Anda di halaman 1dari 8

Menuju Kota Bebas Kumuh

Oleh Lana Winayanti, Ketua Harian Seknas Habitat

Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) yang


dicanangkan oleh PBB menargetkan perbaikan kehidupan 100 juta penghuni permukiman
kumuh pada tahun 2020. Komunitas internasional telah mengakui pentingnya kebutuhan
akan kota yang berkelanjutan baik dari segi lingkungan hidup maupun sosial. UN Habitat
bekerja sama dengan mitra Agenda Habitat seperti organisasi internasional, pemerintah,
otorita lokal, swasta, LSM, komunitas dan badan PBB seperti UNEP untuk mencapai
target ini. Indonesiapun memastikan ikut mendukung pencapaian MDGs. Salah satu
tujuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional adalah terpenuhinya kebutuhan
hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarkat
yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan,
efisien dan akuntabel sehingga terwujud kota tanpa pemukiman kumuh.
Artikel ini akan mengupas tentang apakah pemukiman kumuh dan beberapa pendekatan
yang dilakukan komunitas internasional dan Indonesia dalam mengatasi persoalan
permukiman kumuh.

Apakah Permukiman Kumuh?


Slum atau permukiman kumuh bisasanya digunakan
untuk menggambarkan permukiman yang tumbuh
secara spontan di perkotaan yang mempunyai kualitas
perumahan di bawah standar minimal dalam lingkungan
yang kurang sehat dan tidak didukung oleh jasa
pelayanan kota seperti air minum, sanitasi, drainase
(gorong-gorong), jalur pejalan kaki dan jalan akses
darurat. Ciri lain permukiman kumuh adalah tingkat
kepadatan yang tinggi dan kurangnya akses ke fasilitas
sekolah, kesehatan, ruang bersama dsb. Status
permukiman kumuh seringkali tidak jelas baik dari
status administrasi dan hukum tanah, maupun
kesesuaian dengan rencana tata ruang kota. Terkait
status hukum atas tanah, biasanya hal ini yang
membedakan permukiman kumuh (slum) dengan
pemukiman liar (squatter).

Gambar 1 Kampung Jati Baru,


Jakarta Pusat

Menurut definisi UN-Habitat, rumah tangga dalam permukiman kumuh (slum household)
adalah kelompok individu yang tinggal di bawah satu atap di daerah perkotaan yang tidak
mempunyai salah satu dari indikator berikut:
1. Rumah yang kokoh, yang dapat melindungi penghuninya dari kondisi cuaca yang
ekstrim
2. Ruang huni yang cukup, yang berarti tidak lebih dari 3 orang menghuni 1 ruang
bersama
3. Akses yang mudah ke air bersih (aman) dalam jumlah yang cukup dan harga yang
terjangkau,
4. Akses ke sanitasi yang memadai, dalam bentuk toilet pribadi atau MCK bersama
5. Kepastian atau rasa aman bermukim (secure tenure), yang dapat melindungi
penghuninya dari penggusuran paksa.

Mengapa permukiman kumuh berkembang?


Permukiman kumuh bukan fenomena
baru. Beberapa istilah permukiman
kumuh di negara lain adalah barios
(Venezuela), favela (Brazil), katchi
abadi (Pakistan), basti (Bangladesh),
kampung kumuh (Indonesia), skidrow
(UK), ghetto (USA), shanty town.
Banyak permukiman kumuh
mempunyai sejarah panjang di kotakota dunia, terutama pada tahun-tahun
awal terjadinya urbanisasi dan
Gambar 2 Dinamika Masalah Permukiman Kumuh
industrialiasi dimana terjadi migrasi
besar-besaran penduduk desa ke kota. Permukiman kumuh adalah salah satu cara
masyarakat miskin mengatasi persoalan perumahan yang terjangkau.
Dari pengamatannya di beberapa negara di Amerika Latin di tahun 1960-an, John Turner
menyebutkan permukiman ini sebagai permukiman mandiri (autonomous settlement),
dimana pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat sendiri sesuai kemampuan mereka
sendiri (Turner 1976). Permukiman semacam ini mempunyai potensi untuk menjadi lebih
sehat/ teratur melalui bantuan prasarana, pengaturan dan pendampingan masyarakat.
Ada dua alasan mengapa permukiman kumuh tetap berkembang: pertumbuhan penduduk
dan tata-kelola kepemerintahan (governance).
1. Pertumbuhan Penduduk
Tingkat pertumbuhan penduduk dunia di perkotaan semakin tinggi. Pertumbuhan ini dapat
berasal melalui migrasi dari perdesan ke perkotaan, migrasi antar kota, maupun

