Anda di halaman 1dari 5
KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN CYBERPORN DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Dwi Haryadi* Abstract One of form cyber crime a real frets and gets altention from various circles, besause its fast development and its dangerous and wide negativity impact is problem cyber crime in ethios area, that is cyberporn. The minim control to circulation cyberporn, either by the Government, goverment officer and also ready of internet coat, results internet in Indonesia becomes media non online censor 24 hours and can be consumed by whom also, including children and adolescent with retetive price of cheap. Basically there are policy of criminal law which can be epplicabled to come cyberporn, like Criminal Law (KUHP), ‘et humber® the year 1992 about the Movie Industry, Act Number 36 the year 1999 about Telecomunication, Act Number 40the year 1999 about Pers and Act Number 32 the year 2002 about Broadcasting. But some policies of this criminal law has weakness and insuffiency, like problem of jurisdiction, inexistence of arrangement peculiarly about cyberpom, not formulation system sharpness of responsibility of corporation and others. Kata Kunci: Kebijakan formulasi hukum pidana, cyberporn, Intemet sebagai produk teknologi tidak hanya memilki sisi posttif, tetapi juga sisi negatif, yaitu penggunaannya sebagal media kelahatan yang dikenal dengan istilah “Cyber Crime’. Salah satu masalah cyber crime di bidang kesusilgan, adalah cyber pornography (khususnya cyber child pornography) dan cyber sex.’ Dalam situs www.computeruser.com, cyberporn didefinisikan sebagai “materi pomografi yang tersedia online” (Pomogrephic material available ontine) 2 American Demographics Magazine dalam laporannya menyatakan bahwa jumlah situs pornografi meningkat dari 22.100 pada tahun 1997 menjadi 280.300 pada tahun 2000 atau melonjak 10 kalilebih dalam kurun wektu tiga tahun.’ Menuruthasil riset Jupiter Research pada bulan Oktober 2002, pendapatan bisnis situs pomo di Amerika Serikat akan mencapai US$ 400juta pada tahun 2006," Penyebaran porografi di intemet dan dampak negatifnya juga menjadi permasalahan serius yang divadapi oleh Indonesia, Berdasarkan survei Yayasan Kita dan Buah Kati selama tahun 2005 terhadap 1.705 anak kelas 4-6 SD di Jabodetabek, diketahui sebanyak 20 % mengenal pomografi dari situs {Intemet’ Pada dasamyaada kebijakan hukum pidana saal ini yang dapat digunakan untuk penanggulangan cyberporn, seperti KUHP, Undang-undang Telekomunikasi, Undang-undang Pers, Undang- undang Penyiaran dan Undang-undang Perfilman, Namun beberapa kebijakan ini memiliki kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan formulasi hukum pidana yang dapat menjangkay cyberpom sebagai jenis kejahatan berbasis teknologi informasi dan bersifat transnasional. ‘Adapun ruang lingkup masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah kebijakan formulasi hukum pidena. saatini dalam upaya penanggulangan cyberporn? 2. Bagaimanakah kebijakan formulasi hukum pidana dimasa yang akan datang dalam upaya penanggulangan cyberpom? 4 Daitaya ahve ius um Lieto Bega Belin Rasta 0 Bt no Parehl Phang ‘BardaNawaw' Arie Tidak Pina Mayantra‘ LnatDeteriiCyberpomn, rsd poda tpt DannyB Pomograid items! erodiapada ito Jwwtwetch om [abolabek kana! pomo dant Perkembangan Kaj CyperCimeDilndonesie,RejaGraino compuerserconiesaures/conay erste, Jat, 206 ha 173 seatcherhimt?q=l8cb/=C; ‘Achmad Syalaby Ihsan, 20 % Anak SO Jabedetabek Kena Pome Dar ntemef, ersetiapada htpruuapprblogsomecom20060S 220 persen aks. 264 ‘MMH, dtl 37 No, 4, Desember 2008 Penelitian ini difokuskan pada penelitian terhadap substansi hukum, baik hukum positif yang berlaku sekarang maupun hukum yang dicita-citakan, a. Metode Pendekatan Penelitian tentang kebijakan formulasi hukum pidana ini menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif. SpesiikasiPeneltian Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptf analiis, Suatu penelitian deskriptf dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti ‘mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala- gejalalainnya’ ¢. AnalisisData Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka analisis data dilakukan secara Normatifkualitatf, s Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggutangan Cyberpom Diindonesia ‘Ada beberapa kebljakan hukum pidana saat ini yang digunakan dalam upaya penanggulangan cyberpom, diantaranya adalah KUHP, Undang- undang No 36 tahun 199 tentang Telekomunikasi, \Undang-undang No 40 tahun . 