Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
Terwujudnya keadaan sehat merupakan kehendak semua pihak. Tidak
hanya per orang atau keluarga, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan oleh seluruh
anggota masyarakat. Adapun yang dimaksudkan sehat di sini ialah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU No.23 tahun 1992).
Untuk dapat mewujudkan keadaan sehat tersebut banyak upaya yang harus
dilaksanakan. Salah satu diantaranya yang memiliki peranan penting adalah
pelayanan kesehatan. Salah satu solusi yang diberikan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer adalah dengan
program dokter keluarga Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran
yang menyeluruh yang memusatkan pelayanan kepada keluarga sebagai suatu
unit, dimana tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi
oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien juga tidak boleh organ tubuh atau
jenis penyakit tertentu. Dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang berorientasi komunitas dengan titik berat kepada
keluarga, ia tidak hanya memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi
sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif tetapi bila
perlu aktif mengunjungi penderita atau keluarganya.
Prinsip prinsip pelayanan dokter keluarga di Indonesia mengikuti
anjuran World Health Organization (WHO) dan World Organization of National
College, Academic and Academic Assiciation of General Practitioners / Family
Physician (WONCA). Prinsip prinsip pelayanan / pendekatan kedokteran
keluarga adalah memberikan / mewujudkan pelayanan yang holistik dan
komprehensif, kontinu, mengutamakan pencegahan, koordinatif dan kolaboratif,
personal bagi setiap pasien sebagai bagian integral dari keluarganya,
mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan tempat
tinggalnya, menjunjung tinggi etika dan hukum, dapat diaudit dan dapat
dipertanggungjawabkan, sadar biaya dan sadar mutu. Pelayanan yang disediakan

dokter keluarga adalah pelayanan medis strata pertama untuk semua orang yang
bersifat paripurna (comprehensive), yaitu termasuk pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus (preventive and
specific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan kecacatan
(disability limitation) dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation) dengan
memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko legal etika
kedokteran.
Home visit merupakan salah satu cara pendekatan melalui kedatangan
petugas kesehatan ke rumah pasien untuk lebih mengenal kehidupan pasien dan
memberikan pertolongan kedokteran sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
pasien. Untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kedokteran menyeluruh ini,
diperlukan antara lain tersedianya data yang lengkap tentang keadaan pasien,
sedemikian rupa sehingga dapat dikenal kehidupan pasien secara lebih lengkap.
. Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa di dalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala
lapisan umur dan sosial ekonomi. Di Indonesia saat ini penyakit DM belum
menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas
dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas sumber daya manusia,
terutama akibat penyulit menahun yang ditimbulkannya.
Dalam strategi pelayanan kesehatan bagi penderita DM, seharusnya
diintegrasikan ke dalam pelayanan kesehatan primer. Peran dokter keluarga sangat
penting. Kasus DM yang tanpa disertai dengan penyulit dapat dikelola dengan
tuntas oleh dokter keluarga, apalagi jika kadar glukosa darah ternyata dapat
terkendali baik dengan pengelolaan ditingkat pelayanan kesehatan primer. Tentu
saja harus ditekankan pentingnya tindak lanjut jangka panjang pada para pasien
tersebut. Pasien yang potensial akan menderita penyulit DM perlu secara periodik
dikonsultasikan kepada dokter ahli terkait ataupun kepada tim perawatan DM
pada tingkat lebih tinggi di rumah sakit rujukan. Kemudian mereka dapat dikirim
kembali kepada dokter yang biasa menangani dan merawatnya.

BAB II
LAPORAN HOME VISIT

A. IDENTITAS PASIEN
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Alamat
:
Pendidikan
:
Pekerjaan
:
Agama
:
Status Pernikahan
:
Tanggal Kunjungan :

B. STRUKTUR KELUARGA / GENOGRAM

Keterangan :
Penderita DM Tipe
Meninggal

C. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA


No.

Nama

Umur

Jenis

Hubungan

Keadaan

Anggota

Kelamin

Keluarga

1.
2.
3.

