Anda di halaman 1dari 17

PROPOSAL

USULAN PENELITIAN

POLA ANAK DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN


BERDASARKAN KELAINAN OAE (OTOACUSTIC
EMISSION) PERIODE JANUARI 2012 DESEMBER 2014 DI
RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG

dr Febryanti Purnama Sari

DEPARTEMEN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN /
RS DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG 2015
1

POLA ANAK DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN


BERDASARKAN KELAINAN OAE (OTOACUSTIC
EMISSION)
STUDI DI POLIKLINIK THT-KL RSUP DR. HASAN SADIKIN PERIODE
JANUARI 2012 DESEMBER 2014
Febryanti Purnama Sari
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNPAD RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung.
INTISARI
Latar Belakang: Gangguan pendengaran (hearing loss) dapat terjadi pada semua
usia, Beberapa literatur medis menyebutkan beberapa faktor yang didapatkan
pada

neonatus dan anak dengan gangguan pendengaran misalnya kelainan

kongenital,

bayi

hiperbilirubinemia,

lahir

prematur,

pemakaian

asfiksia,

ventilator

dalam

obat-obatan
waktu

ototoksik,

lama,

infeksi

Toxoplasmosis Rubella Cytomegalovirus dan Herpes simplex (TORCH) pada


kehamilan, berat badan lahir rendah, meningitis. Saat ini OAE (Otoacoustic
emission) merupakan salah satu tehnik pemeriksaan baku emas (gold standard)
dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dan sensitifitas mendekati
100%. Jarangnya anak yang hanya mempunyai satu faktor tersebut

diatas

menyebabkan kesulitan menentukan faktor terbanyakyang bersamaan. Masih


sering didapatkan hasil yang berbeda dari hasil penelitian-penelitian yang telah
dilakukan

dalam

mendapatkan faktor

tersebut. Tujuan: mengetahui pola

kelainan gambaran OAE pada anak dengan gangguan pendengaran di poliklinik


THT-KL RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2012 Desember
2014. Metode penelitian: Deskriptif Retrospektif, sampel berasal dari data rekam
medis pasien anak dengan gangguan pendengaran yang dilakukan pemeriksaan
OAE di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2012 Desember
2014.
Kata kunci: BBLR, Asfiksia, Prematur, Kejang, Ikterus, TORCH, OAE.

ABSTRACT
Background: Hearing loss (hearing loss) may occur at any age, some medical
literature mentions several factors acquired in neonates and children with
hearing loss, for example congenital abnormalities, premature birth, asphyxia,
ototoxic drugs, hyperbilirubinemia, prolonged ventilator use, Toxoplasmosis
Rubella Cytomegalovirus infection and herpes simplex (TORCH) in pregnancy,
low birth weight, meningitis. Nowadays OAE (Otoacoustic emission) is one of the
gold standard examination technique with the principle of checks fast, easy, noninvasive and a sensitivity approaching 100%. Scarcity of children who only have
one of the above factors cause the most trouble determining factors
simultaneously. Still often obtained different results from the results of studies that
have been done in getting these factors. Objective: To determine the pattern of
description of OAE abnormalities in children with hearing loss in the ENT clinic
of Dr. Hasan Sadikin Hospital, to the period between Januari 2012 - March
2014. Method: Retrospective descriptive, samples originating from paediatric
patient`s medical records with hearing problems OAE examination at Dr. Hasan
Sadikin Hospital the period between January 2012 - Desember 2014
Key words: low birth weight, asphyxia, premature, seizures, jaundice, TORCH,
OAE

DAFTAR ISI

Judul ................................................................................................................i
Abstrak...........................................................................................................ii
Daftar Isi

iv

BAB I. Pendahuluan

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB III. Metodologi Penelitian


3.1 Jenis Penelitian

3.2 Sampel Penelitian

3.2.3 Kriteria inklusi

3.2.4 Kriteria eksklusi.

3.3 Definisi Operasional 8


3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

10

3.5 Alur Penelitian .............................................................................10


3.6 Analisa Data .10
Daftar Pustaka ................................................................................................11

