangat mengukuhkan tali kekeluargaan ,
warga disana sudah menganggap satu warga dengan warga lain seperti
keluarga , seperti yang telah dijelaskan di atas. Warga disana juga
mengukuhkan sifat bergotong royong , bila ada sarana tempat tinggal
atau lingkungan yang rusak , maka semua warga akan bergotong royong
memperbaikinnya , semua lapisan masyarakat terutama laki laki ikut
untuk bergotong royong.

3. Sistem pengetahuan
Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila
orang-perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan
menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa
yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan
goyahnya pola-pola kehidupan yang telah ada. Proses sosial dapat
diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan
bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan politik,
politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum, dan seterusnya.
Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial,
karena tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat
dinamakan sebagai proses sosial) karena interaksi sosial merupakan
syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial
merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut
hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia,
maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi
sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi anatara kelompok
tersebut sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi
anggota-anggotanya.
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di
dalam masyarakat. Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjadi
benturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok.
Interaksi sosial hanya berlangsung antara pihak-pihak apabila terjadi
reaksi terhadap dua belah pihak. Interaksi sosial tak akan mungkin teradi
apabila manusia mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu
yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem syarafnya, sebagai
akibat hubungan termaksud.
Interaksi sosial menjelaskan proses pembentukan nilai, norma, dan
adat. Proses ini tak lepas dari pewarisan kelompok manusia atau
masyarakat yang menjadi pendahulunya. Tetapi mereka tidat menutup
kemungkinan dengan datangnya pengaruh teknologi, mereka menerima
adanya pembaharuan dan teknologi untuk masuk ke kampung adat inilah
yang membedakan dengan kampung adat lainnya. Banyak anak cucu
mereka yang sudah berhasil dan menjadi Sarjana.

4. Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan untuk sehari hari adalah dengan
menggunakan bahasa sunda wiwitan sebagai alat komunikasi antar
manusia dan sebagai alat pengantar mereka dalam pergaulan dan
bersosialisasi. Disamping itu juga bahasa indonesia juga sering
dipergunakan sebagai pelengkap komunikasi.
5. Kesenian
Ada satu hal yang menjadi tradisi kebudayaan juga sebagai adatistiadat yang dilakukan oleh masyarakat adat ini dalam hal bidang
sprititual yang sangat sakral, yaitu adat Tutup taun ngemban Taun 1
Sura Saka Sunda, artinya menutup tahun lalu dan menyambut tahun
baru Saka Sunda (Muharraman). Tradisi ini dilakukan setiap 1 tahun sekali
tepatnya pada tanggal 1 Sura.
Acara ini berupa syukuran yang selalu dilaksanakan di tempat
pertemuan yang disebut Bale Pertemuan pada malam minggu, karena
biasanya pada malam minggu ini semua warga selalu berkumpul bersama
(diskusi, memainkan alat kesenian) di Bale tersebut hingga pagi. Acara
pada penutupan tahun yang lalu dan penyambutan tahun baru Saka
Sunda itu dilakukan adat sungkeman kepada sesepuh adat, tokoh-tokoh
adat, dan dilanjutkan kepada warga-warga yang lainnya. Kemudian pada
tanggal 22 Sura dilanjutkan acara penutupan yang berupa acara hiburanhiburan, diantaranya kesenian Karinding, Celempung, Kecapi Suling,
Gondang, dan sebagainya yang diiringi anak-anak atau warga yang
menyumbangkan suaranya untuk bernyanyi sunda. Hal ini terbiasa
dilakukan para warga masyarakat adat Cireundeu dalam menutup tahun
yang lalu dan menyambut tahun baru Saka Sunda setiap satu tahun
sekali.
Kepercayaan ini dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi
nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama
Cigugur. Mereka percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan
serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar tidak berubah. Falsafah hidup
masyarakat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu,
dan mereka masih memegang ajaran moral tentang bagaimana
membawa diri dalam hidup ini. Ritual 1 Sura yang rutin digelar sejak kala,
merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan,
demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam.
Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan
mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin,
laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit.

Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa


yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain
dan mahluk hidup lain rasakan. Selain itu masyarakat Cireundeu
menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan
singkong. Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak
mau terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti,
dimana orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik,
warga sini adem ayem saja karena singkongnya pun hasil kebun sendiri.
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat
unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga
kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih
terjaga dan terpelihara, sebagian masyarakatnya masih mempertahankan
adat leluhurnya .
6. Sistem mata pencaharian hidup
Bahwa sebagian besar warganya mengonsumsi beras singkong atau
rasi sebagai makanan pokok dihasilkan dari ampas singkong racun
(karikil)
yang
telah
diambil
acinya.
Sebelum menentukan singkong karikil sebagai bahan pilihan makanan
pokok mereka, para warga masyarakat telah mencoba berbagai jenis
bahan makanan, seperti jagung (Zea mays), hanjeli (Coix lacryma-jobi),
talas (Colocasia esculenta), ganyol (Canna edulis), dan sorgum (Sargum
bicolor). Dalam mengonsumsi singkong, mulanya mereka hanya merebus.
Belakangan mereka menemukan keterampilam untuk membuat bahan
mirip nasi dari bahan singkong racun.
Keunikan inilah yang menjadi dasar mengapa Kampung Adat
Cireundeu dipilih sebagai lokasi penerapan program Desa Wisata
Ketahanan Pangan (Dewitapa). Saat ini, warga Kampung Adat Cireundeu
--terutama para ibu-- mengembangkan kemampuan mereka untuk
mengolah bahan baku singkong racun menjadi berbagai penganan yang
banyak diminati orang.
Adapun aturan dalam memproduksi singkong ini harus ditanam
pada lahan yang sudah tersedia dan ditentukan. Lahan yang terdapat
dihutan tersebut terdiri dari lahan garapan/produktif dan lahan larangan.
Lahan garapan/produktif inilah yang digunakan masyarakat untuk
bercocok tanam terutama ubi kayu (singkong) sebagai bahan pokok yang
utama. Sedangkan lahan larangan merupakan penyeimbang lahan dan
tidak boleh ditanam oleh apapun, hal ini juga guna untuk menghindari
bahaya longsor ke pemukiman warga.
Adat istiadat ini terutama penghayatan sunda pasundan yang
menjadikan ubi kayu (singkong) sebagai makanan pokok utama

merupakan warisan yang diturunkan turun-temurun oleh nenek moyang


terdahulu yang tidak boleh hilang meskipun Kp.Cireundeu ini berada
ditengah-tengah kota Cimahi yang sudah tergerus dengan kebudayaan
luar.
Sebenarnya hal tersebut merupakan paksaan atau keharusan tetapi
ada kata-kata leluhur yang memang dipegang kuat oleh keturunannya.
Kata-kata itu adalah Dipigawe Bakal Ngaraksuk, Dilanggar Bakal
Ngaruksak. Oleh karena itu meskipun masyarakat adat Cireundeu ini
kehidupannya sudah modern, tetapi tidak pernah meninggalkan atau
menghilangkan adat-istiadat yang diwariskan nenek moyangnya
terdahulu, artinya adat-istiadatnya tetap dipertahankan serta mengikuti
perkembangan zaman yang dapat disebut ciri wanci, cara wangsa.

7. Sistem teknologi dan peralatan.


Dengan pengolahan lahan untuk menanam singkong. Untuk
menjaga kesuburan lahan, pengolahan lahan yang digunakan untuk
tanaman singkong. Penanaman singkong dilakukan secara berjangka.
Dalam satu lahan yang luas, dibagi menjadi beberapa bagian dengan luas
yang sama. Jarak tanam antarpohon diusahakan tidak terlalu sempit, yaitu
kurang lebih 50 cm.
Penanaman bibit singkong (stek) diawalai pada lahan bagian
pertama. Setelah penananaman pada bagian pertama selesai, akan
dilanjutkan dengan pengolahan lahan bagian kedua. Pada lahan kedua ini
pun dilakukan hal yang sama seperti pada lahan pertama, begitu
seterusnya, sampai semua lahan yang digarap selesai ditanami singkong.
Selama menunggu waktu panen, petani akan kembali ke lahan
pertama kali diolah, untuk memberisihkan tanaman-tanaman yang
tumbuh liar di sekitar tanaman singkong tersebut. Pengolahan lahan dan
penanaman singkong pada satu lahan memerlukan waktu sekitar satu
bulan. Olah tanam seperti ini dilakukan karena dengan cara perti itu
sesuai dengan pengalaman mereka- hasil yang diperoleh lebih
berkualitas. Kandungan aci dalam singkong akan lebih baik.
Setelah usia satu tahun, petani akan mulai memanen singkong
tersebut dengan bantuan saudara-saudaranya atau pun anak lelakinya.
Setelah panen. Lahan tersebut diistirahatkan terlebih dahulu selama tiga
bulan. Tujuannya adalah agar unsur hara dalam tanah dapat kembali
subur. Sambil menunggu diistirahatkan petani kemudian akan menanam
singkong di lahan lainnya sampai panen selesai. Setelah kurang lebih tiga