D. KEADAAN RUMAH DAN LINGKUNGAN


1. Kepemilikan rumah

2. Ukuran rumah

3. Daerah rumah

4. Bertingkat/tidak

5. Ruang tamu

6. Ruang keluarga

7. Kamar tidur

8. Kamar mandi/WC

9. Dapur

10. Ruang lainnya

11. Dinding rumah

Fisik

12. Ventilasi rumah

13. Lantai rumah

14. Atap rumah

15. Sumur/sumber air

16. Sumber/listrik

17. Septi tank

18. Tempat Pembuangan sampah :

19. Jumlah penghuni rumah

E. DENAH RUMAH

F. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


Keadaan Umum
Tanda Vital
Kepala

:
: TD :
mmHg
R :
x/m
o
N :
x/m
S :
C
: Conjungtiva anemis ( ), Sklera ikterik ( )
5

Thoraks

: Cor : S1-S2 reguler, bising ( )


Pulmo : Sp.Vesikuler, rh -/-, wh -/: Cembung, lemas, BU ( ) Normal, NTE ( ), NTSP
( ).

Abdomen
Ekstrimitas
Berat Badan
Tinggi Badan
IMT
Status Gizi

d
g
h

: Tidak ada deformitas


:
Kg
:
cm
:
Kg/m2
:

Pemeriksaan Kepala
1 Rambut
: hitam dan tidak rontok
2 Telinga
: (dbn)
3 Mata
: visus normal, sclera ikterik (-/-),
kongjungtiva anemis
(-/-)
4 Hidung
: mukosa hidung hiperemis, tidak
deviasi,nyeri tekan (-)
5 Mulut
: tonsil (T0/T0), faring (N), mukosa mulut
(N)
Pemeriksaan Thoraks
1 Inspeksi
: simetris, tidak ada bekas luka
2 Palpasi
: fremitus simetris, nafas tidak ada yang
tertinggal
3 Perkusi
: batas jantung normal, sonor dikedua lapang
paru
4 Auskultasi
: bunyi jantung S1-S2, paru vesikuler
Pemeriksaan Abdomen
1 Inspeksi
: adanya bekas luka operasi, datar
2 Auskultasi
: bising usus (+), frekuensi (N)
3 Palpasi
: tidak teraba massa, terasa supel
4 Perkusi
: timpani
Pemeriksaan Ekstermitas
1 Oedem (-)
2 Capillary refill < 2 detik (N)
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
Anorektal : tidak dilakukan pemeriksaan

G. PENETAPAN MASALAH PASIEN

1. Riwayat medis

Penderita mengetahui menderita Diabetes Mellitus tipe II sejak 2 bulan


lalu saat masuk di Rumah Sakit Malalayang. Riwayat penyakit paru,
hati, ginjal dan stroke disangkal penderita.

2. Riwayat penyakit keluarga


Ayah juga memiliki riwayat penyakit yang sama yaitu Diabetes
Mellitus.

3. Riwayat kebiasaan
Penderita mempunyai kebiasaan mengonsumsi nasi dalam jumlah yang
banyak serta sering mengkonsumsi makanan yang manis. Kebiasaan
olahraga tidak ada, merokok tidak ada, minum minuman beralkohol
tidak ada, minum kopi tidak ada, makan makanan berminyak sering.

4. Riwayat sosial ekonomi

Hubungan keluarga dengan tetangga atau orang sekitar baik, saling


membantu jika ada kesulitan. Tidak ada masalah baik di rumah
maupun di masyarakat. Hubungan penderita dengan keluarga baik.
Pendidikan tertinggi pada keluarga tersebut yaitu SMA. Penderita
tinggal di kawasan perumahan yang padat, jarak antar rumah sedang.
Kebutuhan keluarga cukup terpenuhi dari sumber penghasilan
keluarga.

5. Riwayat gizi

Penderita memiliki berat badan 60 kg, tinggi badan 152 cm, dan indeks
massa tubuh 25,97 kg/m2, sehingga status gizi pre-obese.

6. Diagnosis holistik (biopsikososial)

Personal

: Gatal-gatal pada badan

Klinis

: Diabetes Mellitus Tipe II

Faktor

: Internal: Riwayat penyakit genetik, konsumsi


obat tidak teratur,

Psikososial

: Penderita adalah seorang janda yang hanya


tinggal bertiga dengan dua orang anaknya.