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan pendengaran (hearing loss) dan ketulian (deafness) dapat


terjadi pada semua usia sejak lahir sampai usia lanjut, namun kadang-kadang
tidak disadari, apalagi jika terjadi pada bayi. Dampak gangguan pendengaran dan
ketulian tidak hanya berakibat pada terganggunya perkembangan wicara dan
bahasa,

namun

pada

tahap

selanjutnya

akan

menyebabkan

hambatan

perkembangan akademik, ketidakmampuan bersosialisasi, perilaku emosional


dan berkurangnya kesempatan memperoleh pekerjaan.1 Prevalensi gangguan
pendengaran sedang hingga sangat berat bilateral pada bayi baru lahir adalah 13
per 1000 kelahiran.1 Gangguan pendengaran yang terjadi pada bayi baru lahir
sebagian besar merupakan tuli sensorineural, bilateral dan permanen dengan
derajat ringan sedang sampai sangat berat. Oleh karena itu diperlukan deteksi
dini dalam 3 bulan setelah lahir pada kejadian gangguan pendengaran kongenital
atau perinatal sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan atau intervensi yang
optimal sebelum usia 6 bulan. Penatalaksanaan yang cepat dan tepat sangat
penting

dikarenakan

tahun

pertama

kehidupan

sangat

penting

dalam

perkembangan proses bicara dan bahasa serta pertumbuhan emosional dan


intelektual, dimana dari semua hal tersebut pendengaran yang normal memiliki
peranan yang besar.1,2,3
Beberapa literatur medis menyebutkan beberapa faktor yang dijumpai pada
gangguan pendengaran pada neonatus

misalnya kelainan kongenital, bayi

lahir prematur, asfiksia, obat-obatan ototoksik, hiperbilirubinemia, pemakaian


ventilator dalam waktu lama, infeksi Toxoplasmosis Rubella Cytomegalovirus
dan Herpes simplex (TORCH) pada kehamilan, berat badan lahir rendah,
meningitis.4 Jarangnya anak yang hanya mempunyai satu faktor tersebut
diatas menyebabkan kesulitan menentukan yang menjadi faktor tersering pada

anak dengan gangguan pendengaran. 4,5,6


Di negara maju, angka tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran
hidup, sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan oleh
Departemen kesehatan di 7 Provinsi pada tahun 1994-1996 yaitu sebesar 0,1%.
Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah
penduduk sebesar 214.100.000 juta.1
Tiap tahun sekitar 4000 bayi lahir dengan gangguan pendengaran. Di
Amerika Serikat rata-rata insidensi neonatus dengan gangguan pendengaran
sekitar 1,1 per 1000 dengan variasi yang berbeda dari 0,22 sampai 3,61 menurut
penelitian Mehra et al. Prevalensi gangguan pendengaran pada anak dan dewasa
adalah 3,1% dimana lebih banyak terjadi pada penduduk dengan sosial ekonomi
yang rendah.2
Gangguan pendengaran sering diabaikan karena orang tua tidak langsung
sadar anaknya menderita gangguan, kadang-kadang anak dianggap sebagai anak
autis atau hiperaktif karena sikapnya yang sulit diatur. Berdasarkan hal tersebut,
diagnosis dini gangguan pendengaran sangatlah penting. Menemukan gangguan
pendengaran pada bayi tidaklah mudah, seringkali baru diketahui setelah usia 2
3 tahun. Menurut Sininger di AS tanpa program skrining pendengaran gangguan
pendengaran baru diketahui pada usia 18 24 bulan. Di Poliklinik THT
Komunitas RSCM (1992 2006) didapatkan 3087 bayi/anak tuli saraf berat
bilateral usia terbanyak adalah 1 3 tahun (43,70%) dan 6,41% yang berusia di
bawah 1 tahun.2 Skrining pendengaran bayi baru lahir adalah menemukan
gangguan pendengaran sedini mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi segera,
menggunakan pemeriksaan elektrofsiologik; bersifat obyektif, praktis, otomatis
dan non invasive.4
Deteksi gangguan pendengaran sebetulnya dapat dilakukan oleh orangtua
secara sederhana, misalnya dengan mendengarkan sumber bunyi ke bayi dan
mengamati respon bayi dan ini bersifat subyektif. Kini dengan kemajuan
teknologi, pemeriksaan pendengaran yang obyektif dapat dilakukan sedini
mungkin dengan menggunakan alat yang relatif aman dan mudah digunakan,
salah satunya dengan menggunakan alat emisi otoakustik yang saat ini merupakan