pertumbuhan penduduk alami. Beberapa faktor terjadinya mirgasi ke kota adalah karena
faktor dorong dan tarik. Faktor dorong misalnya terjadinya bencana alam atau perubahan
ekologi yang mengakibatkan berkurangnya peluang kerja, sedangkan faktor tarik ke kota
karena adanya peluang kerja lebih baik, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik.
Penghasilan yang rendah dari bidang pertanian merupakan faktor lain yang menyebabkan
migrasi ke kota. Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini sangat mempengaruhi masa
dan hasil panen. Banyak petani terlilit hutang dan kehilangan tanah, serta terpaksa
mencari lapangan kerja lain di kota.
Migrasi ke kota juga merupakan strategi hidup masyarakat perdesaan. Seringkali migrasi
terjadi secara temporer dan rutin, di mana masyarakat desa pergi ke kota dan mencari
peluang kerja dengan menjadi pedagang kaki lima atau berjualan di warung. Setelah
mengumpulkan sejumlah uang, mereka akan kembali ke desa.
2. Tata-kelola pemerintahan (governance)
Tata-kelola pemerintah yang kurang baik juga dapat memicu pertumbuhan permukiman
kumuh. Pemerintah seringkali tidak mengakui hak masyarakat miskin dan melibatkan
mereka dalam proses perencanaan. Hal ini justru mendukung pertumbuhan permukiman
kumuh.
Respon pemerintah yang lamban dalam menanggapi urbanisasi juga memicu pertumbuhan
kumuh. Urbanisasi membutuhkan perumahan yang terjangkau yang justru tidak mampu
disediakan pemerintah atau swasta. Karena ketidak tersediaan hunian terjangkau,
masyarakat miskin mencari peluang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya akan hunian
dengan menempati tanah dan membangun gubuknya, atau menyewa rumah petak yang
ada tanpa mempedulikan status tanahnya.
Sikap pemerintah terhadap urbanisasi bervariasi ada yang membuat kebijakan kota
tertutup (seperti Jakarta di tahun 1970-an), ada yang menggusur masyarakat miskin di
permukiman liar (masih terjadi di Indonesia), ada pula yang pasif dan cenderung
mendiamkan pertumbuhan permukiman spontan karena tidak mempunyai instrumen untuk
menanganinya. Catatan statistik terkait penghuni permukiman kumuh yang berstatus liar
(squatter) belum jelas atau kadang-kadang tidak ada karena pencatatan penduduk oleh
pemerintah dianggap oleh para penghuni liar sebagai salah satu bentuk pengakuan
pemerintah terhadap keberadaan mereka di kota.

Pendekatan untuk Mencegah Permukiman Kumuh Baru


Menurut Cities Alliance (lembaga internasional yang menangani hibah, pengetahuan dan
advokasi untuk kepentingan peningkatan permukiman kumuh di dunia) ada beberapa hal
yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah pertumbuhan permukiman kumuh baru.
Salah satu adalah mengakui bahwa urbanisasi akan tetap terjadi dan pemerintah perlu
merencanakan di mana pendatang baru akan tinggal. Kebijakan alternatif untuk