Skala fungsi sosial : Skala 1 ( Tidak ada kesulitan ).

H. FUNGSI KELUARGA

1. Fungsi biologis

Keluarga tersebut merupakan keluarga luas (extended family) yang


mencakup kerabat dekat baik dari ayah maupun ibu, memiliki fungsi
memenuhi kebutuhan gizi keluarga dan memelihara serta merawat
anggota keluarga. Keluarga tersebut terdiri dari penderita, anak

pertama (Laki-laki) dan anak kedua (Perempuan). Suami penderita


sudah meninggal 2 tahun lalu, anak pertama berumur 25 tahun, anak
kedua berumur 20 tahun.

2. Fungsi Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga hanya sebagai anggota


masyarakat biasa. Keluarga tersebut jarang mengikuti kegiatan
masyarakat dan komunikasi antar tetangga cukup baik. Penderita tidak
menyalahkan lingkungan sebagai penyebab sakit yang diderita.

3. Fungsi psikologis

Penderita tinggal dengan anak pertama (Laki-laki) dan anak kedua


(Perempuan). Hubungan keluarga terjalin akrab dan harmonis dengan
kemampuan menyelesaikan masalah secara musyawarah.

10

4. Fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan

Penghasilan keluarga sekitar Rp. 2.000.000-2.500.000/bulan. Penderita


sehari-harinya makan sebanyak 3x, dengan nasi, sayur, dan lauk pauk
seperti ikan, tahu dan tempe.

5. Fungsi penguasaan masalah dan kemampuan beradaptasi

Penderita termasuk ibu yang terbuka sehingga bila mengalami


kesulitan atau masalah, penderita sering bercerita kepada anaknya.

6. Fungsi fisiologis (skor APGAR)

11

APGAR score adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga
ditinjau dari sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya
dengan anggota keluarga yang lain. APGAR score meliputi:

1. Adaptation
Kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota
keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan dan saran dari
anggota keluarga yang lain.
2. Partnership
Menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi
antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh
keluarga tersebut.
3. Growth
Menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang
dilakukan anggota keluarga tersebut.
4. Affection
Menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar
anggota keluarga.
5. Resolve
Menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan
dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.
Terdapat 3 kategori penilaian yaitu: nilai rata-rata 5 kurang, 6-7 cukup
dan 8-10 adalah baik. Pada keluarga tersebut belum dilakukan
penilaian.

7. Fungsi patologis (SCREEM)

SUMBER

PATOLOGIS

12

KET.

Social

Ikut berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungannya.

Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya baik dapat


dilihat pada pengobatan/ramuan tradisional yang masih
Culture

digunakan.
Pemahaman terhadap ajaran agama cukup, demikian

Religious

Economic

juga dalam ketaatannya dalam beribadah.

Penghasilan keluarga yang relatif stabil.

Tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga tersebut


Educationa

cukup.

l
Keluarga tersebut cukup mampu membiayai pelayanan
kesehatan, namun jika tidak cukup parah tidak akan
Medical

dibawa ke rumah sakit.

Keluarga Ny.Sherli Rompis mempunyai fungsi patologis di bidang medical.


Kesimpulan permasalahan fungsi keluarga, Keluarga Ny.Sherli Rompis umur 47
tahun dengan Diabetes Mellitus Tipe II dengan fungsi sosial, fungsi psikologis
dan fungsi ekonomi yang cukup baik.

13

I. WAWANCARA
Pemeriksa : Sejak kapan ibu mengetahui bahwa ibu menderita sakit
gula?
Pasien
: Sejak 2 bulan lalu
Pemeriksa : Apakah ibu mengkonsumsi obat gula?
Pasien
: iya
Pemeriksa : Apakah ibu mengkonsumsinya secara teratur?
Pasien
: Iya. Saya mengkonsumsinya secara teratur sesuai anjuran
dokter.
Pemeriksa : Apakah di keluarga ibu ada yang menderita sakit seperti
Pasien