pemeriksaan baku emas. Tentu saja dengan adanya deteksi dini diharapkan
habilitasi menggunakan alat bantu dengar juga dilakukan sesegera mungkin untuk
memperoleh hasil yang lebih baik sehingga terjadi perbaikan dalam hal
perkembangan bahasa dan penambahan kosakata seorang anak.5
Saat ini OAE (Otoacoustic emission) dan AABR (Automated Audiometry
Brainstem Response) merupakan tehnik pemeriksaan baku emas (gold standard).6
, karena metoda ini : obyektif, aman, tidak memerlukan prosedur yang invasif atau
pengobatan sebelum dilakukan pemeriksaan; pemeriksaannya cepat, hanya
memerlukan waktu beberapa detik sampai menit; caranya mudah, dapat dilakukan
oleh siapa saja tanpa memerlukan keahlian khusus; biaya alat yang relatif murah
dan sensitifitas mendekati 100%.7,8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 A. Berat Bayi Lahir Rendah dan Prematur


Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan bayi yang dilahirkan dengan
berat kurang dari 2500 gram atau kurang dari 5,5 pon. Secara umum BBLR dibagi
menjadi dua yaitu : bayi prematur dan bayi kecil untuk masa kehamilan.4
1. Bayi Prematur
Makin rendah masa gestasi dan makin kecil bayi yang dilahirkan makin
tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Dengan pengelolaan yang optimal dan
dengan cara cara yang kompleks serta menggunakan peralatan yang memadai,
gangguan yang berhubungan dengan bayi prematur dapat diatasi batas timbulnya
permasalahan pada derajat prematuritas, dapat digolongkan dalam tiga kelompok,
yaitu :4 a.) Bayi yang sangat prematur, dengan masa gestasi 24 30 minggu. b.)
Bayi dengan derajat prematur sedang, yaitu masa gestasi 31 36 minggu. c.)
Borderline premature, yaitu bayi dengan masa gestasi 37 38

minggu.

2. Bayi kecil untuk masa kehamilan


Bayi kecil masa kehamilan sering disebut juga sebagai intrauterine growth
retardation (IUGR), ada 2 bentuk IUGR yaitu : 4 a.) Proportionate IUGR, janin
lahir dengan berat, panjang, dan lingkaran kepala dalam proporsi yang seimbang,
akan tetapi keseluruhannya masih dibawah masa gestasi yang sebenarnya. b.)
Dispropotionate IUGR, janin lahir dengan panjang dan lingkaran kepala normal
akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi.
Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting, dipakai
pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur.
Berat badan merupakan hasil peningkatan/penurunan antara lain tulang, otot,
lemak, cairan tubuh. Berat badan dipakai sebagai indikator terbaik pada saat ini
untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak. 4

Kualitas bayi baru lahir juga dapat diketahui melalui pengukuran berat
badan bayi setelah dilahirkan. Pengukuran berat badan bayi lahir dapat dilakukan
dengan menggunakan timbangan yang relatif murah, mudah dan tidak
memerlukan banyak waktu. Berat badan bayi lahir dapat diklasifikasikan menjadi
2 yaitu berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat badan lahir normal (BBLN).4
B. Asfiksia dan Kejang
Asfiksia neonatorum adalah kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa
depresi pernapasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai komplikasi.4
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,
hiperkarbia dan asidosis.9
Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan
ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami
episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki . disfungsi dari
berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama.11
Gangguan pada fungsi penglihatan dan pendengaran dapat terjadi secara
langsung karena proses hipoksia dan iskemia, ataupun tidak langsung akibat
hipoksia iskernia susunan saraf pusat atau jaras-jaras yang terkait yang
menimbulkan kerusakan pada pusat pendengaran dan penglihatan. Kepekaan
pendengaran ditentukan antara lain oleh besarnya potensi endocochlear Scala
media di telinga dalam. Di bawah hipoksia, pasokan oksigen telinga dalam
terganggu, mengakibatkan penurunan sensitivitas pendengaran dan karenanya
meningkatkan ambang batas pendengaran. Hal ini terjadi kemungkinan besar
disebabkan depresi potensial endocochlear. Ketika ada kekurangan pasokan
oksigen ke vascularis stria, generator potensi endocochlear, yaitu pompa natriumkalium yang memiliki kebutuhan energi yang tinggi, ditekan, akibatnya, stimulus
suara dengan intensitas sama menghasilkan potensial reseptor yang lebih kecil dan
pada akhirnya meningkatkan ambang dengar.12,13
C. Penyebab lain.
Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat badan
lahir rendah (< 2500 gram), tindakan dengan alat pada proses kelahiran (ekstraksi

