Edisi3e PDF
Edisi3e PDF
Menurut definisi UN-Habitat, rumah tangga dalam permukiman kumuh (slum household)
adalah kelompok individu yang tinggal di bawah satu atap di daerah perkotaan yang tidak
mempunyai salah satu dari indikator berikut:
1. Rumah yang kokoh, yang dapat melindungi penghuninya dari kondisi cuaca yang
ekstrim
2. Ruang huni yang cukup, yang berarti tidak lebih dari 3 orang menghuni 1 ruang
bersama
3. Akses yang mudah ke air bersih (aman) dalam jumlah yang cukup dan harga yang
terjangkau,
4. Akses ke sanitasi yang memadai, dalam bentuk toilet pribadi atau MCK bersama
5. Kepastian atau rasa aman bermukim (secure tenure), yang dapat melindungi
penghuninya dari penggusuran paksa.
pertumbuhan penduduk alami. Beberapa faktor terjadinya mirgasi ke kota adalah karena
faktor dorong dan tarik. Faktor dorong misalnya terjadinya bencana alam atau perubahan
ekologi yang mengakibatkan berkurangnya peluang kerja, sedangkan faktor tarik ke kota
karena adanya peluang kerja lebih baik, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik.
Penghasilan yang rendah dari bidang pertanian merupakan faktor lain yang menyebabkan
migrasi ke kota. Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini sangat mempengaruhi masa
dan hasil panen. Banyak petani terlilit hutang dan kehilangan tanah, serta terpaksa
mencari lapangan kerja lain di kota.
Migrasi ke kota juga merupakan strategi hidup masyarakat perdesaan. Seringkali migrasi
terjadi secara temporer dan rutin, di mana masyarakat desa pergi ke kota dan mencari
peluang kerja dengan menjadi pedagang kaki lima atau berjualan di warung. Setelah
mengumpulkan sejumlah uang, mereka akan kembali ke desa.
2. Tata-kelola pemerintahan (governance)
Tata-kelola pemerintah yang kurang baik juga dapat memicu pertumbuhan permukiman
kumuh. Pemerintah seringkali tidak mengakui hak masyarakat miskin dan melibatkan
mereka dalam proses perencanaan. Hal ini justru mendukung pertumbuhan permukiman
kumuh.
Respon pemerintah yang lamban dalam menanggapi urbanisasi juga memicu pertumbuhan
kumuh. Urbanisasi membutuhkan perumahan yang terjangkau yang justru tidak mampu
disediakan pemerintah atau swasta. Karena ketidak tersediaan hunian terjangkau,
masyarakat miskin mencari peluang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya akan hunian
dengan menempati tanah dan membangun gubuknya, atau menyewa rumah petak yang
ada tanpa mempedulikan status tanahnya.
Sikap pemerintah terhadap urbanisasi bervariasi ada yang membuat kebijakan kota
tertutup (seperti Jakarta di tahun 1970-an), ada yang menggusur masyarakat miskin di
permukiman liar (masih terjadi di Indonesia), ada pula yang pasif dan cenderung
mendiamkan pertumbuhan permukiman spontan karena tidak mempunyai instrumen untuk
menanganinya. Catatan statistik terkait penghuni permukiman kumuh yang berstatus liar
(squatter) belum jelas atau kadang-kadang tidak ada karena pencatatan penduduk oleh
pemerintah dianggap oleh para penghuni liar sebagai salah satu bentuk pengakuan
pemerintah terhadap keberadaan mereka di kota.
Proyek uji coba yang dapat menjadi percontohan dan dikunjungi mereka yang
ingin belajar dari pengalaman proyek tersebut.
Langkah ke Depan
Kelompok Kerja Permukiman Kumuh Indonesia untuk mendukung Asia Pacific
Ministerial Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD) telah
mengidentifikasikan beberapa bidang yang perlu mendapat perhatian untuk peningkatan
permukiman kumuh, yaitu:
1. Pengembangan sektor informal dan bisnis mikro