ini?
: Iya. Bapak saya yang sudah meninggal menderita sakit gula

juga
Pemeriksa : Apakah ibu rajin kontrol ke puskesmas?
Pasien
: Iya dok. Saya rajin memeriksakan kadar gula saya di
laboratorium puskesmas selain itu jika habis obat saya segera
kontrol lagi ke puskesmas
Pemeriksa : Jenis obat gula apa yang diberikan dokter untuk ibu
konsumsi?
Pasien
: Metformin dok
Pemeriksa : Jadi begini bu, mungkin ibu sudah memiliki pengalaman
dengan orang tua ibu tentang sakit gula. Sakit gula atau nama
aslinya Diabetes Mellitus ada dua macam ada yang tipe 1 dan
tipe 2. Pada intinya, sakit gula itu dapat menurun pada
turunan selanjutnya. Oleh karena itu, untuk mencegahnya kita
harus menjaga pola hidup kita. Apalagi jika sudah
terdiagnosa penderita DM, harus sering rajin kontrol kadar
gula darah, teratur minum obat, rajin olahraga dan jaga pola
makan. Karena jika tidak mematuhinya maka banyak
komplikasi yang akan terjadi antara lain pandangan jadi
kabur, luka sukar sembuh dan dapat membusuk, gagal ginjal
dan sebagainya. Jadi, alangkah baiknya jika ibu tetap rajin
kontrol, mengikuti seluruh anjuran dokter dan menggunakan
sandal yang agak tertutup agar kaki tidak mudah luka. Selain
itu, ibu juga harus mengajarkan kepada anak-anak ibu tentang

14

pola hidup sehat dan jangan sampai menderita sakit seperti


ibu.
Pasien
: Terima kasih banyak dokter atas informasinya.
Pemeriksa : Sama-sama ibu
J. DAFTAR MASALAH

1. Masalah medis

a. Konsumsi obat tidak teratur

b. Gula darah yang tidak terkontrol

c.

Kebiasan mengkonsumsi makanan manis

d. Kebiasaan olahraga tidak ada

2. Masalah nonmedis

a. Status penderita adalah seorang janda

b. Penderita hanya tinggal bersama dua orang anaknya. Keluarga


tersebut tidak akan membawa penderita ke rumah sakit jika
tidak cukup parah.

B. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan (penderita, bentuk keluarga, diagnosis biopsikososial)

Personal

: luka di kaki yang membatasi penderita


15

Klinis

: Hipertensi tidak terkontrol dengan obat, diabetes


mellitus tipe II, congestive heart failure (CHF),
ulkus diabetikum

Faktor

: internal: usia yang sudah termasuk kalangan lanjut


usia, riwayat penyakit genetik, konsumsi obat tidak
teratur,

eksternal: perabotan rumah yang padat

Psikososial

: penderita adalah seorang janda yang hanya tinggal


bertiga dengan seorang anak perempuannya dan
seorang cucu perempuannya.

Skala fungsi sosial

: skala 2 (sedikit kesulitan untuk melakukan


aktivitas sehari-hari)

Fungsi keluarga

: cukup baik

2. Saran (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif)

Promotif

a. Kebersihan diri dan deteksi dini apabila terjadi penurunan


kondisi

kesehatannya

dan

melakukan

kunjungan

berkesinambungan ke puskesmas.

b. Latihan fisik teratur untuk meningkatkan kemampuan usia


lanjut.

c. Pembinaan mental keagamaan


16

d. Meningkatkan kegiatan sosial di masyarakat

e. Menghindarkan kebiasaan busruk

f. Penanggulangan masalah kesehatannya sendiri secara benar

g. Diet seimbang menu bergizi seimbang

Preventif

a. Pemeriksaan kesehatan teratur untuk penemuan dini penyakit.

b. Kesegaran jasmani secara teratur dan disesuaikan dengan


kemampuan usia lanjut.

c. Penggunaan alat bantu misalnya kacamata.

d. Penuyuluhan pencegahan kemungkinan terjadinya kecelakaan


pada usia lanjut.

Kuratif

a. Pelayanan kesehatan dasar : farmakoterapi (obat anti


hipertensi, obat oral hiperglikemi, anti dislipidemia, antibiotik)

b. Pelayanan kesehatan spesifikasi melalui sistem rujukan :


bagian ilmu kesehatan penyakit dalam dan ilmu penyakit
jantung dan pembuluh darah.