mengembangkan perdesaan masih dianggap kurang efektif. Meskipun demikian India


mengadopsi kebijakan ini karena 75% wilayah India masih merupakan perdesaan.
Kepastian bermukim (Secure Tenure)
Hak atas tanah adalah hak individu atau kelompok untuk menghuni atau menggunakan
sebidang tanah. Hak atas tanah dapat berupa hak milik atau hak sewa. Kejelasan hak atas
tanah memberikan keyakinan akan masa depan - rasa aman karena kejelasan hak (sewa
ataupun milik) akan meningkatkan kestabilan jangka panjang dan mengakibatkan
penghuni berkeinginan berinvestasi untuk peningkatan kualitas rumah dan lingkungan
mereka. Perbaikan secara bertahap oleh masyarakat dapat meningkatkan kualitas
komunitas.
Perlu ada kerangka kerja yang jelas tentang kepastian bermukim. Seringkali masyarakat
permukiman kumuh menghadapi berbagai hambatan untuk
Secure tenure atau
memiliki atau memperoleh kejelasan hak atas tanah dan hak
kepastian bermukim
atas hunian yang layak. Pasar tanah pada umumnya agak
adalah hak setiap individu
disfungsional dan peraturan yang ada menyulitkan pemerintah
dan kelompok atas
daerah untuk mencari tanah terjangkau dan berada di lokasi
perlindungan negara
yang strategis bagi penghuni permukiman kumuh yang padat.
terhadap penggusuran
Pengendalian tanah seringkali terkait dengan kekuatan politik
yang tidak sesuai prosedur
hukum atau persepsi akan
dan korupsi, sehingga menyulitkan memperoleh informasi
terjadi penggusuran
tentang penguasaan dan kepemilikan tanah, penggunaan dan
ketersediaan tanah.

Hak warga kota


Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh adalah bagian dari penduduk perkotaan,
dan seharusnya mempunyai hak yang sama atas kesehatan dan pelayanan dasar kota. Hak
ini seringkali dibatasi oleh kemampuan pemerintah dalam mewujudkan pelayanan dasar
ini.
Proses merealisasi hak penghuni permukiman kumuh tergantung pada kapasitas mereka
untuk berinteraksi dengan pemerintah. Salah satu kunci adalah menciptakan ruang
dimana masyarakat permukiman kumuh dan pemerintah dapat saling berdialog tentang
peluang-peluang meningkatkan komunitas permukiman kumuh. Melalui dialog, setiap
pihak dapat meletakkan hak dan tanggung jawab, serta merancang program peningkatan
permukiman kumuh yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Apabila proses
ini tidak dipahami oleh masyarakat dan pemerintah, maka akan sulit program ini berhasil.

Peningkatan permukiman kumuh (slum upgrading)


Slum upgrading atau peningkatan permukiman kumuh merupakan suatu proses dimana
permukiman informal ditingkatkan secara bertahap, diformalkan dan dijadikan bagian
dari kota, melalui perluasan jasa pelayanan ekonomi, sosial, kelembagaan dan komunitas
kepada para penghuni permukiman kumuh.
Peningkatan permukiman kumuh bukan hanya bicara tentang air bersih, drainase (goronggorong) atau perumahan, tapi lebih banyak memberikan perhatian pada bagaimana
menggerakan kegiatan sosial-ekonomi, kelembagaan dan komunitas agar kehidupan
masyarakat dapat terangkat. Kegiatan ini perlu ditangani secara bersama-sama dengan
pihak-pihak yang terlibat baik warga penghuni, kelompok masyarakat, pengusaha dan
pemerintah (tingkat pusat dan daerah).
Kegiatan ini juga mencakup penyediaan jasa pelayanan dasar seperti perumahan, jalan,
pedestrian, drainase, air bersih, sanitasi dan pembuangan sampah. Akses ke pendidikan
dan pelayanan kesehatan juga dianggap sebagai bagian dari peningkatan kualitas.
Salah satu komponen utama dalam peningkatan permukiman kumuh adalah meningkatkan
status tanah (misalnya sertifikat tanah dan surat perjanjian pemanfaatan tanah) atau status
administrasi permukiman (misalnya memberikan status RT/RW) sehingga dapat menjadi
bagian dari kota.
Pada akhirnya, upaya meningkatkan permukiman kumuh mempunyai tujuan untuk
menciptakan dinamika dalam komunitas dimana tumbuh rasa pemilikan, manfaat dan
investasi di dalam permukimannya.
Mengapa Peningkatan Permukiman Kumuh Penting?
Alasan utama peningkatan permukiman kumuh adalah agar masyarakat mempunyai hak
dasar untuk hidup dengan martabat dan dalam kondisi yang layak. Meskipun kebanyakan
masyarakat permukiman kumuh adalah migran, bukan alasan untuk tidak memberikan
peluang hidup yang baik. Di tingkat yang lain, menjadi perhatian kota untuk
meningkatkan permukiman kumuh dan mencegah pembentukan permukiman kumuh baru.
Bila permukiman kumuh mengalami kemunduran kualitas, maka pemerintah dapat
kehilangan kendali atas penduduk tersebut dan permukiman kumuh tersebut menjadi
daerah dengan tingkat kejahatan tinggi dan kemungkinan penularan penyakit yang
berpengaruh pada seluruh kota.
Manfaat peningkatan permukiman kumuh untuk kota adalah:
-

Meniningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kota termasuk mengatasi


masalah illegalitas, hambatan mengakses jasa pelayanan kota, akses ke kredit dan
perlindungan sosial bagi kelompok masyarakat rentan

Mendorong pengembangan ekonomi peningkatan permukiman kumuh dapat


mendorong sumberdaya ekonomi yang ada

Menjawab isu kota tentang penurunan kualitas lingkungan, peningkatan sanitas,


penarikan investasi dan menurunkan tingkat kejahatan

Meningkatan kualitas kehidupan. Peningkatan permukiman kumuh meningkatkan


kualitas kehidupan komunitas dan kota secara keseluruhan dengan memberikan
kejelasan status kewargakotaan, peningkatkan kualitas hidup, meningkatkan
keamanan dan kepastian tinggal.

Meningkatkan penyediaan hunian bagi masyarakat miskin dengan keterlibatan


masyarakat - merupakan cara paling efektif karena dapat dilakukan dalam skala
besar dengan biaya rendah.

Belajar dari Program Peningkatan Permukiman Kumuh


Kampung Improvement Program (KIP) Indonesia
Program Kampung Improvement Program (KIP) dipelopori Indonesia di kota Jakarta dan
Surabaya pada tahun 1969 dan menjadi program nasional di kota-kota Indonesia dengan
dukungan Bank Dunia. Pada awalnya dilakukan secara top-down tapi dalam
perkembangannya semakin melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Di Jakarta lebih dari 500 kampung yang meliputi 3.8 juta penduduk diperbaiki melalui
KIP. Namun kritik utama terhadap KIP di Jakarta adalah lokasi yang sudah diperbaiki
justru menjadi sasaran pengembangan pusat bisnis. Harga tanah meningkat setelah KIP
dan menjadikan proyek pengembangan pusat bisnis menjadi sangat mahal.
Di Surabaya, program KIP berhasil dikembangkan menjadi KIP Komprehensif yang
melibatkan masyarakat melalui pendekatan Tri-Daya (sosial, ekonomi dan fisik
lingkungan) dan mengupayakan ijin bangunan dan sertifikasi tanah. Pemerintah Daerah
Surabaya bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS)
dalam pengembangan konsep dan program ini. Keterlibatan masyarakat diwujudkan
dalam bentuk pengorganisasian Dewan atau Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
koperasi untuk kredit mikro dan dana bergulir. Program KIP Surabaya berhasil mendapat
penghargaaan The Aga Khan Award for Architecture (1986), the UNEP Award (1990), the
Habitat Award (1991). Program KIP Surabaya banyak ditiru oleh kota dan negara lain,
seperti Pekalongan, Solo dan Thailand. Bahkan program di Thailand menjadi lebih besar
dan berhasil.
Program KIP di Indonesia masih dilanjutkan di Surabaya. Di tingkat nasional program
semacam ini diadopsi dengan beragam nama tergantung kemasan proyek dan donor
misalnya Peningkatan Kualitas Kampung, Bedah Kampung, NUSSP, P2KP dsb yang
dilakukan oleh instansi penerima bantuan. Belum ada kebijakan-strategi dan rencana aksi
penanganan permukiman kumuh yang disepakati bersama secara nasional.
Peran Pemerintah Daerah untuk program peningkatan kualitas permukiman kumuh
menjadi semakin besar setelah otonomi daerah. Beberapa kota berhasil melakukan