vakum, forcep), hiperbilirubinemia (bayi kuning), asfiksia (lahir tidak langsung


menangis), dan hipoksia otak (nilai Apgar < 5 pada 5 menit pertama.) Menurut
American Academy Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994) pada
bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor berikut ini harus dicurigai,
karena merupakan kemungkinan penyebab gangguan pendengaran :14 Riwayat
keluarga dengan tuli sejak lahir, infeksi prenatal; TORSCH, kelainan anatomi
pada kepala dan leher, sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital, berat
badan

lahir

rendah

(BBLR

<

2500

gram),

meningitis

bakterialis,

hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi, asfiksia berat,


pemberian obat ototoksik, menggunakan alat bantu pernapasan/ ventilasi mekanik
lebih dari 5 hari (ICU).
F. Emisi Otoakustik
Emisi otoakustik pertama kali ditemukan oleh Gold pada tahun 1948 dan
diperkenalkan oleh Kemp pada tahun 1978. Emisi otoakustik merupakan suara
dengan intensitas rendah yang diproduksi oleh koklea baik secara spontan ataupun
menggunakan stimulus, yang disebabkan oleh gerakan sel-sel rambut luar di
telinga bagian dalam. Gerakan-gerakan ini adalah hasil mekanisme sel yang aktif,
yang dapat terjadi baik secara spontan, maupun oleh rangsangan bunyi dari luar.11
Bunyi click dengan intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua
tone dapat mencetuskan pergerakan sel rambut luar, kemudian terjadi biomekanik
dari membran basilaris sehingga menghasilkan amplifikasi energi intrakoklear dan
tuning koklear. Pergerakan sel rambut luar menimbulkan energi mekanis dalam
koklea yang diperbanyak keluar melalui sistem telinga tengah dan membran
timpani menuju liang telinga. Getaran dari membrana timpani menghasilkan
sinyal bunyi (Emisi otoakustik), yang dapat diukur dengan mikrofon.15
Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah guna menilai keadaan
koklea, khususnya fungsi sel rambut. Hasil pemeriksaan dapat berguna antara lain
untuk : Skrining pendengaran (khususnya pada neonatus, infan atau individu
dengan gangguan perkembangan).16

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriftif retrospektif
3.2 Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan subjek penelitian berupa data sekunder yang didapat
dari data rekam medis pasien anak yang melakukan pemeriksaan OAE di
poliklinik THT-KL RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2012
Desember 2014 dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
3.2.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah seluruh pasien yang berusia 0 hari sampai dengan 12 tahun,
pasien laki-laki dan perempuan, hasil OAE refer.
3.2.2

Kriteria Ekslusi

Kriteria eklusi adalah pasien dengan data yang tidak lengkap.


3.3 Definisi Operasional
1. Definisi : DPOAE adalah pemeriksaan pendengaran secara objektif yang

dilakukan dengan menggunakan mesin OAE AuDx System

Bio-Logic

System Corp. Protokol yang digunakan adalah protokol pemeriksaan


ototoksik. Cara ukur : Prosedur pemeriksaan dilakukan dengan
menempatkan probe OAE pada liang telinga pasien yang akan diperiksa

kemudian alat di set untuk melakukan pemeriksaan secara otomatis lalu


dilakukan bergantian

pada telinga yang lainnya kemudian hasil

pemeriksaan dicetak.
Hasil ukur : pass adalah 4 pass dari 6 pemeriksaan
refer adalah <4 pass dari 6 pemeriksaan
Skala ukur : kategorik
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin pasien yang didapatkan sejak lahir yaitu laki-laki dan
perempuan.
Alat ukur : kuesioner
Hasil ukur : 1.Laki-laki, 2. Perempuan
Skala ukur : Kategorik-Nominal
3. Umur
Umur pasien yang didapatkan dengan pertanyaan tanggal lahir dan
dinyatakan dalam tahun.
Alat ukur : kuesioner
Skala ukur : kontinyu
4. Riwayat kelahiran ( BBLR,asfiksia,kejang,yg lain)
Alat ukur : kuesioner
Hasil ukur : 1. Ya 2. Tidak
Skala ukur : kategorik normative
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian ini bertempat di Poliklinik THT-KL RS dr.Hasan Sadikin
Bandung, untuk pengambilan data dari rekam medis pasien periode 1 Januari
2012 31 Desember 2014. Pengambilan Data dilakukan pada bulan Juni
sampai dengan Agustus 2015.
3.5 Alur Penelitian
Kartu status
pasien
Data identitas
pasien
Pemeriksaan
Hasil
OAE
Distribusi dan
frekuensi
Pola anak
dengan refer
OAE

3.6 Analisis Data


Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa univariate.