Rehabilitatif

17

a. Mengembalikan

kepercayaan

pada

diri

sendiri

dan

memperkuat mental penderita.

b. Pembinaan usila dan aktivitas di dalam maupun di luar rumah.

c. Nasihat cara hidup sesuai penyakit diderita.

d. Perawatan fisioterapi

18

BAB III
PEMBAHASAN
Diabetes Mellitus adalah salah satu penyakit degeneratif yang merupakan
salah satu penyakit di dalam sepuluh besar penyakit di Indonesia. Menurut
American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus (DM) merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3%-6% dari
jumlah penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat cepat
dalam 10 tahun terakhir. Di Amerika Serikat, penderita diabetes meningkat dari
6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun 2010. Di
Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di beberapa
tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%.
Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu
(GDS) 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan
Glukosa Darah Puasa (GDP) 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman
diagnosis DM. Pada pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa
darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP 126 mg/dl, GDS 200 mg/dl
pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) 200 mg/dl.
A. Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010
(ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab
autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin
dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak

19

terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah
ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak
bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin
yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena
dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi
relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta
pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe
ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi
yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan
glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik
fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan
genetik lain.
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa
didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan
ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.
Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang
menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

20

B. ALUR PENEGAKKAN DIAGNOSIS DM

21

C. KOMPLIKASI
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut
maupun

komplikasi

vaskuler

kronik,

baik

mikroangiopati

maupun

makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari endstage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult
blindness. Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah,
terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat
komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes
lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang
dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah :
Kerusakan saraf (Neuropati)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan
sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta
susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal
ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan
baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil
diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila
dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal
maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang
memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf
tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah
kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan
saraf mana yang terkena. Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada
populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi neuropati
pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 13.1% s/d 45.0%.

22

Kerusakan ginjal (Nefropati)


Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh
darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah.
Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal
bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk
ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun
tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal
bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena
tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal.
Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau
kerusakan saraf.
Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 4.3% s/d
37.6% pada populasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam penelitian pada populasi.
Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi mikroalbuminuria pada populasi
klinik berkisar 2.5% s/d 57.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 18.9%
s/d 42.1%. Prevalensi overt nephropathy dengan penyakit DM tipe 1 berkisar
0.7% s/d 27% pada populasi klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian pada
populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi overt nephropathy pada
populasi klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 9.2% s/d 32.9%.
Kerusakan mata (Retinopati)
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab
utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh
diabetes, yaitu:
1). Retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler
yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina.
2). Katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh
sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya
glukosa darah yang tinggi.
3). Glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak
saraf mata. Prevalensi retinopati dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 10.8% s/d

23

60.0% pada polpulasi klinik dan 14.5% s/d 79.0% dalam penelitian pada populasi.
Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi retinopati pada populasi klinik
berkisar 10.6% s/d 47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 10.1% s/d
55.0%.
Penyakit jantung koroner (PJK)
Diabetes

merusak

dinding

pembuluh

darah

yang

menyebabkan

penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah.


Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat,
sehingga kematian mendadak bisa terjadi. Prevalensi Penyakit jantung koroner
dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada polpulasi
klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen
dari prevalensi penyakit jantung koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan Diabetes
tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan Diabetes tipe 2.
Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang
dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat
hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal,
atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila
penderita diabetes juga terkena hipertensi.
Penyakit pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang
dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan
prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak
mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa
sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan
wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping
diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,
pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.

24

Gangguan pada hati


Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan
gula bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru.Hati bisa
terganggu akibat penyakit diabetes itusendiri. Dibandingkan orang yang tidak
menderita diabetes, penderita diabetes lebih mudahterserang infeksi virus hepatitis
B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang yang
sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan
hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi
karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang
sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver,
biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini
jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di
jaringan tubuh lainnya.
Penyakit paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru
dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara
sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit
paru akan menaikkan glukosa darah.
Gangguan saluran cerna
Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena
kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang
mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang
mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu
makan, sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi
mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan
muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom
pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat
pemakaian obat- obatan yang diminum.
Infeksi

