Anda di halaman 1dari 10

No.

ID dan Nama Peserta :


/ dr.Feby Farah Wahibah
No. ID dan Nama Wahana:
/ RSUD Massenrempulu Enrekang
Topik: Kejang Demam
Tanggal (kasus) : 06 Oktober 2014
Nama Pasien : An.F
No. RM : 11 84 77
Tanggal presentasi : 28 Januari 2015
Pendamping: dr.Zulfakhri Sulaiman
Tempat presentasi: RSUD Massenrempulu Enrekang
Obyek presentasi :
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Deskripsi: Seorang anak 2 tahun datang dengan keluhan utama demam yang dialami sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, terus menerus, disertai kejang 3 kali di rumah. Kejang dialami lebih
dari 15 menit dan terjadi pada sebagian tubuh saja. Pasien tidak pernah mengalami hal serupa
sebelumnya. Batuk tidak ada pilek tidak ada, BAB: Biasa BAK: lancar
Tujuan: memberikan penanganan pada pasien kejang demam
Bahan
Tinjauan
Riset
Kasus

Audit

bahasan:
Cara

Pos

pustaka
Diskusi

membahas:

Presentasi dan

E-mail

diskusi

Data Pasien: Nama: An.F


No.Registrasi: 05 39 89
Nama klinik
RSUD Massenrempulu Enrekang
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/gambaran klinis: Seorang anak 2 tahun datang dengan keluhan utama demam
dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit terus menerus, disertai kejang 3 kali di
rumah. Kejang dialami lebih dari 15 menit dan terjadi pada sebagian tubuh saja. Pasien tidak
pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Batuk tidak ada pilek tidak ada, BAB; Biasa BAK:
lancar. tanda-tanda vital N = 112 kali/menit, P = 28 kali/menit, S = 39C, BB = 11 kg.
2. Riwayat pengobatan: Pasien sudah diberi obat penurun panas.
3. Riwayat kesehatan/penyakit: pasien belum pernah menderita penyakit serupa sebelumnya.
4. Riwayat keluarga: Tidak ada keluarga yang menderita penyakit sama dengan pasien
5. Riwayat pekerjaan: pasien belum bekerja
Daftar Pustaka:
a. Mansjoer, A., dkk. Kejang Demam. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga. Jilid 2.
Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000 : 434-437
b. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/kejang_pada_anak.pdf
c. ocw.usu.ac.id/course/...brain.../bms166_slide_kejang_demam.pdf

Hasil pembelajaran:
1. Patofisiologi kejang
2. Kriteria kejang
3. Klasifikasi kejang

4. Etiologi kejang
5. Menegakkan diagnosis kejang demam
6. Memberikan penanganan kejang demam

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


1. Subyektif:
Seorang anak 2 tahun datang dengan keluhan utama demam dialami sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit, terus menerus, disertai kejang 3 kali di rumah. Kejang
dialami lebih dari 15 menit dan terjadi pada sebagian tubuh saja. Pasien tidak pernah
mengalami hal serupa sebelumnya. Batuk tidak ada pilek tidak ada, BAB; Biasa
BAK: lancar.
2. Obyektif:
Dari hasil pemeriksaan fisik diperoleh, N = 112 kali/menit, P = 28 kali/menit, S
=39C, BB = 11 kg.
Kepala
: bibir sianosis (-), tanda-tanda trauma (-)
Leher
: Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), kaku kuduk (-)
Dada
: dalam batas normal
Jantung
: Dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
Genital
: tidak ada kelainan
3. Assesment
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang
gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah
mengalami sekali kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda
adanya gangguan neurologis. Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat.
Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan
pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit berat, atau cenderung
menjadi status epileptikus.
Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis
yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak
terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam
menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bu kan.
Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.
PATOFISIOLOGI
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten
dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau

otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron
otak. Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang
berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron
lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga
disebabkan oleh; kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk
melepaskan

muatan

listrik

yang

berlebihan;

berkurangnya

inhibisi

oleh

neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA]; atau meningkatnya eksitasi


sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang
berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan
berlangsung terus menerus, di samping akibat ilnhibisi yang tidak sempurna.
KRITERIA KEJANG
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
penunjang, sangat penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang
atau serangan yang menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah pada
tabel 1:

KLASIFIKASI
Setelah diyakini bahwa serangan ini adalah kejang, selanjutnya perlu
ditentukan jenis kejang. Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah
berdasarkan Klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure

[ILAE] 1981, yaitu dapat dilihat pada tabel 2.

ETIOLOGI
Langkah selanjutnya, setelah diyakini bahwa serangan saat ini adalah kejang
adalah mencari penyebab kejang. Penentuan faktor penyebab kejang sangat
menentukan untuk tatalaksana selanjutnya, karena kejang dapat diakibatkan berbagai
macam etiologi.
DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik diperlukan untuk memilih
pemeriksaan penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Anamnesis dimulai
dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, kemudian mencari
kemungkinan adanya faktor pencetus atau penyebab kejang. Ditanyakan riwayat
kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obatobatan, trauma, gejalagejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang.
Pemeriksaan fisis dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari tanda-tanda
trauma akut kepala dan adanya kelainan sistemik, terpapar zat toksik, infeksi, atau
adanya kelainan neurologis fokal.

Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan

pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor penyebab. Untuk menentukan faktor


penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan beberapa pemeriksaan
penunjang

yaitu:

laboratorium,

pungsi

lumbal,

elektroensefalografi,

dan

neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan


kebutuhan. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah
kadar glukosa darah, elektrolit, dan hitung jenis.

Dari hasil diagnosis dan pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang maka
diagnosis pasien ini mengarah pada kejang demam.
Kejang Demam
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang demam adalah
suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun,
berhubungan dengan demam tetapi tidak pemah terbukii adanya infeksi intrakranial
atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur
kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dibedakan dengan
epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai
prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya
mengenai sistem susunan saraf pusat. Dahulu Livingston membagi kejang demam
menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan
epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered of by fever). Defmisi ini
tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi membuktikan bahwa risiko
berkembangnya epilepsi atau berulangnya kejang tanpa demam tidak sebanyak
yang diperkirakan.
Akhir-akhir ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu
kejang demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan
kejang demam kompleks, yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal, atau multipel
(lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam). Di sini anak sebelumnya dapat mempunyai
kelainan neuroiogi atau riwayat kejang demam atau kejang tanpa demam dalam
keluarga.
Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika
Selatan, dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus
merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun
kedua kehidupan (17-23 bulan). Kej ang demam sedikit lebih sering pada laki-laki.
Faktor Risiko

Faktor risiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain itu
terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan
khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33%
anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak
mengalami 3 kali rekurensi atau lebih, Risiko rekurensi meningkat dengan usia dini,
cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat
kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.
Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi
saluran pemapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran
kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam
yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.
Manifestasi Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik
atau tonik-klonik bilateral. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata
terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang
tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurng dari 8%
berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang
berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa
detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang
dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa
jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh
hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering
terjadi pada kejang demam yang pertama.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan

cairan

serebrospinal

dilakukan

untuk

menyingkirkan

kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada
bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus
dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan untuk yang
berumur kurang dari 18 bulan. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang

mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga
kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam berulang di kemudian hari. Saat
ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi.
Diagnosis Banding
Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya
meningitis atau ensefalitis. Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis
meningitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan
meningitis

dan jika pasien telah mendapatkan

antibiotika maka perlu

pertimbangan pungsi lumbal.


Penatalaksanaan
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu: (1) pengobatan fase akut; (2) mencari
dan mengobati penyebab; dan (3) pengobatan profilaksis terhadap berulangnya
kejang demam.
1. Pengobatan fase akut. Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang
pasien dimiringkah untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas
harus bebas agar oksigenisasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti
kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang
tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti
sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak
timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau
pemberiannya sulit, gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB < 10 kg) atau 10 mg
(BB > 10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian.
Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB
secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin,
hams dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa
dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan

langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan-1 tahun 50 mg
dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuskular. Empat jam kemudian
berikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk bari-hari berikutnya dengan dosis 4-5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan
secara suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak
melebihi 200 mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi, penurunan kesadaran,
dan depresi pernapasan.
Bila kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan fenitoin dengan dosis 4-8
mg/kgBB/ hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
2. Mencari dan mengobati penyebab. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang
demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi
lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada
gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.
3. Pengobatan profilaksis. Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten
saat demam dan (2) profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari.
Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula
diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB < 10 kg) dan 10 mg
(BB > 10 kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5C. Efek samping
diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotonia.
Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam
berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah
terjadinya epilepsi di kemudian hari. Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan
fenobarbital 4-5 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat
digunakan

adalah

asam

valproat

dengan

dosis

15-40

mg/kgBB/hari.

Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah


kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk
poin 1 atau 2) yaitu:
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau

perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal).


2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang multipel dalam satu epidose demam.
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka
panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam
dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam di samping antipiretik.
Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak
menyebabkan kematian. Frekuensi berulangnya kejang berkisar antara 25-50%,
umumnya terjad pada 6 bulan pertama. Risiko untuk mendapatkan epilepsi rendah.
Penanganan pada pasien ini:
- Oksigen 1,5 LPM
- Stesolid 10 mg/rectal
- IVFD RL 28 tpm mikro drips
- Cefotaxim 550 mg/12 jam/iv
- Paramol 110 mg/8 jam/iv
4. Plan:
Diagnosis:
- Pemeriksaan Darah
Hasil Laboratorium Darah Rutin
- WBC : 12.500 /mL
- RBC : 3.150.000/mL
- Hb : 10.2 g/dL
- HT :30.7 %
- PLT : 275.000
- MCV: 72.6 fl
- MCH: 25.3 pg
- MCHC: 34.9 g/dL
Pendidikan:
Kita menjelaskan prognosis dari pasien, serta komplikasi yang mungkin terjadi.
Konsultasi:
Dijelaskan adanya indikasi rawat ICU dan konsultasi dengan spesialis anak
untuk penanganan lebih lanjut.
Rujukan:
Diperlukan jika terjadi komplikasi serius yang harusnya ditangani di rumah
sakit dengan sarana dan prasarana yang lebih memadai.

Peserta

Pendamping

(dr. Feby Farah Wahibah)

(dr. Zulfakhri Sulaiman)

10

Anda mungkin juga menyukai