Print Ratu
Print Ratu
PENDAHULUAN
Terwujudnya keadaan sehat merupakan kehendak semua pihak. Tidak
hanya per orang atau keluarga, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan oleh seluruh
anggota masyarakat. Adapun yang dimaksudkan sehat di sini ialah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU No.23 tahun 1992).
Untuk dapat mewujudkan keadaan sehat tersebut banyak upaya yang harus
dilaksanakan. Salah satu diantaranya yang memiliki peranan penting adalah
pelayanan kesehatan. Salah satu solusi yang diberikan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer adalah dengan
program dokter keluarga Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran
yang menyeluruh yang memusatkan pelayanan kepada keluarga sebagai suatu
unit, dimana tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi
oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien juga tidak boleh organ tubuh atau
jenis penyakit tertentu. Dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang berorientasi komunitas dengan titik berat kepada
keluarga, ia tidak hanya memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi
sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif tetapi bila
perlu aktif mengunjungi penderita atau keluarganya.
Prinsip prinsip pelayanan dokter keluarga di Indonesia mengikuti
anjuran World Health Organization (WHO) dan World Organization of National
College, Academic and Academic Assiciation of General Practitioners / Family
Physician (WONCA). Prinsip prinsip pelayanan / pendekatan kedokteran
keluarga adalah memberikan / mewujudkan pelayanan yang holistik dan
komprehensif, kontinu, mengutamakan pencegahan, koordinatif dan kolaboratif,
personal bagi setiap pasien sebagai bagian integral dari keluarganya,
mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan tempat
tinggalnya, menjunjung tinggi etika dan hukum, dapat diaudit dan dapat
dipertanggungjawabkan, sadar biaya dan sadar mutu. Pelayanan yang disediakan
dokter keluarga adalah pelayanan medis strata pertama untuk semua orang yang
bersifat paripurna (comprehensive), yaitu termasuk pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus (preventive and
specific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan kecacatan
(disability limitation) dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation) dengan
memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko legal etika
kedokteran.
Home visit merupakan salah satu cara pendekatan melalui kedatangan
petugas kesehatan ke rumah pasien untuk lebih mengenal kehidupan pasien dan
memberikan pertolongan kedokteran sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
pasien. Untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kedokteran menyeluruh ini,
diperlukan antara lain tersedianya data yang lengkap tentang keadaan pasien,
sedemikian rupa sehingga dapat dikenal kehidupan pasien secara lebih lengkap.
. Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa di dalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala
lapisan umur dan sosial ekonomi. Di Indonesia saat ini penyakit DM belum
menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas
dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas sumber daya manusia,
terutama akibat penyulit menahun yang ditimbulkannya.
Dalam strategi pelayanan kesehatan bagi penderita DM, seharusnya
diintegrasikan ke dalam pelayanan kesehatan primer. Peran dokter keluarga sangat
penting. Kasus DM yang tanpa disertai dengan penyulit dapat dikelola dengan
tuntas oleh dokter keluarga, apalagi jika kadar glukosa darah ternyata dapat
terkendali baik dengan pengelolaan ditingkat pelayanan kesehatan primer. Tentu
saja harus ditekankan pentingnya tindak lanjut jangka panjang pada para pasien
tersebut. Pasien yang potensial akan menderita penyulit DM perlu secara periodik
dikonsultasikan kepada dokter ahli terkait ataupun kepada tim perawatan DM
pada tingkat lebih tinggi di rumah sakit rujukan. Kemudian mereka dapat dikirim
kembali kepada dokter yang biasa menangani dan merawatnya.
BAB II
LAPORAN HOME VISIT
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Alamat
:
Pendidikan
:
Pekerjaan
:
Agama
:
Status Pernikahan
:
Tanggal Kunjungan :
Keterangan :
Penderita DM Tipe
Meninggal
Nama
Umur
Jenis
Hubungan
Keadaan
Anggota
Kelamin
Keluarga
1.