25

Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam


menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah
terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paruparu, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang
tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita
terhadap adanya infeksi.
D. PENATALAKSANAAN
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2,
dan sebagian besar mengenai Organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM
tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali
faktor risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM
tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan
pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani dan intervensi farmakologis.
1. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi
dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien
untuk memiliki perilaku sehat.1,8 Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung
usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya
dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin
timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan
pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan
yang diperlukan.8 Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan
glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti
merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet
tinggi lemak.
2. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi

26

makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%,


protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.
3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu,masing-masing selama
kurang lebih 30 menit.Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti
berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan
sensitifitas insulin.
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan
pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati
dan ginjal serta malnutrisi
b. Glinid
Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi
insulin fase pertama
Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
Peningkat sensitivitas insulin:
a. Biguanid
Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja
insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi
glukosa hati.
Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai
dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.

27

b. Tiazolidindion
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan
retensi cairan.
Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin).
Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi
glukosa hati.
Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin
serum > 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan
hipoksemia seperti pada sepsis

Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan

sulfonylurea.
Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa
diatasi dengan pemberian sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa :
Acarbose

Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.

Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan


sulfonilurea.

Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan

flatulens.
Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1)
merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan
perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara
cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat
DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat penglepasan
glukagon.

28

II. OBAT SUNTIKAN


Insulin
a. Insulin kerja cepat
b. Insulin kerja pendek
c. Insulin kerja menengah
d. Insulin kerja panjang
e. Insulin campuran tetap
Agonis GLP-1/incretin mimetik
Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa menimbulkan
hipoglikemia, dan menghambat penglepasan glukagon
Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea
Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual muntah
Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat
dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS).
Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang
terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten, dan
melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat
terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan
GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.
Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda
tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid
diberikan

sesaat

sebelum

makan.

Metformin

bisa

diberikan

sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan


pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor
dapat diberikan saat makan atau sebelum makan. Bila dengan GHS dan
monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali maka diberikan kombinasi 2
OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja berbeda,
misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan kombinasi
terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang
pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2
OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin

29

kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur.
Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka pemberian
OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini
diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan
insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk dan insulin kerja cepat atau kerja
pendek untuk mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan
prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial.
Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.
Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun. Gambar 3
menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c.
Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang
baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila
kadar glukosa darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran. Kriteria lengkap dari
keberhasilan pengendalian.
Metformin dan DM tipe 2
Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, metformin mempunyai
beberapa efek terapi antara lain menurunkan kadar glukosa darah melalui
penghambatan produksi glukosa hati dan menurunkan resistensi insulin khususnya
di hati dan otot. Metformin tidak meningkatkan kadar insulin plasma. Metformin
menurunkan absorbsi glukosa di usus dan meningkatkan sensitivitas insulin
melalui efek penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studi-studi invivo dan invitro
membuktikan efek metformin terhadap fluidity membran palsma, plasticity dari
reseptor dan transporter, supresi dari

mitochondrial respiratory chain,

peningkatan insulin-stimulated receptor phosphorylation dan aktivitas tirosine


kinase, stimulasi translokasi GLUT4 transporters, dan efek enzimatik metabolic
pathways. Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya bertujuan untuk kendali glikemik,
tetapi juga kendali faktor risiko kardiovaskuler, karena ancaman mortalitas dan
morbiditas justru datang dari berbagai komplikasi kronik terebut. Dalam mencapai

30

tujuan ini, Metformin salah satu jenis OHO ternyata bukan hanya berfungsi untuk
kendali glikemik, tetapi juga dapat memperbaiki disfungsi endotel, hemostasis,
stress oksidatif, resistensi insulin, profil lipid dan redistribusi lemak. Metformin
terbukti dapat menurunkan berat badan, memperbaiki sensi tivitas insulin, dan
mengurangi lemak visceral. Pada penderita perlemakan hati (fatty liver),
didapatkan perbaikan dengan penggunaan Metformin. Metformin juga terbukti
mempunyai efek protektif terhadap komplikasi makrovaskular. Selain berperan
dalam proteksi risiko kardiovaskuler, studi-studi terbaru juga mendapatkan
peranan neuroprotektif Metformin dalam memperbaiki fungsi saraf, khususnya
spatial memory function dan peranan proteksi Metformin dalam karsinogenesis.
Diabetes tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena berbagai macam
kanker terutama kanker hati, pankreas, endometrium, kolorektal, payudara, dan
kantong kemih. Banyak studi menunjukkan penurunan insidens keganasan pada
pasien yang menggunakan Metformin.
Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the
American Diabetes Association/ European Association for the Study of Diabetes
(ADA/EASD)

dan

Endocrinologists/American

the

American
College

of

Association
Endocrinology

of

Clinical

(AACE/ACE)

merekomendasikan pemberian metformin sebagai monoterapi lini pertama.