1999 tentang Pers, Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penylaran, dan Undang-Undang No 8 tahun 1992 tentang Perfilman. a, KUHP Tindak pidana pomografi dalam delik kesusilaan di KUHP pada dasamya dapat digunakan untuk menjerat pelaku cyberpom. Namun ketentuan tersebut memiliki beberapa kelemahan, seperti istiah melenggar kesusizan yang mulitafsir, tidak ada pengaturan secara jelas tentang cyberpor, masalah jurisdiksi, dan tidak adanya pertanggungjawaban korporasi. bp. Undang-undang Telekomunikasi dan Undang- undang Pers Undang-undang Telekomunikasi dapat digunakan untuk menjerat cyberpor, baik individu maupun korporasi, seperti dengan Pasal 21. Namun pasal ini bukanlah kejahatan dan hanya dikenakan sanksi administrasi. Selain itu adanya permasalahan jurisdiksi, sistem Pertanggungjawaban korporasi, serta tidak adanya pedoman pemidanaannya, dapat menjadi penghambat dalam penanggulangan cyberporn.. ‘Sementara dalam Undang-undang Pers, Pasal 18 ayat 2 jo Pasal 5 ayat (1) dan Pasat 18 ayat 2 jo Pasal 13 dapat digunakan untuk menjangkau cyberporn. Namun permasalahannya, apakah ketentuan ini berlaku pula untuk situs perusahaan pers asing yang dapat diakses di Indonesia. Permasalahan lainnya adalah kelemahan jurisdiksi, tidak adanya kualifikasi delik, sanksi pidana denda yang relalif kecil, sehingga kurang bersifat preventidan tidak memberikan efek jera. C. Undang-undang Penyiaran dan Undang-undang Perfilman. Undang-undang Penyiaran memiliki beberapa ‘ketentuan yang dapat digunakan untuk menjerat cyberpom. Namun adanya peribatasan terhadap media penyiaran radio dan televisi saja dalam rumusan delik maupun ketentuan umumnya, akan sulit menjerat cyberporn. Sedangkan dalam Undang-undeng Perfiman, dapat digunakan untuk menjerat peredaran dan penayangan film/video porno didunia maya. Namun ketentuan tersebut _memiliki kelemahan, seperti masih kurang penjelasan tentang bagaimana cara peredaran dan penayangan, Khususnya dalam penggunaan intemet. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dimasa Yang Akan Datang Dalam Upaya Penanggulangan Cyberpom Di Indonesia Kebijakan formulasi hukum pidana dimasa yang akan datang dalam upaya penanggulangan cyberpom, antara lain adalah Konsep KUHP 2005, Rancangan Undang-undang Anti Portografi dan Pomoaksi (RUU APP), Rancangan Undang-undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Selain itu pertu juga dilakukan kajian komparasi dan pembahasan kebijakan non penal, kerena lebih bersifat preventif dan mengingat adanya keterbatasan kemampuan hukum pidana ‘4. Konsep KUHP 2005 Konsep KUHP 2005 telah mengaturtindak pidana pomografi, termasuk cyberporn, Hal ini dapat dilihat dalam Buku ll, yaitu Tindak Pidana terhadap Informatika dan Telematika dalam Pasal 379 dan Delik pornografi pada Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan mulai Pasal 468 sampai dengan Pasal 504. Dalam upaya menjangkau pelaku cyberporn, Konsep KUHP Scena Svekant,Pengentar Penaliiantukum, UI PRESS, alata, 196, hel. 10, 262 memperluas dan mengatur beberapa pengertian dalam Buku | tentang ketentuan umum dan memiliki jurisdiks/ untuk tindak pidana di bidang teknologi informasi sebagaimana diatur dalam Pasal3ayat (3). RUUPTIdan RUUAPP Dalam RUU PTI, Pasal 41 secara khusus mengatur tentang cyberporn dan cyber child pornography. Namun ketentuan ini memiliki kekurangan, karena perumusannya tidak mencakup semua bentuk perbuatan dalam cyberporn dan perumusan melanggar kesusilaan yang bersifat multitafsir, Sedangkan dalam RUU APP, pada dasamya telah ada kriminalisasi cyberpom. Namun ada beberapa kelemahan yang sama dengan RUU PTI, yaity masalah jurisdiksi dan pertanggungjawaban korporasi. 3. Kajian Perbandingan Kajian perbandingan dilakukan terhadap KUHP 5 (lima) negara, yaitu tran, Armenia, Nigeria, Bulgaria dan Tajikistan, Secara umum kelima tidak mengatur cyberpomn secara Khusus. Namun dalam perumusan delik pornografinya dapat ditafsirkan bahwa unsur tindak pidananya feb menitikberatkan kepada perbuatan yang mempublikasikan materi-materi pornografi dan bukan pada media yang digunakan. Kebijakan formulasi yang akan datang ‘memiliki beberapa kelemahan. Oleh karena ity penulis merumusakan kebijakan formulasi yang seyogyanya ditempuh, yang terangkum dalam kesimpulan. 