bulan masa diistirahatkannya lahan pertama, kemudian petani akan


menggarap dan mengolah lahan selanjutnya dan menanaminya kembali
begitu seterusnya.
Dari keunikan-keunikan yang dimilikinya itu, Kampung Adat
Cireundeu memiliki apa yang disebut dengan kearifan lokal. Dari sisi nilai,
kearifan lokal merupakan kekayaan yang patut dirawat. Pertanyaannya
adalah dapatkan segala keunikan ini dijadikan kekayaan yang terus
kepertahankan? Perlukah keunikan-keunikan tersebut ditularkan untuk
warga kampung lain dalam rangka program ketahan pangan?
Keunikan inilah yang menjadi dasar mengapa Kampung Adat
Cireundeu dipilih sebagai lokasi penerapan program Desa Wisata
Ketahanan Pangan (Dewitapa). Saat ini, warga Kampung Adat Cireundeu
--terutama para ibu-- mengembangkan kemampuan mereka untuk
mengolah bahan baku singkong racun menjadi berbagai penganan yang
banyak diminati orang.
Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan ketela mulai dari
akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (beras
singkong), ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dan aneka kue
berbahan dasar ketela. Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit,
daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan
makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan,
biasanya dijadikan sayur lodeh atau dendeng kulit ketela. Selain untuk
dikonsumsi sendiri hasilnya juga dapat dijual pada wisatawan sebagai
buah tangan.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan adanya sikap
keterbukaan tersebut yaitu, letak kampung Cireundeu itu sendiri yang
tidak jauh dari Kota tepat nya di perbatasan kota cimahi. Sehingga arus
modernisasi dari kota dapat dengan mudah masuk ke kampung mereka.
Adapun bukti dari sikap keterbukaan mereka terhadap kemajuan teknologi
dapat terlihat dalam beberapa fakta yang peneliti temukan di lapangan
sebagai berikut:
1. Bentuk bangunan rumah yang permanen dengan bentuk dan ukuran
yang tidak sama. Sehingga memberikan kesan pertama terhadap
pengunjung bahwa suasana Kampung Cireundeu tidak seperti
kampung adat lainnya, melainkan seperti perkampungan biasa.
2. Cara berpakaiannya rapi dan modis.
3. Alat-alat rumah tangga yang digunakan sudah modern, seperti kompor
gas, dispenser, kulkas, dan lain-lain.
4. Alat-alat komunikasi dan telekomunikasi yang digunakan berupa
Televisi(TV), Handphone(HP), Radio, dan lain-lain.

5. Kepandaian masyarakat Cireundeu dalam mengolah singkong, mereka


peroleh dari keterbukaan dan keantusiasan mereka dalam menerima
dan mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh mahasiswamahasiswa yang sedang melakukan penelitian, dan lain-lain.
Sehigga Masyarakat Kampung Cireundeu dapat memanfaatkan
singkong mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat
diolah menjadi rasi (beras singkong), ranggening, opak, kecimpring,
peyeum atau tape, dan aneka kue berbahan dasar singkong (seperti
kue keju, kue lidah kucing, egg rolls, dan sebagainya). Batangnya
dapat dimanfaatkan menjadi bibit, daunya dapat di jadikan lalapan
atau disayur juga dapat dijadikan makanan ternak. Terakhir kulitnya
dapat dibuat menjadi makanan olahan, biasanya dijadikan sayur lodeh
atau dendeng kulit singkong. Selain untuk dikonsumsi sendiri hasilnya
juga dapat dijual pada wisatawan sebagai buah tangan yang memiliki
nilai jual yang tinggi.
6. Alat-alat yang digunakan dalam proses pengolahan singkong sudah
menggunakan mesin yang canggih, terutama alat yang digunakan
dalam pembuatan Rasi (Beras Singkong).
7. Kemasan dan label/merk olahan-olahan tersebut sudah ditulis dengan
menggunakan computer.
8. Pendidikan rata-rata masyarakat Cireundeu adalah SMP dan sebagian
ada juga yang Sarjana.
9. Para anak mudanya sudah mengenal internet.
10. Pernikahan bisa dilakukan dengan warga daerah manapun. Tidak
harus selalu dilakukan dengan warga kampung setempat.

III.

KESIMPULAN

Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh


masyarakat yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu,
sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan
beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung
Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu
memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak
terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian
dan kerukunan silih asah, silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga
peryoga. Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu,
yaitu: Teu boga sawah asal boga pare. Teu boga pare asal boga beas Teu
boga beas asal bisa nyangu. Teu nyangu asal bisa dahar. Teu dahar asal
kuat.
Masyarakat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda
Wiwitan, Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal

dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan namun sarana


aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi dan
jarang sekali ditemukan situs-situs penyembahan. Pangeran Haji Ali
Madrais yang diakui sebagai nenek moyang masyarakat Cireundeu
mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia benar-benar pergi
memenuhi rukun Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena dianggap
sebagai pemimpin atau imam.
Mereka percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan
serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar tidak berubah. Falsafah hidup
masyarakat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu,
dan mereka masih memegang ajaran moral tentang bagaimana
membawa diri dalam hidup ini. Ritual 1 Sura yang rutin digelar sejak kala,
merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan,
demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam.
Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan
mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin,
laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. Karena itulah manusia
harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk
kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup lain
rasakan. Selain itu masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka
dengan tidak memakan nasi melainkan singkong. Pangeran Madrais
pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka
pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung
memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja
karena singkongnya pun hasil kebun sendiri.
Aliran kepercayaan Sunda Wiwitan masih eksis bertahan dan
memiliki penganut setia di Kampung Cireundeu. Namun dari segi
keunikannya, warga kampung ini masih mengonsumsi singkong sebagai
makanan pokok dan mayoritas masih menjalankan ajaran Pangeran
Madrais dari Cigugur, Kuningan itu. Secara fisik Cireundeu memang
kampung biasa, namun karena ketatnya menjalankan tradisi karuhun,
kampung ini akhirnya dikukuhkan secara de facto sebagai kampung adat.
Meskipun kampung Cireundeu dinobatkan sebagai salah satu kampung
adat yang ada di Jawa Barat, tetapi mereka tidak pernah menutup diri
dari perkembangan teknologi. Bisa di bilang kampung Cireundeu adalah
Kampung Adat yang fleksibel. Dalam batasan-batasan tertentu mereka
secara terbuka menerima teknologi di tengah-tengah kehidupannya,
tanpa melupakan adat para leluhurnya. Bagi mereka menjaga apa yang
telah diwariskan oleh para leluhurnya, bukan berarti tidak boleh bergaul
dengan yang lainnya. Apalagi sampai menutup diri dari perkembangan
Zaman. Sehingga sampai pada saat ini gaya hidup masyarakat Kampung
Cireundeu bisa dikategorikan pada gaya hidup yang modern.

Masyarakat adat Kampung Cireundeu menganut kepercayaan


tersendiri. Penduduk kampung Cireundeu tersebut pada mulanya
menggunakan beras sebagai makanan pokoknya. Alasan beralih menjadi
singkong sebagai makanan pokok karena pada masa penjajahan Belanda
terjadi kekurangan pangan khususnya beras. Oleh karenanya pengikut
aliran kepercayaan tersebut diwajibkan berpuasa dengan cara mengganti
nasi beras dengan nasi singkong sampai waktu yang tidak terbatas.
Tujuan berpuasa adalah agar segera merdeka lahir dan bathin, menguji
keyakinan para penganut aliran kepercayaan serta agar mereka selalu
ingat pada Tuhan Yang Maha Esa.
Beralihnya makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu
dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih tahun 1918,
yang dipelopori oleh Ibu Omah Asmanah, putra Bapak Haji Ali yang
kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di kampung Cireundeu. Ibu
Omah Asmanah mulai mengembangkan makanan pokok non beras ini,
berkat kepeloporannya tersebut Pemerintah melalui Wedana Cimahi
memberikan suatu penghargaan sebagai Pahlawan Pangan, tepatnya
pada tahun 1964.
Selain tersebut diatas kearifan budaya lokal masih sangat kental
yang selalu diterapkan dilingkungan masyarakat adat kampung
Cireundeu. Kepedulian dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan
sekitar menjadi bagian dari kehidupan warga, sebagaimana petuah
leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan
dalam bahasa sunda sebagai berikut: Gunung Kaian, Gawir Awian,
Cinyusu Rumateun, Sampalan Kebonan, Pasir Talunan, Dataran
Sawahan, Lebak Caian, Legok Balongan, Situ Pulasaraeun,
Lembur Uruseun, Walungan Rawateun, jeung Basisir Jagaeun.
Pepatah lainnya juga sebagai berikut : Saha anu wani ngarempak
jagat Pasundan leuweung kahiyangan isuk jaganing pageto pati
kudu wani disanghareupan Nu wani ngaguna sika leuweung
saliara karamat tutupan hirup cadu mawa hurip, kaluhur ulah
sirungan ka handap ulah akaran..Nu nisca kalakuan remen nigas
pucuk linduh dinatangkal hirup teu maslahat hamo lana
dipungkas nemahing ajal. Cahaya isun meting kawani titis galur
siliwangi. Ya isun tajimalela nu rek ngajaga wana nepikeun ka
pejah nyawa.
Dalam bidang budaya juga ada kata-kata leluhur yang memang
dipegang kuat oleh keturunannya. Kata-kata itu adalah Dipigawe Bakal
Ngaraksuk, Dilanggar Bakal Ngaruksak. Oleh karena itu meskipun
masyarakat adat Cireundeu ini kehidupannya sudah modern, tetapi tidak
pernah meninggalkan atau menghilangkan adat-istiadat yang diwariskan
nenek
moyangnya
terdahulu,
artinya
adat-istiadatnya
tetap

dipertahankan serta mengikuti perkembangan zaman yang dapat disebut


ciri wanci, cara wangsa.

Anda mungkin juga menyukai