Rekomendasi ini terutama berdasarkan efek metformin dalam menurunkan kadar
glukosa darah, harga relatif murah, efek samping lebih minimal dan tidak
meningkatkan berat badan. Posisi Metformin sebagai terapi lini pertama juga
diperkuat oleh the United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) yang
pada studinya mendapatkan pada kelompok yang diberi Metformin terjadi
penurunan risiko mortalitas dan morbiditas. UKPDS juga mendapatkan efikasi
Metformin setara dengan sulfonilurea dalam mengendalikan kadar glukosa darah.
Ito dkk dalam studinya menyimpulkan bahwa metformin juga efektif pada pasien
dengan berat badan normal.

31

BAB IV
PENUTUP
Diabetes Mellitus tipe-2 masih merupakan masalah kesehatan yang
penting, khususnya karena komplikasi kronik yang ditimbulkannya. Tatalaksana
diabetes mellitus tipe-2 bukan hanya ditujukan pada kendali glikemik, tetapi juga
terhadap proteksi komplikasi kardiovaskuler. Metformin merupakan obat
hipoglikemik lini pertama untuk diabetes mellitus tipe-2, karena disamping
terbukti efektif dalam kendali glikemik, Metformin juga terbukti mempunyai efek
protektif terhadap komplikasi kardiovaskuler, disamping masih mempunyai
banyak efek positif lainnya yang sebagian masih dalam tahap penelitian.
A. KESIMPULAN

Kesimpulan (penderita, bentuk keluarga, diagnosis biopsikososial)

Personal

: Gatal-gatal di badan

Klinis

: Diabetes Mellitus tipe II

Faktor

: Internal: Riwayat penyakit genetik, Konsumsi obat


tidak teratur,

Psikososial

: Penderita adalah seorang janda yang hanya tinggal


bertiga dengan dua orang anaknya.

Skala fungsi sosial

: Skala 1 ( Tidak ada kesulitan )

Fungsi keluarga

: Cukup baik

B. SARAN

32

Promotif

h. Kebersihan diri dan deteksi dini apabila terjadi penurunan


kondisi

kesehatannya

dan

melakukan

kunjungan

berkesinambungan ke puskesmas.

i. Latihan fisik teratur untuk meningkatkan kemampuan usia


lanjut.

j. Pembinaan mental keagamaan

k. Meningkatkan kegiatan sosial di masyarakat

l. Menghindarkan kebiasaan busruk

m. Penanggulangan masalah kesehatannya sendiri secara benar

n. Diet seimbang menu bergizi seimbang

Preventif

e. Pemeriksaan kesehatan teratur untuk penemuan dini penyakit.

f. Kesegaran jasmani secara teratur dan disesuaikan dengan


kemampuan usia lanjut.

g. Penggunaan alat bantu misalnya kacamata.

h. Penuyuluhan pencegahan kemungkinan terjadinya kecelakaan


pada usia lanjut.

33

Kuratif

c. Pelayanan kesehatan dasar : farmakoterapi (obat anti


hipertensi, obat oral hiperglikemi, anti dislipidemia, antibiotik)

d. Pelayanan kesehatan spesifikasi melalui sistem rujukan :


bagian ilmu kesehatan penyakit dalam dan ilmu penyakit
jantung dan pembuluh darah.

Rehabilitatif

e. Mengembalikan

kepercayaan

pada

diri

sendiri

dan

memperkuat mental penderita.

f. Pembinaan usila dan aktivitas di dalam maupun di luar rumah.

g. Nasihat cara hidup sesuai penyakit diderita.

h. Perawatan fisioterapi

34

Anda mungkin juga menyukai