2.
3.
2. Ukuran rumah
3. Daerah rumah
4. Bertingkat/tidak
5. Ruang tamu
6. Ruang keluarga
7. Kamar tidur
8. Kamar mandi/WC
9. Dapur
Fisik
16. Sumber/listrik
E. DENAH RUMAH
:
: TD :
mmHg
R :
x/m
o
N :
x/m
S :
C
: Conjungtiva anemis ( ), Sklera ikterik ( )
5
Thoraks
Abdomen
Ekstrimitas
Berat Badan
Tinggi Badan
IMT
Status Gizi
d
g
h
Pemeriksaan Kepala
1 Rambut
: hitam dan tidak rontok
2 Telinga
: (dbn)
3 Mata
: visus normal, sclera ikterik (-/-),
kongjungtiva anemis
(-/-)
4 Hidung
: mukosa hidung hiperemis, tidak
deviasi,nyeri tekan (-)
5 Mulut
: tonsil (T0/T0), faring (N), mukosa mulut
(N)
Pemeriksaan Thoraks
1 Inspeksi
: simetris, tidak ada bekas luka
2 Palpasi
: fremitus simetris, nafas tidak ada yang
tertinggal
3 Perkusi
: batas jantung normal, sonor dikedua lapang
paru
4 Auskultasi
: bunyi jantung S1-S2, paru vesikuler
Pemeriksaan Abdomen
1 Inspeksi
: adanya bekas luka operasi, datar
2 Auskultasi
: bising usus (+), frekuensi (N)
3 Palpasi
: tidak teraba massa, terasa supel
4 Perkusi
: timpani
Pemeriksaan Ekstermitas
1 Oedem (-)
2 Capillary refill < 2 detik (N)
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
Anorektal : tidak dilakukan pemeriksaan
1. Riwayat medis
3. Riwayat kebiasaan
Penderita mempunyai kebiasaan mengonsumsi nasi dalam jumlah yang
banyak serta sering mengkonsumsi makanan yang manis. Kebiasaan
olahraga tidak ada, merokok tidak ada, minum minuman beralkohol
tidak ada, minum kopi tidak ada, makan makanan berminyak sering.
5. Riwayat gizi
Penderita memiliki berat badan 60 kg, tinggi badan 152 cm, dan indeks
massa tubuh 25,97 kg/m2, sehingga status gizi pre-obese.
Personal
Klinis
Faktor
Psikososial
H. FUNGSI KELUARGA
1. Fungsi biologis
2. Fungsi Sosial
3. Fungsi psikologis
10
11
APGAR score adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga
ditinjau dari sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya
dengan anggota keluarga yang lain. APGAR score meliputi:
1. Adaptation
Kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota
keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan dan saran dari
anggota keluarga yang lain.
2. Partnership
Menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi
antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh
keluarga tersebut.
3. Growth
Menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang
dilakukan anggota keluarga tersebut.
4. Affection
Menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar
anggota keluarga.
5. Resolve
Menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan
dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.
Terdapat 3 kategori penilaian yaitu: nilai rata-rata 5 kurang, 6-7 cukup
dan 8-10 adalah baik. Pada keluarga tersebut belum dilakukan
penilaian.
SUMBER
PATOLOGIS
12
KET.
Social
digunakan.
Pemahaman terhadap ajaran agama cukup, demikian
Religious
Economic
cukup.
l
Keluarga tersebut cukup mampu membiayai pelayanan
kesehatan, namun jika tidak cukup parah tidak akan
Medical
13
I. WAWANCARA
Pemeriksa : Sejak kapan ibu mengetahui bahwa ibu menderita sakit
gula?
Pasien
: Sejak 2 bulan lalu
Pemeriksa : Apakah ibu mengkonsumsi obat gula?
Pasien
: iya
Pemeriksa : Apakah ibu mengkonsumsinya secara teratur?
Pasien
: Iya. Saya mengkonsumsinya secara teratur sesuai anjuran
dokter.