4, Kebijakan Non Penal Upaya pencegahan dan penanggulangan kelahaten ada 2 sarana, yaitu sarana penal dan non penal. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis adalah melalui sarana ‘non penal’ karena lebih bersifat preventif.” Kebijakan non penal ini meliputi pendekatan teknologi, pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif dan pendekatan globa/kerjasamainternasional seria pendekatan imiah,, np Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dalam hasil penelitian dan analisis data di atas, penulis mengambil kesimputan sebagai berikut: Dusi Heryadl, Kebjiakan Formulas! Hucum Pidana 1, Kebijakan hukum pidana saat ini dalam upaya Penanggulangan cyberporn diantaranya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfitman, Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang ‘Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun pada tahap aplikasi, beberapa kebijakan ini tidak dapat bekerja dengan maksimal karena mengandung beberapa kelemahan dan kekurangan pada substansi pengaturannya, diantaranya adalah perumusan melanggar kesusilaan yang bersifat abstrak/mutttafsir, jurisdiksi yang bersifat territorial, perumusan beberapa istileh dan pengertiannya yang tidak mencakup aktivitas cyberporn, perurusan indak pidananya tidak secara eksplisit atau khusus mengatur cyberpom, sistem perumusan sanksi pidana yang tidak tepat dan jumlah sanksi pidana denda yang relatif kecll, sistem perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi yang tidak jelas dan rinci, tidak diatunya pedoman dan aturan pemidanaan, dan tidak adanya harmonisasi substansi tindak pidana dan kebijakan formulasi tindak pidana, bak pada tingkatnasional, regional maupun internasional. 2. Dalam upaya penanggulangan cyberporn pada dasamya harus menggunakan 2 {dua} sarana, yaitu sarana penal melalui kebijakan formulasi hukumpidana dan sarana non penal. a, Kebijakan formulasi hukum pidana dimasa yang akan datang dalam wpaya penanggulangan cyberpom, diantaranya adalah Konsep KUHP 2005, Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) dan Rancangan Undang-undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Namun kebijakan formulasi ini masih memiliki beberapa kelemahan dan kekurangan. Olen karena its, ‘menurut penulis kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang seyogyanya dapat dirumuskan dengan memperhalikan dan mempertimbangkan beberapahal berikutini: 1) Kebijakan formulasi ketentuan umum, meliputi_perumusan_pengertian pomografi, perumusan istilah baru atau 7 BardaNawawiAro( Mesalan PenogakanHukum dan KebjakanPoranggulengen Kahala, CaAdiya Bak, Bandung, 200%, ha. 74 263 MME, id 37 No. 4, Desember 2008 2) 3) 4) memiperluas pengertian istilah yang telah ada berkaitan dengan aktivitas di intemet dan aspek jurisdiksi yang mengacu pada asas universal atau prinsip ubikuitas (omnipresence;ada di mana-mane).. Kebijakan formulasi tindak pidana, meliputl pengintegrastan tindak pidana cyberpom dalam Konsep KUHP 2005. Namun apabila kemungkinan Undang- undang khusus (RUU APP dan RUU PTI) terlebth dahulu disahkan, maka dapat diintegrasikan dalam Undang- undang khusus yang cisertai dengan perumusan aturan umum hukum pidana berkaitan dengan hal-hal khusus yang tidak diatur dalam KUHP, sehingga dapat menjangkau cyberpom. Meskipun demikian, pengintegrasian ini seyogyanya dilakukan upaya harmonisasi materi/substansi_tindak pidana dan harmonisasi kebijakan formulasi tindak pidana cyberporn, baik pada kajian internasional, regional maupun nasional. Sementara mengenai subjek tindak pidananya terdii dari orang dan/atau korporasi, rumusan tindak pidananya bersifat Khusus/eksplisit yang mencakup semua bentuk perbuatan dan semua jenis pomografi yang terjadi di dunia maya, setta perumusan bentuk perbuatan pornografi secara kongkrit sebagai unsur tindak pidana; Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana, meliputi prinsip pettanggungjawaban berdasarkan Kesalahan (jblity based ‘on fault), prinsip pertanggungjawaban yang ketat (strict liability) dan prinsip pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Adanya penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana hendaknya disertai dengan sistem perumusan pertanggungjawaban korporasi yang jelas dan rinci; Kebijakan fornutasi sistem pidana dan pemidanaan, meliputi sistem perumusan sanksi pidana menggunakan sistem kumulatif - altematif, sistem perumusan lamanya pidana menggunakan sistem minimum khusus dan maksimum khusus, jenis- jenis sanksi pidana terdiri dari pidana penjara, denda dan pidana tambahan atau pidana administratif yang disesuaikan dengan pelakunya ‘orang/korporasi, baik secara fisik/nyata ‘maupun virtual/dunia maya. Formulasi sistem pidana dan pemidanaan ini disertai dengan perumusan pedoman dan aturan pemidanaan yang berorientasi pada orang dan korporasi, b, Adanya keterbatasan kemampuan hukum pidana, menunjukkan perlunya sarana non penal dalam penanggulangan cyberporn, yaitu melalui pendekatan teknologi (techno Prevention), pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif, pendekatan global/kerjasama_internasional dan pendekatan ilmiah. Upaya ini membutuhkan adanya kesadaran, kerjasama dan pattisipasi semua pihak, baik itu pemerintah, penyedia jasa internet, institusi pendidikan, masyarakat, orang tua, user dan kerjasama regional dan internasional. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Para pembuat kebijakan formulasi hukum pidana dalam upaya penanggulangan cyberporn hendaknya memperhatikan karakteristik cyberpom sebagai Kejahatan yang berbasis teknologi informasi (terjadi di dunia maya) dan bersifat transnasional, serta berorientasi pada Konsep KUHP 2005, karena merupakan bagian dari pembaharuan hukum pidana nasional;, 2. Upaya penanggulangan cyberpom ini dapat berjalan secara efektif dengan sarana penal, apabila ada kerjasama dan harmonisasi materi/substansi tindak pidana dan harmonisasi kebijakan formulasi pada tingkat nasional, regional maupun internasional; 3. Proses kebjakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan cyberporn harus melibatkan berbagai pihak yang berkompeten, seperti pemerintah, parlemen, akademisi, aparat penegak hukum, pakar internet, operator telekomunikasi dan penyediajasa internet; 4. Perlunya memaksimalkan upaya penanggulangan cyberporn dengan sarana non penal melalui berbagal pendekatan, Karena lebih bersifat preventif dan mengingat adanya keterbatasan kemampuan saranapenal. DAFTAR PUSTAKA Muladi dan Barda Nawavwi Arief, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni. NawawiArief, Barda, 1996, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang : Badan Penerbit UNDIP. ———————, 2001, Masalah Penegakan Hukum den Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: CitraAditya Balt, » 2003, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. » 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Semarang: Program Magister |Imu Hukum Pascasarjana UNDIP. 2006, Tindak Pidana Mayantara ‘Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia’, Jakarta: RajaGrafindo Persada. ‘Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni. ———, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat *Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana”, Bandung: Sinar Baru. ———, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni. Widyopramono, 1994, Kejahatan di Bidang Komputer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Dwi Heryadi, Kebjaken Formutasi Hukum Pidana Peraturan Perundang-Undangan Dan Lain-Lain Moeljatno, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), BumiAksara, Jakarta R, Sugandhi, 1980, KUHP dan Penjelasannya, UsahaNasional, Surabaya KUHP Iran (Islamic Penal Code of Iran), tersediapada http:/mehr.orgilslamic_Penal_Code_of_Iran df. pa KUHP Armenia (Criminal Code The Republik of Armenia), tersedia pada http://www. legislatonline orgiuploadiegistat onsidb/Safbb9bb2 f5c6170dadcSefd70578c htm KUHP Tajikistan (Criminal Code Of The Republic Of Tajikistan), tersedia pada http/Awww.osi.hulipfifellows/zaripova/index. html KUHP Nigeria (Zamfara State Of Nigeria Shan'ah Penal Code Law) KUHP Bulgaria (The Bulgarian Penal Code) Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 fentang Pers Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 fentang Perfilman

Anda mungkin juga menyukai