program peningkatan permukiman kumuh dengan pendekatan yang komprehensif dan


mensinergikan sumber daya yang ada misalnya Surabaya, Solo dan Pekalongan. Bahkan
kota Pekalongan dan Solo sudah pernah mendapatkan predikat Good Practice dari
panitia Dubai Award for Best Practices in Improving the Living Environment tahun 2008.
Program Baan Mankong Thailand
Community Organizations Development Institute (CODI) adalah organisasi publik
independen yang dibentuk pemerintah Thailand (dibawah Kementerian Pembangunan
Sosial) pada tahun 2000 dengan menggabungkan Urban Community Development Office
(UDCO) dan Rural Development Fund (RDF).
Menurut Somsook Boonyabancha, Direktur Eksekutif CODI (2000-2009), CODI justru
belajar dari program KIP Indonesia dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan
dan budaya masyarakat Thailand. Program Baan Mankong, yang berarti secure housing
atau perumahan aman, diluncurkan pada tahun 2003. Program ini menempatkan
komunitas dan jaringannya sebagai pusat dari proses pengembangan solusi yang
komprehensif untuk masalah tanah dan perumahan di kota-kota Thailand. Sistem
perencanaan konvensional yang top-down digantikan dengan pengelolaan program
berbasis masyarakat, di mana masyarakat menjadi pelaksana kegiatan yang mereka
rencanakan dan prakarsai, dengan dukungan dari sistem jaringan komunitas, LSM,
akademisi dan institusi pendidikan.
Ada 5 strategi yang diterapkan dalam program Baan Mankong: 1) peningkatan
permukiman kumuh yang disebut in-situ, 2) reblocking atau land readjustment, 3) land
sharing di mana ada perjanjian sewa atau perjanjian pemanfaatan tanah antara pemilik
tanah dengan masyarakat, 4) rekonstruksi atau pembangunan kembali dan 5) relokasi.
Untuk scaling-up proyek ini digunakan 6 pendekatan yaitu:
-

Proyek uji coba yang dapat menjadi percontohan dan dikunjungi mereka yang
ingin belajar dari pengalaman proyek tersebut.

Pengembangan pusat pembelajaran di beberapa kota yang sudah berhasil


melakukan peningkatan kualitas permukiman kumuh

Peresmian proyek yang dapat dikunjungi dan dilihat banyak orang

Pertukaran pengalaman antar pelaku pembangunan permukiman kumuh

Langkah ke Depan
Kelompok Kerja Permukiman Kumuh Indonesia untuk mendukung Asia Pacific
Ministerial Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD) telah
mengidentifikasikan beberapa bidang yang perlu mendapat perhatian untuk peningkatan
permukiman kumuh, yaitu:
1. Pengembangan sektor informal dan bisnis mikro

2. Perkuatkan peran perempuan dan organisasi masyarakat dalam peningkatan


permukiman kumuh
3. Pengembangan kebijakan dan program berbasis komunitas
4. Peningkatan peran serta masyarakat dan pendekatan skala kota untuk penanganan
permukiman kumuh
5. Perkuatan sistem pembiayaan peningkatan permukiman kumuh
Hasil Kelompok Kerja merekomendasikan perlunya dukungan bagi Pemerintah Daerah
yang melakukan peningkatan kumuh skala kota, peningkatan peran Pemerintah sebagai
pemberdaya (enabler) dan perkuatan sistem peningkatan permukiman kumuh berbasis
komunitas.
Di tingkat nasional perlu ada kebijakan strategi mengenai peningkatan permukiman
kumuh dan road-map bagaimana tujuan yang telah dicanangkan dalam RPJMN 2025
dapat dicapai. Mudah-mudahan dengan adanya Slum Alleviation Policy and Action Plan
(SAPOLA) yang didukung Cities Alliance di tahun 2011 dapat segera dirumuskan suatu
kebijakan dan rencana aksi yang disepakati bersama para pemangku kepentingan.

Anda mungkin juga menyukai