Daftar Pustaka
1. Sirlan F, Suwento R (eds). Hasil survey kesehatan Indera Pengelihatan dan
Pendengaran 1993 1996. Depkes RI,1997
2. Suwento R, Sislavsky S, Hendarmin H. Gangguan Pendengaran pada Bayi
dan Anak. Dalam: Buku Ajar Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan,
Kepala, dan Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2008;28-30
3. Zizlavsky S. Perananan ASSR Dalam Prediksi Ambang Dengar Untuk
Kepentingan Habilitasi Gangguan Pendengaran Pada Anak. Departemen
THT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta Indonesia. Dalam:
Kumpulan Abstrak PIT Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL ke VII.
Instructional Course Bandung 2008;8
4. Kosim MS. Gangguan napas pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS,
Yunanto A. Eds. Buku ajar neonatologi. edisi I. Jakarta: Balai penerbit
IDAI; 2008: 126 46
5. Sistiarani C. faktor maternal dan kualitas pelayanan antenatal yang
beresiko terhadap kejadian Berat Badan Lahir Rendah 2008. Undip
Semarang 2008.
6. Soetjipto D. Skrining Pendengaran Pada Bayi Baru Lahir. RSUD
Mojokerto. Jawa Timur 2007.
7. Leighton G, Siegel MD Dalam: Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1997
8. Guyton. Dalam: Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1997.
9. Bellman S. Vanniasegaram I. Testing Hearing In Children. In : ScottBrowns Otolaryngology. Paediatric Otolaryngology. Vol 6. 6 th ed
Butterworth Heinemann. London 1997;1- 15.
10. Lee K.J. & Peck J.E. Audiology. In : Lee K. J. Essential Otolatyngology.
Head & Neck Surgery. 8th ed, McGraw-Hill. 2003;24 64.
11. Friedmann I. Pathology of The Cochlea. In : Scots-Browns
Otolaryngology. 6th ed. Vol 3. Butterworth heinnemann. London 1997;151
12. Suleh S, Djelantik. Skrining Fungsi Pendengaran Pada Neonatus Dengan
Menggunakan Alat Emisi Otoakusik (Echo-Screen). SMF Ilmu THT FK
UNPAD / RSUP Dr. Hasam Sadikin. Bandung. Dalam : Kumpulan Naskah
Ilmiah KONAS XII PERHATI. Semarang 1999.
13. Moller A. R. Hearing. Anatomy and Physiology, and Disorder of The
Audiotory System. 2nd ed. Elsevier. USA. 2006;41 56
14. Universal Newborn Hearing Screening Recommended Guidelines for
Hosital/Birthing Facilities, Primary care Physicians/ Medical Home and
audiologists Familiy and community health Bueareau Health Policy and
Services Division Montana of Public Health and Human Services 2002.
15. Joint Committee on Infant Hearing, Academy of Audiology, American
Academy of Pediatrics : Principles and Guidelines for Early Hearing

Detection and Intervention. Program Pediatrics. Vol 106. No. 4. 2000;798


817.
16. Norton & Stover. Otoacoustic Emissions. An Emerging Clinical Tool. In :
Katz J. Handbook of Clinical Audiology. 4 th ed. Williams & Wilkins.
Baltimore-USA. 1994;48 61.
17. Campbell K.C.M. Otoacoustic Emissions. Departement of Surgery,
Division of Otolatyngology, Southrn Illionis University School of
Medicine. 2006.
18. Haddad Jr. J. Hearing Loss. In : Nelson Textbook of Pediatrics. 17 th ed.
Saunders. Philadelphia 2004;2129-35.
19. Gomella et al. Follow Up Of High Risk Infant. In : Lange. Clinical
manual. Neonatology management, Procedures, On call Problems,
Diseases and Drugs. 5th ed. McGraw-Hill Companies. USA 2004;139

42

Anda mungkin juga menyukai