Pemeriksa : Apakah di keluarga ibu ada yang menderita sakit seperti
Pasien
ini?
: Iya. Bapak saya yang sudah meninggal menderita sakit gula
juga
Pemeriksa : Apakah ibu rajin kontrol ke puskesmas?
Pasien
: Iya dok. Saya rajin memeriksakan kadar gula saya di
laboratorium puskesmas selain itu jika habis obat saya segera
kontrol lagi ke puskesmas
Pemeriksa : Jenis obat gula apa yang diberikan dokter untuk ibu
konsumsi?
Pasien
: Metformin dok
Pemeriksa : Jadi begini bu, mungkin ibu sudah memiliki pengalaman
dengan orang tua ibu tentang sakit gula. Sakit gula atau nama
aslinya Diabetes Mellitus ada dua macam ada yang tipe 1 dan
tipe 2. Pada intinya, sakit gula itu dapat menurun pada
turunan selanjutnya. Oleh karena itu, untuk mencegahnya kita
harus menjaga pola hidup kita. Apalagi jika sudah
terdiagnosa penderita DM, harus sering rajin kontrol kadar
gula darah, teratur minum obat, rajin olahraga dan jaga pola
makan. Karena jika tidak mematuhinya maka banyak
komplikasi yang akan terjadi antara lain pandangan jadi
kabur, luka sukar sembuh dan dapat membusuk, gagal ginjal
dan sebagainya. Jadi, alangkah baiknya jika ibu tetap rajin
kontrol, mengikuti seluruh anjuran dokter dan menggunakan
sandal yang agak tertutup agar kaki tidak mudah luka. Selain
itu, ibu juga harus mengajarkan kepada anak-anak ibu tentang
14
1. Masalah medis
c.
2. Masalah nonmedis
Personal
Klinis
Faktor
Psikososial
Fungsi keluarga
: cukup baik
Promotif
kesehatannya
dan
melakukan
kunjungan
berkesinambungan ke puskesmas.
Preventif
Kuratif
Rehabilitatif
17
a. Mengembalikan
kepercayaan
pada
diri
sendiri
dan
d. Perawatan fisioterapi
18
BAB III
PEMBAHASAN
Diabetes Mellitus adalah salah satu penyakit degeneratif yang merupakan
salah satu penyakit di dalam sepuluh besar penyakit di Indonesia. Menurut
American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus (DM) merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3%-6% dari
jumlah penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat cepat
dalam 10 tahun terakhir. Di Amerika Serikat, penderita diabetes meningkat dari
6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun 2010. Di
Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di beberapa
tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%.
Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu
(GDS) 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan
Glukosa Darah Puasa (GDP) 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman
diagnosis DM. Pada pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa
darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP 126 mg/dl, GDS 200 mg/dl
pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) 200 mg/dl.
A. Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010
(ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab
autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin
dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak
19
terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah
ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak
bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin
yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena
dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi
relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta
pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe
ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi
yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan
glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik
fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan
genetik lain.
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa
didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan
ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.
Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang
menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.
20
21
C. KOMPLIKASI
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut
maupun
komplikasi
vaskuler
kronik,
baik
mikroangiopati
maupun
makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari endstage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult
blindness. Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah,
terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat
komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes
lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang
dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah :
Kerusakan saraf (Neuropati)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan
sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta
susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal
ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan
baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil
diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila
dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal
maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang
memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf
tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah
kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan
saraf mana yang terkena. Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada
populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi neuropati
pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 13.1% s/d 45.0%.
22
23
60.0% pada polpulasi klinik dan 14.5% s/d 79.0% dalam penelitian pada populasi.
Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi retinopati pada populasi klinik
berkisar 10.6% s/d 47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 10.1% s/d
55.0%.
Penyakit jantung koroner (PJK)
Diabetes
merusak
dinding
pembuluh
darah
yang
menyebabkan
24
25
26
27
b. Tiazolidindion
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan
retensi cairan.
Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin).
Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi
glukosa hati.
Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin
serum > 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan
hipoksemia seperti pada sepsis
sulfonylurea.
Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa
diatasi dengan pemberian sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa :
Acarbose
Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan
flatulens.
Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1)
merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan
perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara
cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat
DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat penglepasan
glukagon.
28
sesaat
sebelum
makan.
Metformin
bisa
diberikan
29
kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur.
Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka pemberian
OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini
diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan
insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk dan insulin kerja cepat atau kerja
pendek untuk mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan
prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial.
Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.
Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun. Gambar 3
menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c.
Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang
baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila
kadar glukosa darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran. Kriteria lengkap dari
keberhasilan pengendalian.
Metformin dan DM tipe 2
Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, metformin mempunyai
beberapa efek terapi antara lain menurunkan kadar glukosa darah melalui
penghambatan produksi glukosa hati dan menurunkan resistensi insulin khususnya
di hati dan otot. Metformin tidak meningkatkan kadar insulin plasma. Metformin
menurunkan absorbsi glukosa di usus dan meningkatkan sensitivitas insulin
melalui efek penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studi-studi invivo dan invitro
membuktikan efek metformin terhadap fluidity membran palsma, plasticity dari
reseptor dan transporter, supresi dari
30
tujuan ini, Metformin salah satu jenis OHO ternyata bukan hanya berfungsi untuk
kendali glikemik, tetapi juga dapat memperbaiki disfungsi endotel, hemostasis,
stress oksidatif, resistensi insulin, profil lipid dan redistribusi lemak. Metformin
terbukti dapat menurunkan berat badan, memperbaiki sensi tivitas insulin, dan
mengurangi lemak visceral. Pada penderita perlemakan hati (fatty liver),
didapatkan perbaikan dengan penggunaan Metformin. Metformin juga terbukti
mempunyai efek protektif terhadap komplikasi makrovaskular. Selain berperan
dalam proteksi risiko kardiovaskuler, studi-studi terbaru juga mendapatkan
peranan neuroprotektif Metformin dalam memperbaiki fungsi saraf, khususnya
spatial memory function dan peranan proteksi Metformin dalam karsinogenesis.
Diabetes tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena berbagai macam
kanker terutama kanker hati, pankreas, endometrium, kolorektal, payudara, dan
kantong kemih. Banyak studi menunjukkan penurunan insidens keganasan pada
pasien yang menggunakan Metformin.
Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the
American Diabetes Association/ European Association for the Study of Diabetes
(ADA/EASD)
dan
Endocrinologists/American
the
American
College
of
Association
Endocrinology
of
Clinical
(AACE/ACE)
31
BAB IV
PENUTUP
Diabetes Mellitus tipe-2 masih merupakan masalah kesehatan yang
penting, khususnya karena komplikasi kronik yang ditimbulkannya. Tatalaksana
diabetes mellitus tipe-2 bukan hanya ditujukan pada kendali glikemik, tetapi juga
terhadap proteksi komplikasi kardiovaskuler. Metformin merupakan obat
hipoglikemik lini pertama untuk diabetes mellitus tipe-2, karena disamping
terbukti efektif dalam kendali glikemik, Metformin juga terbukti mempunyai efek
protektif terhadap komplikasi kardiovaskuler, disamping masih mempunyai
banyak efek positif lainnya yang sebagian masih dalam tahap penelitian.
A. KESIMPULAN
Personal
: Gatal-gatal di badan
Klinis
Faktor
Psikososial
Fungsi keluarga
: Cukup baik
B. SARAN
32
Promotif
kesehatannya
dan
melakukan
kunjungan
berkesinambungan ke puskesmas.
Preventif
33
Kuratif
Rehabilitatif
e. Mengembalikan
kepercayaan
pada
diri
sendiri
dan
h. Perawatan fisioterapi
34